Vous êtes sur la page 1sur 33

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

Penegakan Diagnosa dan Penatalaksanaan pada Asma

Disusun oleh:
dr. Eka Wijaya Warmandana

Pendamping :
dr. Edwin
dr. Harry

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT PALANG BIRU GOMBONG
2017
Topik : Asma Bronkiale

Tanggal Kasus : 4 Juli 2017 Presenter : dr. Eka Wijaya Warmandana

Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Edwin & dr. Harry

Tempat Presentasi : Ruang SMF RS Palang Biru Gombong

Obyektif Presentasi :

 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka

 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi :

Pasien seorang laki-lki usia 37 tahun dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan
sejak ± 1 hari yang lalu dan dirasa memberat sejak tadi pagi. Pasien mengeluhkan saat
sesak nafas mengalami kesulitan dalam berbicara hanya dapat mengucapkan kata-kata
saja, dan lebih suka posisi duduk dibandingkan berdiri atau berbaring. Pasien
mengatakan keluhan sesak nafas kambuh saat cuaca dingin, kecapekan, melakukan
aktifitas yang lama dengan lingkungan yang banyak asap rokok dan debu. Saat keluhan
sesak nafas, nafas pasien terdengar bunyi “ngik”. Pasien mengaku serangan sesak nafas
yang terakhir sekitar ± 2 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa ayah pasien
memiliki keluhan serupa. Dalam sebulan ini keluhan dirasakan baru sejak 1 hari yang
lalu, dan dalam sebulan serangan sesak pada malam hari dirasakan 1 kali.

 Tujuan : Mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan Asma

Bahan Bacaan  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit

Cara Membahas  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos

Data Pasien Identitas : Tn. A/ 37th/ L Nomor Registrasi : 152266

Nama Klinik Rumah Sakit Palang Biru Gombong, Kebumen, Jawa Tengah

Data Utama Untuk Bahan Diskusi

2
1. Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien seorang laki-laki usia 37 tahun datang ke IGD RSU Palang Biru dengan
keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan sejak ± 1 hari yang lalu dan dirasa
memberat sejak tadi pagi. Karena semakin memberat hingga akhirnya pergi ke IGD
RS Palang Biru.
Pasien mengeluhkan saat sesak nafas mengalami kesulitan dalam berbicara
hanya dapat mengucapkan kata-kata saja, dan lebih suka posisi duduk dibandingkan
berdiri atau berbaring. Pasien mengatakan keluhan sesak nafas yang dialami sering
kali kambuh-kambuhan terutama saat cuaca dingin, kecapekan, melakukan aktifitas
yang lama dengan lingkungan yang banyak asap rokok dan debu. Saat keluhan sesak
nafas, nafas pasien terdengar bunyi “ngik”. Sebelum sesak nafasnya kambuh, pasien
pergi ketempat yang banyak debunya. Selain sesak nafas, pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak ± 3 hari.
Pasien mengaku serangan sesak nafas yang terakhir sekitar ± 2 tahun yang lalu.
Pasien mengatakan bahwa ayah pasien memiliki keluhan serupa. Dalam sebulan ini
keluhan dirasakan baru sejak 1 hari yang lalu, dan dalam sebulan serangan sesak pada
malam hari dirasakan 1 kali.

2. Riwayat Pengobatan: Sebelumnya pasien menggunakan inhaler apabila kambuh.


Tetapi karena sudah tidak pernah kambuh, pasien menghentikan penggunaan inhaler
sudah lebih dari 2 tahun.

3. Riwayat Penyakit Dahulu: (+) sejak kecil

4. Riwayat Keluarga: Riwayat keluhan yang sama (+) pada ayah pasien

5. Riwayat Pekerjaan: Pasien bekerja sebagai wiraswasta

6. Riwayat Sosial dan Ekonomi Pasien tinggal dengan istri dan membayar semua biaya
pengobatan dengan umum

7. Pemeriksaan Fisik (4 Juli 2017 di IGD RSU Palang Biru)


a. Keadaan Umum : Tampak sesak ringan

3
b. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 96 x /mnt, irama: regular, isi : cukup
Laju Nafas : 24 x /menit, SpO2: 98%
Suhu : 36,2 °C
VAS :2

c. Kepala : Normocephal
d. Mata : pupil isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
e. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-) serous.
f. Telinga : low set ear (-/-), discharge (-/-)
g. Mulut : bibir sianosis (-)
h. Tenggorok: Faring hiperemis (-) , T1/T1
i. Leher : simetris, pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
j. Kulit : Sianosis (-), ikterus (-), edema (-), ptekie(-)
k. Thoraks : Simetris (+), retraksi (-)
l. Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas : sela iga II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri : sela iga VI linea mid clavicularis sinistra
Batas jantung kanan : sela iga IV linea sternalis kanan
Pinggang jantung : sela iga III linea parasternalis kiri

Auskultasi: BJ I/II reguler, bising (-)


m. Pulmo
Inspeksi : hemithorax dextra dan sinistra simetris, retraksi intercosta (-/-)
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal hemitorak kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: vesikuler +/+ ,wheezing +/+, ronkhi -/-

n. Abdomen
Inspeksi : Datar

4
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
o. Pemeriksaan Neurologi : Reflek fisiologi (+) normal, Reflek patologis (-)
Anggota Gerak Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-

p. Ekstremitas : Akral dingn (-), sianosis (-)

8. Pemeriksaan Penunjang (4 Juli 2017)

Laboratorium Darah

GDS : 85 mg/dl ( N <200 mg/dl)

Cr : 0,8 mg/dl ( N 0,8 – 1,4 mg/dl)

Leukosit : 6500 /mmk (N 4000 – 11000/mmk)

Elektrokardiogram: Sinus ryhtm, HR: 100x/menit

9. Diagnosis:
Asma Bronkiale Intermittent Serangan Sedang

10. Penatalaksanaan
- Nebu ventolin 2 resp (2x)
- O2 2 lpm nasal kanul
- Infus D5% + aminofilin 1 amp drip
- Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gr
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp
- Injeksi Dexamethasone 3 x 1 amp
- Nebu /12 jam dengan ventolin 1 resp jika masih sesak
- Lab Hb, leukosit, Creatinin, GDS

5
- Diet Biasa
- Rawat Sp.PD

11. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam

Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Asma di Indonesia.
2. Global Initiative for Asthma (GINA). 2015. Pocket Guide For Asthma
Management And Prevention
3. National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI). 2007. National Asthma
Education and Prevention Program
Hasil Pembelajaran:
1. Mengetahui definisi, patofisiologi, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
pasien Asma

6
RANGKUMAN PORTOPOLIO
1. Subyektif :
Pasien seorang laki-laki usia 37 tahun dengan keluhan sesak nafas. Sesak
nafas dirasakan sejak ± 1 hari yang lalu dan dirasa memberat sejak tadi pagi.
Pasien mengeluhkan saat sesak nafas mengalami kesulitan dalam berbicara hanya
dapat mengucapkan kata-kata saja, dan lebih suka posisi duduk dibandingkan
berdiri atau berbaring. Pasien mengatakan keluhan sesak nafas kambuh saat cuaca
dingin, kecapekan, melakukan aktifitas yang lama dengan lingkungan yang
banyak asap rokok dan debu. Saat keluhan sesak nafas, nafas pasien terdengar
bunyi “ngik”. Pasien mengaku serangan sesak nafas yang terakhir sekitar ± 2
tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa ayah pasien memiliki keluhan serupa.
Dalam sebulan ini keluhan dirasakan baru sejak 1 hari yang lalu, dan dalam
sebulan serangan sesak pada malam hari dirasakan 1 kali.
Riwayat pengobatan: Sebelumnya pasien menggunakan inhaler apabila kambuh.
Tetapi karena sudah tidak pernah kambuh, pasien menghentikan penggunaan
inhaler sudah lebih dari 2 tahun.
Riwayat penyakit dahulu: (+) sejak kecil
Riwayat keluarga : (+) ayah pasien dengan keluhan yang sama

2. Obyektif :
Keadaan umum : tampak sesak ringan
Tanda Vital: Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 96 x /mnt, irama: regular, isi : cukup
Laju Nafas : 24 x /menit SpO2:98%
Suhu : 36,2 °C
Pemeriksaan fisik ditemukan kelainan pada pulmo
Inspeksi : hemithorax dextra dan sinistra simetris, retraksi intercosta (-/-)
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal hemitorak kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: vesikuler +/+ ,wheezing +/+, ronkhi -/-
Pemeriksaan laboratorium dan EKG dalam batas normal

7
3. Assesment
Diagnosis asma ditegakkan dari anamnesis yang didapatkan keluhan sesak dan
batuk yang sering kambuh – kambuhan disertai bunyi “ngik” dan kambuh saat
cuaca dingin, kecapekan, melakukan aktifitas yang lama dengan lingkungan yang
banyak asap rokok dan debu. Selain itu didapatkan keluhan yang serupa dari ayah
pasien. Keluhan pasien berupa serangan sesak nafas yang terakhir sekitar ± 2
tahun yang lalu. Dalam sebulan ini keluhan dirasakan baru sejak 1 hari yang lalu,
dan serangan sesak pada malam hari dirasakan 1 kali dapat diklasifikasikan Asma
intermitten. Pasien mengeluhkan saat sesak nafas mengalami kesulitan dalam
berbicara hanya dapat mengucapkan kata-kata saja, dan lebih suka posisi duduk
dibandingkan berdiri atau berbaring dapat diklasifikasikan dalam asma serangan
sedang. Dari pemeriksaan fisik ditemukan wheezing yang mendukung penegakan
diagnosa dari asma. Dibutuhkan pemeriksaan penunjang spirometri untuk
memperkuat penegakan diagnosa asma.

4. Planning
Diagnosis : Asma Bronkiale Intermittent Serangan Sedang
Pengobatan :
- Nebu ventolin 2 resp (2x)
- O2 2 lpm nasal kanul
- Infus D5% +aminofilin 1 amp drip
- Injeksi Ceftriaxon 2 x 1 gr
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp
- Injeksi Dexamethasone 3 x 1 amp
- Nebu /12 jam dengan ventolin 1 resp jika masih sesak
- Lab Hb, leukosit, Creatinin, GDS
- Diet Biasa
- Rawat Sp.PD

8
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan
dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
pada malam hari atau awal pagi (Riyanto, 2006).
Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermitten dan reversibel
dimana trakea dan bronki berespon hiperaktif terhadap stimulus tertentu. Asma
berbeda dari penyakit obstruktif lainnya dalam hal bahwa asma adalah proses
reversibel. Serangan asma dapat saja terjadi dan berlangsung dari beberapa menit
sampai beberapa jam, diselingi oleh periode bebas gejala (Smeltzer & Bare,
2002).
Serangan asma merupakan suatu episode dimana gejala-gejala berupa batuk,
sesak napas, nyeri dada, dan bunyi wheezing yang memburuk secara akut.
Serangan asma bermula dari batuk, terdengar bunyi wheezing, napas cepat,
penderita sulit berkata-kata, berkeringat banyak, dan pucat. Eksaserbasi ditandai
dengan penurunan aliran udara ekspirasi yang dapat dihitung dengan pengukuran
tes fungsi paru (APE, FEVI). Selama terjadi serangan, saluran napas menyempit
(bronkospasme) dan aliran udara berkurang (Sudhita, 2005).

B. Etiologi
Penyebab asma sampai sekarang belum diketahui pasti. Telah banyak
penelitian yang dilakukan oleh para ahli dibidang asma untuk menerangkan
sebab terjadinya asma, namun belum ada teori ataupun hipotesis yang dapat
diterima atau disepakati para ahli (Tanjung, 2003).
1. Faktor predisposisi
Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi
merupakan hal yang diturunkan, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya yang jelas. Bakat alergi ini membuat penderita sangat mudah

9
terkena penyakit asma bronkial jika terpapar faktor pencetus. Penderita
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi
(Tanjung, 2003).
Apabila kedua orang tua memiliki riwayat penyakit asma maka hampir
50% dari anak-anaknya memiliki kecenderungan asma, sedangkan jika hanya
salah satu orang tuanya yang menderita asma maka kecenderungannya hanya
35% (BKPM Semarang, 2009).
2. Faktor Presipitasi
Menurut Tanjung (2003), beberapa faktor yang mencetuskan serangan
asma, yaitu :
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan : masuk melalui saluran pernapasan, contoh : debu, serbuk
bunga, bulu binatang, polusi, asap rokok.
2) Ingestan : masuk melalui mulut. contoh: makanan dan obat-obatan.
3) Kontaktan : masuk melalui kontak dengan kulit. contoh : perhiasan,
logam, jam tangan.
b. Stres atau gangguan emosi
Stres dapat menjadi pencetus serangan asma, bahkan memperberat
serangan asma yang sudah ada.
c. Lingkungan Kerja
Serangan asma yang timbul berhubungan langsung dengan lingkungan
kerja penderita, misalnya polisi lalu lintas, pekerja pabrik asbes, pekerja
industri tekstil. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
d. Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan udara dingin juga dapat mempengaruhi asma.
Terkadang serangan asma berhubungan dengan musim.
e. Olahraga
Serangan asma timbul pada sebagian besar penderita jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga berat. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi setelah selesai aktivitas tersebut.
f. Infeksi saluran pernapasan.

10
C. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai
oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma (Menkes RI, 2008).
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran nafas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan allergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator

11
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi
beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat
nonspesifik (Baratawidjaja, 2006; Eapen,2002).
Dari jalur imunologis dan otonom maka akan timbul reaksi tubuh berupa
obstruksi saluran respiratori, hipersekresi mukus. Salah satu mekanisme adaptasi
terhadap penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan
hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat
menimbulkan hiperinflasi toraks.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatorny (Flitzgerland,
2010).

12
13
D. Klasifikasi
1. Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat
yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat.

14
15
2. Klasifikasi Menurut Serangan Asma
Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang
menyebabkan gangguan aliran udara serta mempunyai dampak terhadap
pengobatan. Serangan asma ringan timbul kadang-kadang, tidak terdapat atau
ada hiperreaktivitas bronkus yang ringan. Penderita asma berat mempunyai
saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk mengalami eksaserbasi
tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa (Bleecker, 2004).

16
E. Diagnosis
Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan
untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor
risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,
pengukuran respons dapat membantu diagnosis.

17
1. Anamnesis
Beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis
alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu
berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya
hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering
terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi
lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, terdapat bagian
yang lembab di dalam rumah. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum,
spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok
di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta
blocker, aspirin atau steroid.

18
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala dan serangan asma tergantung pada derajat serangannya. Pada
serangan ringan tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun
epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang
dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi,
retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat
dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis
atopi dapat ditemukan.
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lendir, udem
dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi
diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar
ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang
sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol Gejala dan serangan
asma tergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan tidak
dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas
masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai
adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan
frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai
tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.
(Institute of Health, 2007).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometri
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh
karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif

19
dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaanF EV1.
3. X-ray thorax
Untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
4. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism).
5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan
spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif
inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel
eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan
napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat
berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hiperreaktivitas Bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran
napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih
besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen
dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan
berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan

20
tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan
dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan
metakolin (Institute of Health, 2007)
G. Penatalaksanaan
1. Pengobatan pada Serangan Asma
Pengobatan berikut ini biasanya diberikan untuk dapat sesegera mungkin
mengatasi serangan asma
a. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 4-6 L/menit untuk mendapatkan saturasi O2 90% atau
lebih.
b. Beta 2-Agonis
Inhalasi Beta 2-Agonis aksi cepat umumnya diberikan secara nebulasi,
sebagai terapi awal dapat diberikan setiap 20 menit dalam 1 jam pertama.
Beta 2-agonis parenteral im atau sc dapat diberikan bila tidak ada respon
nebulisasi dosis tinggi.
c. Adrenalin (epinefrin)
Obat ini dapat diberikan secara intramuskuler atau subkutan bila:
- Agonis beta 2 tidak tersedia
- Tidak ada respon terhadap agonis beta 2 inhalasi.
d. Bronkodilator tambahan
Kombinasi nebulasi Beta 2-Agonis dengan antikolinergik (ipratropium
bromida) akan menghasilkan efek bronkodilatasi daripada diberikan secara
tunggal dan ini dapat dipertimbangkan sebelum pemberian aminofilin.
Peranan aminofilin dalam pengobatan eksaserbasi asma masi menjadi
perdebatan. Pemberian aminofilin iv di IGD tidak dianjurkan dalam 4 jam
pertama pengobatan, namun berperan pada pengobatan penderita eksaserbasi
asma akut yang dirawat, dan berperan pada pusat pernapasan maupun fungsi
otot pernapasan.
e. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik mempercepat resolusi eksaserbasi asma yang
refrakter terhadap bronkodilator, serta pemberian peroral sama efektifnya
dengan iv. Pemberian secara iv dapat dilakukan bila dianggap lebih

21
menguntungkan atau bila ada gangguan absorbsi intestinal. Kortikosteroid
sedikitnya membutuhkan waktu 4 jam untuk menghasilkan perbaikan klinis.
Kortikosteroid harus segera dimulai jika:
- Eksaserbasi derajat sedang atau berat
- Tidak tercapai perbaikan inhalasi Beta 2 Agonis
- Esaserbasi tetap terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan
kortikosteroid oral jangka panjang
- Riwayat eksaserbasi sebelumnya dengan kortikosteroid oral
f. Antibiotik
Antibiotik bukan merupakan bagian dari pengobatan eksaserbasi asma,
tetapi diindikasikan untuk pasien dengan tanda-tanda pneumonia, demam,
dan sputum purulen yang diduga ada infeksi bakterial, khususnya jika diduga
ada sinusitis bakterial.
g. Magnesium
Magnesium sulfat intravena (biasanya lewat infus dengan dosis tunggal
20g selama 20 menit), tidak direkomendasikan untuk pengunaan secara rutin
pada penanganan eksaserbasi asma. Tetapi dapat membantu mengurangi
tingkat admisi rawat inap, terutama pada pasien dengan FEV1 25 – 30%
prediksi saat datang, pasien dengan respon buruk setelah mendapatkan terapi
inisial.

22
Managemen eksaserbasi asma (GINA, 2015)

Kriteria serangan asma yang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit:


1. Respon terhadap pengobatan dalam 1-2 jam tidak adekuat.
2. Penyempitan berat saluran nafas menetap (APE < 40% perkiraan/ nilai
terbaik pribadi )

23
3. Riwayat asma berat, apalagi bila membutuhkan perawatan dirumah sakit.
4. Penderita dengan resiko tinggi.
5. Keluhan sudah berlansung lama sebelum datang ke rumah sakit.
6. Tempat tinggal jauh/ jelek kondisinya.
Kriteria untuk masuk Ruang Rawat Intensif:
1. Tidak ada respon terhadap pengobatan awal di bagian gawat darurat dan
atau keadaan memburuk dengan cepat.
2. Adanya disorientasi, mengantuk atau kehilangan kesadaran.
3. Adanya ancaman henti nafas: hipoksemia walaupun sudah diberi oksigen
(PO2 <60 mHg dan atau PCO2 >45 mmHg)
Diruang rawat intensif kemungkinan diperlukan tindakan intubasi bila:
1. Keadaan terus memburuk walaupun terapi sudah optimal.
2. Pasien kelelehan.
3. PCO2 meningkat.
Kriteria pulang dari IGD
Pasien dengan respon baik terhadap terapi di IGD (APE kembali menjadi ≥
70% ) perlu diobservasi sedikitnya 60 menit setelah dosis bronkodilator terakhir
untuk memastikan stabilnya respon sebelum dipulangkan ke rumah.

2. Pengobatan Asma Jangka Panjang


Penatalaksanaan asma bertujuan :
- Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma
- Pencegahan kekambuhan
- Mempertahankan fungsi paru senormal mungkin
- Mempertahankan kegiatan normal sehari-hari
- Menghindarkan efek samping obat-obat asma
- Mencegah terjadinya penyempitan saluran nafas yang bersifat
irreversibel
- Mencegah kematian karena asma.
Untuk mencapai tujuan diatas direkomendasikan 6 cara pendekatan dalam
penatalaksanaan asma ini :
- Mendidik pasien berperan serta dalam pengobatan asmanya

24
- Menilai dan memantau beratnya asma berdasarkan keluhan dan fungsi
paru sebanyak mungkin
- Mencegah dan mengendalikan pencetus asma
- Menentukan rencana pengobatan jangka panjang secara individual
- Menentukan rencana penanggulangan kekambuhan secara individual
- Menyediakan kontrol yang teratur

Untuk mencapai tujuan pengobatan ini diperlukan obat-obat pengontrol


(controller) dan obat-obat pelega (reliever).
Obat-obatan pada asma terdiri dari pengontrol (controller) dan pelega
(reliever). Obat-obat pengontrol adalah obat-obat yang diberikan tiap hari untuk
jangka lama untuk mengontrol asma persisten. Termasuk kedalam golongan ini
adalah :
1. Kortikosteroid inhalasi
2. Kortikosteroid sistemik
3. Natrium kromolin

25
4. Natrium nedokromil
5. Teofilin lepas lambat
6. Agonis beta-2 inhalasi aksi lama
7. Agonis beta-2 oral aksi lama
Dewasa ini pengontrol yang paling efektif adalah kortikosteroid inhalasi.
Obat-obat pelega adalah yang bekerja cepat untuk menghilangkan konstriksi
bronkus beserta keluhan yang menyertainya.Termasuk kedalam golongan ini
adalah:
1. Agonis beta-2 inhalasi
2. Kortikosteroid sistemik
3. Antikolinergik inhalasi
4. Teofilin kerja singkat
5. Agonis beta-2 oral kerja singkat
6. Agonis beta-2 inhalasi merupakan obat pilihan untuk pengobatan asma
eksaserbasi akut dan pencegahan pada exercise induce asthma.

26
Pengobatan berdasarkan beratnya penyakit:

27
28
29
30
31
Pencegahan
1. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi
(terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau
pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain
menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak
ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma.
2. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai factor (trigger) seperti
alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur,
alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat).
Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan
merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat
yang menimbulkan gejala. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak
faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan.
Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor,
makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

32
DAFTAR PUSTAKA

Bernstein JA. Asthma in handbook of allergic disorders. Philadelphia: Lipincott


Williams & Wilkins, USA, 2003,73-102.
Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar
SP, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh WA.editor.
Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas
Medical Publishers; 2006.707-36.
Augusto A. Asthma and obesity: Common early-life influences in the inception of
disease JACI.2008 Mei; 121.(5):1075.
Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke-4. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. pp 978-87.
Alsagaff H, Mukty A. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke-2. Surabaya :
Airlangga University Press. 2002. pp 263- 300.
Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur
Respir Rev 2007; 16: 104, 67–72
Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian Paru RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari-Desember 2005. Pekanbaru :
Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2006.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2008.
Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2003. pp 27.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. pp 477-82.
Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. Nopember 2008; 58(11), 444-51.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma
di Indonesia. 2003.

33

Vous aimerez peut-être aussi