Vous êtes sur la page 1sur 4

Akar Masalah tragedi Christchurch

Diterjemahkan dari tulisan Wajahat Ali pada harian New York Times 19 Maret 2019. Ia
merupakan seorang dramawan dan pengacara.

Bagi muslim, shalat jumat layaknya ibadah minggu bagi umat Kristen. Kami berangkat menuju
masjid terdekat, tempat suci kami. Keluarga kami berkumpul di pertengahan sore untuk
beribadah secara berjamaah. Anak-anak berlarian di pelataran sementara imam membaca
quran dengan Bahasa arab. Kami makan Bersama dan beramah-tamah di halaman luar.

Minggu lalu, sementara kita yang berada di Amerika Serikat menghadiri shalat jumat, muslim
di Christchurch, NZ, sedang menyiapkan prosesi pemakaman.

Masyarakat di berbagai belahan dunia turut memanjatkan doa kepada setiap korban di
Christchurch setelah serangan teroris pada dua masjid. Otoritas Selandia Baru mengatakan
seorang Australia berumur 28 tahun berjalan masuk ke dalam dua masjid dengan senapan
serbu dan membunuh setidaknya 50 orang. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern
menyebut tindakan ini sebagai “tindakan kekerasan yang luar biasa/melampaui batas dan
belum pernah terjadi sebelumnya.”

Perhatian dan doa tidaklah cukup. Serangan ini adalah perwujudan/penjelmaan terkini dari
merebak/tumbuhnya dan mengglobalnya ideologi nasionalisme kulit putih yang harus
ditangani dari akarnya- yaitu termasuk politisi arus utama dan oknum/tokoh media yang
memelihara, mempromosikan, dan mewajarkan ideologi ini.

Jika 74 halaman manifesto dan unggahan di media social dapat dipercaya, lelaki ini
terinspirasi oleh struktur ideologi daring yang sedang berkembang yang merekrut dan
meradikalisasi mereka-yang kebanyakan lelaki- untuk menyelamatkan “peradaban barat”
dari “serbuan” asing.

Kita telah menyaksikan hal ini sebelumnya. Pembenaran yang dikemukan oleh pria bersenjata
terhadap aksi terornya serupa dengan apa yang tertuang dalam manifesto 1500 halaman
yang diunggah oleh Anders Breivik sebelum ia membunuh 77 orang pada 2011. Breivik ingin
menghukum Eropa karena multikulturalisme dan penerimaannya terhadap imigran Muslim.
Manifesto dan serangannya dikatakan telah menginspirasi Christopher Hasson seorang
nasionalis kulit putih, yang baru-baru ini ditangkap dengan tuduhan menimbun/menyimpan
senjata dengan maksud melakukan pembunuhan masal, terutama terhadap Muslim.

Jika ide mengenai Muslim sebagai ancaman terdengar akrab di telinga, salah satunya
disebabkan ide ini digunakan oleh Presiden Trump untuk mendesak dibangunnya tembok
demi menjaga Amerika Serikat dari serbuan “kafilah” migran Amerika Tengah yang mencari
suaka. Trump menyatakan/menegaskan bahwa “warga timur tengah” berada dalam kafilah
tersebut, sebuah klaim yang ia akui tidak dapat ia sokong dengan fakta. Selama perjalanan
musim panas ke Inggris, Trump mewanti-wanti bahwa Inggris sedang kehilangan
peradabannya dan kebijakan imigrasi telah “merubah struktur/susunan/rangka/bangunan
eropa- dan kecuali kalian bertindak dengan cepat, situasi ini tidak akan kembali seperti
sediakala.”

Membuktikan kebijakan larangan bepergian yang ditujukan kepada sebagian besarnya negara
Islam, Trump berkata, “Kurasa Islam membenci kita”, berbohong bahwa ia melihat Muslim
merayakan serangan 11 September, dan meretweet video palsu mengenai pengungsi muslim
yang melakukan kekerasan yang diposting oleh kelompok anti muslim ekstrim. Tidak
mengherankan jika manifesto Chrisctchurch memuji Trump sebagai “simbol pembaruan
identitas kulit putih dan tujuan bersama.”

Jelas bahwa bahaya nasionalisme kulit putih tidak terbatas pada Amerika Serikat semata.
Serangan ini adalah peringatan bahwa ideologi berbahaya ini juga mengancam komunitas
imigran dimanapun, yang juga disulut oleh pemimpin-pemimpin di seluruh dunia.

Australia, dimana pria bersenjata tersebut mengaku berasal darinya, memiliki banyak retorika
anti muslim dan xenophobia versi mereka di dalam negeri.

Pada 2015, satu pergerakan yang dinamai Reclaim Australia mengadakan demo menentang
“penerapan hukum sharia di Australia” dan “pengajaran Islam di sekolah negeri.” The
Conversation melaporkan bahwa plakat yang ditunjukkan oleh grup tersebut saat demo
bertuliskan “Islam adalah musuh barat.” Tujuan utama kebijakan dari partai politik ultra-
kanan/ekstrim kanan Australian Liberty Alliance adalah untuk “menghentikan islamisasi
Australia.” Website mereka memperingatkan, “Islam tidak sekedar agama, ia adalah ideologi
totaliter dengan cita-cita menguasai dunia.”

Sementara PM Australia Scott Morrison menjuluki/menyebut pelaku/tersangka penembakan


sebagai “teroris sayap kanan ekstrimis bengis,” senator Australia, Fraser Anning, merespon
penembakan Christchurch dengan menyalahkan “kebijakan imigrasi yang mempersilahkan
fanatic muslim untuk bermigrasi ke New Zealand awalnya.”

Tampak bahwa senator ini berbagi sentimen yang sama dengan pelaku pembunuhan masal.

Pada manifesto-nya, pria bersenjata, yang menyebut dirinya sendiri sebagai “pria kulit putih
biasa,” menulis bahwa ia melakukan serangan untuk “secara langsung mengurangi laju
imigrasi ke tanah-tanah Eropa dengan mengintimidasi dan secara fisik
menyingkirkan/menghapus penyerbu itu dengan tangannya sendiri.”

Manifesto ini menyingkap suatu obsesi terhadap supremasi kulit putih, mendiskusikan
peperangan Vienna tahun 1683, yang dipuja-puja oleh nasionalis kulit putih dan juga oleh
Breivik sebagai saat-saat genting dimana Eropa berhasil mencegah Kerajaan/kekaisaran
Ottoman untuk maju dan menjaganya/melindunginya dari Islam. Sebuah tulisan yang
tercoret/tergores pada senjata pria kulit putih tampak merujuk kepada peperangan militer
seperti Siege of Acre tahun 1189, kemenangan pada pihak tantara salib yang bertujuan untuk
merebut kembali Jerusalem dari tangan Muslim. Ia juga menyebut Alexandre Bissonnette,
yang menembak dan membunuh enam orang di Masjid Quebec pada 2017 dan dikenal
sebagai nasionalis kulit putih dengan kebencian/kedendaman/kesebalan/kemarahan
terhadap imigran dan muslim.
Ide, sumber inspirasi, dan suporternya, akrab di telinga saya. Sebagai peneliti untuk
investigasi Center for American Progress Action Fund di tahun 2011 berjudul “Fear Inc.: The
Roots of the Islamophobia Network in America,” aku berusaha mengaitkan/mempertautkan
konspirasi anti muslim ekstrim-seperti ancaman penerapan hokum Syariah di AS yang dibuat-
buat- dengan sumber pendanaan, Lembaga thingk-thank, tokoh media, kelompok akar
rumput, dan politisi yang menciptakan dan mempromosikan hal tersebut.

Entitas ini telah bekerjasama untuk memperkuat pesan bahwa Muslim Amerika secara
inheren radikal dan menunjukkan/menggambarkan “bom waktu demografis” yang akan
menyusul/mengejar jumlah populasi kulit putih. Breivik secara berulang mengutip grup dan
orang-orang ini, yang kebanyakan mereka sekarang terkait erat dengan pemerintahan Trump.
Meskipun mereka tidak dapat disalahkan atas kekerasan yang dilakukan Breivik, meski begitu
Marc Sageman, mantan perwira CIA dan konsultan terorisme, berkata Breivik muncul dari
jaringan ideologi yang sama.

Di antara motivasi utama kaum nasionalis kulit putih adalah teori konspirasi “the great
replacement (penggantian agung/besar).” Mereka takut orang-orang Yahudi, kulit hitam, dan
Muslim akan menggantikan orang kulit putih dan pada akhirnya mengungguli mereka. Yahudi
seringkali dipandang sebagai kepala komplotan rahasia kejam, pusat urat saraf, yang
menggunakan kekayaan dan kuasa tak terbatas mereka untuk mengurangi dan melemahkan
pria kulit putih.

Pada bulan Oktober, Robert Bowers berjalan menuju sinagog pohon kehidupan (Tree of Life)
di Pittsburgh dan membunuhi 11 Yahudi yang sedang beribadah. Dia mengunggah postingan
di jejaring social sayap-kanan Gab bahwa HIAS, agensi yang mengurusi pengungsi Yahudi,
“senang membawa penjajah/penyerbu masuk ke negara kita dan membunuhi orang-orang
kita” dan “aku tidak mampu duduk diam dan menyaksikan orang-orangku dibantai.” Dia juga
membagikan ulang sebuah postingan tentang menghukum “setan najis Yahudi” karena telah
membawa “setan najis Muslim ke negaranya.” Hal ini senada dengan teori konspirasi anti
semit tentang miliarder yahudi George Soros yang dituduh membiayai kafilah migran-sebuah
kebohongan yang dipromosikan/diangkat oleh President Trump dan tokoh konservatif
lainnya.

Anggota DPR Steve King, baru-baru ini bertanya, “Nasionalis kulit putih, supremasi kulit putih,
peradaban barat- bagaimana bisa kata-kata itu membuat orang tersinggung sekarang? Satu
waktu dia mencuit, “Kita tak mungkin dapat
mengembalikan/memulihkan/memperbarui/memperbaiki peradaban kita dengan bayi orang
lain,” merujuk kepada anak-anak imigran Latin. Steve Bannon, mantan penasihat kepala
Presiden Trump dan mantan kepala Breitbart News,
merekomendasikan/mempromosikan/menyarankan/menganjurkan novel dystopia rasis
berjudul “Camp of the Saints,” menceritakan imigran kulit coklat yang menyerbu dan
mengambil alih Perancis.

Sementara berita penembakan di NZ merebak, Presiden Trump mencuit sebuah tautan-yang


segera dihapus/telah dihapus- menuju halaman awal Breitbart News, situs yang secara rutin
menerbitkan teori konspirasi anti-muslim dan anti-imigran.
Saat mempelajari pembantaian Christchurch, seorang teman Muslim mengirimkan pesan
kepada saya, “Bagaimana kita menjaga anak-anak kita tetap aman?”

Aku tidak memiliki jawaban yang tepat. Tapi aku tahu ancaman yang kita hadapi bukan hanya
terorisme individu. Kita menghadapi ideologi nasionalisme kulit putih dan supremasi kulit
putih global.

Kita harus menganggap serius hal ini, dan berteriak kepada politisi, akademisi, dan tokoh
media yang memberikan panggung kepada mereka dengan alasan memahami kedua bilah
pihak, merawat debat, atau menghindari political correctness.

Harga yang dibayarkan terlalu mahal. Lihatlah Christchurch dan 50 kaum muslimin yang
harusnya telah berkumpul di rumah Bersama keluarga dan komunitas namun malah
menghadiri ibadah terakhir mereka.

Vous aimerez peut-être aussi