Vous êtes sur la page 1sur 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan keperawatan merupakan pelayanan utama dari pelayanan rumah
sakit. Hal ini terjadi karena pelayanan keperawatan diberikan selama 24 jam kepada
pasien yang membutuhkannya, berbeda dengan pelayanan medis dan pelayanan
kesehatan lainnya yang hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada kliennya. Dengan demikian pelayanan
keperawatan perlu ditingkatkan kualitasnya secara terus-menerus dan
berkesinambungan sehingga pelayanan rumahsakit akan meningkat juga seiring
dengan peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.

Sejarah evidence base pada tahun 1970 ketika archie Cochrane menegaskan
perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah
(scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait dengan evidence
base, diantaranya evidence base medicine (EBM), evidence base practice in nursing
(EBPN), dan evidence base practice (EBP).

Evidence-Based Practice in Nursing (EBPN), merupakan pendekatan yang


dapat digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence
atau fakta. Selama ini, khususnya dalam keperawatan, seringkali ditemui praktik-
praktik atau intervensi yang berdasarkan “biasanya juga begitu”. Sebagai contoh,
penerapan kompres dingin dan alcohol bath masih sering digunakan tidak hanya
oleh masyarakat awam tetapi juga oleh petugas kesehatan, dengan asumsi dapat
menurunkan suhu lebih cepat, sedangkan penelitian terbaru mengungkapkan bahwa
penggunaan kompres hangat dan teknik tepid sponge meningkatkan efektifitas
penggunaan kompres dalam menurunkan suhu tubuh.

Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific


dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat

1
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini tentunya diperlukan hal-hal yang dapat
menjamin mutu suatu praktek keperawataan berbasis bukti.

Institute of medicine (IOM), 1990 mendefinisikan bahwa mutu layanan


kesehatan adalah derajat ketika layanan kesehatan bagi individu maupun populasi
yang meningkatkan probabilitas, hasil akhir kesehatan yang diinginkan dan
konsisten dengan pengetahuan professional saat ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Penjaminan mutu dalam praktek keperawatan neurosains
berbasis bukti?
2. Apa tujuan mengetahui Penjaminan mutu dalam praktek keperawatan
neurosains berbasis bukti?
3. Apa saja metode yang bisa diterapkan untuk Penjaminan mutu dalam praktek
keperawatan neurosains berbasis bukti?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang Penjaminan mutu dalam praktek
keperawatan neurosains berbasis bukti
2. Untuk mengetahui tujuan dalam Penjaminan mutu dalam praktek keperawatan
neurosains berbasis bukti
3. Untuk mengetahui metode yang dapat diterapkan dalam Penjaminan mutu
dalam praktek keperawatan neurosains berbasis bukti

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Mutu Pelayanan Kesehatan


Mutu layanan kesehatan adalah implikasi yang berbeda bagi penyedia layanana
kesehatan, pasien, pembayar pihak ketiga, pembuat kebijakan, dan pihak
berkepentingan lainnya.
Institute of medicine (IOM), mendefinisikan bahwa mutu layanan kesehatan adalah
derajat ketika layanan kesehatan bagi individu maupun populasi yang meningkatkan
probabilitas, hasil akhir kesehatan yang diinginkan dan konsisten dengan pengetahuan
professional saat ini. Definisi tersebut menghasulkan beberapa aspek mutu yaitu :
a) Layanan kesehatan bermutu tinggi harus mencapai hasil akhir kesehatan yang
diinginkan bagi individu yang sesuai dengan pilihan mereka yang beragam.
b) Layanan kesehatan harus mencapai hasil akhir kesehatan yang diinginkan bagi
populasi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang efisiensi pembuat
kebijakan dan pembayar pihak ketiga.
Avedis Donabedian 1986, mendefinisikan mutu sebagai empat komponen diantaranya :
1) Manajemen teknis kesehatan dan penyakit
2) Manajemen hubungan antar personal antara penyedia layanan dan klien mereka
3) Fasilitas layanan
4) Prinsip etis yang mengatur manajemen masalah secara umum dan industri
layanan kesehatan secara khusus

B. Sejarah Mutu dan Peningkatan Kinerja


Codex Hammurabi sekitar 1700 SM menjatuhkan beberapa bentuk hukuman
termasuk kematian bagi dokter dan perawat yang memberikan perawatan bermutu
buruk. Sekitar 400 SM sumpah Hippocrates, yang di peloporkan oleh Spiegel &
Springer tahun 1997 yaitu mengingatkan dokter untuk menjaga pasien dari “bahaya atau
ketikadilan”. Sumpah tersebut tetap di patuhi dan di masukkan ke dalam pendidikan
kedokteran dan berkembang selama abad terakhir menjadi kode etik professional.
sejarah modern terkait mutu dan peningkatan kinerja dalam jasa layanan kesehatan
dapat dibagi menjadi tiga era yang relative berbeda, yaitu :

3
a) Jaminan Mutu (Quality Assurance, QA)
b) Peningkatan Mutu Berkelanjutan (Continuous Quality Improvement, CQI)
c) Perbaikan sistem (System Improvement)
Hingga saat ini teknik dan praktik yang digunakan untuk memperbaiki system layanan
kesehatan di seluruh Indonesia adalah QA dan CQI.

C. Konsep Teoritis Penjaminan Mutu


Penjaminan mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu
pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan
pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan. Khusus Pelayanan Kesehatan
Penjaminan mutu pelayanan kesehatan adalah proses penetapan dan pemenuhan standar
mutu pengelolaan pelayanan kesehatan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga
stakeholders memperoleh kepuasan. (Suryadi,2009)
1. Peran Komite Keperawatan dalam Pengawasan Mutu
Komite keperawatan memiliki tujuan untuk mewujudkan profesionalisme
dalam pelayanan keperawatan, memberikan masukan kepada pimpinan rumah sakit
berkaitan dengan profesionalisme perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan, menyelesaikan masalah – masalah terkait dengan penerapan disiplin
dan etik keperawatan serta meningkatakan mutu pelayanan keperawatan.

Peran komite keperawatan dalam pengawasan mutu adalah sebagai berikut


1) Memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan profesi keperawatan melalui
kegitan terorganisasi.
2) Mempertahankan pelayanan keperawatan berkualitas dan aman bagi pasien.
3) Menjamin tersedianya perawat yang kompeten, etis sesuai dengan
kewenangannya.
4) Menyelesaikan masalah keperawatan yang terkait dengan disiplin, etik dan
moral perawat.
5) Melakukan kajian berbagai aspek keperawatan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan.
6) Menjamin diterapkannya standar praktik, asuhan dan prosedur keperawatan.
7) Membangun dan membina hubungan kerja tim di dalam rumah sakit.

4
8) Merancang, mengimplementasikan serta memantau dan menilai ide – ide baru.
9) Mengkomunikasikan, mendidik, negosiasi dan merekomendasikan hasil kinerja
perawat untuk pengembangan karir. (Ayun,2014)

2. Sejarah Perkembangan Manajemen Mutu


Sejarah perkembangan manajemen mutu didunia dimulai dari Jepang. Para
pengusaha mengundang konsultan mutu dari Amerika Serikat kemudian
mengadopsi dan menyebarkannya ke seluruh dunia menggunakan berbagai
pendekatan.
Gerakan pengembangan mutu di Amerika Serikat dimulai tahun 1930. Dua
tokoh penting yang dianggap sebagai bapak manajemen mutu di negeri ini adalah
Edwards E. Demming dan Joseph Juran. Kedua tokoh manajemen mutu inilah yang
mengembangkan prinsip-prinsip dasar manajemen mutu di Jepang dan
memengaruhi perubahan paradigm perushaan jepang dari konsep produk yang
berstandar (product-out concept) ke konsep produk yang standarnya disesuaikan
dengan kebutuhan pasar (market-in product). Dengan pendekatan manajemen mutu,
Jepang juga mampu bangkit dan memulihkan kehidupan perekonomian Negara
setelah kalah dalam perang dunia kedua. Sistem TQC yang dikembangkan di
Jepang adalah kunci keberhasilannya. Di Indonesia pun terdapat modifikasi
penerapan TQC yang disebut sebagai Total Quality Management (TQM) atau yang
lebih dikenalnya Program Jaminan mutu (PJM).
Terdapat dua tujuan PJM, yaitu :
1) Tujuan (sasaran) antara, pimpinan dan staf institusi kesehatan harus
merumuskan masalah mutu produk jasa pelayanannya. Rumusan masalah
dijadikan dasar penetapan tujuan peningkatan mutu. Startegi ini disebut
bencmarking.
2) Tujuan (sasaran) akhir, tujuan akhir menjaga mutu pelayanan institusi
kesehatan adalah meningkatnya mutu produk atau jasa pelayanan kesehatan
dikaitkan dengan kepuasan jasa pelayanan.

5
Manfaat penerapan PJM
Institusi pelayanan kesehatan yang mengembangkan PJM secara konsisten
dan berkelanjutan akan mendapat manfaat :
1) Meningkatnya efektivitas pelayanan kesehatan tersebut
2) Terjaminnya efisiensi manajemen pelayanan kesehatan
3) Masyarakat menerima produk jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhannya
4) Para petugas kesehatan akan terlindungi jika terjadi gugatan hukum.

Faktor-faktor yang memengaruhi PJM


Arah dan sasaran pengembangan mutu harus ditetapkan lebih dahulu oleh
pihak manajemen institusi kesehatan. Dengan pendekatan dan analisis sistem,
mutu pelayanan kesehatan dapat dikaji berdasarkan output (keluaran) sistem
pelayanan kesehatan (intermediate output) dan hasil akhir PJM (outcome). Output
sistem pelayanan kesehatan akan dipengaruhi oleh tiga komponen sistem yang
lain, yaitu:
1) Input-masukan (dana,tenaga, dan sarana/prasarana)
2) Proses (tindakan medis dan nonmedis)
3) Lingkungan (kebijakan, institusi, dan manajemen.

3. Kualitas Pelayanan (TQM)


1) Definisi TQM
Total Quality Management adalah kualitas menjadi hal utama yang menjadi
titik fokus setiap perusahaan. Berbagai hal dilakukan untuk meningkatkan
kualitas yang diterapkan pada produk, pelayanan dan manajemen perusahaan.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, lahirlah suatu inovasi yang
dikenal dengan TQM. Menurut Tjiptono & Anastasia TQM merupakan suatu
pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan
daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa,
manusia, proses, dan lingkungannya.
Dalam kualitas pelayanan yang baik, terdapat beberapa jenis kriteria pelayanan,
antara lain adalah sebagai berikut :

6
• Ketepatan waktu pelayanan, termasuk didalamnya waktu untuk menunggu
selama transaksi maupun proses pembayaran.
• Akurasi pelayanan, yaitu meminimalkan kesalahan dalam pelayanan maupun
transaksi.
• Sopan santun dan keramahan ketika memberikan pelayanan.
• Kemudahan mendapatkan pelayanan, yaitu seperti tersedianya sumber daya
manusia untuk membantu melayani konsumen, serta fasilitas pendukung
seperti komputer untuk mencari ketersediaan suatu produk.
• Kenyaman konsumen, yaitu seperti lokasi, tempat parkir, ruang tunggu yang
nyaman, aspek kebersihan, ketersediaan informasi, dan lain sebagainya

2) Dimensi Kualitas Pelayanan


a. Tangibles
Tangibles adalah bukti konkret kemampuan suatu perusahaan untuk
menampilkan yang terbaik bagi pelanggan. Baik dari sisi fisik tampilan
bangunan, fasilitas, perlengkapan teknologi pendukung, hingga penampilan
karyawan.
b. Reliability
Reliability adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang
sesuai dengan harapan konsumen terkait kecepatan, ketepatan waktu, tidak ada
kesalahan, sikap simpatik, dan lain sebagainya.
c. Responsiveness
Responsiveness adalah tanggap memberikan pelayanan yang cepat atau
responsif serta diiringi dengan cara penyampaian yang jelas dan mudah
dimengerti.
d. Assurance
Assurance adalah jaminan dan kepastian yang diperoleh dari sikap sopan santun
karyawan, komunikasi yang baik, dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga
mampu menumbuhkan rasa percaya pelanggan.

7
e. Empati
Empati adalah memberikan perhatian yang tulus dan bersifat pribadi kepada
pelanggan, hal ini dilakukan untuk mengetahui keinginan konsumen secara
akurat dan spesifik.

3) Prinsip - Prinsip TQM


Prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar 5 pilar sistem
yaitu; Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan, dan Komitmen. Pendapat lain
dikemukakan oleh Hensler dan Brunnell (dalam Scheuing dan Christopher,
1993: 165-166) yang dikutip oleh Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U. dalam
bukkunya yang berjudul Manjemen Mutu Terpadu, mengatakan bahwa TQM
merupakan suatu konsep yang berupaya, melaksanakan sistem manajemen
kualitas kelas dunia. Untuk itu, diperlukan perubahan besar dalam budaya dan
sistem nilai suatu organisasi. ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu :

a. Kepuasan PelangganDalam Total Quality Management


Konsep mengenai kualitas dan pelanggan diperluas. Kualitas tidak hanya
bermakna kesesuaian dengan spesifikasi tertentu, tetapi kualitas tersebut
ditentukan oleh pelanggan. Kebutuhan pelanggan diusahakan untuk
dipuaskan dalam segala aspek, termasuk dalam harga, keamanan, dan
ketepatan waktu.
b. Respek terhadap setiap orang
Dalam perusahaan berkualitas, setiap karyawan dipandang sebagai individu
yang memiliki talenta dan kreatifitas yang khas. Dengan demikian, karyawan
merupakan sumber daya organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu,
setiap orang dalam organisasi diperlukan dengan baik dan diberikan
kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim pengambil keputusan.
c. Manajemen berdasarkan fakta
Perusahaan kelas berkualitas berorientasi pada fakta, maksudnya bahwa
setiap keputusan selalu didasarkan pada data, bukan sekedar pada perasaan.
Ada dua konsep pokok yang berkaitan dengan hal ini:

8
(1) prioritas, yakni suatu konsep yang menyatakan bahwa perbaikan tidak
dapat dilakukan pada semua aspek pada saat yang bersamaan, mengingat
keterbatasan sumber daya yang ada;
(2) variasi atau variabilitas kinerja manusia, variasi/variabilitas (keragaman)
kinerja/kemampuan dari setiap anggota merupakan bagian yang wajar dari
setiap sistem organisasi. Maksudnya, setiap perbedaan yang terjadi dikaji,
kemudian ditetapkan langkah/kebijakan yang paling sesuai untuk diterapkan.
Dengan demikian, manajemen dapat memprediksikan hasil dari setiap
keputusan dan tindakan yang dilakukan.
d. Perbaikan yang berkesinambungan
Agar dapat sukses, setiap perusahaan perlu melakukan proses sistematis
dalam melaksanakan perbaikan secara berkesinambungan. Konsep yang
berlaku disini adalah siklus PDCAA (plan-do-check-act-analyze), yang terdiri
dari langkah-langkah perencanaan, dan melakukan tindakan koreksi terhadap
hasil yang diperoleh.

4) Metode Total Quality Management


Pembahasan mengenai metode TQM difokuskan pada tiga pakar utama
yang merupakan pelopor dalam pengembangan TQM. Mereka adalah W.
Edwards Deming, Joseph M. Juran, dan Philip B. Crosby.
a. Metode W. Edwards Deming
Selama ini Deming dikenal sebagai Bapak gerakan TQM. Deming mencatat
kesuksesan dalam memimpin revolusi kualitas di Jepang, yaitu dengan
memperkenalkan penggunaan teknik pemecahan masalah dan pengendalian
proses statistic (statistical process control = SPC). Deming menganjurkan
penggunaan SPC agar perusahaan dapat membedakan penyebab sistematis
dan penyebab khusus dalam menangani kualitas. Ia berkeyakinan bahwa
perbedaan atau variasi merupakan suatu fakta yang tidak dapat dihindari
dalam kehidupan industri.
Siklus Deming (Deming Cycle), Siklus ini dikembangkan untuk
menghubungkan antara operasi dengan kebutuhan pelanggan dan
memfokuskan sumber daya semua bagian dalam perusahaan (riset, desain,

9
operasi, dan pemasaran) secara terpadu dan sinergi untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Siklus Deming adalah model perbaikan
berkesinambungan yang dikembangkan oleh W. Edward Deming yang terdiri
atas empat komponen utama secara berurutan yang dikenal dengan siklus
PDCA (Plan-Do-Check-Act)
b. Metode Joseph M. Juran
Juran mendefinisikan kualitas sebagai cocok / sesuai untuk digunakan (fitness
for use), yang mengandung pengertian bahwa suatu barang atau jasa harus
dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh para pemakainya. Satu kontribusi
Juran yang paling terkenal adalah Juran’s Three Basic Steps to Progress,
diantaranya :
• Mencapai perbaikan terstruktur atas dasar kesinambungan yang
dikombinasikan dengan dedikasi dan keadaan yang mendesak.
• Mengadakan program pelatihan secara luas. c.Membentuk komitmen dan
kepemimpinan pada tingkat manajemen yang lebih tinggi.
c. Metode Philip B. Crosby
Crosby terkenal dengan anjuran manajemen zero defect dan pencegahan.
Dalil manajemen kualitas menurut Crosby adalah sebagai berikut :
• Definisi kualitas adalah sama dengan persyaratan. Pada awalnya
kualitas diterjemahkan sebagai tingkat kebagusan atau kebaikan
(goodness). Definisi ini memiliki kelemahan, yaitu tidak menerangkan
secara spesifik baik/bagus itu bagaimana. Definisi kualitas menurut
Corsby adalah mememnuhi atau sama dengan persyaratan
(conformance to requirements). Kurang sedikit saja dari persyaratannya
maka suatu barang atau jasa dikatakan tidak berkualitas. Persyaratan
tersebut dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan, kebutuhan
organisasi, pemasok dan sumber, pemerintah, teknologi, serta pasar
atau persaingan.
• Sistem Kualitas adalah pencegahan pada masa lalu, sistem kualitas
adalah penilaian (appraisal). Suatu produk dinilai pada akhir proses.
Penilaian akhir ini hanya menyatakan bahwa apabila baik, maka akan
diserahkan kepada distributor, sedangkan bila buruk akan disingkirkan.

10
Penilaian seperti ini tidak menyelesaikan masalah, karena yang buruk
akan selalu ada. Maka dari itu, sebaiknya dilakukan pencegahan dari
awa sehingga outputnya dijamin bagus serta hemat biaya dan waktu.
Dalam hal ini dikenal the law of tens, bila kita menemukan suatu
kesalahan di awal proses, biayanya hanya satu rupiah. Akan tetapi, bila
ditemukan di proses kedua, maka biayanya menjadi 10 rupiah. Atas
dasar itulah sistem kualitas menurut Corsby merupakan pencegahan.
• Kerusakan Nol (zero defect) merupakan standar kinerja yang harus
digunakan
Konsep yang berlaku di masa lalu, yaitu konsep mendekati (close
enough concept), misalnya efisiensi mesin mendekati 95 persen.
Namun, coba dihitung berapa besarnya inefisiensi 5 persen bila
dikalikan dengan penjualan. Bila diukur dalam rupiah, maka baru
disadari besar sekali nilainya. Orang sering terjebak dengan nilai
persentase, sehingga Crosby mengajukan konsep kerusakan nol, yang
menurutnya dapat tercapai bila perusahaan melakukan sesuatu dengan
benar sejak pertama proses dan setiap proses.

4. Penilaian Kinerja Perawat


Penilaian kinerja disebut juga sebagai performance appraisal, performance
evaluation, development review, performance review and development. Penilaian
kinerja merupakan kegiatan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, penilaian kinerja harus
berpedoman pada ukuran–ukuran yang telah disepakati bersama dalam standar
kerja (Usman,2011)
Penilaian kinerja perawat merupakan mengevaluasi kinerja perawat sesuai
dengan standar praktik professional dan peraturan yang berlaku. Penilaian kinerja
perawat merupakan suatu cara untuk menjamin tercapainya standar praktek
keperawatan. Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh
manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas. Proses
penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam mengarahkan perilaku
pegawai, dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan dalam kualitas dan volume

11
yang tinggi. Perawat manajer dapat menggunakan proses operasional kinerja untuk
mengatur arah kerja dalam memilih, melatih, membimbing perencanaan karier serta
memberi penghargaan kepada perawat yang berkompeten

Manfaat dari penilaian kerja yaitu:


a. Meningkatkan prestasi kerja staf secara individu atau kelompok dengan
memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi
diri dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan di rumah sakit.
b. Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada gilirannya
akan mempengaruhi atau mendorong sumber daya manusia secara
keseluruhannya.
c. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan
hasil karya dan prestasi dengan cara memberikan umpan balik kepada mereka
tentang prestasinya.
d. Membantu rumah sakit untuk dapat menyusun program pengembangan dan
pelatihan staf yang lebih tepat guna, sehingga rumah sakit akan mempunyai
tenaga yang cakap dan trampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan
dimasa depan.
e. Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan
meningkatkan gajinya atau sistem imbalan yang baik.
f. Memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan
perasaannya tentang pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui
jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempererat hubungan antara
atasan dan bawahan.

Standar pelayanan keperawatan adalah pernyataan deskriptif mengenai


kualitas pelayanan yang diinginkan untuk menilai pelayanan keperawatan yang
telah diberikan pada pasien. Tujuan standar keperawatan adalah meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan, mengurangi biaya asuhan keperawatan, dan
melindungi perawat dari kelalaian dalam melaksanakan tugas dan melindungi
pasien dari tindakan yang tidak terapeutik. Dalam menilai kualitas pelayanan
keperawatan kepada klien digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan

12
pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktek
keperawatan telah di jabarkan oleh PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesi)
(2000) yang mengacu dalam tahapan proses keperawatan yang meliputi: (1)
Pengkajian; (2) Diagnosa keperawatan; (3) Perencanaan; (4) Implementasi; (5)
Evaluasi.

a. Standar Satu: Pengkajian Keperawatan


Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sistematis,
menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan. Kriteria pengkajian
keperawatan, meliputi:
a) Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesa, observasi, pemeriksaan
fisik serta dari pemeriksaan penunjang.
b) Sumber data adalah klien, keluarga, atau orang yang terkait, tim kesehatan,
rekam medis, dan catatan lain.
c) Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi:
1. Status kesehatan klien masa lalu
2. Status kesehatan klien saat ini
3. Status biologis-psikologis-sosial-spiritual
d) Respon terhadap terapi
e) Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal
f) Resiko-resiko tinggi masalah

b. Standar Dua: Diagnosa Keperawatan


Perawat menganalisa data pengkajian untuk merumuskan dignosa keperawatan.
Adapun kriteria proses:
a) Proses diagnosa terdiri dari analisa, interpretasi data, identifikasi masalah
klien, dan perumusan diagnosa keperawatan.
b) Diagnosa keperawatan terdiri dari: masalah (P), Penyebab (E), dan tanda
atau gejala (S), atau terdiri dari masalah dan penyebab (PE).
c) Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi
diagnosa keperawatan.

13
d) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data
terbaru.

c. Standar Tiga: Perencanaan Keperawatan


Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan
meningkatkan kesehatan klien. Kriteria prosesnya, meliputi:
a) Perencanaan terdiri dari penetapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana
tindakan keperawatan.
b) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan.
c) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien.
d) Mendokumentasi rencana keperawatan.

d. Standar Empat: Implementasi


Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam rencana
asuhan keperawatan. Kriteria proses, meliputi:
a) Bekerja sama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan
b) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
c) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.
d) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep
keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan
yang digunakan.
e) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan
berdasarkan respon klien.

e. Standar Lima: Evaluasi Keperawatan


Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam
pencapaian tujuan dan merevisi data dasar dan perencanaan. Adapun kriteria
prosesnya:
a) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif,
tepat waktu dan terus menerus.
b) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukut perkembangan ke
arah pencapaian tujuan.

14
c) Memvalidasi dan menganalisa data baru dengan teman sejawat.
d) Bekerja sama dengan klien keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan
keperawatan.
e) Mendokumentasi hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.

D. Konsep Mutu Pelayanan Keperawatan


Peningkatan mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan secara
efisien dan efektif sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan yang
dilaksanakan secara menyeluruh sesuai dengan kebutuhan pasien, memanfaatkan
teknologi tepat guna dan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan/keperawatan
sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal.

E. Pengukuran Mutu Pelayanan


Menurut Donabedian, mutu pelayanan dapat diukur dengan menggunakan
tiga variable yaitu, input, proses, dan output/outcome.
1. Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
seperti tenaga, dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi, dan
informasi.
2. Proses adalah interaksi professional antara pemberi pelayanan dengan
konsumen (pasien dan masyarakat). Setiap tindakan medis/keperawatan harus
selalu mempertimbangakan nilai yang dianut pada diri pasien. Keilmuan selalu
diperbarui untuk menjamin bahwa tindakan medis/keperawatan yang dilakukan
telah didukung oleh bukti ilmiah yang mutakhir. Interaksi professional selalu
memperhatikan asas etika terhadap pasien, yaitu :
a. Berbuat hal yang baik (beneficience) terhadap manusia khususnya pasien,
staf klinis dan nonklinis, masyarakat dan pelanggan secara umum
b. Tidak menimbulkan kerugian (nonmaleficience) terhadap manusia
c. Menghormati manusia (respect for persons) menghormati hak otonomi,
martabat, kerahasiaan, berlaku jujur, terbuka, empati
d. Berlaku adil (justice) dalam memberikan layanan
3. Output/outcome adalah hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan,
yaitu berupa perubahan yang terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari

15
konsumen. Tanpa mengukur hasil kinerja rumah sakit/keperawatan tidak dapat
diketahui apakah input dan proses yang baik telah menghasilkan output yang
baik.

F. Upaya Peningkatan Mutu


Peningkatan mutu dilakukan dalam berbagai macam cara yang akan dijelaskan
sebagai berikut.
1. Mengembangan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan
indicator pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan Kementrian Kesehatan
RI.
2. ISO 9001:2000 yaitu suatu satndar internasional untuk sistem manajemen
kualitas yang bertujuan menjamin kesesuaian proses pelayanan terhadap
kebutuhan persyaratan yang dispesifikasikan oleh pelanggan dan rumah sakit.
3. Memperbarui keilmuan untuk menjamin bahwa tindakan medis/keperawatan
yang dilakukan telah didukung oleh bukti ilmiah yang mutakhir.
4. Good corporate governance yang mengatur aspek institusional dan aspek bisnis
dalam penyelenggaraan sarana pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
transparansi dan akuntabilitas sehingga tercapai manajemen yang efisien dan
efektif.
5. Clinical governance merupakan bagian dari corporate governance, yaitu
sebuah kerangka kerja organisasi pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab
atas peningkatan mutu secara berkesinambungan. Tujuannya adalah tetap
menjaga standar pelayanan yang tinggi dengan menciptakan lingungan yang
kondusif. Clinical governance menjelaskan hal-hal penting yang harus
dilakukan seorang dokter dalam menangani konsumennya (pasien dan keluarga)
6. Membangun aliansi strategis dengan rumah sakit lain baik didalam atau luar
negeri. Kerja sama lintas sector dan litas fungsi harus menjadi bagian dari
budaya rumah sakit seperti halnya kerja sama tim yang baik.
7. Melakukan evaluasi terhadap strategi pembiayaan, sehingga tarif pelayanan
bisa bersaing secara global, misalnya outsourcing investasi, contracting out
untuk fungsi tertentu seperti cleaning service, gizi, laundry, perparkiran

16
8. Orientasi pelayanan. Seiring terjadi benturan nilai, di salah stu pihak masih
kuatnya nilai masyarakat secara umum bahwa rumah sakit adalah institusi yang
mengutamakan fungsi sosial. Sedangkan dipihak lain, etos para
pemodal/investor dalam dan luar negeri yang menganggap rumah sakit adalah
idustri dan bisnis jasa, sehingga orientasi mencari laba merupakan sesuatu yang
abash.
9. Orientasi bisnis dapat besar dampak positifnya bila potensial negative dapat
dikendalikan. Misalnya, tindakan medis berlebihan dan sebenarnya tidak
bermanfaat bagi pasien menciptakan peluang terjadinya manipulasi pasien demi
keuntungan finansial bagi pemberi layanan kesehatan. Perlu mekanisme
pembinaan etis yang mengimbangi dua sistem nilai yang dapat bertentangan,
yaitu antara fungsi sosial dan fungsi bisnis.

G. Indikator Penilaian Mutu Asuhan Keperawatan


Mutu asuhan kesehatan sebuah rumah sakit akan selalu terkait dengan
struktur, proses, dan outcome sistem pelayanan RS tersebut. Mutu asuhan
pelayanan RS juga dapat dikaji dari tingkat pemanfaatan sarana pelayanan oleh
masyarakat, mutu pelayanan dan tingkat efisisensi RS. Secara umum aspek
penilaian meliputi evaluasi, dokumen, instrument, audit (EDIA)
1. Aspek struktur (input).
Struktur adalah semua input untuk sistem pelayanan sebuah RS yang meliputi
M1 (tenaga), M2 (sarana prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4
(dana), M5 (pemasaran), dan lainnya.
2. Proses
Proses adalah semua kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain yang
mengadakan interaksi secara professional dengan pasien. Interaksi ini diukur
antara lain dalam bentuk penilaian tentang penyakit pasien, penegakan
diagnosis, rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan
penyakit, dan prosedur pengobatan.
3. Outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain
terhadap pasien.

17
a. Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi :
1) Angka infeksi nosocomial: 1-2%
2) Angka kematian kasar: 3-4%
3) Kematian pasca bedah: 1-2%
4) Kematian ibu melahirkan: 1-2%
5) Kematian bayi baru lahir: 20/1000
6) NDR (Net Death Rate): 2,5%
7) ADR (Anesthesia Death Rate) maksimal: 1/5000
8) PODR (Post-Operation Death Rate): 1%
9) POIR (Post-Operative Infection Rate): 1%
b. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS:
1) Biaya per unit untuk rawat jalan
2) Jumlah penderita yang mengalami decubitus
3) Jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur
4) BOR (Bed Occupancy Ratio): 70-85%
5) BTO (Bed Turn Over): 5-45 hari atau 40-50 kali per satu tempat
tidur/tahun
6) TOI (Turn Over Interval): 1-3 hari tempat tidur kosong
7) LOS (Length of Stay): 7-10 hari (komplikasi, infeksi nosocomial, gawat
darurat, tingkat kontaminasi dalam darah, tingkat kesalahan, dan
kepuasan pasien)
8) Normal tissue removal rate: 10%
c. Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan
jumlah keluhan dari pasien/keluarganya, surat pembaca di koran, surat
kaleng, surat masuk di kotak saran, dan lainnya.
d. Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri atas :
1) Jumlah dan presentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS
denga nasal pasien
2) Jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan
dan jumlah kunjungan SMF (Staf Medis Fungsional) spesialis
3) Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar
tersebut di atas dibandingkan dengan standar (indikator) nasional. Jika

18
bukan angka standar nasional, penilaian dapat dilakukan dengan
menggunakan hasil pencatatan mutu pada tahun-tahun sebelumnya di
rumah sakit yang sama, setelah dikembangkan kesepakatan pihak
manajemen/direksi RS yang bersangkutan dengan masing-masing SMF
dan staf lainnya yang terkait.
e. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien:
1) Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi
2) Pasien siberi obat salah
3) Tidak ada obat/alat emergensi
4) Tidak ada oksigen
5) Tidak ada suction (penyedot lendir)
6) Tidak tersedia alat pemadam kebakaran
7) Pemakaian obat
8) Pemakaian air, listrik, gas, dan lain-lain

H. Audit Internal Pelayanan Keperawatan


Audit internal adalah suatu kegiatan penjagaan mutu (menilai kesesuaian antara
fakta dengan kriterianya) dan konsultasi oleh tim independent serta objektif yang
diracang untuk memberikan nilai tambah sekaligus memajukan kegiatan organisasi
dalam mencapai tujuannya. Auditor internal membantu manajeman dalam hal :
1. Memonitoring aktivitas yang tidak dapat dilakukan manajemen, dimana tim
audit setiap tahun mengajukan jadwal audit ke manajemen eksekutif (contoh
audit asuhan keperawatan, audit infeksi nosokomial)
2. Mengidentifikasi dan meminimalkan resiko
3. Memvalidasi laporan untuk manajemen senior dengan melakukan tinjauan
terhadap laporan untuk meyakinkan akurasi, ketepatan waktu dan maknanya,
sehingga keputusan manajemen yang didasarkan pada laporan tersebut lebih
valid
4. Meninjau kegiatan yang sudah berlalu dan sedang berjalan
5. Kegiatan audit program berupa penilaian kebijakan atau program pada saat
masih dalam rancangan, pada saat diimplementasikan, dan hasil aktual yang
dicapai oleh kebijakan atau program tersebut

19
6. Membantu manajer karena masalah dapat timbul bila manajer tidak cermat
mengendalikan aktivitasnya. Auditor internal pada umumnya dapat
menemukan masalah tersebut dan memberikan rekomendasi perbaikannya.

I. Kepuasan Pelanggan
Pembeli atau pengguna jasa memutuskan memeberikan suatu penilaian
terhadap produk atau jasa dan bertindak atas dasar itu. Apakah pembeli puas
setelah membelanjakan tergantug kepada penampilan yang ditawarkan dalam
hubungannya dengan harapan pembeli. Philip Kotler dalam bukunya “Marketing
Management”, memberikan definisi tentang kepuasan pelanggan (custumer
satisfaction) : “Kepuasan adalah tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang
merupakan hasil dari membandingkan penampilan atau outcome produk yang
dirasakan dalam hubungannya dengan arapan seseorang”.
Faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan
1) Pendekatan dan perilaku petugas, perasaan pasien terutama saat pertama kali
datang
2) Mutu informasi yang diterima, seperti apa yang dikerjakan, apa yang dapat
diharapkan
3) Prosedur perjanjian
4) Waktu tunggu
5) Fasilitas umum yang tersedia
6) Fasilitas perhotelan untuk pasien seerti mutu makanan, privacy, dan pengaturan
kunjungan
7) Outcome terapi dan perawatan yang diterima.
Adapun kepuasan pelanggan atau kepuasan sepenuhnya menurut JUSE
didefinisikan sebagai “mutu besar atau mutu luas (Big quality atau Brood
Quality)”, yang dapat diuraikan seperti gambar berikut :

20
Sumber : Buku Manajemen mutu pelayanan kesehatan vol. 1

J. Konsep Teoritis Praktek Keperawatan Berbasis Bukti (Evidence Based


Practice)
Evidence Based Practice (EBP) adalah proses penggunaan bukti-bukti
terbaik yang jelas, tegas dan berkesinambungan guna pembuatan keputusan klinik
dalam merawat individu pasien. Dalam penerapan EBP harus memenuhi tiga
kriteria yaitu berdasar bukti empiris, sesuai keinginan pasien, dan adanya keahlian
dari praktisi. EBP merupakan salah satu perkembangan yang penting pada dekade
ini untuk membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial,
psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial lainnya.
Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam keperawatan sebagai :
7. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan praktek klinis
ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam keputusan klinis (Mulhall,
1998).
8. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian
secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan keputusan tentang

21
pemberian asuhan keperawatan pada individu atau sekelompok pasien dan
dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan dari pasien tersebut
(Ingersoll G, 2000).

a. Model Evidence Based Practice


1. Model Steter
Model Stetler dikembangkan pertama kali tahun 1976 kemudian diperbaiki
tahun 1994 dan revisi terakhir 2001. Model ini terdiri dari 5 tahapan dalam
menerapkan Evidence Base Practice Nursing.
- Tahap persiapan.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi masalah atau isu yang muncul,
kemudian menvalidasi masalah dengan bukti atau landasan alasan yang
kuat.
- Tahap validasi.
Tahap ini dimulai dengan mengkritisi bukti atau jurnal yang ada (baik bukti
empiris, non empiris, sistematik review), kemudian diidentifikasi level
setiap bukti menggunakan table “level of evidence”. Tahapan bisa berhenti
di sini apabila tidak ada bukti atau bukti yang ada tidak mendukung.
- Tahap evaluasi perbandingan/ pengambilan keputusan.
Pada tahap ini dilakukan sintesis temuan yang ada dan pengambilan bukti
yang bisa dipakai. Pada tahap ini bisa muncul keputusan untuk melakukan
penelitian sendiri apabila bukti yang ada tidak bisa dipakai.
- Tahap translasi atau aplikasi.
Tahap ini memutuskan pada level apa kita akan melakukan penelitian
(individu, kelompok,organisasi). Membuat proposal untuk penelitian,
menentukan strategi untuk melakukan diseminasi formal dan memulai
melakukan pilot projek.
- Tahap evaluasi.
Tahap evaluasi bisa dikerjakan secara formal maupun non formal, terdiri
atas evaluasi formatif dan sumatif, yang di dalamnya termasuk evaluasi
biaya.

22
2. Model IOWA
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD, RN, FAAN,
Model IOWA diawali dari pemicu/masalah. Pemicu/masalah ini sebagai
focus ataupun focus masalah. Jika masalah mengenai prioritas dari suatu
organisasi, tim segera dibentuk. Tim terdiri dari stakeholders, klinisian, staf
perawat, dan tenaga kesehatan lain yang dirasakan penting untuk dilibatkan
dalam EBP. Langkah selanjutkan adalah mensistesis EBP. Perubahan terjadi
dan dilakukan jika terdapat cukup bukti yang mendukung untuk terjadinya
perubahan . kemudian dilakukan evaluasi dan diikuti dengan diseminasi.
Pendekatan EBP model IOWA dari perspektif organisasi dan menggunakan
berbagai evidence dengan fokus pada evaluasi dan menerapkan EBP untuk
meningkatkan proses perawatan. (Eizenberg,2010)

3. Model konseptual Rosswurm & Larrabee


Model ini disebut juga dengan model Evidence Based Practice Change yang
terdiri dari 6 langkah yaitu :
Tahap 1 :mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis
Tahap 2 : tentukkan evidence terbaik
Tahap 3 : kritikal analisis evidence
Tahap 4 : design perubahan dalam praktek
Tahap 5 : implementasi dan evaluasi perunbahan
Tahap 6 : integrasikan dan maintain perubahan dalam praktek
Model ini menjelaskan bahwa penerapan Evidence Based Nursing ke lahan
paktek harus memperhatikan latar belakang teori yang ada, kevalidan dan
kereliabilitasan metode yang digunakan, serta penggunaan nomenklatur
yang standar

b. Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan


1) Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa pemberian
perawatan berdasarkan fakta terbaik akan meningkatkan hasil
perawatan klien.

23
2) Implementasi hanya akan sukses bila perawat menggunakan dan
mendukung “pemberian perawatan berdasarkan fakta”.
3) Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat dalam
penggunaan EBP.
4) Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam perawatan kesehatan.
5) Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan kualitas
praktek, penggunaan biaya yang efektif pada pelayanan kesehatan.
6) Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan diikuti dengan
evaluasi yang berkelanjutan.
7) Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk meningkatkan intuisi,
observasi pada klien dan bagaimana respon terhadap intervensi yang
diberikan. Dalam tindakan diharapkan perawat memperhatikan etnik,
sex, usia, kultur dan status kesehatan.

c. Hambatan Pelaksanaan EBP Pada Keperawatan


1) Berkaitan dengan penggunaan waktu.
2) Akses terhadap jurnal dan artikel.
3) Keterampilan untuk mencari.
4) Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
5) Kurang paham atau kurang mengerti.
6) Kurangnya kemampuan penguasaan bahasa untuk penggunaan hasil-
hasil riset.
7) Salah pengertian tentang proses.
8) Kualitas dari fakta yang ditemukan.
9) Pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana untuk
menggunakan literatur hasil penemuan untuk intervensi praktek yang
terbaik untuk diterapkan pada klien.

d. Pentingnya Evidence Based Practice


Mengapa EBP penting untuk praktik keperawatan :
1) Memberikan hasil asuhan keperawatan yang lebih baik kepada pasien
2) Memberikan kontribusi perkembangan ilmu keperawatan

24
3) Menjadikan standar praktik saat ini dan relevan
4) Meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan
5) Mendukung kebijakan dan rosedur saat ini dan termasuk menjadi
penelitian terbaru
6) Integrasi EBP dan praktik asuhan keperawatan sangat penting untuk
meningkatkan kualitas perawatan pada pasien.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Manajemen Mutu dalam Pelayanan Keperawatan merupakan suatu
pelayanan keperawatan yang komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual yang
diberikan oleh perawat profesional kepada pasien (individu, keluarga maupun
masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana perawatan yang diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien dan standar pelayanan. Secara sederhana proses kendali
mutu (Quality Control) dimulai dari menyusun strandar – standar mutu, selanjutnya
mengukur kinerja dengan membandingkan kinerja yang ada dengan standar yang
telah ditetapkan. Apabila tidak sesuai, dilakukakn tindakan koreksi. Bila diinginkan
peningkatan kinerja perlu menyusun standar baru yang lebih tinggi dan seterusnya.

Dalam Manajemen Mutu dalam Pelayanan Keperawatan ada beberapa


Dimensi mutu yang mencerminkan segala pelayanan keperawatan tersebut
diantaranya yaitu Dimensi Tangible atau bukti fisik, Dimensi Reliability atau
keandalan, Dimensi Responsiveness atau ketanggapan, Dimensi Assurance atau
jaminan dan kepastian, dan Empati.

Penilaian Mutu Pelayanan Keperawatan berupa Audit Struktur (Input,


Process, Hasil /Outcome). Dalam Manajemen Mutu dalam Pelayanan Keperawatan
terdapat Strategi Mutu Pelayanan Keperawatan adalah Total quality manajemen
(TQM).

26
SKENARIO ROLE PLAY

1. Tyas Puspita Ratna : Pasien (Ny.A)


2. Utami Nilamsari Ramadhanti : Perawat1
3. Vira Bunga Agustin : Perawat2

Pada suatu hari Ny. A datang ke RS. Harapan Bunda dengan keluhan nyeri
dibagian perut. Sesampainya di RS Ny. A diperiksa oleh dokter, dan dokter memutuskan
Ny.A harus di rawat inap.

( DI KAMAR RAWAT )
Perawat datang menghampiri Ny.A untuk melakukan pengkajian dan pemeriksaan.
Perawat : selamat pagi bu
Ny. A : pagi suster
Perawat : Ibu, perkenalkan saya perawat A yang dinas pada pagi hari ini. Jadi, nanti
jika ibu memerlukan bantuan ibu tinggal tekan bel nya ya bu
Ny. A : iyaa suster
Perawat : sekarang yang dirasakan apa bu ?
Ny. A : kepala saya psuing banget sus, perut saya nyeri sus, kalau makan mual
Perawat : nyeri dibagian mana nya bu ?
Ny. A : (menunjukkan bagian perutnya yang sakit)
Perawat : rasa nyeri nya seperti apa bu ?
Ny. A : seperti ditusuk-tusuk sus
Perawat : yasudah, sekarang kalau saya berikan angka dari 1-10 , nyeri yang ibu
rasakan saat ini ada di angka berapa ?
Ny. A : 7 sus (sambil meringis)
Perawat : yasudah kalau begitu, ibu saya kompres air hangat ya untuk mengurangi
nyerinya
Ny. A : tapi beneran bisa hilang sus nyerinya?
Perawat : kalau untuk menghilangkan mungkin tidak, tapi kalau untuk mengurangi
rasa

27
Nyerinya iyaa bu, menurut penelitian juga kan terapi panas secara terus
menerus langsung dikulit terbukti lebih aman dan efektif untuk
penanganan nyeri, karena pada saat perut ibu terkompres air hangat
pembuluh darah akan melebar sehingga otot-otot diperut ibu akan
mengalami relaksasi. Nanti kita bantu juga dengan teknik napas dalam ya
bu
Ny. A : yasudah kalau gitu sus
Perawat : yaudah kalau gitu saya persiapkan alat-alatnya terlebih dahulu ya bu

Perawat mengompres perut Ny.A dengan baik, sehingga nyeri perut yang dialami
oleh
Ny. A perlahan berkurang.

Perawat : Ibu, saya sudah selesai melakukan teknik kompres hangat untuk
mengurangi
nyeri pada perut ibu. Sekarang apa yang ibu rasakan setelah saya kompres
?
Ny. A : Agak lebih rileks sih sus, tidak sesakit tadi.
Perawat : yasudah kalau begitu, saya tinggal ya bu. Nanti akan ada perawat yang
memberikan obat untuk membantu memulihkan sakit ibu. Istirahat ya bu
Ny. A : Iyaa sus, terima kasih banyak

Perawat1 pergi meninggalkan Ny.A dan tidak lama kemudian perawat2 datang
untuk memberikan obat ke pasien. Namun sebelumnya perawat 2 mengecek rekam medis
pasien dan menyesuaikan dengan obat yang akan diberikan kepada pasien. Setelah itu,
perawat 2 mengkonfirmasi kembali identitas pasien secara langsung kepada pasien.

Perawat2 : selamat pagi bu, perkenalkan saya perawat Vira yang dinas pada pagi hari
ini.
Ny. A : iyaa sus, pagii
Perawat : Ibu bisa sebutkan namanya lengkapnya?
Ny. A : Nama saya Tyas Puspita Ratna
Perawat : baik ibu, sekarang bisa sebutkan tanggal lahirnya ?

28
Ny. A : 20 desember 1987
Perawat : baik kalau begitu, ibu disini saya akan memberikan obat untuk
mengurangi keluhan mual dan nyeri yang ibu rasakan.
Ny. A : baik sus, kalau boleh tau kenapa sebelum memberikan obat suster bertanya
nama
saya ya sus, bukannya suster sudah tau nama saya ?
Perawat : jadi sebelumnya saya bertanya nama ibu untuk memastikan bahwa obat
yang
akan saya berikan itu benar saya berikan kepada pasien yang tepat. Proses
tersebut merupakan proses identifikasi pasien untuk menjamin mutu
pelayanan kami sehingga tidak ada pasien yang mendapatkan obat yang
salah dan mutu kami pun akan tetap terjaga.
Ny. A : oh begitu sus
Perawat : iyaaa ibu seperti itu, sekarang ibu minum obat asetaminofen untuk
penghilang
nyeri dan domperidone untuk penghilang mualnya ya bu
Ny. A : iyaaa sus (sambil minum obat )
Perawat : nah ibu, saya sudah selesai memberikan obat nya. Sekrang ibu istirahat
yaa.
Tetap makan sedikit tapi sering supaya asupan nutrisi ibu terpenuhi.
Jangan lupa
untuk selalu minum air putih hangat ya bu.
Ny. A : baik suster terima kasih banyak ya. Saya seneng banget disini, perawatnya
baik-
baik dan ramah sekali.
Perawat : Iyaa ibu, Alhamdulillah kalo ibu merasa senang. Itu memang sudah
menjadi
tugas dan tanggung jawab kami sebagai perawat. Dan juga itu semua
untuk
tetap menjaga dan mempertahankan mutu pelayanan kami.
Ny. A : oh begitu ya sus
Perawat : iyaa bu, yasudah kalau begitu saya tinggal dulu ya.

29
Setelah perawat selesai memberikan pelayanan dan keadaan pasien semakin
membaik, perawat memberikan kuisioner untuk menilai kepuasan pelanggan terhadap
mutu pelayanan yang diberikan.
Perawat : Ibu, karna kondisi sudah membaik dan dokter sudah memperbolehkan ibu
pulang, sebelumnya ibu harus mengisi kuisioner mutu pelayanan agar
kami tahu seberapa baik pelayanan yang sudah diberikan terhadap ibu,
serta untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas pelayanan kami.
Ny. A : baik sus, saya akan isi.
Perawat : iya bu, nanti kalo sudah diisi ibu/keluarga bisa memberikannya ke nurse
station.
Permisi bu.
Ny. A : iya sus

Setelah pasien/keluarga memberikan kuisioner yang telah diisi ke nurse station,


pasien yang sudah diperbolehkan pulang oleh dokter akhirnya pulang dengan kondisi yang
sudah pulih serta puas terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan RS yang tetap
menjaga kualitas mutu pelayanannya.

30
Daftar Pustaka

Ayun, Q., 2014. Peran Komite Keperawatan dalam Pengawasan Mutu dan Audit
Keperawatan. SlideShare, p.24. Available at: http://www.slideshare.net/ayunannaim/audit-
mutu. Diakses pada Sabtu 13 April 2019
Buchbinder, Sharon B. 2014. Buku Ajar Manajemen Pelayanan Kesehatan. Jakarta. EGC
Ingersoll G. 2000. Evidence Based Nursing: what it is and isn’t Nurse Outlook.
https://www.academia.edu/15628741/KONSEP_EVIDENCE_BASED_PRACTICE_AGU
S_PUTRADANA?auto=download. Diakses pada Senin, 15 April 2019
Munijaya, A. A. 2012 Gde.Manajemen Mutu pelayanan kesehatan.Jakarta.Penerbit buku
kedokteran EGC.
Nursalam. 2012. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional.Jakarta. Salemba Medika
Suryadi, T., 2009. Pengertian dan Pelaksanaan Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan.
Scribd. Available at: https://www.scribd.com/doc/17381263/Pengertian-Dan-Pelaksanaan-
Mutu-Pelayanan-Kesehatan Diakses pada Sabtu 13 April 2019

31

Vous aimerez peut-être aussi