Vous êtes sur la page 1sur 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi
episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Ciri-ciri klinis yang
dominan pada asma adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering
disertai batuk dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya.1
Asthma paling umum terjadi di masa kanak-kanak, dan lebih dari tiga perempatnya
muncul gejala sebelum usia 7 tahun tetapi akan hilang pada usia 16 tahun. Menurut The
International Studies of Asthma and Allergic in Childhood (ISAAC) tahun 2000-2003
menemukan kejadian asthma sekitar 14% dari jumlah anak- anak di dunia pada usia 13-14 tahun
di 97 negara.2
Berbagai faktor menjadi pencetus timbulnya serangan asma, antara lain adalah olahraga,
alergen, infeksi, perubahan suhu yang mendadak, atau pajanan terhadap iritan respiratorik
seperti asap rokok, debu polusi, dan lain-lain. Selain itu, berbagai faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya prevalensi asma suatu tempat, misalnya usia, jenis kelamin, ras,
sosioekonomi, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi prevalensi
asma, derajat penyakit asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, dan kematian
akibat penyakit asma.3
Dalam tatalaksana serangan asma umumnya adalah untuk melebarkan jalan nafas secepat
mungkin, mengurangi hipoksemia, dan mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal
secepatnya, serta mencegah kekambuhan.4

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui tentang definisi serta epidemiologi asma bronkial.
1.2.2 Mengetahui tentang penyebab, patofisiologi, manifestasi klinis, cara mendiagnosa
dan tatalaksana asma bronkial.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan
pembaca tentang asma bronkial.
1.3.2 Manfaat Praktis
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam
menangani pasien saat praktek.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung
oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut
inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar saluran pernafasan dibagi
menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus,
bronkiolus segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris
dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis.
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang
bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan
dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari
epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan
mukus yang disekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang
halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk
kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi
berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara
mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya
mencapai 100%.5

Udara mengalir dari hidung ke faring yang merupakan tempat persimpangan antara
jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring,
orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa
tempat terdapat folikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah
tonsil kiri dan kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan
masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang
merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan
laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglotis yang
berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih
3

bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu
merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.5

Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku
kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu
dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar (sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri
dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus merupakan lanjutan
dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis ke IV dan V.
Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut
karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang.5

Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri
dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil,
terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.5

Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli
(kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan,
tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran udara ,mulai
dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona
konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel
goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus. Setelah
bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat
pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus
alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.5
4

Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas

2.2 Fisiologi
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan
keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi, yaitu:5

1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-
cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang.
Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan
yang tinggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar
karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan
tekanan intra pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekitar –
8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun –2 mmHg (relatif
terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan
udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir.
Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang
mengecil sehingga udara mengalir keluar paru.5
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan
parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli
mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah.
Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli.
Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.5
5

3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan
melalui transport aliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan melalui dua jalan : pertama
secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai
oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat,
natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu
gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata
dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total (
Sa O2 = 100% ), bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah
masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada
tekanan dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel
sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel
mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih
besar dari pada tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan
kedalam darah.5
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 –
7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 – 7,45. Pada peninggian CO2 baik
karena kegagalan fungsi maupun bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak
dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah
keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak
dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu
keadaan PaCO2 turun akibat hiperventilasi.5
6

Gambar 2.2 Anatomi Jalan Nafas


2.3 Definisi
Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit heterogen,
biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi kronik ini ditandai
dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti wheezing (mengi), sesak nafas,
dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara
ekspiratori.6 Sedangkan UKK Respirologi IDAI mendefinisikan asma sebagai penyakit saluran
respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas
saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk,
wheezing, sesak nafas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel,
cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.2

2.4 Epidemiologi
Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun 1990.
Hampir semua peneliti menggunakan kuesioner yang dirancang masing-masing sehingga
hasilnya berbeda. Namun setelah dilakukan penelitian ISAAC (International Study of Asthma
and Allergies in Childhood), penelitian di Indonesia menggunakan kuesioner yang sama dari
studi ISAAC. Penelitian ini dilakukan pada kelompok usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun.2
7

Gambar 2.3 Epidemiologi Asma di Indonesia


Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota menunjukkan hasil
yang cukup bervariasi. Prevalensi berkisar antara 3% dibandung sampai 8% di Palembang
(Tanjung) pada kelompok usia 6-7 tahun. Sedangkan pada usia kelompok 13-14 tahun kisaran
antara 2,6 % di Bandung dan tertinggi di Subang 24,4%. Tingginya prevalens asma di Subang
diduga diakibatkan tingginya angka polusi udara di Subang akibat sulfur dari Gunung
Tangkuban Perahu.2

2.5 Etiologi
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi
untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi) , hipereaktivitas bronkus, jenis
kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/
predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan
atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu
alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet,
status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan
lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :3
8

1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.3
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.3
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak.3
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.3
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang
seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).3
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.3
9

d. Ekspresi emosi berlebih


Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.3
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum
dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.3
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu.
Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas
tersebut.3
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau,
musim bunga (serbuk sari beterbangan).3
i. Status ekonomi

Gambar 2.4 Faktor Resiko yang Menyebabkan Asma


10

2.6 Patofisiologi
Proses patologi pada serangan asma termasuk dari konstriksi bronkus, edema mukosa,
infiltrasi sel inflamasi (Eusinofil, neutrofil, basofil, makrofag), dan deskuamasi sel-sel epitel.
Dilepaskan berbagai mediator inflamasi seperti histamin, leukotriene C4, D4, E4, P.A.F yang
mengakibatkan konstriksi bronkus, edema mukosa, dan penumpukan mukus kental dalam
lumen saluran nafas. Penumpukan mukus kental dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas
sehingga terjadi peningkatan tahanan jalan nafas yang tidak merata di jaringan bronkus dan
terjadi ventilation-perfusion missmatch / tidak padunya ventilasi dengan perfusi.6
Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru sehingga terjadi peningkatan
kerja nafas. Penyempitan saluran nafas akibat edema mukosa menyebabkan peningkatan
tekanan intrapulmonal sehingga meningkatkan resiko terjadi pneumotoraks. Sedangkan
peningkatan tekanan intratorakal mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung
yang bermanifestasi sebagai pulsus paradoksus.6
Ventilasi perfusi yang tidak padu, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas
menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi
hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 turun dan dijumpai alkalosis respiratorik.
Pada obstruksi jalan nafas yang berat terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar
yang berakibat hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO 2
yang cenderung meningkat harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal nafas.
Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan otot dan produksi laktat
oleh otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal.6

Gambar 2.5 Patofisiologi Terjadinya Asma


11

Gambar 2.6 Gambaran Saluran Nafas Penderita Asma

Gambar 2.7 Gambaran Klinis Asma


12

2.7 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi
pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi
bronkus dengan metakolin.8

Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non
alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan
cuaca.8

Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk
sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan
kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji
provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.8

2.8 Klasifikasi
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan
(jangka panjang). GINA membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma
persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat. Dasar pembagiannya adalah
dari gambaran klinis, faal paru, dan obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit.
Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.9
Berbeda dengan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan,
asma episodik sedang, dan asma persisten. Konsensus Internasional III juga membagi asma
anak berdasarkan keadaan klinis dan kebutuhan obat menjadi 3 yaitu , asma episodik jarang
(asma ringan) yang meliputi 75% populasi anak asma, asma episodik sering (asma sedang)
meliputi 20% populasi, dan asma persisten (asma berat) meliputi 5% populasi. Konsensus
Nasional juga membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit seperti halnya Konsensus
Internasional, tapi dengan kriteria yang lebih lengkap.2
13

Gambar 2.8 Klasfikasi Derajat Asma

2.9 Diagnosis
Penegakan diagnosis asma pada anak dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa
sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk
menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis.
Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor resiko.

1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi berikut : Waktu mulainya dan pemicu
serangan saat ini (Jika Diketahui), Gejala-gejala untuk menilai keparahan termasuk
keterbatasan, aktivitas fisik adanya gejala anafilaksis, Pengobatan yang telah diberikan untuk
serangan saat ini, Faktor faktor yang meningkatkan resiko kematian.
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan
atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem
atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan
musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat
bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan
apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar
tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien
14

merokok, orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan
pasien, apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.1

2. Pemeriksaan Fisik
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan
adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien asma, sering
ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada
inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot
napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi
diperpanjang.1,9

Tanda vital dan derajat serangan meliputi kesadaran, suhu, frekuensi nadi, frekuensi nafas,
tekanan darah, kemampuan berbicara lengkap satu kalimat, retraksi dada, wheezing. Tanda
Komplikasi atau penyakit penyerta (Anafilaksis, pneumonia, atelektasis, pneumotoraks). Tanda
dari kondisi lain yang dapat menjadi distress respirasi (Misalnya gagal jantung, inhalasi benda
asing, obstruksi jalan nafas).2

Gambar 2.9 Diagnosis Asma 2


15

Gambar 2.10 Alur Diagnosa Asma2


2.10 Pemeriksaan Penunjang
a. Saturasi Oksigen
Pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetry sebelum
diberikan terapi oksigen atau 5 menit setelah terapi oksigen dihentikan. Pasien dengan
serangan asma harus dimonitor ketat saturasi oksigennya, terutama pada anak yang
tidak dapat dilakukan pemeriksaan PEF. Saturasi oksigen normal pada anak adalah
>95%.3
16

b. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Manfaat pemeriksaan spirometri dalam
diagnosis asma :
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-
14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma.3
 Menilai derajat berat asma
c. Peak flow meter (PFM)/ Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan
untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani
dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena
PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.3
d. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma seperti
tuberkulosis, pneumothorax, atau komplikasi dari asma yaitu infeksi paru. Pada
sebagian besar rontgen menunjukkan normal atau hiperinflasi.3
e. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada
kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen
yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi
dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak
dapat dilakukan (pada dermographism).3
f. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan
merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas
dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,
17

pemeriksaan kadar eusinofil dalam darah dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan
dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat
asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi
tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset. 3
g. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai
test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak
alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang
sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa
asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya
berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit.
Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan
jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.1

2.11 Diagnosa Banding


Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyakit lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding lain seperti.7

Tabel 2.1 Diagnosa Banding Asma7


18

2.12 Tata Laksana


Tujuan utama penata laksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup agar penderita dapat hidup tanpa hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat 3
Terapi farmakologi merupakan salah satu bagian dari penanganan asma yang bertujuan
mengurangi dampak penyakit dan kualitas hidup; yang dikenal dengan tujuan pengelolaan
asma. Pemahaman bahwa asma bukan hanya suatu episodik penyakit tetapi asma adalah suatu
penyakit kronik menyebabkan pergeseran fokus penanganan dari pengobatan hanya untuk
serangan akut menjadi pengobatan jangka panjang dengan tujuan mencegah serangan,
mengontrol atau mengubah perjalanan penyakit. Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi
menjadi 2 golongan yaitu antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan
mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal dengan pengontrol, dan bronkodilator
yang merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/ serangan, dikenal
dengan pelega.3
1. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol
sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
 Kortikosteroid inhalasi
 Kortikosteroid sistemik
 Sodium kromoglikat
 Nedokromil sodium
 Metilsantin
 Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
 Agonis beta-2 kerja lama, oral
 Leukotrien modifiers
 Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
19

Tabel 2.2 Daftar Sediaan Obat Pengontrol3


20

2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada
dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
 Agonis beta2 kerja singkat
 Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
 Antikolinergik
 Aminofillin
 Adrenalin
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi
 Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
 IDT dengan alat Bantu (spacer)
 Breath-actuated MDI
 Dry powder inhaler (DPI)
 Turbuhaler
 Nebuliser
21

Tabel 2.3 Daftar Sediaan Obat Pengendali3


22

Tabel 2.4 Daftar Merk Dagang Obat Asma10


Rute pemberian medikasi
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan napas
(inhalasi) adalah :
 lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
 efek sistemik minimal atau dihindarkan
 beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah lebih
cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
23

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Tabel 2.5 Derajat Kendali Asma2


24

Tabel 2.6 Derajat Serangan Asma2


25

Gambar 2.11 Alur Penanganan Asma Gina 2017


26

Gambar 2.12 Algoritma Tata Laksana pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama 2
27

Kriteria Rawat Inap

Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/ puskesmas), bergantung
kepada fasiliti yang tersedia :
 Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam
 Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/ prediksi)
 Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ ICU sebelumnya
 Dengan risiko tinggi (lihat di riwayat serangan)
 Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang membutuhkan pertolongan
saat itu
 Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
 Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
 Masalah/ kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah sakit.3

Pertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit (rawat inap) pada penderita
di gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respons pengobatan baik klinis maupun faal paru.
Berdasarkan penilaian fungsi,pertimbangan pulang atau rawat inap, adalah: 3
 Penderita dirawat inap bila VEP1 atau APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai
terbaik/ prediksi; atau VEP1 /APE < 40% nilai terbaik/ prediksi setelah pengobatan
awal diberikan
 Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP1/APE 40-60% nilai terbaik/
prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak lanjut adekuat dan
kepatuhan berobat.
 Penderita dengan respons pengobatan awal memberikan VEP1/APE > 60% nilai
terbaik/ prediksi, umumnya dapat dipulangkan.3
Kriteria perawatan intensif/ ICU :
 Serangan berat dan tidak respons walau telah diberikan pengobatan adekuat
 Penurunan kesadaran, gelisah
 Gagal napas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu Pa O2 < 60 mmHg dan atau
PaCO2 > 45 mmHg, saturasi O2 < 90% pada penderita anak. Gagal napas dapat terjadi
dengan PaCO2 rendah atau meningkat. 3
28

Intubasi dan Ventilasi mekanis


Intubasi dibutuhkan bila terjadi perburukan klinis walau dengan pengobatan optimal,
penderita tampak kelelahan dan atau PaCO2 meningkat terus. Tidak ada kriteria absolut untuk
intubasi, tetapi dianjurkan sesuai pengalaman dan ketrampilan dokter dalam penanganan
masalah pernapasan. Penanganan umum penderita dalam ventilasi mekanis secara umum
adalah sama dengan penderita tanpa ventilasi mekanis, yaitu pemberian adekuat oksigenasi,
bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik.

Jenjang Pengendalian Asma

Gambar 2.13 Jenjang Pengendalian Asma2

Keterangan :

1. Acuan Awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan


klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung 6-8 minggu dan asma
belum terkendali, maka tata laksana naik ke jenjang atasnya (Step up)
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung 8-12 minggu dan asma
terkendali penuh, maka tata laksana turun ke jenjang bawahnya (Step down)
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek penghindaran,
penyakit penyerta.
5. Pada jenjang 4 jika belum terkendali tata laksana ditambahkan omalizumab.

Pedoman Nasional Asma Anak membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan gejala
derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi
kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu enam minggu. Pengendalian asma senantiasa
dilakukan berdasarkan derajat kendali asma, apabila asma belum terkendali maka perlu
29

dilakukan pemberian obat sesuai jenjang selanjutnya. Sebelumnya perlu dicermati apakah
dosis, cara pemberian, penghindaran faktor pencetus telah dilaksanakan dengan benar. Pada
setiap jenjang, apabila terjadi serangan/eksaserbasi asma, pasien harus mendapatkan obat
pereda asma yaitu obat inhalasi agonis β2 kerja pendek.

Jenjang I

Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya
mengalami gejala ringan ≤ 2 kali/ minggu dan diantara serangan pasien tidak mengalami
gangguan tidur maupun aktivitas sehari-hari. Pada pasien ini dapat diberikan obat pelega berupa
inhalasi agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral.2

Jenjang II

Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah,
sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan pada pasien asma
yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang menderita asma
disertai rhinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya lebih rendah
dan lebih sering menimbulkan efek samping.2

Jenjang III

Pilihan utama obat pada jenjang ini adalah untuk anak usia diatas 5 tahun. Kombinasi
steroid dosis rendah agonis- β2 kerja panjang. Pilihan lainnya ialah dengan menaikkan dosis
steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer
akan memperbaiki deposisi obat diparu, mengurangi impaksi obat di orofaring dan mengurangi
efek sistemik. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-antileukotrien
atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-teofilin lepas lambat.2

Jenjang IV

Pada jenjang ini pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult-to-treat asthma).
Pilihan pertama pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis menengah-agonis β2 kerja
panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari sedang ke tinggi hanya memberikan sedikit
perbaikan. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi dengan
antileukotrien atau kombinai steroid inhalasi dosis tinggi dengan teofilin lepas lambat. Pada
jenjang ini pula dapat dipertimbangkan penambahan anti imunoglobulin E (omalizumab).2
30

Tabel 2.6 Derajat Kendali Asma3

2.13 Komplikasi
Keparahan asma akut dapat mengakibatkan komplikasi seperti pneumothorax,
pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia, gagal nafas, fraktur iga, bronkitis. Status
asmatikus adalah serangan asma yang semakin parah dan mengancam hidup.2

2.14 Prognosis
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan mengi tidak berlanjut
menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45
hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan.
Peningkatan IgE serum dan uji kulit yang positif khususnya terhadap tungau debu rumah pada
bayi, dapat memperkirakan mengi persisten pada masa anak. Adanya dermatitis atopik
merupakan prediktor terjadinya asma berat.2

2.15 Komunikasi Informasi dan Edukasi


Komunikasi, infomasi dan edukasi merupakan unsur yang sangat penting tetapi sering
dilupakan dalam tata laksana asma. Tujuan program KIE adalah memberi informasi dan
pelatihan yang sesuai terhadap pasien dan keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan atau
pemahaman, keterampilan, dan kepercayaan diri dalam mengenali gejala serangan asma,
mengambil langkah-langkah yang sesuai, serta memotivasi dalam menghindari faktor-faktor
pencetus sehingga meningkatkan keteraturan terhadap rencana pengobatan yang sudah
diterapkan serta pada akhirnya mampu meningkatkan kemandirian dalam tatalaksana asma
yang lebih baik.3
31

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat
reversible. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan infiltrasi
sel inflamasi (eusinofil, neutrofil, basofil, makrofag), bronkokonstriksi, edema mukosa, dan
deskuamasi sel-sel epitel. Faktor Resiko Asma : faktor genetik, lingkungan, dan faktor lain.
Klasifikasi asma dibagi menjadi 3 berdasarkan berdasarkan derajatnya yaitu Asma episodik
jarang, Asma episodik sering, Asma Persisten.
Tujuan utama penata laksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita dapat hidup tanpa hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-
hari. Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen: Edukasi, Menilai dan monitor
berat asma secara berkala, Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus, Merencanakan dan
memberikan pengobatan jangka panjang, Menetapkan pengobatan pada serangan akut, Kontrol
secara teratur, Pola hidup sehat. Terapi farmakologi merupakan salah satu bagian dari
penanganan asma yang bertujuan mengurangi dampak penyakit dan kualitas hidup. Pada
prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu antiinflamasi merupakan
pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal dengan
pengontrol, dan bronkodilator yang merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
eksaserbasi/ serangan, dikenal dengan pelega.

3.2 Saran

Bagi penulis
Penderita asma sebaiknya menghindari faktor pencetus asma agar tidak terjadi
eksaserbasi.
Bagi akademisi
Dalam makalah ini dokter diharapkan mampu memberikan edukasi dan informasi
kepada masyarakat serta tata laksana jangka panjang terhadap penderita asma.
32

DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu


Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58;
No.11;Nopember 2008.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2015. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) . Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Asma Di Indonesia.
4. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention.
National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute 2002 (revisi).
Diperbaharui dari: NHLBI/WHO workshop report: global strategy for asthma
management and prevention issued January 1995; NIH publ. no.02-3659.
5. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya.
6. Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr.Soetomo. Pedoman Diagnosis Dan Terapi.
2008. Surabaya.
7. Global Initiative for Asthma. 2017. Global Strategy For Asthma Management and
prevention.
8. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
9. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report
1995.
10. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Ikatan Dokter Anak indonesia. 2000. Konsensus
Nasional Asma Anak

Vous aimerez peut-être aussi