Vous êtes sur la page 1sur 11

MAKALAH ASKEB KEHAMILAN I

EVIDENCE BASED ISSUE SEPUTAR KEHAMILAN

DOSEN PEMBIMBING
LUSI ANDRIANI, SST, M.Kes

DISUSUN OLEH:

1. CATHARINA HERMANUS PUTRI


2. SHOPIATUN FATONAH
3. KHARINDA ANJELLY FANRATAMI
4. PIPIN FEBRIANTI
5. REGGY CASTRENA ANGELLA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

T.A 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, atas
berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah sebagai salah satu bahan kajian pelajaran
ginekologi yang harus ditempuh oleh mahasiswa/mahasiswi.

Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,


dukungan, serta do’a dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah didalam kesempatan ini
penulis menghaturkan terima kasih dengan penuh rasa hormat serta dengan segala ketulusan
hati kepada Bunda Rachmawati dan teman-teman semua yang telah senantiasa mendukung
kami. Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan hidayah bagi keikhlasan
dan ketulusan atas dukungannya. Kami menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan masukan baik saran maupun kritik yang
kiranya dapat membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi kita semua.

Bengkulu, Februari 2018

Tim penulis

2|Page
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………..……………………………………………....1
KATA PENGANTAR..........................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang .............................................................................................4


B. Perumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan..............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Evidenced Based Sunat Pada Bayi Perempuan…...........................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................................17
B. Saran...............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

3|Page
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sunat perempuan merupakan suatu fenomena pada masyarakat Indonesia yang


telah dilaksanakan sejak berabad-abad tahun yang lalu dan bahkan sudah begitu berurat
berakar pada masyarakat tertentu. Pada dasarnya praktek sunat perempuan atau biasa
disebut female genital mutilation (FGM) adalah memotong sebagian atau seluruh clitoris
dan labia minora (Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2006: 1) Berbagai tujuan dan
alasan seperti tradisi, agama juga alasan kebersihan dan mencegah perempuan
mengumbar nafsu seksualnya sebagai dasar pelaksanaan sunat perempuan bagi
masyarakat Indonesia di beberapa wilayah seperti Yogyakarta, Madura, Jawa Barat,
Sumatra, Sulawesi serta di Kalimantan Selatan bahkan di Jakarta sendiri yang merupakan
kota metropolis. Daerah-daerah yang melaksanakan praktik sunat perempuan kebanyakan
mendasarkan kegiatannya pada ajaran agama dan tradisi masyarakatnya, seperti pada
masyarakat Banjar yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini. Karenanya, upaya
pemerintah untuk memberantas atau meminimalisir praktik sunat perempuan pada
daerah-daerah tersebut sangat sulit untuk terlaksana. Untuk itu, pemahaman tentang
makna sunat perempuan perlu dipahami secara mendalam menurut persepsi mereka yang
melaksanakan kegiatan sunat perempuan. Dalam kerangka inilah, penelitian tentang sunat
perempuan yang mengkaji pemahaman masyarakat Banjar dan bagaimana mereka
memaknainya dalam kehidupan sosial mereka menjadi sangat penting untuk dikaji.
Berdasar latar belakang di atas, penelitian ini membahas beberapa hal berikut: pertama,
bagaimana proses atau tata cara pelaksanaan sunat perempuan pada masyarakat Banjar,
kedua, bagaimana pandangan/persepsi masyarakat Banjar terhadap pelaksanaan sunat
perempuan, dan ketiga, apakah makna sunat perempuan bagi masyarakat Banjar? Sunat
perempuan tekniknya berbedabeda.

Kajian-kajian dan tulisan-tulisan tentang sunat perempuan di Indonesia dan


negara-negara lain telah banyak dilakukan oleh orang-orang dan beberapa ahli terdahulu
dari berbagai sisi dan sudut pandang. Misalnya tulisan Mesraini (2003: 42) yang
menunjukkan bahwa praktek sunat perempuan sudah berlangsung jauh sebelum
datangnya agama Islam dan mitos-mitos seksual yang turut melanggengkan praktek sunat

4|Page
hingga kini. Kajian sunat perempuan yang dilakukan oleh Yayan Sakti dkk,(2004: 45-47)
mendeskripsikan bahwa sunat perempuan pada masyarakat urban Madura di Surabaya
dilakukan dengan alasan keyakinan/ kepercayaan untuk memenuhi ajaran agama (Islam),
tradisi (warisan budaya leluhur), untuk menyucikan anak perempuan, dan mitos bahwa
perempuan yang tidak disunat akan dianggap kotor dan tidak disayang suami serta bagi
yang masih gadis akan sulit mendapatkan jodoh. Dalam kajiannya tentang sunat
perempuan ia mengungkapkan bahwa kebiasaan suku-suku bangsa di Indonesia yang
melaksanakan sunat baik pada anak laki-laki maupun perempuan dalam rangka upacara
peralihan atau inisiasi kedewasaan bagi anak-anak menuju jenjang remaja atau dewasa.
Misalya pada suku Toraja Kuno di Pulau Sumba dan di Jawa Barat. Padahal akhir-akhir
ini praktek sunat perempuan menjadi topik pro dan kontra tentang pelaksanaannya. Para
aktivis perempuan serta para medis melihat praktek sunat perempuan sebagai tindakan
yang bisa merusak hak reproduksi perempuan. Sementara dari pemeluk agama Islam
masih terjadi perdebatan yang panjang mengenai hukum sunat bagi perempuan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah evidence based sunat pada bayi perempuan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui evidence based sunat pada bayi perempuan.

5|Page
BAB II

PEMBAHASAN

A. Evidence Based Sunat Pada Bayi Perempuan

Menurut WHO sunat perempuan atau Female Genital Mutlation merupakan


suatu peristiwa menghilangkan organ alat kelamin perempuan dan prosedur praklation
diklasifikasikan dalam empat tipe, yaitu tipe satu, pemotongan ’prepuce’ dengan atau
tanpa mengiris atau menggores bagian atau seluruh klitoris. Tipe dua adalah
pemotongan klitoris dengan disertai pemotongan sebagian atau seluruh labia minora.
Tipe tiga, pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin luar disertai penjahitan atau
penyempitan lubang vagina (infabulasi). Tipe empat, tidak terklasifikasi, termasuk
penusukan, pelubangan, atau pengirisan atau penggoresan terhadap klitoris dan atau
labia, merentangkan klitoris dan atau labia, kauterisasi-membakar klitoris dan
jaringan di sekitarnya, menggosok jaringan di sekitar lubang vagina (pemotongan
angurya), pemotongan vagina (pemotongan gishiri), pemasukan bahan atau jamu yang
bersifat korosif ke dalam vagina untuk menyebabkan keluarnya darah atau untuk
mengencangkan atau menyepitkan saluran vagina, dll.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, secara nasional,


persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun sebesar 51,2 persen.
Hasil ini cukup menimbulkan kegemparan. Indonesia yang selama ini tidak ada di

6|Page
dalam “pantauan radar” sunat perempuan (female genital mutilation/cutting) di
tingkat global, kini tiba-tiba muncul.

Hal itu disampaikan oleh Richard Makalew, Penanggungjawab Program


Kependudukan dan Pembangunan, Dana Kependudukan PBB (UNFPA) Indonesia
saat pelatihan asisten lapangan “Survei Medikalisasi Sunat Perempuan di Indonesia
2017” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada di Hotel Galuh Prambanan beberapa waktu lalu.

Selama ini praktik sunat perempuan dinilai sebagai African phenomenon,


fenomena yang hanya terjadi di Afrika. Namun, data Riskesdas 2013 yang dijadikan
referensi dalam laporan Badan PBB untuk Anak-Anak (UNICEF) di tingkat global
kemudian memunculkan pandangan yang lain. Bahwa sunat perempuan bukan hanya
fenomena di Afrika. Praktik sunat perempuan juga terjadi di Asia, khususnya
Indonesia.

“Kita ingin melihat lebih dalam. Persentase 51,2 itu merupakan praktik sunat
perempuan yang seperti apa? Siapa yang melakukan tindak medikalisasi tersebut?
Selama ini, bayangan kita, sunat perempuan di Indonesia hanyalah simbolis karena
terkait tradisi, tidak sampai pada praktik-praktik yang membahayakan,” jelas Richard.

Data Riskesdas 2013 yang diluncurkan oleh Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menunjukkan, ada
20 provinsi yang memiliki persentase sunat perempuan di atas rata-rata nasional.
Tertinggi adalah Gorontalo dengan persentase sunat perempuan mencapai 83,7
persen, disusul kemudian Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Selatan, dan Riau.

Sementara jika dilihat dari karakter wilayah, persentase pernah disunat pada
anak perempuan usia 0-11 tahun di perkotaan sebesar 55,8 persen. Angka ini lebih
tinggi dibandingkan di perdesaan, yakni 46,9 persen.

Peneliti PSKK UGM yang juga pemerhati isu-isu gender dan kesehatan
reproduksi, Dr. Dewi Haryani Susilastuti mengatakan, studi yang dilakukan ini
bukanlah replikasi dari Riskesdas. Studi ini bertujuan untuk membantu pemerintah di
7|Page
dalam mengambil kebijakan tentang sunat perempuan. Evidence-based policy agar
kebijakan yang diambil tersebut berdasarkan basis data yang bisa
dipertanggungjawabkan.

Hendak melihat lebih dalam tentang praktik medikalisasi sunat perempuan,


maka ada beberapa pertanyaan yang akan dicari tahu jawabannya melalui studi ini,
tambah Dewi. Misalnya, siapa dan bagaimana karakter klien yang mempraktikkan
sunat perempuan? Apa alasan mereka melakukan praktik sunat perempuan?
Kemudian siapa penyedia layanan sunat perempuan? Dimana dan bagaimana cara
penyedia layanan ini melakukan praktik sunat perempuan? Bagaimana sikap dan
pengetahuan penyedia layanan kesehatan (dokter, bidan, perawat) tentang sunat
perempuan? Apakah ada insentif bagi penyedia layanan kesehatan untuk melakukan
sunat perempuan?

Studi ini akan dilakukan di tujuh provinsi dengan prevalensi sunat perempuan
tertinggi di Indonesia, antara lain Gorontalo, Banga Belitung, Banten, Riau,
Kalimantan Selatan, Jawa Barat. Sulawesi Barat. Ditambah, tiga provinsi yang
memiliki peraturan daerah yang mendukung praktik medikalisasi perempuan di
fasilitas pelayanan kesehatan, yakni Kalimantan Timur, Jambi, dan Nusa Tenggara
Barat.

Dari sisi kebijakan, peraturan tentang sunat perempuan juga mengalami


pasang surut. Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat pernah mengeluarkan
surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan.
Namun di penghujung 2008 terjadi protes dan penolakan Majelis Ulama Indonesia
terhadap surat edaran tersebut.

Perbedaan pendapat ini kemudian disikapi Kemenkes dengan mengeluarkan


Permenkes No. 1636/MENKES/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Bukannya
menegaskan pelarangan pelukaan terhadap genital perempuan, peraturan ini justru
menjadi petunjuk pelaksanaan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan sunat
perempuan.

8|Page
Saat ini, permenkes tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak lagi berlaku
melalui Permenkes Nomor 6 Tahun 2014. Peraturan ini juga memberikan mandat
kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman
penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan
perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi pada genital perempuan.

Ada beberapa tipe FMG sesuai dengan klasifikasi Badan Kesehatan Dunia
(WHO), yaitu mulai dari melukai, menusuk, atau menggores klitoris atau prepusium,
membuang sebagian atau seluruh klitoris, membuang seluruh klitoris dan sebagian
atau seluruh labia minor, hingga memotong seluruh klitoris dan seluruh labia minor
dan mayor dan menyisakan saluran kemih saja, seluruhnya tanpa indikasi medis.

WHO dan Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi Dunia (the International
Federation of Gynecology and Obstetrics) menolak seluruh jenis FMG dan menyebut
tindakan tersebut sebagai “praktik medis yang tidak diperlukan, yang memiliki risiko
komplikasi serius dan mengancam nyawa”. Persatuan Dokter Anak Amerika juga
melarang seluruh anggotanya melakukan tindakan ini, untuk alasan di luar medis.
FMG dianggap mengancam nyawa karena terdapat banyak pembuluh darah di daerah
kemaluan perempuan sehingga memiliki risiko perdarahan yang hebat. Kebanyakan
praktik FMG dilakukan secara ilegal, menyebabkan meningkatnya risiko infeksi
akibat praktik medis tidak steril. Selain itu, perempuan yang mengalami FMG juga
akan mengalami ketidaknyamanan dalam melakukan hubungan seksual yang dapat
menyebabkan efek samping jangka panjang. Persatuan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia (POGI) tidak merekomendasikan sunat perempuan dalam arti pemotongan
klitoris. Hanya saja, pada keadaan tertentu seperti terdapatnya selaput di klitoris,
dapat dilakukan pembukaan selaput tersebut.

9|Page
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Sunat, atau dalam bahasa medis disebut dengan sirkumsisi, sejatinya adalah
tindakan membuang sebagian atau seluruh kulit penutup bagian depan kelamin. Pada
anak laki-laki, tindakan ini dilakukan dengan membuang kulit penutup depan dari
glans penis, atau dikenal juga dengan nama prepusium. Tujuan melakukan sunat pada
anak laki-laki adalah menjaga agar kemaluan bersih dari tumpukan lemak yang
terdapat di lipatan kulit prepusium (dikenal sebagai smegma), menurunkan risiko
infeksi saluran kemih, infeksi pada penis, maupun risiko mengalami penyakit menular
seksual pada usia dewasa.

Tindakan sunat umum dilakukan pada anak laki-laki, namun ada kelompok
masyarakat yang melakukan tindakan sunat pada bayi perempuan. Dari segi medis,
tidak ada rekomendasi rutin untuk melakukan sunat pada bayi perempuan. Tindakan
sunat bayi perempuan ini biasanya dilakukan dengan memotong atau melukai sedikit
kulit penutup (prepusium) klitoris. Secara anatomis, tidak semua anak perempuan
mempunyai prepusium yang menutupi klitoris maupun saluran kemih sehingga secara
anatomis, tidak semua anak perempuan mempunyai prepusium yang menutupi klitoris
maupun saluran kemih sehingga sunat dinilai tidak perlu dilakukan pada setiap
perempuan.

B. Saran

Tidak ada kata sempurna yang pantas untuk segala hal di dunia, begitu juga

dengan makalah yang telah kami susun, oleh karena itu bagi pihak terkait kami

mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan dan semoga makalah ini dapat

bermanfaat. Amiin.

10 | P a g e
Daftar Pustaka

Leslie, White. 1949. The Science of Culture. Strauss: Penerbit Farrar.


Cohen, 1964. Social Work and Social Problem. New York: Penerbit NSW.
Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
Al-Attas, S.M, Al-Naquib. 1981. Islam dan Sukalarisme. Bandung: Pustaka.

11 | P a g e

Vous aimerez peut-être aussi