Vous êtes sur la page 1sur 27

LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Oleh:

BARAKATUL QAMILAH
NIM: 70900118031

CI LAHAN CI INSTITUSI

(……………………........) (……………………………)

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XIV


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu
keadaan dimana fungsi filtrasi glomerulus menurun dan timbul bila ginjal tidak
mampu lagi mempertahankan lingkungan internal konsisten dengan kehidupan
dan bila kembalinya fungsi tidak diharapkan. CKD adalah gangguan fungsi ginjal
yang menahun bersifat progresif dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi ureum dan sampah nitrogen lain dalam darah
(Smeltzer & Bare, 2012).
Menurunnya fungsi glomerulus dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun dan melalui tahapan-tahap sebagai berikut:
1. Decrese Renal Reserve
a. Fungsi ginjal 40-70% normal
b. Kadar Ureum dan Kreatinin DBN
c. Jaringan ginjal mengalami kerusakan 50-60%
2. Renal Insufficiency
a. Fungsi ginjal 20-40% dari fungsi nefron
b. Fungsi filtrasi menurun
c. Fungsi ekresi dan non ekresi terganggu
d. Ureum Kreatinin meningkat
e. Nochturia, poliuria dan anemia
3. End Stage Renal Diasiase
a. Fungsi ginjal kurang dari 15%
b. Pengaturan hormon dan pengeluaran zat yang tidak diperlukan terganggu
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu
d. Ureum Kreatinin lebih meningkat
e. Anemia, hipokalsemia, metabolik asidosis, hiperkalsemia.
B. Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang
progresif dan ireversibel dari berbagai penyebab. Sebab-sebab GGK yang sering
ditemukan dapat dibagi menjadi delapan kelas, (Price & Wilson, 2010):
1. Infeksi : pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan : glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskular hipertensif : nefroskeloris benigna, nefrosklerosisi maligna,
stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter : penyakit ginjal polikistik dan asidosis
tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolik : diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme dan
amiloidosis.
7. Nefropati toksik : penyalahgunaan analgesik dan nefropati timbal.
8. Nefropati obstruktif : saluran kemih bagian atas (kalkuli, eoplasma, fibrosis
retroperitoneal) dan saluran kemih bagian bawah (hipertrofi prostat, striktur
uretra, anomali kongenital apada leher kandung kemih dan uretra).

C. Patofisiologi
Menurut Corwin (2011), ada dua pendekatan teoritis yang biasa dipakai untuk
menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada GGK. Sudut pandang tradisional
mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam
stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan
dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya.
Pendekatan kedua dikenal dengan nama hipotesis Bricker atau hipotesis nefron
yang utuh yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit, maka seluruh
unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal.
Uremia kan timbul bilamana jumlah nefron sudah sedemikian berkurang sehingga
keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis
nefron yang utuh ini paling berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional
pada penyakit ginjal progresif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan
keseimbangan air dan elektrolit tubuh kendatipun ada penuruna GFR yang nyata.
Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah solut yang
harus dieksresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas malakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk malaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solut dan reabsorpsi tubulus
dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat
dalam ginjal turun dibawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil
dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat
fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa
nefron sudah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban solut bagi setiap nefron
demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat lagi
dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proses konservasi
solut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada diet dapat mengubah
keseimbangan yang rawan trsebut, karena makin rendah GFR semakin besar
perubahan kecepatan ekskresi per nefron.

D. Klasifikasi
Menurut Corwin (2011) GGK dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:
1. Tahap I : Penurunan Cadangan Ginjal
a. GFR 40-70 ml/min/menurun 50%
b. BUN dan Creatinin normal tinggi
c. Tidak ada manifestasi klinik
d. CCT : 76-100 ml/min
Pada stage ini tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron sehat mampu
mengkompensasi nefron yang sudah rusak. Penurunan kemmapuan
mengkonsentrasi urin menyebabkan nokturia dan poliuria.
2. Tahap II : Insufisiensi Ginjal
a. GFR 20-40 ml/min atau GFR 20-35%
b. BUN dan Creatinin naik
c. Anemia ringan, polyuria, nocturia, edema
d. CCT : 26-75 ml/min
Nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang dterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolic dalam
darah karena nefron sehat tidak mampu lagi mengkompensasi.
3. Tahap III : Gagal Ginjal
a. GFR : 10-20 ml/min atau <20% normal
b. Anemia sedang, azotemia
c. Gangguan elektrolit : Na ↑, K ↑, dan PO4 ↑
d. CCT : 6-25 ml/min
Makin banyak nefron yang mati
4. Tahap IV : ESRD (End Stage Renal Disease)
a. GFR : < 10 ml/min atau <5% normal
b. Kerusakan fungsi ginjal dalam pengaturan, excretory dan hormonal
c. BUN dan Creatinin
d. CCT : < 5 ml/min
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Diseluruh ginjal ditemukan
jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah
banyak seperti ureum, kreatinin, dalam darah. Ginjal tidak mampu
mempertahankan homeostatsis. Membutuhkan pengobatan dialisa /
transplantasi ginjal.

Menurut American Diabete Association, 2007:

1. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK)
biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan
pada ginjal. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun
tidak lagi dalam kondisi 100%, sehingga banyak penderita yang tidak
mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal tersebut
diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya
seperti diabetes dan hipertensi.
2. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda seseorang berada pada
stadium 2 juga tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi
dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita
memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
3. Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR
moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini
akumulasi sisa–sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut
uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga terkadang
mulai dirasakan seperti:
a. Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat
ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam
tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar
kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam
tubuh.
c. Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
d. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
e. Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
f. Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke
seorang ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan
rekomendasi terbaik serta terapi – terapi yang bertujuan untuk
memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan
juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan
diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta
untuk menjaga kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor
yang ada dalam makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam
darah tetap rendah penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu
penderita juga harus membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam
darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar
dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga
dianjurkan bagi penderita yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol
minuman diperlukan selain pembatasan sodium untuk penderita
hipertensi.
4. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila
seseorang berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat
diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau
uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan
muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit
tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya. Gejala
yang mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir sama dengan stadium 3, yaitu:
a. Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal
tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal
ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian
bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak
nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang
penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
d. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
e. Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
f. Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
g. Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
h. Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
i. Sulit berkonsentrasi
5. Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang
dapat timbul pada stadium 5 antara lain:
a. Kehilangan nafsu makan
b. Nausea.
c. Sakit kepala.
d. Merasa lelah.
e. Tidak mampu berkonsentrasi.
f. Gatal – gatal.
g. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
h. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
i. Kram otot
j. Perubahan warna kulit
E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda GGK sesuai dengan gangguan sistem yang timbul adalah:
1. Sistem gastrointestinal
a. Anoreksia, nausea dan vomitus yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein dalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat
metabolisme bakteri usus seperti amonia dan metil guanidin, serta
sembabnya mukosa usus.
b. Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah
oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia.
Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
c. Cegukan (hiccup), sebabnya yang pasti elum diketahui.
d. Gastritis erosif, ulkus peptik dan kolitis uremik.
2. Sistem integumen
a. Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom.
b. Gatal-gatal dengan akskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan
kalsium di pori-pori kulit.
c. Ekimosis akibat gangguan hematologik.
d. Urea frost akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat.
e. Bekas-bekas garukan karena gatal.
3. Sistem hematologik
a. Anemia normokrom, normositer. Dapat disebabkan oleh berbagai faktor:
1) Berkurangnya produksi eritropoetin sehingga rangsangan eritropoesis
pada sumsum tulang menurun.
2) Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana
uremia toksik
3) Defisiensi besi, asam folat akibat nafsu makan yang kurang
4) Perdarahan pada saluran pencernaan dan kulit
5) Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder.
b. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
1) Masa perdarahan memanjang
2) Perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang serta
menurunnya faktor trombosit III dan ADP (adenosin difosfat).
c. Gangguan fungsi leukosit.
1) Hipersegmentasi leukosit
2) Fagositosis dan kemotaksis berkurang, hingga memudahkan timbulnya
infeksi
3) Fungsi limfosit menurun menimbulkan imunitas yang menurun.
4. Sistem saraf dan otot
a. Restless leg syndrome: Penderita merasa pegal di tungkai bawah dan
selalu menggerakkan kakinya.
b. Burning feet syndrome: Rasa semutan dan rasa terbakar, terutama
ditelapak kaki.
c. Ensefalopati metabolik: Lemah, tak bisa tidur, gangguan konsentrasi;
tremor, asteriksis, mioklonus; kejang-kejang.
d. Miopati: Kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot extremitas
proksimal.
5. Sistem kardiovaskuler
a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garan atau peningkatan aktivitas
sistem renin-angiotensin-aldosteron.
b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung
akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
c. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan
kalsifikasi metastatik.
d. Edema akibat penimbunan cairan.

6. Sistem endokrin
a. Gangguan seksual : libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki
akibat produksi testosteron dan spermatogenesis yang menurun, juga
dihubungkan dengan metabolik tertentu (zink, hormon paratiroid). Pada
wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenorea.
b. Gangguan toleransi glukosa
c. Gangguan metabolisme lemak
d. Gangguan metabolisme vitamin D.
7. Gangguan sistem lain
a. Tulang : osteodistrofi renal yaitu osteomalasia, osteitis ibrosa,
osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatik.
b. Asam basa : asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai
hasil metabolisme.
c. Elektrolit : hipokalsemia, hiperfosatemia, hiperkalemia.
d. Peningkatan ureum dan kreatinin

F. Komplikasi
Komplikasi yang mungkintimbul akibat gagal ginjal kronis antara lain
(Smeltzer & Bare, 2012):
1. Hiperkalemia
Terjadi apabila kalium yang normal diekskresi melalui ginjal
terakumulasi di dalam darah. Keseimbangan elektrolit ini dapat
mengakibatkan serangan jantung, memberikan gejala seperti lemas, merasa
tidak nyaman, merasa kram di daerah perut.

2. Penyakit vascular dan Hipertensi


Penyakit vascular merupakan penyebab kematian utama pada gagal
ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi
mungkin merupakan factor resiko yang paling penting. Sebagian besar
hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan hypervolemia akibat
retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa
menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.
Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respon terhadap retriksi natrium
dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis.
3. Anemia
Kadar eritropoietin dalam sirkulasi rendah. Eritropoetin reekombinan
parenteral meningkatkan kadar hemoglobin, memperbaiki toleransi terhadap
aktivitas fisik, dan mengurangi kebutuhan transfusi darah. Pada pasien gagal
ginjal stadium lanjut sebelum dialysis, eritropoiten mengoreksi anemia dan
memperbaiki keadaan umum, tanpa mempengaruhi tingkat penurunan ginjal.
4. Penyakit tulang
Hipokalisemia akibat penurunan sintesis, hiperfosfatemia, dan
resistensi terhadap kerja PTH di perifer, semuanya turut menyebabkan
penyakit tulang adrenal. Terapinya dengan pembatasan fosfat makanan
dengan atau tanpa mengikat fosfat (kalsium bikarbonat bila kalsium belum
meningkat akibat hiperparatiroidisme tersier).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Urine: Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein
2. Darah: Bun / kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium
serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum
3. Pielografi intravena
a. Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
b. Pielografi retrograd
c. Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
d. Arteriogram ginjal
e. Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
4. Sistouretrogram berkemih: Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks
kedalam ureter, retensi.
5. Ultrasono ginjal: Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa,
kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
6. Biopsi ginjal: Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis
7. Endoskopi ginjal nefroskopi: Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ;
keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
8. Foto Polos Abdomen: Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan
memperburuk fungsi ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada
batu atau obstruksi lain.
9. Pemeriksaan Foto Dada: Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat
kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
10. Pemeriksaan Radiologi Tulang: Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi
metastatik.
11. EKG: Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
a. Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan
hasil pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah
jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus
bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut
dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel.
Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk
mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak. Pemberian vitamin juga
penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air
melalui darah sewaktu dialisa.
2. Simptomatik
Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume
intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan
cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu
penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
Anemia pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia
rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala spesifik
seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas.
Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium
atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari kejang.
3. Terapi Pengganti
a. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal
ginjal karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis
kronik dan menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal.
Transplantasi ginjal merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat
berasal dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru
mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan
dalam menjalankan fungsinya. Seorang ahli bedah menempatkan ginjal
yang baru (donor) pada sisi abdomen bawah dan menghubungkan arteri
dan vena renalis dengan ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal
yang baru yang akan membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau
berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor
hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver).
b. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair
menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan
dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua
teknik itu sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai
respons terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
1) Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan
membran selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak
perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi
pada mesin dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik
dengan efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien
terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan
kardiovaskular).
2) Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di
Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser)
yang berfungsi sebagai ginjal buatan.

Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :


1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan: diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida
untuk terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta
diberi obat yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa
bila terjadi anemia.
3. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis
memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan
perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
4. Penanganan hyperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit
merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia
merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh
karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian
pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5
mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau
sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium
dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium
polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
5. Mempertahankan keseimbangan cairan. Penatalaksanaan keseimbanagan
cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena
sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan
status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine,
drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan
digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.

I. HEMODIALISIS
Hemodialisa adalah suatu proses dialisis yang mempergunakan membran
semipermeabel sebagai pemisah antara darah dan cairan dialisat yang dibuat
dengan sengaja. Perawatan hemodialisis terdiri dari tiga tahap yaitu perawatan
sebelum hemodialisis (pra HD), perawatan selama hemodialisis (intra HD) dan
perawatan sesudah hemodilisis (post HD).

Perawatan sebelum hemodilisis (pra HD)


1. Persiapan Mesin
a. Listrik
b. Air (sudah melalui pengolahan)
c. Saluran pembuangan
d. Dialisat (Proportioning sistim & Batch sisitim).
2. Persiapan peralatan dan obat-obatan
a. Dialyzer/ginjal buatan
b. AV Blood Line, AV Fistula/Abocath
c. Infus set, Spuit , Heparin Injeksi
d. Xylocain (anestesi lokal)
e. NaCl 0,9%
f. Kain kasa/gaas steril, Duk steril
g. Sarung tangan steril
h. Bak kecil steril
i. Mangkuk kecil tseril
j. Klem, Plester
k. Desinfektan (alkohol & betadin)
l. Timbangan BB
m. Formulir hemodialisis
Sirkulasi Darah
a. Cuci tangan.
b. Letakkan ginjal buatan (GB) pada holder dengan posisi merah di atas.
c. Hubungkan ujung putih dari ABL dengan GB ujung merah.
d. Hubungkan ujung putih dari VBL dengan GB ujung biru, ujung biru dari VBL
dihubungkan dengan alat pemampung.
e. Letakkan posisi GB terbalik yaitu yang tanda merah di bawah dan biru di atas.
f. Gantungkan NaCl 0,9% (2-3 kolf).
g. Pasang inus set pada kolf NaCl.
h. Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat khusus.
i. Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL (untuk hubungan tekanan
arteri, tekanan vena, penberaian obat-obatan).
j. Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set.
k. Jalankan QB dengan kecepatan  100 ml/menit.
l. Udara yang ada dalam GB harus hilang (sampai bebas udara) dengan cara
menekan-nekan VBL.
m. Air trap/bouble trap diisi 2/3-3/4 bagian.
n. Setiap kol NaCl sesudah atau hendak mengganti kolf baru QB dimatikan.
o. Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung VBL,
klem tetap dilepas.
p. Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U.
q. Ganti kolf NaCl dengan yang baru yang telah di beri heparin 500 U dan klem
infus dibuka.
r. Jalankan sirkulasi darah dan soaking (melembabkan GB) selama 10-15 menit
sebelum dihubungkan dengan sirkulasi sistemik (pasien)

Cara Melembabkan (Soaking) Ginjal Buatan


Yaitu hubungkan ginjal buatan dengan sirkulasi dialisat. Bila mempergunakan
dialyzer reuse/pemakaian ginjal buatan ulang :
a. Buang formalin dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
b. Hubungkan dializer dengan selang dialisat.
c. Biarkan 15 menit pada posisi rinse.
d. Tes formalin dengan tablet Clinitest :
1) Tampung cairan yang keluar dari dializer darin
2) Ambil cairan  10 tetes, masukkan kedalam tabung gelas kemudian
masukkan 1 tablet clinitest kedalam tabung gelas yang sudah berisi
cairan
3) Lihat reaksi : warna biru (-) negatif dan warna hijau, kuning, dan
coklat (+) positif.
e. Selanjutnya mengisi GB sesuai dengan cara mengisi GB baru.
3. Persiapan pasien
a. Persiapan mental.
b. Izin hemodialisis.
c. Persiapan fisik meliputi timbang BB (bila memungkinkan), posisi, obsevasi
keadaan umum, ukur TTV (TD, nadi, pernapasan dan suhu)

Perawatan selama hemodilisis (intra HD)


1. Persiapan pasien
Sarana hubungan sirkulasi/akses sirkulasi :
Dengan internal A-V shunt / Fistula Cimino
Dengan external A-V shunt (Schibner)
Tanpa point a & b (Femoral dll)
Punksi Cimino
a. Pasien sebelumnya dianjurkan untuk cuci lengan dan tangan.
b. Tehnik aseptik dan antiseptik dengan alkohol atau betadin.
c. Anestesi lokal (lidocain/procain Inj.)
d. Punksi vena (outlet) dengan AV fistula/Abocath kemudian fiksasi dan
tutup dengan kasa steril.
e. Berikan bolus heparin injeksi (dosis awal).
f. Punksi inlet (fistula) kemudian fiksasi dan tutup dengan kassa steril.
Scribner
a. Desinfektan.
b. Klem kanula arteri dan vena.
c. Bolus heparin inj (dosis awal).
Femoral
a. Desinfektan.
b. Anestesi lokal
c. Punksi outlet/vena (pilih salah satu vena yang besar, biasanya dilengan).
d. Bolus heparin inj (dosis awal).
e. Fikasasi dan tutp dengan kassa steril.
f. Punksi inlet (vena/arteri femoralis) :
1) Raba arteri femoralis
2) Tekan arteri femoralis
3) Vena femoralis 0,5-1 cm ke arah medial
4) Anestesi lokal
5) Vena femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3-5 menit
6) Fiksasi
7) Tutup dengan kassa steril.

Memulai Hemodialisis
a. Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet.
b. Ujung VBL line dihubungkan dengan gelas ukur.
c. Semua klem dibuka, kecuali klem infus set.
d. Jalankan pompa darah (blood pump) dengan QB 100 ml/menit, sampai
sirkulasi darah terisi semua.
e. Pompa darah (blood pump) stop, sambungkan ujung dari VBL dengan
punksi outlet.
f. Fiksasi ABL & VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk bergerak).
g. Cairan primming ditampung digelas ukur kemudian jumlahnya dicatat
(cairan dikeluarkan sesuai kebutuhan).
h. Jalankan pompa drah dengan QB 100 ml/mnt, setelah 15 menit bisa
dinaikkan sampai 300 ml/mnt (dilihat dari keadaan pasien).
i. Hubungkan selang-selang untuk monitor venous pressure, arteri pressure,
dan hidupkan air/blood leak detector.
j. Pompa heparin dijalankan (dosis sesuai keperluan). Heparin dilarutkan
dengan NaCl.
k. Ukur tekanan darah, nadi, setiap satu jam. Bila keadaan pasien tidak
baik/lemah lakukan pengukuran tekana darah, nadi lebih sering.
Isi formulir hemodialisis antara lain :
1. Nama, umur, BB
2. Tekanan darah, suhu, nadi, pernapasan
3. Tipe ginjal buatan
4. Ciaran priming yang masuk
5. Makan/minum
6. Keluhan selama hemodialisis
7. Masalah selama hemodialisis.

Perawatan sesudah hemodilisis (post HD)


Mengakhiri Hemodialisis

Persiapan alat :
a. Kain kassa/gaas steril.
b. Plester/band aid.
c. Verban gulung.
d. Alkohol dan betadin.
e. Antibiotik powder (Nebacetin, cicatrin).
f. Bantal pasir 1-1/2 keram (pada punksi femoral).

Cara bekerja :
a. 5 menit sebelum hemodialisis berakhir QB diturunkan sekitar 100 cc/menit
b. Ukur tekanan darah dan nadi
c. Blood pump stop.
d. Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut dan bekas punksi inlet ditekan
dengan kassa steril yang diberi betadin
e. Hubungkan ujung ABL dengan infus set.
f. Darah dimasukkan kedalam tubuh. Blood pump stop, ujung VBL diklem.
g. Jarum out let dicabut, bekas punksi outlet ditekan dengan kassa steril yang
diberi betadin.
h. Bila perdarahan pada bekas punksi inlet dan outlet sudah berhenti, bubuhi
bekas punksi inlet & outlet dengan antibiotik powder, lalu tutp dengan kain
kassa/band aid lalu pasang verban.
i. Ukur tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu.
j. Timbang BB (kalau memungkinkan).
k. Isi formulir hemodialisis.

J. Pencegahan
Pencegahan dilakukan pada populasi sehat dengan perilaku “CERDIK” yaitu:
C: Cek kesehatan secara berkala
E: Enyahkan asap rokok
R: Rajin aktivitas fisik
D: Diet sehat dengan kalori seimbang
I: Istirahat yang cukup
K: Kelola stress

Pencegahan yang bisa dilakukan oleh penderita supaya gagal ginjal kronis
tidak bertambah buruk meliputi:
1. Menjaga berat badan ideal
2. Menghentikan kebiasaan merokok, karena kebiasaan ini dapat memperburuk
kondisi ginjal.
3. Mengikuti petunjuk dokter dalam mengatur pola makan dan konsumsi obat
4. Hindari konsumsi obat pereda nyeri golongan OAINS yang dapat
memperburuk kondisi ginjal.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Aktivitas/istirahat
a Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise
b Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
c Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
2. Sirkulasi
a. Riwayat hipertensi lama atu berat
b. Edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak, tangan
c. Pucat; kulit coklat kehijauan, kuning
d. Kecenderungan perdarahan.
3. Integritas ego
a. Faktor stress, contoh finansial, hubungan, dsb
b. Perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan
c. Ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
4. Eliminasi
a. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
b. Abdomen kembung, diare atau konstipasi.
c. Perubahan warna urine.
5. Makanan/cairan
a. Peningkatan BB cepat (edema) atau penurunan BB (malnutrisi)
b. Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada
mulut (pernapasan amonia)
c. Penggunaan diuretik
d. Disteni abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir)
e. Perubahan turgor kulit/kelembaban
f. Edema
g. Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah
h. Peurunan otot, lemak subkutan dan penampilan tak bertenaga.
6. Neurosensori
a. Sakit kepala, penglihatan kabur
b. Kram otot/kejang, kebas rasa terbakar pada telapak kaki
c. Kesemutan dan kelemahan khususnya ekstemitas bawah (neuropati
perifer)
d. Gangguan satus mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori
e. Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7. Nyeri/kenyamanan
a. Nyeri panggul, sakit kepala; kram otot/nyeri kaki
b. Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
8. Pernapasan
a. Napas pendek; dispnea nokturnal paroksismal; batuk dengan/tanpa
sputum kental da banyak
b. Takipnea, peningkatan frekuensi/kedalaman pernapasan (pernapasan
Kussmaul)
c. Batuk produktif dengan sputum merah muda-encer (edema pru).
9. Keamanan
a. Kulit gatal
b. Ada/berulangnya infeksi
c. Pruritus
d. Demam (sepsis, dehidrasi)
e. Peteki, area ekimosis pada kulit
f. Faktor tulang; deposit fosfat kalium pada kulit, jaringan lunak,
keterbatasan gerak sendi.
10. Seksualitas: Penurunan libido; amenorea; infertilitas.
11. Interaksi sosial: Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.
B. Diagnose Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan kosentrasi HB
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen
4. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
5. Deficit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrien
DAFTAR PUSTAKA

Corwin. 2011. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia “Definisi dan Indikator


Diagnostik”. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia “Definisi dan Tindakan”.


Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Price Sylvia, A., Wilson, M. L. 2010. Patofisiologi Konsep Klinis; Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C & Bare, B. G. 2012. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 2.
Jakarta: EGC
C. Intervensi Keperawatan

No. Diagnose Keperawatan Luaran Intervensi Keperawatan Rasional

1. Gangguan pertukaran gas Pertukaran gas a. Monitor frekuensi, irama, kedalan dan a. Mengetahui gangguan pada
membaik upaya nafas saluran pernapasan pasien
berhubungan dengan
b. Monitor pola nafas b. Mengetahui pola nafas pasien
ketidakseimbangan c. Monitor adanya sumbatan jalan nafas dan c. Mengetahui penyebab
sputum gangguan jalan nafas
ventilasi-perfusi
d. Monitor saturasi oksigen d. Penurunan saturasi untuk
e. Atur interval pemantauan respirasi dan diindikasikan pemberian
dokumentasikan hasil oksigen
f. Jelaskan tujuan dan procedure pemantauan e. Mengetahui perkembangan
dan informasikan hasil pemantauan pasien
f. Meningkatkan pengetahuan
pasien

2. Perfusi perifer tidak efektif Perfusi perifer a. Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer, a. Mengetahui tanda dan gejala
membaik edema) gangguan sirkulasi
berhubungan dengan
b. Identifikasi factor resiko gangguan b. Mengetahui penyebab
penurunan kosentrasi HB sirkulasi (diabetes, hipertensi) c. Mengehaui komplikasi
c. Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau d. Mencegah spasme jaringan
bengkak pada ekstremitas e. Konsumsi obat hipertensi dapat
d. Hindari pemasangan infus, pengambilan memperbaiki sirkulasi dan
darah, pengukuran tekanan darah pada area pelebaran pembuluh darah
keterbatasan perfusi f. Diet yang benar dapat
e. Anjurkan minum obat pengontrol tekanan memperbaiki proses perbaikan
darah secara teratur g. Mengetahu secara dini gejala
f. Ajarkan program diet untuk memperbaiki dan persiapan pemberian
sirkulasi tindakan dini
g. Informasikan tanda dan gejala darurat yang
harus dilaporkan

3. Intoleransi aktivitas Intoleransi aktivitas a. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang a. Mengetahui penyebab
membaik mengakibatkan kelelahan kelelahan
berhubungan dengan
b. Monitot kelelahan fisik dan emosional b. Megetahui keadaan dan
ketidakseimbangan antara c. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah perkembangan kemampuan
stimulus (cahaya, suara, kunjungan) fisik
suplai dan kebutuhan
d. Lakukan latihan rentang gerak aktif atau c. Merileksasikan kondisi pasien
oksigen pasif d. Latihan dapat memperbaiki
e. Anjurkan tirah baring fungsi gerak
f. Anjurkan melakukan aktivitas secara e. Meminimalisir kebutuhan
bertahap energy
g. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda f. Mencegah kekauan otot
dan gejala kelelahan tidak berkurang g. Penentuan tindakan lanjutan

4. Hypervolemia Hypervolemia a. Periksa tanda dan gejala hypervolemia a. Mengetahui gejala


menurun b. Identifikasi penyebab hypervolemia hipervolemia
berhubungan dengan
c. Monitor intake dan output cairan b. Mengetahui penyebab utama
gangguan mekanisme d. Timbang berat badan setiap hari pada hypervolemia
waktu yang sama c. Menyeimbangkan cairan
regulasi
e. Batasi asupan cairan dan garam d. Mengetahui perkembangan
f. Ajarkan melapor jika BB bertambah >1 kg kondisi
dalam sehari e. Pencegahan perburukan
g. Ajarkan cara membatasi cairan kondisi
h. Kolaborasi pemberian deuretik

5. Deficit nutrisi berhubungan Deficit nutrisi a. Identifikasi status nutrisi a. Mengetahui status nutrisi
dengan ketidakmampuan membaik b. Monitor asupan makanan pasien
mengabsorbsi nutrien c. Monitor BB b. Mengidentifikasi asupan nutrisi
d. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika c. Penentuan kondisi pasien
perlu d. Meningkatkan nafsu makan
e. Fasilitasi menentukan pedoman diet e. Penentuan asupan yang tepat
f. Ajarkan diet yang diprogramkan f. Peningkatan kesadaran pasien
g. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk g. Penentuan kebutuhan energy
menentukan jumlah kalori dan jenis pasien secara tepat
nutrient yang dibutuhkan
D. Implementasi
Melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi keperawatan yang

telah di rencanakan
E. Evaluasi
Melakukan monitoring atau observasi kondisi pasien setelah diberikan

tindakan keperawatan (implementasi keperawatan) sesuai dengan standar SOAP.

Vous aimerez peut-être aussi