Vous êtes sur la page 1sur 11

PENGGUNAAN TERAPI SEL PUNCA MESENKIMAL DAN UNSUR

BIOLOGIS PEMBENTUK TULANG SEBAGAI TERAPI INVASIF


MINIMUM DALAM PENANGANAN FRAKTUR TULANG

Ariel Valentino – 1606900064 – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

1. Pendahuluan

Salah satu masalah skeletal klinis yang akhir-akhir ini kerap timbul pada
manusia dari semua golongan usia adalah fraktur (patah tulang), yang mana
apabila tidak ditangani segera dapat menjadi masalah yang serius. Menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, patah tulang yang disebabkan oleh cedera di
Indonesia memiliki angka insidensi 5,8% secara keseluruhan dan 10% untuk
penderita diatas usia 75 tahun.(1) Fraktur memiliki banyak jenis dan banyak
penyebab. Sebagai contoh, fraktur bisa disebabkan karena trauma dari kecelakaan,
cedera olahraga, ataupun stress mekanik yang berlebihan.
Sebenarnya, fraktur pada tulang manusia dapat ditangani dengan metode
invasif seperti transplantasi tulang (bone graft). Namun, metode tersebut tidak
selalu efektif karena berbagai alasan. Alasan tersebut meliputi waktu yang lama,
risiko infeksi yang relatif besar, dan tidak semua jenis fraktur bisa diselesaikan
dengan metode invasif. Transplantasi tulang sudah terbukti memakan waktu yang
relatif lama serta bisa menyebabkan infeksi karena luka-luka invasi tersebut.
Selain itu, metode transplantasi akan sangat susah untuk menangani jenis fraktur
yang tulangnya tidak hanya patah namun pecah menjadi serpihan tulang.
Dari ketidaksempurnaan metode invasif, maka timbul suatu kebutuhan
untuk metode tata laksana non-invasif yang dapat mengurangi risiko dan
mencegah komplikasi.
Oleh karena itu, penulis ingin mengusulkan, mendiskusikan dan
membandingkan beberapa teknik invasif minimum untuk menangani fraktur
tulang, yaitu penggunaan sel punca (stem cell) mesenkimal sebagai cikal bakal
tulang itu sendiri dan teknik administrasi beberapa unsur biologis pembentuk
tulang seperti sumsum tulang, beberapa growth factor, dan kalsium fosfat untuk
memperbaiki tulang yang patah.

1
2. Isi
2.1. Tinjauan Pustaka

Sel-sel tulang yang menyusun tulang berasal dari sel-sel pluripoten yang
bernama sel punca mesenkimal (mesenchymal stem cells/MSC) yang kemudian
dapat berdiferensiasi menjadi osteoprogenitor. Osteoprogenitor dapat
berdiferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblas. Jaringan tulang tersusun atas
matriks ekstraseluler yang menyelubungi sel-sel tulang, yaitu osteoprogenitor,
osteoblas, osteoklas, dan osteosit. Matriks ekstraseluler terdiri atas air, serat
kolagen, dan garam-garam mineral. Garam mineral yang paling dominan adalah
kalsium fosfat. Hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2] merupakan kristal dari mineral-
mineral kalsium fosfat dan kalsium hidroksida yang memberi sifat kaku dan keras
kepada tulang.(2)
Sel punca (stem cells) memiliki dua kemampuan, yaitu kemampuan untuk
berdiferensiasi menjadi bermacam-macam sel dan kemampuan untuk
meregenerasi jaringan-jaringan pada tubuh manusia, termasuk jaringan tulang.(3)
Sel punca mesenkimal (MSC) merupakan sel punca multipoten yang
berdiferensiasi menjadi osteosit, kondrosit, mielosit, dan adiposit. Sel punca
mesenkimal memiliki sifat imunogenik yang kurang karena tidak memiliki
molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) Class II untuk mengaktivasi
sel T helper (CD4) dari tubuh kita. Hal ini akan mengurangi penolakan dari sistem
imun. Hal ini membuat sel punca mesenkimal menarik bagi para peneliti dan ahli
untuk digunakan.(4) Sel punca mesenkimal dapat ditemukan di bagian stroma
sumsum tulang dan jaringan lainnya. Oleh karena itu, sel punca mesenkimal juga
disebut sel punca stromal.(5)
Pembentukan tulang (osifikasi) bisa terjadi dalam dua peristiwa, yaitu
osifikasi endokondral dan osifikasi intramembran. Dalam osifikasi endokondral,
tulang sejati dibentuk dari tulang rawan. Tulang rawan tersebut akan mengalami
kalsifikasi menjadi tulang keras nantinya, sekaligus dengan pertumbuhan sumsum
tulang dan pembuluh darah didalam tulang. Sedangkan dalam osifikasi
intramembran, tulang sejati tidak dibentuk dari tulang rawan melainkan sel-sel
punca mesenkimal langsung berdiferensiasi menjadi osteoblas dan mengisi

2
matriks tulang. Proses osifikasi intramembran terjadi di dalam jaringan mesenkim
yang berperan sebagai membrannya.(2)

Osifikasi Intramembran (Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy


and Physiology. Wiley. 2014. 14th ed)

Osifikasi Endokondral (Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy


and Physiology. Wiley. 2014. 14th ed)
Fraktur merupakan patahan pada kontinuitas struktural tulang, yang
disebabkan oleh dorongan (gaya) dan tekanan yang abnormal pada tulang yang
patah tersebut. Istilah fraktur sebenarnya cukup luas dalam dunia kedokteran
karena fraktur memiliki jenis dan penyebab yang relatif banyak. Menurut keadaan
terpisahnya, fraktur dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu fraktur sempurna
(complete) dan tidak sempurna (incomplete). Fraktur sempurna merupakan
keadaan dimana daerah patahan tulang memisahkan kedua segmen tulang yang
patah. Fraktur tidak sempurna merupakan kebalikannya, yaitu daerah patahan
tulang tidak sampai memisahkan kedua segmen tulang. Kemudian berdasarkan
keadaan kulit setelah fraktur, fraktur dibedakan menjadi dua jenis yaitu fraktur
terbuka (open/compound fracture) dan fraktur tertutup (closed/simple fracture).
Fraktur terbuka adalah keadaan dimana tulang yang patah menembus kulit dan

3
terekspos ke udara luar, sedangkan fraktur tertutup adalah keadaan patah tulang
dimana tulang tetap berada di dalam kulit dan tidak sampai menembus/menyobek
kulit atau jaringan-jaringan didalamnya. Ada juga fraktur khusus bernama stress
fracture yang disebabkan oleh tegangan/stress yang berlebihan pada tulang.(6)
Fraktur menempati peringkat-peringkat atas dalam prevalensi masalah
patologis pada tulang. Meskipun demikian, tubuh kita mempunyai mekanisme
untuk memperbaiki fraktur tulang. Pemulihan dari suatu fraktur terdiri atas tiga
fase, yaitu inflammatory (peradangan), reparative (reparasi), dan remodelling.
Fase peradangan meliputi neovaskularisasi (pertumbuhan ulang saraf dan
pembuluh darah). Osteosit di sekitar daerah fraktur mengalami nekrosis sehingga
daerah lakuna tulang kosong. Fase reparasi meliputi pembentukan jaringan tulang
rawan khusus bernama callus di daerah fraktur. Bagian-bagian ujung yang patah
sudah dirombak oleh osteoklas. Daerah sumsum tulang juga sudah
tervaskularisasi. Pada fase ini, sel-sel osteoprogenitor yang pluripoten aktif
berdiferensiasi menjadi osteoblas dan fibroblas. Fase terakhir yaitu remodelling
meliputi pertumbuhan callus menjadi tulang keras dan menyegel dua ujung dari
tulang yang fraktur. Korteks tulang kembali normal dan tulang mendapatkan
kekuatan mekaniknya kembali. Namun secara biologis, tulang tidak pernah
sepenuhnya pulih dari fraktur.(7) Komponen penyusun tulang seperti matriks
kolagen, hidroksiapatit, dan b-trikalsium fosfat juga membantu pemulihan dengan
meningkatkan proliferasi sel-sel tulang agar tulang dapat beregenerasi dengan
lebih cepat.(3)

Tahap pemulihan tulang setelah fraktur (Rubin E. Essentials of Rubin’s


Pathology. 2014. 6th ed)
Penanganan yang biasanya digunakan untuk fraktur adalah transplantasi
tulang (bone graft). Bone graft bisa dibagi menjadi tiga, yaitu autograft, allograft,

4
dan xenograft. Autograft berarti tulang didapatkan dari bagian tubuh lain
penderita (penderita sebagai donor untuk dirinya sendiri), seperti tulang tengkorak
dan mandibula. Allograft berarti tulang didonorkan oleh orang lain, dengan donor
bisa orang hidup atau orang yang sudah meninggal dunia (kadaver). Xenograft
artinya tulang donor adalah tulang yang bukan milik manusia seperti tulang milik
sapi dan hewan-hewan dari subfamili bovinae.(5)

2.2. Pembahasan

Selama berabad-abad, metode yang paling sering digunakan dalam


penanganan fraktur tulang adalah pembedahan dengan bone graft, yaitu
menggantikan tulang yang fraktur dengan tulang baru. Namun ternyata, bone graft
memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan dari bone graft jenis autograft adalah
bekas operasi (bedah) yang menyebabkan rasa sakit setelah pembedahan,
kemungkinan kehilangan darah, kemungkinan infeksi dan luka neurovaskular, dan
waktu yang lama. Kelemahan dari bone graft jenis allograft adalah biaya yang
mahal, proses yang rumit dan sulit (memproses dan mengekstrak jaringan tulang),
dan juga ada risiko terkena infeksi walaupun kecil. Kelemahan dari xenograft
adalah hasil yang tidak memuaskan dan risiko komplikasi infeksi yang cukup
besar (25% yang melakukan terkena komplikasi pseudoinfeksi).(5)
Selain itu, pada tahun 2015 telah dilakukan sebuah penelitian di Cina oleh
Zuo dan rekan-rekannya yang menunjukkan kegagalan klinis dari bone graft pada
bagian caput (kepala) tulang femur. Pada penelitian tersebut, rasio kegagalan
klinis untuk pasien dibawah usia 40 tahun mencapai 20,5% dan untuk pasien 40
tahun dan diatasnya mencapai 39%. Caput femoral pasien-pasien tersebut banyak
yang mengalami keruntuhan (collapse) secara progresif setelah operasi.(8)
Penggunaan sel punca mesenkimal (MSC) ternyata memberi hasil yang
memuaskan. Peristiwa fraktur sebuah tulang menyebabkan jumlah sel punca
mesenkimal dalam sumsum tulang meningkat dan migrasi sel-sel tersebut ke
daerah fraktur. Sebuah penelitian oleh Pereira dan kolega ilmiahnya menggunakan
tikus yang mengalami fraktur tulang sebagai subjek penelitian. Pada penelitian
tersebut, tikus-tikus yang mengalami fraktur ditransplantasikan sel-sel punca

5
mesenkimal. Hasil menunjukkan volume dan kekuatan callus yang meningkat
setelah sel-sel itu terintegrasi kedalam callus, mengarah kepada perbaikan tulang
yang optimal. Ternyata, itu disebabkan oleh sel-sel punca mesenkimal yang
mengekspresikan BMP-2, salah satu growth factor yang penting dalam
pembentukan tulang.(4,9)
BMP-2 merupakan salah satu dari protein-protein growth factor khusus
bernama bone morphogenetic proteins (BMP). BMP berperan dalam
perkembangan awal pada tulang dengan meningkatkan proses diferensiasi sel
punca mesenkimal menjadi kondrosit dan osteoblas. BMP melakukan kerjanya
dengan cara mengikat pada reseptornya dapat mengaktifkan transkripsi gen untuk
diferensiasi tersebut. Selain untuk osteogenesis, BMP juga dapat menstimulasi
angiogenesis. BMP yang paling sering dikaji dan digunakan adalah BMP-2 dan
BMP-7.(3,5)
Selain itu, kombinasi antara growth factor dari endotelium pembuluh
darah, yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF) dan BMP menstimulasi
osteogenesis / osifikasi (pembentukan tulang) dan angiogenesis (pembentukan
pembuluh darah) sehingga merangsang pertumbuhan tulang dan meningkatkan
kekuatan tulang. Osteoprogenitor untuk osteoblas merangsang sel-sel lain untuk
memperbaiki fraktur tulang dengan osifikasi intramembran, sedangkan sel-sel
punca mesenkimal yang belum terdiferensiasi kemudian berdiferensiasi menjadi
kondroblas dan memperbaiki tulang dengan osifikasi endokondral.(9) Sel punca
mesenkimal menstimulasi angiogenesis secara tidak langsung dengan sekresi
mikrovesikel, sitokin, dan growth factor yang merangsang sel-sel endotel untuk
memediasi angiogenesis. Dengan demikian, pemulihan fraktur, luka, serta infeksi
dapat ditingkatkan.(4)
Selain sel punca mesenkimal, penggunaan unsur-unsur pembentuk tulang
seperti sumsum tulang, kalsium fosfat, dan growth factor seperti BMP yang telah
disebutkan sebelumnya dan plasma yang kaya akan trombosit (platelet rich
plasma/PRP) juga telah terbukti efektif dalam menangani fraktur tulang.
Konsentrat sumsum tulang (concentrated bone marrow aspirate)
mengandung sel-sel punca mesenkimal yang berpotensi untuk berdiferensiasi
menjadi osteoblas. Sumsum tulang tidak hanya mengandung MSC namun juga

6
sel-sel progenitor tulang lainnya dan sel-sel punca hematopoietik untuk sel darah.
Sebuah penelitian oleh Khanal dan rekan-rekannya mengkaji pengaruh pemberian
konsentrat sumsum tulang terhadap kecepatan penyembuhan tulang dari fraktur.
Ternyata, hasilnya menunjukkan bahwa kelompok perlakuan, yaitu orang yang
disuntik dengan konsentrat sumsum tulang mengalami penyatuan tulang sekitar
19 hari lebih cepat daripada kelompok kontrolnya (kelompok perlakuan dalam
kira-kira 3.65 bulan sedangkan kelompok kontrol dalam 4.3 bulan).9 Injeksi
konsentrat sumsum tulang merupakan terapi invasif minimum yang mampu
menghindari komplikasi-komplikasi berkelanjutan akibat bone graft yang
tradisional.(10)
Kalsium fosfat merupakan komponen anorganik yang sangat penting
dalam proses pertumbuhan tulang. Salah satu terapi dengan kalsium fosfat adalah
injeksi calcium phosphate cement (CPC) yang ditemukan oleh Chow dan Brown
pada tahun 1986. Teknik injeksi tersebut invasif minimum dan sering digunakan
untuk mengurangi biaya dan angka kematian. Semen tersebut merupakan kalsium
fosfat dengan cairan yang kemudian mengeras pada tulang setelah diinjeksi.
Reaksi pengerasan tersebut membentuk nanokristal hidroksiapatit. Reaksi tersebut
isotermik dan berada pada pH fisiologis sehingga tidak merusak jaringan sekitar.
Semen tersebut sangat biokompatibel dan osteokonduktif (merangsang
pembentukan tulang). Seiring berjalannya waktu, semen dalam tulang tersebut
akan dirombak dan digantikan oleh tulang sejati. Perombakan tersebut distimulasi
oleh nanokristal hidroksiapatit dalam semen.(5)
Pada penelitian berikutnya oleh Long Yu dan koleganya, CPC kemudian
dicampur dengan bioactive glass (BG) untuk menjadi sebuah komposit. Walaupun
waktu pembuatannya lebih lama, komposit CPC-BG tersebut ternyata memiliki
injektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan semen CPC murni. Selain
itu, komposit CPC-BG memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan semen
CPC murni. Pada hari pertama setelah dibuat campurannya, semen CPC murni
hanya memiliki kekuatan kompresi 15 MPa sedangkan komposit CPC-BG
memiliki kekuatan kompresi 25 MPa.(11) Selain bioactive glass, seorang peneliti
lain dari Cina bernama Jingjing Dong bersama kolega-koleganya mencampur
CPC dengan lem fibrin (fibrin glue/FG) kemudian membandingkannya dengan

7
semen CPC murni. Komposit CPC-FG tersebut kemudian diinjeksi ke kelinci
yang mengalami fraktur femur. Hasilnya menunjukkan volume tulang/volume
trabekula (jaringan tulang berongga) kelinci paling besar pada kelompok
komposit CPC-FG dengan rasio bubuk:cairan 1:1. Maka, dapat disimpulkanbahwa
komposit CPC-FG dengan rasio campuran bubuk:cairan 1:1 memiliki kekuatan
kompresi dan modulus elastisitas (Modulus Young) yang lebih besar
dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya yaitu CPC FG 3:1, CPC-FG
5:1, dan kelompok kontrolnya yaitu semen CPC murni.(12)
PRP sangat mudah untuk didapatkan dari darah. PRP diperoleh dari
sentrifugasi darah untuk kemudian diinjeksikan ke bagian tulang yang patah. PRP
mengandung granula-granula yang merupakan sumber growth factor yang sangat
dibutuhkan dalam perbaikan tulang patah, seperti platelet-derived growth factor
(PDGF), transforming growth factor (TGF), dan insulin-like growth factor (IGF).
PRP terbukti dapat mensintesis hialuronat fibroblas, yaitu syarat untuk
terbentuknya matriks ekstraseluler. Dengan demikian, pembentukan tulang dapat
ditingkatkan.(5)
PRP jarang digunakan sendiri dalam terapi namun digunakan sebagai co-
growth factor dalam terapi pemulihan tulang. Suatu penelitian oleh Atalay dan
rekan-rekannya menggunakan amlodipin (AML) sebagai obat pemblokir kanal ion
kalsium dan PRP untuk pemulihan tulang. Hasilnya menunjukkan bahwa apabila
amlodipin digunakan sendiri, obat tersebut memberi efek netral pada proses
pemulihan tulang (tidak meningkatkan atau menurunkan). Namun apabila
amlodipin dicampur dengan PRP, hasilnya menunjukkan perbedaan yang cukup
signifikan. Campuran amlodipin-PRP ternyata mempercepat proses pemulihan
tulang. Hal tersebut membuktikan peran PRP sebagai co-growth factor.(13)

3. Kesimpulan

Dari teori dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terapi
penanganan fraktur tulang yang bersifat invasif seperi bone graft kurang efektif
untuk diaplikasikan karena lama, riskan menyebabkan komplikasi, dan kurang
fleksibel. Maka dari itu, muncullah terapi-terapi invasif minimum untuk

8
meminimalisasi kelemahan-kelemahan dari terapi invasif. Terapi invasif
minimum yang diusulkan adalah penggunaan sel punca mesenkimal, konsentrat
sumsum tulang, semen kalsium fosfat, dan growth factor. Semua bahan tersebut
diadministrasikan dengan cara injeksi. Sel punca mesenkimal terbukti efektif
dengan kemampuan diferensiasinya menjadi sel tulang untuk mempercepat proses
regenerasi tulang. Konsentrat sumsum tulang berperan dalam regenerasi tulang
juga karena mengandung sel-sel punca mesenkimal, sel-sel progenitor, dan sel-sel
punca hematopoietik untuk menjadi sel darah. Semen kalsium fosfat sangat efektif
karena memiliki kekuatan mekanik yang tinggi setelah mengeras. Untuk
meningkatkan kekuatan, semen kalsium fosfat bisa dicampur dengan bioactive
glass atau fibrin glue menjadi sebuah komposit dan sudah terbukti efektif. Growth
factor seperti bone morphogenetic proteins (BMP) dan platelet-rich plasma (PRP)
sangat efektif dalam menstimulasi pertumbuhan tulang. BMP dapat menstimulasi
osteogenesis dan angiogenesis, sedangkan PRP efektif apabila digunakan sebagai
co-growth factor bersamaan dengan senyawa lain seperti amlodipin. Dengan
demikian, penulis menyatakan bahwa terapi-terapi invasif minimum yang telah
dijelaskan lebih efektif dibandingkan dengan terapi invasif yang ada.

4. Daftar Pustaka

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384.
2. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 14th ed.
Wiley. 2014. 1127 p.
3. Emara KM, Diab RA, Emara AK. Recent biological trends in management
of fracture non-union. World J Orthop. 2015;6(8):623–8.
4. Thurairajah K, Broadhead M, Balogh Z. Trauma and Stem Cells: Biology
and Potential Therapeutic Implications. Int J Mol Sci [Internet].
2017;18(3):577. Available from: http://www.mdpi.com/1422-
0067/18/3/577
5. Campana V, Milano G, Pagano E, Barba M, Cicione C, Salonna G, et al.
Bone substitutes in orthopaedic surgery: from basic science to clinical

9
practice. J Mater Sci Mater Med. 2014;25(10):2445–61.
6. White TD, Black MT, Folkens PA. Human osteology. 3rd ed. Oxford:
Elsevier Academic Press; 2012. Chapter 19, Osteological and Dental
Pathology; p. 433-435
7. Rubin E. Essentials of Rubin’s Pathology [Internet]. 6th ed. 2009. 648 p.
Available from:
http://books.google.com/books?id=7HdzBBhtxycC&pgis=1
8. Zuo W, Sun W, Zhao D, Gao F, Su Y, Li Z. Investigating Clinical Failure
of Bone Grafting through a Window at the Femoral Head Neck Junction
Surgery for the Treatment of Osteonecrosis of the Femoral Head. PLoS
One [Internet]. 2016;11(6):e0156903. Available from:
http://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0156903
9. Watson L, Elliman SJ, Coleman CM. From isolation to implantation: a
concise review of mesenchymal stem cell therapy in bone fracture repair.
Stem Cell Res Ther [Internet]. 2014;5(2):51. Available from:
http://stemcellres.com/content/5/2/51
10. Virk MS, Lieberman JR. Biologic adjuvants for fracture healing. Arthritis
Res Ther [Internet]. 2012;14:225. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3674596&tool=
pmcentrez&rendertype=abstract
11. Yu L, Li Y, Zhao K, Tang Y, Cheng Z, Chen J, et al. A Novel Injectable
Calcium Phosphate Cement-Bioactive Glass Composite for Bone
Regeneration. PLoS One. 2013;8(4).
12. Dong J, Cui G, Bi L, Li J, Lei W. The mechanical and biological studies of
calcium phosphate cement-fibrin glue for bone reconstruction of rabbit
femoral defects. Int J Nanomedicine. 2013;8:1317–24.
13. Atalay Y, Bozkurt MF, Gonul Y, Cakmak O, Agacayak KS, Kose I,
Hazman O, Keles H, Turamanlar O, Eroglu M. The effects of amlodipine
and platelet rich plasma on bone healing in rats. Drug Design,
Development and Therapy. 2015;1973–81.

10
11

Vous aimerez peut-être aussi