Vous êtes sur la page 1sur 12

disetujui terbit 31 Desember 2017

Abstract Background: One of the priorities of health development is the prevention of the spread of
infection especially HIV/AIDS. Increasing HIV/AIDS prevalence also increases the risk of health workers
working in health facilities and may be exposed to infection and potentially life-threatening. Prevention
efforts are undertaken by improving the understanding of health personnel about implementing
universal precaution in providing health services for HIV/AIDS prevention. Objective: The study aims to
identify information on universal precaution action for HIV/AIDS prevention as evidence based for
decision maker's consideration in hospital policy. Method: The study was conducted with a qualitative
approach presented by descriptive explorative, both primary and secondary data in one referral hospital
in South Kalimantan in the inpatient room in 2012. Primary data obtained through questionnaire on
sample of 107 respondents, in-depth interviews and observations. Secondary data is done by reviewing
documents against relevant books and regulations. Results: The study showed that most of the
respondents were educated at D3 (72.0%), working period ≥ 5 years (63.6%), Understanding less
(66.7%). Conclusion: Understanding of health workers about universal precaution is still lacking and at
risk of HIV/AIDS infection. Therefore, it is necessary for the attention of the hospital leaders to make a
policy by seeking the refresher of information, training on universal precaution and more motivating the
health officer to better understand the management of universal precaution

Keywords: Health workers, Universal Precaution, HIV/AIDS

Abstrak Latar belakang: Salah satu prioritas pembangunan kesehatan adalah pencegahan penyebaran
infeksi terutama HIV/AIDS. Peningkatan prevalensi HIV/AIDS juga meningkatkan risiko tenaga kesehatan
yang bekerja di fasilitas kesehatan dan dapat terpapar oleh infeksi dan potensial membahayakan
jiwanya. Upaya pencegahan yang dilakukan dengan meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan
mengenai pelaksanaan universal precaution dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk pencegahan
HIV/AIDS. Tujuan: Diperolehnya informasi pemahaman perawat terhadap tindakan universal precaution
untuk pencegahan HIV/AIDS sebagai bahan masukan dan pertimbangan pengambil keputusan dalam
menentukan kebijakan di rumah sakit. Metode: Kajian dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang
disajikan secara deskriptif eksploratif, baik data primer maupun sekunder di salah satu RS rujukan di
Kalimantan Selatan pada ruang rawat inap tahun 2012. Data primer diperoleh melalui kuesioner pada
sampel 107 responden, wawancara mendalam dan pengamatan. Data sekunder dilakukan dengan telaah
dokumen terhadap buku dan peraturan yang terkait. Hasil: Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden berpendidikan D3 (72,0%), masa kerja ≥ 5 tahun (63,6%), pemahaman kurang (66,7%).
Kesimpulan: Pemahaman tenaga kesehatan tentang universal precaution masih kurang dan berisiko
terinfeksi penyakit HIV/AIDS. Untuk itu perlu perhatian dari pimpinan RS untuk membuat kebijakan
dengan mengupayakan penyegaran informasi, pelatihan mengenai universal precaution dan lebih
memotivasi petugas kesehatan agar lebih memahami penatalaksanaan universal precaution.

Kata kunci: Tenaga kesehatan, Kewaspadaan Universal, HIV/AIDS

PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal salah satu upaya
adalah dengan pencegahan penyebaran infeksi terutama Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS).1 Peningkatan prevalensi HIV/AIDS meningkatkan risiko tenaga
kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan akan terpapar oleh infeksi yang secara potensial dapat
membahayakan jiwanya. Hal ini dapat terjadi apabila tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan
kesehatan tanpa memperhatikan dan melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Dalam upaya
menurunkan risiko terinfeksi HIV/AIDS maka diperlukan peran Pemerintah dan masyarakat untuk
melaksanakan upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya secara optimal sesuai amanat Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009.2 Sejak adanya
pandemik AIDS, konsep universal precaution telah diterapkan pada semua pasien dan spesimen
laboratorium tanpa mempedulikan diagnosis. Tindakan kewaspadaan universal bertujuan untuk
mencegah paparan tenaga kesehatan dan pasien terhadap darah dan cairan tubuh yang dianggap
berpotensi terinfeksi dan dapat ditularkan melalui darah seperti tindakan HIV dan hepatitis B dan C.3

Dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, maka diperlukan pelayanan kesehatan yang
optimal. Pelayanan kesehatan adalah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga perlu sarana pelayanan kesehatan yang strategis dan
terjangkau oleh masyarakat.4 Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan mutu fasilitas kesehatan
yang menjadi prioritas dalam pembangunan bidang kesehatan.

Dalam upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan diperlukan tenaga kesehatan yang

berkualitas, karena tenaga kesehatan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan yang berkualitas tidak hanya memiliki etika dan moral yang
tinggi tetapi juga upaya untuk meningkatkan keahliannya secara terus menerus melalui peningkatan
pendidikan salah satunya. Pendidikan yang tinggi diharapkan mampu membuat tenaga kesehatan
berperilaku positif dalam memahami dan melaksanakan prosedur universal precaution, selain ditunjang
oleh sarana dan prasarana, serta Standard Operating Procedure (SOP) yang mengatur langkah langkah
tindakan universal precaution.

Universal precaution merupakan pendekatan yang fokus pada tujuan untuk melindungi pasien dan
petugas kesehatan dari semua cairan lendir dan zat tubuh (sekret dan ekskret) yang berpotensi
menginfeksi bukan hanya darah.5 Tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah pasien, sehingga dapat menjadi tempat
dimana agen infeksius dapat hidup dan berkembang biak yang kemudian menularkan dari pasien satu ke
pasien yang lainnya, khususnya bila kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh tidak dilaksanakan
terhadap semua pasien.6

Universal precaution merupakan metode yang efektif untuk melindungi petugas kesehatan dan pasien.
Kemungkinan pasien menularkan HIV pada saat pelayanan kesehatan sangat rendah yaitu sekitar 0,3%
dan hal ini kebanyakan dari kecelakaan jarum suntik dari pasien yang terinfeksi HIV yang belum melalui
proses desinfeksi atau sudah didesinfeksi namun tidak adekuat. Metode ini sebenarnya bukan hal khusus
untuk mencegah infeksi HIV, melainkan prosedur yang sama untuk mencegah infeksi penyakit lainnya.
Penerapan universal precaution ini tidak lepas dari peran masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya
seperti pelaksana pelayanan dan para pengguna jasa, yaitu pasien dan pengunjungnya. Untuk dapat
bekerja secara maksimal, tenaga kesehatan harus selalu mendapatkan perlindungan dari risiko tertular
penyakit.

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan telah menyebutkan bahwa infeksi dapat muncul
setelah pasien pulang. Hal ini terkait dengan proses pelayanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.5
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Atlanta juga merekomendasikan bahwa seluruh
petugas kesehatan harus melakukan tindakan pencegahan untuk mencegah cedera yang disebabkan
oleh jarum, pisau bedah, dan intrumen atau peralatan yang tajam. Data dari CDC memperkirakan setiap
tahun terjadi 385.000 kejadian luka akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga
kesehatan di rumah sakit di Amerika.7

Dari hasil penelitian yang dilakukan di RS Karyadi Semarang menunjukkan angka kepatuhan tenaga
kesehatan untuk menerapkan penerapan beberapa elemen universal precaution kurang dari 50 persen.8
Adapun hasil penelitian jaringan epidemiologi nasional tahun 1992 tentang pengetahuan, sikap, persepsi
dan perilaku petugas kesehatan dalam rangka penerapan universal precaution terutama yang
berhubungan dengan potensi penyebaran HIV/AIDS dalam tingkat memprihatinkan. Hal ini merupakan
kontribusi dari kelalaian tenaga kesehatan yang kurang, bahkan tidak melaksanakan protokol universal
precaution. Di RS Dr. Soetomo dan rumah sakit swasta di Surabaya, terdapat 16 kasus kecelakaan kerja
pada petugas kesehatan dalam dua tahun terakhir meskipun setelah dievaluasi dan ditindaklanjuti
terbukti tidak terpapar HIV.9

Kasus HIV/AIDS Provinsi Kalimantan Selatan termasuk dalam urutan ke-27 dari 33 provinsi. Kasus
HIV/AIDS Provinsi Kalimantan Selatan tersebar di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan.10 Kota

Banjarmasin yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dan merupakan daerah yang paling
tinggi kasus AIDS dari kota yang ada di Kalimantan Selatan. Departemen Kesehatan berdasarkan SK
Menkes No. 760/Menkes/SK/VI/2007 menetapkan salah satu rumah sakit di Kalimantan Selatan sebagai
RS rujukan HIV/AIDS di Provinsi Kalimantan Selatan.11 Hal ini dipandang perlu dilakukan dalam rangka
penanganan, penanggulangan dan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi ODHA
(Orang dengan HIV/AIDS).

Dari hasil pengamatan didapat bahwa SOP untuk protokol universal precaution yang telah dibuat oleh
rumah sakit tidak disosialisasikan kepada para petugas kesehatan, bahkan sebagian perawat tidak
pernah tahu ada SOP tentang protokol universal precaution dan tidak pernah ada sanksi maupun
rewards bagi petugas kesehatan yang selalu melaksanakan maupun yang tidak melaksanakan universal
precaution. Meski belum ada data yang menyebutkan, namun peningkatan risiko paramedis yang tidak
diiringi dengan penerapan penatalaksanaan universal precaution akan semakin meningkat dan
kemungkinan terpajan darah atau cairan tubuh pasien saat melakukan tindakan.12 Dalam hal ini, peran
petugas kesehatan sangatlah penting karena melakukan kontak langsung dengan pasien dalam
memberikan pelayanan.13 Adapun elemen dalam kewaspadaan universal ini meliputi, pengelolaan alat
kesehatan, cuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung di antaranya sarung
tangan untuk mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan jarum dan
alat tajam untuk mencegah perlukaan, pengelolaan limbah.12
Dari data tersebut diatas didapatkan bahwa kejadian HIV/AIDS terutama di Kota Banjarmasin yang
merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan telah mengalami peningkatan. Selain itu, karena Kota
Banjarmasin merupakan ibukota provinsi dan merupakan pusat perdagangan yang besar serta
merupakan tempat transit bagi penduduk yang melakukan transaksi dan aktifitas di Kota Banjarmasin,
maka akan

Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan......... (Nana Noviana)

146 Jurnal Kesehatan Reproduksi, 8(2), 2017

memberikan kontribusi terhadap peningkatan kejadian HIV/AIDS.10

Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman tenaga kesehatan mengenai pelaksanaan
universal precaution untuk pencegahan HIV/AIDS di RS rujukan ODHA di Banjarmasin. Kajian ini
diharapkan dapat memberikan informasi untuk meningkatkan pemahaman paramedis perawatan
terhadap standar pelayanan dan kewaspadaan universal sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS.

METODE

Kajian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif yang disajikan secara deskriptif eksploratif. Data
primer dan sekunder dikumpulkan dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui angket
(kuesioner), wawancara mendalam (in-depth interview), pengamatan langsung yang dilakukan pada
petugas kesehatan dalam memberikan tindakan pelayanan kepada pasien serta melakukan pengamatan
pada petugas kesehatan dalam melakukan penyimpanan maupun membersihkan alat-alat kesehatan
yang telah digunakan, dan telaah dokumen.

Responden sebagai sampel kuantitatif sebanyak 107 orang. Data primer diperoleh secara langsung
dengan responden melalui kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan untuk data sekunder
diperoleh dari buku dan peraturan yang terkait.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja di ruang
rawat inap RS rujukan ODHA di Banjarmasin dan dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2012.

HASIL

Responden tenaga kesehatan sebanyak 107 orang behasil diwawancarai. Tabel 1 menunjukkan
karakteristik responden yang terdiri dari pendidikan dan lama bekerja.

Pendidikan Perawat dan Lama Bekerja

Tabel 1 berikut menyajikan karakteristik responden menurut pendidikan dan lama bekerja di rumah
sakit.

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Responden


Karakteristik Jumlah Persentase Pendidikan Tinggi 29 27,1 Menengah 77 72,0 Rendah 1 0,9 Lama
Bekerja Baru < 5 tahun 39 36,4 Lama ≥ 5 tahun 68 63,6 Jumlah 107 100,0

Pemahaman Tentang Universal Precaution

Pemahaman tenaga kesehatan terhadap pelaksanaan universal precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
disajikan pada Tabel 2.

PEMBAHASAN

Pendidikan Perawat

Pendidikan responden terbanyak adalah mempunyai pendidikan menengah yaitu D3 Keperawatan


(72,0%). Pendidikan merupakan pembelajaran seumur hidup yang terjadi disetiap sendi kehidupan.
Pendidikan merupakan bimbingan untuk mengeluarkan kemampuan yang tersimpan dalam diri
seseorang sehingga dapat mengembangkan diri semakin cerdas, dewasa dan matang. Semakin tinggi
pendidikan paramedis perawat, diharapkan akan mampu melaksanakan tindakan Universal Precaution
dengan professional. Asrini dkk menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pengetahuan dalam
masyarakat yaitu: 1) sosial ekonomi, 2) kultur (budaya dan agama), 3) pendidikan, dan 4) pengalaman.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bersifat langgeng.14 Hasil penelitian mahasiswa juga
menunjukkan adanya hubungan Pengetahuan dengan sikap dan sikap dengan praktik terdapat hubungan
yang signifikan terhadap pencegahan infeksi.15

Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan......... (Nana Noviana)

147 Jurnal Kesehatan Reproduksi, 8(2), 2017

Tabel 2. Pemahaman tenaga kesehatan

Uraian Persentase Keterangan

Pemahaman Tenaga Kesehatan mengenai Pelaksanaan Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS.

66,7% Hasil kajian menunjukkan bahwa (66,7%) responden mempunyai pemahaman yang kurang
terhadap penatalaksanaanUniversal Precaution

Pemahaman mengenai Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS.

85,0% Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa (85,0%) responden memberlakukan Universal
precaution hanya untuk pasien yang menderita HIV/AIDS

Pemahaman mengenai Universal Precaution untuk melindungi petugas kesehatan.

75,7% Dari hasil kajian diketahui bahwa 75,7% responden berpendapat bahwa Universal Precaution
hanya efektif untuk melindungi petugas kesehatan.

Pemahaman Tenaga kesehatan mengenai penatalaksanaan mencuci tangan


65,4% Dari hasil kajian diketahui bahwa 65,4% responden hanya tahu kalau salah satu
Penatalaksanaan/protocol Universal precaution adalah mencuci tangan dengan air bersih

Pemahaman mengenai penatalaksanaan alat kesehatan dan bahan bekas pakai.

61,7% Dari hasil kajian diketahui bahwa responden kurang memahami penatalaksanaan peralatan perlu
didekontaminasi dan disterilisasi sebesar 61,7%.

Pemahaman mengenai membuang sampah medis pada tempat sampah yang khusus.

74,8% Dari hasil kajian diketahui 74,8% responden belum memahami membuang sampah medis pada
tempat sampah yang khusus.

Pemahaman mengenai penatalaksanaan instrument dan linen.

61,7% Dari hasil kajian diketahui bahwa responden kurang memahami penatalaksanaan peralatan perlu
didekontaminasi dan disterilisasi sebesar 61,7%

Lama Bekerja Tenaga Kesehatan

Lama masa kerja menunjukkan durasi pengalaman individu yang dapat menentukan peningkatan
keterampilan dan kemampuan tenaga kerja dalam pekerjaan. Semakin lama dia bekerja akan semakin
baik dalam melaksanakan tindakan universal precaution.

Lama bekerja responden menunjukan bahwa sebagian besar responden termasuk dalam kategori masa
kerja lama ≥ 5 tahun (63,6%) dan selebihnya masuk dalam kategori masa kerja baru 36,4 persem.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kesehatan yang bekerja di RS ini, bahwa dalam
melaksanakan tugas selalu dikaitkan dengan seberapa seniornya seseorang. Senioritas disini dikaitkan
dengan masa kerja seseorang, dan pengalaman bekerja seseorang. Senioritas ini dikaitkan dengan
asumsi bahwa semakin lama

masa kerja seseorang maka semakin banyak pengalaman serta kasus/kejadian yang ditangani dalam
merawat pasien yang diharapkan akan membuat seorang perawat akan mahir dan professional dalam
menyelesaikan pekerjaan dalam perawatan terhadap pasien. Hasil penelitian Ahmad Farizal Lutfi dkk,
memperoleh hasil adanya hubungan dengan tingkat keeratan sedang antara lama masa kerja tenaga
kesehatan dengan kemampuan triase hospital di Instalasi Gawat Darurat.14 Penelitian di Pakistan juga
menunjukkan hasil bahwa lama kerja mempengaruhi pengalaman tenaga kesehatan.16
Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan......... (Nana Noviana)

148 Jurnal Kesehatan Reproduksi, 8(2), 2017

Pemahaman Tenaga Kesehatan mengenai Pelaksanaan Universal Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS

Hasil kajian menunjukkan bahwa 66,7 persem responden mempunyai pemahaman yang kurang terhadap
penatalaksanaan universal precaution dan 33,3 persem responden termasuk dalam kategori
pemahaman sedang tentang penatalaksanaan universal precaution. Dalam kategori pemahaman yang
dipertanyakan adalah pemahaman responden tentang universal precaution, antara lain tentang definisi,
manfaat, tujuan, rantai penularan, protokol/penatalaksanaan, kegiatan yang berisiko. Kurangnya
pemahaman tentang universal precaution dikarenakan tidak adanya sosialisasi mengenai SOP untuk
protokol universal precaution kepada para petugas kesehatan, bahkan sebagian perawat tidak pernah
tahu ada SOP tentang protokol universal precaution. Hasil penelitian serupa di salah satu RS di Malang
juga menunjukkan 50 persen universal precaution bagi tenaga kesehatan.17

Pemahaman mengenai Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS

Universal precaution merupakan metode yang efektif untuk melindungi petugas kesehatan dan juga
pasien. Metode ini tidak hanya untuk mencegah infeksi HIV tetapi juga mencegah infeksi lainnya.
Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa 85 persen responden memberlakukan universal precaution
hanya untuk pasien yang menderita HIV/AIDS, yang dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan
penyebaran penyakit menular apabila tidak diatasi dengan benar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di RS di Provinsi Mazandaran, bahwa pemahaman tenaga kesehatan serta mahasiswa
kedokteran di sana memiliki pemahaman yang rendah terhadap universal precaution, bahkan mereka
tidak bisa membedakan antara cairan tubuh yang dianggap menular.18 Apabila tenaga kesehatan tidak
bisa membedakan cairan yang dapat menularkan penyakit, maka akan memberikan kontribusi dalam
peningkatan infeksi baik pada pasien, keluarga pasien maupun pada tenaga kesehatan itu sendiri.

Pemahaman mengenai Universal Precaution untuk Melindungi Petugas Kesehatan

Universal precaution adalah suatu metode yang diterapkan untuk melindungi setiap orang (pasien dan
petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak. Penerapan universal precaution adalah
merupakan upaya untuk memberikan perlindungan, pencegahan dan meminimalkan infeksi silang (cross
infection) antara petugas yang melakukan kontak langsung terhadap pasien dan cairan tubuh pasien
yang terinfeksi penyakit menular.1,3 Dari hasil kajian diketahui bahwa 75,7 persen responden
berpendapat bahwa universal precaution hanya efektif untuk melindungi petugas kesehatan. Hal ini
karena belum ada sosialisasi kepada petugas kesehatan mengenai pentingnya protocol universal
precaution bagi petugas kesehatan, sehingga sebagian besar petugas kesehatan mempunyai
pemahaman bahwa universal precaution hanya untuk petugas kesehatan saja. Dengan pemahaman
tenaga kesehatan yang terbatas mengenai universal precaution ini, maka akan mempengaruhi tindakan
dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan pada pasien, maka akan besar kemungkinan tindakan yang
diberikan tanpa memperhatikan standar pelayanan yang seharusnya berlaku. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan di Ethiopia diketahui bahwa ada beberapa praktek/ tindakan pencegahan yang
dilakukan dengan tidak konsisten.13,18 Sehingga keadaan ini menempatkan pasien dan petugas
kesehatan berisiko untuk tertular infeksi.

Pemahaman Tenaga Kesehatan mengenai Penatalaksanaan Mencuci Tangan

Penatalaksanaan protokol universal precaution salah satunya adalah mencuci tangan dengan air bersih
dan mengalir. Dalam hal ini pemahaman tenaga kesehatan masih rendah, karena mereka mengetahui
kalau mencuci tangan itu hanya dengan air bersih jadi tidak masalah air mengalir atau tidak. Dari hasil
kajian diketahui bahwa 65,4 persen responden hanya tahu kalau salah satu penatalaksanaan universal
precaution adalah mencuci tangan dengan air bersih. Dari hasil observasi ditemukan bahwa beberapa
tenaga kesehatan mencuci tangan dengan air dalam waskom bukan dengan air yang mengalir. Tidak
hanya

Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan......... (Nana Noviana)

149 Jurnal Kesehatan Reproduksi, 8(2), 2017

itu, dari hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap 10 orang paramedis perawatan, didapatkan
data hanya dua orang yang benar-benar menggunakan sarung tangan dalam setiap melakukan tindakan
keperawatan. Hal ini juga terjadi di RS di Provinsi Mazandaran,18 bahwa pemahaman tenaga kesehatan
serta mahasiswa kedokteran di sana memiliki pemahaman yang rendah terhadap universal precaution
dalam melakukan cuci tangan. Hasil penelitian di salah satu RS swasta di Malang melaporkan hasil 50
persen yang mempunyai kebiasaan cuci tangan.17

Pemahaman mengenai Penatalaksanaan Alat Kesehatan dan Bahan Bekas Pakai

Pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan desinfeksi yang kurang tepat adalah merupakan
faktor risiko infeksi di sarana kesehatan. Tujuan pengelolaan alat kesehatan ini untuk mencegah
penyebaran infeksi dan menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan siap pakai. Proses
penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui empat tahap kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian,
sterilisasi atau Dichloro-DiphenylTrichloroethane (DDT) dan penyimpanan. Dari hasil kajian diketahui
bahwa responden kurang memahami penatalaksanaan peralatan perlu didekontaminasi dan disterilisasi
sebesar 61,7 persen. Hal ini karena tenaga kesehatan melakukan sterilisasi sendiri alat-alat kesehatan.
Dari hasil observasi, alat kesehatan yang telah digunakan langsung dicuci dengan air dan air sabun
kemudian dibilas tanpa dilakukan perendaman dengan larutan klorin. Hal ini dapat meningkatkan
penyebaran infeksi bila tidak dilakukan proses penatalaksanaan peralatan secara tepat. Dari hasil
penelitian RS di Provinsi Mazandaran, bahwa pemahaman tenaga kesehatan serta mahasiswa
kedokteran mengenai penatalaksanaan jarum suntik di sana masih rendah.18
Pemahaman mengenai Membuang Sampah Medis pada Tempat Sampah yang Khusus

Sampah medis adalah merupakan sampah dari rumah sakit yang terpapar oleh darah atau cairan tubuh,
hal ini disebut sebagai limbah

berisiko tinggi. Sampah rumah sakit harus dipilah agar sesuai dengan jenis sampah medis, sehingga
dapat ditampung berdasarkan jenisnya. Dalam hal ini, perawat tidak pernah melakukan dekontaminasi
sampah medis berupa jarum suntik sebelum dibuang, dan mereka kadang membuang sampah medis
pada bak sampah biasa. Dari hasil kajian diketahui 74,8 persen responden belum memahami membuang
sampah medis pada tempat sampah yang khusus. Sampah medis dibuang pada tempat sampah yang
sama dengan sampah lainnya tanpa dilakukan pemisahan jenis sampah. Hal ini karena petugas
kesehatan tidak mengetahui pengelolaan limbah medis dan pernah melakukan pengelolaan limbah
medis sehingga limbah medis (jarum suntik) langsung dibuang pada bak sampah. Rendahnya kesadaran
tenaga kesehatan dalam pembuangan sampah pada tempat khusus juga terjadi di rumah sakit di Provinsi
Mazandaran, Iran.18

Pemahaman mengenai Penatalaksanaan Instrumen dan Linen

Instrumen dan linen harus diperhatikan cara penanganannya dan pemrosesannya. Untuk instrumen dan
linen yang tercemar darah maupun cairan tubuh diberikan larutan klorin 0,5 persen, dan bila linen yang
tercemar maka diberika klorin 0,5 persen pada bagian yang terpapar darah maupun cairan tubuh
kemudian masukkan dalam plastik dan diikat serta diberi label bahan menular sebelum dikirim ketempat
pencucian.1 Dari hasil kajian diketahui bahwa 80,4 persen responden tidak memahami penatalaksanaan
instrumen dan linen dalam cairan klorin, instrumen dan linen seharusnya direndam selama 10 menit
sebelum dicuci biasa. Mereka tidak memahami berapa lama harus merendam alat maupun linen karena
mereka tidak melakukan pencucian terutama untuk linen. Pemahaman yang rendah juga terjadi pada
penelitian di RS Manzandaran mengenai penatalaksanaan baju atau kain.18

Berbagai penelitian telah melaporkan, bahwa kebijakan untuk universal precaution tidak berjalan sesuai
harapan. Kepatuhan petugas kesehatan bervariasi.19 Kekurangan ini mencerminkan keterbatasan
pendekatan keselamatan yang bergantung pada kepatuhan

Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan......... (Nana Noviana)

150 Jurnal Kesehatan Reproduksi, 8(2), 2017

aktif oleh individu, dan bukan pada kontrol lingkungan pasif.20

Rendahnya pemahaman tenaga kesehatan mengenai universal precaution menyebabkan rendahnya


kepatuhan petugas kesehatan dalam melaksanakan protokol universal precaution, dan berpotensi
meningkatkan penyebaran penyakit menular terutama HIV/AIDS. Hal ini dapat dihindari bila semua
faktor dapat diterapkan dengan baik dan memaksimalkan tindakan universal precaution untuk
pencegahan HIV/AIDS di RS rujukan ODHA Banjarmasin.
Perlu dilakukan berbagai upaya kegiatan dalam pelaksanaan universal precaution untuk pencegahan
HIV/AIDS dengan memaksimalkan tindakan universal precaution yang dapat memberikan perlindungan
yang baik bagi perawat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pasien yang menerima pelayanan
kesehatan agar terhindar dari HIV/AIDS.

Untuk meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Universal Precaution perlu
dilakukan pelatihan bagi tenaga kesehatan.

KESIMPULAN

Pemahaman tenaga kesehatan mengenai Universal Precaution yang masih kurang sehingga kepatuhan
petugas kesehatan dalam melaksanakan protocol Universal Precaution juga rendah.

SARAN

Yang dapat dilakukan adalah berbagai kegiatan untuk memaksimalkan tindakan universal precaution.
Selain itu, perlu adanya pelatihan atau penyegaran informasi mengenai penatalaksanaan universal
precaution yang telah ditetapkan di rumah sakit serta memasang protokol universal precaution ditempat
yang mudah dilihat petugas kesehatan. Rendahnya pemahaman perawat dalam melaksanakan protocol
universal precaution untuk pencegahan HIV/AIDS setiap melakukan perawatan pada semua

pasien sehingga perlu meningkatkan motivasi dari partner kerja untuk selalu melaksanakan universal
precaution.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman


Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan [Internet]. Jakarta; 2010. Available from:
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/ha ndle/123456789/1436 2. Departemen Kesehatan RI.
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan [Internet]. 13 Oktober
2009. 2009. p. 23– 8. Available from: http://www.depkes.go.id/resources/downl oad/general/UU Nomor
36 Tahun2 009 tentang Kesehatan.pdf 3. World Health Organization. Guidelines on Prevention and
Control of Hospital Associated Infections [Internet]. New Delhi: WHO Regional Office for SouthEast Asia;
2002. Available from: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/2 05187/1/B0007.pdf 4. Ditjen
Pengendalian Penyakit & Penyehat Lingkungan Kemenkes RI. Statistik Kasus AIDS di Indonesia. 2011. 5.
Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman
Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan [Internet]. 2017. p. 17. Available
from: http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk _hukum/PMK_No._27_ttg_Pedoman_Pe
ncegahan_dan_Pengendalian_Infeksi_di_ FASYANKES_.pdf 6. Efstathiou G, Papastavrou E, Raftopoulos V,
Merkouris A. Factors influencing nurses’ compliance with Standard Precautions in order to avoid
occupational exposure to microorganisms: A focus group study. BMC Nurs [Internet]. 2011 Dec 21;10(1).
Available from: https://bmcnurs.biomedcentral.com/track/ pdf/10.1186/1472-6955-101?
site=bmcnurs.biomedcentral.com 7. Muhammad Yusran. Kepatuhan Penerapan Prinsip-Prinsip
Pencegahan Infeksi (Universal Precaution) Pada

Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan......... (Nana Noviana)

151 Jurnal Kesehatan Reproduksi, 8(2), 2017

Perawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Muluk Bandar Lampung [Internet]. Prosiding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008. 2008. Available from:
https://id.scribd.com/document/53809300 /prinsip-pencegahn-infeksi 8. Khoidrudin. A, Yosafianti. V.,
Riwayati. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Perawat Dalam Menerapkan Prosedur Tindakan
Pencegahan Universal Di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang. J Keperawatan FIKKes Univ
Muhammadiyah Semarang [Internet]. 2011;4(1 Maret 2011):1–17. Available from:
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/FIKk eS/article/view/1841 9. Nasronudin. HIV and AIDS
Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. 215 p. 10.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan. Laporan HIV/AIDS Kalimanatan Selatan. 2011. 11. Menteri
Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 760/Menkes/SK/VI/2007 Tentang
Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi ODHA. [Internet]. 2007. Available from:
http://www.aidsindonesia.or.id/uploads/2 0130506131726.Skmenkes_Nomor_760_
MENKES_SK_VI_2007_Tentang_Peneta pan_Lanjutan_Rumah_Sakit_Rujukan_Ba
gi_Orang_Dengan_HIV_dan_AIDS_OD HA.pdf 12. Departemen Kesehatan. Pedoman Pelaksanaan
Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL; 2010. 13.
Gebresilassie; A, Kumei; A, Dejen Yemane. Standard Precautions Practice among Health Care Workers in
Public Health Facilities of Mekelle Special Zone. Northern Ethiopia; 2014. 14. Asrini A, Akhmadi,
Harjanto D. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat tentang Kegiatan 3M

dengan Angka Bebas Jentik. J Ilmu Keperawatan. 2007;2(2). 15. Danti Setiana. Pengetahuan, Sikap, Dan
Praktik Mahasiswa Fakultas Kedokteran Terhadap Pencegahan Infeksi [Internet]. Karya Tulis Ilmiah. 2011.
Available from: http://eprints.undip.ac.id/32934/1/Dantik_ S.pdf 16. Janjua NZ, Razaq M, Chandir S, Rozi
S, Mahmood B. Poor knowledge–predictor of nonadherence to universal precautions for blood borne
pathogens at first level care facilities in Pakistan. BMC Infect Dis [Internet]. 2007;7(1):81. Available from:
https://bmcinfectdis.biomedcentral.com/tr ack/pdf/10.1186/1471-2334-781?
site=bmcinfectdis.biomedcentral.com 17. Sholikhah HH, Arlfin’ A. Pelaksanaan Universal Precaution
Oleh Perawat Dan Pekarya Kesehatan (Studi Kasus di Rumah Sakit Islam Malang Unisma). Bul Penelit Sist
Kesehat [Internet]. 2005;Volume 8(1):29–39. Available from: http://download.portalgaruda.org/article.p
hp?article=80503&val=4892 18. Motamed N, Baba Mahmoodi F, Khalilian A, Peykanheirati M, Nozari M.
Knowledge and practices of health care workers and medical students towards universal precautions in
hospitals in Mazandaran Province. East Mediterr Heal J [Internet]. 2006;12(5). Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/1 17133/1/12_5_2006_653_661.pdf 19. Sadoh WE, Fawole
AO, Sadoh AE, Oladimeji AO, Sotiloye OS. Practice of universal precautions among healthcare workers. J
Natl Med Assoc [Internet]. 2006;98(5):722–6. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov/article
render.fcgi?artid=2569287&tool=pmcentr ez&rendertype=abstract 20. Ubaid B, Shah H, Nasir M, Shah Y.
“ Can You Handle the Truth ?” Universal Precautions. 2009;5(7):1–6. Available from:
https://firstclinical.com/journal/2009/090

Vous aimerez peut-être aussi