Vous êtes sur la page 1sur 8

Journal of Vocational Health Studies 01 (2017): 50–57

Journal of Vocational Health Studies


www.e-journal.unair.ac.id/index.php/JVHS

THE RELATIONSHIP BETWEEN ANTECEDENT AND


CONSEQUENCE FACTORS WITH SAFETY BEHAVIOUR IN PT.X
Research Report
HUBUNGAN FAKTOR ANTESEDEN DAN KONSEKUENSI DENGAN Penelitian
SAFETY BEHAVIOUR DI PT. X (STUDI PADA TENAGA KERJA DI
INDUSTRI TEKSTIL)

Apris Fitriani1*, Erwin Dyah Nawawinetu2


1Student Faculty of Public Health, Universitas Airlangga, Surabaya-Indonesia
2Department of Health, Faculty of Vocational Education, Universitas Airlangga, Surabaya-Indonesia

A BST R AC T ART ICL E IN FO

Background: Safety behaviour is an act worker to minimize the possibility of accidents in Received 2 September 2017
workplace. Based on the Antecedents-Behaviour-Consequence (ABC) theory, safety behaviour Accepted 12 Oktober 2017
of worker related with the antecedent and consequence factors. Purpose: The purpose of this Available online 6 November 2017
research was to study the association between antecedent and consequence factors with safety * Correspondence (Korespondensi):

behaviour of workers in Ring Frame Unit Spinning II PT. X. Methods: This was an observational Apris Fitriani
descriptive research with cross sectional approach. Sample size was the total population 24
E-mail:
workers. The variables studied were level of knowledge, motivation, perception, private problem, aprisfitri@gmail.com
OSH regulation, availability of safety facilities, frequency of OSH training, controlling, positive
reinforcement (reward), and negative reinforcement (punishment). The strength of relationship
between variables dependent and independent were analyzed by using Contingency Coefficient
(C). Results: The results showed that there were strong association between motivation, private
problem, frequency of OSH training, positive reinforcement (reward), and negative reinforcement
(punishment) with safety behaviour (C = 0.622, C = 0.508, C = 0.702, C = 0.669, dan C = 0.707,
respectively). There were very strong association between knowledge, perception, OSH regulation,
and controlling with safety behaviour (C = 0.763, C = 0.797, C = 0.768, dan C = 0.797, respectively).
Conclusion: the higher the knowledge and motivation to work safely the higher the safety
behaviour of the workers would be. Workers who have not personal problem, have already Keywords:
participated in OSH training, feeling supervised and given reward and punishment applied higher Safety Behaviour, Antecedent,
safety behaviour. Consequence

A BST R A K

Latar Belakang: Perilaku aman atau safety behaviour adalah tindakan atau perbuatan dari
seseorang tenaga kerja yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
Berdasarkan teori Anteseden-Behaviour-Consequence (ABC), safety behaviour tenaga kerja
berhubungan erat dengan faktor anteseden dan konsekuensi. Tujuan: Penelitian ini adalah
untuk mempelajari hubungan faktor anteseden dan konsekuensi dengan safety behaviour
tenaga kerja di Bagian Ring Frame Spinning II PT. X. Metode: Penelitian ini termasuk penelitian
deskriptif observasional dengan pendekatan cross sectional. Besar sampel adalah total populasi
yaitu 24 orang tenaga kerja. Variabel yang diteliti adalah safety behaviour, pengetahuan,
motivasi, persepsi, masalah pribadi, peraturan K3, ketersediaan fasilitas keselamatan, frekuensi
pelatihan K3, pengawasan, penguatan positif (reward), dan penguatan negatif (punishment).
Kuat hubungan antar variabel independen dan dependen dianalisis dengan menggunakan uji

Jour.Voc.HS. Vol. 01, No. 02


p-ISSN.2580-7161 e-ISSN.2580-717x
Apris Fitriani, Erwin Dyah Nawawinetu | Journal of Vocational Health Studies 01 (2017): 50–57 51

Koefisien Kontingensi (C). Hasil: Penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara
motivasi, masalah pribadi, frekuensi pelatihan K3, penguatan positif (reward) dan penguatan
negatif (punishment) dengan safety behaviour (C = 0.622, C = 0.508, C = 0.702, C = 0.669, dan C
= 0.707, berturut-turut). Terdapat hubungan yang sangat kuat antara pengetahuan, persepsi,
peraturan K3, dan pengawasan dengan safety behaviour (C = 0.763, C = 0.797, C = 0.768, dan C =
0.797, berturut-turut). Kesimpulan: Semakin tinggi tingkat pengetahuan tentang K3 dan motivasi
untuk berperilaku aman serta persepsi mengenai bahaya K3, maka semakin baik safety behaviour
pekerja. Pekerja yang tidak memiliki masalah pribadi lebih melakukan safety behaviour. Safety Kata kunci:
behaviour semakin tinggi jika pekerja sudah diberi pelatihan K3, diberi pengawasan, reward Safety Behaviour, Anteseden,
dan punishment. Konsekuensi

PENDAHULUAN Geller (2001) menyatakan bahwa pendekatan


perilaku yang didasari keselamatan (behaviour based
Kecelakaan kerja secara umum disebabkan oleh 2 safety approach) memegang peranan penting dalam
hal pokok yaitu perilaku kerja yang tidak aman (unsafe upaya meningkatkan keselamatan kerja di perusahaan.
act) dan kondisi kerja yang tidak aman (unsafe conditions). Meningkatnya keselamatan kerja dapat meningkatkan
Heinrich (1930) dalam Ramli (2010) memperkirakan 85% produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya dapat
kecelakaan adalah hasil kontribusi perilaku kerja yang meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan. Selain itu,
tidak aman (unsafe act). Berdasarkan hal tersebut maka manusia merupakan salah satu aset terbesar dalam
dapat dikatakan bahwa perilaku manusia memegang mencapai keberhasilan perusahaan, sehingga perlu
peranan penting terhadap terjadinya suatu kecelakaan adanya penelitian faktor apa saja yang berhubungan
kerja. Selain perilaku tenaga kerja, sistem manajemen dengan terbentuknya perilaku aman tenaga kerja baik
keselamatan kerja di organisasi juga memegang peranan internal maupun eksternal.
penting dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja PT. X merupakan perusahaan yang bergerak di
(Ramli, 2010). bidang industri tekstil. Dalam proses produksinya
Teori Bird menyatakan bahwa near miss yang perusahaan mempekerjakan ribuan tenaga kerja dan
terus berulang kebanyakan disebabkan oleh unsafe juga menggunakan teknologi canggih yang mempunyai
act atau unsafe behaviour yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk menimbulkan bahaya kecelakaan
risiko kecelakaan kerja. Hal ini diperkuat oleh riset yang kerja dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bagi pekerjanya,
dilakukan oleh National Safety Council (NCS) (2011) sehingga perlu adanya upaya penerapan keselamatan
bahwa penyebab kecelakaan kerja 88% karena unsafe dan kesehatan kerja agar perusahaan tidak mengalami
behaviour, 10% karena unsafe condition, dan sebesar 2% penurunan produktivitas terhadap usahanya. Tenaga
tidak diketahui penyebabnya (Cooper, 2009). kerja, terutama di bagian produksi, mungkin dapat
Beberapa pendekatan yang dilakukan Stephen melakukan perilaku yang dapat menyebabkan kecelakaan
Guastello (1993) dalam Geller (2005) untuk mengurangi kerja (unsafe action) pada saat bekerja untuk mencapai
cidera di tempat kerja menunjukkan bahwa pendekatan hasil produksi yang maksimal. Hal ini dapat menimbulkan
terhadap perilaku mencapai hasil yang paling baik untuk kerugian lebih besar bagi perusahaan. Berdasarkan survei
mengurangi cidera di tempat kerja yaitu sebesar 59,6% awal, di PT. X pernah terjadi kecelakaan kerja di bagian
diikuti dengan pendekatan ergonomi sebesar 51,6%, dan Ring Frame seperti jari terlilit benang, jari putus, jari
pendekatan engineering control sebesar 29%. terjepit mesin, dll. Kecelakaan kerja yang terjadi sebagian
Dalam proses pembentukan dan perubahan besar dikarenakan perilaku tenaga kerja yang sembrono
perilaku manusia terdapat faktor-faktor yang dalam bekerja dan melakukan pekerjaan tidak sesuai
berpengaruh, diantaranya faktor dari dalam (internal) dengan instruksi kerja yang ada. Di PT. X sebelumnya
seperti susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, proses belum pernah dilakukan penelitian atau telaah mendalam
belajar, dan sebagainya, sedangkan faktor yang berasal mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
dari luar (eksternal) seperti lingkungan fisik/non fisik, perilaku tenaga kerja.
iklim, manusia sosial, dan ekonomi, kebudayaan, dan Tujuan penelitian ini adalah mempelajari hubungan
sebagainya (Notoatmodjo, 2003). faktor anteseden dan konsekuensi dengan safety
Penelitian yang dilakukan oleh Sirait (2011) pada behaviour tenaga kerja di Bagian Ring Frame Spinning
tenaga kerja pengelasan di Medan tentang analisis II PT. X.
perilaku berisiko pada pekerja pengelasan menunjukkan
bahwa faktor anteseden dengan kategori tinggi yang
dapat memengaruhi perilaku berisiko adalah tidak MATERIAL DAN METODE
adanya pelatihan pada tenaga kerja sedangkan faktor
konsekuensi adalah tidak adanya penghargaan yang Jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif.
terbukti tinggi memengaruhi perilaku berisiko. Penelitian dilakukan pada seluruh populasi (24 orang),
52 Apris Fitriani, Erwin Dyah Nawawinetu | Journal of Vocational Health Studies 01 (2017): 50–57

yang merupakan tenaga kerja yang bekerja di area Sebagian besar tenaga kerja yaitu 41,7% mempunyai
produksi bagian Ring Frame Spinning II PT. X pada Shift tingkat pengetahuan tentang keselamatan kerja
1 (pagi). tergolong kategori cukup. Sebagian besar tenaga kerja
Sebagian besar tenaga kerja berada pada kategori (50%) memiliki motivasi yang baik (dorongan yang kuat
umur 30–40 tahun (45,8)%. Jenis kelamin: 79,2% tenaga untuk berperilaku aman baik dari diri sendiri maupun
kerja berjenis kelamin perempuan. Latar belakang orang di sekitar). Sebagian besar tenaga kerja (50%)
pendidikan: 50% tenaga kerja berlatar pendidikan tamat memiliki persepsi bahaya dan kecelakaan kerja kategori
SLTA/sederajat. Masa kerja: 58,3% masa kerja tenaga kerja cukup (tahu bahaya di tempat kerja dan risikonya namun
adalah pada kategori < 1–10 tahun. belum secara keseluruhan). Tenaga kerja sebanyak 87,5%
Variabel penelitian meliputi safety behaviour tenaga tidak mempunyai masalah pribadi dan sebagian besar
kerja, pengetahuan, motivasi, persepsi, masalah pribadi, tenaga kerja (45,8%) menyatakan peraturan K3 tertulis
peraturan K3 tertulis, ketersediaan fasilitas keselamatan, adalah baik yang artinya sudah terdapat peraturan tertulis
frekuensi pelatihan K3, pengawasan, penguatan positif di tempat kerja dan tenaga kerja memahaminya.
(pemberian reward, penguatan negatif: (pemberian Tenaga kerja (58,3%) menyatakan frekuensi
punishment). pelatihan K3 yang diselenggarakan perusahaan terkait
Safety behaviour tenaga kerja dalam penelitian ini, penggunaan APD dan instruksi kerja adalah sering.
yaitu perilaku aman terkait penerapan instruksi kerja Alat Pelindung diri: 81,8% kriteria APD sesuai sehingga
dan perilaku penggunaan APD di tempat kerja. Perilaku termasuk dalam kategori baik. Safety promotion: 66,7%
aman diukur dengan cara mengamati tenaga kerja kriteria sesuai sehingga termasuk dalam kategori baik.
selama bekerja menggunakan critical checklist behaviour Sebanyak (50%) tenaga kerja menyatakan pengawasan
yang sudah dibuat. Pengamatan dilakukan 4 hari untuk yang dilakukan oleh pihak manajemen adalah kategori
mengurangi adanya bias perilaku. cukup yang artinya sudah ada pengawasan namun
Analisis data meliputi analisis univariat dan analisis belum konsisten. Sebagian besar tenaga kerja (75%)
bivariat yang digunakan untuk mengetahui kekuatan menyatakan tidak pernah menerima reward dari
hubungan dari masing-masing variabel independen perusahaan ketika berperilaku aman. Sebagian besar
dan dependennya dengan menggunakan uji koefisien tenaga kerja (70,8%) menyatakan tidak pernah menerima
kontingensi. Kriteria yang digunakan untuk memudahkan punishment (hukuman) dari pihak manajemen ketika
melakukan interpretasi kekuatan hubungan antar berperilaku tidak aman.
variabel, adalah sebagai berikut. Berikut ini tabel yang menunjukkan hubungan
antara faktor anteseden dengan safety behaviour tenaga
Tabel 1. Interpretasi Kekuatan hubungan Antar Variabel kerja di bagian Ring Frame PT. X Tahun 2014.
Nilai Koefisien Kuat Hubungan
Tabel 2. Hubungan Antara Faktor Anteseden dengan Safety
0,00–0,25 Hubungan Lemah Behaviour Tenaga Kerja
0,26–0,50 Hubungan Sedang
0,51–0,75 Hubungan Kuat Faktor
Safety Behaviour
0,76–1,00 Hubungan Sangat Kuat Anteseden Total
(Sumber: Sugiyono, 2005) Baik Cukup Kurang
Pengetahuan C`
(%) (%) (%) (%)
Baik 77,8 22,2 0 100
0,763
Cukup 0 100 0 100
HASIL
Kurang 0 20 80 100
Pada pengamatan perilaku aman hari pertama Total 29,2 54,2 16,7 100
diketahui bahwa 62,5% tenaga kerja berperilaku aman Motivasi (%) (%) (%) (%)
kategori cukup artinya tenaga kerja sudah melakukan Baik 58,3 41,7 0 100
Cukup 0 55,6 44,4 100 0,622
perilaku aman yaitu sesuai dengan instruksi kerja namun
Kurang 0 100 0 100
tidak menggunakan APD lengkap.
Total 29,2 54,2 16,7 100
Pengamatan perilaku aman hari kedua jumlah Persepsi (%) (%) (%) (%)
tenaga kerja berperilaku aman kategori baik (bekerja Baik 100 0 0 100
sesuai instruksi dan menggunakan APD lengkap) dan Cukup 0 100 0 100
cukup (bekerja sesuai dengan instruksi kerja namun tidak Kurang 0 20 80 100 0,797
menggunakan APD lengkap) sama besar yaitu 45,8%. Total 29,2 54,2 16,7 100
Pengamatan perilaku hari ketiga sebagian besar tenaga Masalah
(%) (%) (%) (%)
kerja berperilaku aman kategori cukup (bekerja sesuai Pribadi
dengan instruksi kerja namun tidak menggunakan APD Ada 100 0 0 0 0,508
lengkap) yaitu 66,7%. Pengamatan perilaku hari keempat Tidak 19 61,9 19 100
sebagian besar tenaga kerja berperilaku aman kategori Total 29,2 54,2 16,7 100
cukup (bekerja sesuai dengan instruksi kerja namun tidak
menggunakan APD lengkap) yaitu 54,2%.
Apris Fitriani, Erwin Dyah Nawawinetu | Journal of Vocational Health Studies 01 (2017): 50–57 53

Safety Behaviour menyeluruh pada tenaga kerja. Perilaku aman yang sering
Total
Peraturan K3 Baik Cukup Kurang dilanggar oleh tenaga kerja yaitu tidak menggunakan
(%) (%) (%) (%) APD yang diwajibkan. Pengamatan perilaku aman
Baik 63,6 36,4 0 100 0,768 dilakukan sebanyak empat kali yaitu selama empat hari
Cukup 0 100 0 100 berturut-turut. Hal ini dilakukan guna untuk mengurangi
Kurang 0 0 100 100 bias perilaku.
Total 29,2 54,2 16,7 100 Pada pengamatan hari pertama sebagian besar
Frekuens tenaga kerja berperilaku aman cukup yaitu 62,5%,
(%) (%) (%) (%)
Pelatihan K3 pada hari kedua perilaku aman tenaga kerja kategori
Sering 50 50 0 100
0,702 cukup menurun menjadi 45,8% namun perilaku dengan
Cukup 0 100 0 100
kategori baik meningkat dari 33,3% menjadi 45,8%. Hal
Jarang 0 20 80 100
Total 29,2 54,2 16,7 100
ini kemungkinan dikarenakan oleh tenaga kerja mulai
Pengawasan (%) (%) (%) (%) mengetahui apabila mereka sedang diamati sehingga
Baik 100 0 0 100 mereka memperbaiki perilakunya ketika bekerja. Pada
Cukup 0 100 0 100 0,797 pengamatan hari ketiga, perilaku aman tenaga kerja
Kurang 0 20 80 100 kembali seperti hari pertama yaitu sebagian besar tenaga
Total 29,2 54,2 16,7 100 kerja berperilaku aman cukup yaitu sebanyak 66,7%.
Pada hari keempat sebagian besar tenaga kerja juga
berperilaku aman cukup namun jumlahnya menurun
Tabel 3. Hubungan Antara Penguatan Positif (Pemberian
yaitu 54,2%.
Reward) dengan Safety Behaviour
Pada pengamatan perilaku aman selama 4 hari
Safety Behaviour tersebut tidak ada beda yang signifikan dari hari pertama
Total
Pemberian Baik Cukup Kurang sampai keempat karena sebagian besar tenaga kerja
Reward N N N N berperilaku aman cukup. Namun pada hari keempat
(%) (%) (%) (%) C= 0,669 tenaga kerja yang berperilaku aman dengan kategori
6 0 0 6 kurang, jumlahnya meningkat jika dibandingkan
Pernah
(100) (0) (0) 100 dengan hari pertama, kedua dan ketiga. Hal ini sesuai
1 13 4 18 dengan teori perilaku yang menyebutkan bahwa apabila
Tidak Pernah
(5,6) 72,2 22,2 100 seseorang diamati perilakunya maka orang tersebut akan
7 13 4 24
Total memperbaikinya, namun setelah pengamatan ketiga
(29,2) (54,2) (16,7) 100
seseorang akan merasa bosan dan akan kembali pada
perilaku semula sehingga perilaku setelah hari ketigalah
Berikut ini merupakan tabel hubungan antara yang menunjukkan perilaku orang yang sebenarnya
pemberian punishment dengan safety behaviour tenaga (Saphiro S, 2013).
kerja. Menurut Geller (2001) safety Behaviour tenaga kerja
tidak pernah lepas dari faktor anteseden dan konsekuensi.
Tabel 4. Hubungan Antara Penguatan Negatif (Pemberian Anteseden merupakan rangsangan/kejadian yang
punishment) dengan Safety Behaviour mendahului suatu perilaku tertentu. Konsekuensi adalah
Safety Behaviour hal mengikuti suatu perilaku yang dapat menentukan
Total perilaku tersebut akan terulang kembali atau tidak.
Pemberian Baik Cukup Kurang
Punishment N N N N Faktor anteseden yang ada pada penelitian ini
(%) (%) (%) (%) terdiri dari pengetahuan, motivasi, persepsi, masalah
7 0 0 7 C= 0,707 pribadi, peraturan K3 tertulis, frekuensi pelatihan K3,
Pernah
(100) (0) (0) (100) ketersediaan fasilitas K3, dan pengawasan. Berikut ini
Tidak 0 13 4 17 pembahasan hubungan masing-masing variabel dengan
Pernah (0) (76,5) (23,5) (100) safety behaviour:
7 13 4 24 Berdasarkan hasil tabulasi silang dan uji koefisien
Total
(29,2) (54,2) (16,7) (100)
kontingensi hubungan pengetahuan dengan safety
Behaviour didapatkan C sebesar 0,763 yang artinya
hubungan antara pengetahuan dan safety Behaviour
PEMBAHASAN
sangat kuat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Berdasarkan hasil penelitian safety Behaviour tenaga Halimah (2010) yang menyatakan bahwa ada perbedaan
kerja PT. X di bagian Ring Frame Spinning II diketahui yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku
bahwa sebagian besar (54,2%) tenaga kerja telah aman, semakin tinggi pengetahuan seseorang maka
berperilaku aman dengan kategori cukup. Meskipun semakin tinggi orang tersebut berperilaku aman.
demikian, masih ada tenaga kerja yang berperilaku tidak Walaupun hubungan pengetahuan dengan
aman (kategori kurang) pada saat bekerja (16,7%). Hal safety behaviour berhubungan positif, namun tidak
ini dikarenakan safety Behaviour belum terbentuk secara otomatis hanya dengan meningkatkan pengetahuan
54 Apris Fitriani, Erwin Dyah Nawawinetu | Journal of Vocational Health Studies 01 (2017): 50–57

saja dapat mengubah perilaku seseorang menjadi sehingga peringatan tersebut dapat menjadi motivasi
aman. Seperti yang diungkapkan Notoatmodjo (2012) tersendiri bagi tenaga kerja untuk selalu berperilaku
bahwa pengetahuan yang baik apabila tidak diikuti dan aman.
didasari oleh kesadaran serta sikap yang positif maka Sialagan (2008) mendefinisikan persepsi sebagai
perilaku tersebut tidak berlangsung lama. Green (1980) suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan
dalam Notoatmodjo (2012) juga berpendapat bahwa dan menafsirkan kesan indera mereka bermakna pada
peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan lingkungan mereka. Persepsi ini memberikan dasar pada
perubahan perilaku. Pengetahuan memang sesuatu seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan yang
yang perlu tetapi bukan merupakan faktor yang cukup mereka persepsikan. Secara sederhana persepsi adalah
kuat sehingga seseorang bertindak sesuai dengan pengertian atau pandangan tentang bagaimana individu
pengetahuannya. memandang atau mengartikan sesuatu. Sementara itu
Oleh karenanya sebaiknya perusahaan tidak hanya pada penelitian ini, persepsi merupakan pendapat,
berfokus untuk meningkatkan pengetahuan tenaga penilaian dan penafsiran tenaga kerja mengenai bahaya
kerja tentang pencegahan kecelakaan kerja saja, namun dan risiko kecelakaan di tempat kerja.
juga meningkatkan kesadaran tenaga kerja tentang Pada hasil penelitian sebagian besar tenaga kerja
pentingnya berperilaku aman serta dampaknya apabila memiliki persepsi yang cukup, yaitu 50%. Berdasarkan
tidak melakukan. Peningkatan pengetahuan dan hasil uji kuat hubungan antara persepsi dengan safety
kesadaran dapat dilakukan dengan cara memberikan Behaviour menyatakan bahwa hubungannya sangat
informasi kepada tenaga kerja tentang keselamatan kuat dengan koefisien kontingensi 0,797. Tenaga kerja
di tempat kerja melalui poster, pamflet, leaflet, booklet, yang memiliki persepsi bahaya dan kejadian kecelakaan
pelatihan atau training, dll. di tempat kerja cukup (mengetahui bahwa di tempat
Menurut Notoatmodjo (2012) motivasi adalah suatu kerjanya terdapat bahaya dan memungkinkan terjadinya
perangsang, daya penggerak atau alasan seseorang kecelakaan namun belum menyeluruh) maka perilaku
untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhannya. amannya juga dalam kategori cukup.
Motivasi yang ada pada diri seseorang akan memengaruhi Robbins (1996) menyatakan persepsi juga sangat
apakah dia akan mengerjakan setiap tugasnya dengan tergantung pada karakteristik individual seperti sikap,
baik atau sebaliknya, termasuk juga apakah dia akan motivasi, kepentingan, pengalaman, dan harapan. Hal ini
berperilaku aman atau tidak. Menurut Sialagan (2008), sesuai dengan tulisan Geller (2001) menyatakan bahwa
faktor-faktor yang mendorong motivasi pekerja adalah perilaku seseorang ditentukan oleh apa yang dirasakan
pemenuhan rasa puas pekerja yang dialami pekerja daripada risiko yang sebenarnya. Persepsi yang positif
(faktor intrinsik), misalnya seperti keberhasilan mencapai dan pemahaman yang tepat terhadap keselamatan dan
sesuatu, diperolehnya pengakuan, rasa tanggung jawab, kesehatan kerja dikalangan tenaga kerja merupakan
kemajuan, karier, rasa profesionalis dan intelektual. unsur penentu kemajuan pelaksanaan keselamatan dan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kesehatan kerja. Oleh karena itu pembentukan persepsi
sebagian besar tenaga kerja mempunyai motivasi yang positif untuk tenaga kerja tentang bahaya dan
baik yaitu sebanyak 50%. Hasil uji kuat hubungan juga risiko kecelakaan di tempat kerja juga berhubungan
didapatkan nilai koefisien kontingensi yaitu 0,622 erat dengan motivasi dan pengetahuan yang didapatkan
yang artinya hubungan antara motivasi dengan safety tenaga kerja itu sendiri. Jika ingin mengubah perilaku
Behaviour adalah kuat. Hal ini sejalan dengan penelitian tidak aman seseorang, maka harus menyamakan persepsi
yang dilakukan oleh Halimah (2010) yang menunjukkan dahulu. Penyamaan persepsi tenaga kerja dapat dilakukan
bahwa ada hubungan bermakna antara motivasi dengan dengan safety campaign oleh safety officer pada saat
perilaku aman. briefing, safety talk, atau training yang dilakukan setiap
Sialagan (2008) mengungkapkan bahwa dorongan minggu.
yang ada dalam diri tenaga kerja untuk berperilaku aman Masalah yang ada dalam kehidupan pribadi
juga harus didukung perusahaan dengan penciptaan tenaga kerja juga mempunyai andil dalam sebab-sebab
lingkungan yang memfasilitasi terjadinya perilaku aman terjadinya suatu perilaku di tempat kerja. Tenaga kerja,
di tempat kerja. Motivasi yang tinggi tanpa dukungan misal mempunyai masalah yang berhubungan dengan
fasilitas dari perusahaan akan sekedar menjadi motivasi keluarga, dengan rekan kerja atau pimpinan kerja yang
tanpa aktualisasi yang dapat meningkatkan tenaga kerja tidak dapat dipecahkan, maka secara tidak langsung itu
untuk berperilaku aman. akan memengaruhi pikiran dan jiwa tenaga kerja yang
Geller (2001) juga menyebutkan bahwa selain kemudian menurunnya konsentrasi, tidak fokus dalam
manajemen, dorongan rekan kerja juga dapat bekerja sehingga menyebabkan kecelakaan kerja akibat
memengaruhi tenaga kerja untuk berperilaku aman, perilaku tenaga kerja itu sendiri (Waldron, 1989).
seringkali tenaga kerja berperilaku tidak aman karena Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar tenaga
rekannya yang lain juga berperilaku demikian. Oleh kerja tidak memiliki masalah pribadi yang bermakna
karena itu perusahaan dapat memberikan informasi yaitu 87,5%. Pada uji kuat hubungan antara masalah
kepada tenaga kerja untuk saling mengingatkan apabila pribadi dengan safety Behaviour memiliki nilai koefisien
ada tenaga kerja lain yang berperilaku tidak aman, kontingensi 0,508 yang berarti hubungannya kuat yang
Apris Fitriani, Erwin Dyah Nawawinetu | Journal of Vocational Health Studies 01 (2017): 50–57 55

artinya apabila seseorang memiliki masalah pribadi Seringnya pemberian pelatihan keselamatan, akan dapat
maka akan membuat perilaku tidak amannya meningkat memengaruhi perubahan perilaku seseorang.
begitupun sebaliknya. Hal ini sejalan dengan yang Pelatihan pada penelitian ini difokuskan pada
diungkapkan Waldron (1989) di atas bahwa masalah yang pelatihan tentang perilaku aman di tempat kerja,
dihadapi seseorang akan memengaruhi perilakunya. meliputi pelatihan pentingnya penggunaan APD dan
Apabila tenaga kerja tidak mempunyai masalah pelatihan keselamatan sesuai dengan instruksi kerja. Hasil
pribadi yang terkait dengan keluarga atau orang-orang penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga
terdekatnya, maka besar kemungkinan tenaga kerja kerja (58,3%) menyatakan sering mengikuti pelatihan
dapat bekerja dengan aman di tempat kerja (Waldron, keselamatan yang diselenggarakan oleh perusahaan.
1989), namun pada kenyataannya, walaupun sebagian Hasil uji kuat hubungan frekuensi pelatihan dengan
besar tenaga kerja tidak mempunyai masalah pribadi, safety Behaviour mempunyai koefisien kontingensi 0,702
perilaku amannya masih tergolong kategori cukup (belum yang berarti hubungannya kuat. Hal ini menunjukkan
sampai pada kategori baik). Hal ini kemungkinan dapat bahwa tenaga kerja yang sering mengikuti pelatihan
disebabkan oleh faktor determinan perilaku lainnya. keselamatan maka akan berperilaku aman baik dan sejalan
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang dengan teori Notoatmodjo (2003) yang menyebutkan
mendokumentasikan standar, norma, dan kebijakan seseorang akan berperilaku sama dengan apa yang
untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). dicontohkan apabila mereka memiliki keterampilan yang
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar baik dan sering mengikuti pelatihan.
tenaga kerja menyatakan peraturan K3 baik yaitu 45,8%. Halimah (2010) mengungkapkan bahwa kegagalan
Peraturan ini merupakan peraturan tentang kesehatan suatu program pelatihan dapat juga disebabkan karena:
dan keselamatan kerja yang dibentuk oleh manajemen waktu pelatihan yang tidak tepat, kurang partisipasi
yaitu berupa aturan tertulis di unit kerja dan instruksi manajer terkait dalam perancangan program pelatihan,
kerja. Hal ini berarti sebagian besar tenaga kerja penyampaian materi yang kurang jelas. Suatu pelatihan
mengetahui dan memahami peraturan K3 yang dibuat terutama yang berkaitan dengan dunia industri, harus
oleh manajemen. dilakukan dengan sangat interaktif dan memungkinkan
Berdasarkan hasil uji kuat hubungan antara peserta untuk menerapkan dan mempraktikkan konsep-
peraturan K3 tertulis dengan safety Behaviour konsep yang diajarkan selama proses berlangsung, dan
didapatkan nilai koefisien kontingensi 0,768 yang buruknya komunikasi selama pelatihan berlangsung.
berarti hubungannya sangat kuat. Hal ini membuktikan Agar peserta pelatihan di PT. X tidak bosan dan antusias,
bahwa apabila tenaga kerja yang mempunyai persepsi sebaiknya pelatihan dibuat semenarik mungkin dengan
peraturan K3 tertulis baik, maka sebagian besar akan bahasa yang sederhana dan langsung dapat dipraktikkan.
berperilaku aman dengan kategori baik, begitu juga Pelatihan dapat juga dilakukan di luar perusahaan
sebaliknya. Seperti yang diungkapkan Notoatmodjo atau mendatangkan orang dari luar perusahaan. Pada
(2003), salah satu strategi perubahan perilaku adalah penelitian ini, ketersediaan fasilitas keselamatan tidak
dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan, dapat dihubungkan dengan safety Behaviour karena data
misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan ketersediaan fasilitas bersifat homogen untuk semua
yang harus dipatuhi. Cara ini menghasilkan perubahan tenaga kerja.
perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut Pengawasan dalam penelitian ini yaitu pendapat
belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan tenaga kerja tentang pemantauan yang dilakukan
perilaku yang terjadi belum didasari oleh kesadaran. kepada mereka untuk berperilaku aman dalam
Oleh karena itu untuk mengubah perilaku aman tenaga menjalankan pekerjaannya baik yang dilakukan oleh
kerja, pemberlakuan peraturan di tempat kerja bukanlah safety officer maupun oleh supervisor. Hasil penelitian
satu-satunya cara, melainkan harus berkesinambungan menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja
dengan pembentukan faktor determinan perilaku menyatakan pengawasan adalah cukup. Berdasarkan
lainnya. PT. X sudah memiliki peraturan K3 tertulis yang hasil uji kuat hubungan antara pengawasan dengan
baik, hal yang harus ditingkatkan agar peraturan tersebut safety Behaviour menunjukkan bahwa hubungannya
dapat mengubah tenaga kerja yang masih berperilaku sangat kuat dengan nilai koefisien kontingensi 0,797.
tidak aman adalah dengan meningkatkan kepatuhan Geller (2001) menyatakan pengawasan oleh manajerial
dalam penerapan peraturan tersebut. akan memengaruhi perilaku tenaga kerja pada saat
Menurut Geller (2001), tentang 50 prinsip bekerja, pengawasan yang baik akan meningkatkan
keselamatan yang salah satunya terfokus pada perilaku yang baik pula pada tenaga kerja.
pengenalan, pendidikan, dan pelatihan. Pelatihan Faktor konsekuensi yang ada pada penelitian ini
keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan pada terdiri dari penguatan positif (pemberian reward) dan
saat tenaga kerja tidak tahu cara bekerja aman, terdapat penguatan negatif (pemberian punishment). Berikut
cara-cara baru yang lebih aman dalam suatu pekerjaan, ini pembahasan hubungan masing-masing variabel
sebagai sarana untuk mengingatkan kembali cara dengan safety behavior. Konsekuensi didefenisikan
untuk bekerja aman, pengetahuan saat kondisi darurat, sebagai hasil nyata dari perilaku individu yang
dan mengubah perilaku tidak aman menjadi aman. memengaruhi kemungkinan perilaku tersebut akan
56 Apris Fitriani, Erwin Dyah Nawawinetu | Journal of Vocational Health Studies 01 (2017): 50–57

muncul kembali. Dengan demikian, frekuensi suatu ring frame terkait pemberian reward untuk tenaga kerja
perilaku dapat meningkat atau menurun dengan yang berperilaku aman, sebagian besar tenaga kerja
menetapkan konsekuensi yang mengikuti perilaku menyatakan ingin konsekuensi positif/reward berupa
tersebut. Penguatan positif merupakan hal yang dapat uang yang diberikan setiap bulan kepada tenaga kerja
memperbesar kemungkinan suatu perilaku untuk muncul yang berperilaku aman dan diumumkan ketika kegiatan
kembali. Penguatan positif dapat berupa mendapatkan training oleh safety officer misalnya sebagai employee
sesuatu yang diinginkan seperti umpan balik positif of the month. Hal ini dapat dijadikan masukan bagi
terhadap pencapaian, dikenal oleh atasan, pujian dari manajemen PT. X untuk menetapkan program selanjutnya
rekan kerja dan atasan, serta penghargaan. Penghargaan terkait pembentukan perilaku aman tenaga kerja.
adalah salah satu penguatan positif yang diterima tenaga Fleming dan Lardner (2002) menyatakan hukuman
kerja ketika melakukan perilaku seperti yang diharapkan. adalah suatu bentuk konsekuensi yang diterima oleh
Tenaga kerja akan cenderung melakukan perilaku yang tenaga kerja dengan harapan dapat memperkecil
diharapkan ketika tahu konsekuensi positif yang akan kemungkinan suatu perilaku akan muncul kembali. Pada
muncul (Geller, 2001). penelitian ini penguatan negatif atau hukuman adalah
Menurut Geller (2001) penghargaan adalah salah konsekuensi yang ditetapkan oleh pihak manajemen
satu penguatan positif yang diterima tenaga kerja terkait tenaga kerja yang berperilaku tidak aman seperti
ketika melakukan perilaku seperti yang diharapkan. sanksi administratif, potongan insentif, dikucilkan rekan
Tenaga kerja akan cenderung melakukan perilaku yang kerja atau atasan maupun sanksi lainnya yang ditetapkan
diharapkan ketika tahu konsekuensi positif yang akan perusahaan.
muncul. Tenaga kerja lebih memiliki perasaan positif Sebagian besar tenaga kerja di bagian Ring Frame
jika ia bekerja dengan tujuan untuk memperoleh PT. X menyatakan tidak pernah mendapatkan hukuman
sesuatu daripada untuk menghindari kesalahan atau yaitu 70,8%, meskipun ada beberapa tenaga kerja yang
hukuman. Hal ini didukung oleh Notoatmodjo (2010) menyatakan pernah mendapatkan hukuman. Hasil
yang menyatakan bahwa perubahan perilaku cenderung penelitian pada uji kuat hubungan menunjukkan bahwa
mudah terjadi jika dapat memberikan keuntungan bagi hubungan pemberian punishment atau hukuman dengan
individu yang bersangkutan. safety Behaviour adalah kuat dengan nilai koefisien
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan kontingensi 0,707.
kuat (koefisien kontingensi 0,669) antara penguatan Menurut Geller (2001), hukuman yang baik adalah
positif (pemberian reward) dengan safety Behaviour. konsekuensi yang bersifat soon-certain-negative. Hal ini
Tenaga kerja yang menyatakan pernah mendapatkan berarti efek dari hukuman dapat langsung dirasakan
reward, maka safety Behaviournya baik. Hal ini sejalan oleh tenaga kerja ketika berperilaku tidak seperti yang
dengan penelitian Syaaf (2008) yang menghasilkan diharapkan.
kesimpulan bahwa pengaruh penghargaan dalam Pemberian dan penerapan konsekuensi yang baik
membentuk perilaku aman cukup kuat. Pada penelitian ini diharapkan dapat mempertahankan dan memelihara
tersebut menunjukkan bahwa adanya sistem perilaku aman pada tenaga kerja. Hal ini sesuai
penghargaan pemberian makan gratis menjadi suatu dengan yang diungkapkan Geller (2001) bahwa faktor
motivasi tenaga kerja untuk berperilaku aman dan konsekuensi akan menentukan apakah perilaku yang
melaksanakan pekerjaan dengan senang. diharapkan tersebut terulang dilakukan atau tidak.
Dengan demikian PT. X disarankan untuk membuat Menurut Roughton (2002) hukuman tidak hanya
suatu sistem penghargaan yang khusus diberikan apabila berorientasi untuk menghukum tenaga kerja yang
tenaga kerja berperilaku aman ketika bekerja. Pemberian melanggar peraturan, melainkan sebagai control terhadap
pujian oleh atasan maupun safety officer sebaiknya lingkungan kerja, sehingga tenaga kerja terlindung dari
dilakukan kepada seluruh tenaga kerja dengan konsisten. insiden. Menurut Geller (2001), hukuman yang baik adalah
Tenaga kerja akan cenderung melakukan perilaku yang konsekuensi yang bersifat soon-certain-negative. Hal ini
diharapkan ketika mengetahui konsekuensi yang akan berarti efek dari hukuman dapat langsung dirasakan
muncul. Pemberian reward sebaiknya didiskusikan juga oleh tenaga kerja ketika berperilaku tidak seperti yang
dengan tenaga kerja. Hal ini agar pihak manajemen diharapkan. Oleh karena itu disarankan kepada PT.
mengetahui sebenarnya apa yang diharapkan X untuk membuat suatu sistem pemberian hukuman
tenaga kerja ketika mereka melakukan perilaku yang yang jelas kepada tenaga kerja yang berperilaku tidak
diharapkan agar tidak terjadi salah persepsi. Seperti aman tentunya dengan didukung pengawasan yang
yang diungkapkan Fleming dan Lardner (2002), bahwa baik sehingga tidak ada tenaga kerja yang luput tidak
setiap orang mempunyai persepsi nilai yang berbeda diberikan hukuman padahal dia berperilaku tidak aman.
dalam menerima konsekuensi yang diberikan. Apa yang Seluruh tenaga kerja harus merasakan dampak hukuman
dipikirkan dapat memberikan penguatan belum tentu tersebut secara langsung. Hal ini dilakukan tentunya
efeknya bagi orang lain, sehingga dalam perumusan tidak hanya memberikan hukuman saja melainkan juga
pemberian konsekuensi perlu melibatkan target individu dengan memberikan reward yang seimbang kepada
dalam hal ini yaitu tenaga kerja. Berdasarkan hasil in tenaga kerja. Pemberian dan penerapan konsekuensi
depth interview kepada beberapa tenaga kerja bagian yang baik ini diharapkan dapat mempertahankan dan
Apris Fitriani, Erwin Dyah Nawawinetu | Journal of Vocational Health Studies 01 (2017): 50–57 57

memelihara perilaku aman pada tenaga kerja. Hal ini Halimah, S. 2010. Faktor-Faktor Yang memengaruhi Perilaku
sesuai dengan yang diungkapkan Geller (2001) bahwa Aman Karyawan di PT. SIM PLANT Tambun II Tahun
faktor konsekuensi akan menentukan apakah perilaku 2010. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
yang diharapkan tersebut terulang dilakukan atau Hidayatullah. p. 95–102.
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
tidak.
Jakarta: PT. Rineka Cipta. Pp. 56–87.
Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Pp. 45–62.
KESIMPULAN Rahmadi, A. 2013. “Menakertrans Ajak Perusahaan Investasi
ke SMK3”. http://medialiputanindonesia.com/liputan/
Faktor anteseden yang mempunyai hubungan depnaker/34306-menakertrans-ajak-perusahaan-
kuat dengan safety behaviour yaitu motivasi, masalah investasi-ke-smk3.html. Diakses: 9 Oktober 2013.
pribadi, dan frekuensi pelatihan K3, dan yang Ramli, S. 2010. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
mempunyai hubungan sangat kuat yaitu pengetahuan, Kerja (OHSAS 18001), Seri Manajemen K3. Jakarta: PT. Dian
persepsi dan pengawasan. Faktor konsekuensi berupa Rakyat. Pp. 1–34.
penguatan positif (pemberian reward) dan penguatan Robbins, P. 1996. Organizational Behaviour. 8th Edition. New
negatif (pemberian punishment) keduanya mempunyai York: Prentice Hall.
hubungan yang kuat dengan safety behaviour. Shapiro, S. 2013. Conducting Systematic Behavioural
Observation In School (BOSS). Pennysylvania: University
Bethelehem. Pp. 6–10.
Sialagan, T. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Pada
DAFTAR PUSTAKA Perilaku Aman di PT EGS Indonesia Tahun 2008. Tesis.
Cooper, D. 2009. Behavioural Safety A Framework for Success. Depok: FKM UI. Pp. 15–26.
Indiana: BSMS Inc,. Pp. 5–12. Sirait, G. 2011. Analisis Perilaku Beresiko Pada Pekerjaan
Fleming, Lardner. 2002. Strategies to Promote Safe Behaviour As Pengelasan Di Jalan Mahkamah Medan Tahun 2011.
Part of Health and Safety Management System. Norwich, Skripsi. Medan: FKM USU. Pp. v–vi.
Health and Safety Executive 2002. www.hse.gov.uk/ Sugiyono. 2005. Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
research/crr_pdf/2002/crr02430.pdf. Diakses: 9 Oktober Pp. 40–42.
2013. Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja.
Geller, E. 2005. Behaviour-Based Safety and Occupational Risk Jakarta: Sagung Seto. Pp. 405–413.
Management. In Behaviour Modification, Vol. 29 No. 3, 539- Syaaf, F. 2008. Analisis Perilaku Beresiko (At Risk Behaviour)
561. Virginia Polytechnic Institute and State University. pada Tenaga Kerja Unit Usaha Las Sektor Informal Di Kota
Geller, E. 2001. The Pshychology Of Safety Handbook. USA: X Tahun 2008. Skripsi. Depok: FKM UI.
Lewis Publisher, Pp. 26–450. Waldron, H.A. 1989. Occupational Health Practice. London.
Pp. 341–357.

Vous aimerez peut-être aussi