Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Mulyati (imoel_firdaus@yahoo.com)
A. PENDAHULUAN
Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan membosankan
bagi siswa. Begitu pula bagi guru, matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit
untuk diajarkan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahyudin (2008 : 338) bahwa
matematika merupakan mata pelajaran yang sulit untuk diajarkan maupun dipelajari.
Salah satu alasan mengapa demikian adalah karena dalam mempelajari materi baru dalam
matematika seringkali memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang
satu atau lebih materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Prestasi pada mata pelajaran matematika secara internasional yang dilakukan oleh
lembaga seperti Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan
bahwa Indonesia berada pada peringkat bawah. Salah satu penyebabnya adalah
kompetensi yang diujikan dalam tes ini jarang diperoleh siswa Indonesia. Kompetensi
yang diujikan dalam PISA lebih mengacu pada pemahaman, penalaran dan proses
berpikir matematika tingkat tingkat tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan evaluasi
pada bertaraf nasional, siswa diberikan jenis tes yang bersifat objektif (pilihan banyak).
Dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) tahun 2000
disebutkan bahwa kemampuan pemahaman dan representasi matematis merupakan aspek
yang sangat penting dalam prinsip pembelajaran matematika. Siswa dalam belajar
matematika harus disertai dengan pemahaman, hal ini merupakan tujuan dari belajar
matematika. Siswa dapat mengembangkan dan memahami konsep matematis lebih
dalam dengan menggunakan representasi yang bermacam-macam. Kemampuan
representasi yang digunakan dalam belajar matematika seperti objek fisik, menggambar,
grafik, dan simbol, akan membantu komunikasi dan berpikir siswa. Hal senada juga
diungkapkan oleh Zaskis dan Sirotic (2004: 497) bahwa terdapat hubungan yang kuat
3
antara kemampuan representasi yang digunakan siswa dengan pemahamannya. Hal ini
berarti, kemampuan representasi yang digunakan siswa menunjukkan kedalaman siswa
dalam pemahamannya terhadap materi.
Pentingnya pengembangan kemampuan pemahaman matematis terdapat pula
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 yang berlaku di
Indonesia saat ini. Kemampuan pemahaman matematis siswa merupakan salah satu fokus
dari tujuan KTSP, yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
Dahlan (2004: 46) mengungkapkan bahwa “Hampir semua teori belajar
menjadikan pemahaman sebagai tujuan dari proses pembelajaran”. Sumarmo (2002) juga
menyatakan bahwa pembelajaran matematika perlu diarahkan untuk pemahaman konsep
dan prinsip matematika yang kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah
matematika, masalah dalam disiplin ilmu lain, dan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Selaras dengan pendapat ahli tersebut, Anderson et al (2001) mengatakan bahwa
“pemahaman terhadap suatu masalah merupakan bagian dari pemecahan masalah”.
Menurut Wahyudin (2008), kemampuan representasi sangat diperlukan untuk
membantu para siswa dalam mengatur pemikirannya. Dengan kata lain, apabila siswa
memiliki kemampuan merepresentasikan gagasan mereka, artinya mereka telah
memperluas kapasitas untuk berpikir secara matematis. Selaras dengan pendapat
Wahyudin, Jones (2000) mengatakan bahwa terdapat beberapa alasan pentingnya
kemampuan representasi dalam pembelajaran matematika, yaitu: merupakan kemampuan
dasar yang perlu dimiliki siswa untuk membangun suatu konsep dan berpikir matematis;
untuk memiliki kemampuan dan pemahaman konsep yang baik dan fleksibel yang dapat
digunakan dalam pemecahan masalah.
Penggunaan representasi yang benar oleh siswa akan membantu siswa dalam
menyederhanakan masalah dan menyelesaikan masalah tersebut secara lebih efektif.
Wahyuni (2012: 4) menyatakan bahwa suatu masalah yang rumit akan menjadi lebih
sederhana jika menggunakan representasi yang sesuai dengan permasalahan yang
diberikan, sebaliknya penggunaan representasi yang keliru dalam menyelesaikan masalah
akan membuat masalah tersebut menjadi lebih sukar untuk diselesaikan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya kemampuan pemahaman
dan representasi matematis di sekolah. Namun, fakta yang ditemukan di lapangan, kedua
kemampuan tersebut masih rendah. Fakta ini terlihat pada hasil kajian PPPG tahun 2002
bahwa hampir semua guru matematika di lima provinsi mempunyai kendala dalam
mengajar matematika dikarenakan kemampuan pemahaman matematis siswa yang
rendah (Wardhani, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan
pemahaman matematis siswa mempengaruhi dalam proses pembelajaran matematika.
Berdasarkan hasil PISA yang diungkap sebelumnya juga menunjukkan bahwa
kemampuan pemahaman dan representasi matematis siswa di Indonesia masih rendah.
Penelitian yang terkait dengan kemampuan representasi matematis juga dilakukan
oleh Pujiastuti (2008). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar siswa
lemah dalam menyatakan ide atau gagasannya melalui kata-kata atau teks tertulis. Aspek
representasi matematis yang kurang berkembang adalah aspek verbal. Dari berbagai
4
B. MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan
masalah pada penelitian ini secara umum adalah “apakah pembelajaran dengan
menggunakan strategi PQ4R dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan
representasi matematis siswa SMA”. Selanjutnya, rumusan masalah penelitian
diuraikan dalam beberapa pertanyaan, yaitu (1) Apakah peningkatan kemampuan
pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi
PQ4R lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran
secara konvensional, ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa dan (b) pengetahuan
awal matematis (PAM)? (2) Apakah peningkatan kemampuan representasi
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi PQ4R lebih baik
dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional,
ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa dan (b) pengetahuan awal matematis (PAM)?
(3) Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (strategi PQ4R dan
konvensional) dan pengetahuan awal matematis siswa (PAM) terhadap
peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa? (4) Apakah terdapat
6
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain penelitian
yang digunakan Non-equivalent Control Group Design (Ruseffendi, 2005: 52).
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA kelas sepuluh di Kabupaten
Indramayu Tahun Pelajaran 2012/2013. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kelas X-1 dan X-4 di salah satu SMA di
Kabupaten Indramayu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
instrumen tes pengetahuan awal matematis, tes kemampuan pemahaman
matematis siswa, kemampuan representasi matematis siswa, lembar observasi dan
lembar wawancara.
Tabel 1.1
Rataan N-Gain Kemampuan Pemahaman Matematis
Kelas Rataan N-Gain Klasifikasi
PQ4R 0,59 Sedang
Konvensional 0,46 Sedang
Berdasarkan pada Tabel 1.1 di atas, terlihat bahwa rataan peningkatan kemampuan
pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengann strategi PQ4R
lebih tinggi daripada siswa yang mendapatkan model pembelajaran konvensional. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran dengan strategi PQ4R memberi kontribusi yang lebih
baik terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional. Namun rataan peningkatan kemampuan pemahaman
matematis siswa untuk kedua kelas dalam kategori sedang.
Untuk membuktikan bahwa skor N-Gain kemampuan pemahaman matematis siswa
kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol dilakukan uji perbedaan rataan skor
7
N-Gain dengan menggunakan independent sample t-test. Berikut rangkuman hasil uji
perbedaan rataan skor N-Gain pada taraf signifikansi α = 0,05.
Tabel 1.2
Uji Perbedaan Rataan Skor N-Gain
Kemampuan Pemahaman Matematis
t-test for Equality of Means
Data Keterangan
t df Sig. (2-tailed)
N-Gain 3,031 63 0,001 Ho ditolak
Dari hasil independent sample test pada Tabel 1.2 diperoleh nilai p-value
atau Sig. (1-tailed) skor N-Gain (0,0005) lebih kecil daripada α = 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa H0 ditolak, artinya peningkatan kemampuan pemahaman
matematissiswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi PQ4R lebih baik
dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Dari hasil independent sample test pada Tabel 1.4 diperoleh nilai p-value atau Sig.
(1-tailed) skor N-Gain (0,0005) lebih kecil daripada α = 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa H0 ditolak, artinya peningkatan kemampuan representasi
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi PQ4R lebih baik
dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Berdasarkan Tabel 1.5 diperoleh informasi bahwa pada kelompok PAM baik
kategori tinggi, sedang, dan rendah, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
strategi PQ4R memiliki peningkatan kemampuan pemahaman matematis yang
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Dilihat dari perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman
matematis siswa pada kedua kelompok pembelajaran tidak berbeda jauh
selisihnya, yaitu pada PAM tinggi berbeda 0,07, PAM sedang berbeda 0,14, dan
PAM rendah berbeda 0,13.
Perbedaan rataan N-Gain juga terjadi pada masing-masing kelompok
pembelajaran. Pada kelompok pembelajaran PQ4R, antara PAM tinggi dan PAM
sedang berbeda 0,23; antara PAM tinggi dan PAM rendah berbeda 0,42; dan
antara PAM sedang dan PAM rendah berbeda 0,19. Pada kelompok pembelajaran
konvensional, antara PAM tinggi dan PAM sedang berbeda 0,32, antara PAM
tinggi dan PAM rendah berbeda 0,50, dan antara PAM sedang dan PAM rendah
berbeda 0,18. Perbedaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi PAM yang
dimiliki siswa maka semakin tinggi pula kemampuan pemahaman matematis yang
diperolehnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungan antara PAM yang
dimiliki siswa dengan kemampuan pemahaman matematisnya.
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi
PQ4R dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari
kategori pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, dan rendah). Perlu
dilakukan pengujian perbedaan rataan skor N-Gain. Sebelumnya terlebih dahulu
harus dilakukan uji prasyarat normalitas dan homogenitas terhadap skor N-Gain
9
kedua kelas tersebut. Berikut rangkuman hasil uji perbedaan rataan skor N-Gain pada
taraf signifikansi α = 0,05.
Tabel 1.6
Uji Perbedaan Rataan Skor N-Gain KPM
Berdasarkan PAM dan Pembelajaran
Perbandingan
PAM Pembelajaran t atau t’ Sig. Kesimpulan
Rataan
Tinggi PQ4R : Konv 0,81 : 0,72 2,961 0,008 H0 Ditolak
Sedang PQ4R : Konv 0,58 : 0,44 4,550 0,000 H0 Ditolak
Rendah PQ4R : Konv 0,39 : 0,26 2,515 0,023 H0 Ditolak
Berdasarkan Tabel 1.7 diperoleh informasi bahwa pada kelompok PAM baik
kategori tinggi, sedang, dan rendah, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
strategi PQ4R memiliki peningkatan kemampuan representasi matematis yang
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Dilihat dari perbedaan peningkatan kemampuan representasi
matematis siswa pada kedua kelompok pembelajaran yaitu pada PAM tinggi
berbeda 0,25, PAM sedang berbeda 0,16, dan PAM rendah berbeda 0,16.
Perbedaan rataan N-Gain juga terjadi pada masing-masing kelompok
pembelajaran. Pada kelompok pembelajaran PQ4R, antara PAM tinggi dan PAM
sedang berbeda 0,29, antara PAM tinggi dan PAM rendah berbeda 0,36, dan
antara PAM sedang dan PAM rendah berbeda 0,07. Pada kelompok pembelajaran
konvensional, antara PAM tinggi dan PAM sedang berbeda 0,20, antara PAM
tinggi dan PAM rendah berbeda 0,27, dan antara PAM sedang dan PAM rendah
10
berbeda 0,07. Perbedaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi PAM yang
dimiliki siswa maka semakin tinggi pula kemampuan representasi matematis yang
diperolehnya. Hal ini mengindikasikan bahwa ada hubungan antara PAM yang
dimiliki siswa dengan kemampuan representasi matematisnya.
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan strategi
PQ4R dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari
kategori pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, dan rendah). Perlu
dilakukan pengujian perbedaan rataan skor N-Gain. Sebelumnya terlebih dahulu
harus dilakukan uji prasyarat normalitas dan homogenitas terhadap skor N-gain
kedua kelas tersebut. Berikut rangkuman hasil uji perbedaan rataan skor N-Gain pada
taraf signifikansi α = 0,05.
Tabel 1.8
Uji Perbedaan Rataan Skor N-Gain KRM
untuk PAM Tinggi
Pembelajara Perbandingan Kesimpula
PAM t Sig.
n Rataan n
Tinggi PQ4R : Konv 0,61 : 0,36 3,363 0,004 H0 Ditolak
Tabel 1.9
Uji Perbedaan Rataan Skor N-Gain KRM
Untuk PAM Sedang dan PAM Rendah
PAM Hasil Uji Mann-Whitney (Sig.) Kesimpulan
Sedang 0,000 H0 ditolak
Rendah 0,004 H0 ditolak
Berdasarkan Tabel 1.8 dan Tabel 1.9 di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
kategori pengetahuan awal matematika siswa tinggi, sedang, dan rendah,
peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan stretegi PQ4R secara signifikan lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat pada uji perbedaan
rataan skor N-Gain memiliki nilai sig. lebih kecil dari α = 0,05.
Berdasarkan hasil penelitian ini, pendekatan pembelajaran dengan strategi
PQ4R merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa. Hal ini sejalan dengan
apa yang diungkapkan oleh Ferrer (2004) bahwa kemampuan pemahaman dapat
ditingkatkan melalui pembelajaran kooperatif dengan melihat komplektifitas
aspek kognitif. Dengan menggunakan metode yang tepat, tentunya kemampuan
pemahaman matematis siswa dapat ditingkatkan.
Pembelajaran PQ4R memungkinkan siswa memperoleh kesempatan untuk
mengembangkan ide-ide melalui suatu aktivitas belajar secara berkelompok di
11
kelas. Hal ini sesuai dengan paham konstruktivisme. Setiap ide-ide matematika
diperoleh di awal dengan bahan ajar yang diberikan berisi masalah-masalah dan
mengerjakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa). Pengalaman mengelaborasi ide-ide
matematika berperan sebagai stimulus awal untuk mendorong siswa dalam
mengkonstruksi konsep matematika. Pemberian masalah di awal untuk
mendorong penemuan konsep sangat diperlukan dengan instruksi yang jelas
sehingga dapat mengkonstruksi konsep. Dengan konsep yang dikonstruksi oleh
siswa, pemahaman siswa semakin lebih mendalam dan akan lebih lama
terlupakan.
Pada tahap awal, siswa mengkonstruksi konsep berdasarkan petunjuk-
petunjuk yang ada dalam bahan ajar, setelah itu siswa saling berdiskusi untuk
mengeluarkan gagasan atau pendapat pada masing-masing kelompok dan diskusi
kelas. Dalam diskusi kelas, siswa mempresentasikan pemikirannya berdasarkan
argumen-argumen yang logis didukung oleh alasan yang kuat dalam
mempertahankan konsep matematika yang telah dikonstruksinya. Hasil
kesimpulan diskusi kelas, disepakati sebagai konsep yang sesuai dan tentu dibantu
oleh guru untuk meyakinkan siswa.
Pada pembelajaran konvensional, konsep diberikan dan dijelaskan oleh
guru. Kemudian diberikan contoh soal untuk melengkapi penjelasan materi,
dilanjutkan pemberian tugas pada siswa dengan meminta salah seorang siswa
untuk mengerjakan di depan kelas. Pada akhir pembelajaran, siswa diberi tugas
pekerjaan rumah.
Pada pembelajaran konvensional ini, siswa tidak diberi kesempatan untuk
mengkonstruksi konsep materi yang dibahas, begitu juga guru jarang memberikan
kesempatan pada siswa untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh siswa
lain, sehingga interaksi antara siswa tidak terlihat dan yang terjadi hanya interaksi
antara guru dengan siswa. Siswa dalam kelompok pembelajan konvensional lebih
pasif dibandingkan dengan siswa dalam kelompok pembelajaran dengan strategi
PQ4R. Siswa kurang berusaha menemukan sendiri penyelesaian dari masalah
yang diberikan guru. Jika guru memberikan tugas atau permasalahan yang
menuntut kemampuan representasi matematis maka siswa terlihat mengalami
kesulitan dalam menyelesaikannya. Akibat dari pembelajaran konvensional ini,
kemampuan pemahaman dan representasi matematis siswa lebih rendah
dibandingkan kemampuan pemahaman dan representasi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan strategi PQ4R.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman
matematis pada kedua kelompok pembelajaran (PQ4R dan konvensional) lebih
besar dibandingkan dengan peningkatan kemampuan representasi matematis
siswa. Diperoleh pula bahwa semakin besar peningkatan kemampuan pemahaman
matematis maka semakin besar pula peningkatan kemampuan representasi
matematis siswa, hal ini terlihat dari rataan skor N-Gain kemampuan pemahaman
12
matematis siswa pada kelompok pembelajaran dengan strategi PQ4R lebih tinggi
daripada siswa kelompok pembelajaran konvensional juga diikuti perolehan
rataan skor N-Gain kemampuan representasi matematis siswa pada kelompok
pembelajaran dengan strategi PQ4R lebih tinggi daripada siswa kelompok
pembelajaran konvensional. Hasil ini menunjukkan bahwa antara kemampuan
pemahaman dan representasi matematis memiliki keterkaitan yang erat. Hal ini
sejalan dengan apa yang terdapat dalam NCTM tahun 2000 bahwa representasi
merupakan sentral dari belajar matematika. Siswa dapat mengembangkan dan
memahami konsep matematis lebih dalam dengan menggunakan representasi yang
bermacam-macam. Kemampuan representasi seperti objek fisik, menggambar,
grafik, dan simbol, akan membantu komunikasi dan berpikir siswa. Begitu pula
menurut Wahyudin (2008) bahwa representasi-representasi mesti diperlakukan
sebagai elemen-elemen esensial dalam mendukung pemahaman para siswa atas
berbagai konsep dan hubungan matematis.
Hasil penelitian berdasarkan PAM di atas memberikan gambaran bahwa
PAM berkontribusi terhadap perolehan pengetahuan baru siswa. Hal ini sesuai
dengan paham konstruktivisme yang berpandangan bahwa belajar merupakan
kegiatan membangun pengetahuan yang dilakukan sendiri berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya (Shadiq, 2009). Berdasarkan teori ini
dapat ditarik keismpulan bahwa semakin baik pengetahuan awal matematis siswa
maka akan semakin baik pula perolehan pengetahuan baru siswa.
Hambatan-hambatan dalam pembelajaran dengan strategi PQ4R adalah
adanya pengetahuan awal siswa (PAM) yang beragam. Dengan demikian para
siswa memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda untuk memperoleh
pemahaman matematis. Namun hal demikian, keberagaman PAM tersebut dapat
diatasi dengan dibentuknya kelompok saat pembelajaran berlangsung. Setiap
kelompok yang dibentuk saat pembelajaran masing-masing terdiri dari siswa
dengan PAM yang beragam yaitu PAM tinggi, PAM sedang, dan PAM rendah.
Kerjasama atau interaksi yang terjadi antar siswa dalam kelompok akan sangat
membantu memperdalam pemahaman siswa secara keseluruhan.
Keberagaman PAM siswa harus disadari oleh guru. Dalam pembentukan
kelompok diusahakan agar kelompok tersebut beragam, mulai dari siswa dengan
PAM tinggi sampai rendah. Hal ini dilakukan agar tujuan pembelajaran secara
umum bisa tercapai. Siswa dengan PAM rendah bisa berinteraksi dengan siswa
yang mempunyai PAM tinggi. Siswa dengan PAM tinggi juga bisa
mengembangkan kemampuan potensialnya dengan adanya interaksi kelompok
serta adanya bantuan dari guru.
Hasil penelitian antara peningkatan kemampuan representasi matematis
siswa baik secara keseluruhan maupun pada masing-masing PAM pada kedua
kelompok pembelajaran (Strategi PQ4R dan konvensional) terlihat lebih rendah
13
Tabel 2.1
Uji Anova Dua Jalur Peningkatan KPM
Berdasarkan PAM dan Pembelajaran
Mean
Sumber df F Sig. H0
Square
PAM 2 0,549 65,100 0,000 H0 ditolak
Pembelajaran 1 0,166 19,710 0,000 H0 ditolak
PAM*Pembelajaran 2 0,003 0,346 0,709 H0 diterima
Berdasarkan Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa: (a) sig. untuk PAM lebih kecil
(0,000) dari 0,05 yang berarti H0 ditolak. Dengan demikian ada perbedaan
peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa berdasarkan PAM; (b) sig.
untuk pembelajaran lebih kecil (0,000) dari 0,05 yang berarti H 0 ditolak. Dengan
demikian ada perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa
berdasarkan pembelajaran; (c) sig. berdasarkan interaksi antara pembelajaran
dengan PAM terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa
lebih besar (0,709) dari 0,05 yang berarti H0 diterima. Dengan demikian tidak ada
interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap peningkatan kemampuan
pemahaman matematis siswa.
Tidak adanya interaksi antara pembelajaran (strategi PQ4R dan konvensional)
terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa diperjelas dengan
Gambar 2.1 berikut.
14
Berdasarkan Tabel 2.2 dapat dilihat bahwa: (a) sig. untuk PAM lebih kecil
(0,000) dari 0,05 yang berarti H0 ditolak. Dengan demikian ada perbedaan
peningkatan kemampuan representasi matematis siswa berdasarkan PAM; (b) sig.
untuk pembelajaran lebih kecil (0,000) dari 0,05 yang berarti H 0 ditolak. Dengan
demikian ada perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa
berdasarkan pembelajaran; (c) sig. berdasarkan interaksi antara pembelajaran
dengan PAM terhadap peningkatan kemampuan representasi matematis siswa
15
lebih besar (0,308) dari 0,05 yang berarti H0 diterima. Dengan demikian tidak ada
interaksi antara pembelajaran dengan PAM terhadap peningkatan kemampuan
representasi matematis siswa.
Tidak adanya interaksi antara pembelajaran (strategi PQ4R dan konvensional)
terhadap peningkatan kemampuan representasi matematis siswa diperjelas dengan
Gambar 2.2 berikut.
Berdasarkan Gambar 2.2 terlihat bahwa antara pembelajaran dan PAM tidak
terdapat interaksi terhadap peningkatan kemampuan representasi matematis siswa,
hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya perpotongan antara kedua garis tersebut.
Artinya bahwa faktor pendekatan pembelajaran tidak tergantung atau
mengabaikan PAM siswa terhadap peningkatan kemampuan representasi
matematis.
F. DAFTAR PUSTAKA
Al-Qatawneh, K. S. dan Alodwan, T. A. A. (2012). “Effects of Generative
Teaching Model on Reading Comprehension Skills of Jordanian
Secondary Students, and on their Awareness in Reading Strategies in
English from their Perspectives”. European Journal of Social
Sciences. 33, (2), 211-229. [Online].
http://www.europeanjournalofsocialsciences.com.[24November 2012]
Ferrer, L. (2004). “Developing Understanding and Social Skills through
cooperative Learning”. Journal of Science and Mathematics
Education in S. E. Asia. 27, (2), 45–61.
17