Vous êtes sur la page 1sur 96

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana penyalahgunaan Narkotika merupakan masalah

besar yang sedang menjadi trending topic sekaligus menjadi suatu

keprihatinan bangsa indonesia akhir-akhir ini. Tindak pidana

penyalahgunaan narkotika tersebut semakin marak dan bahkan para

pelaku penyalahgunaan narkotika seolah-olah tidak tahu tentang

adanya sanksi pidana yang akan menyertainya. Penyalahgunaan

Narkotika merupakan masalah yang perkembangannya sangat

mengkhawatirkan dan berdampak terhadap keluarga dan lingkungan

sosial. 1)

Tujuan Negara Republik Indonesia secara tegas yang

termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV

yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah

indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosia. 2)

Bertolak dari hal tersebut, maka perlu di lakukan upaya peningkatan


1) Ardiyanto Imam W , dkk, 2014, Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anggota TNI, Jurnal Serambi Hukum.
Vol. 08 No. 02, hal 3
2) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV

1
2

terus menerus ketersediaan Narkotika sebagai obat jenis tertentu yang

sangat dibutuhkan dalam dunia kesehatan, disamping itu obat-obatan

tersebut perlu digunakan untuk penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan.

Perkembangan kemajuan masyarakat yang sedemikian pesat

dan hubungan antara Negara yang tidak dapat dihindari sebagai

bagian dari masyarakat dunia internasioanal, melahirkan fenomena

baru adanya tindakan penyalahgunaan Narkotika, bahkan Narkotika

telah menjadi objek transaksi perdagangan, baik dalam bentuk lokal,

maupun antar Negara, oleh karena itu semua aparat penegak hukum,

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga masyarakat, sebagai

bagian dari sistem peradilan pidana terpadu, sepatutnya secara

bersama-sama mencegah dan memberantas penyalahgunaan

narkotika, demi masadepan indonesia.

Narkotika hanya dapat digunakana untuk kepentingan

pelayanan keshatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Tetapi dalam narkotika golongan I dilarang digunakan untuk

kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, narkotika

golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta


3

reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan menteri atas

rekomendasi Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 3)

Peredaran narkotika di Indonesia tampaknya semakin marak.

Saat ini, narkoba tidak hanya menjadi konsumsi bagi masyarakat di

kota besar, tapi bagi masyarakat pedesaanpun narkotika tidak lagi

menjadi barang langka. Ironisnya, tidak hanya dikalangan dewasa saja

narkotika begitu dikenal dan dikonsumsi, tetapi di kalangan remaja dan

anak di bawah umur pun sudah mengenal barang haram tersebut.

Masalah narkotika adalah masalah nasional dan internasional, karena

penyalahgunaannya akan berdampak negatif terhadap kehidupan

masyarakat, bangsa dan negara. 4)

Kejahatan narkotika yang bersifat interansnasional dilakukan

dengan menggunakan modus operandi yang modern dan teknologi

canggih, termasuk mengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika.

Perkembangna kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi

ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.

Tingginya penyalahgunaan dan peredaran Narkotika di

Kabupaten Majalengka mengundang keprihatinan apalagi Narkotika

kini menyasar ke generasi muda bahkan anak-anak sekolah bila tidak

3) H.Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika,PT. Rineka Cipta, Jakarta,


2012 hal. 4.
4) Adenan (2013). Tinjauan yuridis terhadap tindak pidana narkotika (studi kasus putusan

pengadilan no. 840/Pid.B/2012/PN.Mk). universitas Hasaduddin.


4

di awasi dan dibina akan terkena juga. Sementara itu, Kepala Kejari

Majalengka Mohamad Basyar Rifai menyebutkan , kasus pidana

umum menurun dari 315 perkara 2013, menjadi 195 perkara sampai

desember 2014 ini. Akan tetapi dari kasus Narkotika mengalami

peningkatan yang cukup fantastis, kenaikannya lebih dari 100 persen

di tahun 2014.5

Tindak rehabilitas di atur dalam pasal 127 ayat (3), 54, 55 dan

103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 6 ).

Pada dasarnya, penyalahgunaan narkotika adalah pelaku kejahatan

dan merupakan bahwa mereka juga adalah korban yang melakat

dengan segala hak-hak yang harus di perjuangkan. Hal ini berartii

bahwa seseorang itu pengguna narkotika yang menyalahgunakan,

mereka tetap memiliki hak asasi manusia karena hak tersebut melekat

dari hakikat dan martabatnya sebagai manusia. Ini berarti Negara

mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum

terhadap penyalahgunaan narkotika, hak atas pembinaan dan

rehabilitasi.

Yang menjadi permasalahan persoalan penerapan pasal-pasal

dan penjatuhan sanksi pidana yang sering keliru dan sering digunakan

aparat penegak hukum terhadap penyalahguna narkotika, disparitas

5 ) http://www.radarcirebon.com/kasus-penyalahgunaan-narkoba-meningkat.html(2014)
6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
5

(perbedaan) terjadi pada perkara tindak pidana narkotika yang penulis

bahas, Terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana penyalah

gunaan narkotika adalah pelaku kriminal yang harus di penjarakan

karena di anggap telah melakukan tindak pidana, pendapat itu benar

jika dikaji dan ditinjau dalam kecamata legal positivistik (hukum positif)

sebagai mana yang diatur dalam pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika. Pandangan yang lain mengatakan

bahwa penyalah guna atau korban penyalahguna adalah korban dan

bukan pelaku kriminal atau penjahat yang harus dipenjara, tetapi harus

diobati agar sembuh, sah-sah saja jika hukum dilihat dari segi

kemanfaatan dan keadilan. 7 ) Sedangkan menurut pasal 127 ayat 3

berbunyi : Dalam hal penyalahguna sebagai dimaksud pada ayat (1)

dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan

Narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis

dan rehabilitasi sosial.

Penyalahgunaan narkotika sebagian besar diawali dengan

upaya coba-coba dalam lingkungan pergaulan, semakin lama

pemakaian maka resiko kecanduan semakin tinggi, jika terus

dilanjutkan maka dosis narkoba yang digunakan juga akan semakin

besar. Beberapa gejala yang menandakan seseorang sudah dalam

7) Muliyawan (2016), http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/241-penyalahgunaan


kriminal atau korban
6

tahap kecanduan yaitu keinginan untuk mengonsumsi narkotika setiap

hari atau beberapa kali dalam sehari dosis yang dibutuhkan semakin

lama semakin besar, keinginan pengguna narkotika tak bisa ditahan.

Maka dari itu kuncinya adala melakukannya rehabilitasi terhadap

pengguna.

Salah satu hal yang cukup mendetail dijelaskan juga dalam

Undang-Undang 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ini adalah terdapat

klasifikasi pembagian “cap” bagi orang yang terlibat dalam Narkotika.

Pembagian klasifikasi pada Undang-Undang ini berbeda pada

pembagian secara umum yang sering disebut masyarakat pengedar

narkotika dan pengguna narkotika, Namun dalam undang-Undang ini

secara iplisit dijelaskan lagi mengenai siapa saja yang disebut

pengguna narkotika yaitu terdapat beberapa penyebutan yakni :

1. Pecandu narkotika (pasal 1 angka 13 jo pasal 54 jo pasal

127);

2. Penyalahguna narkotia (pasal 1 angka 15 jo pasal 54 jo

pasal 127);

Direktur IV Narkoba Bareskrim Mabes polri Brigadir Jendral Eko

Daniyanto mengatakan : pengguna narkotika yang ditangkap petugas

dengan barang bukti kurang dari 1 gram akan diarahkan untuk

menjalani rehabilitasi.
7

Putusan yang penulis teliti menganalisi memahami dengan

cermat, dalam isi putusan tersebut tersangka RH telah melakukan

tindak pidana tanpa hak atau melawan hukum penyalahgunaan

Narkotika Golongan I bagi Diri Sendiri dengan di ancam penjara 6

bulan oleh jaksa penuntut umum dan di kurangi masa tahanan karena

telah mengonsumsi Narkotika jenis shabu seberat 0,96 gram dan

hakim mengadili terdakwa RH di jatuhi hukuman penjara selama 4

bulan. Seharusnya hakim menimbang kembali dalam penjatuhan

hukuman dapat digambarkan penjatuhan hukum penjara kepada

terdakwa RH hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam

lingkungan hidup sosial, bisa jadi akan mengulanginya lagi dan juga

shabu yang RH gunakan adalah seberat 0,96 gram olehkarena itu bisa

dinyatakan melakukan rehabilitasi sesuai apa yang di jelaskan di atas.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis terdorong untuk

melakukan penelitian yang mendalam tentang “PELAKSANAAN

PASAL 127 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

TENTANG NARKOTIKA (Studi Kasus Perkara Nomor :

81/Pid.sus/2018/PN.MJL)”
8

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, maka penulis

mengambil pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan:

Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl)?

2. Kendala-Kendala apakah dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi

Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl)?

3. Upaya-Upaya apakah dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Stusi

Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl)?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian

Adapun maksud dilakukannya penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Mencari data dan informasi tentang pelaksanaan pasal 127 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(Studi Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl).

2. Mencari data dan informasi tentang Kendala-Kendala apakah

dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35


9

Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl).

3. Mencari data dan informasi tentang Upaya-Upaya apakah dalam

pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika (Stusi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl).

Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus

Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl.

2. Untuk mengetahui Kendala-Kendala apakah dalam

pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl.

3. Untuk mengetahui Upaya-Upaya apakah dalam pelaksanaan

pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika (Stusi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl.
10

1.4. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas dapat memberikan

kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu sebagai

berikut :

1. kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah warna,

wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum. Khususnya

yang menyangkut tentang tindak pidana narkotika yang terkait

dalam proses penjatuhan putusan, penyususnan mengenai hukum

positif yaitu hukum pidanan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009.

2. Kegunaan praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

wacana bagi pembaca untuk memeberikan pengetahuan baru

tentang hukum pidana dan juga berguna untuk masyarakat pada

umumnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Merujuk pada Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dan peraturan pemerintah No. 25 Tahun 2011 tentang

pelaksanaan wajib lapor pecandu Narkotika, maka pecandu,

pengguna/ korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani


11

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Undang-Undang no.35 tahun

2009 pun menjelaskan dalam pasal 127 ayat 3 berbunyi : Dalam hal

penyalahguna sebagai dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau

terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, penyalahguna

tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Undang-Undang No 35 Tahun 2009 ini, para pengguna

narkotika disebut juga sebagai korban dari peredaran narkotika

tersebut. Karena semakin banyaknya peredaran narkotika, maka

semakin banyak pula penyalahguna atau pecandu yang terjadi. Oleh

karenanya negara/pemerintah dalam hal ini ikut campur dalam proses

pencegahan maupun pemberantasan. Dari penjelasan di atas, pada

pasal 1 angka 13 dan angka 15 Undang-Undang No.35 Tahun 2009

Tentang Narkotika ini mengatur mengenai dua klasifikasi dari

pengguna Narkotika (penyalahguna dan pecandu). Jonkers

menjelaskan bahwa hanya strafrechtelijke minderjarigheid, atau orang

yang belum cukup umur merupakan dasar peringan pidana yang

sebenarnya, sedangkan percobaan untuk melakukan kejahatan dan

pembantuan bukanlah dasar peringanan pidana yang sebenarnya.8)

Pembentukan undang-undang telah menggunakan istilah

“strafbaar feit” untuk menyebut apa yang disebut sebagai “tindak

pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa

8)
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafik, Jakarta, 2007, Hal 439.
12

memberikan suatu penjelasan tentang apa yang disebut sebagi

“strafbaar feit” tersebut. Oleh karena itu timbullah beberapa doktrin

mengenai pendapat tentang makna dari istilah “strafbaar feit” tersebut.

Mengenai isi pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat

para sarjana, berikut ini adalah beberapa pendapat para sarjana

mengenai penjelasan dari istilah “strafbaar feit” tersebut.9)

Berikut ini adalah beberapa pendapat ahli hukum pidana yang

juga mengemukakan pendapat mengenai istilah “strafbaar feit”, antara

lain :

a. Moeljatno, menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu :

Perbuatan yang di larang oleh suatau aturan hukum, larangan

mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat

juga dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh

suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Asal saja dalam

perbuatan itu diingat bahwa larangan yang ditujukan pada

perbuatan yaitu suatu keadaan atau suatu kejadian yang

ditimbulkan oleh kelakuan orang yang menimbulkan kejadian itu.

Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang.

9) P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonsia, PT. Citra Adya Bakti,
Bandung, Hal.181
13

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

adalah merupakan salahsatu bentuk Undang-Undang yang mengatur

tindak pidana di luar KUHP. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika merupakan ketentuan khusus dari ketentuan umum

(KUHP) sebagai perwujudan dari asas lex specialis derogat lex

generalis.

Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis

zat yang bilamana dipergunakan (dimasukan dalam tubuh) akan

membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai, Pengaruh tersebut

berupa :

a) Mempengaruhi kesadaran

b) Memberi dorongan yang dapat berpengaruh terhadap

perilaku manusia

c) Adapun pengaruh-pengaruh tersebut dalam berupa,

penenang, perangsang (bukan rangsangan seks) dan

menimbulkan halusinasi

Definisi tentang narkotika menurut Smith Kline dan french

clinical staff menyatakan sebagai berikut :

“Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan


ketidak sadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut
bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisi
narkotika ini sudah termasuk jenis candu (morfhine, codein,
heroin) dan candu sintetis (meperidine, methadone).”10)

10) Makarao, Taufik. Moh. 2003. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta : Ghalia Indonesia, Hal 18.
14

Oleh karena itu terhadap kejadian yang menyangkut tindak

pidana Narkotika harus di terapkan ketentuan-ketentuan tindak pidana

dalam undang-undang tersebut, kecuali hal-hal yang belum diatur di

dalamnya. Dalam rangka melindungi masyarakat dari bahaya

penyalahgunaan narkotika, Undang-Undang nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika juga mengatur mengenai prekurso narkotika serta

sanksi pidana prekurso narkotika yang merupakan zat atau bahan

pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam perbuatan

narkotika selain itu, untuk lebih mengefektifkan upaya pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika maka

dalam undang-undang narkotika ini diatur mengenai pengaturan

kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN).

Dengan berlakunya Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II

sebagimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang No.5 Tahun

1997 tentang Psikotropika telah dipindahkan menjadi Narkotika

Golongan I menurut Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009

dan Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II

dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku.


15

Narkotika merupakan bahan/zat yang jika dimasukan kedalam

tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan,

dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku

seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik

dan psikologis.

Undang-Undang pidana yang baik sejalan denga tuntutan

perkembangan sosial bisa dipandang sebagai sarana untuk

melakukan tindakan prevensi umum.

Demikianlah halnya dengan upaya menghadapi bahya


narkotika. Secara yuridis, khusususnya hukum pidana
pemerintah didukung oleh kalangan ahli dan praktisi menyadari
pentingnya undang-undang narkotika. Presepsi kalangan
mengenai relevan dan urgen hadirnya undang-undang narkotika
nasioanal yang baru merupakan dukungan besar atas
diterbitkannya undang-undang tentang narkotika. 11)
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa nyeri

dan dapat menimbulkan ketergantungan ( Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009). Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan sebagai

mana tertuang dalam lampiran 1 Undang-Undang tersebut. Yang

termasuk jenis narkotika adalah: 12)

11)
Soedjono, Segi Hukum Tentang Narkotika Di Indonesia, PT. Karya Nusantara, 1976, hal
14
12) Penjelasan Undang-Undan No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
16

1. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat

tinggi mengakibatkan ketergantungan;

2. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam

terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan;

3. Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk bertujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan;

Saat sekarang ini penyebaran narkotika dan obat-obatan

terlarag mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Tidak

terhitung banyaknya upaya pemberantasan narkoba yang sudah

dilakukan oleh pemerintah, namun masih susah untuk menghindarkan

dari narkotika dan obat-obatan terlarang. Unsur penggerakan atau

motivator utama dari para pelaku kejahatan dibidang narkotika dan

obat-obatan terlarang ini adalah masalah keuntungan ekonomis. Bisnis

narkotika dan obat-obatan terlarang tumbuh menjadi salah satu bisnis

yang paling favorit di dunia. Dalam pasal 114 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa:


17

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum dalam hal
narkotika yaitu menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah)”.

1.6. Metode penelitian

Metode yang digunakan penyusun dalam penelitian ini adalah

deskriptif analisis, yaitu cara memecahkan masalah atau menjawab

permasalahan yang sedang dihadapi dengan menempuh jalan

pengumpulan , klasifikasi, analisis, data yang disimpulkan dengan

tujuan membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif.13)

Penyusun juga menggunakan metode pendekatan Yuridis

normatif yaitu penelitian hukum yang mengutamakan cara meneliti

bahan pustaka atau yang disebut bahan data sekunder berufa hukum

positif.14)

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

1. Studi Kepustakaan (Library research) yaitu pengumpulan

bahan dan data-data yang meliputi :

13) Winarno surachmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Transito Bandung, 1989, hal
12.
14) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Ilmu, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal
52.
18

a. Bahan Hukum Primer yang meliputi Undang-Undang Dasar

1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Darah dan perundang-undangan yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang dibaha.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa buku-buku literature,

Karya ilmiah, Pendapat para Pakar atau Sarjana.

c. Bahan Hukum Tersier berupa kamus, Ensiklopedia,

Majalah, dan Artikel.

1.7. Lokasi penelitian

Penelitian dalam rangka penyusunan skripsi ini dilakukan di

Pengadilan Negri Majalengka Jalan Raya K.H Abdul Halim No.499

Tonjong, Kec. Majalengka, Kabupaten Majalengka .

1.8. Sistematika Penulisan

Untuk pembahasannya, penulisan membaginya kedalam empat

bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah,

identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan

penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, lokasi

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


19

Berisi tentang Pengertian Tindak Pidana, Unsur-unsur Tindak

Pidana, Jenis –jenis Tindak Pidana, Teori Rehabilitasi,

Pengertian Narkotika dan Jenis-jenis Narkotika, Pengertian

Tindak Pidana Narkotika, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana

Narkotika, Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika,

Faktor-Fakor Penyalahgunaan Narkotika, Akibat penyalahgunaan

Narkotika, Penanganan penyalahgunaan Narkotika, Tujuan

Umum Tentang Putusan Hakim, Proses Penjatuhan Putusan

Hakim, Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Hukuman.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam hasil penelitian mengenai kasus posisi, menyusun

memaparkan mengenai, Bagaimana Pelaksanaan pasal 127 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(Studi Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl). Kendala-

Kendala apakah dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus

Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl. Upaya-Upaya apakah

dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika (Stusi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl).

Selanjutnya melakukan pembahasan yang meliputi, Bagaimana

Pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun


20

2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl. Kendala-Kendala apakah dalam

pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl). Upaya-Upaya apakah dalam

pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil

penelitian dalam kaitannya dengan permasalahan yang dikaji.


21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tindak Pidana

2.1.1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari

“strafbaar feit”. Di dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) sediri tidak terdapat penjelasan mengenai apa

sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit. Biasanya

tindak pidana disinonimkan dengan istilah “delik”, yang berasal

dari bahasa latin yaitu delictum, yang berasal dari bahasa Latin

yakni delictu. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, delik di

definisikan sebagai berikut “delik adalah perbuatan yang dapat

dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap

undang-undang tindak pidana”.

Hukum pidana itu sesungguhnya sangat sulit untuk

dijawab seketika karena hukum pidana itu mempunyai banyak

segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Lagi

pula, ruang lingkup pengertian hukum pidana itu dapat bersifat

luas dan dapat pula bersifat sempit. Secara sosiologis

masyarakat pada umumnya mentaati ketentuan hukum pidana

itu, hanya sebagian kecil yang melanggarnya yang disebut

21
22

tersangka atau pembuat. Besar kecilnya jumlah pelanggaran itu

di tentukan oleh ruang, waktu, tempat dan orang.15)

2.1.2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang

tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah

dirumuskan didalam suatu peraturan perundang-undangan baik

itu didalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan

pidana lain diluar KUHP. Mengenai unsur-unsur tindak pidana

Lamintang berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana pada

umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur dasar yang

terdiri dari unsur subyektif dan unsur obyektif.16)

Kemudian Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-

unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif sebagai berikut :

a. Unsur unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada

diri si pelaku ayau yang berhubungan dengan diri si pelaku,

dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung didalam hatinya;

b. Unsur-unsur obyektif yaitu unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam

15 )
DR. Adi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Asdina Mahasatya, 2008, Hal.8
16 )
P.A.F. Lamintang, Op. Cit, Hal 193.
23

keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus

dilakukan.

Unsur-unsur tindak pidana dibagi menjadi dua sudut

pandang, yakni sudut pandang teoritis yang artinya sudut yang

berdasarkan para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi

rumusannya. Sedangkan sudut pada undang-undang adalah

melihat kenyataan tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal

peraturan perundang-undangan yang lainnya.

Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut Adam

Chazawi unsur-unsur tersebut berasal dari rumusan-rumusan

tindak pidana tertentu dalam KUHP, diantaranya 11 unsur yaitu

:17)

a. Unsur tingkah laku;


b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana;
i. Unsur objek hukum tindak pidana;
j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana

Sifat melawan hukum dapat dibagi menjadi 4 (empat) jenis yaitu:18)

a. Sifat melawan hukum umum

17)
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,
Hal 82.
18 )
I Made Widnyana, 2010, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, Hlm 57.
24

Ini di artikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang

tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana.

Perbuatan pidana adalah kelakuan yang termasuk dalam

rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

b. Sifat melawan hukum khusu

Ada kalanya kata “bersifat melawan hukum” tercantum secara

tertulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum

merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidan. Sifat melawan

hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik

dinamakan sifat melawan hukum khusus. Juga dinamakan “sifat

melawan hukum facet”.

c. Sifat melawan hukum formal

Istilah ini berarti semua bagaian yang tertulis dari rumusan delik

telah di penuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).

d. Sifat melawan hukum materiil

Sifat melawan hukum materiil berarti melanggar atau

membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi

oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu.

Selain hal tersebut di atas, masih terdapat beberapa

pendapat para ahli hukum pidana mengenai unsur-unsur tindak

pidana. Sama halnya dengan istilah tindak pidana, mengenai

unsur-unsur tindak pidanapun belum terdapat kesatuan


25

pendapat diantara para ahli hukum pidana. Setidaknya tentang

unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para ahli hukum

pidana pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua)

golongan, yaitu :

1. Padangan dualistis

Pandangan dualistis mengadakan pemisahan antara

dilarangnya suatu perbuatan dengan sanksi ancaman pidana

(criminal act atau actus reus) dan dapat dapat dipertanggung

jawabkan si pembuat (adanya mens rea).

Pengikut aliran dualistis, antara lain :

1) H.B Vos

Jadi menurut Vos strafbaar feit hanya berunsurkan:

a. Kelakuan manusia;

b. Diancam pidana dalam undang-undang.

2) W.P.J Pompen

Berpendapat bahwa “menurut hukum positif strafbaar

feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana

dalam ketentuan undang-undang”. Memang beliau

mengatakan, bahwa menurut teori, strafbaar feit itu

adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum,

dilakukan dengan kesalahan, dan diancam pidana.

Dalam hukum positif, demikian Pompe, sifat melawan


26

hukum dan kesalahan bukan sifat mutlak untuk adanya

tindak pidana, akan tetapi disamping itu harus ada

orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika

tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan.

3) Moeljatno

Dalam pidato deis natalis tersebut diatas beliau

memberi arti kepada “perbuatan pidana” sebagai

“perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa

melanggar larangan tersebut”. Untuk adanya perbuatan

pidana harus ada unsur-unsur :

a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhu rumusan dalam undang-undang

(ini merupakan syarat formil); dan

c. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat

materil);

2. Pandangan monistis

1) Van Hamel

Jadi unsur-unsur :

a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-

undang;

b. Melawan hukum;

c. Dilakukan dengan kesalahan dan;


27

d. Patut dipidana;

2) Mezgar

Die straftat ist der Inbegriff der Voraussetzungen der

Strafe (Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk

adanya pidana). Selanjutnya dikatakan : Die strafttat ist

demnach tatbestandlich- rechtwidrige, personlicht-

zurechenbare strafbedrohte Hanlung. Dengan demikian

unsur-unsur tindak pidana ialah :

a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif

atau membiarkan);

b. Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun

yang subyektif);

c. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;

d. Diancam dengan pidana;

2.1.3. Jenis-jenis tindak pidana

Pembagian jenis-jenis tindak pidana dalam teori dan

praktek peraturan perundang-undangan ialah sebagai berikut :

a. Kejahatan dan pelanggaran ;

b. Delik formil dan delik materiil;

c. Delik dolus dan delik culpa;


28

d. Delik commisissionis, delik Ommissionis, dan delik

Commissionis perommisionis commisso;

e. Delik tunggal dan delik berganda ;

f. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak

berlangsung terus ;

g. Delik aduan dan delik biasa atau bukan aduan;

h. Delik ekonomi dan bukan delik ekonomi;

i. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya;

j. Kejahatan ringan;

Disamping tindak pidana yang tercantum dalam KUHP

ada beberapa macam tindak pidana yang mengaturnya berada

diluar KUHP atau disebut “tindak pidana khusus”. Adapun jenis-

jensi tindak pidana diluar KUHP antara lain:

a. Tindak Pidana Imigrasi;

b. Tindak Pidana Ekonomi;

c. Tindak Pidana Narkotika;

Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan hukum pidana khusus

adalah :

Hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang


khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-
perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana
militer, hukum pidana ekonomi sehingga dapat
disimpulkan “undang-undang pidana khusus” itu adalah
undang-undang pidana pidana pidana selain Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan
29

kedudukan sentral dari KUHP ini terutama karena


didalamnya termuat ketentuan-ketentuan umum dari
hukum pidana dalam Buku I yang berlaku juga terhadap
tindakan-tindakan pidana yang terdapat diluar pidana
yang terdapat diluar KUHP kecuali apabila undang-
undang menentukan lain.19)

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

adalah merupakan salah satu bentuk Undag-Undang yang

mengatur tindak pidana di luar KUHP. Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan ketentuan khusus dari

ketentuan umum (KUHP)sebagai perwujudan dari asas lex

spesialis derogate lex generalis. Oleh karena itu terhadap

kejadian yang menyangkut tindak pidana narkotika harus

diterapkan ketentuan-ketentuan tindak pidana dalam undang-

undang tersebut, kecuali hal-hal yang belum diatur di dalamnya.

2.2. Teori Rehabilitasi

Rehabilitasi (pemulihan), diterjemahkan sebagai pertolongan

kepada para terpidana untuk pulih sebagai sedia kala. Konsekuensinya

tentunya adalah menghilangkan penderitaan semaksimal mungkin.

Dalam praktek terjadi ambivalensi antara rehabilitasi sebagi bagian dari

sanksi pidana dan rehabilitasi dalam angka pengobatan karena tujuan

keduanya bertolak belakang. Konsep ini sangat dimasukan kedalam sub

kelompok Detterence karena memiliki tujuan pemidanaan, meskipun

19)
Sudarto, Hukum Pidana I, Jakarta, PT. Sinar Grafik, 2007, Hlm 21.
30

dalam pandangan Andrew Ashwort sesungguhnya rehabilitasi adalah

penjatuhan pidana yang berbeda dengan pandangan Detterence. Bila

tujuan utama dari teori Detterence adalah melakukan tindakan preventif

terhadap terjadinya kejahatan, maka rehabilitasi lebih memfokuskan diri

untuk mereformasi atas memperbaiki prilaku. Dalam kajian kriminologi,

Detterence dilatarbelakangi oleh pandangan retional choice yang

merupakan paham yang berkembang dalam teori kriminologi klasik.

Maka berbeda dengan rehabilitasi yang dilatar belakangi pandangan

positivis dalam kriminologi, maka penyebab kejahatan lebih dikarenakan

adanya penyakit kejiwaan atau penyimpangan sosial baik pandangan

psikiater atau psikologi. Dipihak lain kejahatan dalam pandangan

rehabilitasi dipandang sebagai penyakit sosial yang disintregratif dalam

masyarakat.

2.3. Pengertian narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis

zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-

orang yang menggunaknnya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam

tubuh.

Istilah narkoba yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics”

pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug”,

yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan

pengaruh-pengarauh tertentu pada tubuh sipemakai,yaitu :


31

a. Mempengaruhi kesadaran;

b. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku

manusia;

c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:

1) Penenang;

2) Perangsang (bukan rangsangan sex);

3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu

membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan

kesadaran akan waktu dan tempat). 20)

Pada mulanya zat narkotika ditemukan orang yang

penggunaannya ditujukan untuk kepentingan umat manusia, khususnya

dibidang pengobatan. Dengan perkembangan pesat industri obat-

obatan dewasa ini, maka kategori jenis zat-zat narkotika semakin

meluas pula seperti halnya yang tertera dalam lampiran Undang-

Undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009. Dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obat semacam

narkotika berkembang pula secara pengolahannya. Namun belakangan

diketahui pula bahwa zat-zat narkotika tersebut memiliki daya

kecanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya

terus-menerus pada obat-obat narkotika itu. Dengan demikian, maka

20 )
Soedjono D, Op Cit, Hal 1.
32

untuk jangka waktu yang mungkin agak panjang si pemakai

memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna bisa

disembuhkan. Sehubungan dengan pengertian narkotika, menurut

Sudarto, dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengatakan

bahwa: Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “Narke”,

yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.21)

Sedangkan Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan

definisi tentang narkotika.

Narcotic are drugs which product insentsibility or stupor duce to


their deperessent offer on the central nervous system, included
in this definition are opium-opium derivatives (morphine, codein,
methadone). Artinya Narkotika adalah zat-zat atau obat
yangdapat mengakibatkan ketidak sadaran atau pembiusan
dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan
syarat sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk
candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein,
methadone)22)
Definisi lain dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku

“Narcotic Identification Manual”, sebagaimana Djoko Prakoso, Bambang

Riyadi, dan Mukhsin dikatakan.

Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja,


kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda
tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasisch, cocain. Dan
termasuk juga narkotika sintetis yang menghasilkan zat-zat, obat-
obat yang tergolong dalam Hallucinogen dan Stimulant.23)

21 )
Djoko Prakoso, Kejahatan-kejahatan yang Merugikan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1989,
Hal 480.
22)
Ibid, Hal 481
23)
Ibid , Hal 481
33

Narkotika atau napza adalah obat/bahan/zat, yang bukan

tergolong makanan. Jika di minum, diisap, dihirup, ditelan atau

disuntikan, berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan saraf otak),

dan sering menyebabkan ketergantungan. Akibat, kerja otak berubah

(meningkat atau menurun). Demikian pula fungsi vital organ tubuh lain

(jantung, peredaran darah, pernafasan, dan lain-lain).24)

Narkoba adalah istilah penegak hukum dan masyarakat. Narkoba

disebut berbahaya karena tidak aman digunakan manusia. Oleh karena

itu, penggunaan, pembuatan, dan peredarannya diatur dalam undang-

undang. Barang siapa menggunakan dan mengedarkannya di luar

ketentuan hukum, dikenai sanksi pidana penjara dan hukum denda.

Jenis-jenis Narkotika di dalam Undang-Undang No.35 Tahun

2009 tersebut 1 pada bab II Ruang Lingkup dan Tujuan pasal 2 ayat (2)

menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi :

a. Narkotika golongan I;

b. Narkotika golongan II;

c. Narkotika golongan III;

Pada lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tersebut yang

dimaksud dengan golongan I, antara lain sebagai berikut :

1. Papaver, adalah tanaman papaver somniferum L, dan semua

bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

24)
Pipih Sopiah, Stop Narkoba, PT. ELISA SURYA DWITAMA, Bandung, 2009, Hal 30.
34

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari

buah tanaman papaver somniferum L yang hanya mengalami

pengolahan sekadar untuk membungkus dan pengangkutan tanpa

memperhatikan kadar morfinnya.

3. Opium masak terdiri dari

a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui

suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan,

pemanasan, dan peragian dengan atau tanpa penambahan

bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu

ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa

memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau

bahan lain.

c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Morfina, adalah alkaloida utama dari opium dengn rumusan kimia

C17 H19 NO3

5. Koka, yaitu tanaman dari semua genus Erythroxylonb dari keluarga

Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau

melalui perubahan kimia.

6. Daun koka, yaitu daun yang belum atau sudah di keringkan atau

dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari


35

keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara

langsung atau melalui perubahan kimia.

7. Kokain mentah, adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun

koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan

kokaina.

8. Kokain, adalah metil ester-I-bensoil ekgonia dengan rumus kimia

C17 H21 N04

9. Ekgonina, adalah lekgonia dengan rumus kimia C9 H15 NO3 H20

dan ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi

ekgonina dan kokain

10. Ganja, adalah semua tanaman genus cannabis da semua bagian

dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja

atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hashis.

11. Damar ganja, adalah damar yang diambil dari tanaman ganja,

termasuk hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai

bahan dasar.

Narkotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari

kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan kata narcosis yang berarti

membiu. Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga

menimbulkan perubahan pada perilaku, prasaan, pikiran, persepsi,

kesadaran, halusinasi, disamping dapat digunakan untuk membius.


36

Perkembangan hukum narkotika di Indonesia secara historis,

diawali dengan perkemangan peredaran narkotika, yang diatur dalam

Verdovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad No.278 jo No.536).

dalam kehidupan masyarakat, aturan ini lebih dikenal dengan sebutan

peraturan obat bius. Peraturan perundang-undangan ini, materi

hukumnya hanya mengatur mengenai perdagangan dan menggunakan

narkotika, sedangkan pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha

penyembuhan pecandunya tidak diatur.25)

Jenis-jenis narkotika yang perlu diketahui dalam kehidupan

sehari-hari karena mempunyai dampak sebagaimana disebut diatas,

terutama terhadap kaum remaja yang dapat menjadi sampah

masyarakat bila terjerumus ke jurangnya, adalah sebagai berikut:

1. Candu atau disebut juga dengan opium

Berasal dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan papaver,

Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah madat,

dijepang disebut “ikkanshu” , di cina dinamakan “japien”. Banyak

ditemukan dinegara-negara, seperti Turki, Irak, Iran, India, Mesir,

Cina, Thailand, dan beberapa tempat lain. Bagian yang dapat

dipergunakan dari tanaman ini adalah getahnya yang diambil dari

buahnya, narkotika jenis candu atau opium termasuk jenis

depresseants yang mempunyai pengaruh hypnotics dan tranglizers.

25)
H. Siswanto. Op Cit, Hal 5.
37

Depresseants, yaitu merangsang sistem saraf parasimpatis, dalam

dunia kedokteran dipakai sebagai pembunuh rasa sakit yang kuat.

Ciri-ciri dari tumbuh-tumbuhan papaver somniferum ini antara lain

adalah :

a. Termasuk tumbuhan golongan semak (perdu);

b. Warna daun hijau tua (keperak-perakan);

c. Lebar daun 5-0 cm dan panjang 10-25 cm;

d. Permukaan daun tidak rata melainkan berlekuk-lekuk;

e. Buahnya berbentuk seperti tabuh gong;

f. Pada setiap tangkai hanya terdapat 1 (satu buah saja yang

berbentuk buah polong bulat sebesar buah jeruk, pada ujungnya

mendatar dan terdapat gerigi-gerigi.

Candu ini terbagi dalam dua jenis, yaitu candu mentah dan candu

matang. Untuk candu mentah dapat ditemukan dalam kulit buah, daun,

dan bagian-bagian lainnya yang terbawa sewaktu pengumpulan getah

yang mengering pada kulit buah, bentuk candu mentah berupa adonan

yang membeku seperti aspal lunak, berwarna coklat kehitam-hitaman

dan sedikit lengket. Aroma candu mentah sedikit langau dan jika dicicipi

akan menimbulkan rasa mati pada lidah.

Sedangkan candu masak merupakan hasil olahan dari candu

mentah, Ada dua macam masakan candu yaitu :

a. Candu masakan dingin (cingko)


38

b. Candu masakan hangat (jicingko).

Apabila jicingko dan cingko dicampur maka dapat menjadi candu

masak yang memiliki kadar morphin tinggi, warna candu masak

coklat tua atau coklat kehitam-hitaman. Candu atau opium ini

turanannya menjadi morphine dan heroin (patau). Dalam bentuk

sintetis (buatan yang diolah secara kimiawi di farmakologi) morphine

dan heroin hasilnya berupa pethidine dan methadone digunakan

sebagai obat.

2. Morphine

Adalah zat utama yang berkhasiat narkotika yang terdapat pada

candu mentah, diperoleh dengan jalan mengolah cecara kimia.

Morphine termasuk jenis narkotika yang membahayakan dan

memiliki daya eskalasi yang relative cepat, dimana seseorang

pecandu untuk memperoleh rangsangan yang diingini selalu

memerlukan penambahan dosis yang lambat laun membahayakan

jiwa.

Dalam penjualan di faramasi bahan morfine dicampur dengan

bahan lain, misalnya tepung gula, tepung kina, dan tablet APC yang

dihaluskan. Menurut Pharmatologic Principles of Medical Practice by

Jhon C. Kranz dan Jeleff Carr, bahwa sebagai obat morphine berguna

untuk hal berikut.


39

1) Menawarkan (menghilangkan) penderitaan sakit nyeri, hanya cukup


dengan 10 gram.
2) Menolak penyakit mejan (diare).
3) Batuk kering yang tidak mempan codeine.
4) Dipakai sebelum diadakan pembedahan.
5) Dipakai dalam pembedahan di mana banyak mengeluarkan darah.
Karena tekanan darah berkurang.
6) Sebagai obat tidur bila rasa sakit menghalang-halangi kemampuan
untuk tidur, bila obat bius yang lebih lembut tidak mampu membuat
rasa kantuk (tidur). 26)

Tetapi bila pemakaian morphine disalahgunakan maka akan

selalu menimbulkan ketagihan phisis bagi si pemakai. Dari penemuan

para ahli farmasi hasil bersama antara morphine dan opium/candu

menghasilkan codeine, efek codeine lebih lemah dibandingkan heroin.

3. Heroin

Bersal dari tumbuhan papaver somniferum, seperti telah disinggung di

atas bahwa tanaman ini juga menghasilkan codeine, morphine, dan

opium. Heroin disebut juga dengan sebutan putau, zat ini sangat

berbahya bila di konsumsi kelebihan dosis, bisa mati seketika.

4. Cocaine

Berasal dari tumbuh-tumbuhan yang diseut erythroxylon coca. Untuk

memperoleh cocaine yaitu dengan memetik daun coca, lalu dikeringkan

dan diolah di pabrik dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Serbuk

cocaine brwarna putih, rasanya pahit an lama-lama serbuk tadi menjadi

basah. Ciri-ciri cocaine antara lain adalah:

26)
Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, Menanggulangi Bahaya Narkotika, Amanah R.I/B.P.
Alda, Jakarta, Hal 33.
40

a. Temasuk golongan tanaman perdu atau belukar;

b. Di Indonesia tumbuh di daerah Malang atau Besuki Jawa Timur;

c. Tumbuh sangat tinggi kira-kira 2(dua) meter;

d. Tidak berduri, tidak bertangkai, berhelai daun satu, tumbuh satu-satu

pada cabang atau tangkai;

e. Buahnya berbentuk lonjong berwarna kuning-merah atau merah saja

apabila sudah dimasak;

5. Ganja

Berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama

cannabis sativa. Sebutan lain dari ganja yaitu mariyuana, sejenis

dengan mariyunana adalah hashis yang dibuat dari damar tumbuhan

cannabis sativa. Efek dari hashis lebi kuat daripada ganja. Ganja di

Indonesia pada umumnya banyak terdapat di daera Aceh, walau di

daerah lain pun bisa tumbuh. Ganja terbagi menjadi dua jenis yaitu :

a. Ganja jenis jantan, dimana jenis seperti ini kurang bermanfaat, yang

diambil hanya seratnya saja untuk membuat tali.

b. Ganja jenis betina, jenis ini dapat berbunga dan berbuah, biasanya

digunakan untuk pembuatan rokok ganja.

Selain dikenal beberapa jenis ganja, terdapat pula beberapa variasi

tentang ganja, yaitu:

a. Minyak ganja;
41

b. Damar atau getah ganja yang disebut dengan hashis yang diperoleh

dengan melalui proses penyulingan;

c. Budha stick atau thai stick.

6. Narkotika sintetis atau buatan

Adalah sejenis narkotika yang dihasilkan dengan melalui proses kimia

secara farmakologi yang sering disebut dengan istilah Napza, yaitu

kependekan dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.

Napza tergolong zat psikoaktif, yaitu zat yang terutama berpengaruh

pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan,

pikiran, presepsi, dan kesadaran. Narkotika sinthetis ini dibagi menjadi 3

(tiga) bagian sesuai menurut reaksi terhadap pemakainya.

a. Depressants

Depressants atau defresif, yaitu mempunyai efek mengurangi

kegiatan dari sususnan syaraf pusat, sehingga dipakai untuk

menenangkan syaraf seseorang atau mempermudah orang untuk

tidur. Yang termasuk zat adiktif dalam golongan Depressants adalah

sebagai berikut :

a) Sedativa/Hinotika (obat penghilang rasa sakit)

b) Trangulizersn (obat penenang)

c) Mandrax

d) Ativan

e) Valium 5
42

f) Metalium

g) Rohypnol

h) Nitrazepam

i) Megadon, dan lain-lain

Pemakai obat ini menjadi delirium, bicara tak jelas, ilusi yang salah,

tak mampu mengambil keputusan cepat dan tepat.

b. Stimulants

Yaitu merangsang sistem syaraf simpatis dan berefek kebalikan

dengan depresants, yaitu menyebabkan peningkatan kesiagaan,

frekwensi denyut jantung bertambah/berdebar, merasa lebih tahan

bekerja, merasa gembira, suka tidur, dan tidak merasa lapar. Obat-

obat yang tergolong stimulants antara lain sebagai berikut :

a) Amfetamine/ectacy

b) Meth-Amphetamine/shabu-shabu

c) Kafein

d) Kokain

e) Khat

f) Nikotin

Obat-obat ini khusus digunakan dalam jangka waktu singkat guna

mengurangi nafsu makan, mempercepat metabolisme tubuh,

menaikkan tekanan darah, memperkeras denyut jantung, serta


43

menstimulir bagian-bagian syaraf dari otak yang mengatur semangat

dan kewaspadaan.

c. Hallucinogens/halusinasi

Zat semacam halusinasi dapat menimbulkan perasaan-perasaan

yang tidak nyata yang kemudian meningkat pada halusinasi-

halusinasi atau khayalan karena presepsi yang salah, artinya si

pemakai tidak dapat membedakan apakah itu nyata atau hanya ilusi

saja.

Yang termasuk dengan golongan obat ini adalah sebagai berikut:

a) L.S.D (Lysergic Acid Diethylamide)

b) P.D (Phencylidine)

c) D.M.T. (Demithyltrytamine)

d) D.O.M (Llicit Forms of STP)

e) Psilacybe Mushrooms

f) Peyote Cavtus, Buttons dan Ground Buttons

d. Obat adiktif lain

Yaitu minuman yang mengandung alkohol, seperti beer, wine,

whisky, vodka, dan lain-lain. Minuman lokal, seperti sugar, tuak, dan

lain-lain. Pecandu alkohol cenderung mengalami kurang gizi karena

alkohol menghalangi penyerapan sari makanan seperti glukosa,

asam amino, asam folat, calcium, magnesium, dan vitamin B 12.

Keracunan alkohol akan minimbulkan gejala muka merah, bicara


44

cadel, sempoyongan, waktu berjalan karena gangguan

keseimbangan dan koordinasi motorik, dan akibat yang paling fatal

adalah kelainan fungsi susunan syaraf pusat seperti neuropati yang

dapat mengakibatkan koma. Dari uraian jenis-jenis narkotika atau

tepatnya napza di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa

narkotika/napza dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu :

1) Golongan narkotika (Golongan I); seperti opium, porphin, heroin,

dan lain-lain.

2) Golongan psikotropika (Golongan II); seperti ganja, ectacy,

shabu-shabu, hashis, dan lain-lain;

3) Golongan zat adiktif lain (Golongan III); yaitu minuman yang

mengandung alkohol seperti beer, wine, whisky, vodka, dan lain-

lain.

2.4. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tentang

Tindak Pidana Narkotika, maka terlebih dahulu akan dijelaskan

perbedaan istilah hukum dan pidana.

Dalam sistem hukum, bahwa hukuman atau pidana yang

dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang

diancam pidana, haruslah terlebih dahulu telah tercantum dalam


45

Undang-undang pidana, artinya, jika tidak ada undang-undang yang

mengatur, maka pidana tidak dapat di jatuhka.

Di dalam BAB I pasal 1 Ayat (1) KUHP ada asas yang disebut

“nullum delicttum nulla poena sine praevia lege poenale” yang pada

intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali

sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi

disinilah letak perbedaan istilah hukum dan pidana. Artinya adalah

bahwa pidana harus berdasarkan ketentuan undang-undang sedangkan

hukuman lebih luas pengertiannya.

Ada banyak definisi yang dikemukakan para ahli hukum

mengenai pidana, hukum, dan hukum pidana, diantaranya :

1. Sudarto, menyatakan tentang pidana :

Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang

yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu

itu.

2. Sedangkan tentang hukum, simoragkir dalam bukunya pelajar

Hukum Indoneisa menyebutkan :

Merumuskan hukum sebagai peraturan-peraturan yang bersifat


memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakata, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman yang
tertentu.27)
3. Definisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :

27)
Simorangkir, Pelajar Hukum Indonesia, Gunung Agung, Jakarta cet.XII, 1962, Hal 6.
46

a. Hukum pidana adalah hukum sanski. Definisi ini diberikan


berdasarkan ciri yang melekat pada hukum pidana yang
membedakan dengan lapangan hukum lain.
b. Hukum pidana adalah keseluruhan turan ketentuan hukum
mengenain perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.
c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai (i)
perbuatan yang dilarang yang disertai ancaman berupa pidana
bagi pelanggarnya, (ii) dalam keadaan apa terhadap
pelanggarnya dapat dijatuhi hukuman, dan (iii) bagaimana cara
penerapan pidana terhadap pelakunya.28)

Pendapat atau definisi di atas, bahwa hukum pidana dapat dilihat

melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi, selain itu,

bahwa antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan,

keduanya berlatar belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang

membolehkan dan larangan berbuat sesuatu dan seterusnya. Dengan

demikian, bahwa norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada tata

nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia ada

ketentuan yang harus di taati dalam pergaulan yang menjamin

ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung

arti suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai

dapat ditaati.

Jadi pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum

pidana merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang

mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana

28)
Chaerudin, Materi Pokok Asas-Asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam
AS-Syafi’iyah, 1996, Hal 1.
47

ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana

atau melakukan tidak kejahatan.

Guna mencari alasan pembenaran terhadap penjatuhan sanksi

pidana atau hukuman kepada pelaku kejahatan, ada 3 (tiga) teori

dalam hukum pidana.

2.5. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Narkotika

Terhadap perbuatan Tindak Pidana dapat dibedakan menjadi

2(dua) bentuk, yaitu kejahatan dan pelanggaran, sesuai menurut buku

“Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “ KUHP. Yaitu yang terdapat

pada buku II dan buku III yang memuat perincian berbagai jenis tindak

pidana, tujuannya adalah guna melindungi kepentingan hukum yang

dilanggar, kepentingan hukum pidana dasarnya dapat dirinci dalam 3

(tiga) jenis.

1. Kepentingan hukum perorangan.

2. Kepentingan hukum masyarakat.

3. Kepentingan hukum Negara.

Dalam sistematika KUHP perlu diperjelas tentang perbedaan

antara kejahatan (misdrijven) pasal 104 sampai dengan 488 dengan

pelanggran (overtredingen) pasal 498 sampai dengan 569. Kejahatan

menunjuk pada suatu perbuatan, yang menurut nilai-nilai

kemasyarakatan dianggap sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak


48

diatur secara tertulis dalam ketentuan undang-undang. Oleh karenanya

disebut dengan rechtsdeliten.

Sedangkan pelanggaran menunjukan pada perbutan yang oleh

masyarakat bukan sebagai pebuatan tercela. Diangkatnnya sebagai

perbuatan pidana karena ditentukan oleh unang-undang, oleh

karenanya disebut dengan watsdelicten.

Untuk memahami rumusan hukum dari semua tindak kejahatan

dan pelanggaran, perlu diketahui asas-asas hukum pidana, beberapa

asas penting adalah sebagai berikut.

1. Tindak pidana mempunyai dua sifat

a. Formil

Dalam tindak pidana ini yang diancam dengan hukuman oleh

undang-undang adalah perbuatannya.

b. Materil

Dalam jenis tindak pidana ini diancam dengan hukuman oleh

undang-undang adalah akibatnya.

2. Tindak pidana memiliki dua unsur

a. Obyektif

Unsur ini terdiri atas suatu perbuatan atau suatu akibat

b. Subyek
49

Unsur ini adalah suatu kehendak atau tujuan yang ada dalam

jiwa pelaku, yang dirumuskan dengan istilah sengaja, niat, dan

masksud.

3. Tindak pidana terdiri atas

a. Tindak pidana dolus atau yang dilakukan dengan sengaja.

b. Tindak pidana kulpos atau yang dilakukan tanpa sengaja.

4. Tindak pidana memiliki 3 (tiga) bentuk

a. Pokok, dimana semua unsur dari tindak pidana dirumuskan.

b. Gekwalifikasir, disebutkan nama kejahatan disertai dengan unsur

pemberatan, misal pembunuhan yang direncanakan terlebih

dahulu.

c. Geprivilegeerd, hanya dicantumkan nama kejahatannya yang

disertai unsur peringanan.

Mengetahui masalah-masalah pokok di atas, maka akn lebih

memperjelas dalam membahas bentuk-bentuk tindak pidana,

dalam hal ini tindak pidana narkotika yang merupakan kejahatan

dan pelanggaran, kecual itu, bahwa di sisi lain ada juga dikenal

cara melihat kejahatan antara lain terletak pada :

a. Cara perumusannya;

b. Cara melakukan tindak pidana;

c. Ada tidaknya pengulangan atau kelanjutannya;

d. Berakhir atau berkesinambungannya suatu delik;


50

e. Apakah tindakan terlarang tersebut merupakan kebiasaan

dari petindak atau tidak;

f. Apakah pada tindak pidana itu ditentukan keadaan yang

memberatkan atau meringankan;

g. Bentuk kesalahan petindak;

h. Apakah tindak pidana itu mengenal hak hidup Negara,

ketatanegaraan atau pemerintahan Negara;

i. Perbedaan subjek;

j. Cara penuntutan; 29)

Dalam kaitan teoritis ilmiah bentuk-bentuk tindak pidana pada

paparan di atas, maka dalam hal ini sejauh mana rumusan

pengaplikasian undang-undang tersebut dapat diimplementasikan,

maka dapat dijelaskan hal-hal tentang bentuk penyalahgunaan

narkotika sebagai berikut:

1. Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai

menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk

kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak

dapat dikwalisir sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila

dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka

perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang

29)
E.Y. Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni, Jakarta,
1982, Hal. 236.
51

jelas sebagi perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika

berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

2. Penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas,

antara lain :

a. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan

berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut di jalanan,

berkelahi, bergaul dengan wanita, dan lain-lain;

b. Menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum,

maupun instansi tertentu;

c. Mempermudah penyaluran perbuatan seks;

d. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-

pengalaman emosional;

e. Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup;

f. Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena

tidak ada kegiatan;

g. Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;

h. Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan;

i. Hanya sekedar ingin tau atau iseng;30)

Kecuali itu, tetapi dapat juga dipergunakan untuk epentingan ekonomi

atau kepentingan pribadai.

30)
Buku Pedoman, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerapan Inpres, Nomor 6 Tahun
1976, Hal 8-9.
52

3. Menurut ketentuan Hukum Pidana para pelaku tindak pidana itu

pada dasarnya dapat dibedakan yaitu :

a. Pelaku utama.

b. Pelaku peserta.

c. Pelaku pembantu.

Untuk menentukan apakah seorang pelaku tergolong ke dalam salah

satunya perlu ada proses peradilan, sebagaimana diatur oleh Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

4. Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal anatara lain

berikut ini :

a. Penyalahgunaan/melebihi dosis;

Hal ini disebabkan oleh banyak hal, seperti yang telah diutarakan

di ata.

b. Pengedaran narkotika

Karena keterkaitan dengan sesuatu mata rantai peredaran

narkotika, baik nasioanal maupun internasioanl.

c. Jual beli narkotika

Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari

keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk

kepuasan.

Ketiga bentuk Tindak Pidana Narkotika itu adalh merupakan

salah satu sebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana


53

kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat

demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si

pengguna zat berbahaya itu sendiri, seperti :

a. Pembunuhan;

b. Pencurian;

c. Penodongan;

d. Penjambretan;

e. Pemerasaan;

f. Pemerkosaan;

g. Penipuan;

h. Pelanggaran rambu lalu lintas;

i. Pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain

2.6. Sanski Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pembuat

tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (punishment) adalah

merupakan ciri perbedaan hukum pidana dengan jenis hukum yang lain.

Sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang

mentaati norma-norma yang berlaku, dimana tiap-tiap norma

mempunyai sanksi sendiri-sendiri dan pada tujuan akhir yang di

harapkan adalah upaya pembinaan (treatment).


54

Di dalam rancangan KUHP Tahun 1982, yang di susun oleh Tim

Pengkajian Bidang Hukum Pidana dapat dijumpai tujuan pemidanaan.

1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan

pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat.

4. Untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.31)

Di dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur

mengenai jenis-jenis pidana atau hukum.

a. Pidana pokok

1. Pidana mati

2. Pidana penjara

3. Kurungan

4. Denda

b. Pidana tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

31)
Aruan Sakidjo, Hukum Pidana Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988, Hal 70.
55

3. Pengumuman putusan hakim

Ketentuan mengenai pidana ini berlaku juga terhadap tindak

pidana narkotika, hal ini sesuai menurut ketentan pasal 102 Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2009 pada intinya mengemukakan bahwa

masih tetap diberlakukan undang-undang lama sepanjang tidak

bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkn

undang-undang ini.

Oleh karena itu, sehubung dengan sanksi terhadap tindak pidana

narkotika yang di sebutkan dalam Bab XII Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 yang terdapa pada Pasal 78 sampai Pasal 99 adalah tindak

kejahatan, kecuali tersebut dalam Pasal 100 adalah merupakan

pelanggaran.

Di dalam pasal-pasal tersebut jelas sanksi yang diatur oleh Pasal

10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP, dan itu diatur pula

secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, termasuk

didalamnya mengenai hukuman Pidana Mati. Yang dinyatakan secara

tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, pada pasal 80

dan beberapa pasal kemudian. Akan tetapi, jika ditinjau melalui

pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa hukuman dengan pidana mati

sangat pantas dijatuhkan kepada para penyalahguna narkotika tersebut,

terutama terhadap jaringan dan para pengedarnya. Oleh karena akibat

dari perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatanny, yang pada


56

akhirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari

sebua bangsa. Negara tetangga seperti singapura, Malayasia, dan

Hongkong sudah menerapkan hukum mati tersebut.

Pada akhirnya, seperti lazimnya berat ringan penjatuhan pidana

sangat tergantng kepada proses sidang padilan dan keyakinan serta

penilaian hakim yang melakukan pemeiksaan atas suatu perkara

pidana.

2.7. Faktor-Faktor Penyalahgunaan Narkotika

Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab

terjadinya tindak pidana narkotika dapat dikelompokkan menjadi :

1. Faktor internal pelaku;

2. Faktor eksternal pelaku;32)

1. Faktor internal pelaku

Adalah berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat

mendorong seseorang terjerumus kedalam tindak pidana narkotika,

penyebab internal itu antara lain sebagai berikut :

a. Perasaan Egois

32 )
A.W Widjaya, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Armico,
Bandung, 1985, Hal 25-26.
57

Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali

mendominir perilaku seseorang secara tanpa sadar, demikian juga

bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan

pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat

mendorong untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa

yang mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.

b. Kehendak ingin bebas

Sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki

manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak,

norma-norma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak

ingin bebas ini muncul dan terwujud kedalam perilaku setiap kali

seseorang diimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini,

seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan

interaksi dengan orang lain sehubung dengan narkotika, maka

dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak

pidana narkotika.

c. Kegoncangan jiwa

Hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara

kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam

keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang

berkomunikasi dengan mengenai narkotika maka ia akan dengan

mudah terlibat tindak pidana narkotika.


58

d. Rasa keingintahuan

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang

usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal

yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa

ingin tahu tentang narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang

melakukan perbuatan yang tergolong pada tindak pidana narkotika.

2. Faktor eksternal pelaku

Faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak sekali, di antaranya

yang paling penting adalah berikut ini.

a. Keadaan ekonomi

Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi

2 (dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi

yang kurang atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka

orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya

dengan mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan

ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit

adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar

dari himpitan ekonomi tersebut.

Dalam hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang

yang tergolong dalam kelompok ekonomi yang baik dapat

mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati,

dan sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan


59

ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi

kemungkinannya lebih kecil daripada mereka yang ekonominya

cukup.

Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam

dan harganyapun beranekaragam, maka dalam keadaan ekonomi

yang bagaimanapun narkotika dapat beredar dan dengan

sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi.

b. Pergaulan/Lingkungan

Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan/lingkungan

tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan

lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat

memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang, artinya

akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut

seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula

sebaliknya. Apabila dilingkungan tersebut narkotika dapat

diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya

kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar

adanya.

c. Kemudahan

Kemudahan di sini dimaksudkan dengan semakin banyaknya

beredar jenis-jensi narkotika di pasar gelap maka akan semakin

besarlah peluang terjadinya tindak pidana narkotika.


60

d. Kurangnya pengawasan

Pengawasan di sini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap

persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak

hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi

juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang

peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan

pemakaian narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan ini,

maka pasar gelap, produksi gelap, dan populasi pecandu

narkotika akan semakin meningkat. Pada gilirannya, keadaan

semacam itu sulit untuk dikendalikan. Di sisi lain, keluarga inti dari

masyarakat dapat melakukan pengawasan intensif terhadap

anggota keluarganya untuk tidak terlibat keperbuatan yang

tergolong pada tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya

pengawasan seperti dimaksud di atas, maka tindak pidana

narkotika bukan merupakan perbutan yang sulit untuk dilakukan.

e. Ketidak senangan dengan keadaan sosial

Bagi seseorang yang terhimpit oleh keadaan sosial maka

narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri dari

himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya sementra. Tetapi bagi

orang tertentu yang memiliki wawasan, uang, dan sebagainya,

tidak saja dapat menggunakan narkotika sebagai alat melepaskan


61

diri dari himpitan keadaan sosial, tetapi lebih jauh dapat dijadikan

alat bagi mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Kedua faktor tersebut di atas tidak selalu berjalan sendiri-sendiri

dalam suatu peristiwa pidana narkotika, tetapi dapat juga merupakan

kejadian yang disebabkan karena kedua faktor tersebut saling

mempengaruhi secara bersama.

2.8. Akibat Penyalahgunaan Narkotika

Sebelum menginjak pada pembahasan mengenai bahaya dan

akibat penyalalahgunaan narkotika serta faktor-faktor penyebab

terjadinya, maka terlbi dahulu penulis akan mencoba menguraikan

secara teoritis tentang teori sebab akibat/teori kausalitas tindak pidana.

Teori kausalitas/teori sebab akibat ini dimaksudkan untuk mencari :

1. Sebab akibat perbuatan pidana;

2. Menentukan pertanggungan jawab pelaku;

Betapa pentingnya teori ini dibicarakan karena mengingat adanya

penggolongan delik formil dan materil di dalam tindak pidana. Dalam

menganalisa sebab akibat dari suatu tindak pidana, maka disini dapat

dikemukakan beberapa pendekatan melalui teori sebab akibat :

1. Von Buri dengan Teori Conditio sine quanon, bahwa tiap-tiap

perbuatan merupakan sebab yang menimbulkan akibat, dan semua

sebab yang ada mempunyai nilai yang sama. Dengan dasar


62

penilaian yang sama, teori ini lazim disebut dengan teori

Equivalentie.

2. Van Hamel dengan teori kausalitas absolut, yang mendasarkan diri

pada unsur kesalahan (schuld).

3. Trager mengajukan teori berikut ini :

a. Teori Individualisasi, menentukan sebab dengan keadaan nyata,

in concreto. Dengan kata lain, harus dicari suatu perbuatan yang

dapat dijadikan sebab.

b. Teori Generalisasi, yaitu menentukan sebab dari akibat yang

timbul dengan mencari ukuran dengan perhitungan yang layak.

4. Von Kries dengan teori Adequat, bahwa perbuatan yang harus

dianggap sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang

seimbang dengan akibat.33)

Berangkat dari teori di atas, dimaksudkan agar lebih

mempermudah menyingkap sebuah kasus tindak kejahatan, dalam hal

ini kejahatan narkotika guna mengetahui bahaya dan akibat serta

mencari faktor penyebab terjadinya kejahatan tersebut.

Sudah sering disinggung pada pembahasan terdahulu bahwa

penyalahgunaan narkotika adalah merupakan suatu tindak kejahatan

dari pelanggaran yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa

si pemakai dan juga terhadap masyarakat di sekitar secara sosial ,

33)
Chaerudin, Op Cit, Hal 21.
63

maka dengan melalui pendekatan teoritis diatas, bahwa penyebab dari

penyalahgunaan narkotika adalah merupakan delik materil, sedangkan

perbuatannya untuk dituntut pertanggung jawab pelaku, merupakan

delik formil.

Penyakit berbahaya sebagai akibat dari penyalahgunaan narkoba

dapat dibedakan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu penyakit langsung karena

narkoba, penyakit akibat infeksi karena cara pemakaian narkoba, dan

penyakit sebagai akibat tidak langsung dari pemakaian narkoba.

1. Penyakit langsung karena narkoba

a. Kerusakan pada otak

Kerusakan pada otak akan mengganggu fungsi otak, bentuknya

tergantung dari sel dan bagian otak yang rusak. Penyakit akibat

gangguan fungsi otak dapat berupa strake atau catat mental dan

moral.

b. Kerusakan pada hati

Narkoba dapat merusak sel hati sehingga dapat mengganggu

fungsi hati. Akibatnya dapat menurunkan daya tahan tubuh

karena gangguan netralisasi racun, dan fungsi gangguan

kekebalan. Kerusakan pada hati juga menyebabkan gangguan

metabolism.

c. Kerusakan pada ginjal


64

Narkoba dapat merusak fungsi ginjal sebagai penyaring zat-zat

yang tidak berguna di dalam darah untuk dibuang melalui air

seni.

d. Kerusakan pada jantung

Narkotika dapat merusak sel-sel pada jantung atau pembuluh

darah jantung. Dampak yang sering terjadi adalah serangan

jantung coroner.

e. Kerusakan pada limpa, sumsum tulang, dan paru-paru

Narkoba juga dapat merusak sel-sel pada limpa, sumsum tulang,

paru-paru dan lain –lain, dampak pembuluh limpa, sumsum

tulang dan paru-paru yang berakibat fatal bagi kesehatan.

2. Penyakit infeksi karena cara pemakaian narkoba

a. HIV/AIDS

HIV/AIDS menular di kalangan pemakai narkoba melalui

pemakaian jarum suntik bersama, hubungan seks, dan lain-lain.

b. Hepatitis

Ada 8 jenis hepatitis atau radang hati yang disebabkan oleh

virus. Dari 8 jenis tersebut yang paling banyak menular di

lingkungan penyalahgunaan narkoba adalah hepatitis B dan

hepatitis C.

c. Sifilis
65

Sifilis sering menular di antara pemakai narkoba karena

kedekatan hubungan pribadi satu pemakai dengan yang lain,

sehingga kemungkinan untuk melakukan ciuman dan hubungan

intim terbuka lebar.

3. Penyakit sebagai akibat ikutan (tidak langsung) pemakaian narkoba

Karena kondisi fisik yang memburuk, tubuh lemah dan kehilangan

kemampuan untuk menangkal penyakit, pemakai narkoba akan

menjadi orang yang mudah terkena penyakit.34)

Bahaya dan akibat dari penyalahgunaan narkotika tersebut dapat

bersifat bahaya pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya

sosial terhadap masyarakat atau lingkungan. Yang bersifat pribadi dapat

dibedakan 2(dua) sifat, yaitu secara khusus dan umum, secara umum

dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efekterhadap tubuh si pemakai

dengan gejala-gejala sebagai berikut.

1. Euphoria: suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan

kenyataan dan kondisi badan si pemakai (biasanya efek ini masih

dalam penggunaan narkotika dalam dosis yang tidak begitu banyak)

2. Dellirium: suatu keadaan dimana pemakai narkotika mengalami

menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat

34)
Ahmad Abidin, Narkoba Membawa Malapetaka Bagi Kesehatan, Sinar Pustaka Indonesia,
Bandung, 2009, Hal 11-14.
66

menimbulkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai

(biasanya pemakai dosis lebih banyak daripada keadaan euphoria).

3. Halusinasi : adalah suatu keadaan di mana sipemakai narkotika

mengalami “khayalan”, misalnya melihat, mendengar yang tidak ada

pada kenyataannya.

4. Weakness : kelemahan yang dialami fisik atau psychis/kedua-

duanya.

5. Drowsiness : kesadaran merosot seperti orang mabok, kacau

ingatan, mengantuk.

6. Coma : keadaan si pemakai narkotika sampai pada puncak

kemerosotan yang akhirnya akan membawa kematian.

Bahaya dan akibat secara khusus terhadap si pemakai, yakni

yang menyangkut langsung terhadap penyalahgunaan narkotika itu

sendiri dapat menimbulkan efek-efek pada tubuh yang menimbulkan

gejala sebagai berikut :

1. Heroin; termasuk narkotika golongan satu. Heroin juga

menghasilkan codeine morphine dan opium, patauw adalah sebutan

lain dari heroin yang berupa serbuk putih dengan rasa pahit, selain

putih, ada kalanya berwarna coklat atau dadu, tergantung pada

bahan campurannya, seperti kakao tawas, kina, tepung jagung atau

tepung susu. Heroin dapat menghilangkan rasa nyeri. Cara


67

penggunaan biasanya disuntik kedalam vena, disedot, atau dimakan

(jarang sekali).

Bahaya dan akibat mengkonsumsi heroin dapat menimbulkan :

a. Tampak mengantuk;

b. Bicara cadel, apatis;

c. Jalan sempoyongan dan gerak lamban;

d. Daya ingat dan perhatian terganggu;

e. Tubuh menjadi kurus, pucat, kurang gizi;

2. Ecstasy; merk terkenal dalam perdagangan ecstasy, seperti buterfly,

blach heart, yupie drug, dan lain-lain. Dalam farmakologi tergolong

sebagai psiko-stimulansia (narkotika golongan II) seperti

amphetamine, methamphatemine, kafein, kokain, khat, dan nikotin

yang direkayasa untuk tujuan bersenang-senang. Bahya dan akibat

mengkonsumsi ecstasy dapt menimbulkan :

a. Denyut jantung dan nadi bertambah cape;

b. Gerak anggota badan tak terkendali (triping);

c. Kemampun berempati meningkat;

d. Keintimn bertambah dan rasa percaya diri meningkat;

e. Penglihatan kabur;

f. Halusinasi;

3. Shabu; nama lain dari shabu yaitu metamfetamin, penyalahgunaan

shabu dalam jangka panjang dapat menyebabkan banyak efek


68

negatif seperti kecanduan kronis dan disertai dengan perubahan

fungsional dan molekul di dalam otak. Selain itu, penggunaan shabu

telah terbukti memiliki dampak negatif terhadap sel-sel otak non

saraf yang disebut mikroglia. Berikut ini adalah efek jangka panjang

terhadap fisik dan mental

a. Kecanduan;

b. Efek psikologi seperti paranoia, halusinasi, dan aktivitas motorik

berulang;

c. Perubahan struktur dan fungsi otak;

d. Menurunnya kemampuan berfikir dan kemampuan motorik;

e. Melemahnya konsentrasi;

f. Hilang ingatan;

g. Perilaku agresif atau kekerasan;

h. Gangguan suasana hati;

i. Masalah gigi yang parah;

j. Menurunnya berat badan;

4. Ganja; ganja merupakan obat depresen yang dibuat dari daun

cannabis, zat yang ditemukan di dalam ganja adalah THC, zat

tersebut merupakan salah satu dari 400 zat kimia yang ditemukan di

dalam ganja dan zat tersebut dapat menyebabkan efek bagi

kesehatan yaitu :

a. Kedua mata merah, mulut kering;


69

b. Banyak keringat, jantung berdebar;

c. Kecemasan dan kecurigaan yang berlebihan;

d. Denyut jantung bertambah cepat;

e. Nafsu makan bertambah;

f. Euporia, apatis, perasaan waktu berjalan lambat;

5. Sedativa (obat penenang/obat tidur); obat ini memiliki banyak jenis

dan tergolong psikotropika. Toleransi perkembangannya tidak

secepat heroin. Mengkonsumsi obat ini dapat mengakibatkan:

a. Banyak bicara;

b. Bicara cadel;

c. Jalan sempoyongan;

d. Pengendalian diri berkurang, mudah tersinggung dan terlibat

perkelahian;

e. Kadang-kadang kesadaran terganggu;

6. Alkohol; banyak jenis dan merk dari alkohol seperti bir, wisky, gin,

vodka, ciu dll. Rekomendasi farmakologi, obat ini mirip obat

penenang/obat tidur. Akibat yang ditimbulkannya dari meminum

alkohol yaitu:

a. Muka merah;

b. Banyak bicara dan cadel;

c. Pengendalian diri berkurang, mudah tersinggung dan terlibat

perkelahian;
70

d. Gangguan koordinasi motorik;

e. JaLan sempoyongan;

f. Sulit memusatkan perhatian;

2.8. Penanganan penyalahgunaan narkotika

Upaya pencegahan dilakukan secara integral dan dinamis antara

unur-unsur aparat dan potensi masyarakat, merupakan upaya yang

terus menerus dan berkesinambungan untuk merubah sikap perilaku,

cara berfikir dari kelompok masyarakat yang sudah mempunyai

kecenderungan menyalahgunakan serta melakukan tindak pidana

perdagangan/peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.

Potensi lainnya menerapkan pola penanggulangan dengan tetap

mengacu pada strategi nasional melalui beberapa upaya sebagai

berikut:

1. Pre-emtif

Seperti halnya penanganan setiap gangguan kamtibnas, maka

penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkoba mengantup prinsip bahwa pencegahan dini adalah lebih

baik daripada penindakan. Upaya pre-emtif yang dilakukan adalah

berupa kegiatan-kegiatan edukatif dengan sasaran menghilangkan

faktor-faktor korelatif kriminogen dari kejahatan narkotika dan


71

psikotropika. Kegiatan ini berupa pembinaan dan pengembangan

lingkungan pola hidup masyarakat.

2. Preventif

Upaya ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan

narkoba melalui jalur-jalur peredaran gelap dengan tujuan agar

potensi kejahatan (police hazard) tidak berkembang dari ancaman

factual. Memperketat pengawasan tempat-tempat yang

memungkinkan digunakan untuk penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika, seperti diskotik, night club, café, dan tempat-tempat

hiburan lainnya.

3. Represif

Upaya ini merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum

terhadap para pelanggar dengan sanksi yang tegas dan konsisten,

sehingga dapat membuat jera, bentuk-bentuk kegiatannya adalah:

a. Memutus jalur peredaran gelap narkoba, baik nasional maupun

internasional.

b. Mengungkap jaringan sindikat, baik nasional maupun

internasional.

c. Pemusnahan barang bukti narkoba yang berhasil di sita.

d. Mengungkap motivasi/latar belakang dari kejahatan

penyalahgunaan narkoba.
72

e. Melaksanakan kegiatan/mekanisme pengungkapan kasus-kasus

narkobamulai dari penerimaan informasi.

4. Treatment dan Rehabilitasi

Treatment dan Rehabilitasi merupakan usaha untuk menolong,

merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba dalam

lembaga tertentu sehingga diharapkan para korban dapat kembali

kedalam lingkungan masyarakat atau dapat bekerja dengan layak.

Dalam upaya penyembuhan dan pemulihan kondisi para

penyalahgunaan narkoba di Indonesia.

5. Kerjasama lintas sektoral

Dalam rangka melaksanakan upaya pre-emtif, preventif, refresif,

maupun treatment dan rehabilitas, BNN melaksanakan kerjasama

dengan instansi terkait departemen, badan dan lembaga pemerintah

lainnya.

6. Kerjasama internasional

Kerjasama narkoba bersifat trans-nasional, sehingga dalam upaya

pencegahan dan penanggulangannya pemerintah Indonesia ikut

aktif dalam kerjasama internasioanal baik dalam menentukan

kebijakan dengan ikut serta dalam forum-forum internasioanal,

pendidik/pelatihan teknik, penyelidikan/penyidikan kejahatan

narkoba.

7. Kerjasama dengan swasta/LSM/Masyarakat


73

Selain kerjasama BNN dengan instansi pemerintah dan dunia

internasional di atas, BNN juga bekerjasama dengan lembaga

nonpemerintah (swasta/LSM/Masyarakat) dengan upaya

pencegahan distribusi gelap dan penyalahgunaan narkoba melalui 7

(tujuh) jalur kerjasama sebagai berikut :

a. Jalur keluarga dengan sasaran orang tua, anak, pemuda, remaja,

dan anggota keluaraga lainnya;

b. Jalur pendidik, baik jalur pendidik sekolah maupun luar sekolah

dengan sasaran guru/tetangga pendidik dan peserta didik;

c. Jalur lembaga keagamaan, dengan sasaran pemuka-pemuka

agama dan umatnya;

d. Jalur organisasi sosial kemasayarakatan;

e. Jalur organisasi wilaya pemukiman dengan sasaran warga;

f. Jalur unit-unit kerja, dengan sasaran pimpinan dan karyawannya;

g. Jalur media massa, baik elektronik, cetak dan media

interpersonal, dengan sasaran secara luas maupun individu; 35)

2.9. Tujuan Umum Tentang Putusan Hakim

Pengertian putusan hakim, putusan adalah hasil atau kesimpulan

dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan di nilai dengan semasak-

masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan, demikian dimuat

35) Pipih Sopiah, Op Cit, Hal 225.


74

dalam buku peristilahan dalam peraktik yang dikeluarkan Kejaksaan

Agung RI 1985 Halaman 221. 36 ) sedangkan pengertian putusan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 11 KUHAP, yaitu:

“putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan


dalam siding pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan
atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis


tetap (definitief) (kamus istilah hukum pockema andreae).
Rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat
penerjemahan ahli bahasa yang bukan ahli hukum. Sebaliknya,
dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung
diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah.
Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah
hasil akhir dari pemeriksaan perkara di siding pengadilan. Ada
juga yang disebut interlocutoire yang diterjemahkan dengan
keputusan antara atau keputusan sela dan preparatoire yang
diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan
persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan
dengan keputusan untuk sementara.37)

Proses penjatuhan putusan hakim, penjatuhan putusan

merupakan salah satu tahap di dalam proses penegakan hukum yang

paling menarik perhatian publik. Mengenai putusan apa yang akan

dijatuhkan majelis hakim, tergantung dari hasil musyawarah yang

bertitik tolak dari surat dakwaan yang dikaitkan dengan bukti-bukti dan

segala sesuatu yang terungkap selama proses persidangan. Berkaitan

36)Leiden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan Dan Pengadilan
Negri, Upaya Hukum Dan Upaya Eksekusi), Jakarta, Sinar Grafik, 2010, Hal 129.
37
Ibid, Hlm. 129-130.
75

dengan proses penjatuhan putusan oleh majelis hakim maka berlaku

ketentuan didalam Pasal 182 Ayat (6) KUHAP yang menyatakan bahwa:

“pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis hakim


merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dicapai, maka
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh
putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi Terdakwa”.

Secara khusus ketentuan sebagaimana disebutkan di atas juga

diatur didalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

“(1) Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawartan hakim


yang bersifat rahasia.
(2) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap
perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan.
(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai
mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam
putusan.
(4) ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung”.

Sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan, majelis hakim

harus terlebih dahulu dapat memahami secara mantap semua unsur

tindak pidana yang didakwakan, memahami unsur-unsur dari kesalahan

beserta kemampuan pertanggung jawabkan pidana yang melekat pada

diri pelaku.
76

M. H. Tirtaamidjaja, mengutarakan sebagai berikut : Sebagai

hakim, ia harus berusaha untuk menetapkan suatu hukuman, yang

dirasakan oleh masyarakat dan si terdakwa sebagai suatu hukuman

yang setimpal dan adil. Untuk mencapai usaha ini, ia harus

memperhatikan :

a. Sifat pelanggran pidana itu (apakah itu suatu pelanggaran


pidana yang berat atau ringan);
b. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana itu;
c. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana
itu (yang memberatkan dan meringankan);
d. Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat tulen atau
seorang penjahat yang telah berulang-ulang dihukum atau
seorang penjahat untuk satu kali ini saja;
e. Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana itu;
f. Sikap Terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu, (apakah ia
menyesal tentang kesalahannya ataukah dengan keras
menyangkal meskipun telah ada bukti yang cukup akan
kesalahannya);
g. Kepentingan umum
(hukum pidana diadakan untuk melindungi kepentingan
umum, yang dalam keadaan-keadaan tertentu menurut suatu
penghukuman berat pelanggaran pidana, misalnya
penyelundupan, membuat uang palsu pada waktu Negara
dalam keadaan ekonomi yang buruk, merampok pada waktu
banyak terjadinya perampokan).

2.10. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Hukuman

1. Pertimbangan yuridis

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hukum adalah yang

menjadi dasar sebelum memutus perkara, hakim akan menarik fakta-


77

fakta dalam proses persidangan yang merupakan konklusi komulatif

dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti.

Fakta-fakta yang di hadirkan, berorientasi dari lokasi, waktu

kejadian, dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana

dilakukan. Dan juga melihat bagaimana akibat yang ditimbulkan.

Pertimbangan hakim dalam putusan hakim harus mengetahui aspek

teoritis, pandangan doktrin, yurisprudensi, dan posisi kasus yang

ditangani. Setelah pencantuman unsur-unsur tersebut, selanjutnya

dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan.

2. Pertimbangan Sosiologis

Kepastian hukum menekankan agara hukum atau peraturan

ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi

hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini

runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan

kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Didalam memutus sebuah

perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi

pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak

hanya berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh

hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, yaitu :

1. Memperhatikan sumber hukum tak tertulis dan nilai-nilai yang hidup

di masyarakat.
78

2. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai

yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.

3. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan

korban.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang di

dasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.


79

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Penelitian

3.1.1. Kasus Posisi

Pengadilan negri majalengka kelas II yang memeriksa dan

mengadili perkara-perkara pidana pada peradilan tingkat pertama

dengan acara pemeriksaan biasa, menjatuhkan putusan sebagai

berikut dalam perkara terdakwa:

Nama lengkap :Riki Hermawan Als. Komeng

Bin Rusman

Tempat, tanggal lahir : Majalengka, 10 Januari 1984

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan/Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat :Blok Parentah Rt.002

Rw.001 Desa Cipeundeuy

Kec. Bantarujeg Kab.

Majalengka

Agama : Islam

Pekerjaan : Kepala Desa Cipeundeuy

Pendidikan : SLTA

79
80

Terdakwa ditangkap oleh penyidik berdasarkan Surat

Perintah Penangkapan Nomor: SP. Kap/06/III/2018/Sat.Narkoba,

tertanggal 22 Maret 2018 sejak tanggal 24 Maret 2018.

Pada hari kamis tanggal 22 maret 2018 sekira jam 22.30

Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Maret

Tahun 2018 , bertempatan di pinggir jalan desa cipeundeuy

Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka atau setidak-

tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri Majalengka yang berwenang

memeriksa dan mengadili perkaranya, telah melakukan

pemufakatan jahat tanpa melawan hukum memiliki, menguasai

atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman, bahwa

awalnya ketika saksi YOSEP sedang memancing dikolam lalu

datang terdakwa RIKI dan ngobrol-ngobrol merencanakan untuk

membeli narkotika jenis shabu kemudian terdakwa dan saksi

YOSEP sepakat untuk membeli shabu dengan cara patungan

masing-masing sebesar Rp.750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu

rupiah) sehingga terkumpul sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta

lima ratus ribu rupiah) selanjutnya saksi YOSEP menghubungi

laki-laki yang tidak dikenal untuk memesan shabu setelah itu

saksi YOSEP langsung mentransfer uang sebesar Rp.

1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) ke rekening BNI,


81

kemudian saksi YOSEP langsung berangkat menuju Kuningan

menggunakan mobil terano warna hitam sedangkan terdakwa

tidak ikut berangkat. Selanjutnya pada saat sedang duduk di

pinggir jalan raya desa Cipeundeuy Kec. Bantarujeg

Kab.Majalengka, datang saksi BAGJA AGUM GUMELAR, saksi

DENNY JUHANA dan saksi ADE SAPUTRA (ketiganya anggota

satnarkoba Polres Majalengka) serta saksi YOSEP menghampiri

terdakwa, kemudian saksi BAGJA AGUM GUMELAR, saksi

DENNY JUHANA dan saksi ADE SAPUTRA langsung melakukan

penakapan dan penggeledahan terhadap badan/pakaian

terdakwa namun tidak ditemukan barang bukti, setelah di

perlihatkan barang bukti berupa 1 (satu) paket shabu terbungkus

plastik bening yang digulung menggunakan uang pecahan

Rp.2000,- (dua ribu rupiah) seberat 0,96 gram, dan kertas buku

di dalam sebuah amplop berwarna putih yang ditemukan pada

saksi YOSEP, terdakwa mengakui bahwa 1 (satu) paket shabu

tersebut adalah milik terdakwa dan saksi YOSEP, terdakwa RIKI

dan saksi YOSEP telah dua kali membeli shabu tersebut ke

orang yang sama.


82

3.1.2. Pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl)

Putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat

diinginkan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan

perkara mereka dengan sebaik-baiknya. Putusan pengadilan

tersebut mengakibatkan pihak-pihak yang berperkara

mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam

perkara yang mereka hadapi.

Penangkapan dalam perkara di atas dilakukan pada hari

kamis tanggal 22 Maret 2018 , prosedur dan tata cara

pelaksanaan penangkapan menurut pasal 18 KUHAP, bahwa

untuk melakukan penangkapan maka perlu diperhatikan adalah :

(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh


petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada
tersangka surat permerintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang di persangkakan serta tempat ia di
periksa.
(2) Dalam hal ini tertangkap tangan penangkapan
dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan
bahwa penangkap harus segera menyerahkan si
tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik atau penyidik membantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada
keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
83

Bahwa untuk kepentingan penyidik tindak pidana,

penuntutan, peradilan berupa penyitaan benda yang diduga ada

kaitannya dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika

golongan I jenis shabu. Berdasarkan Pasal 40 KUHAP, berbunyi :

“dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan


alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat
dipakai sebagai barang bukti”.

Menurut Undang-Undang 35 tahun 2009 tentang narkotika

pada pasal 127 ayat (3) menyatakan: “dalam hal penyalah guna

sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau

terbukti sebagai korban penyalahguna narkotika, penyalahguna

tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Rehabilitasi medis yaitu layanan kesehatan bagi pasien yang

mengalami gangguan fisik dan fungsi tubuh, karena kondisi sakit,

penyakit atau cidera. Rehabilitasi sosial yaitu suatu proses

pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial agar

penyelahguna narkoba dapat kembali melaksanakan fungsi sosial

dalam kehidupan masyarakat dengan baik dan bertanggungjawab.

Dalam kenyataannya seperti kasus perkara Nomor :

81/Pid.sus/2018/PN.MJL diatas terdakwa hanya diberi hukuman

penjara selama 4 bulan seharusnya hakim memberikan


84

rehabilitasi karena terdakwa terbukti menyalahgunakan narkotika

golongan I kurang dari 1 gram.

Penulis melakuakan serangkaian kegitaan wawancara

dengan Hakim Pengadilan Negri Majalengka yang menangani

kasus perkara Nomor 81/Pid.sus/2018/Mjl : “Hakim tidak dapat

melakukan (putusan rehabilitasi), karena adanya hukuman batas

minimum bagi pelaku yang memiliki dan menyimpan harus dijatuhi

vonis minimal yakni 4 tahun penjara, pada sisi lain belum adanya

sosialisasi tempat rehabilitasi bagi pengguna narkoba yang

tersedia di majalengka dan hanya sebagaian indonesia saja, dan

menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhi vonis. Sejauh ini

hanya daerah jabodetabek saja yang menurutnya memiliki fasilitas

rehabilitasi”.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat

disimpulkan masih kurangnya tempat rehabilitasi bagi pecandu

narkotika atau korban pengguna narkotika, dan seharusnya

pemerintah memperbanyak lagi tempat rehabilitasi agar pecandu,

pengguna/ korban penyalahgunaan narkotika dapat penanganan

dan sembuh dari barang haram tersebut.


85

3.1.3. Kendala-Kendala dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(Studi Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl)

Kendala terhadap pelaksanaan pasal 127 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

sebagai mana yang penulis telusuri bahwa narkotika merupakan

sesuatu yang sangat krisis di masa sekarang, penyalahgunaan

narkoba biasanya diawali dengan pemakaian pertama karena

tawaran, bujukan, dan tekanan seseorang atau kawan sebaya

sehingga lama kelamaan akan menjadi pecandu.

Bagaimanapun penyalahgunaan narkotika, bahwa bahaya

dan akibat sosialnya akan lebih besar dibanding bahaya yang

bersifat pribadi, karena menyangkut kepentingan bangsa dan

negara dimasa dan generasi mendatang.

Dari hasil wawancara Pengadilan Negeri Majalengka

kendala terhadap pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika “bahwa

kendala dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika

kurangnya tempat rehabilitasi, kurang peran serta keluarga dan

masyarakat, masyarakat kurang memahami tugas dari BNN, bagi

pengguna narkoba masih dianggap tabu, karena masyarakat

merasa malu keluarganya tersangkut paut dengan narkoba


86

sehingga memilih untuk menutupinya. Hal tersebutlah yang

menjadi kendala untuk menangkap pengguna narkoba,

kurangnya tenanga medis dan juga biaya operasional

penyelidikan yang besar yang saat ini belum tercukupi”.

3.1.4 Upaya-Upaya dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Stusi

Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl)

Menurut hasil wawancara dengan Pengadilan Negeri

Majalengka adapun upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain

dengan upaya Preventif dan upaya Reprensif. Adapun upaya

Preventif ialah dengan mengadakannya penyuluhan ke instansi-

instansi seperti pegawai dan masyarakat yang berada di

Kelurahan/Kantor Desa, Kecamatan, dan siswa-siswi Sekolah

(SMP) Menengah Pertama, siswa-siswi (SMA) Sekolah

Menengah Atas. Adapun upaya Reprensif yang di lakukan

dengan penangkapan dan penahanan berdasarkan informasi dari

masyarakat atau anggota polri”.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diharapkan dapat

memberantas setiap penyalahguna narkotika di indonesia,

bagaimanapun besar pemanfaatan narkotika, selain untuk tujuan

penelitian (ilmu pengetahuan) dan kesehatan, maka setiap


87

penyimpangannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

kejahatan. Pada kenyataannya setelah berlakunya Undang-

Undang narkotika ini, tindak pidana penyalagunaan narkotika dan

obat-obat terlarang yang lain tampaknya masih juga belum dapat

ditekan secara maksimal, baik kualitas maupun kuantitas, dan ini

merupakan tugas serta tanggung jawab semua pihak guna

mengatasinya.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah

penduduk cukup besar, adalah merupakan pasar potensial bagi

perdagangan dan penyelundupan narkotika tersebut.

Peredarannya secara gelap pada waktu itu cukup berhasil karena

lemahnya pengawasan para aparat serta ringannya sanksi

hukum yang diterapkan. Apabila pengawasan dan penerapan

sanksi hukum di jalankan secara ketat seperti halnya dinegara-

negara tetangga yang menjatuhkan hukuman mati bagi pemakai

dan pengedarnya, maka bahaya penyalahgunaan narkotika di

indonesia mungkin tidak separah seperti saat ini.

Korban penyalahgunaan narkotika sebagian besar

kalangan anak muda, perlu segera di sampaikan penjelasan yang

seluas-luasnya tentang bahaya mengkonsumsi obat-obatan

tersebut, dan bila ada korban penyalahgunaan narkotika segera

melakukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial agar sembuh


88

dari ketergantungan, dan para orang tua, keluarga pun harus

selalu mengawasi prilaku mereka setiap hari.

3.2. Pembahasan

3.2.1. Pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl)

Narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif / psikotropika

dapat menyebabkan efek dan dampak negatif bagi pemakainya.

Dampak yang negatif itu sudah pasti merugikan dan sangat

buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik.

Pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Penentuan apakah layak

direhabilitasi atau tidak tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini

diatur dalam pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Dalam

hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan

Narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial”.

Faktor yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam

memberikan putusan rehabilitasi adalah surat keterangan medis,

surat keterangan kejiwaan dari dokter jiwa atau psikiater dan

keberadaan ahli.
89

Namun, meski masih dalam proses peradilan pidana, baik

itu penyidik, penuntutan, atau pemeriksaan, sidang di pengadilan.

Tanpa menunggu putusan hakim terlebih dahulu, penyidik, jaksa

penuntut umum, atau hakim bisa saja meminta asesmen

terhadap tersangka atau terdakwa sebelum ditempatkan di

lembaga rehabilitasi.

Berdasarkan undang-undang, Negara bertanggung jawab

untuk memulihkan pengguna narkoba melalui rehabilitasi.

Sehingga sudah sepatutnya tak boleh ada kendala untuk

program rehabilitasi, termasuk mengenai infrastruktur atau

fasilitas pemulihan para pecandu dan korban penyalahgunaan

narkotika.

Dengan demikian, seharusnya penerapan rehabilitasi

pengguna narkoba adalah suatu keharusan kepada setiap

pengguna. Sehingga rehabilitasi tidak boleh digantungkan

kepada kemampuan bayar dari masing-masing pengguna

narkoba.

Rehabilitasi ini nantinya dapat memulihkan kondisi mental,

dan ketergantungan para pecandu dan korban penyalahgunaan

narkotika, rehabilitasi narkoba terbagi tiga tahapan yakni tahap

rehabilitasi medis, tahap rehabilitasi sosial, dan tahap bina

lanjutan.
90

Menurut hukum yang berlaku di indonesia, pecandu

narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini di perjelas dalam

pasal 3 ayat (1) peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional

Nomor 11 Tahun 2014 tentang tata cara penanganan tersangka

dan /atau terdakwa pecandu narkotika dan korban

penyalahgunaan narkotika kedalam lembaga rehabilitasi

(peraturan BNN/2014).

3.2.2. Kendala-Kendala dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(Studi Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl)

Permasalahan narkotika merupakan permasalahan yang

sangat susah untuk dihilangkan, selain itu permasalahan

narkotika juga merupakan kejahatan luar biasa atau Exstra

Ordinary Crimes. Dalam perkembangannya kasus-kasus

Narkotika dari tahun-ketahun semakin meningkat di negara ini.

Bahkan permasahan narkotika saat ini tidak lagi secara

sembunyi-sembunyi, tetapi sudah terang-terangan dilakukan oleh

pemakai maupun pengedar untuk menjalankan aksinya.

Berdasarkan Undang-Undang, Negara bertanggung jawab

untuk memulihkan para pengguna narkotika melalui rehabilitasi.


91

Sehingga sudah sepatutnya tak boleh ada kendala untuk

program rehabilitasi.

Dalam hal ini penulis melihat ada Kendala dalam

pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menjadi penghambat untuk

dilakukannya rehabilitasi seperti kurangn tempat rehabilitasi,

sehingga korban pengguna narkotika tidak dilakukannya

rehabilitasi, masyarakat juga kurang membantu dalam hal

melaporkan keluarga maupun orang yang mereka ketahui

menggunakan narkotika.

Setiap orang dianggap tahu, bila setiap aturan telah

dituangkan dalam sebuah Undang-Undang negara dan hukum

bersifat memaksa. Namun ada baiknya apa bila semua

masyarakat benar-benar mengetahui program rehabilitasi ini dan

bukan hanya dianggap tahu tentang hal tersebut.

Dan pemerintah perlu memperbanyak tempat rehabilitasi

narkoba, dan kementrian sosial (kemensos) harus menambah

anggaran pembangunan tempat rehabilitasi penderita narkoba.

Jumlah korban penyalahgunaan narkoba karena semakin hari

semakin banyak, adalah alasan mendasar perlunya untuk

memperbanyak tempat rehabilitasi narkoba.


92

3.2.3. Upaya-Upaya dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi

Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl)

Upaya-Upaya dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3)

Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang

telah dilakukan adalah upaya Preventif ialah dengan

mengadakannya penyuluhan oleh, Lembaga Pengadilan dan

anggota Unit Reserse Narkotika Polres Majalengka yang

dilaksanakan kurang lebih satu bulan sekali ke instansi-instansi

seperti pegawai dan masyarakat yang berada di Kelurahan

/Kantor Desa, Kecamatan, dan siswa-siswi Sekolah (SMP)

Menengah Pertama, siswa-siswi (SMA) Sekolah Menengah Atas,

atau melakukan razia atas perintah diwaktu tertentu yang

diperintahkan. Adapun upaya Reprensif yang dilakukan dengan

penangkapan dan penahanan berdasarkan informasi dari

masyarakat atau anggota polri.

Upaya untuk memberantas narkotika dan pencegahan

penyalahgunaan narkotika tidak bisa dilakukan Badan Narkotika

Nasional (BNN) saja, tetapi meminta agar kementrian/lembaga

dan semua instansi pemerintah memberi dukungan dalam proses

pemberantasan narkoba.
93

Upaya Pengendalian dan pengawasan narkotika perlu

dilakukan. Karena bila disalahgunakan, tidak dibawah

pengawasan dokter dapat menimbulkan ketergantungan dan

dapat mengakibatkan gangguan fisik, mental, kejiwaan sosial,

dan akibat lebih jauh dapat mengganggu ketahanan nasional.

Upaya rehabilitasi yaitu tempat rehabilitasi dan sekaligus

pengobatan terhadap korban penyalahgunaan narkotika dan zat

adiktif lainnya. Namun begitu yang lebih penting adalah bagai

mana si korban dapat bertahan dari kesembuhan, tidak kambuh

lagi sepulang dari panti pengobatan dan rehabilitasi tersebut. Hal

ini sangata memerlukan perhatian orang tua, keluarga, serta

partisipasi masyarakat untuk memberikan dorongan kesempatan

bergaul, semangat baru, dan harapan-harapan baru, dan

pendalaman agama untuk lebih bertaqwa kepada tuhan.


94

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka

penulis berkesimpulan sebagai berikut :

1. Dalam Pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Putusan: Nomor

81/pid.sus/2018/PN.Mjl, Menurut Undang-Undang 35 tahun 2009

tentang narkotika pada pasal 127 ayat (3) menyatakan: “dalam hal

penyalah guna sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahguna narkotika,

penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial”. Rehabilitasi medis yaitu layanan kesehatan bagi

pasien yang mengalami gangguan fisik dan fungsi tubuh, karena

kondisi sakit, penyakit atau cidera. Rehabilitasi sosial yaitu suatu

proses pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial

agar penyelahguna narkoba dapat kembali melaksanakan fungsi

sosial dalam kehidupan masyarakat dengan baik dan

bertanggungjawab.

2. Dalam Kendala-Kendala dalam pelaksanaan pasal 127 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi

94
95

Kasus Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl, kendala dalam

menanggulangi penyalahgunaan narkotika kurangnya tempat

rehabilitasi, kurang peran serta keluarga dan masyarakat,

masyarakat kurang memahami tugas dari BNN, bagi pengguna

narkoba masih dianggap tabu, karena masyarakat merasa malu

keluarganya tersangkut paut dengan narkoba sehingga memilih

untuk menutupinya.

3. Dalam Upaya-Upaya pelaksanaan pasal 127 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Stusi Kasus

Putusan: Nomor 81/pid.sus/2018/PN.Mjl, dengan upaya Preventif

dan upaya Reprensif. Adapun upaya Preventif ialah dengan

mengadakannya penyuluhan ke instansi-instansi seperti pegawai

dan masyarakat yang berada di Kelurahan/Kantor Desa, Kecamatan,

dan siswa-siswi Sekolah (SMP) Menengah Pertama, siswa-siswi

(SMA) Sekolah Menengah Atas.

4.2 Saran

1. Diperlukan Sosialisasi kepada masyarakat luas isi dari Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, agar masyarakat

luas memahami, bahwa dalam Undang-Undang ini bukan hanya

mengenal sanksi pidana, sanksi denda, tetapi juga mengenal bahwa

Hakim dapat memerintahkan, mewajibkan, untuk mengikuti


96

Rehabilitasi untuk menghilangkan atau menyembuhkan

ketergantungannya terhadap Narkotika, berdasarkan Pasal 127 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Diharapkan pemerintah perlu memperbanyak tempat rehabilitasi

sosial untuk korban penyalahgunaan narkotika. Keberadaannya

sangat dibutuhkan untuk membentuk proses penyelamatan bangsa

dari kehancuran moral dan mental karena narkoba.

3. Disarankan kepada Hakim yang memeriksa perkara tindak pidana

Narkotika, memperhatikan bahwa Terdakwa sesungguhnya juga

adalah merupakan Korban Peredaran illegal dan Penyalahgunaan

Narkotika sehingga perlu direhabilitasi.

Vous aimerez peut-être aussi