Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit
Gagal ginjal kronik adalah suatu penyakit yang tidak dapat dipulihkan karena dampak
yang merusak pada ginjal disebabkan oleh diabetes melitus, hipertensi, glumerulonefritis,
berlangsung progresif. Perjalanan menuju uremia berlangsung berangsur, untuk waktu yang
cukup lama. Bila ginjal tak dapat lagi mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
1.2 ETIOLOGI
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis.
2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna,stenosis arteria renalis.
3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif.
4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus
ginjal.
5. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal.
7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra,anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
8. Satu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasi
1.3 Manifestasi klinis
Karena pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia
pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti kulit menjadi
pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan bersisik terjadi akibat
atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan penguapa sehingga terjadi penumpukan
kristal urea di kulit. Akibatnya kulit menjadi terasa gatal (pruritus). kuku dan rambut juga
menjadi kering dan pecah-pecah sehungga mudah rusak dan patah. Perubahan pada kuku
tersebut merupakan ciri khas kehilangan protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal ersebut terjadi akibat gagal
ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga mengaktivasi apparatus
juxtaglomerular untuk memproduksi enzim rennin yang menstimulasi angiotensin I dan II
serta menyebabkan vasokonstriksi perifer. Angiotensin II merangsang produksi aldosteron
dan korteks adreanl, meningkatkan reabsorbsi sodium dan ginjal sehingga akhirnya
meningkatkan cairan intersitiil dan sodium dalam ginjal sehingga akhirnya meningkatkan
cairan intersitiil dan sodium dalam darah. Manifestasi lain yang dapat ditemukan adalah
gagal jantung kongestif dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin
uremik).
c. Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia yang sering menyertai
gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan. Gejala lainnya adalah pernafasan
kussmaul dan nafas berbau uremik.
d. Sistem gastrointestinal
Gejala yang sering terjadi adalah anoreksia, mual, muntah, kelaianan periodontal dan
ulserasi pada saluran gastrointestinal. Perdarahan saluran cerna juga bisa terjadi dan akan
menjadi berbahaya pada pasien dengan kelainan pembekuan darah.
e. Sistem sirkulasi dan imun
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6 g/dL atau
hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis, hematokrit berkisar antara
39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah mera, defisiensi nutrisi (seperti zat besi, asam folat dan vitamin
B12) atau kehilangan nutrisi selama hemodialisa dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Selain sering
mengalami anemia, pasien gagal ginjal tahap akhir juga renan terhadap infeksi akibat adanya
defisiensi immunoglobulin.
f. Sistem saraf
Retensi produk sampah dalam darah dan ketidakseimbangan elektrolit menurunkan
kemampuan neurotransmisi dalam berbagai oragan yang bisa berlanjut kepada gangguan
sistem saraf perifer yang menyebabkan burning pain, restless leg syndrome, spasme otot dan
kram.
g. Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak teraturnya atau
berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi akibat perubahan psikologis
dan fisik yangmenyebabkan atropi organ reproduksi dan kehilangan hasrat seksual.
h. Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut osteodistrofi renal,
disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata merah akibat
terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga bisa mengalami edema
akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan sampah
metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf dan menyebabkan
restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah satu bentuk gangguan tidur
dan penyebab insomnia pada pasien hemodialisis. Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis sering mengalami gangguan tidur berupa kesulitan memulai tidur, kesulitan
mempertahankan tidur dan bangun terlalu dini.
1.4 WOC
kronis
GFR
MK :
Penurunan Suplai O2 keperifer Memicu Saraf Motorik Gangguan
Pasien Mual, Nafsu makan Untuk Menggaru Rasa
Nyaman
Sianosis Perifer, perubahan
karakteristik kulit BB >20% Kerusakan Kulit
(Erosi, Ekskoriasi)
MK :
CRT > 2 Detik Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang Dari MK : Kerusakan
Kebutuhan Tubuh Integritas Kulit
MK 1.5: Ketidakefektifan
PEMERIKSAAN
Perfusi jaringan Perifer
2.
2.5 PENUNJANG
1. Urin
1) Volume : biasanya kurang dari 400 ml/jam atau tak ada (anuria)
2) Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
myoglobin, porfirin.
3) Berat Jenis : kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat
4) Osmolaritas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular dan
rasio urin/ serum sering 1:1
5) Klirens Kreatinin : mungkin agak menurun
6) Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
7) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan
Glomerulus bila SDM dan fragmenjuga ada.
2. Darah
1) BUN/ Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir
2) Ht : menurun pada anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
3) SDM : menurun, defisiensi eritropoitin
4) GDA : asidosis metabolic, ph kurang dari 7,2
5) Natrium serum : rendah
6) Kalium : meningkat
7) Magnesium : meningkat
8) Kalsium : Meningkat
9) Protein (Albumin) : Menurun
10) Osmolaritas serum : Lebih dari 285 mOsm/kg
11) gPelogram retrograde : abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
12) Ultrasono Ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
13) Endoskopi ginjal, nefroskopi : untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif
14) Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskuler,
masa
15) EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
(buku ajar : Keperawatan Medikal Bedah 2012).
1.6 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre, 2008).
Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal
sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan gejala
yang mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal. Yang
termasuk pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
2. Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan
kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari protein.
Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila penderita
mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
a. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium
dikurangi. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari.
b. Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan
natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer,
edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
c. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan
yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Aturan yang dipakai
untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin yang dikeluarkan
selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan
berat badan pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi adalah 1-2
kg selama periode intradialitik.
3. Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)
Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit gagal ginjal
kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan
memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain
dialisis dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al, 2008).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru
dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-
anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup,
dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu terapi
definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal
yang sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah
pencangkokan ginjal sehat ke dalam tubuh pasien. Permasalahan yang paling sering
dihadapi dalam cangkok ginjal adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien
sebagai resepien terhadap ginjal baru yang dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih ginjal yang paling cocok sehingga
memberikan reaksi penolakan yang paling minimal. Setelah pelaksanaan
transplantasipun, resepien juga masih harus minum obat imunosupresan seumur
hidupnya untuk menekan reaksi penolakan oleh tubuhnya terhadap ginjal baru dalam
tubuhnya (Aziz, 2008).
2. KONSEP TEORI VOLUME OVERLOAD
Tekanan cairan interstisial ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara masuknya cairan
(filtrasi kapiler darah), aliran keluar cairan (aliran getah bening), dan kemampuan kompartemen
untuk memperluas (kepatuhan jaringan). Tekanan cairan interstisial negatif pada subyek sehat
dan positif pada pasien CKD, namun tidak ada hubungan antara volume cairan tubuh dan
tekanan darah. Terlebih lagi, nampaknya peningkatan tekanan cairan interstisial yang diamati
pada pasien CKD dapat dikaitkan dengan perubahan kompensasi pada mikrosirkulasi lokal dan
ini selanjutnya dapat menyebabkan penyaringan transkapsil yang berkurang di interstitial, atau
aliran limph yang meningkat.
Volume Overload (VO) interstisial akut dikaitkan dengan peningkatan tekanan cairan
interstisial yang relatif cepat, sementara kelebihan cairan interstisial pada keadaan edematosa
kronis hanya menyebabkan peningkatan tekanan interstisial moderat, menunjukkan bahwa
kepatuhan ruang interstisial merupakan penentu pentingnya untuk homeostasis tekanan cairan
interstisial. Perubahan cairan relatif dari interstisial ke ruang intravaskular disebabkan oleh
asupan sodium yang tinggi. Dalam penelitian Heer dkk, manusia normalnya membutuhkan 50-
550 mmol Na untuk mengevaluasi keseimbangan natrium. Dalam penelitian Volume plasma
meningkat sekitar 330 ml bila asupan Na 550 mmol / hari, namun kenyataannya setiap harinya
manusia mengkonsumsi Na mencapai 1.700 mmol apabila tidak melakukan diet.
Dalam jurnal juga menjelaskan tentang Protein Energy Malnutrition (PEM) berkembang saat
diet yang tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan protein dan atau energy yaitu status yang
sering terjadi pada pasien dialysis. PEM bertanggung jawab untuk kualitas hidup yang buruk dan
meningkatkan semua penyebab kematian di Indonesia pada pasien ESRD (End Stage Renal
Disease ). Pada pasien ginjal, terdapat hal yang penting yaitu status pro-inflamasi. Sehingga
pada penelitian ditemukan bahwa kedua kondisi tersebut berdampingan dan saling terkait pada
pasien ESRD. Peradangan yang sering terjadi pada pasien ginjal adalah aterosklerosis sehingga
muncul istilah 'malnutrisi-radang-aterosklerosis' (MIA) atau 'malnutrition - inflammation complex
syndrome' (MICS) yang dianggap sebagai salah satu penyebab utama kematian pada pasien
ERSD karena sangat sulit untuk dimodifikasi, seperti yang ditunjukkan oleh banyak penelitian
yang juga gagal menunjukkan perbaikan pada tingkat kelangsungan hidup saat dosis dialisis
atau permeabilitas membrane.
Penyebab utama PEM dan peradangan dalam dialysis pasien sangat rinci dalam beberapa
ulasan, salah satunya penelitian tentang tingkat kekurangan gizi yang lebih tinggi dan
peradangan dengan Volume Overload (VO). Pada 95 pasien, VO telah secara signifikan terkait
dengan malnutrisi, radang dan penanda aterosklerosis. Hung dkk. ditemukan di 338 pra-pasien
dialisis CKD yang overload volume positif berkorelasi dengan IL-6 dan TNFα dan satu-satunya
parameter itu sangat terkait dengan semua komponen MICS. Pada saat yang sama, kehadiran
MICS memiliki efek merugikan pada VO.
Pasien ginjal menunjukkan risiko yang lebih tinggi untuk perkembangan dan perkembangan
penyakit kardiovaskular (CVD) akibat peningkatan prevalensi faktor risiko langsung yaitu usia
lebih tua, jenis kelamin laki-laki, hipertensi, dislipidemia, DM, LVH) tetapi juga karena faktor tidak
langsung yaitu albuminuria, anemia, hiperparatiroidisme, kelebihan muatan ECV, stres oksidatif,
pembengkakan dan kekurangan gizi. Tingkat keparahan dan kejadian CAD adalah lebih tinggi
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan CV morbiditas dan mortalitas meningkat
dengan gangguan fungsi ginjal (terutama bila GFR <15 ml /min / 1,73 m 2). Demikian pula, risiko
CHF berlipat ganda pasien dengan GFR <60 ml / menit / 1,73 m2). Dua penelitian yaitu dari
Kanada dan Taiwan meneliti pada skala besar risiko CV yang terkait dengan CKD yaitu
kelebihan cairan /Volume Overload yang merupakan faktor risiko penting bagi CVD pada pasien
CKD. Baru-baru ini, Hung et al. dilaporkan pada 338 pasien dengan stadium 3-5 CKD, kelebihan
volume tersebut sangat terkait dengan faktor risiko langsung untuk penyakit kardiovaskular
dalam analisis multivariat yaitu jenis kelamin laki-laki, diabetes, penyakit kardiovaskular yang
sudah ada sebelumnya, tekanan darah sistolik, albumin serum, TNF-α, dan proteinuria.
3. KONSEP HEMODIALISIS
3.1 PENGERTIAN
Hemodialisi berasal dari bahasa yunani yaitu Hemo artinya darah, sedangkan Dialisis
adalah proses dimana molekul pada larutan A (darah) berdifusi melewati membrane
semipermeable menuju larutan B (dialisat).
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti
air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran
semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Kusuma & Nurarif, 2012).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang
terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal.
Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan
HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan
HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
3.7 KOMPLIKASI
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal.
Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau
gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang
cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani
HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan
hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan
cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
H reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi
ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light,
2010). Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Daurgirdas et al., 2007).
a. Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung.
Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala,
sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber
dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan
hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang
jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
b. komplikasi Kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis
kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat di bawah ini:
(Bieber dan Himmelfarb, 2013).
1) Penyakit jantung
2) Malnutrisi
3) Hipertensi / volume excess
4) Anemia
5) Renal osteodystrophy
6) Neurophaty
7) Disfungsi reproduksi
8) Komplikasi pada akses
9) Gangguan perdarahan
10) Infeksi
11) Amiloidosis
12) Acquired cystic kidney disease
4. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian focus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita gagal ginjal kronik
menurut Doeges (2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) ada berbagai macam, meliputi :
1. Demografi
Lingkungan yang tercemar, sumber air tinggi kalsium beresiko untuk gagal ginjal kronik,
kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis kelamin lebih banyak perempuan,
kebanyakan ras kulit hitam.
2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler hipertensif, nyeri ulu hati,
rasa metalik tidak sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunanan diuretic, demam
karena sepsis dan dehidrasi.
3. Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut), abdomen kembung, diare
konstipasi, perubahan warna urin.
4. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstrim, kelemahan, malaise, keterbatsan gerak sendi.
5. Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)
6. Pola persepsi sensori dan kognitif
Rasa panas pada telapak kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot, perubahan tingkat
kesadaran, nyeri panggul, sakit kepala, kram/nyeri kaki (memburuk pada malam hari),
perilaku berhatihati/distraksi, gelisah.
B. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap penusukan &
pemeliharaan akses vaskuler.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x5 jam masalah pasien
teratasi / teratasi sebagian
Kriteria Hasil :
1. Jatuh saat berpindah (5)
2. Jatuh saat berdiri (5)
3. Jatuh saat duduk (5)
4. Jatuh saat di pindahkan (5)
Sudoyo, Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Smeltzer C, Suzanne, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth, (Edisi 8