Vous êtes sur la page 1sur 6

“ Akankah Nukila kembali dilahirkan dari rahim perempuan

Maluku utara?”
Oleh : Asterlita T Raha

“Nukila adalah respresentasi kejayaan politik perempuan Maluku


utara, lantas apakah perempuan Maluku utara masa kini mampu
menjadi inkranase Nukila?”

De Beaurvoir mengatakan perempuan hanyalah makhluk kedua yang tercipta secara


kebetulan setelah laki-laki, sehingga perempuan menjadi objek perbincangan dan
perdebatan yang tidak pernah ada akhirnya, perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh
dalam masyarakat karena secara ekonomi, politik, social dan psikologi tergantung pada
laki-laki. Karenanya tidak heran dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakan
pada posisi subordinat atau inferior.

Maluku utara adalah salah satu provinsi di Indonesia, Maluku utara resmi terbentuk pada
tanggal 4 Oktober 1999, melalui UU RI No. 46 tahun 1999 dan UU RI No. 6 tahun 2003.
Daerah ini merupakan bekas wilaya empat kerajaan islam terbesar di bagian timur
Nusantara yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat
Gunung di Maluku) diantaranya yaitu : kesultanan Bacan, Kesultanan Jailolo, Kesultanan
Tidore dan Kesultanan Ternate. Maluku utara terkenal sebagai pusat rempah-rempah
sekitar abad ke 15. Menurut mitos empat kesultanan tersebut merupakan keturunan
seorang ulama dari timur tengga bernama Jafar Sadek yang menikah dengan seorang
bidadari, setempat Nur Sifa sebagaimana tercantum dalam hikayat ternate yang ditulis oleh
Naidah pada abad ke 19.

Maluku utara yang asalnya dari kesultanan/kerajaan mempengaruhi kebudayaan dan


kehidupan masyarakatnya, dimana feodalisme dan adat yang begitu kental. Struktur sosial
sangat menentukan cara kehidupan manusia, karena struktur sosial menjadi penentu tata
nilai dan praktik-praktik dalam kehidupan sosial manusia.

Ditanah para raja ini, pernah lahir seorang perempuan perkasa dan berpengaruh diabad ke
16, dialah Boki Nukila. Ibarat duta perdamaian untuk mengakurkan dua kerajaan islam
terbesar dikepualauan Maluku yaitu Ternete dan Tidore. Namun tak banyak yang tahu
sebenarnya apa dan siapa Nukila ini. Nah, dalam tulisan kali ini saya akan coba mengulas
siapa sebenarnya sosok Nukila, ia terlupakan oleh sejarah bahkan tak banyak perempuan-
perempuan Maluku Utara mengenal dengan jelas sosok Nukila.

Pengaruhnya telah lebih dahulu dari Martha Cristina Tiahahu, Raden Ajeng Kartini, Cut
Nyak Dhien, dan deretan pejuang perempuan-perempuan Indonesia lainnya, Nukila adalah
perempuan pertama di Indonesia yang berperang melawan kolonialisme dan merupakan
perempuan yang paling berpengaruh di kerajaan Ternate pada abad ke-16. Membuat
namanya diabadikan pada salah satu taman di kota ternate.

Taman Nukila adalah salah satu objek wisata ditengah-tengah kota Ternate Maluku Utara,
yang sangat ramai dikunjungi baik oleh wisatawan lokal, nasional maupun internasional.
Taman Nukila, diresmikan oleh Walikota Ternate DR. H Burhan Abdurahman SH.MH, pada
tanggal 30 November 2014.

Dalam sejarah panjang perjalanan kerajaan Ternate di Maluku utara, juga terdapat peran
beberapa perempuan yang turut berpengaruh dan ikut mewarnai lembaran-lembaran
sejarahnya. Tercatat beberapa perempuan perkasa Ternate yang dikenang dalam sejarah
Ternate, baik dalam kehidupan sosial, politik, maupun budaya. Salah satu diantaranya
adalah Boki Nukila atau juga dikenal dengan nama Nyai Cili Boki Raja. Ia adalah isteri atau
permaisuri raja Ternate ke-20 (Sultan Bayanullah). Ia tak lain adalah salah satu putri dari
raja Tidore Al-Mansyur(1500-1521). Ia juga sebagai perempuan pertama di Ternate yang
ikut berperan bersama-sama dengan Jogugu Taruwesse menjadi “dwi tunggal” dalam
memimpin kerajaan muslim terbesar di timur Nusantara tersebut. Ia pula yang oleh
lembaran sejarah dianggap telah mempertontonkan sebuah konspirasi terselubung dalam
menguasai atau merebut sebuah kekuasaan.

Dua anak lelaki lahir dari perkawinan tersebut. Anak tertua adalah pangeran Hidayat
(Dawayu/Dayalo) yang lantas dijadikan pewaris tahta alias putra mahkota kesultanan
ternate. Dan putra ketua bernama pangeran Abu Hayat atau Boheyet. Hingga akhirnya
Sultan Bayanullah meninggal dunia pada tahun 1521. Sembari menunggu pangeran
Hidayat beranjak dewasa dan naik tahta, Ratu Nukila dibantu iparnya Taruwese untuk
menjalankan pemerintahan kesultanan ternate. Sebenarnya, pangeran Hidayat juga sempat
dinobatkan dengan gelar sultan Hidayatullah atau sultan Dayalo (Dayalu) pada periode itu,
namun karena usia pangeran Hidayatullah masih berumur 6 tahun.

Pemerintahan Kesultanan ternete dibawah pimpinan Nukila memang berjalan dengan baik
baik selama beberapa tahun, sebelum pangeran Taruwese terhasut untuk melakukan
tindakan makar yang berujung pada kudeta. Taruwese mulai menunjukan rasa
kebenciannya terhadap Nukila, sebab ia merasa paling berhak atas tahta ternate ketimbang
Nukila, kemudian portugis mengambil peran dengan berdiri dipihak pangeran Taruwese.
(sejarah social kesultanan ternate; 2010, hal.9)
Situasi semakin pelik setelah sultan Al Mansur, penguasa kerajaan tidore wafat pada 1526.
Dibantu oleh kesultanan Tidore, sultanah Nukila berniat untuk menyatuhkan kesultanan
Ternate dan Tidore. Ambisi Nukila ditentang oleh pangeran Taruwese yang menginginkan
tahta ternate. Perang saudara pun tak terelakan. Kubu Taruwese yang memenangkan
pertempuran tersebut dan mengambil ahli kesultanan ternate.

Ratu Nukila dan Sultan Hidayatulah yang sudah beranjak remaja berlindung ke Tidore,
namun mendapat serangan dari pasukan Taruwese bersama portugis pada tahun 1529,
Pangeran Hidayatullah gugur terkena tembakan tentara portugis( Maluku utara :
penjalanan sejaran 1250-1800, vol. 1 karya : M Adnan Amal 2002).

Sementara, Taruwese tidak dapat berlama-lama menikmati tahta Ternate, karena dia
ditemukan tewas yang diduga ditenggarai oleh Portugis. Setelah itu Pangeran Abu Hayat
(Boheyat), putra kedua Ratu Nukila atau adik dari Hidayatullah, dinobatkan sebagai
pemimpin kesultanan Ternate dengan gelar Sultan Abu Hayat II. Tahun 1531 dia
dilengserkan oleh portugis, kemudia dibuang ke Malaka hingga wafat disana.

Ratu Nukila dikirim ke Gowa India untuk diadili (1534), karena dituding oleh Portugis
melakukan persengkokolan jahat akibat penghianatan terhadap kesultanan Ternate ( R
Soekmono; Sejarah Kebudayaan Indonesia. 1981:50). Sampai kematiaannya Ratu Nukila
tak pernah kembali ke kerajaan besar di Maluku yang perna dipimpinnya.

Ratu Boki Nukila, ada respresentasi kejayaan perempuan di Maluku utara, Nukila
mematahkan seluru stereotype bahwa perempuan adalah pelayan dapur, sumur dan kasur.
Nukila membuktikan perempuan mampu menjadi pemimpin dan turun langsung
berperang melawan kolonialisme.

Namun, kondisi dan realitas hari ini di Maluku utara, masih banyak ketimpangan,
kesenjangan, ketidakadilan dan diskriminasi akibat bias gender. Menurut Webster’s New
World, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah “suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”. Sehingga secara tidak langsung gender
dibedakan dengan biologis (kealamian/fisiologis), sebab gender adalah hasil konstruksi social
yang membedakan peran, perilaku, dan nilai antara laki-laki dan perempuan. Akibat bias gender
ini maka munculah sistem yang bernama patriarki. Patriarki dibawah oleh kolonialisme yang
diperkuat oleh feodalisme. Menurut Max Weber, Patriarki adalah sebuah sistem
social/pemerintahan yang mana kaum laki-laki yang mengatur dan mengendalikan masyarakat
melalui posisi mereka di dalam rumah tangga. Patriarki sediri berarti aturan yang berasal dari
laki-laki, hal ini mengacu pada sistem social, di mana laki-laki memegang kendali atas seluruh
anggota keluarga, kepemilikan barang sumber pendapatan dan pemegang kekuasaan tertinggi.
Kentalnya budaya patriarki di Maluku utara, mengakibatkan perempuan didomestifikasikan
pada ranah domestic (dapur, sumur dan kasur). Bias gender yang dilangengkan oleh sistem
patriarki ini mengakibatkan perempuan dimarginalkan, disubordinasikan, stereotype atau
pelebelan, kekerasan dan beban ganda. Sehingga tak heran ketika perempuan-perempuan
Maluku utara lebih banyak berprofesi Ibu Rumah Tangga dari pada berkarir diranah publik.

Perbandingan Tingkat Partisipasi kerja (TPAK) anatara laki-laki dan perempuan dimaluku utara
Periode 5 tahun (2012-2016).

Dari grafik diatas, dapat digambarkan bahwa partisipasi perempuan dalam pasar Maluku utara
lima tahun terakhir jauh lebih rendah dari pada laki-laki. Dimana hampir 2 kali lipat dari
perempuan dilihat dari TPAK laki-laki selalu di atas 80%, sedangkan perempuan berkisar 50%
sehingga pasar tenaga kerja Maluku utara terindikasi dinominasi oleh laki-laki.

19 tahun sudah Maluku utara berprovinsi, namun ironisnya masih sangat sedikit
perempuan Maluku utara yang menjadi pemimpin baik legislative, yudikatif maupun
eksekutif. Terbukti dalam pertarungan politik Maluku utara (Pilgub) Tak satu pun
perempuan yang mengambil bagian dalam pertarungan tersebut. Dari 4 kandidat yang
mewarnai perpolitikan Maluku utara, tak Nampak satupun ingkranase Nukila yang hadir.
Perempuan lebih memilih menjadi penonton dan alat politisasi partai politi dengan
berjibaku dalam politik *balanga dandang.

Jumlah penduduk Maluku utara (data proyeksi 2010-2035)


Jumlah penduduk Maluku utara lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan 593.197 jiwa,
sedangkan perempuan hanyalah 509.148 jiwa dari 1.102.345 jiwa. Dengan rasio 104.23 jiwa
perbedaan laki-laki dan perempuan Maluku utara, namun tak berlaku dalam dunia perpolitikan.
Laki-laki lebih banyak mendominasi dari pada perempuan.

Dari jumlah keseluruhan perempuan di Maluku utara yang mencapai 504.148 jiwa, ironisnya
yang menduduki kursi DPRD Provinsi periode 2014-2019 hanyalah 5 orang perempuan dari 30
kursi, sama halnya dengan DPRD kota Ternate dari 25 kursi perempuan hanya menempati 5
kursi dan lebih ironis lagi kabupaten Halmahera selatan dari 25 kursi tak satupun keterwakilan
perempuan yang duduk disana.

Perempuan-perempuan Maluku utara hari ini, hidup dalam bayang-bayang nenek moyangnya,
terbudaki dan terdiskriminasi oleh sistem patriarki. Menjadi pertanyaan kapan kejayaan politik
perempuan Maluku utara kembali? Kapan sosok Nukila hadir dan menguasai ranah public?

Perempuan Maluku utara hari ini, melegitimasikan patriarki dan menjadikannya dirinya sebagai
objek seksualitas laki-laki, menurut Simone de Beuvoir (feminis and filsuf) dalam bukunya the
second sex menyatakan bahwa dihadapan tatapan laki-laki, perempuan, entah dalam masyarakat
paternal maupun maternal adalah objek patriarki, yang membuat perempuan kehilangan
subjektifitasnya. Perempuan dijadikan objek dan selalu berada pada posisi yang tidak
menguntungkan, perempuan berada pada dunia akumulasi dan sirkuolasi nilai maskulin menjadi
acuan, perempuan kehilangan diri dan tak perna menjadi diri sendiri.

Semua penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan tidak jatuh sendiri dari langit, tetapi
diciptakan melalui konstruksi social dan dibiasakan. Perempuan akan terus berada dibawah laki-
laki jika yang diurusi masih saja kecantikan (Soe Hok Gie), kekerasan seksual, kekerasan dalam
rumah tangga bahkan mengkomersilkan tubuh perempuan akan tetap terjadi selama perempuan
tetap menjadikan kecantikan sebagai modal.

Sudah saatnya perempuan bangkit dari keterpurukan, perempuan harus melawan, perempuan
harus menciptakan bahasanya dan menulis sejarahnya sendiri. Perempuan Maluku utara harus
berbenah dan berani membongkar tirani hegemoni konservatif yang memasungnya selama ini.
Sebab kata Pramoedya Ananta Toer (panggil aku kartini saja) “barang siapa tidak berani , dia
tidak bakalan menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani,
pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia.

Mari kita ciptakan sejarah baru kejayaan politik perempuan Maluku utara, menjadi perempuan
hebat, berani keluar dari sistem yang sudah lama menindas kita. agar ingkranasi dari Sultanah
Boki Nukila merasuki jiwa dan sanubari kita. Dengan cara membaca, berororganisasi menulis
dan turut mengambil bagian dalam persoalan rakyat maka kejayaan politik perempuan Maluku
utara akan lahir kembali.
“ perempuan Maluku utara bangkilah sebab tunduk adalah pengkhianatan terhadap leluhurmu”

Vous aimerez peut-être aussi