Vous êtes sur la page 1sur 4

”Antara Marhaenisme dan Pancasila”

Oleh : Bung Handhis firmansyah


Komisariat GMNI Universitas Bojonegoro

Dua ideologi ini antara Marhaenisme dan Pancasila tak lepas dari nama Ir.
Soekarno atau Bung Karno. Jika disamakan kedua ideologi ini memiliki nilai
persamaan, keduanya memiliki kaitan dan bukan hal yang saling bertentangan.
Dimana isi dari butir Marhaenisme adalah Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi,
ketuhanan Yang Berkerakyatan yang semua tercermin dalam artian dalam setiap
sila dalam Pancasila.
Dilihat dari sejarah singkatnya Marhaenisme, seperti banyak diceritakan oleh
Bung Karno yang berawal dari nama seorang petani yang bernama Marhaen yang
ditemui Bung Karno. Kondisi prihatin yang di alami oleh petani itu sendiri telah
menginspirasi Bung Karno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar
yang khas Marxisme. Sejak Tahun 1932, Ideologi Marhaenisme telah mewarnai
wacana politik di Indonesia. Pertama Tercetusnya dan digunakannya ideologi
Marhaenisme terjadi Pada 4 juli 1927, dimana Bung Karno mendirikan PNI
(Partai Nasional Indonesia) dimana Marhaenisme menjadi ideologinya di partai
di Tahun 1930-an.
Menurut penafsiran Sultan Syahir, Marhaenisme sangat jelas menekankan
kepada massa yang banyak. Maka dari itu dibutuhkan dua prinsip gerakan yang
kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marahenis. Maka
ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio
Demokrasi. Untuk menjelaskan ke dua prinsip itu Bung Karno Mengadopsi dari
pemikiran Jean Jaurhs (Sosialis) dari Prancis dan Karl Jaurhs (Komunis) dari
Jerman.
Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh
Bung Karno dalam mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada
pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang
politik. Sedangkan dari Karl Kautsky, Bung Karno mendapatkan keyakinan
bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak
mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang
berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Bung Karno benar – benar terpengaruh
pada Kautsky, dengn menyatakan bahwa seorang tidak perlu menjadi komunis
jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar – benar produk masyarakat
borjuis. Selanjutnya Bung Karno mengatakan seorang Marhaenis harus menjadi
pribadi yang Revolusioner Sosial, bukan menjadi pribadi yang Revolusioner
Borjuis dan dari situ oleh Bung Karno dijuluki sebagai Sosio-nasionalisme atau
Nasionalisme Marhaenis.

Pejuang pemikir-pemikir pejuang


Menurut Bung Karno, pada saat itu Massa-Rakyat Indonesia memilik
pekerjaan yang berbeda-beda seperti halnya Buruh, Petani, Nelayan, Pedagang
kecil. Dari situ meraka adalah dampak yang paling menyengsarakan dari
penghisapan kaum feodal bangsa sendiri dan penindasan yang dilakukan kaum
imperialis. Kemudia disaat itu pada keadaan seperti itu, muncul lah istilah populer
yang ada atau berkembang di Eropa Barat unntuk menggambarkan situasi
Indonesia saat itu yaitu kaum proletar. Namun menyadari itu Bung Karno
menyangkal perkataan Proletar itu, Bung Karno menilai perkataan Proletar tidak
mewakili dari keadaan Indonesia saat itu.
Sedangkan untuk pengertian proletar itu sendiri menurut Bung Karno adalah
buruh yang yang bekerja menjual tenaganya, dengan tidak memiliki alat – alat
produksi sama sekali. Sementara disaat keadaan Indonesia pada saat itu bukanlah
buruh dan mereka tidak menjual tenaganya kepada orang lain. Banyak
masyarakat Indonesia yang bekerja menggunakan Alatnya sendiri seperti
contohnya Petani yang menggarap ladangnya dengan cangkul dan seterusnya.
Tetapi dalam keadaan itu mereka tetap Miskin, namun mereka tidak tepat jika
dikatakan miskin. Oleh karena itu Massa rakyat yang melarat itu dikatakan
Marhaen bukan Proletar.
Sedangkan yang dijelaskan tadi yang diatas, didalam Marhaenisme terdiri dari
Tri Sila Yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, ketuhanan Yang
Berkerakyatan. Dijelaskan secara singkat saja Sosio Nasionalisme memiliki
makna nilai kebangsaandengan azas gotong royong, mengutamakan kesamaan
nasib, berperikemanusiaan dalam hidup kemasyarakatan yang lebih baik.
Sementara dari Sosio Demokrasi yaitu sebuah pemahaman yang menjunjung
tinggi nilai kedaulatan rakyat. Dalam hal ini Rakyatlah yang berhak mengatur
Negara, Memegang kendali ekonomi. Sosio Demokrasi adalah wujud cita – cita
rakyat yang berlakunya Demokrsi Ekonomi, Demokrasi Sosial, dan Demokrasi
Politik. Sedangkan untuk kata Ketuhanan yang berkerakyatan adalah yang
mencangkup dari kedua sosio itu sendiri. Dalam menjalankan kedua sosio
tersebut rakyat Indonesia atau Bangsa Indonesia Harus Beragama dan memiliki
nilai ketuhanan yang mendasar pada dirinya secara berkerakyatan yang adil
dalam bersosial.
Untuk Pancasila sendiri, dari sejarah singkatnya pada dimulainya pertikaian
yang terjadi ditahun 1920-an menyebabkan Bung karno Berusaha keras
Bagaimana menyatukan berbagai kelompok aliran Politik Waktu itu. Sedangkan
Pada bulan April 1945 Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
atau disingkat BPUPKI yang dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat
mengadakan rapat tentang apa dasar Negara Indonesia ini? Dalam rapat BPUPKI
yang telah di laksanakan muncul beberapa tokoh dalam ikut andil merumuskan
dasar Negara Indonesia. Yang paling mencolok dari beberapa tokoh yang
merumuskan dasar tersebut yaitu Bung Karno. Beliau berpidato dengan lantang
tanpa menggunakan teks pada 1 Juni 1945 dan sampai hari ini ditetapkannya Hari
Pancasila. Didalam pidatonya beliau menyebutkan 5 dasar sila, yang pertama

Pejuang pemikir-pemikir pejuang


yaitu: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan;
Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; Ketuhanan Yang
Berkebudayaan.
Di samping itu sebelumnya, terjadi perdebatan yang tidak lepas juga dari
Fragmentasi kehidupan aliran ideologi yang terpolarisi dalam tiga kekuatan besar
yaitu Islam (SI-PSI), Nasional (PNI-PNI Baru) dan Komunis (PKI). Pengaruh
tokoh dan ideologi partai menguat dan diperjuangkan sebagai Dasar Negara
dalam sidang BPUPKI tersebut. Soekarno dan Hatta dan kaum Nasionalis berada
di Garda terdepan untuk meyakinkan bahwa ideologi Pancasila adalah yang
cocok dan sesuai untuk Bangsa Indonesia. Tetapi tokoh Islam seperti Ki Bagus
Hadikusumo dari Muhammadiyah, KH. Wahid Hasyim dari NU, KH. Achmad
Sanusi dari PUI menolak adanya Pancasila ketika menjadi ideologi Bangsa
indonesia. Mereka menginginkan Islam adalah sebagai dasar utama dari Bangsa
Indonesia.
Dari sini Bung Karno mengatakan Pancasila tidak dapat di tentukan dalam
satu pihak saja, karena perjuangan Bangsa Indonesia bukan hanya dari satu
golngan yang semudah itu menjadikan ideologi Islam menjadi Ideologi Negara
Indonesia. Tetapi harus melalui nota kesepakatan antara golongan Nasionalis,
kelompok Beragama, dalam bernegara.
Dengan demikian pada akhirnya terdapat perubahan didalam salah satu bunyi
sila “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diganti
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari setiap rumusan Pancasila disetiap
butirnya yang pernah digagas, Baik yang disampaikan Bung Karno ataupun
rumusan Panitia Sembilan yang termuat didalam Piagam Jakarta yang di bentuk
oleh founding fathers adalah sejarah dalam proses penyusunan Dasar Negara.
Setelah itu rumusan tersebut akhirnya disepakati sebagaimana terdapat pada
alenia ke 4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI.
Sedangakan kaitannya antara Pancasila dan Marhaenisme adalah dimulai dari
masa perlawanan terhadap penjajah/Kolonialisme dari sini inilah titik temu
tentang Marhaenisme dan Pancasila. Yang ditemukannya konsep nama Marhaen
yang diambil dari nama petani Marhaen. Akhirnya muncullah konsep Tri Sila,
dan inilah yang disebut isi Dari Marhaenisme itu sendiri dan juga pandang sempit
dari Pancasila. Dapat dijelaskan Pancasila yang sebagai Dasar Negara diatur
tentang berkebebasan Beragama dengan ketegasan didalam sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Pancasila juga mengandung perikemanusiaan yang memiliki arian
martabat luhur, manusia dan Bangsa Indonesia. Juga terdapat didalam Tri sila
yang termasuk Isi Marhaenisme.
Pancasila juga mengandung nilai-nilai Internasionalisme. Internasionalisme
didalam Pancasila itu sendiri mengandung artian bersama - sama dengan Bangsa
lain, hidup dialam masyarakat dunia, duduk bersama – sama dengan bangsa –
bangsa, duduk sama rendah dan menentang penjajahan dengan pengakuan atas
kemerdekaan atas segala Bangsa. Sedangkan Pancasila dilandasi tiga pemikiran

Pejuang pemikir-pemikir pejuang


yakni tradisional komunal yang di jawa dan sebahagiaan sumatra bercampur
dengan etos sosial Hindunism. Kedua, Islam. Ketiga, sejarah liberalism yang
bercampur dengan ideologi marxisme.
Dari kelima sila yang bisa disebut Pancasila yaitu jika di persingkat lagi
menjadi Tri Sila yang menjadi isi dari Marhaenisme yang memiliki artian sama
dari pancasila. Didalam Sosio Nasionalisme berkaitan dengan Pancasila sila ke 2
dan 3. Untuk Sosio Demokrasi terkait dengan Pancasila sila ke 3 dan 4. Untuk
ketuhanan Yang Maha Esa sendiri sama dengan sila yang 1. Sebelum
terbentuknya Pancasila, Marhaenisme lebih dulu terbentuk dan sudah digunakan
dalam ideologi Partai PNI yang sudah dijelaskan tadi pada tahun 1930-an. Dari
situ Bung Karno pada pidato 1 juni 1945 mengemukakan perluasan arti dari Tri
Sila tersebut dan akhirnya terbentuklah Pancasila.
Sedangkan apabila dalam Tri Sila masih kesulitan didalam memahaminya
Bung Karno mempersingkat lagi menjadi Eka Sila yang dimaksut gotong royong
maka sekalipun di perjelas lagi akan tetap ketemu yaitu sifat dari gotong royong
dalam masyarakat Indonesia diselenggarakan dengan berdasar pada 5 hal: Magis-
religius; Lingkungan kesatuan baik genealogis maupun teritorial; Dasar
persamaan, persaudaran dan kekeluargaan; Musyawarah dan mufakat; Gotong
royong dilaksanakan untuk kepentingan bersama.
Pemikiran Bung Karno tentang Gotong royong ini berawal dari bertemu pula
dengan filsafat moral dari Hindu yaitu Tat Twam Asi yang artinya ”Dia Adalah
Aku Dan Aku Adalah Dia” yang bisa diartikan bertemunya semua ciptaan
Tuhan sebagai Makhluk hidup. Jadi jika penganut Marhaenisme atau kaum
pecinta sejarah jika mendengar kata Marhaenisme tak lepas dari sejarah Pancasila
yang melekat. Dimana sangat identik dengan paham Marhaenisme Nasionalis-
Marhaenis. Keidentikannya antara Marhaenisme dan Pancasila akhirnya berubah
menjadi politik ideologi yang fundamental sebab erat kaitannya dengan sejarah
terbentuknya dan Dasar Negara itu sendiri.

Merdeka!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Merdeka!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Merdeka!!!!!!!!!!!!!!!!!

Pejuang pemikir-pemikir pejuang

Vous aimerez peut-être aussi