Vous êtes sur la page 1sur 15

LAPORAN KASUS BLOK ELEKTIF

FAKTOR EKONOMI DAN FAKTOR PENDIDIKAN SEBAGAI PEMICU


MUNCULNYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DISUSUN OLEH:

AKBAR FITRIANTO

1102015013

DOMESTIC VIOLENCE

TUTOR: dr. Elita Donanti

UNIVERSITAS YARSI

TAHUN AJARAN 2018-2019


FAKTOR EKONOMI DAN FAKTOR PENDIDIKAN SEBAGAI PEMICU
MUNCULNYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

ABSTRAK

Latar Belakang: Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) semakin marak terjadi di
masyarakat masa kini. KDRT bisa terjadi dalam bentuk kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga. Kekerasan dapat terjadi
karena perbedaan pendapat dari sepasang suami istri, karena permasalahan ekonomi,
ataupun karena pengaruh rendahnya pendidikan dari sepasang suami istri tersebut.
Meskipun sudah ada UU yang mengatur tentang penghapusan KDRT, tetap saja masih
banyak kasus yang terjadi karena banyak kasus yang diselesaikan dengan cara
kekeluargaan atau masih dimaafkan oleh salah satu pihak.
Deskripsi kasus: Ny. S mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan
oleh suaminya, sebab suaminya bersetubuh dengan adik perempuan dan Asisten Rumah
Tangganya beberapa kali. Saat keadaan ekonomi tidak stabil pun, Suami Ny. S meminta
Ny. S untuk menjual diri. Karena perbuatan suami yang semakin menjadi-jadi, Ny.s
sudah tidak kuat membangun Rumah Tangga ddengan suami dan menggugat cerai suami
tersebut.
Diskusi: Kekerasan Dalam Rumah Tangga banyak dialami oleh perempuan. Data
tahunan Indonesia dari Komnas Perlindungan Perempuan mencatat bahwa tindak
kekerasan pada perempuan terutama kekerasan di ranah domestik mengalami peningkatan
setiap tahunnya. kekerasan yang dialaminya. KDRT terjadi karena masalah ekonomi.
Perempuan mempunyai akses terbatas dalam bidang pendidikan dan pelatihan-
pelatihan, sehingga jenis pekerjaannya pun terbatas. Rendahnya pendidikan pun menjadi
salah satu factor terjadinya KDRT karena membuat suami merasa berkedudukan lebih
tinggi sehingga KDRT rentan terjadi.
Kesimpulan: Pada pembahasan diatas memang dijelaskan bahwa adanya korelasi antara
faktor ekonomi dan faktor pendidikan dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada
kasus Ny. S, yang tidak memiliki penghasilan yang cukup akan rentan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangganya. Karena kurangnya pendidikan pada Ny. S pun
mengakibatkan Ny. S sering diperlakukan buruk oleh suaminya karena menganggap
suami lebih superior dan lebih bergantung pada suaminya.
Kata kunci: KDRT, Ekonomi, Pendidikan
I. Pendahuluan
Dalam sebuah rumah tangga, perbedaan pendapat suami maupun
istri memang wajar terjadi. Terkadang permasalahan kecil yang
dianggap sepele kerap kali memicu perbedaan pendapat yang tak
jarang berakhir dengan tindak Kekerasan Dalam rumah Tangga
(KDRT). Penghapusan KDRT sebenarnya sudah tercantum dalam UU
RI No. 23 Tahun 2004 pasal 2 ayat 2 yang berisi: “kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama
terhadap perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga”. Namun, adanya UU tersebut tetap tidak
mengurangi kejadian KDRT dalam kehidupan sehari-hari. KDRT
merupakan intimidasi yang disengaja antara satu pihak ke pihak
lainnya, bisa dari suami ke isteri maupun sebaliknya atau kepada
anggota keluarga lainnya. Hal yang termasuk kekerasan tersebut
diantaranya kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual.
Kekerasan ini dapat terjadi pada siapa saja. Kadangkala masalah ini
diabaikan, dimaafkan, atau bahkan disangkal sehingga banyak korban
yang tidak melaporkan kasus ini kepada pihak yang berwajib
walaupun mereka tahu, hal tersebut sudah melanggar UU pemerintah.
Korban pada kasus ini tidak melihat umur, jenis kelamin,ras, budaya,
agama, pendidikan, pekerjaan, serta status pernikahan. Walaupun pria
(suami) dan wanita (isteri) sama-sama bisa menjadi korban (Crome,
2006)
Keterbatasan ekonomi keluarga menjadi penyebab utama KDRT
dan perceraian. Faktor yang mengedepankan uang di atas segala-
galanya itu bahkan dapat menjadi pemicu kekerasan seksual pada
anak sendiri. Pengeluaran dalam memenuhi kebutuhan keluarga
menjadi alasan yang kuat untuk menjadikan faktor sebagai penyebab
utama KDRT. Terkadang, karena faktor istri yang tidak bekerja dan
suami berpenghasilan pas-pasan atau malah menganggur sering
menjadi penyebabnya. Dalam situasi yang tertekan seperti ini,
membuat akal sehatnya mulai lemah dan kehilangan kendali diri
(Anggraini, 2007).
Pendidikan pun menjadi salah satu faktor penyebab banyak
terjadinya KDRT. Rendahnya Pendidikan istri dapat menyebabkan
suami berpikir untuk dapat melakukan apapun terhadap istrinya
karena merasa lebih tinggi. Selain itu, tidak sedikit istri yang
berpendidikan rendah memandang suaminya berkedudukan lebih
tinggi sehingga merasa takut untuk melaporkan kekerasan yang
dialami olehnya (Fildzah, 2018)
Tambahkan data yang menjelaskan prevalensi atau jumlah KDRT
yang dipicu oleh faktor ekonomi dan faktor pendidikan sehingga dapat
menjelaskan alasan dituliskannya lap kasus ini.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji faktor
ekonomi dan faktor pendidikan sebagai pemicu terjadinya KDRT,
agar masyarakat Indonesia dapat mencegah dan menurunkan angkat
KDRT di Indonesia.
II. Laporan Kasus
Ny. S berumur 47 tahun. Beliau tinggal di rumah pribadi milik
beliau di Jalan Pepaya Raya blok 5 RT 012/15 Semper Barat
Cilincing, Jakarta Utara. Beliau beragama Islam dan pekerjaan beliau
saat ini adalah sebagai ibu rumah tangga. Pendidikan terakhir beliau
saat ini adalah Sekolah Dasar. Beliau tidak memiliki penghasilan dan
bergantung pada suaminya. Ny. S dan suami dikarunia 3 orang anak.
Ny. S dan suami menikah pada tahun 1992 di KUA Cilincing, Jakarta
Utara. Sejak awal menikah, Ny. S sering mengalami kekerasan fisik
dan kekerasan psikis dari suaminya. Suami dikenal sebagai orang
yang memiliki sifat temperamental.
Pada saat Ny. S melahirkan anak pertama, kebetulan pada saat itu
adik kandung Ny. S yang berusia 14 tahun, tinggal bersama dengan
tujuan untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Tetapi justru suami
Ny. S mengajak adik Ny. S untuk melakukan hubungan seksual dan
itu sudah dilakukan beberapa kali, dengan alasan sang suami belum
dilayani hubungan seks oleh Ny. S karena masih dalam masa nifas.
Suami Ny. S juga beberapa kali melakukan hubungan seksual dengan
Asisten Rumah Tangga (ART). Tetapi Ny. S tidak melaporkan karena
takut akan diceraikan oleh suaminya.
Pada tahun 2018, Ny. S pernah bertanya kepada suaminya kenapa
tidak menjemput anak sekolah dan tidak memberi kabar. Lantas
pertanyaan itu membuat sang suami emosi tidak terkontrol dan beradu
mulut sehingga suami melakukan KDRT fisik dengan memukuk Ny. S
bertubi-tubi hingga membuat Ny. S mengalami luka berat di bagian
kepala dan tubuhnya. Waktu itu, Ny. S tidak melaporkan kasus karena
masih ingin mencoba untuk mempertahankan pernikahan yang sudah
berlangsung selama 27 tahun.
Suatu ketika pada saat keadaan ekonomi sedang tidak stabil, suami
Ny. S pernah menyuruh Ny. S untuk menjual diri di salah satu
lokalilasasi di Jakarta Utara supaya dapat terpenuhi rumah tangganya.
Tetapi Ny. S menolak keras karena bertentangan dengan ajaran agama
Islam dan Ny. S memilih untuk lebih baik kelaparan daripada menjual
diri.
Perilaku sang suami dari dulu hingga sekarang tidak ada perubahan
untuk menjadi lebih baik, justru makin menjadi-jadi dan masih suka
main perempuan lain sehingga membuat mitra Ny.S tidak tahan lagi
untuk mempertahankam rumah tangga dengan suaminya dan sekarang
bertekad untuk menggugat cerai suaminya.
III. Diskusi

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu


bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh kaum perempuan. Sejauh
ini KDRT merupakan salah satu isu kesehatan masyarakat secara
global. Data tahunan Indonesia dari Komnas Perlindungan Perempuan
mencatat bahwa tindak kekerasan pada perempuan terutama kekerasan
di ranah domestik mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tahun
2010 tercatat kekerasan dalam rumah tangga berjumlah 101.128
kasus, tahun 2011 sebanyak 113.878. Jumlah ini mengalami
peningkatan sebanyak 5,9 %. Sedangkan untuk tahun 2012 dengan
jumlah 142.662 kasus juga mengalami peningkatan sebesar 11,61 %
jika dibandingkan dengan kasus tahun sebelumnya. Dengan tingginya
kejadian KDRT dapat memberi dampak buruk bagi kesehatan istri
selaku korban. Dampak tersebut meliputi rasa takut, cemas, letih,
kelainan, stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur yang
merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang
akibat tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan
reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya
mengakibatkan terganggunya secara sosiologis. Perempuan yang
mengalami kekerasan dalam rumah tangga dapat menyebabkan
terganggunya kesehatan reproduksi, diantaranya gangguan menstruasi
seperti menorhagia, hipomenorhagia atau metrorhagia, bahkan wanita
tersebut dapat mengalami menopause lebih awal, mengalami
penurunan libido, dan ketidakmampuan mendapatkan orgasme
sebagai akibat tindak kekerasan yang dialaminya. (Ramadani, 2015)

KDRT juga terjadi karena masalah ekonomi. Perempuan


mempunyai akses terbatas dalam bidang pendidikan dan
pelatihan-pelatihan, sehingga jenis pekerjaannya pun terbatas.
Perempuan lebih terkonsentrasi pada pekerjaan feminin yang bergaji
rendah, tidak permanen, dan cenderung bersifat informal.
Masalah hukum juga menjadi penyebab terjadinya KDRT. Hak-
hak perempuan di depan hukum cenderung lebih lemah daripada
laki-laki. Dibanding laki-laki, perempuan juga sering kurang
mendapat perhatian. Dalam bidang politik, posisi perempuan
kurang kuat dibanding laki-laki, sehingga peristiwa KDRT secara
politis kurang mendapat perhatian masyarakat (Sushma, 2000).

Perempuan yang pendidikan dan ketrampilannya rendah serta


berasal dari keluarga kurang mampu, lebih didorong untuk segera
menikah. Hal ini karena keberadaan mereka dianggap
memberatkan keuangan keluarga. Setelah menikah maka tanggung
jawab orangtua pada anak perempuan berpindah kepada
suaminya.Ketika isteri dianggap kurang menguntungkan suami,
maka istri akan mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan, kekerasan, bahkan mungkin saja dibunuh. Contoh
perlakuan buruk dalam bidang ekonomi yang diterima istri antara lain
suami tidak memberi uang belanja, atau justru suami menghabiskan
uang istri (Anggraini, 2007).

Permasalahan ekonomi yang didapatkan antara lain rendahnya


pendapatan keluarga karena gaji suami rendah, suami tidak bekerja
maupun suami tidak dapat bekerja (akibat disabilitas atau terjerat
kasus kriminal), adanya penelantaran rumah tangga (ditandai dengan
tidak adanya pemenuhan nafkah oleh suami), ada pula rumah tangga
yang harus terbelit urusan hutang piutang. Domestic Violence
Roundtable mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang
menghambat seorang korban untuk melaporkan kekerasan yang
diterimanya adalah ketergantungan ekonomi. Sebuah survey yang
dilakukan oleh Los Angeles Police Department (LAPD) menyebutkan
bahwa penyintas dengan ketergantungan ekonomi memilih untuk
tidak melaporkan KDRT yang diterimanya. Hal ini disebabkan karena
penyintas memiliki kekhawatiran akan keberlangsungan hidupnya
setelah melakukan pelaporan. Penyintas memiliki pemikiran bahwa
dia tidak memiliki keterampilan mupun modal untuk bekerja apabila
harus menjalani hidup terpisah dari pelaku KDRT (Setiawan, 2018).

Faktor rendahnya pendidikan isteri membuat suami merasa selalu


memilki kedudukan lebih dalam rumah tangga. Para suami
menganggap isteri hanyalah hanyalah pelaku kegiatan rumah tangga
sehari hari. Selain itu juga ada suami yang malu mempunyai istri yang
pendidikannya rendah, lalu melakukan perselingkuhan. Ketika
diketahui oleh istrinya, malah istri mendapat perlakuan kekerasan dari
suami. Ada anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
merupakan urusan intern suami istri yang hubungan hukumnya terikat
di dalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum keperdataan.
Isteri yang mengalami kekerasan yang berpendidikan rendah juga buta
terhadap pengetahuan di bidang hokum. Dengan demikian tatkala
terjadi pelanggaran dalam hubungan antar individu tersebut
penegakkan hukumnya diselesaikan dengan mengajukan gugatan ke
pengadilan oleh si isteri yang merasa dirugikan. Dalam hal ini hakim
biasanya menyelesaikan dengan merujuk pada UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Undang-undang perkawinan tidak mengatur
sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku KDRT seperti halnya
hukum publik (hukum pidana). Hal tersebut menyebabkan tidak
adanya efek jera bagi suami sebagai pelaku kekerasan, sehingga
kekerasan tersebut tetap saja terjadi untuk seterusnya (Kurniasih,
2011)
IV. Pandangan Islam Terhadap Ekonomi dan Pendidikan dalam
KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebuah perkara yang


sering kali menghiasi kehidupan pernikahan. Terkadang perceraian
terjadi karena suami melakukan KDRT atau sebaliknya istri
membangkang dan tidak mau mentaati suaminya. KDRT tak hanya
identik dengan tindakan yang menjurus pada kriminalis nyata seperti
pemukulan, penganiayaan, intimidasi dan hal yang melukai badan.
Namun perkara yang sifatnya spiritual emosional, dan perkara-perkara
yang tidak kasat mata juga dikategorikan sebagai KDRT (Abu
Hamzah, 2010)

Islam adalah agama yang mengusung perdamaian dan anti


kekerasan. Ketika kekerasan terjadi dipastikan keharmonisan keluarga
terkoyak dan berbagai prahara tidak terelakkan. Batin menderita
lantaran orang yang semestinya mencurahkan segala cinta dan
perhatiannya justru berbalik arah dengan melakukan kezaliman dalam
ucapan maupun perbuatan. Dalam hadits qudsi Allah ta’ala berfirman,

‫ظا فَلَ م َح َّر ًما َبينَكم َو َجعَلتَ ِه نَفسِي َعلَى الظل َم َح َرمت إِ ِِنِي دِي يَا ِعبَا‬
َ َ‫لَمو ت‬

“Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya aku telah


mengharamkan kezaliman atas diriku. Dan aku menetapkannya
sebagai perkara yang diharamkan diantara kalian. Maka janganlah
kalian saling menzalimi”. (Shalih Muslim (IV/1583), (2577).

Di antara wujud KDRT yang terkadang terlupakan di antara kaum


muslimin adalah perasaan benci kepada pasangan. Seorang suami
menzalimi istrinya dengan ucapan-ucapan pedas, bersikap kasar dan
terlalu menuntut kesempurnaan dari pasangannya. Dia melupakan
bahwa istri pun memiliki kelebihan disamping kelemahan yang
memang setiap orang tidak bisa terlepas darinya. Allah ta’ala
berfirman:

‫وف َو َعا ِشروه َّن‬ َ ‫ّللا َو َيج َع َل شَيئًا ت َك َرهوا أَن فَ َع‬
ِ ‫سى ك َِرهتموه َّن فَإِن ِبال َمعر‬ َّ ‫ِفي ِه‬
ً ِ‫َكث‬
‫يرا خَي ًرا‬

“Dan pergaulilah dengan mereka (istri) secara patut. kemudian


bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa : 19).

Islam dikenal sebagai agama universal atau (syumuli) yang


menjadi pegangan hidup manusia. Di dalamnya mengandung
pranata sosial, politik, ekonomi, budaya maupun pendidikan. Islam
juga merupakan sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-
revolutif yang menjadi tantangan yang mengancam bagi struktur yang
menindas, sebagaimana yang terekam dalam lintas sejarah diawal
kehadiran Islam ditengah-tengah suku Qurays Makkah Tujuan
dasarnya adalah persaudaraan universal (universal brotherhood),
kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice). (Asghar Ali
Engineer, 1999)

Pandangan Islam tentang pendidikan, salah satu diantara


ajarannya adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan
dan menegakkan kepentingan pendidikan, terutama melakukan
pembaruan ketika di berbagai aspek mengalami stagnasi atau
kebobrokan. Dalam pendidikan, terkandung nilai-nilai sakral yang
bisa mengantarkan manusia menjadi sosok berguna. Karena menurut
ajaran Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup mutlak harus
dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia
dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan
berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dan kehidupannya.
(Abu Hamzah, 2010)

Surat Ar’-Rad ayat 16

‫ّللا ۚ قل أ َ َفاتَّخَذتم ِمن دونِ ِه أَو ِل َيا َء ََل َيم ِلكونَ ِْلَنف ِس ِهم نَف ًعا‬
َّ ‫ض ق ِل‬ِ ‫ت َواْلَر‬ ِ ‫س َم َاوا‬
َّ ‫قل َمن َربُّ ال‬
َ ُّ
ِ‫صير أم هَل ت َست َ ِوي الظل َمات َوالنُّور ۗ أم َجعَلوا ِ َّلِل‬ َ َ
ِ َ‫ض ًّرا ۚ قل هَل يَست َ ِوي اْلع َم ٰى َوالب‬ َ ‫َو ََل‬
‫احد القَ َّهار‬ ِ ‫ّللا خَا ِلق ك ِل شَيءٍ َوه َو ال َو‬ َّ ‫ش َركَا َء َخلَقوا َكخَل ِق ِه فَتَشَا َبهَ الخَلق َعلَي ِهم ۚ ق ِل‬

Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya:


“Allah”. Katakanlah: “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-
pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka
sendiri?”. Katakanlah:

“Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah
gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan
beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-
Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?”
Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah
Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.

V. Kesimpulan
Pada pembahasan diatas memang dijelaskan bahwa adanya
korelasi antara faktor ekonomi dan faktor pendidikan dengan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada kasus Ny. S, yang tidak
memiliki penghasilan yang cukup akan rentan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangganya. Karena kurangnya pendidikan pada Ny. S
pun mengakibatkan Ny. S sering diperlakukan buruk oleh suaminya
karena menganggap suami lebih superior dan lebih bergantung pada
suaminya. Dalam Islam pun sudah tercantum bahwa kekerasan dalam
rumah tangga sangat dilarang, dan hendaknya seorang manusia untuk
menuntut ilmu agar mengetahui mana yang benar dan salah dalam
hidupnya, sehingga terhindar dari kejadian-kejadian yang tidak
diinginkan.
VI. Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih atas bimbingannya dalam pembuatan
laporan kasus ini, kepada:
1. 1. Allah SWT, atas ridho-Nya penyusunan laporan kasus ini
dapat terlaksana
2. 2. Rasulullah SAW, karenanya saya dapat mengetahui tentang
Islam
3. 3. Dr. drh. Titiek Djannatum selaku Koordinator Penyusun
Blok Elektif
4. 4. dr. RW. Susilowati, M.Kes selaku Koordinator Pelaksana
Blok Elektif
5. 5. dr. Ferryal Basbeth, SpF selaku Pengampu Domestic
Violence
6. 6. Dr. Elita Donanti, M.Biomed selaku Tutor Domestic
Violence
7. 7. Dokter dan seluruh pihak LBH APIK
8. 8. Seluruh anggota kelompok Domestic Violence
9. 9. Seluruh teman sejawat Universitas YARSI
10. 10. Dan ucapan terima kasih kepada Universitas YARSI
Daftar Pustaka

Ali Engineer, Asghar. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan, terj.


Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung:


CV Darus Sunnah.

Ayu Adiati F, Fildzah. 2018. Hubungan tingkat pendidikan


dengan usia menikah korban kekerasan dalam rumah tangga di kota
semarang. Semarang. Vol. 7, No. 1, Januari 2018 : 199-207

Crome, S. (2006). Male survivors of sexual assault and rape.


ACSSA Wrap. Australian Centre for the Study of Sexual Assault. No.
2, September, 1-8.

Fachrina. Nini, Anggraini. 2007. Kekerasan terhadap


perempuan dalam keluarga padamasyarakat Minangkabau
kontemporer. Artikel Penelitian. Padang: Fakultas Ilmu Sosial &
Ilmu Politik Universitas Andalas.

Hamzah Abdul Lathif al – Ghamidi, Abu. 2010. Stop kekerasan.


Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta,

Kapoor, Sushma. 2000. Domestic Violence against Women and


Girls. Innocenti Digest no. 6.

Kurniasih, Nani. 2011. Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap


Kekerasan Yang Berbasis Gender. Makalah

Ramadani, Mery. 2015. Kekerasan dalam rumah tangga (kdrt)


sebagai salah satu isu kesehatan masyarakat secara global. Sumatera
Barat. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Andalas.
Setiawan, Cynthia Nathania. 2018. Faktor-faktor yang
memengaruhi kejadian kekerasan dalam rumah tangga dan pelaporan
pada pihak kepolisian. Jurnal kedokteran diponegoro. Vol. 7, No. 1,
Januari 2018 : 127-139

Vous aimerez peut-être aussi