1. Zakat Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pasal 1 ayat 2, definisi zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat islam. Menurut Riyandono (2008:2-3) kata zakat dalam bentuk ma‟rifah (definisi) disebut sebanyak 30 kali di dalam Al- qur‟an, diantara 27 kali disebutkan dalam 1 ayat bersama sholat, dan hanya 1 kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan sholat tetapi tidak di dalam 1 ayat. Apabila diperiksa ketiga puluh kali zakat disebutkan itu delapan terdapat di dalam surat-surat yang turun di makkah dan selebihnya di dalam surat-surat yang turun di madinah. Zakat dalam istilah ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya. Zakat merupakan perintah agama yang wajib dilaksanakan oleh umat islam yang mampu dalam melaksanakannya. 2. Infaq Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, di pasal 1 ayat 3 terdapat pengertian infak. Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha diluar zakat untuk kemaslahatan umat. Menurut hasan (2006:91) zakat dan infak adalah tumpukan harta yang dikumpulkan dari para muzaki (wajib zakat) dan dermawan, yang akan dibagikan dan disalurkan kembali. Menurut Hafidhuddin (1998:14) infak berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu harta untuk kepentingan sesuatu. Infak menurut terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan atau penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan maupun tidak. 3. Shodaqoh Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pasal 1 ayat 4, sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha diluar zakat untuk kemaslahatan umat. Menurut Hafidhuddin (1998:15) sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti „benar‟ orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentu-ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan dengan materi, sedangkan sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat nonmateriil. Menurut Qordawi (2007) dalam Riyandono (2008:3-5) mengatakan “sedekah itu adalah zakat dan zakat itu adalah sedekah” berbeda nama tetapi arti sama.” Sedekah secara hukumnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu, sedekah wajib dan sedekah tidak wajib. Sedekah wajib dikategorikan zakat sedangkan sedekah yang tidak wajib dikategorikan infak. Zakat wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nisab, telah dimiliki selama setahun, besarnya telah ditentukan dan syarat lainnya telah terpenuhi. Apabila syarat-syarat zakat tersebut telah terpenuhi maka jika tidak ditunaikan maka pemilik harta tersebut telah melanggar perintah Allah SWT, sedangkan infaq boleh dikeluarkan secara suka rela baik harta tersebut belum atau telah mencapai syarat-syarat untuk berzakat. Dengan demikian, orang yang berzakat itu sebenarnya belum memberikan hartanya melainkan hanya menunaikan kewajiban atas hartanya, sedangkan yang dikategorikan memberikan hartanya (bersedekah) adalah orang yang berinfak, karena dalam setiap harta yang dimiliki oleh seseorang itu ada hak bagi orang yang miskin dan orang tidak beruntung dalam perekonomian. 4. Wakaf Wakaf ialah suatu bentuk penyerahan harta sama ada secara (sorih) terang, atau (kinayah) sindiran, di mana harta berkenaan ditahan dan hanya manfaatnya sahaja yang diaplikasikan untuk tujuan-tujuan kebajikan sama ada berbentuk umum maupun khusus. Dari segi istilah ia bermaksud menahan sesuatu harta seseorang untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Harta yang diwakafkan hendaklah berada dalam keadaan yang baik, kekal dan tujuan ia melakukan wakaf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memberi kebajikan kepada orang lain. Pewakaf juga tidak lagi mempunyai hak ke atas harta wakaf tersebut. Muhammad ‘Arfah al-Dusuqi pula menjelaskan bahawa wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu harta yang dimiliki kepada orang yang berhak dengan satu akad dalam jangka masa tertentu, sesuai dengan kehendak pewakaf. Menurut Ibn Qudamah dari ulama Mazhab Hanbali menyatakan bahawa wakaf adalah menahan yang asal dan memberikan hasilnya. B. Komoditi Zakat 1. ZakatFitrah Zakat ini merupakan zakat yang diwajibkan untuk setiap pribadi Muslim. Menurut Qardhawi (Muhammad 2006: 32), disebut zakat fitrah karena bertujuan untuk menyucikan diri orang yang berpuasa dari ucapan dan perbuatan yang tidak berguna. Zakat ini diwajibkan setelah terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan hingga khatib naik mimbar pada shalat sunnah hari raya Idul Fitri. Pelaksanaan zakat fitrah tidak mensyaratkan kecuali beragama Islam dan adanya kelebihan dari makanan pada hari dan malam hari raya. Dengan demikian zakat fitrah tidak mensyaratkan nishab bagi yang mengeluarkannya. Disamping itu, zakat fitrah didasarkan pada jumlahnya, yaitu satu sha’ (4 mud/2,5 kg/3,5 liter), baik keju, anggur, gandum, beras, kismis atau makanan pokok lainnya. 2. ZakatMal a. Emas dan Perak Zakat emas dan perak disini termasuk naqdani (dua mata uang) yaitu dinar dan dirham dan perhiasan. Ada perbedaan pendapat yang masyhur dikalangan ulama menganai perhiasan yang dipakai, tapi mayoritas ulama berpendapat wajib mengeluarkan zakat dari perhiasan yang dipakai, atau disiapkan untuk dipakai, atau dipinjamkan apabila sudah mencapai nishab dan haulnya. Adapun nishab dari emas adalah 20 misqal atau 20 dinar yang setara dengan 85 gram emas. Sedangkan nishab dari perak adalah 200 dirham yang setara dengan 595 gr perak. Adapun kadar zakat emas apabila telah mencapai 85 gr yaitu sebesar seperempat dari sepersepuluh (2,5%) yaitu sebesar 2,125 gr emas. Sedangkan kadar zakat untuk perak yaitu apabila telah mencapai 595 gr, maka kadar zakat yang dikeluarkan adalah seperempat dari sepersepuluh (2,5%) yaitu setara dengan 14,875 gr perak. b. Komoditas Dagang Komoditas dagang yaitu barang-barang yang disiapkan untuk jual beli dalam transaksi perdagangan seperti makanan, perabotan, real estate dan semisalnya. Adapun nishabnya sebagian ulama berpendapat bahwa nishab dari zakat komoditas dagang sama dengan nishab zakat emas dan perak yaitu senilai 85 gr emas. Kemudian dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari harta perdagangan. c. Binatang Ternak Binatang ternak disini yang dimaksud adalah unta, sapi atau kerbau dan kambing atau domba. Adapun nishab dan kadar wajib zakat dari binatang ternak sesuai yang ada di dalam tabel. Binatang ternak yang bisa dikeluarkan zakatnya adalah binatang yang digembalakan di padang rumput yang mubah. Adapun binatang ternak yang yang diambilkan makanannya dan yang dipekerjakan untuk pertanian, pengangkutan barang dan transportasi tidak wajib dizakati. d. Pertanian (Buah – buahan dan Biji – bijian). Menurut pendapat para ulama bahwa pertanian yang wajib dizakati adalah Biji makanan yang mengenyangkan seperti beras, jagung, gandum dan sebagainya sedangkan buah – buahan yang wajib dizakati hanya kurma dan anggur saja, sedangkan buah – buahan lainnya tidak wajib zakat. Adapun nishab dari zakat pertanian adalah lima wasaq yang setara dengan 300 sho‟ atau 653 kg. Kadar wajib zakat dari hasil pertanian dibagi menjadi dua macam yaitu: 1) Hasil pertanian yang diairi dengan air hujan, mata air, dan sungai, maka kadar wajib zakatnya adalah sepersepuluh (10%) dari 652 kg, sehingga yang dia keluarkan adalah 65,2 kg. 2) Hasil pertanian yang diairi dengan biaya seperti irigasi buatan yang menggunakan alat atau perlengkapan lainnya, maka kadar wajib zakatnya adalah setengah sepersepuluhh (5%) dari 652 kg, sehingga yang dikeluarkan adalah 32,6 kg Adapun mengenai haulnya atau waktu mengeluarkan zakatnya, tidak disyaratkan untuk zakat pertanian (biji – bijian dan buah – buahan), bahkan zakatnya dibayarkan ketika panen. e. Rikaz (Harta Terpendam) dan Mada‟in (Barang Tambang) Rikaz adalah harta yang ditemukan terpendam dalam bumi berupa harta kekayaan orang – orang jahiliyah, perhiasan mereka, dan uang mereka. Sedangkan Mada‟in adalah barang – barang yang ditambang dari perut bumi yang memiliki nilai ekonomis. Di dalam sebuah hadist menunjukkan bahwa rikaz itu wajib dizakati secara mutlak, artinya baik rikaz itu dalam jumlah besar atau kecil tetap harus dizakati. Sedangkan nishab dari mada‟in tidak ada dalil yang menunjukkan secara pasti. Adapun kadar zakat rikaz adalah seperlima (20%) dari rikaz tersebut baik banyak maupun sedikit. Sedangkan kadar zakat mada‟in menurut para ulama adalah mengqiyaskan barang tambang dengan emas dan perak yaitu sebesar seperempat dari sepersepuluh (2,5%) karena barang tambang sekarang seperti barang – barang berharga dan bernilai ekonomis. Dalam rikaz dan mada‟in itu sendiri tidak disyaratkan haul dalam mengeluarkan zakat. Maksudnya zakat rikaz dan mada‟in dibayarkan setelah mendapatkan barang tersebut. C. Lembaga- Lembaga Undang- undang No. 23 tahun 2011 menyebutkan bahwa lembaga pengelolaan zakat di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat ( LAZ ) yang dibentuk oleh masyarakat. 1. Badan Amil Zakat Nasional ( BAZNAS ) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, pemerintah membentuk BAZNAS yang berkedudukan di ibu kota negara. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui mentri. Dalam melaksanakan tugasnya BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a. Perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. b. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. c. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. d. Pelaporan dan pertanggung jawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. 2. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala. Pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri. Izin pembentukan LAZ hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan. D. Lembaga Wakaf 1. BWI ( Badan Wakaf Indonesia ) Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, Keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden Republik Indonesia. Jadi, BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat. BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua dan dua orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsur pengawas pelaksanaan tugas BWI. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 orang dan paling banyak 30 orang yang berasal dari unsur masyarakat. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri. Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. Sementara itu, BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut: a. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional. c. Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf. d. Memberhentikan dan mengganti nazhir. e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf. f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Pada ayat 2 dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam melaksanakan tugas-tugas itu BWI memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia, seperti tercermin dalam pasal 50. Terkait dengan tugas dalam membina nazhir, BWI melakukan beberapa langkah strategis, sebagaimana disebutkan dalam PP No.4/2006 pasal 53, meliputi: a. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik perseorangan, organisasi dan badan hukum. b. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf. c. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi wakaf. d. Penyiapan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak atau benda bergerak. e. Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada nazhir sesuai dengan lingkupnya. f. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf. Tugas-tugas itu, tentu tak mudah diwujudkan. Jadi, dibutuhkan profesionalisme, perencanaan yang matang, keseriusan, kerjasama, dan tentu saja amanah dalam mengemban tanggung jawab. Untuk itu, BWI merancang visi dan misi, serta strategi implementasi. Visi BWI adalah “Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional”. Sedangkan misinya yaitu “Menjadikan Badan Wakaf Indonesia sebagai leambaga profesional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat”. Adapun strategi untuk merealisasikan Visi dan Misi Badan Wakaf Indonesia adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan wakaf Indonesia, baik nasional maupun internasional. b. Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan. c. Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf. d. Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf. e. Mengkoordinasi dan membina seluruh nazhir wakaf. f. Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf. g. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf. h. Menghimpun, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional. Untuk merealisasikan visi, misi dan strategi tersebut, BWI mempunyai 5 divisi, yakni Divisi Pembinaan Nazhir, Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf, Divisi Kelembagaan, Divisi Hubungan Masyarakat, dan Divisi Peneltian dan Pengembangan Wakaf. 2. PPAIW ( Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ) Dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf bab 3 pada bagian ketiga pasal 37 : a. PPAIW harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala KUA dan/atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf. b. PPAIW harta benda wakaf bergerak selain uang adalah Kepala KUA dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri. c. PPAIW harta benda wakaf bergerak berupa uang adalah Pejabat Lembaga Keuangan Syariah paling rendah setingkat Kepala Seksi LKS yang ditunjuk oleh Menteri. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 tidak menutup kesempatan bagi wakif untuk membuat AIW di hadapan Notaris. e. Persyaratan Notaris sebagai PPAIW ditetapkan oleh Menteri. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau disingkat dengan PPAIW adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW). Yang dimaksud dengan pejabat disini adalah orang yang diberikan tugas dan kewenangan yang sah menurut hukum untuk membuat AIW. Sedangkan AIW adalah bukti pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola Nadzir (pengelola wakaf) sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk “akta”. Sedangkan yang dimaksud “akta” sendiri adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta merupakan salah satu alat bukti tertulis (surat). Keharusan ditandatanganinya suatu akta didasarkan pada ketentuan pasal 1869 BW, dengan tujuan untu mengindividualisir suatu akta sehingga dapat membedakan dari satu akta dengan yang lainnya. Kemuadian yang dimaksud dengan penandatanganan dalam akta adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf (singkatan tanda tangan) dianggap belum cukup. Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditujuk oleh undang-undang yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta dihadapan pejabat tersebut. Pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking.