Vous êtes sur la page 1sur 35

0

Aspek Pengubah Hukum Dalam Perspektif


Budaya Hukum Indonesia

Muhammad Eko Purwanto 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang


abstrak, akan tetapi meskipun bersifat abstrak, hukum dibuat untuk
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya
suatu kegiatan untuk mewujudkan ide-ide tersebut ke dalam masyarakat yang
senantiasa berubah, baik perubahan yang berkembang secara alami, perubahan
masyarakat yang cepat (revolusioner) maupun perubahan masyarakat yang
direncanakan dan diarahkan secara bertahap dan wajar.

Dalam konteks yang demikian, maka titik tolak pemahaman terhadap


hukum tidak sekedar sebagai suatu blue print yang ditetapkan melalui berbagai
bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan hukum hendaknya dilihat
sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat melalui tingkah
laku warga masyarakat. Realitas tersebut berarti titik perhatian harus ditujukan
kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non hukum lainnya,
terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat yang disebut
dengan kultur hukum atau budaya hukum.

Walaupun pengembangan mengharuskan rangkaian perubahan, akan


tetapi sangat mutlak pula dipeliharanya ketertiban dalam masyarakat. Hukum
sebagai sarana yang penting untuk memelihara ketertiban harus
dikembangkan, sehingga dapat memberi ruang gerak bagi perubahan
masyarakat. Bukan sebaliknya, menghambat usaha pembaharuan karena
semata-mata ingin mempertahankan nilai-nilai lama. Sesungguhnya hukum
dapat tampil ke depan menunjukkan arah dan memberi jalan bagi perubahan.

Sejalan dengan itu, maka diperlukan upaya pengembangan hukum, yang


sering diartikan sebagai penyelenggaraan perubahan tertentu terhadap
1
Alumni Program S2 Magister Ilmu Hukum, pada Pascasarjana Universitas Islam As-
Syafi’iyyah (UIA) Jakarta (NIM : 2220150017), dan Dosen Prodi Manajemen STIE BII (NIDN :
0410126601).
1

masyarakat (law is a tool of social engineering), dan tentunya pengembangan yang


diharapkan oleh hukum adalah perubahan masyarakat yang secara teratur,
terkendali, efektif dan efisien. Namun hukum senantiasa dibatasi oleh situasi
atau lingkungan dimana ia berada, sehingga tidak heran kalau terjadi
ketidakharmonisan antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang
senyatanya (das sein). Dengan perkataan lain, muncul diskrepansi antara law in
the books dan law in action.

Sehubungan dengan hubungan antara hukum dengan masyarakat


tersebut, H. Abdul Manan mengemukakan sebagai berikut:

Hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal
yang menarik adalah justru hukum tertinggal di belakang objek yang diaturnya.
Dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa antara hukum dan perilaku sosial
terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat mencolok. Apabila hal ini terjadi,
maka akan timbul ketegangan yang semestinya harus segera disesuaikan supaya
tidak menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, tetapi usaha ke arah ini
selalu terlambat dilakukan.2

Realitas ini menunjukkan bahwa perubahan hukum meliputi segala segi


kehidupan, sehingga dengan demikian mempunyai jangkauan yang amat luas,
sebab terjadinya juga bermacam-macam, seperti kemajuan ilmu pengetahuan
dan hubungannya dengan mental manusia, kemajuan teknologi dan aplikasinya
dalam masyarakat, kemajuan sebagai sarana komunikasi, transportasi,
urbanisasi, perubahan tuntutan manusia, peningkatan kemampuan manusia,
dan lain-lain.

Perkembangan dan perubahan sosial yang demikian pesat sebagai akibat


dari perkembangan teknologi dan industri, menghendaki hadirnya suatu
tatanan hukum yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang dikehendaki
masyarakat. Bagi Indonesia tujuan pengembangan yang dicita-citakan itu sudah
dirumuskan di dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Memperhatikan realitas tersebut, hukum bukanlah suatu institusi yang


statis, ia mengalami perkembangan, hukum itu berubah dari waktu ke waktu.
Konsep hukum seperti “Rule of Law” sekarang ini juga tidak muncul dengan

2
Abdul Manan, H. 2006. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada Media. Jakarta.
Hlm. 72.
2

tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri.


Dalam hubungan ini, teori pada dasarnya sangat ditentukan oleh bagaimana
orang atau sebuah komunitas memandang apa yang disebut hukum itu, artinya
apa yang sedang terjadi atau perubahan yang tengah terjadi dimana komunitas
itu hidup sangat berpengaruh terhadap cara pandangnya tentang hukum.

Oleh sebab itu sebuah teori yang digunakan pada masa kini selanjutnya
akan mengalami proses pengkritisan, yaitu terus menerus berada pada wilayah
yang labil, selalu berada pada wilayah yang keos. Artinya disini teori bukan
sesuatu yang telah jadi, tetapi sebaliknya akan semakin kuat mendapat tantangan dari
berbagai perubahan yang berlangsung, dan kemudian akan lahir teori-teori baru sebagai
wujud dari perubahan yang terus berlangsung, sehingga akan diperoleh teori
pengembangan hukum.

Untuk itu, dalam rangka penyelenggaraan pengembangan nasional


secara tertib dan berencana harus dilakukan melalui sarana hukum, disebabkan
hukum mempunyai fungsi yang esensil dalam mendukung pengembangan
berbagai aspek kehidupan, yaitu:

Pertama, hukum merupakan penjelasan ide dan pengalaman manusia


dalam mengatur hidupnya.
Kedua, hakikat keberadaan hukum dalam suatu masyarakat, terutama
untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Ketiga, hukum juga berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengaman,
pelindung, dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaptif
dan fleksibel melainkan juga prediktif dan antisipatif.
Keempat, dalam isu pengembangan global, hukum telah dipercaya
untuk mengemban misinya yang paling baru, yaitu sebagai sarana
perubahan sosial dan pengembangan.3

Dalam kaitan ini, krisis yang terjadi di masyarakat barangkali merupakan


tantangan langsung terhadap hukum, ketimbang aktivitas sosial lainnya, karena
hukum terutama dalam pengembangan berperan untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Hal ini didasarkan pada suatu
kenyataan, bahwa setiap pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam
norma, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan
bersama yang tertib dan tentram.

3 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung. Hlm. 123.
3

Implikasi peranan hukum dalam pergaulan hidup manusia, maka


hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat yang serba berubah,
dan harus mampu menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan yang juga
berubah-ubah. Oleh sebab itu, tidak perlu ada kontradiksi antara pembaharuan
hukum (tertulis) dengan nilai-nilai dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat.

Dengan demikian, pemikiran terhadap peranan hukum sebagai alat


perubahan dan pengembangan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh
Roscoe Pound, perlu ditempatkan pada persepsi yang disepakati bersama
untuk memahami sifat, hakekat dan konsekuensi diterimanya suatu konsepsi.
Apabila hukum diberi peranan sebagai sarana perubahan dan pengembangan,
maka pemikiran ini membuktikan adanya kesadaran terhadap pengaruh timbal
balik antara hukum dan masyarakat.

Teori Pound mengenai kepentingan-kepentingan sosial merupakan


sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan suatu model hukum
responsif. Dalam perspektif ini, hukum yang baik seharusnya memberikan
sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum tersebut harus
kompeten dan juga adil, hukum seharusnya mampu mengenali keinginan
publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.4

Tradisi kaum realis dan sosiologis ini memiliki satu tema utama, yaitu
membuka sekat-sekat dari pengetahuan hukum. Seharusnya ada penghargaan
tinggi kepada semua hal yang mempengaruhi hukum dan yang menjadi
persyaratan bagi efektivitasnya. Dari titik tersebut dimulailah langkah ke arah
pandangan yang lebih luas mengenai partisipasi hukum dan peranan hukum.
Institusi-institusi hukum mestinya meninggalkan perisai perlindungan yang
sempit terhadap hukum otonom dan berubah menjadi instrumen-instrumen
yang lebih dinamis bagi penataan dan perubahan sosial yang bersifat
fungsional.

Hubungan fungsional antara sistem hukum yang dipakai dengan


struktur masyarakat dapat dilihatpada pandangan Emile Durkheim, yang
mengatakan sebagai berikut:

4 Philippe Nonet dan Philip Selznick. 2003. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi.
HuMa. Jakarta. Hlm. 59-60.
4

Sistem hukum yang represif biasanya berlaku dalam masyarakat dengan


solidaritas mekanis, karena ia mampu mempertahankan kebersamaannya
dalam masyarakat. Sedangkan sistem hukum restitutif mempunyai
hubungan fungsional dengan masyarakat melaluui solidaritas organik,
karena sistem ini, memberikan kebebasan kepada masing-masing
individu untuk berhubungan satu sama lain menurut pilihannya sendiri.
Disini hukum hanya mengupayakan untuk mencapai keseimbangan di
antara kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang berinteraksi.5

Meskipun setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya


pada tanggal 17 Agustus 1945, tahap perkembangan masyarakat yang semula
adalah feodalisme menuju masyarakat yang berdasarkan konstitusi, akan tetapi
perkembangan hukum yang demikian itu tidak diiringi dengan perkembangan
masyarakatnya. Akibatnya, nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tetap
saja tradisional dan tidak berubah. Keadaan yang demikian itu tampak
berpengaruh dalam proses penegakan hukum (law enforcement) hingga saat
ini.

Semestinya hukum yang dianut di Indonesia harus sarat dengan nilai-


nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalau demikian halnya, maka hukum
dapat disebut sebagai sistem nilai. Kegagalan untuk mewujudkan salah satu
nilai-nilai tersebut bukan hanya berdampak pada timbulnya sistem hukum
yang tidak baik, melainkan hukum yang dibuat dan diterapkan itupun menjadi
tidak bermakna bagi masyarakat yang bersangkutan.

Lawrence Friedman menjelaskan bahwa faktor nilai yang menimbulkan


perbedaan dalam kehidupan hukum dalam masyarakat lebih disebabkan oleh
kultur hukum. Kultur hukum merupakan sikap-sikap dan nilai-nilai yang
dimiliki oleh masyarakat yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-
lembaganya, baik yang bersifat positif maupun negatif.6

Dalam pada itu, transformasi budaya dan masyarakat Indonesia dari


masyarakat-masyarakat adat dengan kultur yang beraneka ragam menjadi
masyarakat Indonesia dengan budaya yang lebih homogen, membutuhkan
kesabaran dan persuasi yang tinggi, karena senantiasa harus dipelihara
keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Bahwa dalam proses ini terjadi

5 Sunaryati Hartono, CFG. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Alumni. Bandung. Hlm. 83.
6 Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. PT Suryandaru Utama.
Semarang. Hlm. 89.
5

“kemunduran” kiranya dapat dimaklumi, asal saja begitu disadari akan hal
tersebut, maka perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengembalikan proses
ini ke arah tujuan yang hendak dicita-citakan.

Realitas ini menunjukkan perlunya pemikiran terhadap peranan hukum


sebagai alat perubahan dan pengembangan ditempatkan dalam alur persepsi
yang disepakati bersama untuk memahami sifat hakekatnya dan konsekuensi
diterimanya konsepsi tersebut. Apabila hukum diberi peranan sebagai sarana
perubahan dan pengembangan, maka pemikiran ini membuktikan adanya
kesadaran terhadap pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.

Oleh karena itu, hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang


terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakat, sehingga dengan demikian setiap
masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan yang mewujudkan hukum
dengan kekhasannya masing-masing. Dari uraian ini, maka Kelompok 1
merasa tertarik untuk menyusun makalah ini dengan judul, “Aspek Pengubah
Hukum Dalam Perspektif Budaya Hukum Indonesia”

Pokok Permasalahan

Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
dapat dirumuskan, sebagai berikut :

1. Bagaimana hubungan sistem hukum dng budaya hukum masyarakat ?


2. Bagaimana perubahan hukum dalam perspektif budaya hukum Indonesia ?

Tujuan Penelitian

Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini, antara lain sebagai berikut :

1. Hubungan sistem hukum dengan budaya hukum masyarakat.


2. Perubahan hukum dalam perspektif budaya hukum Indonesia.

Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

Dalam membahas permasalahan dalam makalah ini didasarkan pada


kerangka teoritik yang merupakan landasan teoritis, dan landasan ini adalah
upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep
6

hukum, azas-azas hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan
untuk membahas poko permasalahan dalam makalah ini.7

Hukum merupakan sebuah sistem yang sangat kompleks. Keterkaitan


antara satu unsur dalam sebuah sistem tidak dapat dipisahkan. Sebuah sistem
mengharuskan segala sesuatu menjadi saling keterkaitan. Unsur yang satu akan
mempengaruhi unsur yang lainnya. Sebuah sistem tidak akan berjalan jika di
antara unsur tidak terjadi sinkronisasi, koordinasi dan harmonisasi.

Bagi kaum non-dogmatis, hukum bukan sekedar undang-undang,


sebagai contoh yang diungkapkan oleh Eugen Ehrlich,8 mengatakan bahwa :
“hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan
hukum yang hidup, dimana di dalamnya masing-masing terkandung kekuatan kreatif”.

Begitu juga dalam pandangan realisme, hukum itu tidak selalu sebagai
perintah dari penguasa Negara, sebab hukum dalam perkembangannya selalu
dipengaruhi oleh berbagai hal. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan
alat kontrol sosial dalam kehidupan bersama dalam suatu negara. Hukum pada
dasarnya tidak steril dari subsistem kemasyarakatannya. Politik sering kali
melakukan intervensi atas perbuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul
pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum politik yang lebih
suprematif.9

Jika ada pertanyaan demikian atau yang mempertanyakan hubungan


kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum
mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum,10 maka
paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, hukum
determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik dan harus
tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum
karena hukum merupakan hasil dari kehendak-kehendak politik yang saling
berinteraksi dan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem

7 Supasti Dharmawan Ni Ketut. 2006. Metodologi Penelitian Hukum Empiris. Makalah Kedua
dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana Universitas Udayana.
8 Jurnal Tata Negara. Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Prinsip Keadilan dan
Feminisme. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2006.
Hlm. 4
9 Abdul Manan. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. kencana, Jakarta. Hlm. 107-108
10
Moh, Mahfud MD. Mengefektifkan Kontrol Hukum Atas Kekuasaan. Makalah untuk
Seminar Hukum dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, 27
Maret 1996)
7

kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya seimbang


antara yang satu dengan yang lainnya.

Menurut Soerjono Soekanto11, hukum mempunyai tiga dimensi, yaitu


sebagai nilai, kaedah dan perikelakuan. Oleh karena itu maka hukum dapat
dilihat dan dikaji dari berbagai sudut. Hukum sebagai nilai, maka dikaji oleh
filasafat hukum dan politik hukum. Hukum sebagai kaedah dipelajari oleh ilmu
hukum. Sedangkan hukum sebagai perilaku dipelajari oleh Sosiologi Hukum,
antropologi hukum dan psikologi hukum. Lebih lanjut menurut Soerjono
Soekanto,12 dengan metode sejarah, ditelitilah perkembangan hukum dari awal
sampai terjadinya himpunan kaidah-kaidah hukum tertentu. Kemudian hukum
tadi dibanding-bandingkan dengan hukum yang berlaku di masyarakat-
masyarakat lainnya, untuk mendapatkan persamaan dan perbedaan. Itu semua,
merupakan obyek penelitian dari sejarah hukum dan ilmu perbandingan
hukum. Ilmu hukum juga meneliti aspek-aspek yang tetap dari suatu struktur
hukum, aspek-aspek mana dapat dianggap sebagai inti atau dasar dari hukum.

Pada hakekatnya hukum merupakan salah satu produk manusia dalam


membangun dunianya, yang bisa dicermati atau ditelaah melalui interaksi yang
berlangsung di masyarakat. Seperti kata Cicero, Ubi Societes Ibi Ius (di mana
ada masyarakat, di sana ada hukum). Soediman Kartohadiprodjo menyatakan
bahwa “hukum” itu sebenarnya adalah manusia. Dalam artian hukum itu
dilahirkan oleh manusia dan untuk menjamin kepentingan dan hak-hak
manusia itu sendiri. Hukum adalah cermin dari manusia yang hidup. Dan
karena manusia yang hidup oleh Tuhan senantiasa dilengkapi dengan Raga,
Rasa, Rasio dan Rukun, keempat hal inilah yang dipakai untuk membedakan
antara individu yang satu dengan yang lain, masyarakat yang satu dengan yang
lain. Sehingga kelengkapan ini yang mempengaruhi pemberian arti terhadap
hukum dan peranannya dalam hidup bermasyarakat.13

Hukum yang terbentuk itu kemudian dijadikan sebagai kontrol sosial di


masyarakat tersebut. Hukum sebagai kontrol sosial merupakan aspek yuridis
normatif dari kehidupan sosial masyarakat atau dapat disebut sebagai pemberi
definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti
perintah-perintah dan larangan-larangan. Selain itu juga berfungsi menetapkan
tingkah laku yang baik dan tidak baik atau yang menyimpang dari hukum,

11 Soerjono Soekanto. 1986. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni. Bandung. Hlm. 12.
12 Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada. Jakarta. Hlm. 9-11.
13
Sudjono Dirjosisworo. 1983. Sosiologi Hukum. Rajawali. Jakarta. Hlm. xv.
8

serta menerapkan sanksi hukum terhadap orang yang berprilaku tidak baik
tersebut, guna tercapainya ketentraman dan kemakmuran di masyarakat.14

Ketidakmampuan hukum dalam mengatasi masalah-masalah sosial di


luar hukum akan berakibat pada kewibawaan hukum itu sendiri. Masyarakat
memberikan kepercayaan kepada hukum untuk dapat menyelesaikan konflik
dan sengketa dalam lingkungan hidupnya. Sikap apriori masyarakat terhadap
hukum dan krisis kepercayaan mereka kepada aparat penegak hukum
mengakibatkan tindakan pelampiasan dengan cara main hakim sendiri dalam
menangani masalah-masalah di tengah-tengah mereka, sehingga hukum itu
dapat dikatakan tidak berfungsi (mandul).

Satjipto Rahardjo pernah mengungkapkan bahwa hukum mengalami


kemandulan. Mandul dalam pengertian di sini adalah bahwa ilmu hukum tidak
dapat mendukung arah perubahan masyarakat dan dengan demikian tidak
membantu usaha-usaha produktif yang sedang dijalankan oleh masyarakat.
Ilmu hukum tidak peka lagi terhadap proses sosial dalam masyarakat.
Masyarakat telah banyak memilih jalur-jalur di luar hukum untuk memecahkan
permasalahan, konflik dan sengketa sosialnya. Sebagai contoh sudah banyak
terjadi, beberapa anggota masyarakat lebih rela memberikan uang damai
dengan polisi yang menilangnya daripada ia harus diproses melalui prosedur
formal pengadilan.

Selanjutnya Satjipto Rahardjo menyatakan juga bahwa hukum adalah


institusi normatif. Ia akan kehilangan fungsinya apabila tidak bisa tampil dalam
kekuatannya yang demikian, yakni menundukkan perilaku masyarakat ke
bawah otoritasnya. Tentu saja pemaksaan normatif itu memberikan hasil-hasil
yang relatif. Ada bangsa yang sangat patuh kepada hukumnya, ada yang
setengah patuh, dan macam-macam gradasi lainnya. Tetapi, pada suatu waktu
tertentu bisa dirasakan bahwa fungsi normatif hukum itu sudah menjadi terlalu
melemah dan hasil ini akan cukup merisaukan.15 Hal ini dapat dipertanyakan
kembali tentang perkembangan hukum.

Meminjam istilah dari Meuwissen,16 pengembangan hukum


(rechtbeofening) antara yang praktis dan yang teoritis pada masa sekarang,

14
Zainuddin Ali. 2007. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm. 37.
15
Satjipto Rahardjo. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Kompas. Jakarta. Hlm. 157.
16
Bernard Arif Sidharta. 1999. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional. Mandar Maju. Bandung. Hlm, 177.
9

pengembangan hukum di Indonesia mengalami suatu paradigma pemikiran


baru. Para ahli hukum Indonesia mempertanyakan kembali jarak antara law in
books dengan law in action yang sudah cukup memprihatinkan. Menurut mereka
hal ini bukan persoalan sepele. Oleh sebab itu, untuk memberikan solusi bagi
permasalahan-permasalahan hukum tersebut muncul pertanyaan apakah ilmu
hukum yang diajarkan di pendidikan hukum Indonesia itu masih sesuai dengan
perkembangan zaman dan sosio-kultural bangsa Indonesia.

Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data.

Data-data dalam makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode


penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari :
a. Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari
buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah yang
dibahas.
b. Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasil-hasil penelitian,
atau pendapat pakar hukum lainnya.

2. Prosedur Pengumpulan Data.

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan pada


makalah ini, maka pengumpulan bahan-bahan referensi dilakukan dalam
rangka memperoleh data sekunder. Langkah awalnya adalah dengan
melakukan inventarisasi terhadap sumber-sumber sebagai referensi, kemudian
menuliskannya secara sistematis.

3. Analisis Data.

Pada makalah ini, analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif,


sedangkan pengolahan data, yang dilakukan dengan cara mensistematika
bahan-bahan atau buku-buku. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi
terhadap bahan-bahan yang ada, tersebut untuk memudahkan analisis dan
merumuskan konstruk atau konsep.17

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 251-252.
10

PEMBAHASAN

Hubungan Sistem Hukum Dengan Budaya Hukum Masyarakat.

Untuk dapat memahami persoalan yang berkaitan dengan hukum secara


lebih baik, maka hukum hendaknya dilihat sebagai suatu sistem. Pengertian
dasar yang terkandung dalam sistem tersebut meliputi dua hal sebagai
berikut:18

Pertama, yaitu sebagai sesuatu wujud atau entitas, yaitu sistem biasa
dianggap sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan,
yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks
tetapi merupakan satu kesatuan. Pandangan ini pada dasarnya
bersifat deskriptif, bersifat menggambarkan dan ini memberikan
kemungkinan untuk menggambarkan dan membedakan antara
benda-benda yang berlainan dan untuk menetapkan batas-batas
kelilingnya atau memilahkannya guna kepentingan penganalisaan
dan untuk mempermudah pemecahan masalah.

Kedua, sistem mempunyai makna metodologik yang dikenal dengan


pengertian umum pendekatan sistem (system approach). Pada
dasarnya pendekatan ini merupakan penerapan metode ilmiah di
dalam usaha memecahkan masalah, atau menerapkan kebiasaan
berpikir atau beranggapan bahwa ada banyak sebab terjadinya
sesuatu, di dalam memandang atau menghadapi saling keterkaitan.
Pendekatan sistem berusaha untuk memahami adanya kerumitan di
dalam kebanyakan benda, sehingga terhindar dari memandangnya
sebagai sesuatu yang amat sederhana atau bahkan keliru.

Apabila suatu sistem itu ditempatkan pada pusat pengamatan yang


demikian itu, maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung di dalamnya
adalah sebagai berikut :

1. Sistem itu selalu berorientasi pada suatu tujuan.


2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya
(Wholism).

18 Otje Salman S., H.R. dan Anthon F. Susanto. 2004. Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali. PT Refika Aditama. Bandung. Hlm. 84.
11

3. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu


lingkungannya (keterbukaan sistem).
4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang
berharga (transformasi).
5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan)
6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).19

Pemahaman sistem yang demikian itu mengisyaratkan bahwa persoalan


hukum yang kita hadapi sangat kompleks. Di satu sisi, hukum dipandang
sebagai suatu sistem nilai yang secara keseluruhan dipayungi oleh sebuah
norma dasar yang disebut grundnorm atau basic norm. Norma dasar itulah yang
dipakai sebagai dasar dan sekaligus penuntun penegakan hukum. Sebagai
sistem nilai, maka grundnorm itu merupakan sumber nilai dan juga sebagai
pembatas dalam penerapan hukum. Hans Kelsen memandang grundnorm
sebagai the basic norm as the source of identity and as the source of unity of
legal system.

Dilihat dari perspektif lain, hukum merupakan bagian dari lingkungan


sosialnya. Dengan demikian, hukum merupakan salah satu subsistem di antara
subsistem sosial lainya, seperti sosial, budaya, politik dan ekonomi. Hal itu
berarti, hukum tidak dapat dilepas-pisahkan dengan masyarakat sebagai basis
bekerjanya. Di sini tampak bahwa hukum berada di antara dunia nilai atau
dunia ide dengan dunia kenyataan sehari-hari.

Sejalan dengan pandangan yang demikian, maka Hoebel menyimpulkan


adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu:20
1. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat,
dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkenankan
dan apa pula yang dilarang
2. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh
melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus
memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif.
3. Menyelesaikan sengketa.
4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan
kembali hubungan esensial angota-anggota masyarakat.

19 Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm. 48-49.
20 Esmi Warassih, op.cit., hlm. 26-27.
12

Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah


laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial.
Demikian pula hukum berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses
interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme
kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata di hampir
seluruh sektor kehidupan masyarakat.

Selanjutnya, apabila penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat yang


dilakukan melalui hukum dilihat sebagai institusi sosial, maka kita mulai
melihat hukum dalam kerangka yang luas, yaitu dengan melibatkan berbagai
proses dan kekuatan dalam masyarakat. Untuk itu, penyelenggaraan keadilan
dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat kemampuan masyarakatnya.

Oleh sebab itu hukum bergerak diantara dunia nilai dan dunia sehari-
hari (realitas sosial), akibatnya sering terjadi ketegangan di saat hukum itu
diterapkan. Ketika hukum yang sarat dengan nilai-nilai itu hendak diwujudkan,
maka ia harus berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi
dari lingkungan sosialnya.

Perspektif ini sangat erat kaitannya dengan struktur keberadaan manusia


dalam lingkungannya, yang mencakup alam semesta dengan segala isinya,
termasuk sesama manusia dan kulturnya. Struktur keberadaan yang demikian
ini menyebabkan dengan sendirinya kehidupan manusia selalu menghadirkan
hukum di dalamnya. Dengan kata lain, keberadaan hukum inheren dalam
keberadaan manusia, karena struktur keberadaannya yang ada bersama-sama
dengan sesamanya di dunia, dan manusia itu berakal budi dan berhati nurani

Pemahaman akal budi dan penghayatan hati nurani terhadap struktur


dan kenyataan keberadaannya memunculkan penghayatan tentang apa yang
adil dan apa yang tidak adil (kesadaran hukum). Pada hakikatnya, hukum
adalah penilaian akal budi yang berakar dalam hati nurani manusia tentang
keadilan berkenaan dengan perilaku manusia dalam situasi kehidupan
manusia. Penghayatan tentang keadilan memunculkan penilaian bahwa dalam
situasi kemasyarakatan tertentu orang seyogianya berperilaku dengan cara
tertentu, artinya seharusnya melakukan atau tidak melakukan perbuatan
tertentu, karena hal itu adil atau memenuhi rasa keadilan. Penilaian demikian
itu disebut penilaian hukum (rechtsoordeel).

Jika keseyogiaan atau keharusan itu dalam kesadaran manusia


mengalami transformasi lewat proses dialektik interaksi sosial yang
13

mengobjektifasikannya menjadi pedoman dalam menetapkan keharusan


berperilaku dengancara tertentu di masa depan dan kepatuhannya tidak
sepenuhnya diserahkan kepada keyakinan dan kemauan subyektif orang,
melainkan dapat dipaksakan oleh masyarakat (kekuasaan publik) melalui
prosedur tertentu, maka keharusan itu menjadi kaidah hukum, yang bentuknya
dapat tertulis atau tidak tertulis. Sebagai demikian, kaidah hukum itu
menyandang kekuatan berlaku secara objektif (mengikat umum). Karena situasi
kemasyarakatan itu menjalani perkembangan, maka kaidah hukum (penilaian
hukum) itu pada dasarnya merupakan produk sejarah yang sekali terbentuk
akan menjalani kehidupan menyejarah dan menyandang sifat kemasyarakatan
(historically and socially determined), yang kemudian akan mempengaruhi
perjalanan dan sifat kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan.

Konteks yang demikian berarti apapun namanya maupun fungsi apa saja
yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum
sebagai suatu sistem, yaitu sebagai sistem norma. Pemahaman yang demikian
ini menjadi penting, karena dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai
suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub
sistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya.

Pengertian sistem sebagaimana didefenisikan oleh beberapa ahli, antara


lain Bertalanffy, Kenneth Building, ternyata mengundang implikasi yang sangat
berarti terhadap hukum, terutama berkaitan dengan aspek : (1) keintegrasian,
(2) keteraturan, (3) keutuhan, (4) keterorganisasian, (5) keterhubungan
komponen satu sama lain, dan (6) ketergantungan komponen satu sama lain.21

Realitas di atas mengisyaratkan perlunya pemahaman hukum sebagai


suatu sistem, yang oleh F. Emery dipandang merupakan suatu himpunan
bagian yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang
kompleks tetapi merupakan satu kesatuan struktur, yang mengandung dua
aspek. Pertama, hubungan itu harus membentuk jaringan dimana setiap
elelmen terhubung satu sama lain baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kedua, jaringan tersebut haruslah membentuk suatu pola untuk
menghasilkan struktur dalam suatu sistem. Sementara yang lain menyatakan
gagasan kedua merupakan satu persyaratan. Jadi di sini kita mempunyai
pandangan umum mengenai sistem dan karakteristiknya. Sistem merupakan

21 Ibid., hlm. 29.


14

keseluruhan, mempunyai elemen dan elemen itu mempunyai hubungan yang


membentuk strukut.22

Lawrence M. Friedman dalam hubungannya dengan sistem hukum,


menyebutkan adanya beberapa komponen unsur hukum sebagai berikut:

1. Sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah, namun


bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan
setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya.
2. Sistem hukum mempunyai substansi, yaitu berupa aturan, norma, dan
pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
3. Sistem hukum mempunyai komponen budaya hukum, yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri, seperti
kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.23

Semua komponen tersebut merupakan pengikat sistem hukum itu di


tengah kultur bangsa secara keseluruhan. Seseorang menggunakan hukum, dan
patuh atau tidak terhadap hukum sangat tergantung kepada budaya
hukumnya. Oleh karena itu, saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk
mempertahankan pola-pola hubungan serta kaidah-kaidah yang telah ada.
Hukum yang diterima sebagai konsep modern memiliki fungsi untuk
melakukan suatu perubahan sosial. Bahkan lebih dari itu hukum dipergunakan
untuk menyalurkan hasil-hasil keputusan politik. Hukum bukan lagi
mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang telah ada, tetapi juga
berorientasi kepada tujuan-tujuan yang diinginkan, yaitu menciptakan pola-
pola perilaku yang baru. Di dalam menjalankan fungsinya, hukum senantiasa
berhadapan dengan nilai-nilai maupun pola-pola perilaku yang telah mapan
dalam masyarakat.

Sejalan dengan ini, maka terdapat dua pandangan yang sangat dominan
dalam rangka perubahan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyaraakat
suatu negara, yang saling tarik menarik antara keduanya dan masing-masing
mempunyai alasan pembenarnya, yaitu:24

22 Emery, F.E., System Thinking, dalam Otje Salman. H.R dan Anton F. Susanto. Op.cit., hlm.,
89.
23 Lawrence M. Friedman. 2001. Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT Tata Nusa. Jakarta,
Hlm. 7-8.
24 Abdul Manan, H. Op.cit. Hlm. 7-8.
15

Pertama, pandangan tradisional. Pandangan tradisional dalam rangka


perubahan hukum mengatakan bahwa masyarakat perlu berubah terlebih
dahulu, baru hukum datang untuk mengaturnya. Disini kedudukan hukum
sebagai pembenar apa yang telah terjadi, fungsi hukum disini adalah sebagai
fungsi pengabdian (dienende functie). Hukum berkembang mengikuti kejadian-
kejadian yang terjadi dalam suatu tempat dan selalu berada di belakang
peristiwa yang terjadi itu (het recht hinkt achter de feiten aan).

Kedua, pandangan modern. Pandangan modern mengatakan bahwa


hukum diusahakan agar dapat menampung segala perkembangan baru, maka
oleh karena itu hukum harus selalu berada bersamaan dengan peristiwa yang
terjadi. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai pembenar atau mengesahkan
segala hal-hal yang terjadi setelah masyarakat berubah, tetapi hukum harus
tampil secara bersamaan dengan peristiwa yang terjadi, bahkan kalau perlu
hukum harus tampil terlebih dahulu baru peristiwa mengikutinya. Hukum
harus berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju perubahan yang
terencana. Di sini hukum berperan aktif sebagai alat rekayasa masyarakat (law
is a tool of social engineering).

Dalam rangka pemikiran legal reform yang terjadi di Indonesia, M. Solly


Lubis menyebutkan ada dua pandangan yang saling mempengaruhi satu sama
lain, yaitu : Pertama, aliran yang meninjau hukum dari segi juridis dogmatis
yang cenderung mempertahankan nilai-nilai moral dan kultural Indonesia
dalam pembinaan hukum itu. Kedua, aliran yang meninjau hukum dari segi
dimensi sosial yang cenderung mengutamakan pembinaan dan sistem hukum
yang mampu menjawab tuntutan pengembangan dan modernisasi.25

Oleh karena itu, apabila kita melihat penegakan hukum merupakan


suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan,
maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta
juga masyarakatnya. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-
nilai yang ada di lingkungan yang sarat dengan pengaruh-pengaruh faktor non
hukum lainnya.

Dengan demikian, dalam pembentukan hukum perlu diindahkan


ketentuan-ketentuan yang memenuhi nilai filsafah yang berintikan keadilan dan
kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan nilai yang berlaku di

25 M. Solly Lubis. 2002. Sistem Nasional. Mandar Maju. Bandung. Hlm. 25-26.
16

masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan peraturan perundang-


undangan yang berlaku.

Dalam konteks Indonesia, hukum nasional sebagai sistem dalam rangka


pengembangan hukum terdiri dari 4 (empat) komponen atau sub sistem, yaitu :
1. Budaya hukum,
2. Materi hukum,
3. Lembaga, Organisasi, Aparatur dan Mekanisme Hukum
4. Prasarana dan Sarana Hukum.26

Keempat komponen itu tidak hanya berkaitan satu sama lain, tetapi juga
saling pengaruh mempengaruhi, sehingga sekalipun misalnya kita berhasil
menyusun materi hukum sempurna, akan tetapi apabila hal tersebut tidak
didukung oleh dan berinteraksi dengan budaya hukum yang sesuai, aparatur
hukum yang profesional, bahkan juga sarana dan prasarana hukum yang cukup
modern dan memadai, maka seluruh materi hukum itu tidak mungkin akan
dapat diterapkan dan ditegakkan sebagaimana diharapkan, sehingga materi
hukum itu hanya tinggal menjadi huruf mati belaka. Itulah sebabnya seluruh
komponen dan unsur-unsur Sistem Hukum Nasional (Sistem Hukum Adat,
Sistem Hukum Barat, dan Sistem Hukum Islam) itu harus dibangun secara
simultan, sinkron dan terpadu. Hanya dengan pendekatan yang sistemik ini
dapat dibentuk dan diwujudkan Sistem Hukum Nasional yang utuh
menyeluruh berdasarkan Filasafat Pancasila, sesuai arti, makna dan jiwa UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus akan terpenuhi segala
kepentingan dan kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang. Hukum
nasional kita harus benar-benar dapat mengayomi seluruh bangsa kita dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan menggunakan pola atau kerangka pemikiran seperti ini, kita


tetap berfikir sistemik, walaupun masing-masing bidang hukum itu dapat
berkembang sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Demikian juga jumlah
bidang hukum terus dapat berkembang tanpa batas, selama dipegang teguh
asas utama dan kerangka formal hukum yang dikehendaki secara terencana.

Jelas bahwa untuk setiap bidang pengembangan sub sistem hukum


diperlukan keterpaduan dan kesearahan antara pembentuk hukum, pengadilan,
aparat penegak hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan

26 Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1996. Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum
Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta. Hlm. 6.
17

masyarakat, agar supaya pada akhirnya peraturan perundang-undangan,


yurisprudensi, dan hukum kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu.
Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu sendiri diperlukan suatu rencana
pengembangan dan organisasi yang mengarahkan dan mensinkronkan semua
usaha oleh masing-masing dalam proses pembentukan hukum nasional. Inilah
yang menjadi tugas dalam rangka memikirkan konsep dan perencanaannnya
yang mengandung asas-asas pengikat, agar supaya pengembangan seluruh
Sistem Hukum Nasional berlangsung secara terpadu dan sistemik.

Berdasarkan hubungan sistem hukum yang demikian, menunjukkan


bahwa sistem hukum mempunyai kaitan erat dengan budaya masyarakat,
bahkan salah satu komponen sistem hukum itu termasuk di dalamnya
pengembangan budaya masyarakat, terutama budaya hukum, bahkan
keberhasilan penegakan hukum (law enforcement) tidak terlepas dari
pengembangan budaya hukum, termasuk kultur aparatur pelaksana hukum itu
sendiri beserta masyarakat yang melingkupinya.

Perubahan Hukum Dalam Perspektif Budaya Hukum Indonesia.

Memperhatikan interdependensi antara sistem hukum dengan budaya


masyarakat, menunjukkan bahwa dalam pembinaan hukum nasional
pengembangan budaya hukum merupakan salah satu komponen yang sangat
prinsipil karena akan mempengaruhi pengembangan materi hukum maupun
aparatur hukum.

Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing yang


berbeda satu dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai sifat
dan hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan yang ada di dunia
ini. Adapun sifat dan hakikat yang berlaku umum tersebut antara lain:
pertama, kebudayaan itu terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
Kedua, kebudayaan itu telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu
generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi itu.
Ketiga, kebudayaan itu diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam
tingkah lakunya. Keempat, kebudayaan itu mencakup aturan-aturan yang
berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak,
tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa sifat dan
hakikat dari kebudayaan itu adalah sikap dan tingkah laku manusia yang
selalu dinamis, bergerak dan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan
18

hidupnya dengan cara melakukan hubungan-hubungan dengan manusia


lainnya, atau dengan cara terjadinya hubungan antar kelompok dalam
masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa setiap produk hukum
yang dibuat dalam rangka memberi ketertiban dan kenyamanan dalam
kehidupan masyarakat harus melihat dan mengikuti kebudayaan masyarakat
dimana hukum tersebut akan diterapkan. Agar hukum itu harus melihat
kepada budaya dan hukum-hukum yang telah ada dalam masyarakat tersebut.
Hukum tidak akan berlaku secara efektif apabila dipaksakan berlaku kepada
masyarakat, padahal hukum tersebut bertentangan dengan budaya yang hidup
dalam masyarakat tersebut.

Dengan demikian kebudayaan mencakup suatu sistem tujuan-tujuan dan


nilai-nilai tertentu. Artinya kebudayaan merupakan suatu blue print of behavior
yang memberikan pedoman tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang
dialrang. Nilai sosial dan budaya tersebut berperan sebagai pedoman dan
pendorong bagi perilaku manusia di dalam proses interaksi sosial. Pada tataran
yang lebih konkrit kebudyaan berfungsi sebagai sistem perilaku. Itu berarti,
kaedah-kaedah yang berlaku sebenarnya berakar pada nilai-nilai sosial dan
budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi, segala tingkah laku manusia
sesungguhnya berpedoman pada konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang
baik dan apa yang buruk.

Oleh karena itu, hukum adalah merupakan sarana untuk mengatur


kehidupan sosial, namun satu hal yang harus diperhatikan, meskipun terdapat
adagium “Ibi societas ibi ius”, hukum (terutama hukum tertulis) selalu
tertinggal dengan objek yang diaturnya. Dengan demikian selalu terdapat gejala
bahwa antara hukum dan perilaku sosial terdapat suatu jarak perbedaan yang
sangat mencolok. Aapabila hal ini terjadi, maka akan timbul keteganagan yang
semestinya harus segera disesuaikan supaya tidak menimbulkan ketegangan
yang berkelanjutan, tetapi usaha ke arah itu selalu terlambat dilakukan.
Seharusnya pada waktu itulah dapat ditunjukkan adanya hubungan yang
nyata diantara perubahan sosial dan hukum yang mengaturnya, sebab
perubahan hukum baru akan terkjadi apabila sudah bertemunya dua unsur
pada titikm singgung, yaitu adanya suatu keadaan baru danadanya kesadaran
akan perlunya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan.

Dalam hubungan ini, pada dasarnya hukum yang hidup di masyarakat


sesungguhnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai sosial budaya baik yang
formal maupun non formal yang eksistensinya diyakini oleh masyarakat
tentang apa yang seharusnya (das sollen). Sejarah peradaban manusia telah
19

banyak membuktikan bahwa dalam perjalanan hidup bangsa-bangsa di dunia,


setiap masyarakat mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Hal ini
diakibatkan oleh adanya interaksi sosial yang terus menenrus. Corak dan
bentuk interaksi sosial, politik, ekonomi dalam perjalanan dimensi waktu telah
memperkaya dengan berbagai pengalaman sejarah yang kemudian membentuk
cara berfikir dan pandangan hidup, yang pada gilirannya membentuk struktur
dan kultur dari masyarakat itu sendiri.

Hukum itu sendiri merupakan bentuk formal dari struktur dan kultur
masyarakat. Oleh karenanya hukum positif Indonesia adalah wujud formal dari
struktur dan kultur sistem masyarakat kita yang masih diwarnai oleh berbagai
corak yang menjadi struktur dan kultur masyarakat kita sebelumnya. Dengan
kata lain pada hukum positif kita masih terlihat corak sistem hukum yang
berdimensi masa lalu, masa kini, dan arah di masa datang. Dalam hal inilah
pengembangan hukum berupaya melakukan orientasi terhadap fenomena ini
menuju terwujudnya hukum nasional yang dicita-citakan (ius constituendum).

Sejalan dengan hal tersebut di atas, dalam kaitannya dengan perubahan


yang dilaksanakan di Indonesia, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa
aplikasi perubahan hukum itu hendaknya dibedakan antara pembinaan
hukum dengan kegiatan sekadar mengubah suatu hukum yang sedang berlaku.
Apabila kegiatan pembinaan hukum itu disebut sebagai tindakan
merencanakan suatu tata hukum baru, maka kegiatan mengubah suatu hukum
adalah mengubah suatu hukum yang telah ada.27

Walaupun kita sering berbicara tentang perubahan masyarakat


Indonesia, sesungguhnya kita belum sepakat benar, mengenai struktur dan
kultur masyarakat yang kita inginkan. Dalam hati kecil kebanyakan ahli
budaya dan ilmu kemasyarakatan mungkin menghendaki agar masyarakat kita
sebaiknya jangan direkayasa, tetapi dibiarkan berkembang sendiri mencari pola,
struktur dan budaya itu sendiri. Padahal cara ini mungkin hanya dapat
ditempuh di dalam masyarakat desa yang kecil dan sederhana, yang jauh dari
pengaruh dunia luar. Di dalam masyarakat seperti ini hukum tidak banyak
peranannya untuk mengatur pergaulan masyarakat, sebab hukum yang
tertuang di dalam keputusan-keputusan kepala adat, hanya menguatkan apa
yang sudah berlaku di dalam masyarakat sebagai adat kebiasaan. Jadi dalam

27 Abdul Manan, H. Op.cit. Hlm. 9.


20

masyarakat tradisional hukum hanya berfungsi sebagai pemelihara “status


quo”.28

Lebih lanjut H. Abdul Manan dalam hubungan ini menjelaskan


perubahan hukum sebagai berikut:

Oleh karena itu, kegiatan perubahan hukum yang sedang dilaksanakan


di Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri dan bersifat mandiri
(berdiri sendiri). Perubahan itu tidak semata-mata dilakukan karena
hukum dirasakan kurang memadai lagi untuk mengatur kehidupan
masyarakat, melainkan masyarakat Indonesia sendiri saat ini sudah
mengalami perubahan dan perubahan ini sudah bersifat fundamental
yang mempunyai tujuan untuk menciptakan suatu masyarakat
Indonesia baru sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.29

Dengan demikian, setiap cara perubahan masyarakat mengandung


kekurangannya sendiri. Jika di dalam masyarakat tradisionil perubahan
masyarakat terjadi sangat lambat, tetapi hukum tumbuh dan berkembang
sesuai dengan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Maka dalam negara
yang menggunakan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat, perubahan
akan relatif dapat dipercepat namun terdapat kemungkinan bahwa aspirasi
masyarakat yang bersangkutan kurang diperhatikan, sehingga amembangun
kultur masyarakat dalam rangka perubahan hukum menjadi suatu keniscayaan.

Dalam konteks ini, maka membangun budaya masyarakat dalam rangka


pengembangan hukum nasional di Indonesia pada pokoknya dapat dilakukan
dengan 2 (dua) pendekatan :

Pengembangan Struktur dan Kultur Masyarakat

Secara sempit kultur hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum


yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indonesia. Sedangakan
dalam pengertian yang lebih luas, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai
keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia.

Pada mulanya, budaya masyarakat hukum Indonesia adalah budaya


hukum tidak tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh

28 Badan Pembinaan Hukum Nasional. Op.cit. Hlm. 53.


29 Abdul Manan, H. loc.cit.
21

dan berkembang di dalam masyarakat (living law). Budaya hukum ini hidup
dalam setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, sehingga secara
keseluruhan budaya hukum masyarakat Indonesia adalah budaya hukum
living law. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, masyarakat hukum
Indonesia juga terbiasa dengan budaya hukum tertulis, yang pada dasarnya
merupakan konsekuensi dari proses kolonialisme di Indonesia.

Oleh sebab itu dalam transformasi struktur dan kultur masyarakat


Indonesia perlu diperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Struktur dan kultur masyarakat-masyarakat adat/daerah yang tersebar di


seluruh Indonesia.
2. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang secara sadar pada tanggal 28
Oktober 1928 mengikrarkan tekad untuk membangun suatu nation
(bangsa), sekalipun sadar pula bahwa asal-usul maupun kultur kebudayaan
kita sangat beraneka ragam.
3. Dianutnya suatu falsafah hidup dan falsafah kenegaraan, yaitu falsafah
Pancasila bagi bangsa (nation) tersebut, yang menamakan dirinya bangsa
Indonesia.30

Menjadi persoalan, bagaimana beranekanya sub struktur dan kultur


masyarakat Indonesia itu dapat diarahkan menuju satu masyarakat yang sama-
sama menganut filsafah Pancasila dan menghayati nilai-nilai yang terkandung
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga tidak saja
merupakan satu kesatuan politik (negara kesatuan) dan satu kesatuan hukum,
tetapi juga satu kesatuan sosial budaya.

Jelas bahwa proses semacam itu mau tidak mau akan memakan waktu
yang cukup lama. Sebab di satu pihak harus selalu memperhatikan agar unsur-
unsur budaya daerah jangan sampai digoncangkan, sehingga akan timbul
keresahan sosial. Tetapi dilain pihak juga tidak boleh membiarkan masyarakat-
masyarakat tradisional berkembang secara mandiri, sehingga ke arah yang
tidak sesuai, apalagi bertentangan dengan prinsip negara kesatuan, negara
hukum, filsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa menurut Lawrence M.


Friedmann, setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen, yaitu
komponen struktural, substansial dan kultural. Dalam hubungan ini, komponen

30 Badan Pembinaan Hukum Nasional. Op.cit. Hlm. 60.


22

budaya hukum (the legal culture) yang merupakan keseluruhan sikap dari
masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan
menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat perlu
senantiasa dilakukan pembinaan.

Secara lebih detail, Daniel S. Lev mencoba memerinci budaya hukum ke


dalam “nilai-nilai hukum prosedural” dan “nilai-nilai hukum substantif”. Di
dalam tinjauannya mengenai kultur hukum di Indonesia, Lev menemukan,
bahwa cara-cara penyelesaian konflik mempunyai karakteristiknya sendiri
disebakan oleh adanya dukungan nilai-nilai tertentu. Menurut Lev kompromi
dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dri
masyarakat.31

Dalam hubungan ini, berarti pembinaan struktur dan kultur masyarakat


tidak terlepas dari kehendak mewujudkan kesadaran hukum masyarakat,
karena kesadaran hukum masyarakat merupakan hal yang sangat penting dan
menentukan berlakunya suatu hukum dalam masyarakat. Apabila kesadaran
hukum masyarakat tinggi dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
telah diatur oleh hukum, dipatuhi oleh masyarakat, maka hukum tersebut
dapat dikatakan telah efektif berlakunya, tetapi jika ketentuan hukum tersebut
diabaikan oleh masyarakat, maka aturanm hukum itu tidak efektif berlakunya.
Kesadaran hukum masyarakat itu menyangkut faktor-faktor apakah suatu
ketentuan hukum diketahui, dipahami, diakui, dihargai dan ditaati oleh
masyarakat sebagai pengguna hukum itu. Kesadaran hukum masyarakat
merupakan unsur utama yang harus diperhitungkan dalam berfungsinya
hukum secara efektif dalam masyarakat.

Realitas ini berarti, betapapun kesadaran hukum itu berakar di dalam


masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan
hukum yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itu, hal ini tidak dapat
dilihat secara langsung di dalam kehidupan masyarakat, melainkan
keberadaanya hanya dapat disimpulkan dari pengalaman hidup sosial melalui
suatu cara pemikiran dan cara penafsiran tertentu.

Bernard Arief Sidharta, dalam hubungannya dengan kesadaran hukum


dalam perspektif budaya hukum mengemukakan:

31 Esmi Warassih. Op.cit. Hlm. 89.


23

Kesadaran hukum adalah proses dalam kesadaran atau kejiwaan manusia yang di
dalamnya berlangsung penilaian bahwa orang seharusnya bersikap dan
bertindak dengan cara tertentu dalam situasi kemasyarakatan tertentu karena hal
itu dirasakan adil dan perlu untuk terselenggaranya ketertiban masyarakat atau
kondisi kemasyarakatan yang memungkinkan manusia menjalani kehidupan
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya.32

Kesadaran hukum mencakup baik pengetahuan tentang aturan hukum


positif maupun keyakinan warga masyarakat bahwa berbagai perangkat aturan
hukum positif tersebut adil dan perlu, serta bahwa mematuhi hukum itu
adalah tuntutan keadilan dan amrtabat manusia yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Jadi, di samping harus menciptakan dan menegakkan
aturan hukum positif yang adil dan dibutuhkan masyarakat, pemerintah dan
apartanya harus selalu melakukan pembinaan kesadaran hukum, dengan selalu
mengacu kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Wawasan Kebangsaaan dan wawasan Nusantara.

Sjachran Basah dalam hubungan ini mengemukakan bahwa tujuan


pembinaan kesadaran hukum masyarakat adalah:33

1. Meningkatkan kadar kesadaran hukum masyarakat dalam kehidupan


bermasyarakat dan bernegara.
2. Menyadari hak dan kewajiban asasi warga negara di dalam negara hukum
berdasarkan Pancasila.
3. Melibatkan diri dalam pengembangan dan memelihara hasil-hasil
pengembangan.

Oleh sebab itu, pembinaan struktur dan kultur masyarakat melalui


kesadaran hukum masih banyak yang harus dilakukan oleh semua pihak, mulai
dari lingkungan rumah tangga, sekolah formal dan non formal di masyarakat
luas sampai ke semua eselon dalam lingkungan pemerintah. Selain menyangkut
martabat bangsa di dunia internasional, terwujudnya kehidupann hukum yang
baik secara langsung juga menyangkut kehidupan individual tiap orang dan di
masa depan. Pendidikan hukum informal dan non formal ini seyogianya
didukung pula dengan pengadaan fasilitas fisik yang memudahkan dan

32 Bernard Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. CV Mandar Maju. Bandung. Hlm. 203.
33
Sjachran Basah. 1986. Tiga Tulisan Tentang Hukum. CV Armico. Bandung. Hlm. 8-9.
24

mendorong kecenderungan masyarakat untuk menghormati dan mematuhi


hukum.

Jadi, jelaslah bahwa kesadaran hukum ini timbul apabila nilai-nilai yang
akan diwujudkan dalam dalam peraturan hukum itu merupakan nilai-nilai
yang baru. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari meluasnya fungsi hukum
(modern) yang tidak sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang
sudah ada di dalam masyarakat. Ia justru menjadi sarana penyalur
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, sehingga terbuka kemungkinan akan
muncul keadaan-keadaan baru untuk merubah sesuatu yang sudah ada.

Dalam melaksanakan pembinaan kesadaran hukum ini, maka beberapa


cara perlu dijalankan secara simultan, antara lain:
1. Penyuluhan hukum secara teratur kepada semua pihak, termasuk kepada
aparat pemerintah;
2. Pendidikan disiplin, kebersihan, budi pekerti dan “civic” di sekolah;
3. Pendidikan non formal untuk menanamkan disiplin di lingkungan
keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan rekreatif;
4. Pengadaan fasilitas fisik yang mendukung;
5. Teladan oleh elit sosial secara konsisten, khususnya aparat pemerintah.34

Pengembangan Materi Hukum.

Berdasarkan pemahaman terhadap sistem hukum nasional yang


menyangkut adanya 4 (empat) komponen atau sub sistem : 1. budaya hukum; 2.
materi hukum; 3. lembaga, organisasi, aparatur dan mekanisme hukum, serta 4.
prasarana dan sarana hukum, maka salah satu yang sangat urgen dalam
membangun kultur dalam rangka menyikapi perubahan hukum adalah
pengembangan materi hukum.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan dua pandangan atau


pemikiran yang berperan dalam sistem hukum yang akan dibina secara
terpadu, yakni aliran yang meninjau hukum secara juridis dogmatis, yang
cenderung mempertahankan nilai-nilai moral dan kultural Indonesia dalam
pembinaan hukum itu dan aliran yang meninjau hukum dari segi dimensi sosial
yang cenderung mengutamakan pembinaan sistem hukum yang mampu
menjawab tuntutan pengembangan dan modernisasi.35

34 Bernard Arief Sidharta. Op.cit. Hlm. 204-205.


35 M. Solly Lubis. Op.cit. Hlm. 20.
25

Keterpaduan pemikiran inilah yang akan merupakan ciri khas hukum


Indonesia sebagai bangsa yang sedang membangun dan yang membedakannya
dari hukum barat yang liberal individualistis materialis dan yang pada
hakikatnya merupakan perwujudan terpelihara dan tercapainya sistem hukum
yang serasi dengan cita-cita dan moral pengembangan berdasarkan Pancasila
dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mochtar Kusumaatmadja dalam hubungan ini mengemukakan “Teori


Hukum Pengembangan” yang dibangun di atas teori kebudayaan Northrop,
teori orientasi kebijakan (policy-oriented) dari Laswell dan Mc Dougal serta teori
hukum pragmatis dari Roscoe Pound, sebagai berikut :36

Untuk keperluan penyusunan kerangka dasar pengembangan hukum


nasional, ada beberapa asas yang bersifat menyeluruh, yang perlu dikaji secara
seksama, yaitu:

1. Asas Ketuhanan, yang mengamanatkan bahwa produk hukum nasional


tidak boleh melanggar dan bertentangan dengan agama atau bersifat
menolak atau bermusuhan dengan agama ;
2. Asas kemanusiaan, yang mengamanatkan bahwa produk hukum nasional
harus mewujudkan perlindungan harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang maha Esa ;
3. Asas kesimbangan, yang mengamanatkan bahwa produk hukum nasional
harus memperhatikan aspek keseimbangan antara kepentingan individu
dengan masyarakat, kepentingan peri kehidupan darat, laut dan udara,
kepentingan nasional dan juga internasional ;
4. Asas kesatuan dan persatuan, yang mengamanatkan bahwa hukum
Indonesia harus merupakan hukum nasional, yang berlaku bagi seluruh
bangsa Indonesia dengan tetap memandang kenyataan keragaman
masyarakat Indonesia ;
5. Asas demokrasi yang mengamanatkan bahwa dalam hubungan antara
hukum dan kekuasaan, kekuasaan harus tunduk pada hukum, bukan
sebaliknya;
6. Asas keadilan sosial, yang mengamanatkan bahwa semua warga negara
mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama dihadapan
hukum dan;

36 Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra. Op.cit. Hlm. 126.


26

7. Asas kesadaran hukum, yang mengamanatkan bahwa pengembangan


produk hukum harus dapat menjadi sarana mewujudkan warga negara
yang sadar dan taat kepada hukum serta mewajibkan negara untuk
menegakkan dan menjamin kepastian hukum.

Memperhatikan berbagai asas tersebut, berarti perlu diupayakan


fungsionalisasi atau penjabaran nilai-nilai ataupun asas-asas tersebut dalam
berbagai pengembangan hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak
tertulis. Untuk itu, perlu dilakukan penyusunan secara sistematik arah
kebijakan pengembangan hukum, meliputi :

1. Mengembangkan dan memajukan budaya hukum di semua lapisan


masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam
kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum dan ;
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

Berdasarkan arah kebijakan sebagaimana disebutkan di atas,


menunjukkan bahwa pemantapan asas-asas hukum, pertama-tama dilakukan
dalam usaha pembentukan hukum nasional melalui proses pembuatan
peraturan perundang-undangan atau legislasi.

Pengutamaan terhadap hukum tertulis ini, selain karena pengaruh sistem


hukum kontinental, juga karena beberapa pertimbangan, yaitu :

1. Salah satu tujuan hukum adalah memperoleh setinggi-tingginya kepastian


hukum (Rechts Zakerheid). Telah menjadi pengetahuan klasik dalam ilmu
hukum, bahwa hukum tertulis dipandang lebih menjamin kepastian hukum
dibandingkan dengan hukum tidak tertulis ;
2. Membentuk hukum tertulis lebih mudah dibandingkan dengan membentuk
hukum tidak tertulis. Pembentukan hukum tertulis dapat direncanakan
dengan pasti, tidak demikian halnya dengan pembentukan hukum tidak
tertulis dan ;
3. Dalam keadaan tertentu, hukum tertulis merupakan instrumen yang lebih
mudah dipergunakan untuk memperbaharui atau mengganti aturan hukum
yang tidak sesuai dengan penggunaan hukum tidak tertulis.
27

Sedangkan mengenai pengembangan materi hukum tidak tertulis, dapat


dilakukan dengan cara-cara :

1. Melakukan penelitian dan pengkajian kembali hukum adat, untuk


mengetahui dengan tepat perubahan yang terjadi di dalamnya, yang dapat
terjadi karena :
a. perubahan praktek masyarakat, baik karena pengaruh agama
mobilitas dan lain sebagainya;
b. perubahan oleh / lewat yurisprudensi atau suatu putusan hakim;
c. Perubahan oleh atau melalui perundang-undangan.
2. Menginventariser dan mengkaji putusan-putusan hakim, dalam rangka
menemukan asas dan kaidah hukum baru, baik karena penemuan hukum
(Rechts Finding) dan penafsiran serta konstruksi hukum dan ;
3. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap praktek penyelenggaraan
negara atau pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu untuk
menemukan kebiasaan-kebiasaan sebagai hukum yang hidup dalam
lingkungan masyarakat tersebut.

Berdasarkan realitas yang telah dikemukakan di atas, meskipun ada


pengutamaan terhadap hukum tertulis, akan tetapi hal tersebut tidak mungkin
digantungkan kepada kodifikasi semata-mata karena hukum tertulis tidak akan
mampu mengejar perubahan masyarakat yang begitu cepat akibat
pengembangan berencana, sehingga perspektif hukum nasional akan lebih
berupa hukum kebiasaan yang bersumber pada perjanjian (kontrak) dan hukum
tertulis. Bersamaan dengan itu, hukum adat biasanya menjadi pelengkap dan
juga dapat digunakan untuk mengatur hal-hal yang bersifat sensitif yang sulit
dijadikan hukum tertulis.

Bila upaya yang demikian dapat kita lakukan secara taat asas, pada
gilirannya pengembangan kaidah hukum akan dapat dilakukan sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara, karena muatan
kaidah tersebut tidak semata-mata dipertimbangkan dari aspek yuridis,
melainkan juga didasarkan pada pertimbangan nilai sosiologis dan filosofis.
Nilai sosiologis berkaitan dengan kenyataan yang terdapat dalam masyarakat,
yang akan menentukan fungsi hukum dan corak hubungan hukum. Sedangkan
nilai filosofis akan berkaitan dengan cita hukum (Rechtsidee), yang berkaitan
dengan nilai keadilan, kebenaran serta tujuan hukum pada umumnya.

Dengan demikian, dalam perspektif pengembangan hukum nasional,


teori hukum yang dikembangkan adalah merupakan perpaduan dari berbagai
28

teori hukum, baik yang berasal dari Teori Hukum Sociological Jurisprudence
dari Roscou Pound, teori kebudayaan dari Northrop maupun teori policy
oriented dari Laswell dan Mc Dougal yang kemudian dikembangkan oleh
Mochtar Kusumaatmadja menjadi teori hukum pengembangan, yang akan
diwujudkan ke dalam bentuk hukum tertulis (perundang-undangan) maupun
hukum tidak tertulis.

Berdasarkan realitas tersebut, menunjukkan pengembangan materi


hukum yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan keterpaduan teroi
kebudayaan dan teori kebijakan, sehingga hukum dapat merekayasa
masyarakat, yang tentunya hal ini berkaitan dengan perubahan kultur.
Manakala pengembangan materi hukum (terutama hukum tertulis)
mengabaikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka tidak tertutup
kemungkinan hukum tersebut menjadi tidak bermakna, tidak dipatuhi dan
ditaati oleh masyarakat.

Selama ini tampaknya pengembangan hukum adakalanya tidak


mengikuti perkembangan masyarakat. Semenjak bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka tahap
perkembangan masyarakat yang semula adalah feodalisme menuju masyarakat
yang berdasar konstitusi. Mulai saat itu hukum yang berlaku memiliki ciri-ciri
yang modern, antara lain bersifat tertulis, universal, dan bersifat teritorial. Akan
tetapi nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tetap sajatradisional dan
tidak berubah yang berpengaruh pada penegakan hukum.

Apabila institusi hukum dikaitkan dengan latar belakang susunan


masyarakat dan nilai-nilai yang dianutnya, maka kita mulai berhadapan dengan
pilihan mengenai nilai-nilai apa yang harus diwujudkan oleh hukum. Pilihan
nilai tersebut sangat ditentukan oleh kelompok atau golongan yang berkuasa,
yang tidak jarang amat berbeda dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat (living law), sehingga keberadaan hukum itu (tertulis) adakalanya
tidak dapat merubah kultur masyarakat yang dikehendaki. Dengan lain
perkataan, banyak peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak
mencerminkan cita-cita bangsa dan kurang responsif terhadap kebutuhan masa
kini.

Oleh karena itu, dalam pembentukan norma hukum dalam rangka


pengembangan hukum nasional tentu tidak terlepas dari prinsip negara hukum
(rechtsstaat) yang dikehendaki dalam Negara Republik Indonesia. Artinya
29

pengembangan produk hukum dan pelaksanaannya harus berintikan unsur-


unsur dan asas-asas dasar sebagai berikut:37

Pertama, pengakuan, penghormatan dan perlindungan kepribadian manusia


(identitas) yang mengimplikasikan asas pengakuan dan
perlindungan martabat dan kebebasan manusia, yang merupakan
asas fundamental. Kebebasan disini mencakup kebebasan individu,
kebebasan kelompok, kebebasan masyarakat etnis, dan kebebasan
masyarakat nasional. Kebebasan dan kemungkinan pelaksanaan
faktualnya tidak tanpa batas, melainkan ditentukan dan dibatasi
faktor: kesejarahan, keadaan faktual eksternal, pandangan
kefilsafatan dan keagamaan, nilai-nilai serta penetapan asas-asas dan
kaidah-kaidah lainnya.

Kedua, asas kepastian hukum yang mengimplikasikan bahwa warga


masyarakat harus bebas dari tindakan-tindakan pemerintah dan
pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan tindakan yang
sewenang-wenang.

Ketiga, asas persamaan (similia similibus) Pemerintah dan para pejabatnya


harus memberikan perlakuan sama kepada semua orang, dan
undang-undang juga berlaku sama bagi semua orang. Tindakan
pemerintah dan pejabatnya harus didasarkan pada perangkat aturan
yang dirumuskan secara umum. Semua orang yang memenuhi syarat
yang sama memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan
diri dan mencapai tujuannya. Dalam implementasinya perlu
ditetapkan kriteria untuk menentukan kesamaan, dan harus pula
memperhitungkan kenyataan adanya perbedaan antar orang atau
antar kelompok orang.

Keempat, asas demokrasi. Asas ini berkenaan dengan cara pengambilan


keputusan. Tiap warga negara memiliki kemungkinana dan
kesempatan yang sama untuk mempengaruhi keputusan dan
tindakan pemerintahan. Untuk itu harus terjamin bahwa warga

37 Bernard Arief Sidharta. Op.cit. Hlm. 199-201. Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diatur berbagai asas materi
muatan peraturan perundang-undangan: pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan,
kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum serta keseimbangan, keserasian
dan keselarasan.
30

negara dengan menggunakan hak pilihnya (pasif dan aktif) dapat


mempengaruhi susunan badan perwakilan, dan dapat menjadi
anggotanya. Aturan yang memberikan kewenangan untuk
melakukan tindakan harus ditetapkan oleh atau dengan persetujuan
badan perwakilan rakyat.

Kelima, asas pemerintah dan pejabatnya mengemban fungsi melayani rakyat.


Asas ini dijabarkan ke dalam seperangkat asas umum pemerintahan
yang layak (algemene beginselen van behoorlijk bestuurs). Syarat-
syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
harus terjamin dan dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan.

Pandangan yang demikian tentu berkaitan dengan adanya supremasi


hukum dalam suatu negara, yang mempunyai empat kriteria, yaitu: Pertama,
hukum dibuat berdasarkan dan dan oleh kemauan rakyat, rakyat adalah
sumber dan berperan dalam membuat hukum yang diperlukan. Kedua, hukum
dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, bukan semata-mata untuk kepentingan
penguasa, rakyat adalah subjek dari hukum bukan objek dari hukum. Ketiga,
kekuasaan pemerintah harus tunduk pada hukum, dan setiap kekuasaan harus
diikuti oleh sistem pertanggungjawaban. Keempat, adanya jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia, baik hak sipil maupun hak politik, sosial kemasya-
rakatan.

Dalam konteks seperti di atas menunjukkan bahwa kita tidak dapat


begitu saja mengeluarkan peraturan hukum tanpa menyediakan fasilitas atau
sarana yang dapat menunjang terlaksananya peraturan tersebut. Itu berarti,
faktor-faktor yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita sebagaimana
tertuang dalam peraturan hukum tersebut perlu dipersiapkan dengan baik.
Haruslah dipahami bahwa pengembangan hukum itu merupakan suatu
rencana bertindak (plan of action). Artinya, yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan itu hanyalah sekedar kerangka atau pedoman bertindak,
dan oleh karena itu masih harus dilengkapi dengan segala macam sarana yang
dibutuhkan agar dapat dijalankan dengan semestinya.

Bertolak dari kerangka pemahaman di atas, maka tatanan hukum yang


dibentuk minimal memenuhi kriteria berikut ini. Pertama, hukum tidak boleh
hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum
itu sendiri harus rasional. Hukum yang rasional itu adalah hukum yang benar-
benar mampu mewujudkan tujuan kehadirannya di lingkungan sosial dimana
31

ia memang diperlukan. Kedua, untuk menjamin agar karya hukum yang


rasional dapat mewujudkan tujuannya, ia harus didukung oleh tindakan yang
efisien oleh perangkat pelaksanaan hukumnya. Ketiga, tentang pentingnya
memasukkan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan
pengaruh struktur sosial masyarakat, karena disitu hukum seharusnya
mewujudkan tujuan-tujuannya.

Oleh karena itu, dalam rangka membangun budaya masyarakat,


pembinaan struktur dan kultur masyarakat serta pengembangan materi hukum
merupakan dua hal yang sangat urgen, akan tetapi pembinaan lain-lain dalam
komponen sistem hukum nasional itu juga sangat diperlukan, seperti
meningkatkan fungsi pengadilan dan meningkatkan mutu dan ketrampilan
aparatur penegak hukum dan pelayanan hukum.

Sebab adanya perangkat hukum yang sempurna tidak selalu


memberikan jaminan bagi terlaksananya ketentuan-ketentuan hukum, apabila
tidak ada aparatur penegak hukum yang dapat diandalkan untuk menegakkan
ketentuan hukum yang berlaku, atau apabila tidak ada aparatur pelayanan
hukum yang tanggap untuk dalam secara cepat dan tepat melayani masyarakat,
sehingga terpenuhi segala kebutuhan hukumnya, maka peraturan perundang-
undangan tersebut hanya berada dalam law in book, akan tetapi tidak dapat
menyentuh law in action.

Untuk dapatnya hukum itu berfungsi sebagai pengayom masyarakat,


maka diperlukan faktor pendukung yaitu fasilitas (yusur) yang diharapkan
akan mendukung pelaksanaan norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Selain dari itu, berfungsinya hukum sangat tergantung pada
hubungan yang serasi antara hukum itu sendiri (perangkat aturan hukum,
aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat. Kekurangan salah satu dari
unsur ini akan mengakibatkan seluruh sistem hukum akan berjalan pincang.38

Akhirnya, seharusnya pembaharuan hukum itu senantiasa berjalan


melalui proses dialektika dan berangkat dari problem-problem nyata di dalam
masyarakat. Di samping itu perubahan hukum itu seharusnya diarahkan pada
terciptanya sistem hukum yang memungkinkan dihormati, dipenuhi, dan
dilindunginya hak-hak dasar masyarakat, sehingga akan melahirkan hukum
yang responsif yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat menuju
terwujudnya budaya hukum yang dicita-citakan.

38 Abdul Manan, H. Op.cit. Hlm. 99.


32

PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian yang dikemukakan sebelumnya, menunjuk-


kan bahwa sistem hukum adalah merupakan bagian yang integral dalam
membangun budaya masyarakat, karena salah satu unsur komponen dari
sistem hukum adalah “the legal culture”, sehingga dalam pengembangan sistem
hukum nasional, pengembangan budaya hukum adalah merupakan syarat
mutlak (conditio sine quanon).

Oleh sebab itu, dalam perspektif pengembangan hukum nasional, teori


hukum yang dikembangkan adalah merupakan perpaduan dari berbagai teori
hukum, baik yang berasal dari Teori Hukum Sociological Jurisprudence dari
Roscou Pound, teori kebudayaan dari Northrop maupun teori policy oriented
dari Laswell dan Mc Dougal yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja menjadi teori hukum pengembangan, yang akan diwujudkan
ke dalam bentuk hukum tertulis (perundang-undangan) maupun hukum tidak
tertulis.

Akhirnya, diharapkan Pemerintah dan DPR memperhatikan peranan


pengembangan budaya masyarakat dalam rangka menjadi rujukan dalam aspek
pengubah hukum nasional sebagai conditio sine quanon, yang dilakukan
melalui pembinaan struktur dan budaya masyarakat yang diwujudkan melalui
penanaman kesadaran hukum, serta pengembangan materi hukum dalam
rangka mewujudkan hukum sebagai alat merekayasa masyarakat (law is a tool
of social engineering) yang dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadjaja di
Indonesia dengan Teori Hukum Pengembangan, yang pada gilirannya
melahirkan berbagai produk hukum dengan memperhatikan nilai-nilai yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law, volk geist), sehingga
hukum yang dilahirkan akan dapat berjalan secara efektif sesuai dengan yang
dicita-citakan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, H. 2006. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada


Media. Jakarta.
Abdul Manan. 2006. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. kencana, Jakarta.
Bernard Arif Sidharta. 1999. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat keilmuan Ilmu
33

Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional.


Mandar Maju. Bandung.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1996. Pola Pikir dan Kerangka Sistem
Hukum Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta.
Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. PT Suryandaru
Utama. Semarang.
Jurnal Tata Negara. Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Prinsip
Keadilan dan Feminisme. Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2006.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Lawrence M. Friedman. 2001. Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT Tata
Nusa. Jakarta.
Moh, Mahfud MD. Mengefektifkan Kontrol Hukum Atas Kekuasaan. Makalah
untuk Seminar Hukum dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum UII, 27 Maret 1996).
M. Solly Lubis. 2002. Sistem Nasional. Mandar Maju. Bandung.
Otje Salman S., H.R. dan Anthon F. Susanto. 2004. Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali. PT Refika Aditama.
Bandung.
Philippe Nonet dan Philip Selznick. 2003. Hukum Responsif Pilihan di Masa
Transisi. HuMa. Jakarta.
Sunaryati Hartono, CFG. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Alumni. Bandung.
Supasti Dharmawan Ni Ketut. 2006. Metodologi Penelitian Hukum Empiris.
Makalah Kedua dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana
Universitas Udayana.
Soerjono Soekanto. 1986. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni. Bandung.
Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada. Jakarta.
Sudjono Dirjosisworo. 1983. Sosiologi Hukum. Rajawali. Jakarta.
Satjipto Rahardjo. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Kompas.
Jakarta.
34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Rajawali Pers. Jakarta.
Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sjachran Basah. 1986. Tiga Tulisan Tentang Hukum. CV Armico. Bandung.
Zainuddin Ali. 2007. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
Undang-undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Vous aimerez peut-être aussi