Vous êtes sur la page 1sur 42

AUDIT KLINIS

KETERLAMBATAN MANAJEMEN EKLAMPSIA PURPURALIS DENGAN LUARAN


KEMATIAN MATERNAL PADA WANITA 29 TAHUN PARITAS 2 POST PARTUS
SPONTAN DI RUMAH SAKIT ASAL RUJUKAN.

Auditor:
dr. Imam Zahari
PPDS Tahap IV A

Pembimbing:
dr. Munawar, Sp. OG

Departemen Obstetri dan Ginekologi


Rumah Sakit Umum Daerah dr.Zainoel Abidin
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh – 2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….. i

BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………… 3

2.1 Definisi……………………………………………………...……….…….. 3
2.2 Etiologi
…………………………………………………..………………… 3
2.3 Insiden dan Faktor Risiko ………………………………………..……...... 4
2.4. Patofisiologi Eklampsia dan Hipertensi dalam Kehamilan ……………... 8
2.5 Diagnosis…………………………………………………..…………….... 13
2.6 Tata Laksan dan Pengelolaan umum……………………………..………. 14
2.7 Hubungan Anemi dengan Preeklamsia ………………… ………..…….. 17
2.8. Sistem dan Cara Rujukan..………………………………………………. 18

BAB III. AUDIT KLINIS……………………………………………………………… 21

KESIMPULAN………………………………………………………………………… 37
DAFTAR PUSTAKAAN……………………………………………………………… 38

i
BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu indikator penting derajat kesehatan suatu negara adalah angka
kematian ibu dan anak.(1) Kematian maternal adalah suatu kejadian yang telah
lama menjadi perhatian dunia. Hal ini terbukti pada pembentukan gerakan dan
agenda internasional untuk menangani masalah tersebut, seperti Safe Motherhood
Initiative(2) dan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development
Goals/MDGs), saat ini dilanjutkan oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDGs).(3,4) Program Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA) merupakan salah satu program prioritas pembangunan kesehatan di
Indonesia yang bertujuan untuk menekan angka kematian ibu dan anak. Program
ini bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu
melahirkan, dan neonatus.(5)
Penyebab kematian ibu antara lain perdarahan post partum, eklampsia,
infeksi/sepsis. Banyak sekali negara-negara berkembang tidak memiliki pelayanan
kesehatan yang memadai untuk menanggulangi masalah tersebut, serta ibu hamil
sering tidak memiliki akses minimal untuk mendapatkan pertolongan tenaga
kesehatan yang terampil serta perawatan darurat yang cepat.(6) World Health
Organization (WHO) menyebut dalam pilar Safe Motherhood Initiative bahwa
salah satu gerakan untuk mencegah kematian maternal akibat tidak langsung
adalah pemberian layanan asuhan antenatal esensial.(7) Pelayanan antenatal
memiliki tujuan utama yaitu mengenali kehamilan risiko tinggi
Eklampsia sangat erat kaitannya dengan preeklampsia baik ringan maupun
berat karena eklampsia merupakan komplikasi dari preeklampsia. Preeklamsia itu
sendiri adalah kelainan dari fungsi endotel vaskular dan vasospasme yang luas
yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan dapat berlangsung hingga 4-6
minggu masa nifas.1

1
Preeklampsia termasuk salah satu bagian dari terminologi hipertensi
dalam kehamilan (HDK). Hipertensi dalam kehamilan digunakan untuk
menggambarkan spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan
tekanan darah yang ringan atau berat dengan berbagai disfungsi organ. Sampai
sekarang penyakit HDK masih merupakan masalah kebidanan yang belum dapat
dipecahkan dengan tuntas.1,2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba-
tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa
nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat
grand mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis. Istilah eklampsia
berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata tersebut
dipergunakan karena seolah-olah gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului tanda-tanda lain.3,4
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),
eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum),
berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester
terakhir dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang
jarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75%
kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah
melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu postpartum.5,6
Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working
Group on Blood Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi
disertai dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal yang
biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan 7
sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan
diastolik ≥ 90 mmHg. Proteinuria adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah
≥300 mg/dl dalam urin tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl dari urin acak tengah
yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing.8,9

2.2 Etiologi

1. Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi ekstrem, yaitu


16 tahun dan umur 35 tahun ke atas

3
2. Multigravida dengan kondisi klinis:
- Kehamilan ganda dan hidrops fetalis.
- Penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan diabetes
mellitus.
- Penyakit-penyakit ginjal.
3. Hiperplasentosis Molahidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi
besar, diabetes mellitus.
4. Riwayat keluarga pernah pre-eklamsia atau eklamsia.
5. Obesitas dan hidramnion.
6. Gizi yang kurang dan anemi.
7. Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi kalsium,
defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidans.

2.3 Insiden dan Faktor Risiko


Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh persalinan
dan lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan
negara maju (0,05%-0,1%).Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh
paritas, gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan
yang merupakan faktor risikonya.5,6
Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di Indonesia.
Menurut laporan KIA Provinsi Aceh tahun 2017, jumlah kematian ibu yang
dilaporkan sebanyak 148/100.000 kelahiran. Penyebab kematian ibu terbanyak
masih didominasi Perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam kehamilan (25%),
infeksi (5%), partus lama (5%) dan abortus (1%). Penyebab lain –lain (32%)
cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non obstetrik.10,11
Sedangkan di RSUP Dr. Kariadi Semarang kematian ibu melahirkan
terbanyak disebabkan oleh preeklampsia dan eklampsia. Pada tahun 2016 di
RSUP Dr. Kariadi Semarang di dapatkan data penyebab utama kematian maternal
yaitu preeklampsia dan eklampsia (40%) diikuti infeksi (26,6%) dan perdarahan
(24,4%). Pada tahun 1996 – 1998 kematian maternal oleh preeklampsia dan
eklampsia 48%, perdarahan 24% dan infeksi 14%. Sedangkan pada tahun 1999-

4
2000 preeklampsia dan eklampsia juga penyebab utama kematian maternal
(52,9%) diikuti perdarahan (26,5%) dan infeksi (14,7%).10-12
Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko
preeklampsia dan eklampsia dan mengontrolnya, sehingga memungkinkan
dilakukan pencegahan primer. Dari beberapa studi dikumpulkan ada beberapa
fakto risiko preeklampsia, yaitu:

1) Usia:
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia


hampir dua kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada
primipara maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko secara
bermakna (Evidence II, 2004). Robillard dkk melaporkan bahwa risiko
preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan kedua meningkat dengan
peningkatan usia ibu. Choudhary P dalam penelitiannya menemukan
bahwa eklampsia lebih banyak (46,8%) terjadi pada ibu dengan usia
kurang dari 19 tahun.
2) Nulipara
Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara.

Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat (RR

2,91, 95% CI 1,28 – 6,61) (Evidence II, 2004)
3) Kehamilan pertama oleh pasangan baru 
Kehamilan pertama oleh
pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko, walaupun bukan
nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki paparan
rendar terhadap sperma.

4) Jarak antar kehamilan
Studi melibatkan 760.901 wanita di Norwegia,
memperlihatkan 
bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan
sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia dan
eklampsia hampir sama dengan nulipara.
Robillard dkk melaporkan
bahwa ririko preeklampsia dan eklampsia semakin meningkat sesuai
dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun
jarak kehamilan pertama dan kedua; p <0,0001).
5) Riwayat preeklampsia eklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada

5
kehamilan sebelumnya merupakan 
faktor risiko utama. Menurut Duckitt
risiko meningkat hingga tujuh kali lipat (RR 7,19 95% CI 5,85-8,83).
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia dan eklampsia
sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat,
preeklampsia onset dinin dan dampak perinatal yang buruk. 

6) Riwayat keluarga preeklampsia eklampsia
Riwayat preeklampsia dan
eklampsia pada keluarga juga 
meningkatkan risiko hampir tiga kali lipat.
Adanya riwayat 
preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3,6
kali lipat.
7) Kehamilan multifetus 
Studi melibatkan 53.028 wanita hamil
menunjukkan, kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia
hampir tiga kali lipat. Analisa lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet
memiliki risiko hampir tiga kal lipat dibandingkan kehamilan duplet. Sibai
dkk menyimpulkan bahwa kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang
lebih tinggi untuk menjadi preeklamsia dibandingkan kehamilan normal.
Selain itu, wanita dengan kehamilan multifetus dan kelainan hipertensi
saat hamil memiliki luaran neonatal yang lebih buruk daripada kehamilan
monofetus.8
8) Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah
inseminasi donor sperma, donor oossit atau donor embrio juga dikatakan
sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia
adalah lajadaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan
sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan
frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan oosit,
frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin
mengecilkan kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari
pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun
preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan pertama,
frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan berikutnya
apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek

6
protektif dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Robillard
dkk melaporkan adanya peningkatan risiko preeklamspia sebanyak dua
kali pada wanita dengan pasangan yang pernah memiliki isteri dengan
riwayat preeklampsia.
9) Diabetes Melitus Terganung Insulin (DM tipe I) 
Kemungkinan
preeklampsia meningkat hampir empat kali lipat bila diabetes terjadi
sebelum hamil. Anna dkk juga menyebutkan bahwa diabetres melitus dan
hipertensi keduanya berasosiasi kuat dengan indeks masa tubuh dan
kenaikannya secara relevan sebagai faktor risiko eklampsia di United
State.
10) Penyakit ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia

meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan

penyakit ginjal.
11) Sindrom antifosfolipid 
Dari dua studi kasus kontrol yang diulas oleh
Duckitt menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi
antikardiolipin, antikoagulan lupus atau keduanya) meningkatkan risiko
preeklampsia hampir 10 kali lipat.

12) Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi
kronik, 
didapatkan insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n-
180) dan hampir setengahnya adalah preeklampsia onset dini (<34
minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk.
13) Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
Antenatal Care (ANC) 
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia
dan risiko semakin besar dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat
berhubungan dengan resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko
preeklampsia. Obesitas meningkatkan rsisiko preeklampsia sebanyak 2,47
kali lipat, sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil >35 dibandingkan
dengan IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia empat kali lipat.
Pada
studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelao dan Belizan pada
878.680 kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada

7
kehamilan di populasi wanita yang kurus (IMT< 19,8) adalah 2,6%
dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk (IMT> 29,0).

14) Kondisi sosioekonomi
Faktor lingkungan memiliki peran terhadap
terjadinya hipertensi pada kehamilan. Pada wanita dengan sosioekonomi
baik memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami preeklampsia.
Kondisi sosioekonomi pasien di RS dapat dilihat melalui sistem
pembayarannya.8
15) Frekuensi ANC
 menyebutkan bahwa eklampsia banyak terjadi pada ibu
yang kurang mendapatkan pelayanan ANC yaitu sebesar 6,14%

dibandingkan dengan yang mendapatkan ANC sebesar 1,97%. Studi case
control di Kendal menunjukkan bahwa penyebab kematian ibu terbesar
(51,8%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua penyebab itu sebenarnya
dapat dicegah dengan pelayanan antenatal yang memadai atau pelayanan
berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.12

2.4. Patofisiologi Eklampsia dan Hipertensi dalam Kehamilan


Penyebab pasti kejang pada wanita preeklamsi tidak dipahami dengan
jelas. Dua model telah diajukan, berdasarkan peran sentral hipertensi. Menurut
model pertama, hipertensi menyebabkan gangguan sistem autoregulasi sirkulasi
serebral, yang menyebabkan hiperperfusi, disfungsi endotel, dan edema vasogenik
dan / atau sitotoksik. Pada model kedua, hipertensi menyebabkan aktivasi sistem
autoregulatory, yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh serebral yang
mengarah ke hipoperfusi, lokalisasi iskemia, disfungsi endotel, dan edema
vasogenik dan / atau sitotoksik. Peradangan serebral juga dapat berperanHingga
saat ini etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan masih belum
diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari
etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini
belum memuaskan sehinggan Zweifel menyebut preeklampsia dan eklampsia
sebagai “the disease of theory”. Adapun hipotesis yang diajukan diantaranya
adalah:


8
1) Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut berperanan
dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah dilaporkan adanya
peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia pada wanita yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia preeklampsia dan eklampsia.
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian preeklampsia
dan eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA) pada
penderita preeklampsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara
histokompatibilitas antigen HLA- DR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu
dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi
terhadap perkembangan preeklampsia eklampsia dan intra uterin growth
restricted (IUGR) daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut.
Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklampsia eklampsia berhubungan
dengan gen resesif tunggal. Meningkatnya prevalensi preeklampsia eklampsia
pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang menderita preeklampsia eklampsia
mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia.
Walaupun faktor genetik nampaknya berperan pada preeklampsia eklampsia tetapi
manifestasinya pada penyakit ini secara jelas belum dapat diterangkan.
2) Iskemia Plasenta pada kehamilan normal
Proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan miometrium dalam dua
tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu
dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika media dan
jaringan otot polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan material
fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses
tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction.
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel trofoblas di
mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga
kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu
penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan material
fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang
berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi

9
dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang
meningkat pada kehamilan.
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana
mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu :

1) tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas;


2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel
trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung
sehingga bagian arteri spiralis yang berada dalam miometrium tetapi
mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang berarti masih
terdapat resistensi vaskuler.

Gambar 1. Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan hipertensi (bawah). Sel
sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada kehamilan normotensi.8

10
Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis) pada
arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil atau
bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan aliran
darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada
plasenta. Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang
memiliki resistensi vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi
trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan
aliran darah di daerah intervilli yang menyebabkan penurunan perfusi
darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di
plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin
(IUGR) hingga kematian bayi.
3) Prostasiklin-tromboksan
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang
dihasilkan di sel endotel yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam
pembuatannya dikatalisis oleh enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan
meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot polos dan trombosit dan
memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit.

Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat


dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek
vasikonstriktor dan agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A2
mempunyai efek yang berlawanan dalam mekanisme yang mengatur
interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu,
plasenta dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan
produksi prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi
peningkatan rasio tromboksan A2 : prostasiklin.
Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan
menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat
pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan
sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut.
Preeklampsia berhubungan dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem

11
koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan
sentral pada proses ini di mana hal ini sangat berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin. Kerusakan endotel
vaskuler pada preeklampsia menyebabkan penurunan produksi
prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang
kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan
mengkonsumsi antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi
trombosit menyababkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga
akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
4) Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi
imunologis sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita
preeklampsia terjadi penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan
penderita yang normotensi yang dimulai sejak awal trimester II. Antibodi
yang melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita dengan
preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.
Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari
arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel
yang dimediasi oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1),
enzim proteolitik dan radikal bebas oleh desidua.
Sitokin TNF-α dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang
berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan
merubah sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal bebas- oksigen
yang selanjutkan akan membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat
oleh antioksidan.
Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan
kerusakan sel endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan
pembentukan lipid perioksida yang akan membuat radikal bebas lebih
toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan menyebabkan gangguan
produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan mempengaruhi
keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi peningkatan
produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari

12
endotel vaskuler.
Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag
lipid laden, aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia)
serta peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria)
Antioksidan merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk
mencegah terjadinya overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh
radikal bebas. Telah dikenal beberapa antioksidan yang poten terhadap
efek buruk dari radikal bebas diantaranya vitamin E (α- tokoferol), vitamin
C dan β-caroten. Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan
perusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.

Gambar 2. Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi dalam kehamila

2.5 Diagnosis
Preeklampsia Ringan
§ Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
§ Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil >300 mg/24 jam

Preeklampsia Berat
• Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu

13
• Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam
• Atau disertai keterlibatan organ lain:
• Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
• Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
• Sakit kepala , skotoma penglihatan
• Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
• Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
• Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl

Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik


• Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia kehamilan
20 minggu)
• Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000
sel/uL pada usia kehamilan > 20 minggu

Eklampsia
• Kejang umum dan/atau koma
• Ada tanda dan gejala preeklampsia
• Tidak ada kemungkinan penyebab

2.6 Tata Laksan dan Pengelolaan umum20


a. Tatalaksana Umum

Pencegahan dan tatalaksana kejang


• Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan
sirkulasi (cairan intravena).
• MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai
tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang).
Cara pemberian dapat dilihat di halaman berikut.

14
• Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan
dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan yang
memadai.
• Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke
ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator
tekanan positif.

CARA PEMBERIAN MGSO4


• Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang
atau kejang berulang.
• Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam
sesuai prosedur.

CARA PEMBERIAN DOSIS AWAL


• Ambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan
dengan 10 ml akuades
• Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
• Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5 ml
larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan

CARA PEMBERIAN DOSIS RUMATAN


• Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 ml
larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan secara IV dengan kecepatan
28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan
atau kejang berakhir (bila eklampsia)
• Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin.
• Bila frekuensi pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan refleks
tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5 ml/kg BB/jam),
segera hentikan pemberian MgSO4.

15
• Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
bolus dalam 10 menit.
• Selama ibu dengan preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai
adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan
penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2
g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih
terdapat kejang, dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama
2 menit

Antihipertensi
• Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat terapi
antihipertensi.
• Pilihan antihipertensi didasarkan terutama pada pengalaman dokter dan
ketersediaan obat. Beberapa jenis antihipertensi yang dapat digunakan
misalnya:
• Ibu yang mendapat terapi antihipertensi di masa antenatal dianjurkan untuk
melanjutkan terapi antihipertensi hingga persalinan
• Terapi antihipertensi dianjurkan untuk hipertensi pascasalin berat.

Pemeriksaan penunjang tambahan


• Hitung darah perifer lengkap (DPL)
• Golongan darah ABO, Rh, dan uji pencocokan silang
• Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
• Fungsi ginjal (ureum, kreatinin serum)
• Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
• USG (terutama jika ada indikasi gawat janin/pertumbuhan janin
terhambat)

Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan


• Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam
sejak terjadinya kejang.

16
• Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan
janin yang belum viable atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu.
• Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana janin sudah viable namun
usia kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan
dianjurkan, asalkan tidak terdapat kontraindikasi (lihat algoritma di
halaman berikut). Lakukan pengawasan ketat.
• Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan antara 34 dan
37 minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat
hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin.
Lakukan pengawasan ketat.
• Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm,
persalinan dini dianjurkan.
• Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan
yang sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan.

2.7 Hubungan Anemi dengan Preeklamsia21


Preeklamsia dan eklamsia merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal, yang angka kejadiaanya cenderung meningkat. Factor predisposisi yang
berhubungan dengan kejadan preeklamsia diantaranya adalah primigravida,
obesitas, kenaikan berat badan yang berlebihan dan kekurangan gizi ( protein,
kalsium dan zat besi) ibu hamil dengan anemia defesiensi besi meningkatkan
resiko terjadinya preeklamsia. Nutrisi yang baik memberikan kontribusi dalam
menurunkan insidendan mortalitas preeklamsia
Ibu yang sedang hamil membutuhkan asupan gizi yang lebih, terutama zat
besi untuk mencegah terjadinya anemia defesiensi besi. Pada saat hamil, sirkulasi
ibu akan meningkat. Volum plasma meningkat 45-60%, dimulai dari trismester ke
II kehamilan serta maksimum terjado pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar
1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta kembali normal pada 3 bulan
setelah partus. Pertambahan volum plasma yang tidak seimbang dengan
pertambahan darah akan menyebabkan terjadinya anemia. Anemia yang terjadi
secara progresif akan menyebabkan terjadinya penyempitan vaskular sehingga

17
terjadi hambatan aliran darah yang menjelaskan terjadinya hioertensi. Kerusakan
sel endotel akhirnya akan mengakibatkan sirkulasi dalam vasa vasorum
terganggu. Lebih lanjut akan terjadi kebocoran sel endotel sehingga sel sel
pembetuk adrah seperti trombosit dan fibrinogen, tertimbun pada lapisan sel
subendotel. Permeabilitas terhadap protein akan meningkat sehingga akan terjadi
proteinuria.

2.8. Sistem dan Cara Rujukan20


Rujukan ibu hamil dan neonatus yang berisiko tinggi merupakan
komponen yang penting dalam sistem pelayanan kesehatan maternal. Dengan
memahami sistem dan cara rujukan yang baik, tenaga kesehatan diharapkan dapat
memperbaiki kualitas pelayanan pasien.

A. Indikasi dan Kontraindikasi

Secara umum, rujukan dilakukan apabila tenaga dan perlengkapan di suatu


fasilitas kesehatan tidak mampu menatalaksana komplikasi yang mungkin terjadi.
Dalam pelayanan kesehatan maternal dan pernatal, terdapat dua alasan untuk
merujuk ibu hamil, yaitu ibu dan/atau janin yang dikandungnya.

Berdasarkan sifatnya, rujukan ibu hamil dibedakan menjadi:


Rujukan kegawatdaruratan
• Rujukan kegawatdaruratan adalah rujukan yang dilakukan sesegera mungkin
karena berhubungan dengan kondisi kegawatdaruratan yang mendesak.
Rujukan berencana
• Rujukan berencana adalah rujukan yang dilakukan dengan persiapan yang
lebih panjang ketika keadaan umum ibu masih relatif lebih baik, misalnya di
masa antenatal atau awal persalinan ketika didapati kemungkinan risiko
komplikasi. Karena tidak dilakukan dalam kondisi gawat darurat, rujukan ini
dapat dilakukan dengan pilihan modalitas transportasi yang lebih beragam,
nyaman, dan aman bagi pasien.

Adapun rujukan sebaiknya tidak dilakukan bila:

18
• Kondisi ibu tidak stabil untuk dipindahkan
• Kondisi janin tidak stabil dan terancam untuk terus memburuk
• Persalinan sudah akan terjadi
• Tidak ada tenaga kesehatan terampil yang dapat menemani
• Kondisi cuaca atau modalitas transportasi membahayakan

B. Perencanaan Rujukan
Komunikasikan rencana merujuk dengan ibu dan keluarganya, karena
rujukan harus medapatkan pesetujuan dari ibu dan/atau keluarganya. Tenaga
kesehatan perlu memberikan kesempatan, apabila situasi memungkinkan, untuk
menjawab pertimbangan dan pertanyaan ibu serta keluarganya. Beberapa hal yang
disampaikan sebaiknya meliputi:
• Diagnosis dan tindakan medis yang diperlukan
• Alasan untuk merujuk ibu
• Risiko yang dapat timbul bila rujukan tidak dilakukan
• Risiko yang dapat timbul selama rujukan dilakukan
• Waktu yang tepat untuk merujuk dan durasi yang dibutuhkan untuk
merujuk
• Tujuan rujukan
• Modalitas dan cara transportasi yang digunakan
• Nama tenaga kesehatan yang akan menemani ibu
• Jam operasional dan nomer telepon rumah sakit/pusat layanan
kesehatan yang dituju
• Perkiraan lamanya waktu perawatan
• Perkiraan biaya dan sistem pembiayaan (termasuk dokumen
kelengkapan untuk Jampersal, Jamkesmas, atau asuransi
kesehatan)
• Petunjuk arah dan cara menuju tujuan rujukan dengan
menggunakan modalitas transportasi lain
• Pilihan akomodasi untuk keluarga

19
• Hubungi pusat layanan kesehatan yang menjadi tujuan rujukan dan sampaikan
kepada tenaga kesehatan yang akan menerima pasien hal-hal berikut ini:
• Indikasi rujukan
• Kondisi ibu dan janin
• Rencana terkait prosedur teknis rujukan (termasuk kondisi
lingkungan dan cuaca menuju tujuan rujukan)
• Kesiapan sarana dan prasarana di tujuan rujukan
• Penatalaksanaan yang sebaiknya dilakukan selama dan sebelum
transportasi, berdasarkan pengalaman-pengalaman rujukan
sebelumnya

20
BAB III
AUDIT KLINIS

Audit Klinis
Audit klinis merupakan salah satu dari enam pilar tata kelola klinis,
dimana dilakukannya penilaian proses (dengan menggunakan kriteria
evidence-based) dan keluaran pelayanan dengan membandingkannya dengan
standar. Tujuan manajemen risiko klinis adalah merangsang dan mendukung
peningkatan kualitas intervensi yang diperlukan, dan menilai pelaksanaan
intervensi melalui proses re-audit.7
Kualitas pelayanan merupakan topik penting pada sektor kesehatan di seluruh
dunia. Profesi kesehatan bertujuan untuk meningkatkan manfaat tindakan
terhadap pasien dan memberikan berbagai metode untuk meningkatkan
pelayanan kepada pasien. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan dibutuhkan penilaian performa dan umpan balik berupa proses
audit.7
Manajemen risiko klinis ini bertujuan untuk secara spesifik dan langsung
mempertanyakan dan menilai secara sistematis:
1. Apakah yang seharusnya dilaksanakan sudah dilaksanakan sesuai standar
2. Apakah praktek yang dikerjakan sesuai dengan standar yang ditetapkan
3. Apakah praktek yang dikerjakan sesuai dengan panduan pelayanan medis
4. Apakah praktek klinis sesuai dengan perkembangan ilmu
5. Apakah bukti yang sahih dan mutakhir telah diterapkan

Menurut Dickson8, tahapan proses dari manajemen risiko adalah:


1. Identifikasi risiko
2. Penilaian risiko
3. Pengembangan strategi manajemen risiko
4. Implementasi program manajmen risiko
5. 10.Evaluasi aktifitas manajemen risiko

21
Sedangkan siklus audit klinis meliputi:7
1. Pemilihan topik audit
2. Pengaturan kriteria dan standar
3. Pengumpulan data
4. Analisis data dan implementasi perubahan
5. Pengembangan dan mempertahankan kualitas.

Pada audit klinis ini, akan dibahas mengenai penanganan persalinan kala II
pada pasien dengan bekas seksio caesarea 1x di pelayanan kesehatan faskes
tingkat pertama. Dengan menggunakan metode analisa akar masalah (root cause
analysis) dilakukan upaya untuk mengetahui apakah penanganan yang dikerjakan
sudah tepat atau tidak.

LANGKAH-LANGKAH ANALISIS AKAR MASALAH


Analisis akar masalah terdiri dari 7 langkah yang harus dilalui seperti tergambar
pada skema dibawah ini.

22
LANGKHA PERTAMA:
MENGIDENTIFIKASI INSIDEN YANG DIINVESTIGASI
Insiden yang diidentifikasi adalah kematian ibu yang mengalami
eklampsia purpurium setelah melahirkan anak kedua di RS. Yulidin Away kab
Tapak Tuan dengan permasalahan penurunan kesadaran ec eklamsia peurpuralis,
syok sepsis dan gagal nafas akut. Kasus eklampsia purpureum merupakan
kejadian yang jarang, dan memiliki angka mortalitas yang tinggi, memerlukan
indentifikasi dan tatalaksana yang tepat dengan melibatkan tim.

LANGKAH KEDUA:
MENENTUKAN TIM INVESTIGASI
Tim investigasi terdiri dari: dr. Munawar, Sp. OG dan dr. Imam Zahari

LANGKAH KETIGA:
MENGUMPULKAN DATA
Berikut ini data yang diperoleh dari rekam medis serta wawancara dengan
Perujuk, keluarga pasien, DPJP dan petugas medis RS. Yulidin Away kab Tapak
Tuan pada bulan Oktober 2018.

Tanggal 13 Oktober 2018, pukul 10.00 WIB


Pasien seorang wanita 29 tahun datang ke RS Yulidin Away saat usia
kehamilan 9 bulan dengan keluhan mules-mules. Setelah dilakukan observasi
persalinan selama 8 jam pasien melahirkan normal, lahir bayi laki-laki 3200 gr,
plasenta lahir lengkap, tidak terdapat perdarahan, Setelah melahirkan pasien
diperiksa darah rutin, didapatkan anemia dengan Hb 6 gr/dl. Dokter yang merawat
(dr. Sabri, Sp. OG) menginstruksikan untuk di transfuse PRC, namun pasien dan
keluarga menolak. Pasien pulang dengan Hb 6 gr/dl. Saat dirawat tidak ada
tekanan darah tinggi
Pasien mengaku hamil 9 bulan. HPHT lupa. Ini merupakan kehamilan
kedua. Selama hamil pasien kontrol kehamilan 4x ke bidan dan 3x ke SPOG (dr.
Erizaldi, Sp. OG). Saat USG kujungan kedua dikatakan terdapat lilitan tali pusat

23
1x di leher bayi, lain-lain dalam keadaan normal. Saat kunjungan ANC ke 3 ke
SpOG (kehamilan 8 bulan) dikatakan sudah tidak terdapat lagi lilitan tali pusat di
lehernya. Keluhan tekanan darah tinggi selama hamil disangkal. Selama control
kehamilan ke bidan maupun ke Sp. OG tekanan darah tidak pernah di atas 140
mmHg.
Tanggal 22 Oktober 2018, pukul 12.00WIB
Setelah 9 hari dirumah pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat di bagian depan,
lalu pasien pergi ke Puskesmas Air Berudang, saat itu pasien tekanan darahnya
normal. Puskesmas langsung merujuk pasien ke RS Yulidin Away. Pasien tiba di
RS pukul 12.00 WIB, lalu pasien di rawat di ruang rawat post partum. Saat masuk
Hb pasien 6, Direncanakan transfusi 3 kolf, namun hanya sempat masuk PRC 1
kolf. Pukul 16.00 pasien tiba-tiba kejang di ruangan rawat, lalu tidak sadarkan
diri. Pasien dipindahkan ke ruang rawat ICU. Di ICU pasien sempat kejang
kembali, mendapatkan terapi fenitoin dan diazepam. Menurut pengakuan perawat
ICU, pasien tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi selama di ruang rawat
maupun di ICU. Pasien tidak di intubasi di ICU. Keesokan siangnya pasien
dirujuk ke RSUDZA. Saat dalam perjalanan pasien dalam kondisi tidak sadar,
terpasang IV line dan O2 nasal canul 4L/i.

Tanggal 24 Oktober 2018, pukul 23.00


Pasien tiba diantar oleh ambulan di rujuk dari RS. Yulidin Away Tapak
Tuan dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum dirujuk. Pasien
mengalami kejang selama di rawat di ICU RS. Yulidin Away Tapak Tuan lebih
dari 10 x. Sebelumnya pasien mengeluhkan adanya nyeri kepala frontal dan
pandangan mata kabur, tanpa adanya mual dan muntah. Pasien kontrol kehamilan
dengan bidan dan tidak pernah menderita darah tinggi sebelumnya. Pasien
melahirkan tanpa permasalahan, dengan berat bayi lahir 3200 gram, dan tidak ada
riwayat darah tinggi saat persalinan, riwayat menarche pada usia 13 tahun,
riwayat menikah pada usia 27 tahun, riwayat persalinan 2X pervaginam, riwayat
social ekonomi: pasien IRT dan suami pegawai honorer

24
Dari hasil pemeriksaan didapatkan hemodinamik tida stabil dengan
kesadaran Somnolen (GCS 7), TD 160/100 mmhg, HR 90 x/I, RR 24 x/I (SpO2
86%. Status generalisata: Mata: konjungtiva pucat (+/+), pupil isokor
2mm/2mm. T/H/M: dalam batas normal, dalam penggunaan NGT. Jantung: BJ
II>II, regular, murmur (-), gallop (-)Pulmo: suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-. Abdomen: Soepel, distension (-) peristaltik positif, Extremity:
hangat, CRT < 2”, Status Obstetrical, I: V/U dalam batas normal, tidak ada
perdarahan aktif, TFU: pertengahan umbilicus dan simfisis pubis, kontraksi baik,
ASI: No engorgement. Loche: Serosa. Dari pemeriksaan penunjang USG
Abdomen didapatkan uterus anteflexi, ukuran 80x60x50mm, myometrium
homogeny, endometrial line (+).
Dilakukan konsultasi ke devisi neorologi didapatkan hasil pemeriksaan
fisik: motoric tidak ada kesan lateralisasi, reflex fisiologis (+), reflex patologis (-),
sensoris sulit dinilai, disimpulkan: Penurunan kesadaran e.c 1 metabolik
ensepalopati, 2 Sepsis. Saran CT-Scan kepala, inj citicholin 500mg/12 jam
Dilakukan konsultasi ke devisi penyakit dalam didapatkan kesan penuruan
kesadaran e.c eklamsia peurpuralis dd/ sepsis dd/ stroke. Saran pasien dilakukan
perawatan di ICU. Dlilakukan konsultasi ke devisi oftalmologi didapatkan kesan:
Retinopati hipertensi ODS. Keratitis eksposure OD. selanjutnya pasien dilakukan
perawatan di ICU dengan rawatan bersama intensivis

Pada tanggal 25 Oktober 2018, pukul 06. 30


S: Pasien dalam ventilator mode: MCV Fi02: 50%, PEEP 7,4, O/ C: Under
sedativa
KU: buruk
TD : 137/62mmHg
N : 85 x/min, Temp: 37,2
RR 14 x/miin, Sat O2: 100 %

Status generalisata
Mata: konjungtiva pucat (+/+), pupil isokor 3mm/3mm,

25
T/H/M: dalam batas normal, dalam penggunaan NGT
Jantung: BJ II>II, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler+/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: Soepel, distension (-) peristaltik positif
Extremity: hangan, CRT < 2”
Status Obstetrical
I: V/U dalam batas normal, tidak ada perdarahan aktif
TFU: pertengahan umbilicus dan simfisis pubis, kontraksi baik
ASI: No engorgement
BAK: dalam penggunaan kateter, BAB: positif
Loche: Serosa
A/ NH 10 P2A0(AH 1) postpartum spontan di luar, ibu dengan:
1. Penurunan kesadaran ec eclampsia gravidarum
2. Anemia Mikrositik Hypochromic (Hb 6,7)
3. Leukositosis reaktif (18.500)
4. Akut respiratori failure
Tatalaksana:
- Inj. Meropenem 1 gr/8 jam
- Fentanyl and Propofol drip titrasi
- Perdipine drip titrasi
- Inj.Omeprazole 40 mg/12 jam
- Inj. Citicoline 500 mg/12 jam
- Ventoline nebule/8 jam
- Metildopa 3x500 mg
- Tranfusi PRC sampai HB diatas 10

Pada tanggal 26 Oktober 2018, pukul 06. 30


S: Pasien dalam ventilator mode: MCV Fi02: 40%, PEEP 5
O/
KU: buruk
TD : 137/62mmHg

26
N : 85 x/min, Temp: 37,2
RR 14 x/miin, Sat O2: 100 %
Status generalisata:
Mata: konjungtiva pucat (+/+), pupil isokor 3mm/3mm,
T/H/M: dalam batas normal, dalam penggunaan NGT
Jantung: BJ II>II, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler+/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: Soepel, distension (-) peristaltik positif
Extremity: hangan, CRT < 2”
Status Obstetrical
I: V/U dalam batas normal, tidak ada perdarahan aktif
TFU: pertengahan umbilicus dan simfisis pubis, kontraksi baik
ASI: No engorgement
BAK: dalam penggunaan kateter, BAB: positif
Lochea: Serosa
A/ NH 10 P2A0(AH 1) postpartum spontan di luar, ibu dengan:
1. Penurunan kesadaran ec eclampsia gravidarum
2. Anemia Mikrositik Hypochromic (Hb 8,5)
3. Leukositosis reaktif (21.500)
4. Akut respiratori failure
Tatalaksana:
- Inj. Meropenem 1 gr/8 jam
- Fentanyl and Propofol drip titrasi
- Inj.Omeprazole 40 mg/12 jam
- Inj. Citicoline 500 mg/12 jam
- Ventoline nebule/8 jam
- Tranfusi PRC sampai HB diatas 10

Pada tanggal 27 Oktober 2018, pukul 06. 30


S: Pasien dalam ventilator, mode: MCV Fi02: 45%, PEEP 5,

27
O/ Kesadaran: dalam sedasi
KU: jelek
BP: 107/58 mmHg
HR : 83 x/min, Temp: 36,5
RR 15 x/miin, Sat O2: 100 %

Status generalisata:
Mata: konjungtiva pucat (+/+), pupil isokor 3mm/3mm,
T/H/M: dalam batas normal, dalam penggunaan NGT
Jantung: BJ II>II, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler+/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: Soepel, distension (-) peristaltik positif
Extremity: hangan, CRT < 2”
Status Obstetrical
I: V/U dalam batas normal, tidak ada perdarahan aktif
TFU: pertengahan umbilicus dan simfisis pubis, kontraksi baik
ASI: No engorgement
BAK: dalam penggunaan kateter, BAB: positif
Lochea: Serosa
A/ NH 12 P2A0(AH 1) postpartum spontan di luar, ibu dengan:
1. Penurunan kesadaran ec eclampsia gravidarum
2. Anemia Mikrositik Hypochromic (Hb 8,5)
3. Leukositosis reaktif (21.500)
4. Akut respiratori failure
Tatalaksana:
- Inj. Meropenem 1 gr/8 jam
- Fentanyl and Propofol drip titrasi
- Inj.Omeprazole 40 mg/12 jam
- Inj. Citicoline 500 mg/12 jam
- Ventoline nebule/8 jam
- Tranfusi PRC sampai HB diatas 10

28
Pada tanggal 28 Oktober 2018, pukul 06. 30
S: Pasien dalam ventilator mode: MCV Fi02: 50%, PEEP 5,
O/
Kesadaran: dalam sedatif
KU: Buruk
TD: 107/58 mmHg
N : 83 x/min (Ephinefrin)
Temp: 37,4
RR 15 x/miin, Sat O2: 100 %
Status generalisata:
Mata: konjungtiva pucat (+/+), pupil isokor 3mm/3mm,
T/H/M: dalam batas normal, dalam penggunaan NGT
Jantung: BJ II>II, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara nafas vesikuler+/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: Soepel, distension (-) peristaltik positif
Extremity: hangan, CRT < 2”
Status Obstetrical
I: V/U dalam batas normal, tidak ada perdarahan aktif
TFU: pertengahan umbilicus dan simfisis pubis, kontraksi baik
ASI: No engorgement
BAK: dalam penggunaan kateter, BAB: positif
Lochea: serosa
A/ NH 10 P2A0(AH 1) postpartum spontan di luar, ibu dengan:
1. Penurunan kesadaran ec eclampsia gravidarum
2. Anemia Mikrositik Hypochromic (Hb 10,6)
3. Leukositosis reaktif (29.500)
4. Akut respiratori failue

Tatalaksana
- Inj. Meropenem 1 gr/8 ho

29
- Fentanyl and Propofol dripp titration
- Inj. Phenitoin 1 mg/8 ho
- Epinefrine dripp titration
- Inj.Omeprazole 40 mg/12 ho
- Inj. Citicoline 500 mg/12 ho
- Ventoline nebule/8 ho

Tabel 1. Evaluasi laboratorium pasien

Jenis Hasil Hasil Hasil Rujukan


Satuan
Pemeriksaan
24/10/18 26/10/18 28/10/18
Hb 6,7 8,5 10.06 12.0 – 15.0 g/dl
Ht 22 27 33 37 -47 %
Eritrosit 45000 46000 4.2 – 5.4 106/mm3
Leukosit 18.500 21.900 29.500 4.5 – 10.5 103/mm3
150 – 450
Trombosit 389.000 258.000 197.000 103/mm3

MCV 68 67 74 80-100 %
MCH 21 21 34 27-31 %
MCHC 31 31 32 32-36 %
RDW - 16,2 11,5-14.5 %
0-6
Eosinofil 0 0 %

Basofil 0 0 2 0-2 %
Netrofil
0 0 0 02-Jun %
Batang
Netrofil
91 94 84 50-70 %
Segmen
Limfosit 5 3 9 20-40 %
Monosit 4 3 5 02-Aug %
PT 9,3-12,4 Detik
APTT - 29,0-40,2 Detik
D-dimer <500
SGOT 17 <31 U/L

30
SGPT 7 <34 U/L
Albumin - 3,5-5,2 g/dL
GDS 78 <200 mg/dL
7,35-
PH 7,49 7,482 7,57 7,4595

pCO2 33.30.00 41,9 43,2 35-45


pO2 158 192 50 80-100
Bikarbonat 25,8 31,3 40,4 23-28
Total CO2 26,9 25,7 42 23,2-27,6
Kelebihsan
3,5 8 19 (-2) - (+2)
Basa
100
Saturasi O2 98,9 100 90

Ureum 30 26 13 – 43 mg/dl
Creatinin 0,71 0,84 0.51- 0.95 mg/dl
Ca 7,7 8 8,6-10,3 mg/dl
132-146
Na 161 152 mmol/L

K 4,4 4,3 3.7 - 5.4 mmol/L


Cl 116 108 98 - 106 mmol/L

Tanggal 29 Oktober 2018


Pasien dalam rawatan di ICU tidak tanpak perbaikan. Pasien dinyatakan
meninggal dengan penyebab kematian syok sepsis dan Acute Respiratory Failure.

31
LANGKAH KEEMPAT:
MEMETAKAN KRONOLOGI KEJADIAN
Memetakan kronologi kejadian yang akan kami tampilkan dengan cara
tabular timeline.
Waktu 14 Oktober 2018

KEJADIAN Pasien dengan kondisi anemia dipulangkan pasca persalinan

INFORMASI Anamnesis : Pasien datang ke RS Yulidin Away saat usia kehamilan 9


TAMBAHAN bulan dengan keluhan mules-mules. Pasien melahirkan normal
pervaginam, lahir bayi laki-laki 3200 gr, plasenta lahir lengkap. Setelah
melahirkan pasien diperiksa darah rutin, didapatkan Hb 6. Dokter yang
merawat (dr. Sabri, Sp. OG) menginstruksikan untuk di transfuse PRC,
namun pasien dan keluarga menolak. Pasien pulang dengan Hb 6. Saat
dirawat tidak ada tekanan darah tinggi

GOOD • Pasien melahirkan di rumah sakit kabupaten tingkat II


PRACTICE • Penanganan persalinan dilakukan olah dokter SpOG
• Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin setelah persalinan
• Pasien telah dilakukan informed consent untuk tindakan tranfusi darah

MASALAH • Tidak tersedia darah di bank darah rumah sakit dan PMI kabupaten.
PELAYANAN • Infored consent yang dilakukan tidak adequate sehingga pasien
menolak untuk dilakukan transfuse darah.

Waktu 22 Oktober 2018

KEJADIAN Pasien mengalami kejang setelah melahirkan

INFORMASI Anamnesa: Setelah 9 hari dirumah pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat

32
TAMBAHAN di bagian depan, lalu pasien pergi ke Puskesmas Air Berudang, saat itu
pasien tekanan darahnya normal. Puskesmas langsung merujuk pasien ke
RS Yulidin Away. Pasien tiba di RS pukul 12.00 WIB, lalu pasien di rawat
di ruang rawat post partum.

GOOD • Pasien langsung dirujuk oleh puskesmas kecamatan ke RS kabupaten


PRACTICE untuk mendapat pelayanan komprehensif.20
• Dilaukan perawatan oleh RSYulidin Away untuk observasi kondisi
medis lanjutan di ruang intensive care.20

MASALAH • Tidak terdeteksinya kedaruratan obstetric yaitu eklamsia peurpuralis


PELAYANAN yang menyebabkan pasien hilang kesadaran
• Tidak adequatnya managemen awal untu tatalaksana eklamsia
peurpuralis

Waktu 23 Oktober 2018

KEJADIAN Pasien dirujuk oleh RSUD Yulidin Away Tapak Tuan ke RSUD Zainoel
Abidin
INFORMASI Dalam Observasi di ICU RSUD Zainoel Abidin pasien sempat kejang
TAMBAHAN kembali dan mendapatkan terapi fenitoin dan diazepam. Menurut
pengakuan perawat ICU, pasien tidak memiliki riwayat tekanan darah
tinggi selama di ruang rawat maupun di ICU. Pasien tidak di intubasi di
ICU. Keesokan siangnya mengalami penurunan kesadaran sehingga pasien
dirujuk ke RSUDZA. Saat dalam perjalanan pasien dalam kondisi tidak
sadar, terpasang IV line dan O2 nasal canul 4L/i.
GOOD • Mengenal perburukan kondisi medik yang perlu dilakukan rujukan ke
PRACTICE rumah sakit tersier.20
MASALAH • Belum adanya kolaborasi antara dokter OBGYN dan Intensivis dalam
PELAYANAN melakukan tatalaksana pada pasien kritis.

33
• Pasien tidak dilakukan intubasi.
• Dalam perjalanan Rujukan, kondisi pasien tidak dipersiapkan secara
optimal dan alat transportasi (Ambulance) tidak dilengkapan dengan
alat resisitasi yang baik.

Waktu 24 Oktober 2018

KEJADIAN Pasien diterima di RSUD Zainoel Abidin.


INFORMASI Pasien tiba diantar oleh ambulan di rujuk dari RS. Yulidin Away
TAMBAHAN Tapak Tuan dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum dirujuk.
Pasien mengalami kejang selama di rawat di ICU RS. Yulidin Away
Tapak Tuan lebih dari 10 x. Sebelumnya pasien mengeluhkan adanya
nyeri kepala frontal dan pandangan mata kabur, tanpa adanya mual dan
muntah. Pasien kontrol kehamilan dengan bidan dan tidak pernah
menderita darah tinggi sebelumnya. Pasien melahirkan tanpa
permasalahan, dengan berat bayi lahir 3200 gram, dan tidak ada riwayat
darah tinggi saat persalinan, riwayat menarche pada usia 13 tahun, riwayat
menikah pada usia 27 tahun, riwayat persalinan 2X pervaginam, riwayat
social ekonomi: pasien IRT dan suami pegawai honorer
Dari hasil pemeriksaan didapatkan hemodinamik tida stabil dengan
kesadaran Somnolen (GCS 7), TD 160/100 mmhg, HR 90 x/I, RR 24 x/I
(SpO2 86%. Status generalisata: Mata: konjungtiva pucat (+/+), pupil
isokor 2mm/2mm. T/H/M: dalam batas normal, dalam penggunaan NGT.
Jantung: BJ II>II, regular, murmur (-), gallop (-)Pulmo: suara nafas
vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Abdomen: Soepel, distension (-)
peristaltik positif, Extremity: hangat, CRT < 2”, Status Obstetrical, I:
V/U dalam batas normal, tidak ada perdarahan aktif, TFU: pertengahan
umbilicus dan simfisis pubis, kontraksi baik, ASI: No engorgement.
Loche: Serosa. Dari pemeriksaan penunjang USG Abdomen didapatkan
uterus anteflexi, ukuran 80x60x50mm, myometrium homogeny,
endometrial line (+).

34
Dilakukan konsultasi ke devisi neorologi didapatkan hasil
pemeriksaan fisik: motoric tidak ada kesan lateralisasi, reflex fisiologis
(+), reflex patologis (-), sensoris sulit dinilai, disimpulkan: Penurunan
kesadaran e.c 1 metabolik ensepalopati, 2 Sepsis. Saran CT-Scan kepala,
inj citicholin 500mg/12 jam
Dilakukan konsultasi ke devisi penyakit dalam didapatkan kesan
penuruan kesadaran e.c eklamsia peurpuralis dd/ sepsis dd/ stroke. Saran
pasien dilakukan perawatan di ICU. Dlilakukan konsultasi ke devisi
oftalmologi didapatkan kesan: Retinopati hipertensi ODS. Keratitis
eksposure OD. selanjutnya pasien dilakukan perawatan di ICU dengan
rawatan bersama intensivis

GOOD • Dilakukan inisial assesent dengan memperhatikan jalan napas,


PRACTICE pernapasan (oksigen), dan sirkulasi (cairan intravena).20
• MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
(sebagai tatalaksana kejang).20
• Dilakukan intubasi dan segera kirim ibu ke ruang ICU yang sudah
siap dengan fasilitas ventilator tekanan positif.20
• Perawatan Holistik dengan melibatan multidisiplin ilmu dari
bagian intensivis, saraf dan penyakit dalam.
MASALAH • Tidak dilakukannya CT-Scan disebabkan pasien tidak
PELAYANAN transportable.

LANGKAH KELIMA:
MENGIDENTIFIKASI MASALAH
Dalam kasus ini kami dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
• Pasien dengan Eklampsia Puerpurium yang tidak terdeteksi dari awal
sehingga menejemen yang diberikan belum tepat dan sesuai.

35
LANGKAH KEENAM:
ANALISIS INFORMASI
Analisis informasi dilakukan menggunakan 5 why’s sebagaimana berikut:
Pasien dengan Eklampsia Puerpurium dengan luaran maternal
MASALAH
mortality
Mengapa Penegakan Dioagnosis awal yang tida tepat

Mengapa Manajemen klinis yang tidak sesuai diagnosis

Mengapa Sistem dan fasilitas trasportasi rujukan yang tidak sesuai standar

Swiss Cheese Model

Terapi tidak tepat, pasien


jatuh ke kondisi syok berat
Eklampsia Keterlambatan diagnosa dan
Puerpurium tatalaksana menyebabkan
luaran yang jelek

Kegagalan
mengenali dan
mendiagnosis
PEB/Eklampsia

Mekanisme transfer pasien yang Kematian Ibu


tidak dilengkapi resusitasi jantung
paru, hingga pasien bisa saja
mengalami henti jantung dalam
perjalanan

Syok sepsis, kegagalan


nafas akut

36
LANGKAH KETUJUH:
REKOMENDASI
Berdasarkan permasalahan di atas, rekomendasi yang kami ajukan adalah
sebagaimana tabel berikut.
AKAR MASALAH REKOMENDASI TINGKAT
PENGAMBILAN
KEPUTUSAN
Penurunan kesadaran e.c Pelatihan ulang mengenai - Ketua POGI
eklamsia peurpurium Preeklapsia Berat/Eklampsia dan - Ketua Bidang P2KB
yang terlambat komplikasi serta manajemen awal POGI
penanganan untuk mencegah morbiditas dan - Ketua IBI
mortalitas

Rumah sakit daerah yang Rekomendasi kepada pemerintah - Kepala Dinas Kesehatan
masih kekurangan daerah Aceh Selatan untuk Aceh Selatan
fasilitas dan sumber daya merekrut dokter ahli ahli intensivis
manusia (Dokter) yang juga standby / oncal.

Sistem rujukan pasien, Rekomendasi untuk menambah - Kepala Dinas Kesehatan


fasilitas ambulan, dan sarana dan prasarana yang standar Aceh Selatan
pendamping yang belum untuk transfer pasien dan SDM - Kepala Dinas Kesehatan
memenuhi standar yang professional, dan membuat Aceh
link kerjasama antar RS

KESIMPULAN
1. Penyebab mortalitas dalam kasus ini adalah penegakkan diagnosis yang
belum tepat sehingga menyebabkan penatalaksanaan yang tidak adekuat
dan pasien jatuh pada kondisi syok berat yang mengakibatkan pula henti
jantung dan kegagalan multi organ.
2. Mortalitas dalam kasus ini tergolong dalam Preventable

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.

2. World Health Organization. Mother baby package : Implementing safe


motherhood in countries. Division of Family Health, Maternal Health and
Safe Motherhood Programme, World Health Organization. 1994.

3. United Nations. Millenium Development Goals, At a Glance. United


Nations; 2010.

4. Nurroh S. Sustainable Development Goals (SDGs) Period 2015-2030.


2014;

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kualitas pelayanan kesehatan


ibu di Indonesia. 2012;

6. Nour NM. An Introduction to Global Women’s Health. Rev Obstet


Gynecol. 2008;1(2):77–81.

7. World Health Organization. Maternal Death Surveillance and Response:


Technical Guidance Information for Action to Prevent Maternal Death.
Geneva: World Health Organization; 2013.

8. Lindheimer MD., Taler SJ, Cunningham FG. Hipertension in pregnancy.


In: Journal of the American Society of Hypertension. 2008

9. Angsar MD, dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di


Indonesia edisi kedua. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 2005

38
10. Amiruddin R, dkk. Issu Mutakhir tentang Komplikasi Kehamilan
(preeklampsia dan eklampsia). Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat UNHAS. 2007

11. Cunningham, F.G.et al. Hipertensive Disorder in Pregnancy. In: Williams


Obstetrics-22nd Edition. USA: Mc Graw Hill co. 2005

12. Prasetiyo I. Eklampsia. [online]. [cited: November 2012]. Available from:


http://rsud.patikab.go.id/?page=download&file=EKLAMPSIA.doc&id=13

13. Tierney, M.L., McPhee, S.J., Papadakis, M.A. Current Medical Diagnosis
& Treatment-45th Edition. USA: Mc Graw Hill co.2006

14. Rambulangi J, Ong T. Preeklampsia dan Eklampsia. In: Rangkuman


Protap Obgyn Unhas.

15. Galan, H. et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. USA:


Elsevier. 2007

16. JNPK-KR. Buku Acuan Pelatihan Klinik Pelayanan Obstetri Emergensi


Dasar. Jakarta. 2008

17. Pokharel SM, Chattopadhyay SK. HELLP Syndrome – a pregnancy


disorder with poor diagnosis. 2008

18. Witlin AG, Sibai BM. Diagnosis and Management of Women with
HELLP syndrome. 2000

19. Greer IA, Walters B, Nelson C. Maternal Medicine. London: Elsevier.


2007.

39
20. WHO, Kemenkes. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi Pertama. Jakarta. 2013

21. Intan M, Meurah Cut, Rinanda T, Hubungan Anemia Dengan Preeklamsia


dan Eklamsia Pada Pasien Ruang Rawat Kebidanan RSUD Dr Zainoel
Abidin Tahun 2011. Skripsi. Banda Aceh. 2014

40

Vous aimerez peut-être aussi