Vous êtes sur la page 1sur 24

BAB I

PENDAHULUAN

Tidur adalah upaya tubuh untuk melepaskan kelelahan jasmani dan


kelelahan mental. Tidur mengurangi berbagai keluhan dan dapt mengembalikan
tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Tidur
didefinisikan sebagai suatu kondisi bawah sadar saat seseorang dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau rangsangan lainnya.
Namun pada beberapa orang tidur merupakan hal yang sulit dilakukan karena
adanya gangguan tidur. Gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan adalah
insomnia.1
Insomnia merupakan gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
itu. Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering terjadi, prevalensi insomnia
berkisar 10-15% tergantung dengan kriteria diagnostik yang digunakan. Dalam 1
tahun insiden insomnia meningkat sebanyak 5%. Kesulitan dalam
mempertahankan tidur merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan.2,3
Insomnia juga menjadi salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari
sejumlah gangguan medis, psikiatri, dan tidur. Pilihan terapi dari insomnia sendiri
bergantung dengan gejala spesifiknya, keparahan dan durasi yang diharapkan,
gangguan hidup, keinginan pasien utnuk terlibat dalam terapi perilaku, dan
kerentanan pasien terhadap efek samping obat-obatan. Pasien dengan onset
ibnsomnia akut dengan onset insomnia yang pendek sering memiliki endapan
yang dapat di identifikasi (misalnya, penyakit meds atau kehilangan orang yang
dicintai) dalam kasus seperti ini Food and Drug Administration (FDA) dan
agen farmakologis direkomendasikan untuk penggunaan jangka pendek. Insomnia
sering persisten bahkan dnegan pengobatan yang tepat untuk gangguan-gangguan
yang terjadi bersamaan ini.2,3
Melihat prevalensinya yang tinggi, banyaknya kasus insomnia yang tidak
terdiagnosis dan tidak diobati dan besarnya efek yang ditimbulkan maka dokter
umum sebagai lini pertama pelayanan kesehatan harus bisa mendiagnosis dan
menangani secara komprehensif insomnia. Maka melalui tinjauan pustaka ini akan
dibahas mengenai fisiologi tidur normal, definisi insomnia, klasifiskasi
insoomnia, penyebab insomnia, diagnosis insomnia, dampak insomnia, dan
penanganan insomnia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Tidur Normal


Tidur adalah suatu kondisi bawah sadar saat seseorang dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang
lainnya. Tidur merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya
keadaan terjaga. Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama
tidur.1,2
Dalam hidupnya, seseorang dapat mengalami dua tipe tidur yang saling
bergantian satu sama lain yaitu tidur gelombang-lambat dan tidur dengan
pergerakan mata yang cepat (REM sleep). Pada tipe tidur gelombang-lambat
gelombang otak sangat kuat dan frekuensinya sangat rendah. Tidur
gelombang lambat yakni tidur yang nyenyak/dalam dan tenang yang dialami
seseorang pada jam-jam pertama tidur sesudah terjaga beberapa jam
sebelumnya. Pada tipe REM sleep mata bergerak dengan cepat meskipun
orang tetap tidur. Tidur REM timbul dalam episode-episode dan meliputi
sekitar 25% dari seluruh masa tidur pada orang dewasa, setiap episode
normalnya terjadi kembali setiap 90 menit. Tipe tidur ini tak begitu tenang,
dan berhubungan dengan mimpi yang hidup.1,3
Rangsangan pada beberapa daerah spesifik otak dapat menimbulkan
keadaan tidur dengan sifat-sifat yang mendekati keadaan tidur alami. Daerah
rangsangan yang paling mencolok yang dapat menimbulkan keadaan tidur
alami adalah nuklei rafe yang terletak diseparuh bagian bawah pons dan di
medula. Serabut saraf dari nuklei ini menyebar setempat di formasio
retikularis batang otak dan juga keatas menuju thalamus, hipotalamus,
sebagian besar daerah sistem limbik san bahkan neokorteks serebri. Selain
itu, serabut-serabut ini juga menyebar kebawah menuju medula spinalis, dan
berakhir di radiks posterior tempat serabut ini dapat menghambat sinyal-
sinyal yang masuk termasuk nyeri. Serotonin dianggap zat transmitter yang
dihubungkan dengan timbulnya keadaan tidur. Perangsangan beberapa area di
nukleus traktus solitarius juga dapat menimbulkan tidur. Nukleus ini
merupakan daerah terminal di medula dan pons yang dilewati oleh sinyal
sensorik viseral yang masuk melalui nervus vagus dan nervus
glossofaringeus.1
Pemberian rangsangan, baik pada korteks serebri dan sistem saraf perifer,
akan mengirimkan sinyal umpan balik postif kembali ke nuklei retikuler yang
sama agar sistem ini tetap aktif. Oleh karena itu, begitu timbul keadaan siaga,
timbul kecendrungan secara alami untuk mempertahankan keadaan ini akibat
seluruh umpan balik positif tersebut. Sesudah otak tetap aktif selama
beberapa jam, neuron-neuron itu sendiri dalam sistem aktivasi mungkin
menjadi letih. Akibatnya siklus umpan balik positif diantara nuklei retikuler
mesensefalon dan korteks akan memudar dan pengaruh rangsangan dari pusat
tidur akan mengambil alih, sehingga timbul peralihan cepat dari keadaan
siaga menjadi keadaan tidur.1
Insisiasi dan maintenance tidur membutuhkan penekanan aktifitas pada
sistem aurosal ascending. Hal ini dilakukan oleh neuron inhibitor dari
ventrolateral pre-optic area (VLPO). Molekuler yang berperan sebagai
“trigger” yang mengaktifkan VLPO dan memulai onset tidur belum
sepenuhnya diketahui, tetapi sebagaian besar bukti menunjukan bahwa
adenosin ekstraseluler sebagai kandidat. Selama terjaga terdapat akumulasi
adenosin di basal forebrain dan berkurang saat tidur berlangsung. Cafein dan
teofilin merupakan antagonis reseptor adenosin, yang dapat membuat terjaga
dengan menghilangkan pengaruh inhibitorik pada pusat keterjagaan.4,5
Keadaan siaga yang berkepanjangan sering di hubungkan dengan proses
berpikir yang progresif, dan kadang-kadang bahkan dapat menyebabkan
aktifitas perilaku yang abnormal. Kelambanan pikiran semakin bertambah
menjelang akhir periode siaga yang berkepanjangan, namun selain itu,
seseorang dapat menjadi mudah tersinggung, atau bahkan menjadi psikotik
sesudah keadaan terjaga yang dipaksakan. Oleh karena itu tidur dapat
memulihkan tingkat aktivitas normal dan keseimbangan normal di antara
berbagai bagian sistem saraf pusat.1

2.2. Peranan Neurotransmitter


Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS
(Ascending Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini
meningkat orang tersebut dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS menurun,
orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat
dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem
serotoninergik, noradrenergik, kholonergik, histaminergik.
• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam
amino trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka
jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan
keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan terhambat
pembentukannya, maka terjadikeadaan tidak bisa tidur/jaga.
Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik
ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana
terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis
dengan tidur REM.
• Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di
badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron
pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya
REM tidur.
Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron
noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur
REM dan peningkatan keadaan jaga.
• Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin
intra vena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur
kholihergik ini, mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti
dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang
berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi,
sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat
antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran
kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase
awal dan penurunan REM.
• Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.
• Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa
hormon seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini
masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar pituitary
anterior melalui hipotalamus patway. Sistem ini secara teratur
mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter norepinefrin, dopamin,
serotonin yang bertugas menagtur mekanisme tidur dan bangun.

2.3. Insomnia
2.3.1. Definisi Insomnia
Insomnia diartikan sebagai kesulitan dalam memulai atau
mempertahankan tidur. Insomnia merupakan keluhan tidur paling
sering dan dapat bersifat sementara atau menetap. Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5) mendefinisikan
insomnia sebagai ketidakpuasan dengan kuantitas atau kualitas
tidur berkaitan dengan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut:
kesulitan dalam memulai tidur, kesulitan dalam mempertahankan
tidur dengan periode terbangun berulang kali atau masalah untuk
kembali tidur, dan terbangun pagi-pagi sekali dengan
ketidakmampuan untuk kembali tidur.6
Seseorang dengan insomnia merasa tidak cukup tidur atau
merasakan kualitas tidur yang buruk walaupun orang tersebut
sebenarnya memiliki kesempatan tidur yang cukup, sehingga
mengakibatkan perasaan yang tidak bugar sewaktu atau setelah
terbangun dari tidur. Penderita insomnia berbeda dengan orang
yang memang waktu tidurnya pendek (short sleepers), pada short
sleepers meskipun waktu tidur mereka pendek, mereka tetap
merasa bugar sewaktu bangun tidur, berfungsi secara normal di
siang hari, dan mereka tidak mengeluh tentang tidur mereka di
malam hari.7

2.3.2. Epidemiologi Insomnia


Prevalensi gejala insomnia di seluruh dunia adalah sekitar
30-35%, dan studi epidemiologis dari beberapa negara memberikan
perkiraan prevalensi yang mirip. Berdasarkan pada kriteria
diagnosis yang digunakan, prevalensi gangguan insomnia berkisar
antara 3,9% sampai 22,1%, dengan rata-rata 10% untuk studi
multinasional yang menggunakan kriteria Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM IV). Insidensi 1
tahun insomnia bervariasi antara 7% dan 15%. Walaupun insomnia
dapat bersifat situasional atau berulang, perjalanannya seringkali
kronis dengan durasi rata-rata 3 tahun dan angka persistensi
berkisar dari 56-74% pada penilaian follow-up 1 tahun dan 46%
pada penilaian follow-up 3 tahun. Suatu studi menyebutkan angka
remisi hanya sebesar 56% dalam 10 tahun pada individu dengan
gejala insomnia berat.8

2.3.3. Klasifikasi Insomnia


Berdasarkan waktu terjadinya, insomnia dibagi menjadi 3 tipe,
yaitu:9,10
a. Transient insomnia: insomnia yang berhubungan dengan
kejadian-kejadian tertentu yang berlangsung sementara dan
biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali dengan
mudah oleh pasien sendiri. Diagnosis transient insomnia
biasanya dibuat setelah keluhan pasien sudah hilang. Keluhan
ini kurang lebih ditemukan sama pada pria dan wanita dan
episode berulang juga cukup sering ditemukan, faktor yang
memicu antara lain akibat lingkungan tidur yang berbeda,
gangguan irama sirkadian sementara akibat jet lag atau rotasi
waktu kerja, stres situasional akibat lingkungan kerja baru, dan
lain-lainnya. Transient insomnia biasanya tidak memerlukan
terapi khusus dan jarang membawa pasien ke dokter.
b. Short-term insomnia: Berlangsung kurang dari 3 minggu dan
biasanya disebabkan oleh kejadian-kejadian stres yang lebih
persisten, seperti kematian salah satu anggota keluarga.
c. Cyclical insomnia (recurrent insomnia): Kondisi ini lebih
jarang daripada transient insomnia. Kondisi ini terjadi akibat
ketidakseimbangan antara tidur dan bangun.
Ketidakseimbangan ini dapat terjadi sementara ataupun seumur
hidup. Kejadian berulang ini bisa terjadi akibat perubahan
fisiologis seperti siklus premenstrual ataupun perubahan
psikologik seperti manik depresif, anorexia nervosa, atau
kambuhnya perubahan perilaku tertentu seperti kecanduan
obat, dan lain sebagainya.
d. Chronic insomnia (persistent insomnia): berlangsung lebih dari
3 malam setiap minggunya yang terus berlangsung selama
lebih dari satu bulan. Dibagi menjadi 2, yaitu insomnia primer
dan sekunder.
Dari sisi etiologi, ada 2 macam insomnia, yaitu:8,11
a. Insomnia primer
Pada insomia primer, terjadi hyperarousal state dimana terjadi
aktivitas ascending reticular activating system (ARAS) yang
berlebihan. Pasien bisa tidur tapi tidak merasa tidur. Masa tidur
REM sangat kurang, sedangkan masa tidur NREM cukup,
periode tidur berkurang dan terbangun lebih sering. Insomnia
primer ini tidak berhubungan dengan kondisi kejiwaan,
masalah neurologi, masalah medis lainnya, ataupun
penggunaan obat-obat tertentu. Istilah ini ditujukan bagi
gangguan tidur yang muncul begitu saja tanpa ada latar
belakang suatu kondisi yang spesifik, yang biasanya akibat
dari ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan pola
tidur yang baik.
b. Insomnia sekunder
Insomnia sekunder merupakan gangguan tidur yang
disebabkan karena gangguan irama sirkadian, kejiwaan,
masalah neurologi atau masalah medis lainnya, atau reaksi
obat. Insomnia ini sangat sering terjadi pada orang tua.
Insomnia ini bisa terjadi karena psikoneurotik dan penyakit
organik. Pada orang dengan insomnia karena psikoneurosis,
sering didapatkan keluhan-keluhan non organik seperti sakit
kepala, kembung, badan pegal yang mengganggu tidur.
Keadaan ini akan lebih parah jika orang tersebut mengalami
ketegangan karena persoalan hidup. Pada insomnia sekunder
karena penyakit organik, pasien tidak bisa tidur atau
kontinuitas tidurnya terganggu karena nyeri organik, misalnya
penderita arthritis yang mudah terbangun karena nyeri yang
timbul karena perubahan sikap tubuh.

2.3.4. Penyebab Insomnia


Insomnia sementara atau akut biasanya terjadi pada orang
yang tidak memiliki riwayat gangguan tidur dan sering
berhubungan dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Pencetus
insomnia akut termasuk penyakit medis akut, perubahan pada
lingkungan tidur, obat-obatan, jet lag, dan stresor psikososial akut
atau berulang. Insomnia kronis atau jangka panjang dapat dikaitkan
dengan berbagai dasar kondisi medis, perilaku, dan lingkungan dan
berbagai obat-obatan.12
Penyebab insomnia antara lain adalah:12
1) Gangguan tidur spesifik primer: gangguan irama sirkadian:
a. Sindrom fase tidur lanjut
b. Sindrom fase tidur terlambat
- Sleep apnea (obstruktif, pusat, atau campuran)
- Restless legs syndrome, gangguan gerak ekstremitas
periodik
2) Penyakit Fisik:
a. Nyeri: artritis, nyeri muskuloskeletal, kondisi menyakitkan
lainnya
b. Penyakit jantung : gagal jantung, sesak napas malam hari,
angina malam hari
c. Paru: penyakit paru obstruktif kronik, rinitis alergi
(sumbatan hidung)
d. Gastrointestinal: penyakit refluks gastroesofageal,
penyakit tukak lambung, sembelit, diare.
e. Inkontinensia urin
f. Gangguan sistem saraf pusat: stroke, penyakit Parkinson,
penyakit Alzheimer, gangguan kejang
g. Psikiatri: kecemasan, depresi, psikosis, demensia, delirium
h. Pruritus
i. Menopause
3) Perilaku: tidur siang, menggunakan tempat tidur untuk
aktivitas lain (misalnya, membaca dan menonton televisi),
makan berat, kurang olahraga, dan gaya hidup bermalas-
malasan.
4) Lingkungan: suara, cahaya dan gangguan lainnya, suhu
ekstrim, tempat tidur tidak nyaman, dan kurangnya pajanan
sinar matahari.
5) Pengobatan: stimulan sistem saraf pusat (sympathomimetics,
kafein, nikotin, antidepresan, amfetamin, efedrin,
fenilpropanolamin, fenitoin); antidepresan (bupropion,
penghambat selektif ambilan-kembali serotonin, venlafaksin);
obat anti-Parkinsonian agen (levodopa); dekongestan
(pseudoefedrin); bronkodilator (teofilin); jantung
(penghambat-β, diuretic); antihipertensi (klonidin, metildopa,
kortikosteroid); antihistamin; penghambat H2 (simetidin)
antikolinergik; alcohol, obat herbal; pencahar.

2.3.5. Patofisiologi

2.3.6. Diagnosis Insomnia13,14


1) Anamnesis
Melalui anamnesis yang lengkap diagnosis insomnia dapat
ditegakkan. Landasan evaluasi untuk insomnia dimulai dengan
riwayat menyeluruh dan skrinning komorbiditas, seperti
gangguan depresi dan cemas, gangguan pernafasan dan
penggunaan zat, dan lainnya. Penggalian riwayat tidur yang
mendalam adalah penting untuk mengidentifikasi penyebab
insomnia dan harus mencakup hasil dari pengobatan
sebelumnya.
Pasien dengan insomnia umumnya datang dengan keluhan
utama yaitu kesulitan memulai tidur, sering terbangun di
malam hari dan kesulitan kembali tidur, bangun terlalu pagi di
pagi hari, atau tidur yang tidak menyegarkan atau
kombinasinya. Apabila gangguan memulai tidur berhubungan
dengan restless leg syndrome sedangkan gangguan bangun
terlalu pagi berhubungan dengan gangguan depresi. Tambahan
informasi seperti onset, frekuensi, penyakit penyerta, faktor
yang memperberat dan memperingan juga dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis. Apabila perjalananya panjang
tanpa diikuti penyakit penyerta menandakan insomnia primer
yang kronik, sedangkan insomnia yang disertai penyakit
penyerta menandakan insomnia sekunder.
Selain itu, ditanyakan juga jadwal tidur meliputi waktu
tidur, latensi tidur, lamanya waktu tidur, waktu untuk memulai
kembali tidur, waktu bangun, waktu yang dihabiskan ditempat
tidur, waktu total tidur mesti dikaji. Apabila ditemukan pilihan
waktu tidur tidak sesuai dengan kenyataannya menandakan
adanya gangguan tidur irama sirkadian. Digali juga informasi
mengenai aktivitas sehari-hari seperti jadwal kerja, makan,
olahraga, lama dan waktu tidur siang. Apabila makan atau
olahraga waktunya berdekatan dengan waktu tidur akan
mengganggu kemampuan untuk tidur di malam hari.
Pembahasan mengenai rasa mengantuk sepanjang hari,
menurunnya daya ingat dan konsentrasi, depresi, cemas,
mudah tersinggung, gangguaan dalam bekerja atau di rumah
juga perlu ditanyakan pada orang sekitar pasien untuk
memastikan keluhan yang disampaikan pasien.
Kondisi tidur seperti kondisi ruangan meliputi
pencahayaan, suhu, tingkat kebisingan, penggunaan TV,
komputer selama waktu menjelang tidur juga perlu ditanyakan
kerena akan mengurangi kemampuan untuk tidur. Ditanyakan
juga penanganan yang dilakukan sebelumnua dan efek yang
ditimbulkan melalui pengobatan tersebut.
Beberapa penyakit yang timbul berbarengan dengan
insomnia perlu ditanyakan seperti penyakit medis
(kardiovaskuler, paru-paru, saraf, gastrointestinal, ginjal,
endokrin), yang berhubungan dengan gangguan psikiatri
(depresi gangguan bipolar, cemas, panic psikosis) dan
penggunaan zat seperti nikotin, alcohol, kafein) perlu
ditanyakan jumlah penggunaan, waktu dan frekuensinya.
2) Pemeriksaan Fisik
Dalam menegakkan diagnosis insomnia mungkin tidak
memerlukan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan status
mental yang spesifik, namun pemeriksaan ini dapat
memberikan infomasi tambahan terkait kemungkinan penyakit
komorbid dan diferensial diagnosis. Dalam hal ini pemeriksaan
fisik ditujukan untuk evaluasi faktor risiko seperti sleep apnea
(obesitas, peningkatan lingkar leher, restriksi saluran napas
atas) dan penyakit komorbid lainnya seperti gangguan sistem
pernapasan, kardiovaskular, reumatologi, neurologi, endokrin
(tiroid) dan gastrointestinal. Pemeriksaan status mental
difokuskan pada gangguan mood, ansietas, memori,
konsentrasi dan derajat kewaspadaan atau mengantuk.

3) Pemeriksaan Tambahan
Berbagai pemeriksaan tambahan yang berguna dalam
mengevaluasi insomnia adalah kuesioner subjektif. Lainnya
termasuk sleep-wake diaries, aktigrafi dan polisomnograpi.
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat
diagnosis pasti:
1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau
mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk
2. Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama
minimal satu bulan
3. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness)
dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam
hari dan sepanjang siang hari
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan
mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Sementara berdasarkan ICSD-2, kriteria diagnosis insomnia
antara lain:15
a) Keluhan adanya kesulitan memulai tidur, mempertahankan
tidur atau bangun terlalu pagi, atau tidur yang secara kronis
tidak menyegarkan atau kualitasnya jelek
b) Keluhan kesulitan tidur tersebut terjadi meskipun adanya
kesempatan dan lingkungan yang mendukung
c) Sedikitnya 1 dari keluhan berikut terjadi di pagi hari akibat
kesulitan tidur di malam hari yang dilaporkan oleh pasien:
- kelelahan atau malaise
- gangguan perhatian, konsentrasi atau memori
- disfungsi sosial atau performa kerja yang menurun
- gangguan mood
- mengantuk pada siang hari
- penurunan motivasi, energi atau inisiatif
- kecenderungan terjadinya eror atau kecelakaan saat
kerja atau berkendara
- keluhan sakit kepala atau gastrointestinal akibat
kekurangan tidur
- ketakutan atau kekhawatiran tentang tidur

2.3.7. Dampak Insomnia


Dampak dari gangguan tidur, deprivasi tidur, dan merasa
mengantuk yaitu penurunan produktivitas, penurunan performa
kognitif, peningkatan kemungkinan kecelakaan, resiko morbiditas
dan mortilitas lebih tinggi, penurunan kualitas hidup. Adapun
dampak insomnia adalah sebagai berikut:16
a) Efek fisiologis
Insomnia lebih sering diakibatkan oleh stres sehingga dapat
disertai dengan peningkatan noradrenalin serum, peningkatan
Adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan kortisol, juga
penurunan produksi melatonin.
b) Efek psikologis, dapat berupa gangguan memori, gangguan
berkonsentrasi, kehilangan motivasi, depresi, dan sebagainya.
c) Efek fisik/somatik, dapat berupa kelelahan, nyeri otot,
hipertensi, dan sebagainya.
d) Efek sosial, dapat berupa kualitas hidup yang terganggu,
seperti susah mendapat promosi pada lingkungan kerjanya,
kurang bisa menikmati hubungan sosial dan keluarga.
e) Kematian, orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam
memiliki angka harapan hidup lebih sedikit dari orang yang
tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena
penyakit yang menginduksi insomnia yang memperpendek
angka harapan hidup atau karena high arousal state yang
terdapat pada insomnia mempertinggi angka mortalitas atau
mengurangi kemungkinan sembuh dari penyakit. Selain itu,
orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 2 kali
lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika
dibandingkan dengan orang normal.

2.3.8. Tatalaksana Insomnia


Insomnia merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu
diagnosis, maka terapi yang diberikan adalah secara simtomatik.
Etiologi dari insomnia bersifat multifaktorial, tatalaksana insomnia
dengan penyakit komorbid dimulai dengan menangani penyakit
komorbid. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala, namun
gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan
produktivitas penderita, terutama penderita dengan usia produktif.
Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang
sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa
dengan farmakologi atau non-farmakologi.14,18,19,20,21
 Farmakologi
Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam memberikan pilihan obat-obatan untuk pasien insomnia,
yaitu: (1) pola gejala; (2) tujuan terapi; (3) respon post terapi;
(4) selera pasien; (5) harga; (6) ketersediaan pengobatan lain;
(7) penyakit komorbid; (8) kontraindikasi; (9) interaksi obat;
(10) efek samping. Ditambah juga keseimbangan antara efek
terapeutik dengan efek samping obat itu sendiri.14
Pada dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa
diklasifikasikan menjadi:
 Benzodiazepine14,18,19,20
Golongan benzodiazepine telah lama digunakan
dalam menangani penderita insomnia karena lebih aman
dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun akhir-
akhir ini, obat golongan ini sudah mulai ditingalkan
karena sering menyebabkan ketergantungan, efek toleran
dan menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan
penderita yang menggunakannya.
Kerja obat ini adalah pada resepor γ-aminobutyric
acid (GABA) postsynaptic, dimana obat ini meningkatkan
efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang
memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot.
Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah triazolam,
temazepam, dan lorazepam.
Efek samping yang paling sering adalah merasa
pusing, hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab
itu, obat ini harus diberikan secara hati-hati pada penderita
yang masalah respirasi kronis seperti penyakit paru
obstrutif kronis (PPOK).
 Non-benzodiazepine18,20
Golongan non-benzodiazepine mempunyai
efektifitas yang mirip dengan benzodiazepine, tetapi
mempunyai efek samping yang lebih ringan. Adapun
obat-obatan yang termasuk dalam kategori ini antara
lain:
- Zolpidem
Merupakan salah satu derivate non-benzodiazepine
yang banyak digunakan untuk pengobatan jangka
pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1
subunit GABAA reseptor tanpa menimbulkan efek
sedasi dan hipnotik tanpa menimbulkan efek
anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang
terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical trial
yang dilakukan, obat ini dapat mempercepat onset
tidur dan meningkatkan jumlah waktu tidur dan
mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu
tidur tanpa menimbulkan efek rebound dan
ketergantungan pada penderita.
- Zaleplon
Adalah pilihan lain selain zolpidem, merupakan
derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai
waktu kerja yang cepat dan sangat pendek yatu 1
jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu pada
reseptor subunit α-1 GABAA reseptor.
Efektivitasnya sangat mirip dengan zolpidem, tetapi,
pada suatu penelitian, dikatakan obat ini memiliki
efek yang lebih superior berbanding zolpidem.
Sering menjadi pilihan utama pada penderita dengan
usia produktif karena masa kerja obat yang sangat
pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-
hari.
 Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi bisa diterapkan pada insomnia tipe
primer maupun sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi
tanpa medikamentosa pada penderita insomnia karena tidak
memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan
kepada dokter dan penderita untuk menerapkan terapi sesuai
keadaan penderita. Terapi tipe ini sangat memerlukan
kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala
nasehat yang diberikan oleh dokter.19,20 Terdapat beberapa
pilihan yang bisa diterapkan antara lain:
a) Stimulus Control14,19,20,21
Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita
menyesuaikan onset tidur dengan tempat tidur. Dengan
metode ini, onset tidur dapat dipercepat. Malah dalam
suatu studi menyatakan bahwa jumlah tidur pada penderita
insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode ini sangat
tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu
sendiri dalam menjalankan metode ini, seperti:
- Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-
benar
kelelahan atau tiba waktu tidur
- Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau
berhubungan seksual.
- Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh
dilakukan di tempat tidur
- Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa
tidur, dan masuk kembali jika penderita sudah merasa
ingin tidur kembali
- Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
- Hindari tidur di siang hari
b) Sleep Restriction14,18,21
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan
tempat tidur hanya waktu tidur dan dapat memperpanjang
waktu tidur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
kualitas tidur penderita. Pendekatan ini dilakukan dengan
alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa
menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat
tidur. Metode ini memerlukan waktu yang lebih pendek
untuk diterapkan pada penderita berbanding metode lain,
namun sangat susah untuk memastikan penderita patuh
terhadap instruksi yang diberikan. Protokol sleep
restriction antara lain:
- Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data
didapatkan melalui catatan waktu dan jumlah tidur
yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu
- Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah
waktu tidur
- Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan
menggunakan rumus (jumlah jam tidur/jumlah waktu
di tempat tidur x 100)
- Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidur
>90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit jika <80%,
atau pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur
80-90%
- Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan
perhitungan yang dilakukan
- Jangan tidur kurang dari 5 jam
- Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak
melebihi 1 jam
- Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya
apabila efisiensi tidur kurang dari 75%
c) Sleep Hygiene14,19,20,21
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan
merubah cara hidup dan lingkungan penderita dalam
rangka meningkatkan kualitas tidur penderita itu sendiri.
Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan
insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan,
seseorang dengan kualitas tidur buruk biasanya
mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk. Penelitian
lain menyatakan, seseorang dengan sleep hygiene yang
baik, bangun di pagi hari dalam suasana yang lebih
bersemangat dan ceria. Terkadang, penderita sering
memikirkan dan membawa masalah-masalah di tempat
kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain ke
tempat tidur, sehingga mengganggu tidur mereka.
Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan
penderita untuk menerapkan sleep hygiene yang baik,
yaitu:
- Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk
nikotin sebelum tidur
- Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang
terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin atau
panas
- Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik
- Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan
penderita
- Hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum
tidur
- Hindari membawa pikiran yang bisa mengganggu
tidur sewaktu di tempat tidur
- Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan
hindari melakukan aktivitas yang berat sebelum tidur
d) Cognitive Therapy14,20,21
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode
untuk mengubah pola pikir, pemahaman penderita yang
salah tentang sebab dan akibat insomnia. Kebanyakan
penderita mengalami cemas ketika hendak tidur dan
ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka yang
sulit tidur. Untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering
tidur di siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah
tidur yang tidak efisien di malam hari. Namun itu salah,
malah memperburuk status insomnia mereka. Pada studi
yang terbaru, menyatakan cognitive therapy dapat
mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya
menyatakan, metode ini sangat bermanfaat pada penderita
insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yang
sama dengan pengobatan dengan medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, A,C., Hal, J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC, 777-9
2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Tidur Normal dan Gangguan Tidur.
Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher,2010.p.210
3. Winkelman, J.W. 2015. Insomnia Disorder. New England Journal od
Medicine. 373 (15):1437-1444
4. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem; alih bahasa,
Brahm U. Pendit; editor edisi bahasa Indonesia, Nella Yesdelita. Ed 6.
Jakarta: EGC, 183-184.
5. Carley, David W., Farabi, Sarah S. 2016. Physiology of sleep. Sepctrum
Diabetic Journal. Vol 29(1):5-9.
6. Sadock, B. J., Sadock, V. A., dan Ruiz, P. Kaplan & Sadock’s synopsis of
psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry. Ed. 11. Philadelphia:
Wolters Kluwer, 1169-1181.
7. Buysse, D. J., et al. Insomnia: the Journal of Lifelong Learning in Psychiatry.
2005. 3(4):568-584.
8. Morin, C. M., Drake, C. L., Harvey, A. G., Krystal, A. D., Manber. R.,
Riemann, D., dan Spiegelhalder, K. Insomnia Disorder. Nature Review. 1:1-
18.
9. Michael, S., et al. Recent Developments in the Classification, Evaluation, and
Treatment of Insomnia: Contemporary Review in Sleep Medicine. 2011: 276-
286.
10. NIH State of the Science. Conference Statement on Manifestations and
Management of Chronic Insomnia in Adults: the Journal of Lifelong Learning
in Psychiatry. 2009. 7(4): 538-546.
11. Karl, D., et al. Evaluation and Management of Insomnia in the Psychiatric
Setting: the Journal of Lifelong Learning in Psychiatry. 2009. 7(4): 441-451.
12. Tomb, D. A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC.
13. Mai E, Buysse DJ. Insomnia: Prevalence, Impact, Pathogenesis, Differential
Diagnosisi, and Evaluation. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry.
2009; 7(4): 491-498.
14. Sateia MJ, Buysse DJ, Krystal AD, Neubauer DN, Heald JL. Clinical practice
guideline for the pharmacologic treatment of chronic insomnia in adults: an
American Academy of Sleep Medicine clinical practice guideline. J Clin
Sleep Med. 2017;13(2):307–349.
15. American Academy of Sleep Medicine. International classification of sleep
disorders, 2nd ed.: diagnostic and coding manual. Westchester, IL: American
Academy of Sleep Medicine, 2005.
16. Drake Christopher L,Ph.D et al. Insomnia Causes, Consequences, and
Therapeutics: An Overview. Depression and Anxiety. 2003;18:163-176.
17. Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 2007;74:251-265.
18. L Petit. N Azad. Anna B. Non-pharmacological Management of Primary and
Secondary Insomnia Among Older People. British geriatric Society. 2003;
32:19-25.
19. Anne MMHH, Renee C. Anna L. The Diagnosis and Management of
Insomnia in Clinical Practice. CMAJ. 2000;162:216-220.
20. Erika N. Susan L. John ED. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. 2004;
17:212-218.
21. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management
on Insomnia. JAOA.2010;110:695-700.

Vous aimerez peut-être aussi