Vous êtes sur la page 1sur 17

1.

Mudharabah Sebagai Produk Pembiayaan Perbankan Syariah

Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi lain

penghimpunan dana, mudhrabah diterapkan pada:1

a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksud untuk tujuan khusus, seperti tabungan

haji, tabungan kurban, dan sebagainya.

b. Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk

bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:

a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa

b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan

penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal

2. Manfaat dan Resiko Mudharabah

Manfaat Mudharabah antara lain:

a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi

disesuaikan dengan pendapat/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami

negative spread.

c. Pengembalin pokok pembiayaan disesuaikan dengan cashflaw/arus kas usaha nasabah

sehingga tidak memberatkan nasabah.

1
Ibid
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal dan

menguntungkan, karena keuntungan yang konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan

dibagikan.

e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan bunga tetap, dimana bank akan

menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun

keuntungannyan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Sedangkan resiko yang terdapat dalam mudharabah terutama dalam penerapan pembiayaannya

dapat dikatakan relative tinggi, antara lain:

a. Side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan tidak sesuai dengan yang disebut

dalam kontrak.

b. Lalai dan kesalahan yang disengaja.

c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah. Hal ini erat kaitannya dengan kejujuran nasabah.

3. Berakhirnya Akad Mudharabah

Lamanya kerjasama dalam mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas, tetapi semua pihak

berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerjasama dengan memberitahukan pihak lain.

Akad mudharabah dapat berakhir karena hal sebagai berikut:2

a. Dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir pada

waktu yang telah ditentukan;

b. Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri;

c. Salah satu pihak meninggal dunia atau hilang akal;

d. Modal usaha sudah tidak ada;

2
Safira, Akuntansi untuk Produk Pembiayaan Mudharabah, Modul 14 Akuntansi Syari’ah. Universitas Mercu Buana
e. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk mencapai

tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai pihak yang mengemban amanah ia

harus ber’itikad baik dan hati-hati;

Kontrak mudharabah dapat dilakukan untuk satu periode tertentu. Menurut fiqh pengikut

Hanafi, Hambali dan Syafi’I, berakhirnya periode ini berarti otomatis kontrak tersebut berubah

tanpa adanya keputusan baru yang diambil3 akan tetapi menurut para ahli fiqh pengikut Maliki,

spesifikasi suatu periode waktu dapat membatalkan perjanjian tersebut. Pertanyaan yang sering

muncul berkaitan dengan hal ini adalah apakah seorang mitra usaha dapat mengakhiri satu

kontrak yang waktunya telah ditentukan sebelum habis masnaya. Semua ahli fiqih sependapat

bahwa hal tersebut tergantung pada hal untuk mengakhiri, dan hal ini tidak akan menghapuskan

hak setiap pihak untuk mengakhiri kontrak.

Mendukung prinsip hak untuk mengakhiri kontrak yang telah dikemukakan diatas, semua ahli

fiqh setuju bahwa meskipun kontrak-kontrak itu waktunya telah ditentukan, setiap pihak

mempunyai hak untuk mengakhiri kontrak kapan saja. Berdasarkan kutipan dari ahli-ahli fiqh

pengikut Hambali dan Maliki yang telah disebutkan diatas, hal tersebut juga jelas bahwa jika

semua pihak mengikat diri mereka untuk tidak mengakhiri kontrak sebelum waktu yang

ditentukan, maka kontrak itu dianggap tidak sah.

Suatu kontrak mudharabah berakhir disebabkan oleh kematian seseorang yang pernah

menjadi bagian dalam kontrak tersebut. Kontrak tersebut dapat dilanjutkan apabila terdapat lebih

dari 2 mitra usaha dengan persetujuan dari orang-orang yang masih ada.

Semua mahzab hukum setuju terhadap prinsip ini sebagaimana yang dijelaskan pada kutipan-

kutipan dibawah ini:

3
Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta.1996.hlm.99
Ali al Khafif menyebutkan:4

“Ketika seorang mitra meninggal dunia, maka pengemban sahamnya dalam kemitraan usaha

dan kontraknya menjadi berakhir, dengan demikian bagian tersebut diserahkan kepada ahli

warisnya, dan kontrak yang telah dilakukan dengan almarhum menjadi terhapus”

Pengikut Hambali mengatakan:5

“Apabila salah seorang dari kedua mitra usaha tersebut meninggal seorang ahli waris yang

berkompeten mempunyai hak untuk melanjutkan kontrak dan mitra usahanya akan mengijinkan

untuk dilaksanakan transaksi-transaksi yang dilakukan kemudian, serta adanya hak untuk

membagi asset”.

Kedua pendapat tersebut dapat menjadi alasan penguat bahwa berakhirnya kontrak akad

mudharabah karena kematian dapat diwariskan kepada ahli waris yang berkompeten untuk

melaksanakan akad mudharabah yang sedang berlangsung.

4. Barang Jaminan Dalam Akad Mudharabah

4.1. Tradisi Tata Cara Berhutang di Zaman Jahilliyah

Adanya terminologi tentang “riba jahiliyah” menunjukkan bahwa pada masa pra-Islam

tradisi berhutang sudah ada. Bahkan, model hutang-piutang yang dilakukan juga menunjukkan

cara yang khas, ialah selalu berorientasi pada mencari keuntungan dengan cara menghutangkan

atau meminjamkan uang kepada orang lain. Mengapa dapat disimpulkan demikian? Hal ini

dikarenakan bahwa keberadaaan hukum akan sesuatu perkara sebenarnya terkait erat dengan

praktek kehidupan yang ada. Maka ketika Islam melakukan pengecaman terhadap riba pada masa

jahiliyah, hal itu menunjukkan adanya kebiasaan buruk yang terjadi dan menjadi sebuah

fenomena yang biasa.

4
Ibid
5
Ibid
Dalam Al-Qur’an, kecaman terhadap riba tersebut dengan jelas, antara lain QS. Ali

Imran yang artinya : “wahai orang-orang yang beriman, jangnlah kamu memakan riba dengan

berlipat ganda dan bertawakkallah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Diriwayatkan oleh Faryabi yang bersumber dari Atta’, bahwa di zaman jahiliyah Tsaqif

berhutang kepada Bani Nadhir. Ketika waktu tiba waktu membayar Tsaqif berkata, “Kami bayar

bunganya dan undurkan waktu pembayarannya.6 Dari Ibnu Zaid, ayahnya mengutarakan bahwa

riba yang terjadi pada masa jahiliyah, atau sebelum datangnya Islam adalah pelipatgandaan dan

umur hewan. Apabila seseorang yang memberikan pinjaman materi atau uang (kreditur)

mendatangi untuk menagih sementara orang yang meminjam (debitur) belum bisa membayarnya,

berkatalah kreditur kepadanya “bayarlah atau kamu tambah untukku” dan apabila peminjam tidak

mampu maka yang harus dikembalikan akan lebih berlipat dimasa selanjutnya, begitu seterusnya

setiap masa sampai peminjam mampu untuk membayar7. Dan inilah yang menjadikan riba

jahiliyah itu disebut dengan riba ganda berganda.

Ringkasnya, pada masa pra-Islam, hutang piutang yang dipraktikkan adalah cara hutang-

piutang yang eksploitatif, dimana penambahan jumlah uang harus diberikan pada saat

pengembalian uang hutang. Dan inilah yang dimaksudkan dengan riba jahiliyah.

4.1.2. Keberadaan Jaminan dalam Hutang Masa Jahiliyah

Penerapan jaminan atas hutang adalah praktek yang sudah terjadi di masa pra-Islam. Dan terkait

hal ini, Islam tidak berkeberatan untuk menerimanya. Utang dengan jaminan ini pernah dilakukan oleh

Nabi Muhammad Rasulullah saw. Anas ra. Memberitahukan, “Rasulullah saw telah menjaminkan baju

besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau utang sya’ir (gandum) dari seorang

Yahudi untuk keluarga beliau.” (HR. Ahmad, Bukhori, Nasai, dan Ibnu Majah).

6
Al-Qur’an, Surat Ali Imran:130
7
M qurais shihab, membumikan Al-Qur’an.mizan media utama,bandung,2009 Hlm 410-411
Dalam perkembangannya, jaminan seperti ini disebut dengan rahn. Rahn ini juga dapat

diterjemahkan sebagai gadai. Namun sebenarnya, substansi gadai juga sama dengan jaminan atas hutang.

Menurut bahasa gadai (al-rahn) berarti al-tsubat dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula

yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat.8

Dalam terminologi yang berkembang, ada berbagai pemaknaan terhadap jaminan atah rahn ini.

Hal ini wajar, karena persyaratan adanya barang untuk menjamin sebuah utang memang dapat dilihat dari

dua sudut pandang tersebut, jaminan atau gdai. Menurut berbagai sumber, yang dimaksud dengan rahn

adalah:

1. Akad yang obyeknya menahan harga tehadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran

dengan sempurna darinya.9

2. Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama

ada dua kemungkinan untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.10

3. Gadai adalah akad pinjaman meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.11

4. Menjadikan harta sebagai jaminan hutang.12

5. Menjadikan zat suatu benda sebagai jamina hutang.13

6. Gadai adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas hutang.14

7. Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam hutang

piutang.15

8
Lihat Kifayat al-Akhyar hlm hlm 261, lihat pula Idris Ahtlad, fiqh al-Syafi’iyah hlm.159
9
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah. Bulan Bintang. Jakarta. 1984. Hlm.86-87
10
Sayyid Sabiq dalam Fiqh Al-Sunnah,hlm.187.
11
Lihat Masyfuk Zuhdi dalam Masail F’iqhiyah. CV. Haji Mas Agung Jakarta.1988.hlm.153
12
Abi Bakar Ibn Muhammad Taqiy al-Din. Dalam Kifayahal-Ahyar. Alma’arif Bandung, tth.hlm 263
13
Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini. Dalam kitab al-iqna fi Hal al-Alfazh Ahi Syuja’. Dari al-Ihya al-Kutub al-
Arabiyah Indonesia,ttp.,tth., hlm. 23
14
Idris Ahmad dalam Fiqh Syafi’iyah. Karya Indah, Jakarta. Th.1986, hlm. 58.
15
Sulaiman Rasyid. Fiqh Islam,1985,hlm.58
8. Gadai adalah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan

hutang. Dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagai hutang dapat

diterima.16

4.1.3. Dasar Hukum Rahn

Jika dicermati dalam Al-Qur’an, sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam

dengan jaminan (borg) adalah firman Allah SWT sebagai berikut: “Apabila kamu dalam perjalanan dan

tidak ada orang yang menuliskan utang, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.17 Dalam

praktik kehidupan Nabi saw, juga dijumpai bahwa Nabi juga memberikan barang jaminan ketika

melakukan hutang-piutang. Diriwayatkan oleh Ahmad Bukari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a., ia

berkata: “Rasulullah saw. Menjaminkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau

mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.18

4.1.4. Rukun Mudharabah

Dikalangan para ulama, rukun akad mudharabah relatif sama. Namun, pendapat Imam Hanafi

merupakan salah satu pendapat yang cukup banyak dirujuk. Rukun akad mudharabah menurut Hanafiah

adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan kata-kata ungkapan atau lafadh yang menunjukkan kepada

arti mudhrabah. Lafadh yang digunakan untuk ijab adalah lafal mudharabah, maqaradhah, dan

muamalah, serta lafal-lafal lain yang artinya sama dengan lafal-lafal tersebut. Sebagai contoh, pemilik

16
Ahmad Azhar Basyir, Riba, Utang-Piutang dan Gadai. Alma’arif, Bandung, 1983, hlm.50
17
QS. Al-Baqarah,283. Pemaknaan bahwa ayat tersebut sebagai landasan utama dalam masalah ini ada dalam
beberapa sumber. Antara lain, Rahmad Syafei, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006,hlm. 165. Lihat juga
dalam Fiqh Muamalah. Hendi Subendi, Rajawali Pers, Jakarta. 2007,hlm.107
18
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat. Amzah. Jakarta,2010, hlm.288. Lhat juga dalam Fiqh Muamalah, Hendi
Suhendi, Rajawali Pers, Jakarta,2007, hlm 107, lihat juga dalam Rahmad Syafei, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia,
Bandung, 2006,hlm.161
modal mengatakan: Ambillah modal ini dengan mudharabah, dengan ketentuan keuntungan yang

diperoleh dibagi antara kita berdua dengan nisbah setengah, seperempat, atau sepertiga.”19

Adapun lafadh qabul yang digunakan oleh amil mudharib (pengelola) adalah lafal: saya ambil,

atau saya terima, atau saya setujui dan semacamnya.20 Apabila ijab dan qabul telah terpenuhi maka akad

mudharabah telah dapat dinyatakan sebagai akad yang sah. Sehinga, menurut jumhur ulama atau

mayoritas ulama, rukun mudharabah ada tiga yaitu:

a. Aqid, yaitu pemilik modal dan pengelola (amil/mudharib)

b. Ma’qud ‘alaih, yaitu modal, tenaga (pekerjaan) dan keuntunga, dan

c. Shighat, yaitu ijab dan qabul.

Lagi-lagi menurut madzhab Syafi’i. para ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa rukun mudharabah ada

lima yaitu:

a. Modal

b. Tenaga (pekerjaan)

c. Keuntungan

d. Shighat

e. Aqidain

Terlepas dari perbedaan keduanya, namun dalam masalah yang pokok, kedua pendapat tadi

tetap menguatkan keberadaan orang yang berakad, obyek yang dijanjikan, serta lafadh yang

menyatakan perjanjiannya.

4.1.5. Jaminan (Dhaman)

19
Alaudin Al-Kasani, Badai Ash-Shanai’ fi Tartib Asy Syarai’, juz 6 ,Dar Al-Fikr, Beirut, cet. I,1996, hlm.121.
20
Ibid, juz 6
Disamping terminologi rahn yang tercantum diatas, hukum islam atau muamalah juga

dikenal istilah dhaman. Dhaman ialah jaminan atas beban seseorang yang menjadi kewajibannya/

bebannya. Lantas, dimanakah perbedaan antara keduanya? Letak perbedaannya adalah bahwa jika

rahn itu adala titik bebannya pada barang, sedangkan istilah dhaman titik beratnya pada orang yang

menjamin. Dhaman atau jaminan itu mengenai jaminan urusan yang menyangkut pribadi seseorang

seperti makanannya, pakaiannya, dan biaya keluarganya atau yang menyangkut kepada orang lain,

seperti: jaminan untuk membayar utang seseorang atau sebagainya, atau jaminan untuk

menyampaikan tugas seseorang seperti menyampaikan amanat orang lain kepadnya yang harus

disampaikan kepada seseorang lagi. Hukum asalan dari penerapan jaminan seperti ini adalah sunnat.

Jika demikian, tidak menjadi keharusan adanya jaminan, namun jaminan ini menjadi suatu pilihan

atau prioritas.

Diantara pernyataan Nabi yang menjadi rujukan dalam hal ini adalah pernyataan beliau yang

artinya: “Barangsiapa yang mati meninggalkan utang, akulah yang membayarnya.” Disamping itu,

dalam sebuah kesempatan, Nabi saw. Telah dihadapkan kepada seorang mayit untuk dishalatkan, lalu

beliau berkata: “Apakah dia mempunyai utang?” jawab sahabat: “Iya, dua dinar.” Berpalinglah Nabi

dari mayit itu. Lalu kemudian Abu QItadah berkata: “Saya tanggung utangnya.” Sabda Nabi saw. :

“Penuhilah kewajiban orang yang berhutang, supaya bebas mayit itu dari utangnya.”

Jika dilihat dari berbagai sumber yang ada, elemen yang harus ada atau yang disebut dengan

rukun dhaman ada lima perkara, yaitu:

1. Ada orang yang menjaminnya

2. Ada orang yang dijaminnya

3. Ada utang atau beban yang akan ditanggungnya

4. Ada barang untuk menjaminnya

5. Ada ijab atau ikrar saja dari yang menjamin


Sedangkan yang menjadi objek dhaman terbagi dua, yaitu:

1. Beban seperti utang atau biaya yang sudah positif

2. Beban yang belum positif, seperti menjamin dengan uang untuk membeli sesuatu

Namun ada hal yang harus diingat terkait hal ini, bahwasanya dhaman tidak dapat

diberlakukan untuk semua perkara. Dhaman hanya diperbolehkan bagi persoalan yang bertalian

dengan urusan manusia ialah masalah muamalah, dhaman tidak diperbolehkan dalam urusan ibadah.

Bahkan lebih dari itu dhaman juga tidak diperkenankan untuk masalah jimayat atau terkait dengan

hukuman pidana. Misalnya saja seseorang menggantikan untuk menjalani hukuman pidana bagi orang

lain. Untuk masalah ini, terdapat pernyataan Nabi yang tegas melarangnya. Nabi Muhammad

bersabda: “Tiada tanggungan bagi hukuman.” (Riwayat Baehaqie)21

Hal lain yang penting untuk dipertimbangkan dalam masalah jaminan ini adalah harus adanya

kesepakatan bersama dalam pemberlakuan jaminan atau tanggungan. Tanggungan menjadi penting

ketika shahib al-maal khawatir akan munculnya penyelewengan dari mudharib. Namun pertanyaan

yang perlu diajukan adalah apakah dalam suatu kerjasama yang saling membutuhkan jaminan

menjadi suatu yang urgen? Sekilah memang antara kepentingan bersama dan sikap saling percaya ini

memang semestinya paralel. Namun tingkat kejujuran setiap orang dari yang menjalin kesepakatan

tersebut tidaklah sama.

Jika dilihat masalah kerugian yang akan muncul dari kesepakatan usaha bersama tersebut pun

dapat dikaitkan dengan pertanyaan apakah setiap itu berarti penyelewengan? Para ulama berbeda

pendapat mengenai keharusan adanya tanggungan dalam mudharabah ini. Para fiqaha pada dasarnya

tidak setuju dengan adanya tanggungan ini. Alasannya mudharabah merupakan kerjasama saling

menanggung. Satu pihak menanggung modal dan pihak lain menanggung kerja, dan mereka akan

mempercayai serta jika terjadi kerugian semua pihak merasakan kerugian tersebut. Atas dasar inilah

21
Moh.Anwar, FIqh Islam (Muamalah, Munahakat, Faroid & Jinayah), PT Alma’arif,1998,hlm 67-69.
maka terdapat pendapat kuat bahwa jaminan harus ditiadakan.22 Namun jaminan menjadi perlu ketika

modal yang rusak melampaui batas.23 Tetapi bagaimana batasan suatu dianggap melampaui batas,

para ulama pun berbeda pendapat. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’I, jika shahib al-maal

bersikeras terhadap adanya jaminan dari SHahib al-maal dan menetapkannya sebagai bagian dari

kontrak, maka kontrak menjadi tidak sah.24

4.1.6. Jaminan Menurut Ahli Hukum Islam

Dalam hal kemestian jaminan dalam mudharabah, memang menarik untuk dilihat dalam

prakteknya hari ini. Meskipun sebagaimana disebutkan diatas, para ulama klasik tidak membolehkan

adanya jaminan dalam mudharabah, namun dalam perkembangannya hari ini sangat berbeda. Pendapat

ulama kontemporer membolehkan adanya jaminan, akan tetapi pembahasannya belum sampai pada

faktor-faktor yang dijadikan alasan pada pembolehan adanya jaminan pada akah mudharabah.25

Dalam hal ini, Makhalul Ilmi menjelaskan hubungan antara pemilik modal dan pengelola modal

yang didasarkan pada akad mudharaba tetapi pembahasannya belum sampai kepada faktor yang

mempengaruhi adanya jaminan dalam pembiayaan mudharabah.26

Salah seorang ulama terkemuka, Ibnu Rusyd, menjelaskan permasalahan-permasalahan dalam

akad mudharabah menurut Imam Madzhab salah satunya mengenai adanya tanggungan pada mudharib.

Dimana tanggungan ini tidak diperbolehkan menurut Imam Syafi’I dan Imam Maliki. Meski demikian

22
Ibnu Qudamah. Al-Mughni ala al-Syarh al-Kabir,vol. V, (Mesir:al-Manar, 1347 H, p.68.
23
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid,vol.I,p.178
24
Ibid 179
25
Abdullah saeed, Bank Islam dan Bunga (Studi Kritis dalam Interpretasi Kontemporer Tentang RIba dan Bunga)
alih bahasa Muhammad Ufuqul Mubin cet ke-2 Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2004,hlm.97
26
Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Syariah, cet ke 1 ,Yogyakarta, UII pres.2002, hlm 32
dalam permasalahan tersebut, beliau tidak menjelaskan adanya alasan yang melarang adanya jaminan

pada akad mudharabah.27

Demikian halnya dalam pandangan Sayyid Sabiq. Dalam karyanya, Sayyid Sabid menjelaskan

konsep mudharabah dengan penekanan pada masalah “amanah”. Sehingga dalam masalah ini, sohib al

mal tidak boleh meminta jaminan, akan tetapi hanya kepercayaan mudharib.28 Namun sekali lagi

pembahasannya belum menyentuh pada aspek larangan hukum jaminan para Imam Madzhab sehingga

tidak dapat ditemukan alasan larangan penyertaan jaminan pada akad mudharabah. Persoalan jaminan

dalam mudharabah tidak ada dalil yang menunjukkan pembolehan atau pelanggaran dalam syara’ namun

hukum muamalah memiliki prinsip-prinsip sebagai acuan hukum yakni sebagai berikut:29

1. Pada dasarnya hukum muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan madharat dalam hidup

sunnah rosul

2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa ada unsur pemaksaan

3. Muamalah dilakukan atas dasar mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat dalam

hidup masyarakat

4. Muamalah harus didasarkan unsur-unsur keadilan menghindari unsur-unsur penganiayaan, unsur-

unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.

Ulama fiqih seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i merespon hukum jaminan pada akad

mudharabah dengan menggunkan metode ijtihadnya. Yang hal tersebut tentunya dilakukan dengan tidak

terlepas dari konteks sosial masyarakat pada waktu itu sehingga beliau mengatakan bahwa hukum

27
Ibn Rusyd dalam Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid. Hlm 179

28
As Sayid Sabiq, Fiqh as Sunnah (Libanon, Dar al-Kitab al-Arabiyyah.t.t),III hlm 144
29
Ahmas Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Islam, Yogyakarta,UII, 1993, hlm 15-16
jaminan dalam akad mudharabah itu tidak diperbolehkan atau dilarang dikarenakan hal ini akan

menjadikan tidak sahnya akad yang dibuat.30

Imam Abu Hanafiah dan para pengikutnya membolehkan adanya jaminan pada dalam akad

mudharabah hanya saja syaratnya batal.31 Pendapat ini agak unik, karena membolehkan tetapi

menyatakan bahwa penetapan syarat jaminan itu adalah syarat yang batal.

Jika dianalisis secara seksama, maka akan dapat ditarik suatu benang merah bahwa pendapat para

Imam Madzhab diatas mempunyai perbedaan dengan pendapat bahwa Dewan Syariah Nasional (DSN)

sebagai sebuah lembaga fatwa, atau bahkan lebih dari itu merupakan satu-satunya lembaga yang fatwanya

menjadi rujukan bagi transaksi perbankan syariah. Hal ini nampak dalam fatwa DSN no. 7/DSN-

MUI/IV/2000 yang menjelaskan bahwa pada “Prinsipnya pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,

namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, bank dapat meminta jaminan ini hanya dapat di

cairkan jika mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati.”32

Sama halnya dengan munculnya berbagai pendapat diatas yang tidak dapat dilepaskan dari

konteks yang melatarbelakanginya, maka fatwa DSN tersebut sebenarnya juga memiliki konteks sosial

dan ekonomi juga. Sehingga, memang kondisi masyarakat yang berbeda dengan masa lalu, dimana

tingkat kejujuran dan kepercayaannya juga berbeda, termasuk dalam memegang dan menunaikan sebuah

amanah juga telah mengalami banyak pergeseran.

4.1.7. Jaminan Dalam Hukum Perdata

Istilah jaminan jika dirunut, sebenanya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu

Zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

30
Ibn Rusyd dalam Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtasid, II, hlm.179
31
Ibid
32
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI cet-4
Jakarta,Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia 2006
dipenuhi tagihannya, disamping tanggung jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Dalam

hukum dan perundang-undangan yang ada, istilah jaminan juga dikenal dengan agunan.33

Hal ini dijumpai misalnya dalam pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, definisi agunan adalah:

“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam angka mendapatkan fasilitas kredit

atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.” Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan

tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank, yang diserahkan oleh

debitur kepada bank. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang dislenggarakan di

Yogyakarta, disimpulkan pengertian jaminan adalah: “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat

dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.”34

Definisi diatas hampir sama dengn definisi yang dikemukakan oleh M. Bahsan yang berpendapat

bahwa jaminan adalah: “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin

suatu utang piutang dalam masyarakat.”35

Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

1. Jaminan perorangan (personal/corporate guarantee) diatur dalam pasal 1920-1864 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata

2. Jaminan kebendaan

Adapun pengertian dari Jaminan Perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan

langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debior tertentu, terhadap harta

kekayaan debitur umumnya. Jaminan perorangan memberikan hak verbal kepada kreditor, terhadap benda

33
Mariam Darul Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverban,Gadai dan Fiducia. Cet. IV,
Alumni;Bandung,1987,hlm.227
34
Ibid
35
M Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,Rejeki Agung:Jakarta.2002. hlm.148
keseluruhan dari debitor untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya. Yang termasuk jaminan

perorangan adalah:36

1. Penanggung (borg) adala orang lain yang dapat ditagih

2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng

3. Perjanjian garansi

Adapun yang dimaksudkan dengan Jaminan Kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas

suatu benda yang mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu. Dapat dipertahankan terhadap

siapapun. Selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jika dilihat dari tujuannya, maka

jaminan yang bersifat kebendaan bermaksud atau bertujuan untuk memberikan hak verbal (hak untuk

meminta pemenuhan piutangnya) kepada seseorang atau sebuah kreditur. Terhadap hasil penjualan benda-

benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya. Selain itu hak kebendaan dapat dipertahankan

(dimintakan pemenuhan) terhadap siapapun juga, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak baik

berdasarkan atas hak yang umum maupun khusus, juga terhadap para kreditor dan pihak lawannya.

Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan:37

1. Gadai (pand), yang diatur didalam Bab 20 Buku II KUHPer

2. Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUHPer

3. Creditverband, yang diatur dalam Stb. 1908 No.542 sebagaimana telah diubah dengan Stb.1937

No.190

4. Hak Tanggungan, sebagaimana diatur dalam UU No.4 Tahun 1996

5. Jaminam Fidusia, sebagaimana diatur dalam UU No.42 Tahun 1999

Dari jenis jaminan diatas, jaminan kebendaan yang masih berlaku adalah gadai, jaminan fidusia dan hak

tanggungan.

36
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika Hlm.112
37
Ibid
4.1.8. Mengapa Diperlukan Jaminan Menurut Hukum Perdata

Diperlukannya, atau bakan diwajibkannya keberadaan jaminan dikarenakan jaminan mempunyai

kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena

keberadaan lembaga ini dapat memberikan manfaat, bukan saja terbatas bagi kreditur, namun bagi

debiturpun juga demikian. Manfaat bagi kreditur adalah:

1. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup

2. Memberikan kepastian hukum terhadap kreditur, ialah bahwa barang jaminan tersedia setiap

waktu untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutang dari penerima

(pengambil) kredit.38

4.1.9. Kedudukan Jaminan Dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah yang Dipraktekkan

Untuk memahami mengapa dalam akad mudharabah jaminan diberlakukan, perlu dilihat

bagaimana pertimbangan yang diberikan. Jika dianalisa, resiko yang terdapat dalam akad mudharabah,

terutama pada penerapannya dalam pembiayaan relatif tinggi diantaranya:

1. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan yang seperti disebut dalam kontrak

2. Lalai dan kesalahan yang disengaja

3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.39

Untuk itulah maka kemudian bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi

risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian

dan/atau kecurangan. Terlebih lagi, jika dilihat dari prinsip prudensial yang harus dipatuhi juga sama

38
Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Adiya Bhakti, Bandung,1996,hlm 73. Lihat juga dalam Sri Soedewi Masjhoen
Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia; Pokok-pokok Hukum Jaminan Perorangan, Yogyakarta, Liberti,1980, hlm 2,
Lihat juga dalam Titi Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Predana Media
Group, Jakarta,2008,hlm 176
39
Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta,2001,hlm98
dengan yang berlaku pada perbankan konvensional. Berarti bahwa prinsip dalam analisis pembiayaan di

bank syariah juga menekankan 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition. Prinsip

keempat (collateral) artinya bahwa bank dalam melakukan pendekatan analisis pembiayaan selalu

memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.40

Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa jaminan difungsikan sebagai perlindungan hak-

hak LKS yakni agar mudharib tidak melakukan penyimpangan terkait tentang hal-hal yang telah

disepakati bersama dalam Akad.41

Disamping berbagai pertimbangan tersebut, DSN menyebutkan bahwa jaminan dapat dicairkan

jika terjadi penyimpangandan pelanggaran. Secara umum, penyimpangan timbul karena adanya moral

hazard. Moral hazard terjadi ketika masalah moral dan etika dalam berbisnis tidak diindahkan.42

40
Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Jakarta:UUP AMP YMKN,2002) h.304
41
Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
42
Latifa M. Algaoud dan Mervyn K.Lewis, Perbankan Syariah; Prinsip, Praktek, Prospek, h.112

Vous aimerez peut-être aussi