Vous êtes sur la page 1sur 2

Analisa

Dari proposisi di atas dapat kita analisa bahwa suksesnya revolusi Abbasiyah tidak terlepas dari
peran serta kelompok-kelompok yang sudah menyempal terlebih dahulu dari Dinasti Umayyah,
karena merasa selalu terdzalimi terhadap pola-pola kepemimpinan yang ditonjolkan oleh
khalifah-khalifah Umayyah. Rasa ketidakpuasan ini secara psikologi menciptakan “sidrom
traumatik” terutama bagi kelompok Syi’ah dn Khawarij yang sejak lengsernya Ali Ibn Abi Thalib
selalu di buru dan diasingkan. Maka tidak mengherankan jika pada awal-awal pemerintahannya
Abu Abbas as-Saffa menciptakan sebuah kebijakan politik “pembumihangusan” etnis Umayyah
dari muka bumi. Disamping untuk balas dendam atas kebiadaban Dinasti Umayyah juga rasa
terima kasih atas bantuan dari kelompok-kelompok oposisi tersebut, sehingga diharapkan
mereka terpuaskan dan akan loyal dalam mendukung kekuasaan Dinasti Abbasiyah di masa
mendatang. Dan hal yang tidak bisa dilepaskan mudahnya mendapatkan dukungan dari
kelompok-kelompok tersebut adalah janji penegakan syariat Islam dan terciptanya kehidupan
tanpa ketakutan dan kekerasan yang tidak pernah mereka dapatkan pada masa Dinasti Bani
Umayyah.

Pasca As-Saffa dan naiknya Ja’far al-Mansur rupanya menjadi awal bangkitnya kembali
“solidaritas keluarga”, ini terlihat dari penyingkiran kelompok oposisi yang notabene sekutu
utama dalam penumbangan Dinasti Umayyah dan pergantian kekuasaan diserahkan kepada
Putra Mahkota agar kekuasaan hanya berputar pada keluarga Bani Abbasiyah. Kebijakan ini
jelas mencerminkan sifat haus kekuasaan dan lunturnya nilai-nilai demokrasi akibatnya hilang
prinsip persamaan, kebersamaan, dan mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi seperti yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah.31 Padahal semua itu adalah tugas
utama seorang khalifah.

Sifat seperti ini bukan merupakan “barang baru” dalam dunia Islam. Khalifah Utsman Ibn Affan
adalah “The Best Teacher” yang telah mengajarkan bagaimana kekayaan terkonsentrasi pada
segelintir orang. Dalam pada itu, pengaruh kerajaan Persia yang monarkhi absolute juga
mendukung terciptanya iklim seperti itu, ini terlihat dari pindahnya Ibu kota dari Damaskus ke
Baghdad, lalu dilanjutkan dengan mencontoh secara besar-besaran model-model kekuasaan
dan administrasi Negara Persia.32

Namun bagaimana pun jeleknya Dinasti Abbasiyah secara politik, mereka telah berhasil
menorehkan tinta emas dalam peradaban Islam, terutama keberhasilan mereka dalam
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menerjemahkan secara besar-
besaran kitab-kitab klasik peninggalan Yunani, Persia, India, China ke dalam dunia Islam.
Sehingga wajar banyak ilmuwan berpendapat bahwa masa ini adalah masa kejayaan Islam yang
paling gemilang atau dalam bahasa Ashar Ali zaman Islam Mahayana.33dan kejayaan seperti ini
sulit kita jumpai di Negara-negara yang mengatasnamakan Islam. Disamping itu Dinasti ini
menunjukkan sifat keislamannya yang lebih menonjol daripada sifat kearabannya. Dua orang di
antara khalifah-khalifahnya yang menjadi penunjang utama dalam menggulingkan dinasti Bani
Umayyah dan menegakkan dinasti Bani Abbasiyah adalah orang-orang Persia. Oleh karena itu
tidaklah aneh kalau kepada-kepala dinasti ini berusaha memelihara keseimbangan yang seadil-
adilnya antara unsur Arab dan unsur Persia di dalamnya. Tentu berbeda dengan Dinasti Bani
Umayyah yang lebih kuat unsur Arabnya sehingga mengkotak-kotakkan masyarakatnya dalam
Arab dan non Arab. Perpecahan baru terjadi pasca meninggalnya Harun ar-Rasyid, ketika kedua
putranya berperang berebut kekuasaan. Yang satu hendak memperkokoh kedudukan orang-
orang Arab. Sedangkan yang lainnya bertekad hendak memperkokoh kedudukan orang-orang
keturunan Persia.34

Runtuhnya sebuah Dinasti-Dinasti Islam pasti berawal dari pola hidup yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Ini menandakan bahwa Dinasti Abbasiyah tidak pernah mau belajar dari sejarah
kehancuran Bani Umayyah. Disamping itu, mempercayakan keamanan berlebihan kepada suatu
kelompok, jelas akan berakibat pada lunturnya nilai persatuan di antara masyarakat itu sendiri.

Pada masa sekarang kebijakan seperti ini diikuti oleh kerajaan Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat
Arab yang mempercayakan keamanannya kepada pasukan Amerika dan balasannya Amerika
berhak mengeksploitasi minyak dan mendirikan pangkalan militer di Negara-negara tersebut.
Padahal ini adalah bagian dari penjajahan sistemik dan pembodohan sturktural yang nantinya
akan melemahkan sendi-sendi pemerintahan dan nasionalisme kebangsaan masyarakatnya.

Selanjutnya kondisi Baghdad sekarang sungguh sangat memperihatinkan setiap hari kita
melihat konflik-konflik berdarah. Perang memang tidak pernah menyelesaikan masalah. Bahkan
justru melahirkan masalah baru, tidak hanya dari aspek politik, kemanusiaan, sosial
kemasyrakatan. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam bersatu dalam satu kata muslim
yang satu dengan muslim yang lain adalah saudara, jika salah satu sakit maka yang lain juga
sakit.

Vous aimerez peut-être aussi