Vous êtes sur la page 1sur 28

MAKALAH TENTANG AQIDAH ISLAM

Disusun oleh:

MUHAMMAD ROMDAN ARDIANTARA

(20183020035)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. atas limpahan rahmat, hidayah dan karunianya kepada kita

semua sehingga sampai saat ini kita masih diberi nikmat sehat, nikmat untuk selalu bersyukur dan

nikmat iman untuk tetap berada di jalan yang diridhainya yaitu agama islam. Shalawat serta salam

tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW. yang telah membimbing kita dari jalan yang

buruk menuju jalan yang terang benderang.

Makalah ini bertemakan aqidah islam, dimana isi dari makalah ini adalah mengenai makna

aqidah islam itu sendiri, lalu hal-hal yang berkaitan erat dalam aqidah islam yang sering dilupakan

masyarakat khususnya umat islam saat ini.

Meskipun makalah ini dibuat semaksimal dan sebaik mungkin, tidak menutup

kemungkinan jika beberapa hal yang ada dalam isi laporan ini memiliki banyak kekurangan

sehingga saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan

makalah ini. Selanjutnya, saya memohon do’a dari para pembaca agar penyusunan makalah ini

dapat bermanfaat dan saya mohon ma’af jika isi di dalam makalah ini terdapat penyampaian kata

yang kurang berkenan kepada pembaca.

Demikian atas apresiasi para pembaca dan semoga penggunaan makalah ini dalam

meningkatkan pengetahuan pembaca, saya ucapkan terima kasih

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………...

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………………………………...

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………..

C. Tujuan………………………………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN

A. Apa Definisi Aqidah Islam ?

B. Apa Hakikat Hubungan Antara Iman, Islam, Ihsan ?

C. Apa Saja Rukun Iman dan Hakikatnya ?

D. Apa saja Sumber Aqidah Islam dan Hakikatnya ?

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………

B. Saran………………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aqidah islam adalah suatu keyakinan yang kuat umat islam khususnya kepada sang

ilahi Allah Subhanahu wa ta’ala, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-

Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, serta takdir baik dan buruk yang sudah ditetapkan-NYA.

Aqidah islam menyangkut banyak hal yang sangat perlu untuk dipahami umat islam

seperti bagaimana kita memaknai iman khususnya kepada 6 rukun iman, islam dan ihsan

sesungguhnya, serta bagaimana cara kita untuk menyelesaikan permasalahan dimasyarakat

dengan menggunakan 4 sumber aqidah islam.

Untuk itu, saya menyusun makalah ini dengan harapan agar hal-hal mengenai

aqidah islam yang kurang dipahami umat islam khususnya para pembaca dapat dimengerti

kembali dengan mudah dan dapat diterapkan dalam kehidupan di masyarakat.

4
B. Rumusan Masalah

a) Apa definisi dari aqidah islam ?

b) Apa hakikat hubungan antara iman, islam dan ihsan ?

c) Apa saja rukun iman dan hakikatnya ?

d) Apa saja sumber aqidah islam dan hakikatnya ?

C. Tujuan

a) Mengetahui definisi dari aqidah islam

b) Mengetahui hakikat hubungan iman, islam dan ihsan

c) Mengetahui macam-macam rukun iman beserta hakikatnya

d) Mengetahui macam-macam sumber aqidah islam beserta hakikatnya

BAB II

PEMBAHASAN

Aqidah Islam

Aqidah (‫ )ا َ ْلعَ ِق ْيدَة‬menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu

ْ yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(‫ )الت َّ ْو ِثيْق‬yang berarti kepercayaan atau


(‫)العَ ْقد‬

keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (‫)اْ ِإلحْ كَام‬ yang artinya mengokohkan

(menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (‫الربْط‬


َّ ‫ ) ِبق َّوة‬yang berarti mengikat dengan

kuat.

5
Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh

dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti

kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban,

bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-

rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani

seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin),

perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus)

dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah

maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah

yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.

a) Hakikat hubungan Iman, Islam dan Ihsan

1. Iman

Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh

keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam islam

itu sendiri adalah percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,

Rosul-rosul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir baik dan buruk. Iman

mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal

anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena

kemaksiatan.

6
Kedudukan iman lebih tinggi dari pada islam, iman memiliki cakupan yang

lebih umum dari pada cakupan islam, karena ia mencakup islam, maka seorang

hamba tidaklah mencapai keimanan kecuali jika seorang hamba telah mampu

mewujudkan keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya,

karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keislaman dan tidak semua

pelaku keislaman menjadi pelaku keimanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim

dan tidak setiap muslim adalah mukmin.

Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keimanan

dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Allah menyebut iman

dan amal soleh secara beriringan dalam QS. al-Anfal ayat 2-4 Allah Subhannahu

wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika

disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada

mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada

Tuhanlah mereka bertawakkal (2) (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan

7
yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka (3) Itulah

orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya. Mereka akan memperoleh

beberapa derajat ketinggian di sisi tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat)

yang mulia (4).” (QS. al-Anfal:2-4)

Ketika iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh

pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw. yang

artinya:

“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan

merasakan manisnya Iman: Menjadikan Allah dan RosulNya lebih dicintainya

melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya

melainkan karena Allah, membenci dirinya kembali kepada kekufuran

sebagaimana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.”

(HR.Bukhori Muslim).

2. Islam

Islam berasal dari kata, as-salamu, as-salmu, dan as-silmu yang berarti:

menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-

salmu yang berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-

salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.

Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan,

ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa

8
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, demi mencapai

kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.

Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah, maka ia

seorang muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah dan selain

Allah maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri

kepada Allah maka ia seorang kafir yang sombong.

Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama.

bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam.

Dari pengertian itu, kita memahami Islam dari sisi manusia sejak dalam kandungan

sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaimana yang

telah diisyaratkan dalam QS. al-A’raaf ayat 172:

Yang artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan

anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa

mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab:

“Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian

itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani

9
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”(QS. al-

A’raaf : 172)

Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari

adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:

1) Membaca dua kalimat Syahadat

2) Mendirikan sholat wajib lima waktu

3) Menunaikan zakat

4) Puasa Romadhon

5) Haji ke Baitulloh jika mampu.

3. Ihsan

Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat ihsan disebut muhsin berarti

orang yang berbuat baik setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa

dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebut

Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada

suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.

Adapun dalil mengenai ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang

sangat terkenal (dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab,

ketika nabi ditanya mengenai ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:

ْ ‫ّللاَ َكأَنَّكَ تَ َراهُ َف‬


… َ‫إن لَ ْم تَك ُْن ت َ َراهُ فَإنَّهُ يَ َراك‬ ‫…أ َ ْن ت َ ْعبُ َد ه‬

10
“…Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau

melihatNya. Tapi jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah

melihatmu…

Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan ihsan, sebagai

rumusnya adalah memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita

bisa melihatNya, atau jika belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah

bahwa kita selalu dilihat oleh-Nya sehingga akan muncul kesadaran dalam diri

untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat ihsan atau berbuat baik.

b) Hakikat Rukun Iman

1. Iman kepada Allah

Tidaklah seseorang dikatakan beriman kepada Allah hingga dia mengimani

4 perkara:

1) Mengimani adanya Allah Ta’ala.

2) Mengimani rububiah Allah, bahwa tidak ada yang mencipta, menguasai,

dan mengatur alam semesta kecuali Allah.

3) Mengimani uluhiah Allah, bahwa tidak ada sembahan yang berhak

disembah selain Allah dan mengingkari semua sembahan selain Allah

Ta’ala.

11
4) Mengimani semua nama dan sifat Allah yang Allah telah tetapkan untuk

diri-Nya dan yang Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam tetapkan untuk

Allah, serta menjauhi ta’thil, tahrif, takyif, dan tamtsil. Allah Subhannahu

wa Ta’ala berfirman :

“Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya

(Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam), kitab yang diturunkan kepada

Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir

(tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-

Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat.”

(QS. an-Nisaa : 136)

2. Iman kepada para malaikat Allah

Maksudnya kita wajib membenarkan bahwa para malaikat itu ada wujudnya

dimana Allah Ta’ala menciptakan mereka dari cahaya. Mereka adalah makhluk

12
dan hamba Allah yang selalu patuh dan beribadah kepada-Nya. Allah

Subhannahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa

angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih (19) Mereka

selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya (20).” (QS. Al-

Anbiya`: 19-20)

Kita wajib mengimani secara rinci setiap malaikat yang kita ketahui

namanya seperti Jibril, Mikail, dan Israfil. Adapun yang kita tidak ketahui

namanya maka kita mengimani mereka secara global. Di antara bentuk beriman

kepada mereka adalah mengimani setiap tugas dan amalan mereka yang

tersebut dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti mengantar wahyu,

menurunkan hujan, mencabut nyawa, dan seterusnya.

13
3. Iman kepada kitab-kitab Allah

Yaitu kita mengimani bahwa seluruh kitab Allah adalah kalam-Nya, dan

kalamullah bukanlah makhluk karena kalam merupakan sifat Allah dan sifat

Allah bukanlah makhluk.

Kita juga wajib mengimani secara terperinci semua kitab yang namanya

disebutkan dalam Al-Qur`an seperti taurat, injil, zabur, suhuf Ibrahim, dan

suhuf Musa. Sementara yang tidak kita ketahui namanya maka kita mengimani

secara global bahwa Allah Ta’ala mempunyai kitab lain selain daripada yang

diterangkan kepada kita. Secara khusus tentang Al-Qur`an, kita wajib

mengimani bahwa Al-Qur’an merupakan penghapus hukum dari semua kitab

suci yang turun sebelumnya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Quran)

itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya.

Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat

(keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS. al-Faathir : 31)

4. Iman kepada para nabi dan rasul Allah

Yaitu mengimani bahwa ada di antara laki-laki dari kalangan manusia yang

Allah Ta’ala pilih sebagai perantara antara diri-Nya dengan para makhluknya.

14
Akan tetapi mereka semua tetaplah merupakan manusia biasa yang sama sekali

tidak mempunyai sifat-sifat dan hak-hak ketuhanan, karenanya menyembah

para nabi dan rasul adalah kebatilan yang nyata.

Wajib mengimani bahwa semua wahyu nabi dan rasul itu adalah benar dan

bersumber dari Allah Ta’ala. Karenanya siapa saja yang mendustakan kenabian

salah seorang di antara mereka maka sama saja dia telah mendustakan seluruh

nabi lainnya. Karenanya Allah Ta’ala mengkafirkan Yahudi dan Nashrani

tatkala tidak beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Allah

mendustakan keimanan mereka kepada Musa dan Isa ‘alaihissalam, karena

mereka tidak beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Juga

wajib mengimani secara terperinci setiap nabi dan rasul yang kita ketahui

namanya. Sementara yang tidak kita ketahui namanya maka kita wajib

mengimaninya secara global. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di

antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada

(pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul

membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah

15
datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu

rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” (QS. al-Mukmin : 78)

5. Iman kepada hari akhir

Dikatakan hari akhir karena dia adalah hari terakhir bagi dunia ini, tidak ada

lagi hari keesokan harinya. Hari akhir adalah hari dimana Allah Ta’ala

mewafatkan seluruh makhluk yang masih hidup ketika itu -kecuali yang Allah

perkecualikan, lalu mereka semua dibangkitkan untuk mempertanggung

jawabkan amalan mereka. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman :

“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-

lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama

begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati;

sesungguhnya Kami lah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al-Anbiya`: 104)

Ini makna hari akhir secara khusus, walaupun sebenarnya beriman

kepada akhir itu mencakup 3 perkara, dimana siapa saja yang mengingkari salah

satunya maka hakikatnya dia tidak beriman kepada hari akhir. Ketiga perkara

itu adalah:

16
1) Mengimani semua yang terjadi di alam barzakh yaitu alam di antara

dunia dan akhirat- berupa fitnah kubur oleh 2 malaikat, nikmat kubur

bagi yang lulus dari fitnah, dan siksa kubur bagi yang tidak selamat

darinya.

2) Mengimani tanda-tanda hari kiamat, baik tanda-tanda kecil yang

jumlahnya puluhan, maupun tanda-tanda besar yang para ulama

sebutkan jumlahnya ada 10. Di antaranya: Munculnya Imam Mahdi,

keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa alaihissalam, keluarnya Ya`juj dan

Ma`juj, dan seterusnya hingga terbitnya matahari dari sebelah barat.

3) Mengimani semua yang terjadi setelah kebangkitan. Dan kejadian ini

kalau mau diruntut sebagai berikut: Kebangkitan lalu berdiri di padang

mahsyar, lalu telaga, lalu hisab (tanya jawab dan pembagian kitab),

mizan (penimbangan amalan), sirath, neraka, qintharah (titian kedua

setelah shirath), dan terakhir surga.

6. Iman kepada takdir yang baik dan yang buruk

Maksudnya kita wajib mengimani bahwa semua yang Allah takdirkan,

apakah kejadian yang baik maupun yang buruk, semua itu berasal dari Allah

Ta’ala. Beriman kepada takdir Allah tidak teranggap sempurna hingga

mengimani 4 perkara:

17
1) Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengimani segala sesuatu kejadian,

yang baik maupun yang buruk. Bahwa Allah mengetahui semua

kejadian yang telah berlalu, yang sedang terjadi, yang belum terjadi, dan

semua kejadian yang tidak jadi terjadi seandainya terjadi maka Allah

tahu bagaimana terjadinya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman :

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.

Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah

Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya

benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalaq: 12)

2) Mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan semua takdir makhluk

di lauh al-mahfuzh, 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan

bumi.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu anhuma dia berkata:

Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

bersabda:

18
‫سنَة‬ َ ‫ض بِخ َْمسِينَ أ َ ْل‬
َ ‫ف‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ِ‫ِير ْالخ َََلئ‬
َّ ‫ق قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْخلقَ ال‬ َ ‫َّللا َمقَاد‬
َّ ‫َب‬َ ‫َكت‬

“Allah telah menuliskan takdir bagi semua makhluk 50.000 tahun

sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 4797)

3) Mengimani bahwa tidak ada satupun gerakan dan diamnya makhluk di

langit, di bumi, dan di seluruh alam semesta kecuali semua baru terjadi

setelah Allah menghendaki. Tidaklah makhluk bergerak kecuali dengan

kehendak dan izin-Nya, sebagaimana tidaklah mereka diam dan tidak

bergerak kecuali setelah ada kehendak dan izin dari-Nya.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (mengerjakan sesuatu) kecuali

apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. at-Takwir: 29)

4) Mengimani bahwa seluruh makhluk tanpa terkecuali, zat mereka beserta

seluruh sifat dan perbuatan mereka adalah makhluk ciptaan Allah. Allah

Subhannahu wa Ta’ala berfirman :

“Allah menciptakan segala sesuatu.” (QS. az-Zumar: 62)

19
c) Sumber Aqidah Islam

1. Al-Qur’an

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad

untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang

benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita

menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab

Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh:

Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan

terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an

niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS.

Al maidah: 90)

Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan

hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275).

20
Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan

untuk di perinci satu persatu.

2. As-Sunnah

As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan

atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi:

ُ ُ‫اب ْال ُم ْس ِل ٌِم ف‬


‫ َوقِت َالُ ٌهُ ُك ْف ٌر‬، ٌ‫سوق‬ ٌُ َ‫ِسب‬

“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah

kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i

no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)

Contoh perbuatan:

21
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan

oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah

pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah

menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat,

beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan:

Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi

pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata

kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab,

“sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya

kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka

diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh

tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak

mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk

kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum

tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi

shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.

As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat

global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati

dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

22
َ ُ‫مونِي أ‬
‫صلِِّي‬ ُ ‫َوصَلُّوا َكمَا َرأَ ْي ُت‬

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang

tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan

kain sutra bagi laki-laki.

3. Ijma’

Ijma’ bermakna Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat nabi

Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dari suatu generasi atas suatu hukum

syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi

sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka

adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya

wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi

shollallahu’alaihiwasallam, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat)

dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).

Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam

bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat

Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad

6/396)

Contohnya:

23
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta

warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan

didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita

melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila

sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

4. Qiyas

Yaitu Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum

syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya,

dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita

meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu

permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.

Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan

Ijma’.

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki empat rukun:

1. Dasar (dalil).

2. Masalah yang akan diqiyaskan.

3. Hukum yang terdapat pada dalil.

4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

24
Contoh:

Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan

pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran.

Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda

selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari

khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan”

terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula

khamer.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Seorang hamba Allah harus memiliki keimanan yang teguh, namun sebelum

mewujudkan hal tersebut perlu mewujudkan keislamannya yang berkaitan dengan unsur-

unsur pembentuknya yaitu rukun islam, sehingga sudah jelas jika pelaku keimanan adalah

pelaku keislaman dan sebaliknya pelaku keislaman bukan pelaku keimanan.

Dalam menggunakan sumber aqidah islam, perlu dipahami urutan untuk

menentukan sumber mana yang akan diambil terlebih dahulu, yang pertama adalah al-

Qur’an jika di dalamnya tidak terdapat hukum permasalahan yang dicari, maka kita harus

mengambil as-Sunnah untuk sumber aqidah kedua. Untuk sumber aqidah ketiga yaitu ijma’

para ulama jika pada kedua sumber hukum sebelumnya memiliki penjelasan yang kurang.

Dan untuk qiyas digunakan sebagai sumber hukum keempat jika tidak mendapatkan nash

dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun

ijma’.

26
B. Saran

Aqidah adalah fondasi dalam Agama Islam, Oleh karena itu marilah kita perkuat aqidah

kita agar semua rangkain ibadah kita baik itu wajib maupun sunnah diterima oleh Allah.

Karena sebaik apapun ibadah yang kita lakukan jika tidak didasari oleh aqidah maka ibadah

tersebut adalah rusak dimata Allah.

27
DAFTAR PUSTAKA

http://almanhaj.or.id/content/3429/slash/0/pengertian-aqidah-ahlus-sunnah-wal-jamaah/

http://ceritakuaja.wordpress.com/2015/05/25/makalah-hakikat-iman-islam-dan-ihsan/

http://al-atsariyyah.com/penjelasan-rukun-iman.html

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fiqih-islam.html

28

Vous aimerez peut-être aussi