Vous êtes sur la page 1sur 54

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 28 TAHUN 2004

TENTANG

KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN


BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan
lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan
makanan atau minuman.

2. Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat
dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan.

3. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode
tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.

4. Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan untuk konsumsi bagi kelompok tertentu
dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut.

5. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan,


pembinaan, dan/atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan
peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.

6. Pangan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk
langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan.

7. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

8. Persyaratan keamanan pangan adalah standar dan ketentuan-ketentuan lain yang harus
dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia.

9. Sanitasi pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan
berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman,
peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.

10. Persyaratan sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus dipenuhi
sebagai upaya mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen dan
mengurangi jumlah jasad renik lainnya agar pangan yang dihasilkan dan dikonsumsi
tidak membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.
11. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah,
membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk
pangan.

12. Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.

13. Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penjualan dan/atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan
kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh
imbalan.

14. Penyimpanan pangan adalah proses, cara dan/atau kegiatan menyimpan pangan baik di
sarana produksi maupun distribusi.

15. Pengangkutan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
memindahkan pangan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara atau sarana angkutan
apapun dalam rangka produksi, peredaran dan/atau perdagangan pangan.

16. Industri rumah tangga pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha
di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis.

17. Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

18. Pangan produk rekayasa genetika adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan
bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses
rekayasa genetika.

19. Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan
zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan
kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen.

20. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus
pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.

21. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan
minuman.

22. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah,
membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk
pangan.

23. Peredaran pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.

24. Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penjualan dan/atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan
kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh
imbalan.

25. Penyimpanan pangan adalah proses, cara dan/atau kegiatan menyimpan pangan baik di
sarana produksi maupun distribusi.

26. Pengangkutan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
memindahkan pangan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara atau sarana angkutan
apapun dalam rangka produksi, peredaran dan/atau perdagangan pangan.

27. Industri rumah tangga pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha
di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis.

28. Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.

29. Pangan produk rekayasa genetika adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan
bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses
rekayasa genetika.

30. Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan
zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan
kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen.

31. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus
pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.

32. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan
minuman.

22. Standar adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan, termasuk tata cara
dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan
memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan masa
kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

23. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat
bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.

24. Sertifikasi mutu pangan adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap
pangan yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

25. Sertifikat mutu pangan adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga
sertifikasi/laboratorium yang telah diakreditasi yang menyatakan bahwa pangan
tersebut telah memenuhi kriteria tertentu dalam standar mutu pangan yang
bersangkutan.
26. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun tidak.

27. Badan adalah badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat dan makanan.

BAB II

KEAMANAN PANGAN

Bagian Pertama

Sanitasi

Pasal 2

(1) Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan pada rantai
pangan yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran
pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(2) Persyaratan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan yang meliputi antara lain :

a. sarana dan/atau prasarana;


b. penyelenggaraan kegiatan; dan

c. orang perseorangan.

Pasal 3

Pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan dilakukan dengan


cara menerapkan pedoman cara yang baik yang meliputi :
a. Cara Budidaya yang Baik;

b. Cara Produksi Pangan Segar yang Baik;

c. Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik;

d. Cara Distribusi Pangan yang Baik;

e. Cara Ritel Pangan yang Baik; dan

f. Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik.

Pasal 4
(1) Pedoman Cara Budidaya yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a
adalah cara budidaya yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan
cara:

a. mencegah penggunaan lahan dimana lingkungannya mempunyai potensi mengancam


keamanan pangan;
b. mengendalikan cemaran biologis, hama dan penyakit hewan dan tanaman yang
mengancam keamanan pangan; dan
c. menekan seminimal mungkin, residu kimia yang terdapat dalam bahan pangan sebagai
akibat dari penggunaan pupuk, obat pengendali hama dan penyakit, bahan pemacu
pertumbuhan dan obat hewan yang tidak tepat guna.

(2) Pedoman Cara Budidaya yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan
atau kehutanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
Pasal 5
(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Segar yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b adalah cara penanganan yang memperhatikan aspek-aspek keamanan pangan,
antara lain dengan cara :

a. mencegah tercemarnya pangan segar oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan dari udara, tanah, air, pakan,
pupuk, pestisida, obat hewan atau bahan lain yang digunakan dalam produksi pangan
segar; atau

b. mengendalikan kesehatan hewan dan tanaman agar tidak mengancam keamanan


pangan atau tidak berpengaruh negatif terhadap pangan segar.

(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Segar yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan
sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

Pasal 6

(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 huruf c adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara
lain dengan cara :

a. mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan;

b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta mengurangi jumlah
jasad renik lainnya; dan
c. mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan
pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan.

(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian atau
perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
(3) Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk pangan olahan tertentu ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 7

(1) Pedoman Cara Distribusi Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf d adalah cara distribusi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain
dengan cara :

a. melakukan cara bongkar muat pangan yang tidak menyebabkan kerusakan pada
pangan;
b. mengendalikan kondisi lingkungan, distribusi dan penyimpanan pangan khususnya
yang berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara; dan

c. mengendalikan sistem pencatatan yang menjamin penelusuran kembali pangan yang


didistribusikan.

(2) Pedoman Cara Distribusi Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian, pertanian
atau perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

Pasal 8

(1) Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e
adalah cara ritel yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara
:

a. mengatur cara penempatan pangan dalam lemari gerai dan rak penyimpanan agar tidak
terjadi pencemaran silang;

b. mengendalikan stok penerimaan dan penjualan;

c. mengatur rotasi stok pangan sesuai dengan masa kedaluwarsanya; dan

d. mengendalikan kondisi lingkungan penyimpanan pangan khususnya yang berkaitan


dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara.
(2) Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala Badan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9

(1) Pedoman Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf f adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan,
antara lain dengan cara :

a. mencegah tercemarnya pangan siap saji oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan;

b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta mengurangi jumlah
jasad renik lainnya; dan
c. mengendalikan proses antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan
pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan serta cara
penyajian.

(2) Pedoman Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

Pasal 10

Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kehutanan,


perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing dapat menetapkan pedoman cara yang baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 untuk diterapkan secara wajib.

Pasal 11

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan
apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang.

(2) Bahan yang dinyatakan terlarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Badan.

Pasal 12

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan tambahan pangan
untuk diedarkan wajib menggunakan bahan tambahan pangan yang diizinkan.
(2) Nama dan golongan bahan tambahan pangan yang diizinkan, tujuan penggunaan dan
batas maksimal penggunaannya menurut jenis pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 13

(1) Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi belum diketahui
dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan
dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan setelah
memperoleh persetujuan Kepala Badan.

(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan.

Bagian Ketiga

Pangan Produk Rekayasa Genetika

Pasal 14

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan
tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi
pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu
memeriksakan keamanan pangan tersebut sebelum diedarkan.

(2) Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :

a. informasi genetika, antara lain deskripsi umum pangan produk rekayasa genetika dan
deskripsi inang serta penggunaanya sebagai pangan;

b. deskripsi organisme donor;

c. deskripsi modifikasi genetika;

d. karakterisasi modifikasi genetika; dan

e. informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan substansial, perubahan nilai gizi,
alergenitas dan toksisitas.

(3) Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh komisi yang menangani keamanan pangan produk rekayasa
genetika.
(4) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh komisi yang menangani
keamanan pangan produk rekayasa genetika.

(5) Kepala Badan menetapkan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu
lain hasil proses rekayasa genetika yang dinyatakan aman sebagai pangan dengan
memperhatikan rekomendasi dari komisi yang menangani keamanan pangan produk
rekayasa genetika.

Bagian Keempat

Iradiasi Pangan

Pasal 15

(1) Fasilitas iradiasi yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk
diedarkan harus mendapatkan izin pemanfaatan tenaga nuklir dan didaftarkan kepada
Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan tenaga nuklir.

(2) Setiap pangan yang diproduksi dengan menggunakan teknik dan/atau metode iradiasi
untuk diedarkan harus memenuhi ketentuan tentang pangan iradiasi yang ditetapkan
oleh Kepala Badan.
Bagian Kelima

Kemasan Pangan

Pasal 16

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan
apapun sebagai kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan/atau yang dapat
melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.

(2) Bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 17

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan wajib menggunakan bahan
kemasan yang diizinkan.
(2) Bahan kemasan yang diizinkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Badan.

Pasal 18

(1) Bahan selain yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17 ayat

(2) hanya boleh digunakan sebagai bahan kemasan pangan


setelah diperiksa keamanannya dan mendapat persetujuan dari Kepala Badan.

(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 19

(1) Setiap orang yang melakukan produksi pangan yang akan diedarkan wajib melakukan
pengemasan pangan secara benar untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap
pangan.

(2) Tata cara pengemasan pangan secara benar sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 20

(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan
diperdagangkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pangan yang
pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil
untuk diperdagangkan lebih lanjut.

(3) Setiap orang yang mengemas kembali pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib melakukan pengemasan pangan secara benar untuk menghindari terjadinya
pencemaran terhadap pangan.

Bagian Keenam

Jaminan Mutu Pangan dan Pemeriksaan Laboratorium

Pasal 21

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab
menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.

(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kehutanan,


perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan berwenang

mewajibkan penerapan standar atau persyaratan lain yang berkenaan dengan sistem
jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan bidang tugas masing-
masing.

(3) Penetapan standar atau persyaratan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem
pangan.

(4) Dalam menetapkan standar dan persyaratan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kehutanan,
perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan wajib memperhatikan perjanjian TBT/SPS
WTO atau perjanjian yang telah diratifikasi Pemerintah.

Pasal 22

(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai dengan
bidang tugas dan kewenangan masing-masing, berwenang menetapkan jenis pangan
segar yang wajib diuji secara laboratoris sebelum diedarkan.

(2) Kepala Badan berwenang menetapkan jenis pangan olahan yang wajib diuji secara
laboratoris sebelum diedarkan.

(3) Pengujian secara laboratoris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan di laboratorium pemerintah atau laboratorium lain yang telah diakreditasi
oleh Komite Akreditasi Nasional atau Lembaga Akreditasi lain yang diakui oleh
Komite Akreditasi Nasional.
(4) Penetapan dan penerapan persyaratan pengujian secara laboratoris sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan
kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.

Bagian Ketujuh

Pangan Tercemar

Pasal 23

Setiap orang dilarang mengedarkan :

a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;

b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang
ditetapkan;

c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi pangan;

d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung
bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga
menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia; atau pangan yang sudah
kedaluwarsa.

Pasal 24

(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau Kepala Badan :

a. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi
pangan;

b. menetapkan ambang batas maksimal cemaran yang diperbolehkan;

c. mengatur dan/atau menetapkan persyaratan bagi penggunaan cara, metode, dan/atau


bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi, pengolahan, penyimpanan,
pengangkutan, dan/atau peredaran pangan yang dapat memiliki risiko merugikan
dan/atau membahayakan kesehatan manusia;

d. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi peralatan pengolahan,


penyiapan, pemasaran dan/atau penyajian pangan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pangan segar ditetapkan oleh
Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pangan olahan ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Pasal 25

(1) Setiap orang yang mengetahui adanya keracunan pangan akibat pangan tercemar wajib
melaporkan kepada unit pelayanan kesehatan terdekat.

(2) Unit pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera
melakukan tindakan pertolongan kepada korban.

(3) Dalam hal menurut unit pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdapat indikasi Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan, unit pelayanan kesehatan
tersebut wajib segera mengambil contoh pangan yang dicurigai sebagai penyebab
keracunan dan memberikan laporan kepada dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung
jawab di bidang kesehatan dan Bada

(4) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan melakukan
pemeriksaan/penyelidikan dan pengujian laboratorium terhadap contoh pangan untuk
menentukan penyebab keracunan pangan.

(5) Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang kesehatan yang menerima
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melakukan pengkajian terhadap
laporan dan menetapkan kasus keracunan pangan merupakan KLB keracunan pangan.

(6) Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (5) wajib melakukan pemeriksaan dan penanggulangan KLB
keracunan pangan serta melaporkan kepada dinas Propinsi yang bertanggung jawab di
bidang kesehatan dan Badan.

Pasal 26

(1) Dalam hal KLB keracunan pangan terjadi pada lintas Kabupaten/Kota atau ada
permintaan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Propinsi
wajib melaksanakan pemeriksaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan.

(2) Dalam hal KLB keracunan pangan terjadi pada lintas Propinsi, atau ada permintaan dari
Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Pusat wajib melaksanakan pemeriksaan dan
penanggulangan KLB keracunan pangan.

Pasal 27

Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap KLB keracunan pangan patut
diduga merupakan tindak pidana, segera dilakukan tindakan penyidikan

oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan dan/atau penyidik lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pertolongan kepada korban, pengambilan
contoh spesimen dan pengujian spesimen serta pelaporan KLB keracunan pangan
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(2) Tata cara pengambilan contoh pangan, pengujian laboratorium dan pelaporan penyebab
keracunan ditetapkan oleh Kepala Badan.

BAB III

MUTU DAN GIZI PANGAN

Bagian Pertama

Mutu Pangan

Pasal 29

Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang standardisasi nasional menetapkan


standar mutu pangan yang dinyatakan sebagai Standar Nasional Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30

(1) Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dapat diberlakukan
secara wajib dengan mempertimbangkan keselamatan, keamanan, kesehatan
masyarakat atau pelestarian lingkungan hidup dan/atau pertimbangan ekonomis harus
memenuhi standar mutu tertentu.

(2) Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian,
pertanian, perikanan, atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan
masing-masing berkoordinasi dengan Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang
standardisasi nasional.
(3) Hal-hal yang berkaitan dengan penerapan dan penilaian kesesuaian terhadap Standar
Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Setiap orang yang memproduksi atau mengedarkan jenis pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 31

Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala Badan
sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan ketentuan mutu
pangan di luar Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 bagi
pangan yang mempunyai tingkat risiko keamanan pangan yang tinggi.

Bagian Kedua

Sertifikasi Mutu Pangan


Pasal 32

(1) Sertifikasi dan penandaan yang menyatakan kesesuaian pangan terhadap Standar
Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala Badan
sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing menetapkan persyaratan dan tata
cara sertifikasi mutu pangan yang mempunyai tingkat risiko keamanan pangan yang
tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.

(3) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Standar Nasional Indonesia
yang diberlakukan wajib atau terhadap persyaratan ketentuan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 merupakan bagian dari pengawasan pangan sebelum
diedarkan.

Pasal 33

(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan standar status gizi
masyarakat dan melakukan pemantauan dan evaluasi status gizi masyarakat.

(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, pertanian, perikanan,


perindustrian atau Kepala Badan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing
mengupayakan terpenuhinya kecukupan gizi, melindungi masyarakat dari gangguan
gizi dan membina masyarakat dalam upaya perbaikan status gizi.

(3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, pertanian, perikanan,


perindustrian atau Kepala Badan bersama-sama Pemerintah Daerah Propinsi,
Kabupaten/Kota serta masyarakat melakukan penanganan terhadap terjadinya
gangguan gizi masyarakat yang tidak sesuai dengan standar status gizi masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 34

Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan Angka Kecukupan


Gizi yang ditinjau secara berkala.
Pasal 35

(1) Dalam hal terjadi kekurangan dan/atau penurunan status gizi masyarakat perlu
dilakukan upaya perbaikan gizi melalui pengayaan dan/atau fortifikasi gizi pangan
tertentu yang diedarkan.

(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan jenis dan jumlah zat
gizi yang akan ditambahkan serta jenis-jenis pangan yang dapat ditingkatkan nilai
gizinya melalui pengayaan dan/atau fortifikasi.

(3) Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian menetapkan jenis-jenis


pangan yang wajib diperkaya dan/atau difortifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan tata cara pengayaan dan/atau fortifikasi gizi pangan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Setiap orang yang memproduksi pangan yang harus diperkaya dan/atau difortifikasi
untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan dan tata cara

pengayaan dan/atau fortifikasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki surat persetujuan
pendaftaran dari Kepala Badan.

BAB IV

PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN KE DALAM DAN

DARI WILAYAH INDONESIA

Bagian Pertama

Pemasukan Pangan ke Dalam Wilayah Indonesia


Pasal 36

Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keamanan, mutu dan
gizi pangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Pasal 37

(1) Terhadap pangan segar yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai
dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan persyaratan
bahwa :

a. Pangan telah diuji, diperiksa dan/atau dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu
dan/atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal;

b. Pangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;


c. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan

d. Pangan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu
dan/atau gizi sebelum peredarannya.

(2) Terhadap pangan olahan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan, Kepala Badan dapat menetapkan persyaratan bahwa :
a. Pangan telah diuji dan/atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu
dan/atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal;

b. Pangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;


c. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
d. Pangan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu
dan/atau gizi sebelum peredarannya.

(3) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Menteri atau Kepala Badan memperhatikan perjanjian TBT/SPS WTO atau perjanjian
yang telah diratifikasi Pemerintah.

Pasal 38

(1) Dalam hal pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia terlebih dahulu harus
diuji dan/atau diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c, maka
pengeluarannya dari pabean hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan
pemasukan pangan yang dikeluarkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

(2) Dalam hal pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia terlebih dahulu diuji
dan/atau diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c, maka
pengeluarannya dari pabean hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan
pemasukan pangan yang dikeluarkan Kepala Badan.

Pasal 39

Setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan
bertanggung jawab atas keamanan, mutu dan gizi pangan.

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan,
perdagangan atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-
masing

Bagian Kedua

Pengeluaran Pangan dari Wilayah Indonesia

Pasal 41

(1) Setiap pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia wajib memenuhi persyaratan
keamanan pangan.

(2) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala Badan
sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan
persyaratan agar pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan
terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa dari segi keamanan, mutu, persyaratan label
dan/atau gizi pangan.

(3) Setiap orang yang mengeluarkan pangan dari wilayah Indonesia bertanggung jawab
atas keamanan, mutu dan gizi pangan.
(4) Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala Badan
berkoordinasi dengan Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang standardisasi
nasional untuk mengupayakan saling pengakuan pelaksanaan penilaian kesesuaian
dalam memenuhi persyaratan negara tujuan.

BAB V

PENGAWASAN DAN PEMBINAAN

Bagian Pertama

Pengawasan
Pasal 42

(1) Dalam rangka pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan, setiap pangan olahan baik
yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat
persetujuan pendaftaran.

(2) Pangan olahan yang wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

(3) Surat persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
Kepala Badan berdasarkan hasil penilaian keamanan, mutu dan gizi pangan olahan.

(4) Penilaian keamanan, mutu dan gizi pangan olahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan oleh Kepala Badan sesuai dengan kriteria dan tatalaksana.

(5) Kriteria dan tatalaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Kepala
Badan dengan mengacu kepada persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan.

(6) Persyaratan dan tata cara memperoleh surat persetujuan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 43

(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) untuk
pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga.

(2) Pangan olahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat produksi
pangan industri rumah tangga.

(3) Sertifikat produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterbitkan oleh Bupati/Walikota.

(4) Kepala Badan menetapkan pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang meliputi antara lain :

a. jenis pangan;
b. tata cara penilaian; dan

c. tata cara pemberian sertifikat produksi pangan.

Pasal 44

Pangan olahan yang dibebaskan dari kewajiban memiliki surat persetujuan pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 atau sertifikat produksi pangan industri rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, yaitu pangan yang :

a. mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar; dan/atau

b. dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan:


1. permohonan surat persetujuan pendaftaran;

2. penelitian; atau

3. konsumsi sendiri.

Pasal 45

(1) Badan berwenang melakukan pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan yang
beredar.

(2) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
berwenang untuk :

a. mengambil contoh pangan yang beredar; dan/atau

b. melakukan pengujian terhadap contoh pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
butir a.

(3) Hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir b :

a. untuk pangan segar disampaikan kepada dan ditindaklanjuti oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau kehutanan sesuai dengan bidang
tugas dan kewenangan masing-masing;

b. untuk pangan olahan disampaikan dan ditindaklanjuti oleh instansi yang bertanggung
jawab di bidang perikanan, perindustrian atau Badan sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing;

c. untuk pangan olahan tertentu ditindaklanjuti oleh Badan;

d. untuk pangan olahan hasil industri rumah tangga pangan dan pangan siap saji
disampaikan kepada dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 46
(1) Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat
dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan segar.

(2) Kepala Badan berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan
terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan olahan.

(3) Bupati/Walikota berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan


terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan siap saji dan pangan olahan hasil
industri rumah tangga.

(4) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan berwenang :

a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan
mengambil contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau perdagangan pangan;

b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau
patut diduga digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa
contoh pangan;

c. membuka dan meneliti setiap kemasan pangan;

d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan
mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau perdagangan
pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau

e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dan/atau dokumen lain sejenis.

(5) Dalam rangka melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3), Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan sesuai dengan bidang
tugas dan kewenangan masing-masing menunjuk pejabat untuk melakukan
pemeriksaan.

(6) Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), dilengkapi dengan surat perintah.

Pasal 47

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)
dan/atau hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terjadi pelanggaran,
Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan, berwenang mengambil tindakan
administratif.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. peringatan secara tertulis;


b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah menarik produk
pangan dari peredaran;

c. pemusnahan pangan, jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;

d. penghentian produksi untuk sementara waktu;

e. pengenaan denda paling tinggi sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
dan/atau

f. pencabutan izin produksi, izin usaha, persetujuan pendaftaran atau sertifikat produksi
pangan industri rumah tangga.

(3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
berdasarkan risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan.

(4) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf f dilakukan oleh pejabat penerbit izin produksi, izin usaha, persetujuan
pendaftaran atau sertifikat produksi pangan industri rumah tangga yang bersangkutan
sesuai dengan bidang tugas kewenangan masing-masing.

Pasal 48

(1) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47


dilaksanakan oleh setiap orang yang memproduksi atau yang memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan pedoman penarikan dan
pemusnahan pangan.

(2) Setiap pihak yang terlibat dalam peredaran pangan wajib membantu pelaksanaan
penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
pangan segar dilaksanakan atas perintah Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan
bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

(4) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
pangan olahan dilaksanakan atas perintah Kepala Badan.

(5) Pedoman penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 49

Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, patut
diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segera dilakukan tindakan
penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 50
Badan dapat mengumumkan kepada masyarakat hasil pengujian dan/atau hasil
pemeriksaan produk pangan melalui media massa.

Bagian Kedua

Pembinaan

Pasal 51

(1) Pembinaan terhadap produsen pangan segar dilaksanakan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau kehutanan sesuai bidang tugas
dan kewenangan masing-masing.

(2) Pembinaan terhadap produsen pangan olahan dilaksanakan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang perindustrian, pertanian atau perikanan sesuai bidang
tugas dan kewenangan masing-masing.

(3) Pembinaan terhadap produsen pangan olahan tertentu dilaksanakan oleh Kepala Badan.

(4) Pembinaan terhadap produsen pangan siap saji dan industri rumah tangga pangan
dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.

(5) Pembinaan terhadap Pemerintah Daerah dan masyarakat di bidang pengawasan pangan
dilaksanakan oleh Kepala Badan.

BAB VI

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 52

(1) Dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan keamanan, mutu dan gizi pangan,
masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan dan/atau cara pemecahan
mengenai hal-hal di bidang pangan.
(2) Penyampaian permasalahan, masukan dan/atau cara pemecahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung kepada Menteri
yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kesehatan, perindustrian,
Kepala Badan, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan bidang tugas dan
kewenangan masing-masing.

(3) Tata cara penyampaian permasalahan, masukan dan/atau cara pemecahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB VII

KETENTUAN PERALIHA

Pasal 53

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan mengenai


keamanan, mutu dan gizi pangan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 028 TAHUN 2012
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
MENTERI KESEHATAN NOMOR
2409/MENKES/PER/XII/2011 TENTANG
STANDAR BUBUK TABUR GIZI
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 028 TAHUN 2012
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
2409/MENKES/PER/XII/2011 TENTANG STANDAR BUBUK TABUR GIZI
Pasal I
Ketentuan dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2409/Menkes/Per/XII/2011 tentang Standar Bubuk Tabur Gizi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 824), Romawi II. Komposisi Per Gram
Taburia, butir 16, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

NO JENIS VITAMIN DAN SATUAN KANDUNGAN


MINERAL MINIMAL
16. Se (Selenomethionine) mcg 20

Pasal II
Peraturan Menteri mengetahuinya ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN


REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 033 TAHUN 2012 TENTANG BAHAN
TAMBAHAN PANGAN DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 033 TAHUN 2012 TENTANG BAHAN TAMBAHAN PANGAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam
pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
2. Asupan Harian yang Dapat Diterima atau Acceptable Daily Intake yang selanjutnya disingkat ADI
adalah jumlah maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan yang
dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan.
3. Asupan maksimum harian yang dapat ditoleransi atau Maximum Tolerable Daily Intake
yangselanjutnya disingkat MTDI adalah jumlah maksimum suatu zat dalam milligram per kilogram
berat badan yang dapat dikonsumsi dalam sehari tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap
kesehatan.
4. Asupan mingguan sementara yang dapat ditoleransi atau Provisional Tolerable Weekly Intake yang
selanjutnya disingkat PTWI adalah jumlah maksimum sementara suatu zat dalam miligram per
kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi dalam seminggu tanpa menimbulkan efek merugikan
terhadap kesehatan.
5. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
6. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disebut Kepala Badan adalah Kepala
Badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengawasan obat dan makanan.
7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang Pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.

Pasal 2
BTP yang digunakan dalam pangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diperlakukan sebagai
bahan baku pangan.
b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan
untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,
penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan
suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.
c. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

BAB II PENGGOLONGAN BTP


Pasal 3
(1) BTP yang digunakan dalam pangan terdiri atas beberapa golongan sebagai berikut:
1. Antibuih (Antifoaming agent);
2. Antikempal (Anticaking agent);
3. Antioksidan (Antioxidant);
4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent);
5. Garam pengemulsi (Emulsifying salt);
6. Gas untuk kemasan (Packaging gas)
7. Humektan (Humectant);
8. Pelapis (Glazing agent);
9. Pemanis (Sweetener);
10. Pembawa (Carrier);
11. Pembentuk gel (Gelling agent);
12. Pembuih (Foaming agent);
13. Pengatur keasaman (Acidity regulator);
14. Pengawet (Preservative);
15. Pengembang (Raising agent);
16. Pengemulsi (Emulsifier);
17. Pengental (Thickener);
18. Pengeras (Firming agent);
19. Penguat rasa (Flavour enhancer);
20. Peningkat volume (Bulking agent);
21. Penstabil (Stabilizer);
22. Peretensi warna (Colour retention agent);
23. Perisa...

23. Perisa (Flavouring);


24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent);
25. Pewarna (Colour); 26.Propelan (Propellant); dan
27.Sekuestran (Sequestrant).
(2) Golongan BTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas beberapa jenis BTP.
(3) Selain golongan BTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat menetapkan golongan
BTP lainnya.

BAB III JENIS DAN BATAS MAKSIMUM BTP YANG DIIZINKAN


Pasal 4
(1) Jenis BTP yang diizinkan pada golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tercantum
dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Penambahan dan pengurangan jenis BTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Pasal 5
(1) BTP hanya boleh digunakan tidak melebihi batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan.
(2) Batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Badan.

Pasal 6
Penetapan penambahan dan pengurangan jenis BTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
serta penetapan batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) harus mempertimbangkan:
a. persyaratan kesehatan berdasarkan bukti ilmiah yang sahih;
b. ADI...

b. ADI/MTDI/PTWI; dan
c. kajian paparan konsumsi produk pangan.
Pasal 7
Setiap penambahan dan pengurangan jenis BTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), serta
penetapan batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2) harus dilaporkan secara berkala kepada Menteri melalui Direktur Jenderal setiap 6 (enam)
bulan.

BAB IV BAHAN YANG DILARANG DIGUNAKAN SEBAGAI BTP


Pasal 8
(1) Bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Kepala Badan dapat menetapkan bahan lain yang dilarang digunakan sebagai BTP setelah mendapat
persetujuan Menteri.

BAB V PRODUKSI, PEMASUKAN, DAN PEREDARAN BTP


Pasal 9
(1) BTP yang diproduksi, dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, dan diedarkan harus memenuhi
standar dan persyaratan dalam Kodeks Makanan Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Dalam hal standar dan persyaratan BTP belum terdapat dalam Kodeks Makanan Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan standar dan persyaratan lain.
(3) BTP hanya dapat diproduksi oleh industri yang mempunyai izin industri sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus terdaftar di Badan yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pengawasan obat dan makanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi, pemasukan, dan peredaran BTP ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Badan.
Pasal 10
(1) BTP hanya dapat dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia oleh Importir setelah mendapat
persetujuan dari Kepala Badan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasukan BTP ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Badan.
Pasal 11
BTP yang akan diproduksi, dimasukan ke dalam wilayah Indonesia, dan diedarkan harus memiliki
izin edar dari Kepala Badan yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI LABEL
Pasal 12
Pangan yang mengandung BTP atau sediaan BTP harus memenuhi persyaratan label pangan sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 13
(1) Untuk pangan yang mengandung BTP, pada label wajib dicantumkan golongan BTP.
(2) Pada label pangan yang mengandung BTP golongan antioksidan, pemanis buatan, pengawet,
pewarna, dan penguat rasa, wajib dicantumkan pula nama jenis BTP, dan nomor indeks khusus
untuk pewarna.
(3) Pada label pangan yang mengandung pemanis buatan, wajib dicantumkan tulisan ”Mengandung
pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah 5 (lima) tahun, ibu hamil, dan ibu
menyusui”.
(4) Pada label pangan untuk penderita diabetes dan/atau makanan berkalori rendah yang menggunakan
pemanis buatan wajib dicantumkan tulisan "Untuk penderita diabetes dan/atau orang yang
membutuhkan makanan berkalori rendah”.
(5) Pada label pangan olahan yang menggunakan pemanis buatan aspartam, wajib dicantumkan
peringatan “Mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita fenilketonurik”.
(6) Pada label pangan olahan yang menggunakan pemanis poliol, wajib dicantumkan peringatan
“Konsumsi berlebihan mempunyai efek laksatif”.
(7) Pada label pangan olahan yang menggunakan gula dan pemanis buatan wajib dicantumkan tulisan
”Mengandung gula dan pemanis buatan”.
(8) Pada label pangan olahan yang mengandung perisa, wajib dicantumkan nama kelompok perisa
dalam daftar bahan atau ingredient.
(9) Pada label pangan olahan yang mengandung BTP ikutan (carry over) wajib dicantumkan BTP
ikutan (carry over) setelah bahan yang mengandung BTP tersebut.
Pasal 14
(1) Pada label sediaan BTP wajib dicantumkan:
a. tulisan “Bahan Tambahan Pangan”;
b. nama golongan BTP;
c. nama jenis BTP; dan
d. nomor Pendaftaran Produsen BTP, kecuali untuk sediaan pemanis dalam bentuk table top.
(2) Pada label sediaan pemanis buatan, wajib dicantumkan:
a. kesetaraan kemanisan dibandingkan dengan gula;
b. tulisan...

b. tulisan "Untuk penderita diabetes dan/atau orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah”;
c. tulisan ”Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah 5 (lima)
tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui”; dan
d. jumlah mg pemanis buatan yang dapat digunakan tiap hari per kg bobot badan (Acceptable Daily
Intake, ADI).
(3) Pada label sediaan pemanis poliol, wajib dicantumkan peringatan “Konsumsi berlebihan mempunyai
efek laksatif”.
(4) Pada label sediaan pemanis buatan aspartam, wajib dicantumkan:
a. peringatan ”Mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita fenilketonurik”; dan
b. tulisan “Tidak cocok digunakan untuk bahan yang akan dipanaskan”.
(5) Pada label sediaan pewarna, mencantumkan:
a. nomor indeks (Color Index, CI);
b. tulisan pewarna pangan yang ditulis dengan huruf besar berwarna hijau di dalam kotak persegi
panjang berwarna hijau; dan
c. logo huruf M di dalam suatu lingkaran berwarna hitam.

BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Pasal 15

(1) Pembinaan terhadap industri dan penggunaan BTP dilakukan oleh Direktur Jenderal.
(2) Pedoman mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur
Jenderal.
Pasal 16
(1) Pengawasan terhadap industri dan penggunaan BTP dilakukan oleh Kepala Badan.
(2) Kepala Badan menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Menteri melalui Direktur Jenderal secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mengacu pada
pedoman yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 17
(1) Dalam rangka pengawasan, Kepala Badan dapat mengenakan sanksi administratif terhadap
pelanggaran Peraturan Menteri ini berupa: a.peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali dari
peredaran;
c. perintah pemusnahan, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan atau mutu; dan/atau
d. pencabutan izin edar.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala Badan dengan atau
tanpa usul dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 18

(1) Semua permohonan izin penggunaan Bahan Tambahan Makanan yang diajukan sebelum berlakunya
Peraturan Menteri ini tetap diproses berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999.
(2) Pangan yang telah memiliki izin edar harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan ini
paling lama 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini.
(3)Pangan yang sedang diajukan permohonan perpanjangan izin edar tetap diproses dengan mengacu
kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan
Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1168/Menkes/Per/X/1999 dengan ketentuan masa berlaku izin edar untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88
tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum
diganti berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Pasal 20
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang
Bahan Tambahan Makanan;
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor
722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan; dan
c.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 208/Menkes/Per/IV/1985 tentang Pemanis Buatan; dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG
PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG
PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu.

2. Air Susu Ibu Eksklusif yang selanjutnya disebut ASI Eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada
Bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan
makanan atau minuman lain.

3. Bayi adalah anak dari baru lahir sampai berusia 12 (dua belas) bulan.

4. Keluarga adalah suami, anak, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah sampai
dengan derajat ketiga.

5. Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai pengganti ASI untuk
Bayi sampai berusia 6 (enam) bulan.

6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat

dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.

7. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

8. Tempat Kerja adalah ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana
tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan
dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.

9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.

11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk:

a. menjamin pemenuhan hak Bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan
berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya;

b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan
c. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga, masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah
terhadap pemberian ASI Eksklusif

BAB II
TANGGUNG JAWAB
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 3
Tanggung jawab Pemerintah dalam program pemberian

ASI Eksklusif meliputi:

a. menetapkan kebijakan nasional terkait program pemberian ASI Eksklusif;


b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian ASI Eksklusif;

c. memberikan pelatihan mengenai program pemberian ASI Eksklusif dan penyediaan tenaga
konselor menyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum lainnya;

d. mengintegrasikan materi mengenai ASI Eksklusif pada kurikulum pendidikan formal dan
nonformal bagi Tenaga Kesehatan;

e. membina, mengawasi, serta mengevaluasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI
Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat
sarana umum, dan kegiatan di masyarakat;

f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan ASI Eksklusif;

g. mengembangkan kerja sama mengenai program ASI Eksklusif dengan pihak lain di dalam dan/atau
luar negeri; dan

h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas penyelenggaraan program
pemberian ASI Eksklusif.

Bagian Kedua
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Provinsi
Pasal 4
Tanggung jawab pemerintah daerah provinsi dalam program pemberian ASI Eksklusif meliputi:

a. melaksanakan kebijakan nasional dalam rangka program pemberian ASI Eksklusif;

b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program pemberian ASI Eksklusif dalam skala provinsi;

c. memberikan pelatihan teknis konseling menyusui dalam skala provinsi;

d. menyediakan tenaga konselor menyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum
lainnya dalam skala provinsi;

e. membina, monitoring, mengevaluasi, dan mengawasi pelaksanaan dan pencapaian program


pemberian ASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan kesehatan, Tempat
Kerja, tempat sarana umum, dan kegiatan di masyarakat dalam skala provinsi;

f. menyelenggarakan, memanfaatkan, dan memantau penelitian dan pengembangan program pemberian


ASI Eksklusif yang mendukung perumusan kebijakan provinsi;
g. mengembangkan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan

h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas penyelenggaraan pemberian
ASI Eksklusif dalam skala provinsi.

Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 5
Tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota dalam program pemberian ASI Eksklusif
meliputi:

a. melaksanakan kebijakan nasional dalam rangka program pemberian ASI Eksklusif;

b. melaksanakan advokasi dan sosialisasi program

pemberian ASI Eksklusif dalam skala kabupaten/kota;

c. memberikan pelatihan teknis konseling menyusui dalam skala kabupaten/kota;

d. menyediakan tenaga konselor menyusui di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat sarana umum
lainnya dalam skala kabupaten/kota;

e. membina, monitoring, mengevaluasi, dan mengawasi pelaksanaan dan pencapaian program


pemberian ASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan kesehatan, Tempat
Kerja, tempat sarana umum, dan kegiatan di masyarakat dalam skala kabupaten/kota;
f. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan program pemberian ASI Eksklusif yang
mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota;

g. mengembangkan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan

h. menyediakan ketersediaan akses terhadap informasi dan edukasi atas penyelenggaraan pemberian
ASI Eksklusif dalam skala kabupaten/kota.

BAB III
AIR SUSU IBU EKSKLUSIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi yang dilahirkannya.
Pasal 7
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak berlaku dalam hal terdapat:

a. indikasi medis:

b. ibu tidak ada; atau

c. ibu terpisah dari Bayi.

Pasal 8
(1) Penentuan indikasi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan oleh dokter.

(2) Dokter dalam menentukan indikasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

(3) Dalam hal di daerah tertentu tidak terdapat dokter, penentuan ada atau tidaknya indikasi medis
dapat dilakukan oleh bidan atau perawat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Inisiasi Menyusu Dini
Pasal 9
(1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan inisiasi
menyusu dini terhadap Bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam.

(2) Inisiasi menyusu dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara meletakkan Bayi
secara tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit Bayi melekat pada kulit ibu.

Pasal 10
(1) Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menempatkan ibu dan
Bayi dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung kecuali atas indikasi medis yang ditetapkan oleh
dokter.

(2) Penempatan dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk memudahkan ibu setiap saat memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi.

Bagian Ketiga
Pendonor Air Susu Ibu
Pasal 11
(1) Dalam hal ibu kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif bagi bayinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, pemberian ASI Eksklusif dapat dilakukan oleh pendonor ASI.
(2) Pemberian ASI Eksklusif oleh pendonor ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan persyaratan:

a. permintaan ibu kandung atau Keluarga Bayi yang bersangkutan;

b. identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu atau Keluarga dari Bayi
penerima ASI;
c. persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas Bayi yang diberi ASI;

d. pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai indikasi medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7; dan

e. ASI tidak diperjualbelikan.

(3) Pemberian ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan berdasarkan
norma agama dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, mutu, dan keamanan ASI.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian ASI Eksklusif dari pendonor ASI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 12
(1) Setiap ibu yang melahirkan Bayi harus menolak pemberian Susu Formula Bayi dan/atau produk
bayi lainnya.

(2) Dalam hal ibu yang melahirkan Bayi meninggal dunia atau oleh sebab lain sehingga tidak dapat
melakukan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan dapat dilakukan oleh
Keluarga

Bagian Keempat
Informasi dan Edukasi
Pasal 13
(1) Untuk mencapai pemanfaatan pemberian ASI Eksklusif secara optimal, Tenaga Kesehatan dan
penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan informasi dan edukasi ASI
Eksklusif kepada ibu dan/atau anggota Keluarga dari Bayi yang bersangkutan sejak pemeriksaan
kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI Eksklusif selesai.

(2) Informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai:

a. keuntungan dan keunggulan pemberian ASI;

b. gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui;

c. akibat negatif dari pemberian makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI; dan

d. kesulitan untuk mengubah keputusan untuk tidak memberikan ASI.

(3) Pemberian informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling dan pendampingan.

(4) Pemberian informasi dan edukasi ASI Eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh tenaga terlatih.

- 11 –
Bagian Kelima
Sanksi Administratif
Pasal 14
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1), Pasal 10 ayat (1), atau Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang
berwenang berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis; dan/atau

c. pencabutan izin.

(2) Setiap penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), atau Pasal 13 ayat (1) dikenakan
sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:

a. teguran lisan; dan/atau


b. teguran tertulis.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV
PENGGUNAAN SUSU FORMULA BAYI DAN
PRODUK BAYI LAINNYA
Pasal 15
Dalam hal pemberian ASI Eksklusif tidak dimungkinkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Bayi dapat diberikan Susu Formula Bayi.

- 12 -
Pasal 16
Dalam memberikan Susu Formula Bayi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Tenaga Kesehatan
harus memberikan peragaan dan penjelasan atas penggunaan dan penyajian Susu Formula Bayi
kepada ibu dan/atau Keluarga yang memerlukan Susu Formula Bayi.
Pasal 17
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya
yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif kecuali dalam hal diperuntukkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

(2) Setiap Tenaga Kesehatan dilarang menerima dan/atau mempromosikan Susu Formula Bayi
dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif.

Pasal 18

(1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif kepada ibu Bayi
dan/atau keluarganya, kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

(3) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang menerima


dan/atau mempromosikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat
menghambat program pemberian ASI Eksklu
Dalam hal terjadi bencana atau darurat, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat
menerima bantuan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya untuk tujuan kemanusiaan
setelah mendapat persetujuan dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

(4) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang menyediakan pelayanan di bidang kesehatan
atas biaya yang disediakan oleh produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi
lainnya.
Pasal 19
Produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya dilarang melakukan
kegiatan yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif berupa:

a. pemberian contoh produk Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya secara cuma-cuma atau
bentuk apapun kepada penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Kesehatan, ibu hamil,
atau ibu yang baru melahirkan;

b. penawaran atau penjualan langsung Susu Formula Bayi ke rumah-rumah;

c. pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apapun atas pembelian Susu
Formula Bayi sebagai daya tarik dari penjual;

d. penggunaan Tenaga Kesehatan untuk memberikan informasi tentang Susu Formula Bayi kepada
masyarakat; dan/atau
e. pengiklanan Susu Formula Bayi yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik,
dan media luar ruang.
Pasal 20
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dikecualikan jika dilakukan pada media
cetak khusus tentang kesehatan.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan:

a. mendapat persetujuan Menteri; dan

b. memuat keterangan bahwa Susu Formula Bayi bukan sebagai pengganti ASI.
Pasal 21
(1) Setiap Tenaga Kesehatan, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan
pendidikan kesehatan, organisasi profesi di bidang kesehatan dan termasuk keluarganya dilarang
menerima hadiah dan/atau bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya yang dapat menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.

(2) Bantuan dari produsen atau distributor Susu Formula Bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diterima hanya untuk tujuan membiayai kegiatan pelatihan, penelitian dan pengembangan,
pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis.
- 15 -
Pasal 22
Pemberian bantuan untuk biaya pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah,
dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dapat
dilakukan dengan ketentuan:

2. secara terbuka;

3. tidak bersifat mengikat;

4. hanya melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan kesehatan, dan/atau
organisasi profesi di bidang kesehatan; dan

5. tidak menampilkan logo dan nama produk Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya pada
saat dan selama kegiatan berlangsung yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 23
(1) Tenaga Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) wajib
memberikan pernyataan tertulis kepada atasannya bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak
menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.

11. Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada Menteri bahwa bantuan
tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.

33. Penyelenggara satuan pendidikan kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak
menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.

34. Pengurus organisasi profesi di bidang kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada Menteri bahwa bantuan
tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
Pasal 24
Dalam hal Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menerima bantuan biaya pelatihan, penelitian
dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis maka
penggunaannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25
28. Setiap produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya dilarang
memberikan hadiah dan/atau bantuan kepada Tenaga
Kesehatan, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan
kesehatan, dan organisasi profesi di bidang
kesehatan termasuk keluarganya yang dapat menghambat keberhasilan program pemberian ASI
Eksklusif, kecuali diberikan untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2).
Setiap produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang melakukan
pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan laporan kepada Menteri
atau pejabat yang ditunju
.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:

nama penerima dan pemberi bantuan;

tujuan diberikan bantuan;

jumlah dan jenis bantuan; dan

jangka waktu pemberian bantuan.


Pasal 26
(1) Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan kesehatan,
dan/atau organisasi profesi di bidang kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 huruf c wajib memberikan laporan kepada Menteri, menteri terkait, atau pejabat
yang ditunjuk.
d. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

nama pemberi dan penerima bantuan;

tujuan diberikan bantuan;

jumlah dan jenis bantuan; dan

jangka waktu pemberian bantuan

Pasal 27
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 disampaikan kepada Menteri, menteri
terkait, atau pejabat yang ditunjuk paling singkat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan
bantuan
Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Susu Formula Bayi dan produk bayi lainnya
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29
g. Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16,

Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (1), dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang
berwenang berupa:

a. teguran lisan;

b. teguran tertulis; dan/atau

c. pencabutan izin.

(2) Setiap penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan, penyelenggara satuan pendidikan, pengurus
organisasi profesi di bidang kesehatan serta produsen dan distributor Susu Formula Bayi dan/atau
produk bayi lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 26 ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat
yang berwenang berupa

c. teguran lisan; dan/atau

d. teguran tertulis.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
TEMPAT KERJA DAN TEMPAT SARANA UMUM
Pasal 30
(4) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus mendukung program ASI
Eksklusif.
(5) Ketentuan mengenai dukungan program ASI Eksklusif di Tempat Kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perusahaan antara pengusaha dan
pekerja/buruh, atau melalui perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dengan
pengusaha.

(6) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus menyediakan fasilitas
khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah
ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri
- 20 -
Pasal 31
Tempat Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 terdiri atas:
(3) perusahaan; dan

(4) perkantoran milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta.


Pasal 32
Tempat sarana umum sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 30 terdiri atas:

(3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan;

(4) hotel dan penginapan;

(5) tempat rekreasi;

(6) terminal angkutan darat;

(7) stasiun kereta api;

(8) bandar udara;

(9) pelabuhan laut;

(10) pusat-pusat perbelanjaan;

(11) gedung olahraga;

(12) lokasi penampungan pengungsi; dan

(13) tempat sarana umum lainnya.


Pasal 33
Penyelenggara tempat sarana umum berupa Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mendukung
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif dengan berpedoman pada 10 (sepuluh) langkah
menuju keberhasilan menyusui sebagai berikut:
ui sebagai berikut:

(3) membuat kebijakan tertulis tentang menyusui dan dikomunikasikan kepada semua staf pelayanan
kesehatan;

(4) melatih semua staf pelayanan dalam keterampilan menerapkan kebijakan menyusui tersebut;

(5) menginformasikan kepada semua ibu hamil tentang manfaat dan manajemen menyusui;

(6) membantu ibu menyusui dini dalam waktu 60 (enam puluh) menit pertama persalinan;

(7) membantu ibu cara menyusui dan mempertahankan menyusui meskipun ibu dipisah dari bayinya;

(8) memberikan ASI saja kepada Bayi baru lahir kecuali ada indikasi medis;

(9) menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang waktu 24 (dua puluh empat) jam;

(10) menganjurkan menyusui sesuai permintaan Bayi;

(11) tidak memberi dot kepada Bayi; dan


(12) mendorong pembentukan kelompok pendukung menyusui dan merujuk ibu kepada kelompok
tersebut setelah keluar dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

(13) membuat kebijakan tertulis tentang menyusui dan dikomunikasikan kepada semua staf pelayanan
kesehatan;

(14) melatih semua staf pelayanan dalam keterampilan menerapkan kebijakan menyusui tersebut;

(15) menginformasikan kepada semua ibu hamil tentang manfaat dan manajemen menyusui;

(16) membantu ibu menyusui dini dalam waktu 60 (enam puluh) menit pertama persalinan;

(17) membantu ibu cara menyusui dan mempertahankan menyusui meskipun ibu dipisah dari bayinya;

(18) memberikan ASI saja kepada Bayi baru lahir kecuali ada indikasi medis;

(19) menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang waktu 24 (dua puluh empat) jam;

(20) menganjurkan menyusui sesuai permintaan Bayi;

(21) tidak memberi dot kepada Bayi; dan

(22) mendorong pembentukan kelompok pendukung menyusui dan merujuk ibu kepada kelompok
tersebut setelah keluar dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 34
Pengurus Tempat Kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan
ASI Eksklusif kepada Bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di Tempat Kerja
Pasal 35
Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum wajib membuat peraturan internal
yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif
Pasal 36
Setiap pengurus Tempat Kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (3), atau Pasal 34,
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
DUKUNGAN MASYARAKAT
Pasal 37
(1) Masyarakat harus mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif baik secara
perorangan, kelompok, maupun organisasi.

(3) Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui :

pemberian sumbangan pemikiran terkait dengan penentuan kebijakan dan/atau pelaksanaan


program pemberian ASI Eksklusif;

penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas terkait dengan pemberian ASI Eksklusif;

pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif; dan/atau

d. penyediaan waktu dan tempat bagi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif.

(2) Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

BAB VII
PENDANAAN
Pasal 38
Pendanaan program pemberian ASI Eksklusif dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau sumber lain yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 39
(3) Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non kementerian, gubernur, dan
bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program pemberian
ASI Eksklusif sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.

(4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
a. meningkatkan peran sumber daya manusia di
bidang kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan satuan pendidikan kesehatan dalam
mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif;
b. meningkatkan peran dan dukungan Keluarga dan masyarakat untuk keberhasilan program
pemberian ASI Eksklusif; dan
c. meningkatkan peran dan dukungan pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara sarana umum untuk
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
advokasi dan sosialisasi peningkatan pemberian ASI Eksklusif;
pelatihan dan peningkatan kualitas Tenaga Kesehatan dan tenaga terlatih; dan/atau
monitoring dan evaluasi.
(4) Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non kementerian, gubernur, dan
bupati/walikota dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat mengikutsertakan masyarakat.
(5) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
advokasi dan sosialisasi peningkatan pemberian ASI Eksklusif;
pelatihan dan peningkatan kualitas Tenaga Kesehatan dan tenaga terlatih; dan/atau
monitoring dan evaluasi.
(6) Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non kementerian, gubernur, dan
bupati/walikota dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat mengikutsertakan masyarakat.

Pasal 40
(4) Pengawasan terhadap produsen atau distributor Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya
yang melakukan kegiatan pengiklanan Susu Formula Bayi yang dimuat dalam media massa, baik
cetak maupun elektronik, dan media luar ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e
dilaksanakan oleh badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan
makanan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap produsen atau distributor Susu Formula
Bayi dan/atau produk bayi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan

kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pengurus Tempat Kerja dan/atau penyelenggara
tempat sarana umum, wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lama
1 (satu) tahun.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan yang mengatur tentang
pemberian ASI Eksklusif dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 43
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diunda
PERATURAN MENTERI KESBHATAN
RBPUBLIK INDONESIA
NOMOR 492/MENKES/PER/IV/2010
TENTANG
PERSYARATAN KUALITAS AIR
MINUM
PERATURAN MENTERI KBSBHATAN RBPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 492/MENKES/PER/IV/2010

TENTANG

PERSYARATAN KUALITAS AIR MINUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:


1. Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa
proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung
diminum.
2. Penyelenggara air minum adalah badan usaha milik negara/badan
usaha
milik daerah, koperasi, badan usaha swasta, usaha perorangan,
kelompok masyarakat dan/atau individual yang melakukan
penyelenggaraan penyediaan air minum.
3. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan
perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Kantor Kesehatan Pelabuhan yang selanjutnya disingkat KKP adalah
unit
pelaksana teknis Kementerian Kesehatan di wilayah pelabuhan,
bandara dan pos lintas batas darat.
5. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang
kesehatan.
6. Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat
BPOM
adalah badan yang bertugas di bidang pengawasan obat dan
makanan sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 2

Setiap penyelenggara air minum wajib menjamin air minum yang


diproduksinya aman bagi kesehatan.

Pasal 3

(1) Air minum aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan


fisika,
mikrobiologis, kimiawi dan radioaktif yang dimuat dalam parameter
wajib dan parameter tambahan.
(2) Parameter wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan
persyaratan kualitas air minum yang wajib diikuti dan ditaati oleh
seluruh penyelenggara air minum.
(3) Pemerintah daerah dapat menetapkan parameter tambahan sesuai
dengan
kondisi kualitas lingkungan daerah masing-masing dengan mengacu
pada parameter tambahan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.
(4) Parameter wajib dan parameter tambahan sebagaimana dimaksud
pada
ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.

Pasal 4

(1) Untuk menjaga kualitas air minum yang dikonsumsi masyarakat


dilakukan
pengawasan kualitas air minum secara eksternal dan secara internal.
(2) Pengawasan kualitas air minum secara eksternal merupakan
pengawasan
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau oleh
KKP khusus untuk wilayah kerja KKP.
(3) Pengawasan kualitas air minum secara internal merupakan
pengawasan
yang dilaksanakan oleh penyelenggara air minum untuk menjamin
kualitas air minum yang diproduksi memenuhi syarat sebagaimana
diatur dalam Peraturan ini.
(4) Kegiatan pengawasan kualitas air minum sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) meliputi inspeksi sanitasi, pengambilan samp el air, pengujian
kualitas air, analisis basil pemeriksaan laboratorium, rekomendasi
dan tindak lanjut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatalaksana pengawasan kualitas
air
minum ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 5

Menteri, Kepala BPOM, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Kepala


Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Peraturan ini sesuai dengan tugas dan fungsi masing-
masing.

Pasal 6

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri dan Kepala BPOM


dapat memerintahkan produsen untuk menarik produk air minum dari
peredaran atau melarang pendistribusian air minum di wilayah tertentu
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.

Pasal 7

Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya memberikan


sanksi administrate kepada penyelenggara air minum yang tidak memenuhi
persyaratan kualitas air minum sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.

Pasal 8

Pada saat ditetapkannya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri


Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air Minum sepanjang mengenai persyaratan kualitas
air minum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Lampiran
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor : 492/Menkes/Per/IV/2010
Tanggal : 19 April 2010

PBRSYARATAN KUALITAS AIR MINUM

I. PARAMETER WAJIB

Kadar
Jenis Parameter Satuan
maksimum
yang diperbolehkan
Parameter yang berhubungan
langsung dengan kesehatan

a. Parameter Mikrobiologi
1) E.Coli Jumlah per
100 ml sampel
2) Total Bakteri Koliform Jumlah per
100 ml sampel
b.Kimia an-organik
1) Arsen mg/l
2) Fluorida mg/l 0,01
3) Total Kromium mg/l 1,5
4) Kadmium mg/l 0,05
5) Nitrit, (Sebagai NO2 ) mg/l 0,003
6) Nitrat, (Sebagai NO3 ) mg/l
7) Sianida mg/l
8) Selenium mg/l 0,07
0,01
Parameter yang tidak langsung
berhubungan dengan kesehatan

a .Parameter Fisik
1) Bau
2) Warna TCU Tidak berbau
3)Total zat padat terlarut (TPS) mg/l
4) Kekeruhan NTU 500
5) Rasa
6) Suhu □C Tidak berasa
b.Parameter Kimiawi suhu udara ± 3
1) Aluminium mg/l
2) Besi mg/l 0,2
3) Kesadahan mg/l 0,3
4) Khlorida mg/l 500
5) Mangan mg/l 250
6) pH 0,4
6,5-8,5
MENTERl
KESEHATAN
REPUBLiK
INDONESIA

Kadar
Jenis Parameter Satuan
maksimum
yang diperbolehkan
7) Seng mg/l
8) Sulfat mg/l 3
9) Tembaga mg/l 250
10) Amonia mg/l 2
1,5
II. PARAMETER TAMBAHAN

Jenis Parameter Satuan


Kadar
maksimum
1. KIMIAWI
yang diperbolehkan
Bahan Anorganik
Air Raksa mg/l
Antimon mg/l
Barium mg/l 0,001
Boron mg/l 0,02
Molybdenum mg/l 0,7
Nikel mg/l 0,5
Sodium mg/l 0,07
Timbal mg/l 0,07
Uranium mg/l 200
0,01
b.Bahan Organik 0,015
Zat Organik (KMnO/) mg/l
Deterjen mg/l
Chlorinated alkanes
Carbon tetrachloride mg/l 0,05
Dichloromethane mg/l
1,2-Dichloroethane mg/l 0,004
Chlorinated ethenes 0,02
1,2-Dichloroethene mg/l 0,05
Trichloroethene mg/l
T etrachloroethene mg/l 0,05
Aromatic hydrocarbons 0,02
Benzene mg/l 0,04
Toluene mg/l
Xylenes mg/l 0,01
Ethylbenzene mg/l 0,7
Styrene mg/l 0,5
Chlorinated benzenes 0,3
1,2-Dichlorobenzene (1,2-DCB) mg/l 0,02
1,4-Dichlorobenzene (1,4-DCB) mg/l
Lain-lain
Di(2-ethylhexyl)phthalate mg/l 0,3
Acrylamide mg/l
Epichlorohydrin mg/l 0,008
Hexachlorobutadiene mg/l 0,0005
0,0004
0,0006
MENTERl
KESEHATAN
REPUBLiK
INDONESIA

Kadar
Jenis Parameter Satuan
maksimum
yang diperbolehkan
Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) mg/l
Nitrilotriacetic acid (NTA) mg/l 0,6
0,2
c. Pestisida
Alachlor mg/l
Aldicarb mg/l 0,02
Aldrin dan dieldrin mg/l 0,01
Atrazine mg/l 0,00003
Carbofuran mg/l 0,002
Chlordane mg/l 0,007
Chlorotoluron mg/l 0,0002
DDT mg/l 0,03
1,2- Dibromo-3-chloropropane (DBCP) mg/l 0,001
2,4 Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) mg/l 0,001
1,2-Dichloropropane mg/l 0,03
Isoproturon mg/l 0,04
Lindane mg/l 0,009
MCPA mg/l 0,002
Methoxychlor mg/l 0,002
Metolachlor mg/l 0,02
Molinate mg/l 0,01
Pendimethalin mg/l 0,006
Pentachlorophenol (PCP) mg/l 0,02
Permethrin mg/l 0,009
Simazine mg/l 0,3
Trifluralin mg/l 0,002
Chlorophenoxy herbicides selain 2,4-D 0,02
dan MCPA
2,4-DB mg/l
Dichlorprop mg/l 0,090
Fenoprop mg/l 0,10
Mecoprop mg/l 0,009
2,4,5-Trichlorophenoxyacetic acid mg/l 0,001
0,009
d.Desinfektan dan Basil
Sampingannya
Desinfektan
Chlorine mg/l
Basil sampingan
Bromate mg/l 0,01
Chlorate mg/l 0,7
Chlorite mg/l 0,7
Chlorophenols
2,4,6 -Trichlorophenol (2,4,6-TCP) mg/l 0,2
Bromoform mg/l 0,1
Dibromochloromethane (DBCM) mg/l 0,1
Bromodichloromethane (BDCM) mg/l 0,06
Chloroform mg/l 0,3
MENTERl
KESEHATAN
REPUBLiK
INDONESIA

Kadar
Jenis Parameter Satuan
maksimum
yang diperbolehkan
Chlorinated acetic acids
Dichloroacetic acid mg/1
Trichloroacetic acid 0,05
mg/1 0,02
Chloral hydrate
Halogenated acetonitrilies
Dichloroacetonitrile mg/l 0,02
Dibromoacetonitrile mg/l 0,07
Cyanogen chloride (sebagai CN) mg/l 0,07

2. RADIOAKTIFITAS

Gross alpha activity Bq/1 0,1


Gross beta activity Bq/1

Vous aimerez peut-être aussi