Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
Yogyakarta, Malang, dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada
anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,9%, sedangkan pada
anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995 dan tahun 2001 di
Jakarta Timur sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran tersebut di atas, terlihat
bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian secara serius (Depkes RI, 2009).
Banyak faktor yang dapat berhubungan dengan kejadian asma bronkiale
pada anak. Faktor pejamu seperti predisposisi genetik, riwayat atopi
keluarga, usia, dan jenis kelamin merupakan faktor risiko asma. Serangan
akut asma umumnya timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus, seperti
alergen, infeksi virus, asap rokok, dan polusi udara (GINA, 2012). Selain
itu, asma juga dapat dicetuskan oleh cuaca dingin, kegiatan jasmani, dan
ketidakstabilan emosi/psikis (Callistania dan Indrawati, 2014).
Penelitian epidemologi mengungkapkan bahwa faktor atopi mempunyai
kaitan erat dengan perkembangan dan angka kejadian asma. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa terjadinya asma merupakan interaksi dua
faktor yaitu faktor genetik dan lingkungan. Risiko untuk terjadinya asma
pada anggota keluarga generasi pertama dari individu yang menyandang
asma adalah 2 sampai 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu pada
populasi normal (Zulfikar dkk, 2011). Seorang anak dari salah satu orangtua
yang memiliki riwayat asma beresiko sebesar 25% untuk menderita asma
juga, dan beresiko 50% jika kedua orangtua memiliki riwayat asma. Tetapi
asma tidak muncul secara universal pada kembar monozigot (Behrman et al,
2011).
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah sebagai pembelajaran
dalam mendiagnosa serta menentukan penatalaksanaan yang tepat untuk
kasus asma, mengingat tingginya angka kejadian penyakit ini.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
3
Riwayat Natal :
Spontan/tidak spontan : Spontan
Berat badan lahir : 3100 gram
Panjang badan lahir : Ibu lupa
Lingkar kepala : Ibu lupa
Penolong : Bidan
Riwayat Neonatal :
Anak langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna kulit seluruh
badan kemerahan.
Riwayat perkembangan
Tiarap : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 11 bulan
Berdiri : 13 bulan
Berjalan : 15 bulan
Riwayat imunisasi
Belum lengkap
Makanan
- Sejak lahir sampai dengan usia 1 tahun anak mendapatkan ASI dengan
frekuensi menyusu sesuka anak.
- Pada usia 3 bulan, anak mendapat makanan tambahan berupa bubur
susu, diselingi dengan bubur saring. Setiap kali makan anak
menghabiskan setengah mangkok kecil sebanyak 3 kali sehari.
- Usia 1,5 tahun sampai sekarang anak mulai mendapatkan makanan
seperti orang dewasa sebanyak 3 kali sehari setengah mangkok kecil.
Riwayat Penyakit dalam keluarga
Susunan keluarga :
No
Nama Umur L/P Keterangan
.
1. Tn. A 32 th L Riwayat asma saat kecil
4
2. Ny. F 28 th P Sehat
3. An. R 7 th P Riwayat asma saat kecil
4. An. F 2 th 5 bln L Sakit
Pasien memiliki riwayat atopi dari keluarga, yaitu ayah dan kakak
perempuan pasien yang merupakan penderita asma
5
Dengan menggunakan kurva Berat badan terhadap Tinggi badan untuk
menentukan status gizi, didapatkan status gizi FA 1 SD – 2 SD, gizi baik
6
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, HR 80 x/menit,
murmur (-), gallop (-), suara napas vesikuler (+)
ronkhi (-) wheezing (+/+)
d. Abdomen :
Inspeksi : Datar, simetris
Palpasi : Lemas, hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
epigastrium, massa (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
e. Ekstremitas : Edema (-), CRT < 2 detik
2.6 Terapi
a. Non-farmakologis
- Menerangkan tentang penyakit dan pengobatannya
- Mengajarkan keluarga dan pasien untuk menjaga kebersihan
diri dan lingkungan (ciptakan suasana rumah sehat dengan
sirkulasi baik, tidak lembap).
- Mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang untuk
memperkuat daya tahan tubuh.
b. Farmakologis
- Salbutamol 3x1/2 tab
- GG 3x1/4 tab
- Cetirizine syr 1x1/2 cth
2.8 Prognosis
a. Quo ad Vitam : Bonam
b. Quo ad Functionam : Bonam
7
c. Quo ad Sanationam : Bonam
Biologis
Usia
Usia pasien 2 tahun 5 bulan
Imunitas rendah
Ayah dan kakak pasien
memiliki riwayat asma
Perilaku
Lingkungan
Lingkungan rumah Asma Pola hidup dan makan
yang bergizi dan
lembap dan ventilasi
serta cahaya kurang.
Bronkial seimbang.
Perilaku higinitas keluarga
Pelayanan
Kesehatan
Puskesmas Boom
Baru sebagai Pelayan
kesehatan terdekat
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
8
3.1 Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napas yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa
mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan
atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang
tanpa gejala, tidak mengganggu aktifitas, tetapi dapat eksaserbasi dengan
gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes
RI, 2009).
Penyakit asma berasal dari kata “Asthma” yang diambil dari bahasa
Yunani yang berarti “sukar bernapas”. Penyakit asma merupakan proses
inflamasi kronik yang menyebabkan saluran pernapasan menjadi
hiperresponsif sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema,
dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di
saluran pernapasan, dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam
hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi,
yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversible secara spontan maupun
dengan pengobatan (GINA (Global Initiative for Asthma), 2012).
Pada tahun 2015, GINA memperbarui definisi asma menurut ciri-ciri
klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat
episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada
pemeriksaan fisik, tanda asma yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-
ciri utama fisiologisnya berupa episode obstruksi saluran napas, yang
ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri
patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.
Eksaserbasi (serangan) asma merupakan episode perburukan gejala-
gejala asma secara progresif, yang umumnya ditandai dengan distres
pernapasan. Dapat timbul gejala sesak napas, batuk, mengi, dada terasa
tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut.
9
3.2 Epidemiologi
Asma dapat muncul pada usia berapapun; 30% anak menunjukkan
gejala asma pada usia 1 tahun, sedangkan 80-90% anak lainnya mulai
menunjukkan gejala asma pertama kali sebelum usia 4-5 tahun. Derajat
asma sulit untuk diprediksi. Mayoritas anak yang menderita asma hanya
memiliki serangan derajat ringan hingga sedang, yang dapat ditatalaksana
dengan mudah. Sedangkan minoritas anak yang menderita asma, memiliki
derajat berat, yang tidak dapat diobati, dan biasanya terjadi per tahun
dibandingkan per musim. (Behrman et al, 2011).
Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang
tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh
dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma, dan tahun 2025
diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu setiap 250
orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya. Data dari
berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar
antara 1-18% (GINA, 2015). Peningkatan prevalensi asma terutama
meningkat pada kelompok anak dan cenderung menurun pada kelompok
dewasa (Ratnawati, 2011).
10
pada ayah penderita merupakan prediktor yang sangat kuat untuk diturunkan
ke anak-anak mereka (Santosa, 2010).
a. Faktor Pejamu
- Jenis Kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens
asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali
lipat dari anak perempuan. Menurut laporan Marcia M.M. Pizzichini
(2001) dalam Buku Ajar Respirologi Anak (2013), prevalens asma pada
anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2
pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun.
Berdasarkan data dari GINA (2012), sebelum usia 14 tahun prevalens
asma pada anak laki-laki hampir dua kali lebih tinggi daripada
perempuan. Seiring bertambah usia prevalens tersebut menjadi sama, dan
pada saat dewasa prevalens asma menjadi lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria. Penyebab pasti mengenai keterkaitan jenis kelamin
dan kejadian asma belum diketahui. Saat lahir, anak laki-laki memiliki
ukuran paru-paru yang lebih kecil dibandingkan perempuan, tetapi saat
beranjak dewasa ukuran tersebut menjadi lebih besar.
- Usia
Umumnya, pada kebanyakan kasus asma bronkial persisten, gejala
seperti asma pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa
tahun pertama kehidupan. Dari Melbourne (Australia), dilaporkan bahwa
25% anak dengan asma bronkial persisten mendapat serangan mengi
pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum
usia 3 tahun (Kartasasmita, 2013). Data ISAAC (International Study of
Asthma and Allergy in Childhood) menyatakan bahwa usia 6 sampai 7
tahun merupakan periode dimana prevalens asma lebih tinggi.
- Genetik
Hubungan antara gen dengan berkembangnya asma difokuskan pada
empat hal mayor, yaitu produksi antibodi IgE alergen-spesifik (atopi);
hiperresponsivitas jalan napas; peningkatan berbagai mediator inflamasi
11
seperti sitokin, kemokin, growth factor; serta rasio Th1 dan Th2.
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi bahwa ada beberapa region
kromosom yang diduga berkaitan dengan asma. Sebagai contoh,
peningkatan kadar serum IgE cenderung meningkatkan
hiperresponsivitas jalan napas, dan gen yang mengatur hiperresponsivitas
jalan napas tersebut terletak di dekat lokus mayor yang mengatur kadar
serum IgE pada kromosom 5q. Namun, hingga saat ini penelitian
terhadap gen spesifik yang mengakibatkan atopi atau asma masih belum
dapat dipastikan (GINA, 2012).
- Riwayat Atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnyan risiko asma persisten
dan beratnya asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16
tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan mengi dua
kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever, rhinitis
alergi, atau eksema. Eksema persisten berhubungan pula dengan gejala
asma persisten. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
orangtua atau keluarga dekat yang juga alergi, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor
pencetus.
- Obesitas
Asma lebih sering terjadi pada penderita yang memiliki indeks massa
tubuh lebih dari 30 kg/ m 2 dan mengakibatkan penyakit asma sulit
dikontrol. Penderita asma dengan obesitas memiliki fungsi paru lebih
kecil dan faktor komorbid yang lebih banyak dibandingkan penderita
asma dengan berat badan normal (GINA, 2012). Obesitas memiliki efek
mekanik yang penting untuk perubahan fisiologi paru, gejala yang timbul
mirip asma. Obesitas menyebabkan penurunan sistem komplains paru,
volume paru, dan diameter saluran napas perifer. Akibatnya, terjadi
peningkatan hiperreaktivitas saluran napas, perubahan volume darah
pulmoner, dan gangguan fungsi ventilasi perfusi (Amanda, 2012).
12
b. Faktor Lingkungan
- Alergen
Dikenal dua macam alergen sebagai penyebab serangan asma, yaitu
alergen makanan dan alergen hirup. Makanan sebagai penyebab atopi
khususnya dermatitis atopik dan serangan asma banyak ditemukan pada
masa bayi dan anak kecil. Pada bayi dan anak berumur dibawah 3 tahun
terutama adalah alergi susu sapi, telur dan kedelai yang umumnya dapat
ditoleransi kembali sebelum anak berumur 3 tahun. Pada anak besar dan
dewasa penyebab utama adalah ikan, kerang-kerangan, kacang tanah dan
kacang pohon. Sedangkan alergen hirup, dibagi lagi menjadi dua
kelompok, yaitu alergen di dalam rumah (indoors) seperti tungau debu
rumah, bulu kucing, bulu anjing atau binatang peliharaan lainnya; dan
alergen di luar rumah (outdoors) seperti serbuk sari (pollen) khususnya di
negera empat musim (Santosa, 2010). Alergen yang sering mencetuskan
penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau
debu rumah, jamur, dan kecoa (Kartasasmita, 2013).
- Asap Rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah
dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus
setelah anak dilahirkan, dan menyebabkan meningkatnya risiko. Pada
anak yang terpajan asap rokok, kejadian eksaserbasi lebih tinggi, anak
lebih sering tidak masuk sekolah, dan umumnya fungsi faal parunya lebih
buruk daripada anak yang tidak terpajan (Steyer, 2003).
- Polusi Udara dan Iritan
Iritan sebagai pencetus asma seperti bau cat, hair spray, parfum, udara,
dan air dingin, juga ozon dan bahan industri kimia yang dapat
menimbulkan hiperreaktivitas bronkus dan inflamasi (Santosa, 2010).
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida,
karbon monoksida atau SO 2 , diduga berperan pada penyakit asma,
meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang disepakati
(Kartasasmita, 2013).
13
- Aktivitas Fisik
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Asma yang diinduksi latihan
jasmani (Exercise Induced Asthma = EIA) dapat terjadi akibat lari bebas
di udara yang dingin dan kering. Bila berlari di udara yang hangat dan
lembab, EIA jarang timbul. Setelah berlari 2 menit umumnya terjadi
dilatasi bronkus dan anak merasa lebih enak, tetapi setelah berlari antara
5-8 menit terjadilah konstriksi bronkus (respons dini), dan pada beberapa
pasien juga dapat diikuti dengan respons lambat antara 4-6 jam sesudah
konstriksi bronkus yang pertama (Santosa, 2010).
- Emosi
Emosi dapat meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis sehingga terjadi
pelepasan asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma. Faktor pencetus
dapat bersumber dari masalah antara kedua orangtua, antara orangtua
dengan anak, atau masalah di sekolah.
- Cuaca
Atmosfer yang mendadak dingin sering menjadi pemicu asma. Serangan
kadang berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau, dan musim bunga (serbuk sari berterbangan). Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Herdi (2011) terdapat 48,9% pasien asma yang
memiliki faktor pencetus berupa perubahan cuaca.
- Infeksi Respiratorik
Sebenarnya hubungan antara infeksi respiratorik dengan prevalens asma
masih merupakan kontroversi. Namun, hal ini tidak berlaku pada infeksi
respiratory syncytial virus (RSV) di usia dini yang mengakibatkan
infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan faktor risiko
yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6 tahun (Kartasasmita,
2013). Sekitar 42% eksaserbasi asma dihubungkan dengan infeksi virus,
terbanyak RSV pada masa bayi dan anak kecil dan parainfluenza virus
pada anak yang lebih besar. Akibat infeksi virus terjadi kerusakan sel
epitel saluran napas dan pajanan alergen pada reseptor aferen nervus
vagus dan berakibat suatu bronkospasme serta serangan asma. Penderita
14
bronkiolitis mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar untuk
berlanjut dengan mengi di kemudian hari dibandingkan anak normal.
Infeksi bakteri umumnya jarang berhubungan dengan serangan asma
(Santosa, 2010).
3.4 Etiologi
Sel-sel inflamasi (sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil), mediator
kimia (histamin, leukotrien, platelet-activating factor, bradikinin), dan
faktor kemotaktik (sitokin, eotaksin) memerantarai proses inflamasi yang
terjadi pada saluran respiratori penderita asma. Inflamasi menyebabkan
terjadinya hiperresponsif saluran respiratori, yaitu kecenderungan saluran
respiratori mengalami konstriksi sebagai respons terhadap alergen, iritan,
infeksi virus, dan olahraga. Hal ini juga menyebabkan terjadinya edema,
peningkatan produksi mukus di paru, masuknya sel-sel inflamasi ke saluran
respiratori, dan kerusakan sel epitel. Inflamasi kronik dapat menyebabkan
terjadinya remodelling saluran respiratori, akibat proliferasi protein matriks
ekstraseluler dan hiperplasia vaskular yang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan struktur yang irreversibel dan penurunan fungsi paru yang
progresif (Marcdante dkk, 2014).
15
Demikian pula tulang rawan trakea dan bronkus pada bayi masih kurang
kaku sehingga mempermudah kolaps pada saat ekspirasi.
c. Otot bronkus dan cabangnya
Jumlah otot bronkus dan cabangnya yang masih sedikit menyebabkan
bronkodilator yang diberikan tidak memberikan hasil yang diharapkan.
d. Hipersekresi kelenjar utama
Pada dinding bronkus utama anak ditemukan lebih banyak kelenjar mukosa
dibandingkan pada orang dewasa normal, sehingga dapat mengakibatkan
hipersekresi dan memperberat obstruksi.
e. Insertio diafragma
Insertio diafragma pada bayi dan anak posisinya adalah horizontal, sehingga
pada saat inspirasi diafragma akan menarik dada ke dalam (retraksi),
sedangkan pada orang dewasa posisi tersebut adalah oblik yang justru
memperluas rongga dada (Santosa, 2010).
3.6 Patogenesis
Selama tiga puluh tahun terakhir, konsep inflamasi kronis sebagai hal
yang berperan penting pada patogenesis asma, telah dibuktikan dengan
penelitian-penelitian menggunakan berbagai spesimen dari bronchoalveolar
lavage (BAL), biopsi bronkus, induced sputum, dan observasi postmortem
(Supriyatno dan Wahyudin, 2013).
GINA (2012) menggambarkan konsep inflamasi pada kronis asma
sebagai suatu konsep inflamasi kronis yang khas, melibatkan dinding
saluran respiratorik, dan menyebabkan terbatasnya aliran udara serta
meningkatnya reaktivitas saluran respiratori. Hiperreaktivitas ini merupakan
predisposisi terjadinya penyempitan saluran respiratori sebagai respons
terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas yang menunjukkan
adanya inflamasi saluran repiratori adalah aktivasi eosinofil, sel mast,
makrofag, dan sel limfosit-T pada mukosa dan lumen saluran respiratori.
Perubahan ini dapat terjadi meskipun asma tidak bergejala secara klinis.
Pemunculan sel-sel tersebut berhubungan secara luas dengan derajat
beratnya penyakit secara klinis.
16
Sejalan dengan proses inflamasi kronis, perlukaan epitel bronkus
merangsang proses reparasi/perbaikan saluran respiratori yang
menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada
saluran respiratori. Perubahan ini dikenal dengan istilah remodelling saluran
napas (airway remodelling; AR). Airway remodelling dikatakan sebagai hal
yang penting pada asma dan berlangsung paralel dengan proses inflamasi.
Suatu penelitian menemukan bahwa AR yang terlihat pada biopsi bronkus
telah terjadi empat tahun sebelum awitan asma pada anak (Supriyatno dan
Wahyudin, 2013).
Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent.
Di dalam populasi, faktor atopi diperkirakan memberi kontribusi pada 40%
pasien asma anak dan dewasa (Supriyatno dan Wahyudin, 2013).
17
terhadap alergen, akan menyebabkan aktivasi sel mast berupa pelepasan
mediator inflamasi, seperti histamin, leukotrien, platelet activating factor,
bradikinin, dan prostaglandin. Mediator inflamasi tersebut mengakibatkan
peningkatan permeabilitas kapiler (edema), peningkatan sekresi mukus, dan
kontraksi otot polos bronkial (Munasir dan Suyoko, 2010).
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen inhalasi, virus, iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi
yang terdiri atas reaksi fase awal/cepat dan pada beberapa kasus dapat
diikuti dengan reaksi fase lambat.
Sumber: Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2010, hal. 122.
a. Reaksi fase awal/cepat (early phase reaction)
Reaksi fase cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen IgE spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan
komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut
18
berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang
menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamin, proteolitik, enzim
glikolitik, heparin, serta mediator newly generated seperti prostaglandin,
leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif. Bersama-bersama dengan
mediator yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator-mediator ini
menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan menstimuli saraf
aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskular
(Supriyatno dan Wahyudin, 2013).
b. Reaksi fase lambat
Reaksi fase lambat timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase
awal, yang meliputi pengerahan dan aktivasi sel-sel eosinofil, sel T, basofil,
neutrofil, dan makrofag. Pada reaksi fase lambat juga terdapat retensi
selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan
pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang
teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2. Selama 2-4
jam pertama terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator
proinflamasi, seperti IL-2, IL-5, dan GM-CSF (granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor) untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hal ini terus-menerus terjadi sehingga reaksi fase lambat semakin lama
semakin kuat (Supriyatno dan Wahyudin, 2013).
3.7 Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi, karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien
akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total
(KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka
dan pertukaran gas berjalan lancar. Gejala mengi menandakan adanya
penyempitan di saluran napas besar, sedangkan gejala batuk dan sesak
19
menandakan penyempitan di saluran napas yang kecil (Sundaru dan
Sukamto, 2014).
Penyempitan saluran napas tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang
melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Untuk mengatasi
kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, tetapi akibatnya
pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO 2 menurun,
yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma
yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus
sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini
menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat
serta terjadi peningkatan produksi CO2 . Peningkatan produksi CO2
yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi
CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas.
Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan
konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting
yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang
akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan
saluran napas pada asma akan menimbulkan: a) gangguan ventilasi berupa
hipoventilasi, b) ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi
ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru, dan c) gangguan difusi
gas di tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan
hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis respiratorik pada tahap yang sangat
lanjut.
3.8 Klasifikasi
Berdasarkan derajat penyakitnya, asma dibagi menjadi asma episodik
jarang, asma episodik sering, dan asma persisten. Berdasarkan serangannya,
asma dibagi menjadi serangan asma ringan, sedang, dan berat.
Tabel 1. Pembagian Derajat Penyakit Asma pada Anak menurut Pedoman
Nasional Asma Anak Indonesia 2004
No Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten
20
kebutuhan obat dan jarang sering
(Asma berat)
faal paru (Asma ringan) (Asma sedang)
1. Frekuensi serangan < 1x/bulan ¿ 1 x/bulan Sering
2. Lama serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi
3. Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
4. Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
5. Pemeriksaan fisik Normal (tidak ada Mungkin terganggu Tidak pernah normal
di luar serangan kelainan) (ada kelainan)
6. Obat pengendali Tidak perlu Nonsteroid / steroid Steroid hirupan / oral
(anti inflamasi) hirupan dosis
rendah
7. Uji faal paru PEF/FEV1 > 80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 <60%
(di luar serangan)* Variabilitas 20-30%
8. Variabilitas faal Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas >50%
paru (bila ada
serangan)
*jika fasilitas tersedia
PEF = peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak),
FEV1 = forced expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1
detik)
Sumber: Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama Cetakan Keempat, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2013, hal. 109.
3.9 Diagnosis
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma termasuk penyakit
yang underdiagnosed di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal
antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang
sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita
tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada
dan berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
21
a. Anamnesis
Setelah menetapkan apakah seorang anak benar-benar mengalami mengi
atau batuk yang hebat, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pola dan
derajat gejala. Pola gejala harus dibedakan apakah gejala tersebut timbul
pada saat infeksi virus atau timbul tersendiri di antara batuk pilek biasa.
Apabila mengi dan batuk hebat tersebut terjadi tidak bersamaan dengan
infeksi virus, selanjutnya harus ditentukan frekuensi dan pencetus gejala.
Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk mengarahkan
pengobatan yang akan diberikan (Nataprawira, 2013).
b. Pemeriksaan Fisis
Umumnya tidak ada kelainan saat pasien tidak mengalami serangan. Saat
serangan dapat dijumpai sesak napas, hiperinflasi dada, tarikan dinding
dada, ekspirasi memanjang dengan mengi yang dapat didengar. Pada
pemeriksaan fisis, dilakukan penilaian derajat serangan asma.
22
respiratorik torako-
abdominal
8. Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal / hilang
retraksi ditambah ditambah napas
interkostal retraksi cuping hidung
suprasternal
9. Laju napas Takipnea Takipnea Takipnea Bradipnea
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar:
Usia Frekuensi napas normal
< 2 bulan < 60x/menit
2-12 bulan < 50x/menit
1-5 tahun < 40x/menit
3-8 tahun < 30x/menit
10. Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak sadar:
Usia Laju nadi normal
2-12 bulan < 160x/menit
1-2 tahun < 120x/menit
3-8 tahun < 110x/menit
11. Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada
paradoksus
(pemeriksaan < 10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg (tanda kelelahan
tidak praktis) otot napas)
12. PEFR atau
FEV1 (% nilai
prediksi / %
nilai terbaik)
▪ Pre- >60% 40-60% < 40%
bronkodilatasi
▪ Pasca >80% 60-80% < 60%,
bronkodilatasi respon < 2
13. SaO 2 >95% 91-95% < 90%
14. PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
15. PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg >45 mmHg
Keterangan: PEFR (peak expiratory flow rate), FEV1 (force expiration volume-1 / volume
ekspirasi paksa detik ke-1).
23
Sumber: Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama Cetakan Keempat, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2013, hal. 112.
Diagnosis asma pada bayi dan anak dibawah usia lima tahun hanya
merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan
pemeriksaan fisis, serta respon terhadap pengobatan). Hal tersebut
dikarenakan tes pemeriksaan fungsi paru atau pemeriksaan untuk
mengetahui adanya hipersensitivitas saluran napas tidak mungkin dilakukan
dalam praktik sehari-hari pada kelompok usia ini (Callistania dan Indrawati,
2014).
c. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan fungsi paru: peak flow meter dan spirometer.
Spirometri dapat membantu menegakkan diagnosis dan tatalaksana asma.
Spirometri digunakan untuk memonitor respons terhadap pengobatan,
menilai derajat reversibilitas dengan intervensi pengobatan yang
diberikan, dan mengukur beratnya eksaserbasi asma. Dalam
mendiagnosis asma, pemeriksaan spirometeri lebih disukai dibandingkan
pengukuran aliran puncak (peak flow measures) karena adanya variasi
dalam nilai referensi predicted peak flow (Marcdante dkk, 2014).
- Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran napas
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan/olahraga,
udara kering dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang
diagnosis. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas yang tinggi tetapi
spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis
asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti
rhinitis alergi, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas
seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik (Nataprawira, 2013).
- Pemeriksaan uji kulit alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan
uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam serum. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengevaluasi asma persisten namun tidak dilakukan
24
pada saat terjadinya eksaserbasi mengi (Marcdante dkk, 2014).
Pemeriksaan ini tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi dapat
meembantu menetukan faktor risiko atau pencetus asma (Nataprawira,
2013).
- Pemeriksaan rontgen dada
Pemeriksaan ini harus dilakukan pada episode pertama asma atau pada
episode rekuren dengan batuk atau mengi atau keduanya., untuk
menyingkirkan kemungkinan kelainan anatomi (Marcdante dkk, 2014).
25
Jika tersedia, periksa dengan Pertimbangkan pemeriksaan:
peak flow meter atau foto rontgen toraks dan sinus
spirometer untuk menilai: uji fungsi paru
reversibilitas (>15%) uji respon terhadap bronkodilator
variabilitas (>15%), serta uji keringat
hiper-reaktivitas (>20%) uji imunologik
pemeriksaan motilitas silia
pemeriksaan refluks
Berikan bronkodilator gastroesofagus (RGE)
3.11 Tatalaksana
Tujuan:
a) Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b) Mencegah eksaserbasi akut
c) Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
d) Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
e) Menghindari efek samping obat
f) Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
irreversibel
26
g) Mencegah kematian karena asma
h) Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai
potensi genetiknya (Depkes RI, 2009).
Terapi awal
Inhalasi agonis β 2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral
29
20-30 menit. Jika sudah mendapatkan aminofilin sebelumnya
(<4 jam), berikan setengah dosis.
Dosis rumatan: 0,5-1mg/kgBB/jam. Dosis maksimal 16-20 mg/kgBB/hari.
Nilai derajat/serangan
31
Tungau debu rumah Tindakan yang sangat penting:
Sarungi bantal, matras dengan sarung bantal
impermeabel alergen
Cuci seprai dan sarung bantal dengan air hangat setiap
minggu
Tindakan yang sebaiknya dilakukan:
Hindari tidur atau berbaring pada furnitur yang berlapis
Kurangi jumlah mainan anak di kamar tidur anak
Kurangi kelembaban dalam rungan hingga <50%
Jika memungkinkan singkirkan karpet dari kamar tidur
dan area bermain, jika tidak memungkinkan lakukan
vakum yang sering
Bulu hewan Anak dianjurkan tidak memiliki hewan peliharaan di
rumah, namun apabila tidak memungkinkan tetap usahakan
agar hewan berada di luar rumah
Alergen kecoa Jangan meninggalkan makanan atau sampah dalam kondisi
terbuka
Perbaiki lubang-lubang atau pipa yang bocor
Jamur dalam rumah Kurangi kelembaban dalam rumah hingga <50%
Sumber: Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam, diterjemahkan dan
diedit oleh IDAI, 2014, hal. 342.
3.12 Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi atau
anak yang mempunyai risiko untuk menjadi asma di kemudian hari, yaitu
dengan mengenali faktor risiko asma berupa riwayat atopi pada orangtua.
Pencegahan primer dapat dilakukan pada saat prenatal dan pascanatal.
Pada saat prenatal, orangtua dianjurkan untuk menghindari lingkungan
yang bersifat sebagai faktor risiko terutama indoor pollutants, seperti asap
rokok, debu rumah yang mungkin mengandung banyak tungau debu
rumah, dan lain-lain. Sedangkan pada masa pascanatal, pencegahan yang
dapat dilakukan yaitu bayi dihindari dari pemberian ASI yang
mengandung makanan yang dapat menyebabkan alergi. Pemberian ASI
32
saja yang lama (≥ 4 bulan) dapat mengurangi risiko asma di kemudian hari
(Rosmayudi dan Supriyatno, 2013).
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi pada
anak yang sudah tersensitisasi. Pada early treatment of the atopic child
(ETAC), pemberian cetirizine selama 18 bulan pada anak dengan
dermatitis atopi yang orangtuanya atopi, dapat mencegah terjadinya asma
sebanyak 50% bila anak tersebut hanya alergi terhadap debu rumah dan
serbuk sari. Namun, secara keseluruhan obat tersebut tidak dapat
menurunkan kejadian asma. Selain pemberian obat-obatan, faktor risiko
lain seperti alergen juga harus dihindari (Rosmayudi dan Supriyatno,
2013).
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang
anak yang sudah menderita asma, yaitu dengan menghindari faktor-faktor
pencetus. Penghindaran terhadap pencetus memerlukan kerjasama antara
dokter, pasien, dan keluarganya. Faktor lain yang dapat menyebabkan
serangan asma yaitu gagalnya terapi jangka panjang. Terapi jangka
panjang adalah pemberian obat pengendali (controller) berupa
kortikosteroid, baik yang diberikan tersendiri ataupun kombinasi dengan
β-agonis kerja panjang atau antileukotrien (Rosmayudi dan Supriyatno,
2013).
3.13 Komplikasi
Pneumotoraks, pneumomediastinum, dan gagal napas (Callistania dan
Indrawati, 2014). Status asmatikus merupakan eksaserbasi akut asma yang
tidak berespons adekuat terhadap pengobatan dan dapat berlanjut hingga
beberapa hari atau terjadi tiba-tiba, serta bervariasi dalam beratnya penyakit
mulai dari ringan hingga mengancam jiwa. Distress napas berat, dispnea,
mengi, batuk, dan penurunan aliran puncak ekspirasi (peak expiratory flow
atau PEF) merupakan ciri-ciri kemunduran dalam kontrol asma. Seiring
bertambah beratnya obstruksi saluran respiratori dan menurunnya komplains
33
paru, retensi karbondioksida dapat terjadi, dan pada keadaan takipnea kad ar
PCO2 normal (40 mmHg) merupakan petunjuk ancaman henti napas
(Marcante dkk, 2014).
3.14 Prognosis
Untuk sebagian anak, gejala mengi pada infeksi saluran respiratori
berkurang pada usia prasekolah, sedangkan anak lain dapat mempunyai
gejala asma yang lebih persisten dan berlanjut sampai dewasa. Mortalitas
asma lebih rendah pada anak-anak dibandingkan dewasa (0,3
kematian/100.000 anak vs 1,9 kematian/100.000 dewasa) (Callistania dan
Indrawati, 2014).
34