Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Nama
Nama
Nama
Nama
Nama
Nama
Nama
Nama
Nama
Nama
Nama
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi
Penyakit Menular tentang “Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular”.
Alasan utama terbentuknya makalah ini adalah guna melengkapi tugas yang
diberikan oleh dosen mata kuliahEpidemiologi Penyakit Menular.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ini dapat berguna dan memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB 1. PENDAHULUAN 4
3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia di berbagai negara termasuk di
Indonesia tidak dapat terlepas dari segi peningkatan kualitas kesehatan. Tujuan
utama dari pembangunan tersebut yaitu terciptanya lingkungan yang
memungkinkan bagi masyarakat Indonesia untuk menikmati umur yang panjang,
sehat serta dapat menjalankan kehidupan yang produktif (Moeloek,2015:2).
Dilihat dari hal tersebut, kesehatan merupakan salah satu aspek yang penting
dalam pembangunan masyarakat. Namun, hingga saat ini permasalahan kesehatan
mengenai penyakit menular di Indonesia masih tergolong tinggi.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2015;133-
134), proporsi pasien baru BTA positif diantara seluruh kasus TB paru belum
mencapai target yang diharapkan yaitu minimal 65%. Pada tahun 2014 ditemukan
jumlah kasus baru BTA+ sebanyak 176.677 kasus, menurun bila dibandingkan
kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2013 yang sebesar 196.310 kasus.
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada
perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada
masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki
dan perempuan terjadi di Kep. Bangka Belitung, kasus pada laki-laki hampir dua
kali lipat dari kasus pada perempuan. Menurut kelompok umur, kasus baru paling
banyak ditemukan pada kelompok umur 25- 34 tahun yaitu sebesar 20,76% diikuti
kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,57% dan pada kelompok umur 35-44
tahun sebesar 19,24%.
Sedangkan pada kasus baru AIDS menurut kelompok umur menunjukkan
bahwa sebagian besar kasus baru AIDS terdapat pada usia 20-29 tahun, 30-39
tahun, dan 40-49 tahun. Kelompok umur tersebut masuk ke dalam kelompok usia
produktif yang aktif secara seksual dan termasuk kelompok umur yang
menggunakan NAPZA suntik. Dalam penularan penyakit HIV/AIDS, faktor
hubungan heteroseksual merupakan cara penularan dengan persentase tertinggi
pada kasus AIDS yaitu sebesar 81,3%, diikuti oleh homoseksual sebesar 5,1% dan
perinatal sebesar 3,5%. Penyakit AIDS dilaporkan bersamaan dengan penyakit
penyerta. Pada tahun 2014 penyakit kandidiasis, tuberkulosis, dan diare
4
merupakan penyakit penyerta AIDS tertinggi masing-masing sebesar 1.316 kasus,
1.085 kasus, dan 1.036 kasus (Profil Kesehatan Indonesia,2015;139-140).
Berdasarkan data dan permasalan tersebut, penerapan ilmu epidemiologi
penyakit menular sangat penting dalam menanggulangi dan mencegah penyebaran
penyakit menular di Indonesia. Epidemiologi sendiri merupakan ilmu yang
mempelajari distribusi, determinan, frekuensi penyakit, dan faktor yang
mempengaruhi status kesehatan pada populasi manusia (Rajab,2009;2). Oleh
karena itu, penulis tertari untuk menulis makalah dengan judul “Istilah dan
Definisi Epidemiologi Penyakit Menular”.
1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana upaya pencegahan
dan pengendalian penyakit menular ?
1.3Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui upaya-upaya
pengendalian dan penceggahan penyakit menular
1.3.2. Tujuan Khusus
a. .Megatahui metode pencegahan dan pengendalian penyakit menular melalui
prinsip kontrol
b. Mengetahui metode pencegahan dan pengendalian penyakit menular melalui
pengendalian lingkungan
c. Mengetahui metode pencegahan dan pengendalian penyakit menular melalui
pengendalian vektor
d. Mengatahui metode pencegahan dan pengendalian penyakit menular melalui
pengobatan dan pemberian obat masa
e. Mengetahui metode pencegahan dan pengendalian penyakit menular melalui
metode pengendalian lainnya
5
BAB 2. PEMBAHASAN
6
Kesehatan lingkungan metode higiene perorangan, pasokan air dan
sanitasi yang sangat efektif terhadap semua agen ditularkan oleh fekal-oral baik
oleh transmisi langsung atau parasit yang mengalami siklus kompleks yang
melibatkan host intermediate (Webber R. , 2005).
Hewan baik mereka bertindak sebagai reservoir atau sebagai hewan
hospes perantara dapat dikendalikan oleh kerusakan atau vaksinasi (misalnya
terhadap rabies). Apabila hewan tersebut untuk dimakan, daging hewan yang
sudah mati tersebut harus diperiksa untuk memastikan bahwa mereka bebas
dari tahap parasit. Ekskresi atau jaringan dari hewan dapat menular; pakaian
sebagai pelindung dan sarung tangan harus dipakai saat menangani hewan
(Webber R. , 2005).
Memasak secara tepat memasak merupakan proses menjadikan tanaman
dan hewan agar menghasilkan sesuatu yang aman untuk dikonsumsi, meskipun
ada beberapa racun yang tahan panas. Makanan harus disiapkan secara higienis
sebelum memasak dan disimpan dengan benar setelah itu (Webber R. , 2005).
Pengendalian Vektor adalah salah satu metode yang paling sangat maju
dari transmisi menginterupsi karena parasit memanfaatkan Tahap rentan untuk
pengembangan dan transportasi. Serangan terhadap vektor pada saat memasuki
tahap larva dapat dengan menggunakan larvasida dan metode kontrol biologis,
atau saat mereka dewasa dengan adulticides (Webber R. , 2005).
2.1.3. Host
Host (pejamu) adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda, yang dapat memberikan kehidupan atau tempat tinggal untuk agent
menular (Noor, 2013). host dapat dilindungi oleh metode fisik (kelambu,
pakaian, perumahan, dll), dengan vaksinasi terhadap penyakit tertentu atau
dengan menggunakanl profilaksis rutin (Webber R. , 2005).
2.1.4. Lingkungan
Lingkungan dari host dapat ditingkatkan oleh pendidikan, bantuan
(pertanian, bangunan rumah, subsidi, pinjaman, dll), dan peningkatan
komunikasi (Untuk memasarkan hasil buminya, mencapai fasilitas kesehatan,
sekolah, dll). Dalam kurun waktu, ini akan menjadi metode yang paling
efektif dalam mencegah kelanjutan dari siklus penularan (Webber R. , 2005).
7
2.2. Metode Pengendalian Lingkungan
Banyak penyakit yang timbul dari kontaminasi lingkungan oleh materi fekal
dengan transmisi rute langsung (misalnya dengan jari), atau melalui makanan dan
air. Berbagai metode kontrol yang tersedia adalah sebagai berikut:
1. Menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga;
2. Membuat persiapan yang matang dalam kegiatan memasak ataupun
penyimpanan makanan;
3. Menggunakan persediaan air dengan baik;
4. Mengontrol pembuangan tinja dan limbah;
5. Metode lain-lain termasuk pemeriksaan daging dan kebersihan.
8
2 Typhoid (demam tifoid)
2 Salmonellae
2 Campylobacter
2 Non-specific diarrhoeal disease
2 Kolera
2 Leptospirosis
3a Ascaris
9
Infeksi yang dapat dikurangi dengan perlindungan yang tepat dari
makanan ditunjukkan pada tabel dibawah ini.
Pengurangan
Kategori Infeksi Tipe makanan yang
mungkin
Virus enterik (termasuk
2 Semua +
hepatitis A dan polio)
2 Hymenolepis Semua +
2 Amoebiasis Semua +
2 Trichuris Semua +
2 Giardia Semua +
Semua, terutama
2 Shigella ++
produk susu
Semua, terutama
2 Typhoid (demam tifoid) ++
produk susu
Semua, terutama
2 Salmonellae ++
produk susu
Semua, terutama
2 Campylobacter ++
produk susu
Non-specific diarrhoeal Semua, ditambah
2 ++
disease kontaminasi lalat
2 Kolera Hewan laut, salad ++
Makanan yang
2 Leptospirosis ++
terkontaminasi tikus
2 Brucellosis Produk susu ++
3a Ascaris Semua +
Daging sapi atau
3b Taenia +++
daging babi
4b Trichinella Babi +++
4c Fasciolopsis Salad +++
4c Opisthorchis Ikan segar +++
4c Paragonimus Crustacea +++
4c Diphyllobothrium Ikan segar +++
10
Pada kategori 2, infeksi kontaminasi makanan terjadi sebelum atau
setelah memasak. Dalam hal ini lalat sering terlibat. Bahkan jika kontaminasi
telah terjadi, penyimpanan yang benar dan pembuangan makanan yang dimasak
setelah waktu yang terbatas dapat mencegah multiplikasi yang cukup bagi
bakteri untuk mencapai dosis infektif. Untuk kategori 3b dan 4c diperlukan host
intermediate tertentu dalam transmisi mereka, sehingga pemberantasan
dilakukan melaluipemasakan yang tepat. Memasak harus pada suhu yang cukup
tinggi untuk membunuh tahapan dan prosedur menengah, seperti memanggang
di atas panggangan atau memasak daging hingga benar-benar matang, serta tidak
memberikan suhu yang cukup tinggi di dalam daging. Pemeriksaan daging dapat
efektif dalam penanganan infeksi Taenia (3b) (Webber R. , 2005).
11
2. Kriteria Perencanaan dan Ekonomi
Setiap orang perlu mendapatkan air sesuia dengan kebutuhannya, namun
keterbatan sumber air menjadikan penyediaanya ditetapkan dalam
beberapa segmen prioritas. Strategi alternatif dalam memenuhi kondisi
terebut, antara lain(Weber, 2009):
a) Memprioritaskan penyediaan air pada area dengan kelangkaan air
dan alasan kesehatan tertentu
b) Penyediaan pada wilayah yang berpotensi tinggi untuk
berkembang
c) Memprioritaskan pada masyarakat yang dapat berkontribusi dalam
dana dan tenaga. Hal ini dikarenakan penyediaan air membuthkan
perwatan dengan dua syarat tersebut
d) Penyediaan air yang paling mudah bagi jumlah penduduka yang
banyak
e) Perancangan proyek utama terkait eksistensi penyediaan air untuk
beberapa tahun berikutnya serta pemanfaatan sumber air alami,
seperti pembuatan waduk, pemanfaatan air danau, sumur, laut,
dan teluk (Hickey, 2008).
Seluruh strategi yang telah disebutkan bergantung pada persiapan
negara terhadap pembayaran harga air. Pengehematn juga tentu perlu
mempertimbangkan skala ekonomi, standar peralatan (teknologi), dan
tenaga kerja (Weber, 2009).
12
Gambar 1. Sumber Air(Weber, 2009).
Aliran air hujan yang meresap ke tanah dan dapat dimanfaatkan melalui
sistem sumur dangkal ataupun danau. Di dalam level tanah yang lebih
dalam, kualitas air akan lebih terjaga sehingga tehnik pengeboran dapat
digunakan untuk menggapai sumber air tersebut. Sedangakan pemanfaatan
air sumur masih terbilang baik selama kontaminasi dapat dicegah dan
memberikan keuntungan dengan posisi yang dekat dengan rumah (Weber,
2009). Sekali lagi bahwa poin penting dalam penyediaan air adalah
kualitas dan kuantitas, namun bila salah satu syarat tersebut bermasalah,
maka tehnik filtrasi, penambahan sumber air, purfikasi, dan yang lain
sebagainya dapat menjadi solusi yang efektif.
2.2.4 Sanitasi
Dengan makanan dan air, penekanannya adalah pada pencegahan
kontaminasi, tapi dengan sanitasi, itu adalah mengurangi sumber kontaminasi.
kebiasaan sosial berkaitan dengan pembuangan tinja sering dipegang teguh dan
kecuali ini didekati dengan cara ible sens-, sistem baru akan gagal. tasi Sani-
bukan hanya penyediaan jamban, tetapi subjek yang kompleks dan saling terkait
in- volving orang, pasokan air dan semua aspek lain dari kesehatan lingkungan.
Faktor kesehatan Seperti terlihat pada Tabel 3.1, dampak utama sanitasi adalah
pada kelompok 2, 3a, 4c dan 5c. Instalasi sanitasi dapat menghasilkan
pengurangan infeksi ditunjukkan pada tabel berikut:
13
Penyediaan sanitasi Saat memberikan sanitasi, ada kontras tajam dengan
pasokan air. Semua orang ingin pasokan air, tapi tak seorang pun ingin
mengubah kebiasaan buang air besar nya. Hal ini cukup sederhana untuk
menjelaskan bahwa zat yang masuk kedalam tubuh dapat dipahami sebagai
penyebab langsung dari penyakit, sedangkan buang air hal-kadang dari tubuh
tidak bisa. Buang air besar adalah masalah yang diperlu diperhatikan, tetapi
kebanyakan orang tidak per dulu dimana ia buang air besar merasa. Ada juga
alasan sosial yaitu agama, ras atau budaya. Ini mungkin mendikte di mana
tempat yang tidak diperbolehkan buang air besar,danmebedakan tempat
berdasarkan masalah jenis kelamin. Dengan semua pola-pola ini dan kebiasaan
yang telah diajarkan sejak kecil, perubahan menjadi proses yang panjang dan
sulit. Jika sebuah keluarga dapat melihat manfaat dari jamban, maka mereka
akan membuat jamban setelah melihat; otoritas kesehatan maka dapat membantu
dalam fikasi spesimen teknis dan mensubsidi biaya. Setiap usaha untuk
memaksakan sistem atau bahkan membangun jamban secara gratis akan
menyebabkan kebencian atau non-penggunaan.
Seperti air, sanitasi juga butuh biaya, tapi di sini biaya kurang diterima
oleh penduduk. Orang-orang hanya siap untuk membayar hargaseminimum
mungkin untuk buang air besar. Hanya di daerah perkotaan akan hal itu
dianggap perlu; di daerah pedesaan, ada ruang yang cukup untuk membuang
kotoran. Sebuah skema subsidi kemudian menjadi cara utama di mana sanitasi
14
dapat ditingkatkan. Misalnya, dalam konstruksi jamban, penduduk desa akan
perlu untuk menggali lubang mereka sendiri, tapi mungkin diberi subsidi semen
dengan harga rendah atau diberikan lempengan jongkok gratis.
Biaya terkait dengan kenyamanan, yang mengapa orang bersedia
membayar untuk sistem perbaikan, kesediaan mereka untuk membayar biasanya
tidak ada hubungannya dengan kesehatan. Sebuah lubang jamban yang baik
dapat efektif sebagai sistem pembuangan air dilakukan konvensional, yang
membedakan hanyabahwa penampungan kotoran diluar rumah, wc berada di
dalam rumah. Biaya kenyamanan ini biasanya sepuluh kali dari jamban lubang.
Dalam memilih sistem pembuangan yang paling tepat, penekanan harus
pada kesederhanaan. Hanya ketika metode sederhana menjadi ketinggalan
zaman karena meningkatnya standar dan harapan akan sebuah sistem yang lebih
canggih menjadi yang sesuai. Sebuah proses inkremental yang sederhana, seperti
yang diilustrasikan pada gambar berikut :
15
Dengan jamban lubang, polusi terial bakterial dapat melakukan perjalanan ke
bawah untuk jarak hingga 2 m. Jika kontaminasi mencapai permukaan air, itu
akan mengalir penghitungan horizontal hingga 10m. Ini berarti bahwa setiap
jamban harus diletakkan setidaknya jarak ini jauh dari pasokan air, seperti juga.
jamban juga harus ditempatkan menurun ke sumur, meskipun memompa
berlebihan akan menarik air ke dalam sumur dari segala arah, termasuk mungkin
dari kakus. Jika jamban dibangun kurang dari 10 m dari sungai atau aliran, dapat
mencemari itu, sebagai meja air akan mengalir menuju sungai. Jamban dalam
situasi ini dapat menjadi sumber potensial pencemaran jika sungai digunakan
untuk air minum. Pencemaran tanah adalah subjek yang kompleks dan aturan
kasar 10 m jarak antara jamban dan sumber air minum diberikan sebagai
panduan. Kontaminasi tergantung pada berikut:
1. . kecepatan aliran air tanah (harus kurang dari 10 m dalam 10 hari);
2. . komposisi tanah (tidak fissured, misalnya seperti di batu kapur).
3. saran ahli harus diperoleh sebelum memulai program jamban.
Dalam sistem tertutup seperti septic tank atau aquaprivy, kontaminasi
tanah tidak akan berlangsung kecuali ada celah dalam struktur. Namun, limbah
yang sangat bermuatan dengan patogen dan harus dibuang dengan benar.
Mengalirkannya ke pembuangan banjir, seperti yang sering terjadi, adalah
praktik yang buruk dan menimbulkan ancaman besar infeksi. Solusi termudah
adalah untuk memimpin ke soakaway, tapi tindakan pencegahan mirip dengan
jamban perlu diambil.
16
selama vektor fase. vektor,tidak harus benar-benarhancur, tetapi harus disimpan
pada tingkat terlalurendah. Sehingga vektor pengendalian vektor berarti
pengurangan dan tidakpemberantasan vektor.
17
1. Cara fisik dan mekanis. Menghindari tubuh dari gigitan nyamuk
dengan cara mekanis dapat dilakukan dengan cara : (1) Pemasangan
korden pada pintu dan jendela; (2) Pemasangan kasa penutup lubang
angin di dinding rumah; (3) Pemasangan kelambu tempat tidur
2. Cara kimia (Repelan). Repelan adalah bahan kimia atau obatkimia
yang mengganggu kemampuan serangga untuk mengenal bahan kimia
atraktan dari hewan/manusia sehingga mencegah serangga untuk
menggigit. Dengan demikian, jika kita menggunakan repelan nyamuk
dan nyamuk tidak mau mendekati bukan karena bahan tersebut berbau
dan terasa tidak enak untuk nyamuk. Tetapi, karena bahan itu
menginduksi proses yang secara halusmemblokir fungsi sensori pada
nyamuk sasaran. Jika repelan digunakan secara benar maka repelan
nyamuk bermanfaat untuk memberikan perlindungan pada individu
pemakainya dari gigitan nyamuk dalam jangka waktu tertentu. Repelan
dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, antara lain; Bahan
kimia repelan (obat nyamuk dalam bentuk lotion, obat nyamuk bakar,
dan obat nyamuk spray) dan Repelan sistemik, repelan yang berbentuk
tablet sehingga dapat ditelan, vitamin B1, bawangputih, ragi roti
dilaporkan dapat juga bekerja sebagai repelan nyamuk setelah
dikonsumsi oleh orang (NC State University,2000).
3. Cara Biologis. Dengan menempatkan tanaman penghalau nyamuk
(tanaman repelan)
D. Larvasida
Menurut Weber (2005), larvasida merupakan zat yang menghalangi
alat bantu pernafasan jentik nyamuk dan meracuni mereka. Larvasida atau
kontrol “fokal” dari aedes aegypti biasanya terbatas pada wadah yang
dipertahankan untuk penggunaan rumah tangga yang tidak dapat dibuang.
Tiga larvasida dapat digunakan untuk mengatasi wadah yang menyimpan air
minum: 1% bubuk granul temephos, regulator pertumbuhan serangga
methoprene dalam bentuk balok, dan BTI (bacillus thuringiensis H-14)
yang dianggap di bawah pengendalian biologis. Ketiga larvasida ini
menpunyai toksisitas mamalia sangat rendah dan penanganan air minum
yang tepat aman untuk konsumsi manusia.
18
E. Pengendalian Biologis
Intervensi yang didasarkan pada pengenalan organisme pemangsa,
parasit, yang bersaing dengan cara penurunan jumlah Ae. aegypti atau Ae.
albopictus masih menjadi percobaan, dan informasi tentang keampuhannya
didasarkan pada hasil operasi lapangan yang berskala kecil. Ikan pemangsa
larva dan biosida Bacillus thuringiensis H-14 (BTI) adalah dua organisme
yang paling sering digunakan. Keuntungan dari tindakan pengendalian
secara biologis mencangkup tidak adanya kontaminasi kimiawi terhadap
lingkungan, kekhususan terhadap organisme target (efek BTI, sebagai
contoh, terbatas pada nyamuk yang berhubungan dengan diptera) dan
penyebaran mandiri dari beberapa preparat ke tempat-tempat yang tidak
dapat ditangani dengan mudah oleh cara lain (Gandahusada, 1998).
Kerugian dari tindakan pengendalian biologis mencakup mahalnya
pemeliharaan organisme, kesulitan dalam penerapan dan produksinya serta
keterbatasan penggunaannya pada tempat-tempat yang mengandung air
dimana suhu, pH dan polusi organik dapat melebihi kebutuhan agen juga
fakta bahwa pengendalian biologis ini hanya efektif tergadap tahap imatur
dari nyamuk vector (Gandahusada, 1998).
Beberapa parasit dari golongan nematoda, bakteri, protozoa, jamur
dan virus dapat dipakai sebagai pengendalian larva nyamuk. Arthopoda juga
dapat dipakai sebagai pengendali nyamuk dewasa. Predator atau pemangsa
yang baik untuk pengendalian larva nyamuk terdiri dari beberapa jenis ikan,
larva nyamuk yang berukuran lebih besa, larva capung dan crustaceae
(Gandahusada, 1998).
Contoh beberapa jenis ikan pemangsa yang cocok untuk
pengendalian nyamuk vector stadium larva ialah : Panchax panchax (ikan
kepala timah), Lebistus retcularis (Guppy = water ceto), Gambusia affinis
(ikan gabus), Poecilia reticulate, Trichogaster trichopterus, Cyprinus
carpio, Tilapia nilotica, Puntious binotatus dan Rasbora lateristrata.
Pemangsa lainnya adalah larva Toxorrhynchites amboinensis, larva culex
furcanus (Gandahusada, 1998).
Penggunaan Odonata sebagai control biologiterhadap vektor
penyakit parasitik atau untuk mengetahui keterkaitan dengan populasi
nyamuk sebagai vector penyakit. Hasil uji preferensi Orthetrum
19
sabina dan Pantala flavescens dewasa terhadap nyamuk Culex yang sudah
peneliti lakukan menunjukkan tingkat pemangsaan yang besar. Hasil
pemangsaan Orthetrumsabinaterhadap nyamuk Culex sebesar 82,76%.
Adapun uji pemangsaan dengan memberikan makanan Odonata yang lebih
bervariasi menunjukkan jumlah pemangsaan yang tetap besar terhadap
nyamuk. Kebiasaan Odonata hidup pada habitat yang bersihdan bersifat
sebagai predator dengan tingkat pemangsaan yang besar terhadap berbagai
larva dan nyamuk dewasa memiliki peluang untuk dijadikan control biologi
terhadap vektor nyamuk yang terkait dengan penyakit parasitik
(Gandahusada, 1998).
F. Modifikasi Lingkungan
Pengendalian dilakukan dengan cara mengelola lingkungan
(environmental management) yaitu memodifikasi atau memanipulasi
lingkungan, sehingga terbentuk lingkungan yang tidak cocok (kurang baik)
yang dapat mencegah atau membatasi perkembangan vektor (Gandahusada,
1998).
Modifikasi lingkungan (environmental management) merupakan
cara paling aman terhadap lingkungan, karena tidak merusak keseimbangan
alam dan tidak mencemari lingkungan, tetapi harus dilakukan terus-
menerus. Di sini dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan
mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu dengan memasang kawat
kasa pada lubang ventilasi rumah, jendela, pintu. Dan sekarang yang
digalakkan oleh pemerintah yaitu gerakan 3M (Menguras tempat-tempat
penampungan air; Menutup rapat tempat penampungan air; dan Menimbun
dalam tanah barang-barang bekas atau sampah yang dapat menampung air
hujan) dan ada cara lain lagi yang disebut autocidal ovitrap. Di sini
digunakan suatu tabung silinder warna gelap dengan garis tengah ± 10 cm,
salah satu ujung tertutup rapat dan ujung yang lain terbuka. Tabung ini diisi
air tawar kemudian ditutup dengan tutup kasa nylon. Nyamuk Ae.
aegypti bertelur di sini dan bila telur menetas menjadi larva dalam air tadi.
Bila larva menjadi nyamuk dewasa maka akan tetap terperangkap di dalam
tabung tadi. Secara periodik air dalam tabung ditambah untuk mengganti
penguapan yang terjadi. (Soegeng Soegijanto; 2004).
20
Sedangkan, Manipulasi Lingkungan (environmental manipulation)
merupakan cara yang berkaitan dengan pembersihan atau pemeliharaan
sarana fisik yang telah ada supaya tidak berbentuk tempat-tempat
perindukan atau tempat istirahat nyamuk, sebagai contoh misalnya: Culex
menyukai air yang kotor seperti genangan air, limbah pembuangan mandi,
got (selokan) dan sungai yang penuh sampah terutama pada musim
kemarau, nyamuk ini juga dapat menularkan penyakit kaki gajah (filariasis)
bancrofti, sehingga kita perlu melancarkan air dalam got yang tersumbat
agar tidak menjadi tempat perindukan culex, tidak menggantung baju
terutama yang berwarna hitam dikarenakan akan menjadi tempat
perindukannya (Gandahusada,1998)
Manipulasi lingkungan juga dapat dilakukan dengan cara : (1)
Membersihkan tanaman air yang mengapung seperti ganggang dan lumut
sehingga menyulitkan perkembangan; (2) Membuang atau mencabut
tumbuhan air di kolam atau rawa; (3) Melancarkan air got agar tidak jadi
tempat perindukan Culex spp; (4) Tidak menggantung baju di ruangan; (5)
Menggunakan baju lengan panjang pada saat malam hari (Gandahusada,
1998).
2.3.2. Insektisida
Menurut Roger Webber (2005:57-59), Insektisida untuk pengendalian
vektor meliputi berikut ini :
1. Racun (misalnya paris hijau yang digunakan secara luas sebagai
larvasida). Anopheles gambiae telah diberantas dari Mesir menggunakan
metode ini. Mengingat ketahanan terhadap insektisida yang telah
dikembangkan, hal ini dapat dipertimbangkan kembali.
2. Fumigan ( contohnya hydrogen sianida, metal bromide, dan format etil)
dapat digunakan pada biji-bijian atau sebagai pembungkus untuk
menghancurkan populasi.
3. Knock-down (contohnya seperti pyrethrum, bioresmethrin dan
bioallethrin).
4. Residual, yang dibagi menjadi organofosfat, karbamat, dan piretroid.
(organoklorin, 4.4’-dichlorodiphenyl-1,1,1-trichloroethane (DDT),
benzene heksaklorida (BHC) dan dieldrin yang awalnya digunakan secara
21
luas kini tidak lagi tersedia karena efek toksik dan efek jangka panjang
terhadap lingkungan), seperti :
a. Organofosfat
Organofosfat seperti malathion dan fenthion adalah zat yang mudah
menguap dan membutuhkan pengaplikasian yang sering. Mereka
bertindak dengan menghambat cholinesterase di persimpangan saraf yang
dapat menghasilkan kelumpuhan sementara (gagal pernafasan) pada
manusia dan serangga. Mereka tidak melakukan residual panjang atau
bertahan lama dalam lingkungan. Klorpirifos dan temephos merupakan
senyawa beracun rendah yang digunakan secara luas sebagai larvasida.
22
b. Karbamat
Karbamat beraksi dengan cara yang mirip dengan organofosfat
namun mereka bekerja berlawanan dengan asetilcholinesterase dan
membuat efeknya lebih mudah disimpan sehingga memberi keuntungan
pada manusia. Contohnya yaitu propoxur dan karbaril.
c. Piretroid
Piretrum adalah insektisida alami yang diperoleh dari spesies
krisanthemum yang telah disintesis untuk menghasilkan berbagai
bentuk yang lebih aktif dengan kemampuan residual yang baik. Ini
adalah zat yang stabil dengan toksisitas rendah dan digunakan secara
luas baik untuk control pertanian maupun kesehatan. Contohnya adalah
permethrin, deltametrin, dan lambda-sihalotrin yang tersedia untuk
mengobati jaring-jaring nyamuk.
23
untuk mengendalikan vektor. Tetapi jika parsial tidak dapat mengendalikan
vektor, mungkin resistensi lengkap mungkin akan dikembangkan.
Resistensi sendiri dapat terjadi karena resistensi bawaan atau resistensi
yang di dapat. Resistensi bawaan dapat terjadi jika adanya perkawinan silang
antar sifat yang sudah resisten yang pada akhirnya akan memunculkan populasi
yang sifatnya resisten dominan atau juga dapat terjadi karena mutasi gen.
Resistensi yang di dapat terjadi jika dalam suatu populasi vektor anggotanya
telah mendapatkan insektisida dalam dosis yang subletal (kurang mematikan)
sehingga anggota-anggotanya yang rentanpun dapat menyesuaikan diri
terhadap pengaruh insektisida tersebut, lalu membentuk populasi baru yang
resisten (Utami, 2013).
24
B. Mengurangi Kontak Interpersonal dari Kepadatan Penduduk
dan Tidak Berbagi Pakaian
Flea dan kutu menyukai tempat yang sesak, seperti kamp-kamp
pengungsian ataupun tempat tinggal yang kumuh. Upaya pengendalian
perlu dilakukan guna untuk mengurangi kutu di daerah padat penduduk,
seperti di bangun rumah laundry agar mereka tidak mencuci pakaian
mereka secara bersamaan. Tetapi di mana hal ini tidak mungkin, karna
adanya keterbatasan ekonomi yang tidak memadai. Banyak dari mereka
mencuci pakaian, mengenakan pakaian, dan menggunakan sisir dengan
orang lain sehingga perilaku tersebut menjadi faktor umum untuk
mentransfer ektoparasit dari orang ke orang.
C. Cuci Pakaian dan Selimut Secara Personal
Mencuci pakaian dan selimut secara personal agar vektor tidak
berpindah tempat antar pakaian yang sedang di cuci.
D. Pengusir/Penolak Ektoparasit
Penolak digunakan di daerah di mana infeksi mungkin terjadi,
seperti menggunakan insektisida di daerah timbulnya infeksi akibat
kutu tersebut.
E. Memperbaiki Bangunan Rumah
Kutu jenis lain juga dapat hidup di celah-celah di dinding rumah
yang bangunannya buruk, kutu tersebut keluar pada malam hari untuk
menyerang orang ketika mereka tidur. Sehingga, kita perlu
meningkatkan pembangunan rumah atau menerapkan lapisan plester tak
terputus untuk dinding perlu dilakukan agar arthropoda ini hilang secara
permanen. Dan, gunakan kelambu untuk melindungi individu dari
gigitan kutu tersebut.
F. Insektisida.
Insektisida sangat berguna dalam kondisi epidemi. Solusi
insektisida dapat diterapkan pada rambut untuk membunuh kutu kepala
atau pakaian jika pengusir tidak tersedia. Liang tikus harus ditaburi
dengan insektisida untuk membunuh kutu wabah pembawa sebelum
tikus masuk dalam perangkap penangkapan. Benzil benzoat atau BHC
efektif terhadap tungau scabies.
25
2.4. Pengobatan dan Pemberian Obat Massal
Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria
yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Semua nyamuk dapat menjadi
vektor penular filariasis. Untuk perkembangan nyamuk ialah di sawah, got atau
saluran air, rawa rawa dan tanaman air Terdapat tiga spesies cacing penyebab
Filariasis yaitu: Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Semua
spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di
Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi.
Filariasis mempunyai gejala klinis berupa cacing filaria yang hidup di
kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem
limfatik yang dapat menimbulkan gejala awal (akut) dan lanjut (kronis). Gejala
akut berupa demam berulang, 1 2 kali setiap bulan bila bekerja berat, tetapi dapat
sembuh tanpa diobati dan peradangan kelenjar dan saluran getah bening
(adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tapi dapat pula di
daerah lain. Sementara gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfe
terutama di daerah yang sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan
gejala seperti kaki gajah (elephantiasis), dan hidrokel. (Kemenkes, 2015)
Gambar 2Daur hidup dan gejala klinis Limfatic filariasis atau kaki gajah (Roger Weber hal 220
26
masyarakat, pemerintah memerlukan asisten atau kader dari masyarakat tersebut
untuk memastikan pemberian obat missal telah merata dan telah diberikan pada
seluruh penduduk. Pemerintah bertekad mewujudkan Indonesia bebas Kaki
Gajah Tahun 2020. Hal tersebut dilakukan melalui Bulan Eliminasi Penyakit
Kaki Gajah (BELKAGA), dimana setiap penduduk kabupaten/kota endemis Kaki
Gajah serentak minum obat pencegahan setiap bulan Oktober selama 5 tahun
berturut-turut (2015-2020) ujar HM Subuh. Saat ini Filariasis masih menjadi
endemi di 241 kabupaten/kota di Indonesia. 46 diantaranya telah melaksanakan
Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) Filariasis selama 5 tahun. Sementara
195 kabupaten kota akan melaksanakan POPM sampai dengan tahun 2020
dengan jumlah penduduk sebesar 105 juta jiwa yang merupakan sasaran
BELKAGA.
BELKAGA dicanangkan pada tanggal 1 Oktober 2015 oleh Presiden RI di
Cibinong dan serentak diikuti oleh para Gubernur di Provinsi endemic lainnya.
Disebut endemis jika di wilayah tersebut ada 1% atau lebih penduduknya
mengidap microfilaria dalam darahnya. Prosedur pencegahan untuk eliminasi
filariasis telah direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun
1997. Pengobatan massal anti filariasis juga telah dilakukan di lebih 50 negara di
wilayah Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Mediterania Timur
yang mencakup 496 juta orang.
Untuk meningkatkan cakupan MDA diperlukan perencanaan yang baik
sebelum menjalankan program. Tahap awal adalah advokasi dan sosialisasi
filariasis ke kabupaten, kecamatan dan desa. Sleanjutnya dilakukan koordinasi
dengan tokoh masyarakat, puskesmas, pelatihan kader dan pendataan sasaran
MDA filariasis. Pengelola program juga harus melakukan active case detection
agar dapat menemukan penderita filariasis dan dapat memberikan pengobatan
dengan segera agar penderita tidak menjadi sumber infeksi bagi penduduk lain.
Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab rendahnya cakupan MDA filariasis
adalah informasi tidak sampai kepada penduduk ketika akan dilakukan MDA
karena letak rumah penduduk yang berjauhan dan sarana komunikasi yang minim
identik dengan wilayah endemis yang masih murni wilayah desa atau bahkan
pedalaman. Faktor lainnya adalah penduduk tidak berada di tempat pengobatan
karena bekerja atau berladang serta rendahnya pengetahuan dan kesadaran dalam
diri masyarakat untuk minum obat filariasis setiap tahun. Rendahnya cakupan
27
MDA filariasis berdasarkan penduduk total menunjukkan rendahnya kinerja
petugas MDA sedangkan rendahnya cakupan MDA filariasis berdasarkan jumlah
penduduk sasaran menunjukkan rendahnya keberhasilan pengobatan.
Di Indonesia, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
hingga 2008 jumlah kasus filariasis kronis mencapai 11.699 kasus di 378
kabupaten/kota. Berdasarkan hasil pemetaan didapat prevalensi microfilaria di
Indonesia 19% dari seluruh populassi Indonesia yang berjumlah 220 juta orang,
berarti terdapat 40 juta orang didalam tubuhnya mengandung microfilaria yang
merupakan sumber penularan penyakit kaki gajah. (Kemenkes, 2009)
28
BAB 3. PENUTUP
3.1.Kesimpulan
3.2.Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
Utami, A. (2013, Januari 30). Slide Share Resistensi Insektisida. Dipetik Maret
22, 2017, dari Slide Share Resistensi Insektisida:
https://www.slideshare.net/AriniUtami/resistensi-insektisida
Zahrotul, H., & Saleha, S. (2015). Dipetik Maret 21, 2017, dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=425548&val=5027&titl
e=Cakupan%20Pemberian%20Obat%20Pencegahan%20Massal%20Filarias
is%20di%20Kabupaten%20Sumba%20Barat%20Daya%20Tahun%202012-
2013
30