Vous êtes sur la page 1sur 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan


peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2006). World Health Organization (WHO) mendefinisikan asma
sebagai penyakit kronis bronkial, yaitu saluran udara yang menuju ke paru-
paru (WHO, 2011).

Penyakit asma menjadi masalah yang sangat dekat dengan masyarakat karena
jumlah populasi yang menderita asma semakin bertambah. Hal tersebut
dinyatakan dalam survey The Global Initiative for Asthma (GINA),
ditemukan bahwa kasus asma diseluruh dunia mencapai 300 juta jiwa dan
diprediksi pada tahun 2025 pasien asma bertambah menjadi 400 juta jiwa.
WHO pun mendukung pernyataan tersebut dengan hasil penelitiannya yang
memperkirakan bahwa 235 juta orang saat ini menderita asma. Sebagian
besar asma terkait kematian, hal ini terjadi di negara berpenghasilan rendah
dan menengah kebawah (WHO, 2011).

Di Indonesia walaupun prevalensi asma mengalami penurunan dari tahun ke


tahun, namun angka kejadiannya masih cukup tinggi. Menurut hasil survei
Riskesdas tahun 2013 prevalensi asma secara nasional sebesar 4,5%,
kemudian pada tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 2,4%. Sedangkan
prevalensi asma Provinsi Banten adalah sekitar 3%, masih lebih tinggi dari
angka prevalensi nasional (Riskesdas, 2018).

1
STIKes Faletehan
2

Alergi merupakan faktor predisposisi terkuat terhadap angka kejadian asma,


paparan yang lama pada iritan jalan nafas atau alergen juga meningkatkan
resiko berkembangnya asma. Sedangkan faktor pencetus terhadap gejala asma
dan eksaserbasi pada pasien asma meliputi iritan jalan nafas, latihan, stress
atau kesedihan yang mendalam, sinusitis dengan postnasal drip, terapi
pengobatan, infeksi traktus respiratorius yang disebabkan oleh virus dan
gastroesophageal reflux (Smeltzer, Suzanne C. O’Connell., Bare, 2008).

Hyperventilation yang diikuti dengan kecemasan merupakan gejala yang


sering ditemukan pada penderita asma, sehingga mengakibatkan
bronkokonstriksi jalan nafas. Hyperventilation merupakan suatu kondisi
dimana CO2 dalam darah dan alveoli berkurang sehingga kompensasi jalan
nafas mengalami konstriksi bertujuan untuk menghindari kehilangan CO
secara berlebih. Selain itu penebalan dinding jalan nafas karena remodelling
jalan nafas meningkat dengan tajam dan berkontribusi terhadap obstruksi
aliran udara (Wiley, 2012). Pernafasan yang seperti ini berkontribusi dalam
kerentanan dan kelemahan tubuh terhadap berbagai macam penyakit dan
berhubungan erat dengan cara bernafas yang efektif dan benar (Zara, 2012).

Secara alamiah terdapat mekanisme untuk mencegah terjadinya atelektasis


yaitu dengan adanya ventilasi kolateral. Ventilasi kolateral adalah aliran udara
yang terjadi antara alveolus-alveolus yang berdekatan, aliran ini penting untuk
mengalirkan udara segar ke suatu alveolus yang salurannya tersumbat akibat
penyakit (Sherwood, 2011). Ventilasi ini akan menjadi efektif selama inspirasi
dalam, karena pada inspirasi dalam pori-pori khon membuka dan udara masuk
mendekati alveolus yang obstruksi, sebaliknya selama ekspirasi paru-paru
khon menutup, tekanan positif meningkat dalam alveolus yang mengalami
obstruksi dan membantu mengeluarkan sumbatan mukus. Ini menunjukkan
hanya inspirasi dalam saja yang efektif menimbulkan ventilasi kolateral ke
dalam alveolus disebelahnya yang mengalami penyumbatan sehingga dapat
mencegah terjadinya atelektasis (Sylvia A Price, 2006).

STIKes Faletehan
3

Pemberian posisi semi fowler telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk
membantu mengurangi sesak napas. Keefektifan dari tindakan tersebut dapat
dilihat dari Respiratory Rates yang menunjukkan angka normal yaitu 16-24x
per menit pada usia dewasa. Pelaksanaan asuhan keperawatan dalam
pemberian posisi semi fowler itu sendiri dengan menggunakan tempat tidur
orthopedik dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah
punggung, sehingga dapat memberi kenyamanan saat tidur dan dapat
mengurangi kondisi sesak nafas pada pasien asma saat terjadi serangan (Ruth,
2002).

Menurut Ardiansyah (2012), saat terjadi sesak nafas biasanya klien tidak dapat
tidur dalam posisi berbaring, melainkan harus dalam posisi duduk atau
setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan nafas dan memenuhi O2
dalam darah. Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit
kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan
dengan derajat kemiringan 450, yaitu dengan menggunakan gaya grafitasi
untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen
ke diafragma.

Penelitian Supadi, dkk (2008), menyatakan bahwa posisi semi fowler


membuat oksigen di dalam paru-paru semakin meningkat sehingga
memperingan kesukaran nafas. Posisi ini akan mengurangi kerusakan
membran alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut dipengaruhi oleh
gaya grafitasi sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak nafas akan
berkurang, dan akhirnya proses perbaikan kondisi klien lebih cepat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun dan


menganalisis intervensi tindakan pemberian posisi semi fowler pada pasien
asma untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi (pola nafas tidak efektif) di
Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang Tahun 2019.

STIKes Faletehan
4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan diatas, maka perumusan
masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh intervensi pemberian
posisi semi fowler pada pasien asma untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi
(pola nafas tidak efektif) di Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang Tahun 2019?.”

C. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
Menggambarkan intervensi pemberian posisi semi fowler pada pasien
asma untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi (pola nafas tidak efektif) di
Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang Tahun
2019.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien asma dengan
masalah ketidakefektifan pola nafas.
b. Mampu menegakkan Diagnosa keperawatan pada pasien asma dengan
masalah ketidakefektifan pola nafas.
c. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada pasien asma dengan
masalah ketidakefektifan pola nafas.
d. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien asma
dengan masalah ketidakefektifan pola nafas.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien asma dengan
masalah ketidakefektifan pola nafas.

D. Manfaat Studi Kasus

1. Bagi Masyarakat
Hasil karya tulis ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah
ketidakefektifan pola nafas dengan pemberian posisi semi fowler.

STIKes Faletehan
5

2. Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan


Diharapkan hasil karya tulis ilmiah ini dapat menambah keluasan ilmu dan
teknologi terapan dalam bidang keperawatan dalam meningkatkan
kemandirian pasien dalam menangani masalah pola nafas tidak efektif
dengan pemberian posisi semi fowler.

3. Bagi Penulis
Menambah wawasan penulis dalam memberikan asuhan keperawatan
masalah pola nafas tidak efektif dengan intervensi pemberian posisi semi
fowler.

STIKes Faletehan
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Asuhan Keperawatan Dalam Pemenuhan Oksigenasi

1. Pengkajian

Menurut Setiadi (2012) pengkajian adalah tahap dari proses keperawatan


secara sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.

Pengkajian pada pasien dengan pola nafas tidak efektif pada pasien asma
adalah sebagai berikut:
a. Anamnesa
Anamnesa adalah metode pengumpulan data yang digunakan sebagai
informasi tentang pasien. Data yang dibutuhkan mencakup data
tentang biopsikososial dan spiritual dari pasien. Data yang
berhubungan dengan masalah pasien serta data tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi atau yang berhubungan dengan pasien, seperti
data tentang keluarga dan lingkungan yang ada.

Manifestasi klinis asma menurut Smeltzer (2011) adalah batuk,


dispnea, dan mengi. Pada beberapa keadaan, batuk mungkin
merupakan satu-satunya gejala. Serangan asma sering kali terjadi
pada saat malam hari. Penyebabnya tidak dimengerti dan jelas, tetapi
mungkin berhubungan dengan variasi sirkandian, yang
mempengaruhi ambang reseptor jalan nafas.

Menurut Mansjoer (2011) manifestasi klinis asma bronkhial yaitu


bising mengi (wheezing) yang dapat didengar dengan atau tanpa
menggunakan stetoskop batuk produktif, sering pada malam hari.
Nafas atau dada seperti tertekan.

6 STIKes Faletehan
7

Menurut Somantri ( 2008 ), gambaran klinis pasien penderita asma


yaitu:
1) Gambaran Objektif :
a) Sesak nafas parah dengan ekspirasi memanjang disertai
wheezing.
b) Dapat disertai batuk dengan spuntum kental dan sulit
dikeluarkan.
c) Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan.
d) Sianosis,takikardi,gelisah dan pulsus paradokus
e) Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing(diapeks dan
hilus)
2) Gambaran subjektif yang dapat ditangkap perawat adalah pasien
mengeluhkan sukar bernafas, sesak dan anoreksia.
3) Gambaran psikososial yang diketahui perawat adalah cemas,
takut, mudah tersinggung, dan kurangnya pengetahuan pasien
terhadap situasi penyak

b. Pengkajian Primer
1) Airway
Biasanya jalan nafas bersih, sekret tidak ada
2) Breathing
Biasanya RR lebih dari normal
3) Circulation
Biasanya TD dibawah 120/80 mmHg, nadi melemah, CRT > 2
detik, akral dingin, pucat akhirnya bisa takikardi, penurunan
saturasi
4) Disability
Biasanya kesadaran pasien compos mentis, GCS 13-15
5) Eksposure
Biasanya tidak terdapat trauma dan luka pada anggota tubuh
6) Fahrenheit
Biasanya suhu tubuh meningkat > 370C

STIKes Faletehan
8

c. Pengkajian Sekunder
1) Pemeriksaan skunder menurut SAMPLE
a) Sign and symptom (tanda dan gejala)
Pengkajian berdasarkan tanda dan gejala pada pasien asma
adalah peningkatan vena juguralis, edema paru akut,
dispnea, takikardi, hipertensi, dan edema ektermitas.
b) Allergi (riwayat alergi)
Pengkajian berdasarkan riwayat alergi pada pasien asma,
apakah ada alergi pada obat-obatan atau lainnya.
c) Medication
Pengkajian berdasar riwayat pengobatan pada klien meliputi
obat-obatan, seperti dopamine dan dobutamin.
d) Past illness (riwayat penyakit yang diderita)
Berdasarkan pengkajian riwayat penyakit yang diderita pada
klien asma apakah terdapat penyakit selain asma.
e) Last meal
Pengkajian makanan atau minuman terakhir pada pasien
asma, biasanya terjadi pola makan dan minum tidak sehat
seperti makanan berkalori tinggi dan minuman soda atau
minuman keras.

d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah proses inspeksi tubuh dan sistem untuk
menentukan ada atau tidaknya penyakit yang didasarkan pada hasil
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan fisik berfokus pada
respon kien terhadap masalah kesehatan yang dialaminya. Cara
pendekatan yang sistematis yang dapat digunakan perawat dalam
melakukan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan dari ujung rambut
sampai ujung kaki (head to toe) dan pendekatan berdasarkan sistem
tubuh (review of system). Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan empat metode, yaitu : inspeksi (dengan melihat).
auskultasi (dengan mendengarkan, perkusi (dengan mengetuk bagian

STIKes Faletehan
9

yang diperiksa menggunakan jari tangan), dan palpasi (dengan


meraba kulit pasien untuk mengetahui struktur yang ada di bawah
kulit).

e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah suatu pemeriksaan medis yang
dilakukan atas indikasi medis tertentu guna memperoleh keterangan-
keterangan yang lebih lengkap. Tujuan pemeriksaan ini untuk
menegakkan suatu diagnosis tertentu.
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya
(1) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan
degranulasi dari kristal eosinopil.
(2) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel
cetakan) dari cabang bronkus.
(3) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
(4) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum,
umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi
dan kadang terdapat mucus plug.
b) Pemeriksaan darah
(1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan
tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau
asidosis.
(2) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan
LDH.
(3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu
infeksi.
(4) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi
peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan
menurun pada waktu bebas dari serangan.

STIKes Faletehan
10

2) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal.
Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi
pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang
menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
(1) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di
hilus akan bertambah.
(2) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka
gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
(3) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran
infiltrate pada paru
(4) Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
(5) Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk
gambaran radiolusen pada paru-paru.
b) Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada
asma.
c) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan
dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan
gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
(1) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi
right axis deviasi dan clock wise rotation.
(2) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).

STIKes Faletehan
11

(3) Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus


tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi
segmen ST negative.
d) Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari
bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak
menyeluruh pada paru-paru.
e) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible,
cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah
melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC
sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.
Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai
berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa
keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan
obstruksi.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual maupun potensial (SDKI, 2016).

Menurut NIC NOC (2015)., diagnosa keperawatan pada pasien asma


dengan masalah pola nafas tidak efektif adalah sebagai berikut
a. Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi
b. Penurunan pertukaran udara per menit
c. Menggunakan otot pernafasan tambahan

STIKes Faletehan
12

d. Nasal flaring
e. Dyspnea
f. Orthopnea
g. Perubahan penyimpangan dada
h. Nafas pendek
i. Assumption of 3-point position
j. Pernafasan pursed-lip
k. Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama
l. Peningkatan diameter anterior-posterior
m. Pernafasan rata-rata/minimal
n. Usia 5-14 : < 14 atau > 25
o. Usia > 14 : < 11 atau > 24
p. Kedalaman pernafasan
q. Timing rasio
r. Penurunan kapasitas vital

3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan adalah teori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang
berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dari intervensi
keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Selama perencanaan,
dibuat prioritas. Selain berkolaborasi dengan klien dan keluarganya,
perawat berkonsul dengan anggota tim perawat kesehatan lainnya,
menelaah literatur yang berkaitan memodifikasi asuhan, dan mencatat
informasi yang relevan tentang kebutuhan perawat kesehatan klien dan
penatalaksanaan klinik (Poter & Perry, 2010).

STIKes Faletehan
13

Tabel 2.1
Perencanaan Asuhan Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif

No Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan


Tujuan dan kriteria hasil Rencana tindakan
1. Batasan karakteristik : NOC NIC
1. Penurunan tekanan
inspirasi/ekspirasi 1. Respiratory status : Airway Management
2. Penurunan pertukaran Ventilation 1. Buka jalan nafas,
udara per menit 2. Respiratory status : Airway guanakan teknik
3. Menggunakan otot patency chin lift atau jaw
pernafasan tambahan 3. Vital sign Status thrust bila perlu
4. Nasal flaring 2. Posisikan pasien
5. Dyspnea Kriteria Hasil : dengan posisi semi
6. Orthopnea fowler untuk
7. Perubahan 1. Mendemonstrasikan batuk memaksimalkan
penyimpangan dada efektif dan suara nafas ventilasi
8. Nafas pendek yang bersih, tidak ada 3. Identifikasi pasien
9. Assumption of 3-point sianosis dan dyspneu perlunya
position (mampu mengeluarkan pemasangan alat
10. Pernafasan pursed-lip sputum, mampu bernafas jalan nafas buatan
11. Tahap ekspirasi dengan mudah, tidak ada 4. Pasang mayo bila
berlangsung sangat pursed lips) perlu
lama 2. Menunjukkan jalan nafas 5. Lakukan
12. Peningkatan diameter yang paten (klien tidak fisioterapi dada
anterior-posterior merasa tercekik, irama jika perlu
13. Pernafasan rata- nafas, frekuensi pernafasan 6. Keluarkan sekret
rata/minimal dalam rentang normal, dengan batuk atau
14. Bayi : < 25 atau > 60 tidak ada suara nafas suction
15. Usia 1-4 : < 20 atau > abnormal) 7. Auskultasi suara
30 3. Tanda Tanda vital dalam nafas, catat adanya
16. Usia 5-14 : < 14 atau > rentang normal (tekanan suara tambahan
25 darah, nadi, pernafasan) 8. Lakukan suction
17. Usia > 14 : < 11 atau > 4. Saturasi O2 dalam batas pada mayo
24 normal 9. Berikan
18. Kedalaman pernafasan 5. Foto thorax dalam batas bronkodilator bila
19. Dewasa volume normal perlu
tidalnya 500 ml saat 6. Mampu mengidentifikasi 10. Berikan pelembab
istirahat dan mencegah faktor udara Kassa basah
20. Bayi volume tidalnya penyebab NaCl Lembab
6-8 ml/Kg 11. Atur intake untuk
21. Timing rasio cairan
22. Penurunan kapasitas mengoptimalkan
vital keseimbangan.
12. Monitor respirasi
dan status O2

Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut,
hidung dan secret
trakea
2. Pertahankan jalan
nafas yang paten
3. Atur peralatan
oksigenasi
4. Monitor aliran

STIKes Faletehan
14

oksigen
5. Pertahankan posisi
pasien
6. Onservasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
2. Catat adanya
fluktuasi tekanan
darah
3. Monitor VS saat
pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi,
RR, sebelum,
selama, dan setelah
aktivitas
6. Monitor kualitas dari
nadi
7. Monitor frekuensi
dan irama
pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola
pernapasan
abnormal
10. Monitor suhu,
warna, dan
kelembaban kulit
11. Monitor sianosis
perifer
12. Monitor adanya
cushing triad
(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital sign

(Sumber : Nic Noc, 2010)

STIKes Faletehan
15

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana
keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan, untuk membantu
mencapai tujuan yang ditetapkan. Implementasi tindakan keperawatan
dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu : independent (suatu kegiatan yang
dilakukan perawat tanpa petunjuk dari dokter atau tenaga kesehatan
lainnya), interdependent (suatu kegiatan yang memerlukan kerjasama
dari tenaga kesehatan lainnya), dan dependen (berhubungan dengan
pelaksanaan rencana tindakan medis atau instruksi dari tenaga medis)
(Asmadi, 2008).

Menurut Ardiansyah (2012) posisi yang paling efektif bagi klien dengan
penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan
tubuh dinaikkan dengan derajat kemiringan 450, yaitu dengan
menggunakan gaya grafitasi untuk membantu pengembangan paru dan
mengurangi tekanan dari abdomen ke diafragma.

Penelitian Supadi, dkk (2008), menyatakan bahwa posisi semi fowler


membuat oksigen di dalam paru-paru semakin meningkat sehingga
memperingan kesukaran nafas. Posisi ini akan mengurangi kerusakan
membran alveolus akibat tertimbunnya cairan. Hal tersebut dipengaruhi
oleh gaya grafitasi sehingga O2 delivery menjadi optimal. Sesak nafas
akan berkurang, dan akhirnya proses perbaikan kondisi klien lebih cepat.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat unbtuk menetukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien (Potter & Perry, 2010).

Evaluasi intervensi pemberian posisi semi fowler terhadap pola nafas


tidak efektik dapat dilihat dari perubahan data seperti

STIKes Faletehan
16

a. Klien dapat mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang


bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
b. Jalan nafas terlihat yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara
nafas abnormal).
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan).
(Nic Noc, 2015)

B. Asma

1. Definisi Asma
Kata “asthma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernapas”
(Sundaru, 2007). Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik
saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses
inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi
hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di
saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama
malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya
inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara
spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).

Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel


dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu. Asma berbeda dari penyakit obstruktif dalam hal bahwa
asma adalah proses reversibel. Eksaserbasi akut dapat saja terjadi, yang
berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam, diselingi oleh
periode bebas gejala (Smelter, 2011).

STIKes Faletehan
17

2. Jenis-jenis Asma
Asma sering dicirikan sebagai alergi, idiopatik atau nonalergi atau
gabungan.
a. Asma alergi disebabkan oleh alergen misalnya serbuk sari, binatang,
amarah, makanan, dan jamur. Pemajanan terhadap alergen
mencetuskan serangan asma.
b. Asma idiopatik atau nonalergi tidak berhubungan tidak berhubungan
dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi
traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, sepert aspirin
dan agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis
beta-adrenergik, dan agen sulfit (pengawet makanan), juga mungkin
menjadi faktor. Serangan asma idiopatik menjadi lebih berat dan
sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkitis kronis dan emfisema.
c. Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini
mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun nonalergi
(Smeltzer, 2011).

3. Etiologi
Sebenarnya telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli di
bidang asma untuk menerangkan sebab terjadinya asma, namun belum
satupun teori atau hipotesis yang dapat diterima atau disepakati semua
ahli. Meskipun demikian ada beberapa hal yang dapat disebut sebagai
penyebabnya antara lain kepekaan saluran napas yang berlebihan dan
peranan faktor keturunan dan lingkungan. Saluran napas penderita asma
memiliki sifat yang khas yaitu, sangat peka terhadap berbagai rangsangan
(bronchial hyperreactivity = hiperaktivitas saluran napas = kepekaan
saluran napas yang berlebihan). Asap rokok, tekanan jiwa, alergen pada
orang normal tidak menimbulkan asma, tetapi pada penderita asma
rangsangan tadi dapat menimbulkan serangan (Smeltzer, 2011).

STIKes Faletehan
18

Lebih kurang seperempat penderita asma, keluarga dekatnya juga


menderita asma, meskipun kadang-kadang asmanya sudah tidak aktif lagi,
dan seperempatnya lagi mempunyai penyakit alergi lain. Diantara
keluarga penderita asma, dua per tiganya memperlihatkan tes alergi yang
positif. Keterangan di atas menunjukkan adanya hubungan antara asma,
alergi dan keturunan. Selain itu asma juga terjadi karena adanya
rangsangan yang cukup kuat pada saluran napas yang telah peka tersebut.
Rangsangan ini pada asma lebih populer disebut dengan nama faktor
pencetus. Dan masih terdapat kemungkinan ada juga hal-hal lain yang
belum diketahui (Smeltzer, 2011).

4. Manifestasi Klinis
Asma dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari yang ringan
sampai yang parah. Gejala-gejala asma mungkin berbeda pada setiap
orang dan mungkin berbeda pada orang yang sama dari waktu ke waktu.
Gejala asma biasanya episodik, gejala dapat datang dan pergi, dan tidak
harus ada terus menerus. Gejala klasik asma ada tiga yaitu mengi, batuk,
dan sensasi napas tak normal atau dispnea. Gejala-gejala asma yang
terjadi adalah variasi dari tiga gejala besar di atas (Smeltzer, 2011).

Tanda dan gejala serius asma menurut Smeltzer (2011) antara lain:
a. Tanda sesak napas dimana penderita sulit untuk berbicara dalam
kalimat yang penuh, sulit berjalan, dada terasa sesak, dan mudah
letih.
b. Bernapas dengan berusaha, bahu naik dengan bernapas, leher dan
tulang rusuk bergerak ke dalam dengan bernapas, cepat, pernapasan
tidak nyaman,batuk, siang dan/ malam hari, mengi.
c. Pikiran berubah-ubah, penderita sulit berpikir dengan jelas, bingung,
kehilangan kewaspadaan.
d. Oksigen yang rendah, yang membuat bibir abu-abu atau biru, jari
telunjuk biru atau abu-abu.
e. Nilai PEF (Arus puncak respirasi) rendah, PEF <60% terbaik

STIKes Faletehan
19

personal.
f. Obat-obatan “tidak bekerja” PEF gagal naik setelah menggunakan
obat yang bekerja untuk melegakan pernapasan, dan gejala berlanjut.

Asma dapat terjadi pada sembarang golongan usia; sekitar setengah


dari kasus terjadi pada anak-anak, dan sepertiga lainnya terjadi
sebelum usia 40 tahun. Hampir 17% dari semua rakyat Amerika
mengalami asma dalam suatu kurun waktu tertentu dalam kehidupan
mereka. Meskipun asma dapat berakibat fatal, lebih sering lagi, asma
sangat mengganggu, mempengaruhi kehadiran di sekolah, pilihan
pekerjaan, aktivitas fisik, dan banyak aspek kehidupan lainnya
(Smeltzer, 2011).

5. Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat
penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum
pengobatan dimulai (Depkes, 2009).

Durasi asma berhubungan dengan menurunnya fungsi paru dan


banyaknya gejala asma. Umumnya pasien yang sudah dalam pengobatan,
dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat.
Dipahami bahwa pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal
paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada pasien dalam pengobatan
juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Pada tabel berikut,
menunjukan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada pasien yang
sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai
dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu
tingkat (Depkes, 2009).

STIKes Faletehan
20

Contoh seorang pasien dalam pengobatan asma persisten sedang dan


gambaran klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat
asma pasien tersebut adalah asma persisten berat. Demikian pula dengan
asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat
dan asma intermiten pada tabel berikut. Pasien yang gambaran klinis
menunjukan persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang
dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat asma, dengan kata lain
pasien tersebut tetap asma persisten berat. Demikian pula pasien dengan
gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan sesuai
dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten (Depkes,
2009).

Tabel 2.1.
Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum
Pengobatan)

Derajat Asma Gejala Gejala Faal Paru


Malam
1. Intermiten Bulanan APE ≥ 80 %
 Gejala < 1 ≤ 2 kali  VEP1 ≥ 80% nilai
klai/minggu sebulan prediksi
 Tanpa gejala di APE ≥ 80% nilai
luar serangan terbaik
 Serangan  Variabiliti APE <
singkat 20%
2. Persisten Mingguan APE > 80 %
Ringan
 Gejala > 1 > 2 kali  VEP1 ≥ 80% nilai
kali/minggu sebulan prediksi
 Serangan dapat APE ≥ 80% nilai
mengganggu terbaik
aktivitas dan  Variabiliti APE
tidur 20-30%
3. Persisten Harian APE 60-80%
Sedang
 Gejala setiap > 1 kali  VEP1 60-80%
hari seminggu nilai prediksi
 Serangan APE 60-80% nilai
mengganggu terbaik
aktiviti dan  Variabiliti APE
tidur >30%
 Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari

STIKes Faletehan
21

4. Persisten Kontinyu APE ≤ 60%


Berat
 Gejala terus- Sering  VEP1 ≤ 60% nilai
menerus prediksi
APE ≤ 60% nilai
terbaik
 Variabiliti APE
>30%
Sumber : Depkes, 2009

Tabel 2.2.
Klasifikasi Derajat Berat Asma pada Pasien dalam Pengobatan

Tahap Pengobatan yang digunakan saat penilaian


Gejala dan faal paru dalam Tahap I Tahap 2 Tahap 3
Pengobatan Intermitten Persisten Persisten
Ringan Sedang
Tahap I: Intermitten Intermiten Persisten Persisten
Gejala < 1x/mgg Ringan Sedang
Serangan singkat
Gejala malam <2x/bulan
Faal paru normal diluar
serangan
Tahap II: Persisten Ringan Persisten Persisten Persisten
Gejala >1x/mgg, tetapi Ringan Sedang Berat
<1x/hari
Gejala malam >2x/bln, tetapi
<1x/mgg
Faal paru normal diluar
serangan
Tahap III: Persisten sedang Persisten Persisten Persisten
Gejala setiap hari Sedang Berat Berat
Serangan mempengaruhi
aktiviti
daan tidur
Gejala malam >1x/mgg
60%<VEP1<80% nilai
prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik
Tahap IV: Persisten Berat Persisten Berat Persisten Persisten
Gejala terus menerus Berat Berat
Serangan sering
Gejala malam sering
VEP1 =60% nilai prediksi,
atau
APE =60% nilai terbaik
Sumber : Depkes, 2009

6. Pengukuran Keparahan dan Terkontrolnya Asma


Pada pasien asma, ada beberapa instrument yang digunakan untuk
mengkaji dan mengukur keparahan asma dan terkontrolnya asma.
Kuisioner tersebut seperti Asthma Control Test (ACT), dan Asthma
Theraphy Assesment Questionnaire (ATAQ) (Zaini, 2011).

STIKes Faletehan
22

Menurut Global Strategy For Astma Management and Prevention GINA


Global Initiative for Astha (2011), seorang penyandang asma dikatakan
terkontrol apabila memiliki 6 kriteria: (1) Tidak atau jarang mengalami
gejala asma; (2) Tidak pernah terbangun di malam hari karena asma; (3)
Tidak pernah atau jarang menggunakan obat pelega; (4) Dapat melakukan
aktivitas dan latihan secara normal; (5) Hasil tes fungsi paru-paru normal
atau mendekati normal; (6) Tidak pernah atau jarang mengalami serangan
asma. Seperti tabel dibawah ini:

Tabel. 2.3 Derajat Kontrol Asma


Kriteria Terkontrol Terkontrol Tidak Terkontrol
Penilaian (Semua Sebagian
Penilaian) (Minimal Salah
Satu)
Gejala kurang dari 2 lebih dari dua kali didapatkan tiga
harian/siang kali per minggu perminggu atau
lebih kriteria
terkontrol
sebagian dalam
seminggu
gangguan tidak ada kadang
aktivitas
gejala tidak ada kadang
malam/terbangun
penggunaan obat kurang dari 2 lebih dari dua kali
pelega kali per minggu perminggu
fungsi paru (PFR Normal <80% prediksi atau
atau VEP1) nilai terbaik (jika
diketahui)
Sumber : GINA (2011)

7. Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2011) asma adalah obstruksi jalan napas difus
reversibel. Obstuksi disebabkan oleh salah satu atau lebih dari yang
berikut ini:
a. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan
jalan napas.
b. Pembengkakan membran yang melapisi bronki.
c. Pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot
bronkial dan kelenjar mukosa membesar; sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara

STIKes Faletehan
23

terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari


perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah
keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf otonom.

Beberapa individu dengan asma mengalami respons imuns yang buruk


terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (Ig E) kemudian
menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen
mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan
produk-produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin,
bradikidin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansiyang bereaksi
lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan
mukus yang sangat banyak (Smeltzer, 2011).

Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau
non alergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor
seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah
asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Individu dengan asma dapat
mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis (Smeltzer,
2011).

Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor α-adrenergik dirangsang terjadi
bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-adrenergik yang
dirangsang. Keseimbangan antara α- dan β-adrenergik dikendalikan
terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor-alfa
mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi.
Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang
menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-

STIKes Faletehan
24

adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan


terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan
konstriksi otot polos (Smeltzer, 2011).

8. Diagnosis Asma
Menurut Smeltzer (2011), penegakan diagnosis asma didasarkan pada :
a. Pemeriksaan riwayat kesehatan yang lengkap, termasuk keluarga,
lingkungan, dan riwayat pekerjaan, dapat mengungkapkan faktor-
faktor atau substansi yang mencetuskan serangan asma.
b. Pemeriksaan fisik, dengan penekanan khusus pada saluran
pernapasan bagian atas (hidung, tenggorokan,sinus), paru-paru dan
kulit.
c. Tes fungsi paru dengan spirometri
d. Tes darah untuk penilaian fungsi imun dan alergi
e. Tes radiografi, foto sinar X dan CT scan memberikan informasi
tentang anatomi dan struktur paru-paru dan saluran napas yang lebih
besar. Pada keadaan asma terkendali seharusnya foto sinar X dada
normal, begitu juga gambar pencitraan dada yang dihasilkan CT scan.
Namun selama eksaserbasi, tampilan paru pada sinar X dapat
memperlihatkan apa yang disebut ahliradiologi sebagai hiperinflasi,
dan CT scan mungkin menunjukkan udara yang terkurung. Kedua
temuan ini mencerminkan pengisian dan pengosongan paru yang
tidak merata saat bernapas karena inflamasi dan penyempitan saluran
udara.

9. Pencegahan Asma
Menurut Sundaru (2007), usaha-usaha pencegahan asma antara lain:
menjaga kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan, menghindarkan
faktor pencetus serangan asma dan menggunakan obat-obat antiasma.
Menurut Mangunnegoro (2010), pencegahan berlaku untuk semua
penderita asma meskipun ditekankan kepada penderita yang pernah
mendapat serangan asma berat dan asma kronik di mana gejala asmanya
sering sekali timbul. Pencegahan asma meliputi pencegahan primer yaitu

STIKes Faletehan
25

mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma,


pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk
tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah
mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi klinis asma pada
penderita yang sudah menderita asma.

Menghindari alergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari


sensitisasi atau pencegahan primer. Akan tetapi beberapa studi terakhir
menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin,
tidak mencegah alergi, dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan
kucing dan anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik dari pada
menghindari binatang tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis
hygiene, yang menyatakan hubungan dengan mikrobial sedini mungkin
menurunkan penyakit alergik dikemudian hari (Mangunnegoro, 2010).

Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak


pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3
tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode
prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok
selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi
dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan mengi dalam tahun
pertama kehidupannya. Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan
bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi
alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak
pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi pada
bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di
kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik
periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi
timbulnya gangguan atau penyakit dengan mengi (Mangunnegoro, 2010).

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa pencegahan sekunder dilakukan


untuk mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang

STIKes Faletehan
26

menjadi asma. Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa


menghentikan pajanan alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah
terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah lebih
menghasilkan pengurangan/resolusi total dari gejala darpada jika pajanan
terus berlangsung. Pencegahan tersier dilakukan bagi penderita yang
sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan
oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menhindari pajanan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi atau
obat (Mangunnegoro, 2010).

C. Posisi Semi Fowler

1. Pengertian
Posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian kepala
tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan. Posisi ini untuk mempertahankan
kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernafasan pasien (Aziz, 2008).

Posisi semi fowler adalah posisi yang bertujuan untuk meningkatkan


curah jantung dan ventilasi serta mempermudah eliminasi fekal dan
berkemih, dalam posisi ini tempat tidur ditinggikan 450-600 dan lutut
klien agak diangkat agar tidak ada hambatan sirkulasi pada ekstermitas
(Perry dan Grifin, 2005).

2. Prosedur
Menurut Kozier, (2009) prosedur pemberian posisi semi fowler, yaitu:
a. Posisi klien telentang dengan kepalanya dekat dengan bagian kepala
tempat tidur
b. Elevasi bagian kepala tempat tidur 450-600
c. Letakkan kepala klien di atas Kasur atau di atas bantal yang sangat
kecil
d. Gunakan bantal untuk menyokong lengan dan tangan klien jika klien
tidak dapat mengontrol secara sadar atau menggunakan lengan dan
tangannya

STIKes Faletehan
27

e. Posisikan bantal pada punggung bawah klien


f. Letakkan bantal kecil atau gulungan kain di bawah paha klien
g. Letakkan bantal kecil atau gulungan handuk di bawah mata kaki

STIKes Faletehan
28

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Studi Kasus

Penelitian studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah


keperawatan dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang
mendalam dan menyertakan sumber informasi. Penelitian studi kasus ini
adalah studi untuk mengeksplorasi pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada
pasien asma dengan pola nafas tidak efektif melalui intervensi pemberian
posisi semi fowler.

B. Subyek Studi Kasus

Subyek penelitian pada studi kasus ini adalah pasien asama dengan masalah
pola nafas tidak efektif. Kriteria subyek sudi kasus ini adalah:

1. Kriteria Inklusi
a. Pasien asma dengan masalah pola nafas tidak efektif
b. Dapat berkomunikasi dengan baik
c. Kesadaran compos mentis
d. Bersedia menjadi subyek studi kasus
2. Kriteria Eksklusi
a. Terjadi perubahan diagnosis medis
b. Terdapat komplikasi
c. Pasien kehilangan kesadaran

C. Fokus Studi Kasus

Fokus pada studi kasus ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi
pemberian posisi semi fowler pada pasien asma dengan masalah pola nafas
tidak efektif.

STIKes Faletehan
28
29

D. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjelasan yang berdasarkan kenyataan atau
penjelasan di lapangan yang meliputi penjelasan tentang studi kasus yang
dilakukan.

1. Intervensi posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian
kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan 450-600 dan lutut klien agak
diangkat agar tidak ada hambatan sirkulasi pada ekstermitas.
2. Asma adalah proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan
saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan
terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, yang
menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan
manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat, batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh.
3. Pola Nafas Tidak Efektif adalah keadaan dimana ventilasi atau pertukaran
udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat, yang dapat diukur dari
RR

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Studi kasus dilakukan di Puskesmas Cipocok pada bulan April 2019.

F. Instrumen Studi Kasus

Dalam studi kasus ini penulis menggunakan metode wawancara, observasi dan
pemeriksaan fisik ataupun melalui pembicaraan informal lainnya. Alat yang
digunakan yaitu format pengkajian asuhan keperawatan, daftar tilik, nursing
kit.

G. Pengumpulan Data

Langkah-langkah pengumpulan data dalam studi kasus ini adalah sebagai


berikut:

STIKes Faletehan
30

1. Wawancara dengan subyek penelitian dan keluarga, dengan tujuan


mendapatkan data tentang identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit keluarga.
2. Observasi dan pemeriksaan fisik pada subyek penelitian.
3. Studi dokumentasi, yaitu melihat hasil rekam medis terakhir subyek
penelitian.

H. Analisa dan Penyajian Data

Analisa data dilakukan sejak penulis melakukan studi kasus di lapangan.


Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, analisa data dilakukan dengan
cara mengemukakan fakta yang ditemui saat studi kasus dan membandingkan
dengan teori yang ada, yang selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan.
Teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan hasil studi kasus
yang dilakukan sesuai dengan tujuan studi kasus yang dilakukan. Penyajian
data dilakukan dengan tabel, gambar dan teks naratif.

I. Etika Studi Kasus

1. Informed Consent (informasi untuk responden atau subyek studi


kasus)
Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan
subyek studi kasus, yaitu dengan memberikan penjelasan tentang maksud
dan tujuan studi kasus, yang dilakukan dan meminta persetujuan
responden dengan cara memberikan lembar informed consent untuk
ditandatangani responden.

2. Anonimity (tanpa nama)


Merupakan usaha untuk menjaga kerahasiaan tentang data-data yang
berkaitan dengan responden. Pada aspek ini peneliti tidak mencantumkan
nama responden dan hanya diberikan kode atau nomor responden.

STIKes Faletehan
31

3. Confidentiality (kerahasiaaan informasi)


Semua informasi dan data yang telah dikumpulkan dalam studi kasus
dijamin kerahasiaannya oleh peneliti. Pada aspek ini, data yang sudah
terkumpul dari responden benar-benar bersifat rahasia.

STIKes Faletehan

Vous aimerez peut-être aussi