Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit asma menjadi masalah yang sangat dekat dengan masyarakat karena
jumlah populasi yang menderita asma semakin bertambah. Hal tersebut
dinyatakan dalam survey The Global Initiative for Asthma (GINA),
ditemukan bahwa kasus asma diseluruh dunia mencapai 300 juta jiwa dan
diprediksi pada tahun 2025 pasien asma bertambah menjadi 400 juta jiwa.
WHO pun mendukung pernyataan tersebut dengan hasil penelitiannya yang
memperkirakan bahwa 235 juta orang saat ini menderita asma. Sebagian
besar asma terkait kematian, hal ini terjadi di negara berpenghasilan rendah
dan menengah kebawah (WHO, 2011).
1
STIKes Faletehan
2
STIKes Faletehan
3
Pemberian posisi semi fowler telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk
membantu mengurangi sesak napas. Keefektifan dari tindakan tersebut dapat
dilihat dari Respiratory Rates yang menunjukkan angka normal yaitu 16-24x
per menit pada usia dewasa. Pelaksanaan asuhan keperawatan dalam
pemberian posisi semi fowler itu sendiri dengan menggunakan tempat tidur
orthopedik dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah
punggung, sehingga dapat memberi kenyamanan saat tidur dan dapat
mengurangi kondisi sesak nafas pada pasien asma saat terjadi serangan (Ruth,
2002).
Menurut Ardiansyah (2012), saat terjadi sesak nafas biasanya klien tidak dapat
tidur dalam posisi berbaring, melainkan harus dalam posisi duduk atau
setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan nafas dan memenuhi O2
dalam darah. Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit
kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan
dengan derajat kemiringan 450, yaitu dengan menggunakan gaya grafitasi
untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen
ke diafragma.
STIKes Faletehan
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan diatas, maka perumusan
masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh intervensi pemberian
posisi semi fowler pada pasien asma untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi
(pola nafas tidak efektif) di Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang Tahun 2019?.”
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien asma dengan
masalah ketidakefektifan pola nafas.
b. Mampu menegakkan Diagnosa keperawatan pada pasien asma dengan
masalah ketidakefektifan pola nafas.
c. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada pasien asma dengan
masalah ketidakefektifan pola nafas.
d. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien asma
dengan masalah ketidakefektifan pola nafas.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien asma dengan
masalah ketidakefektifan pola nafas.
1. Bagi Masyarakat
Hasil karya tulis ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah
ketidakefektifan pola nafas dengan pemberian posisi semi fowler.
STIKes Faletehan
5
3. Bagi Penulis
Menambah wawasan penulis dalam memberikan asuhan keperawatan
masalah pola nafas tidak efektif dengan intervensi pemberian posisi semi
fowler.
STIKes Faletehan
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan pola nafas tidak efektif pada pasien asma
adalah sebagai berikut:
a. Anamnesa
Anamnesa adalah metode pengumpulan data yang digunakan sebagai
informasi tentang pasien. Data yang dibutuhkan mencakup data
tentang biopsikososial dan spiritual dari pasien. Data yang
berhubungan dengan masalah pasien serta data tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi atau yang berhubungan dengan pasien, seperti
data tentang keluarga dan lingkungan yang ada.
6 STIKes Faletehan
7
b. Pengkajian Primer
1) Airway
Biasanya jalan nafas bersih, sekret tidak ada
2) Breathing
Biasanya RR lebih dari normal
3) Circulation
Biasanya TD dibawah 120/80 mmHg, nadi melemah, CRT > 2
detik, akral dingin, pucat akhirnya bisa takikardi, penurunan
saturasi
4) Disability
Biasanya kesadaran pasien compos mentis, GCS 13-15
5) Eksposure
Biasanya tidak terdapat trauma dan luka pada anggota tubuh
6) Fahrenheit
Biasanya suhu tubuh meningkat > 370C
STIKes Faletehan
8
c. Pengkajian Sekunder
1) Pemeriksaan skunder menurut SAMPLE
a) Sign and symptom (tanda dan gejala)
Pengkajian berdasarkan tanda dan gejala pada pasien asma
adalah peningkatan vena juguralis, edema paru akut,
dispnea, takikardi, hipertensi, dan edema ektermitas.
b) Allergi (riwayat alergi)
Pengkajian berdasarkan riwayat alergi pada pasien asma,
apakah ada alergi pada obat-obatan atau lainnya.
c) Medication
Pengkajian berdasar riwayat pengobatan pada klien meliputi
obat-obatan, seperti dopamine dan dobutamin.
d) Past illness (riwayat penyakit yang diderita)
Berdasarkan pengkajian riwayat penyakit yang diderita pada
klien asma apakah terdapat penyakit selain asma.
e) Last meal
Pengkajian makanan atau minuman terakhir pada pasien
asma, biasanya terjadi pola makan dan minum tidak sehat
seperti makanan berkalori tinggi dan minuman soda atau
minuman keras.
d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah proses inspeksi tubuh dan sistem untuk
menentukan ada atau tidaknya penyakit yang didasarkan pada hasil
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pemeriksaan fisik berfokus pada
respon kien terhadap masalah kesehatan yang dialaminya. Cara
pendekatan yang sistematis yang dapat digunakan perawat dalam
melakukan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan dari ujung rambut
sampai ujung kaki (head to toe) dan pendekatan berdasarkan sistem
tubuh (review of system). Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan empat metode, yaitu : inspeksi (dengan melihat).
auskultasi (dengan mendengarkan, perkusi (dengan mengetuk bagian
STIKes Faletehan
9
e. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang adalah suatu pemeriksaan medis yang
dilakukan atas indikasi medis tertentu guna memperoleh keterangan-
keterangan yang lebih lengkap. Tujuan pemeriksaan ini untuk
menegakkan suatu diagnosis tertentu.
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya
(1) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan
degranulasi dari kristal eosinopil.
(2) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel
cetakan) dari cabang bronkus.
(3) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
(4) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum,
umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi
dan kadang terdapat mucus plug.
b) Pemeriksaan darah
(1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan
tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau
asidosis.
(2) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan
LDH.
(3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu
infeksi.
(4) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi
peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan
menurun pada waktu bebas dari serangan.
STIKes Faletehan
10
2) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal.
Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi
pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang
menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
(1) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di
hilus akan bertambah.
(2) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka
gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
(3) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran
infiltrate pada paru
(4) Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
(5) Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk
gambaran radiolusen pada paru-paru.
b) Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada
asma.
c) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan
dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan
gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
(1) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi
right axis deviasi dan clock wise rotation.
(2) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
STIKes Faletehan
11
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual maupun potensial (SDKI, 2016).
STIKes Faletehan
12
d. Nasal flaring
e. Dyspnea
f. Orthopnea
g. Perubahan penyimpangan dada
h. Nafas pendek
i. Assumption of 3-point position
j. Pernafasan pursed-lip
k. Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama
l. Peningkatan diameter anterior-posterior
m. Pernafasan rata-rata/minimal
n. Usia 5-14 : < 14 atau > 25
o. Usia > 14 : < 11 atau > 24
p. Kedalaman pernafasan
q. Timing rasio
r. Penurunan kapasitas vital
3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan adalah teori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang
berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dari intervensi
keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Selama perencanaan,
dibuat prioritas. Selain berkolaborasi dengan klien dan keluarganya,
perawat berkonsul dengan anggota tim perawat kesehatan lainnya,
menelaah literatur yang berkaitan memodifikasi asuhan, dan mencatat
informasi yang relevan tentang kebutuhan perawat kesehatan klien dan
penatalaksanaan klinik (Poter & Perry, 2010).
STIKes Faletehan
13
Tabel 2.1
Perencanaan Asuhan Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut,
hidung dan secret
trakea
2. Pertahankan jalan
nafas yang paten
3. Atur peralatan
oksigenasi
4. Monitor aliran
STIKes Faletehan
14
oksigen
5. Pertahankan posisi
pasien
6. Onservasi adanya
tanda tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
STIKes Faletehan
15
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana
keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan, untuk membantu
mencapai tujuan yang ditetapkan. Implementasi tindakan keperawatan
dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu : independent (suatu kegiatan yang
dilakukan perawat tanpa petunjuk dari dokter atau tenaga kesehatan
lainnya), interdependent (suatu kegiatan yang memerlukan kerjasama
dari tenaga kesehatan lainnya), dan dependen (berhubungan dengan
pelaksanaan rencana tindakan medis atau instruksi dari tenaga medis)
(Asmadi, 2008).
Menurut Ardiansyah (2012) posisi yang paling efektif bagi klien dengan
penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dimana kepala dan
tubuh dinaikkan dengan derajat kemiringan 450, yaitu dengan
menggunakan gaya grafitasi untuk membantu pengembangan paru dan
mengurangi tekanan dari abdomen ke diafragma.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat unbtuk menetukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien (Potter & Perry, 2010).
STIKes Faletehan
16
B. Asma
1. Definisi Asma
Kata “asthma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernapas”
(Sundaru, 2007). Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik
saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses
inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi
hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema
dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di
saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama
malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya
inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara
spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).
STIKes Faletehan
17
2. Jenis-jenis Asma
Asma sering dicirikan sebagai alergi, idiopatik atau nonalergi atau
gabungan.
a. Asma alergi disebabkan oleh alergen misalnya serbuk sari, binatang,
amarah, makanan, dan jamur. Pemajanan terhadap alergen
mencetuskan serangan asma.
b. Asma idiopatik atau nonalergi tidak berhubungan tidak berhubungan
dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi
traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, sepert aspirin
dan agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis
beta-adrenergik, dan agen sulfit (pengawet makanan), juga mungkin
menjadi faktor. Serangan asma idiopatik menjadi lebih berat dan
sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkitis kronis dan emfisema.
c. Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini
mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun nonalergi
(Smeltzer, 2011).
3. Etiologi
Sebenarnya telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli di
bidang asma untuk menerangkan sebab terjadinya asma, namun belum
satupun teori atau hipotesis yang dapat diterima atau disepakati semua
ahli. Meskipun demikian ada beberapa hal yang dapat disebut sebagai
penyebabnya antara lain kepekaan saluran napas yang berlebihan dan
peranan faktor keturunan dan lingkungan. Saluran napas penderita asma
memiliki sifat yang khas yaitu, sangat peka terhadap berbagai rangsangan
(bronchial hyperreactivity = hiperaktivitas saluran napas = kepekaan
saluran napas yang berlebihan). Asap rokok, tekanan jiwa, alergen pada
orang normal tidak menimbulkan asma, tetapi pada penderita asma
rangsangan tadi dapat menimbulkan serangan (Smeltzer, 2011).
STIKes Faletehan
18
4. Manifestasi Klinis
Asma dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari yang ringan
sampai yang parah. Gejala-gejala asma mungkin berbeda pada setiap
orang dan mungkin berbeda pada orang yang sama dari waktu ke waktu.
Gejala asma biasanya episodik, gejala dapat datang dan pergi, dan tidak
harus ada terus menerus. Gejala klasik asma ada tiga yaitu mengi, batuk,
dan sensasi napas tak normal atau dispnea. Gejala-gejala asma yang
terjadi adalah variasi dari tiga gejala besar di atas (Smeltzer, 2011).
Tanda dan gejala serius asma menurut Smeltzer (2011) antara lain:
a. Tanda sesak napas dimana penderita sulit untuk berbicara dalam
kalimat yang penuh, sulit berjalan, dada terasa sesak, dan mudah
letih.
b. Bernapas dengan berusaha, bahu naik dengan bernapas, leher dan
tulang rusuk bergerak ke dalam dengan bernapas, cepat, pernapasan
tidak nyaman,batuk, siang dan/ malam hari, mengi.
c. Pikiran berubah-ubah, penderita sulit berpikir dengan jelas, bingung,
kehilangan kewaspadaan.
d. Oksigen yang rendah, yang membuat bibir abu-abu atau biru, jari
telunjuk biru atau abu-abu.
e. Nilai PEF (Arus puncak respirasi) rendah, PEF <60% terbaik
STIKes Faletehan
19
personal.
f. Obat-obatan “tidak bekerja” PEF gagal naik setelah menggunakan
obat yang bekerja untuk melegakan pernapasan, dan gejala berlanjut.
5. Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka
panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat
penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum
pengobatan dimulai (Depkes, 2009).
STIKes Faletehan
20
Tabel 2.1.
Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum
Pengobatan)
STIKes Faletehan
21
Tabel 2.2.
Klasifikasi Derajat Berat Asma pada Pasien dalam Pengobatan
STIKes Faletehan
22
7. Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2011) asma adalah obstruksi jalan napas difus
reversibel. Obstuksi disebabkan oleh salah satu atau lebih dari yang
berikut ini:
a. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan
jalan napas.
b. Pembengkakan membran yang melapisi bronki.
c. Pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot
bronkial dan kelenjar mukosa membesar; sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara
STIKes Faletehan
23
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau
non alergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor
seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah
asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Individu dengan asma dapat
mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis (Smeltzer,
2011).
Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor α-adrenergik dirangsang terjadi
bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-adrenergik yang
dirangsang. Keseimbangan antara α- dan β-adrenergik dikendalikan
terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor-alfa
mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan
mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi.
Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang
menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-
STIKes Faletehan
24
8. Diagnosis Asma
Menurut Smeltzer (2011), penegakan diagnosis asma didasarkan pada :
a. Pemeriksaan riwayat kesehatan yang lengkap, termasuk keluarga,
lingkungan, dan riwayat pekerjaan, dapat mengungkapkan faktor-
faktor atau substansi yang mencetuskan serangan asma.
b. Pemeriksaan fisik, dengan penekanan khusus pada saluran
pernapasan bagian atas (hidung, tenggorokan,sinus), paru-paru dan
kulit.
c. Tes fungsi paru dengan spirometri
d. Tes darah untuk penilaian fungsi imun dan alergi
e. Tes radiografi, foto sinar X dan CT scan memberikan informasi
tentang anatomi dan struktur paru-paru dan saluran napas yang lebih
besar. Pada keadaan asma terkendali seharusnya foto sinar X dada
normal, begitu juga gambar pencitraan dada yang dihasilkan CT scan.
Namun selama eksaserbasi, tampilan paru pada sinar X dapat
memperlihatkan apa yang disebut ahliradiologi sebagai hiperinflasi,
dan CT scan mungkin menunjukkan udara yang terkurung. Kedua
temuan ini mencerminkan pengisian dan pengosongan paru yang
tidak merata saat bernapas karena inflamasi dan penyempitan saluran
udara.
9. Pencegahan Asma
Menurut Sundaru (2007), usaha-usaha pencegahan asma antara lain:
menjaga kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan, menghindarkan
faktor pencetus serangan asma dan menggunakan obat-obat antiasma.
Menurut Mangunnegoro (2010), pencegahan berlaku untuk semua
penderita asma meskipun ditekankan kepada penderita yang pernah
mendapat serangan asma berat dan asma kronik di mana gejala asmanya
sering sekali timbul. Pencegahan asma meliputi pencegahan primer yaitu
STIKes Faletehan
25
STIKes Faletehan
26
1. Pengertian
Posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian kepala
tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan. Posisi ini untuk mempertahankan
kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernafasan pasien (Aziz, 2008).
2. Prosedur
Menurut Kozier, (2009) prosedur pemberian posisi semi fowler, yaitu:
a. Posisi klien telentang dengan kepalanya dekat dengan bagian kepala
tempat tidur
b. Elevasi bagian kepala tempat tidur 450-600
c. Letakkan kepala klien di atas Kasur atau di atas bantal yang sangat
kecil
d. Gunakan bantal untuk menyokong lengan dan tangan klien jika klien
tidak dapat mengontrol secara sadar atau menggunakan lengan dan
tangannya
STIKes Faletehan
27
STIKes Faletehan
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Subyek penelitian pada studi kasus ini adalah pasien asama dengan masalah
pola nafas tidak efektif. Kriteria subyek sudi kasus ini adalah:
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien asma dengan masalah pola nafas tidak efektif
b. Dapat berkomunikasi dengan baik
c. Kesadaran compos mentis
d. Bersedia menjadi subyek studi kasus
2. Kriteria Eksklusi
a. Terjadi perubahan diagnosis medis
b. Terdapat komplikasi
c. Pasien kehilangan kesadaran
Fokus pada studi kasus ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi
pemberian posisi semi fowler pada pasien asma dengan masalah pola nafas
tidak efektif.
STIKes Faletehan
28
29
D. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjelasan yang berdasarkan kenyataan atau
penjelasan di lapangan yang meliputi penjelasan tentang studi kasus yang
dilakukan.
1. Intervensi posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian
kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikan 450-600 dan lutut klien agak
diangkat agar tidak ada hambatan sirkulasi pada ekstermitas.
2. Asma adalah proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan
saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan
terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, yang
menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan
manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat, batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh.
3. Pola Nafas Tidak Efektif adalah keadaan dimana ventilasi atau pertukaran
udara inspirasi dan atau ekspirasi tidak adekuat, yang dapat diukur dari
RR
Dalam studi kasus ini penulis menggunakan metode wawancara, observasi dan
pemeriksaan fisik ataupun melalui pembicaraan informal lainnya. Alat yang
digunakan yaitu format pengkajian asuhan keperawatan, daftar tilik, nursing
kit.
G. Pengumpulan Data
STIKes Faletehan
30
STIKes Faletehan
31
STIKes Faletehan