Vous êtes sur la page 1sur 11

ASMA PADA PASIEN PELAYANAN PRIMER THT DENGAN

RHINOSINUSITIS KRONIK DAN POLIP NASAL

ABSTRAK
Latar belakang : rinosinusitis kronik dengan polip nasal (CRSwNP) adalah
gangguan imflamasi tersering terkait asma. Hubungan ini dijelaskan dengan baik
pada pasien CRSwNP yang menjalani operasi sinus endoskopi (ESS); meskipun
begitu, beberapa pasien tidak pernah dirujuk untuk dilakukan pembedahan, dan
frekuensi asma pada kelompok pasien ini sebagian besarnya tidak diketahui.
Objektif : untuk menentukan frekuensi asma pada pasien dengan CRSwNP yang
diobati di pelayanan primer (PC/primary care) yang juga tidak pernah dirujuk untuk
dilakukan operasi serta membandingkannya pada pasien sudah yang menjalani
ESS.
Metode : sebanyak 57 pasien dengan CRSwNP yang menjalani operasi ESS secara
prospektif direkrut dari 9 klinik PC THT di daerah copenhagen. CRSwNP
didiagnosis berdasarkan Europian position paper on chronic rhinosinusitis and
nasal polyps; tingkat keparahannya dinilai menggunakan skala VAS. Alergi, fungsi
paru, dan uji asma (reversibilitas terhadap agonis beta 2, variabilitas aliran ekspirasi
puncak /peak expiratory flow, dan tantangan manitol) yang juga turut dilakukan.
Temuan kemudian dibandingkan dengan data pasien CRSwNP sebelumnya yang
mana pasien tersebut kemudian dirujuk untuk operasi.
Hasil : asma didiagnosis pada 25 pasien (44%) berdasakan gejala respirasi dan uji
asma yang positif. Dari semua ini, 12 (48%) tidak didiagnosis asma sebelum
penelitian ini dilaksanakan. Selain itu, ketika kami menggunakan metode yang
sama, kami menemukan rendahnya frekuensi asma pada pasien di PC dibandingkan
dengan pasien yang menjalani ESS (44% vs 65%, P=0,04)
Kesimpulan : prevalensi yang tinggi dari asma pada pasien di PC dengan CRSwNP
telah ditemukan. Yang lebih sering, asma tersebut malah tidak terdiagnosis
sebelumnya. meskipun begitu, jumlah asma tetap lebih sedikit pada pasien PC
dibandingkan dengan pasien yang dirujuk untuk dilakukan operasi ESS. Frekuensi
kekerapan asma, misalnya, penyakit saluran nafas yang kompleks (united airway
disease), pada pasien PC dengan penanganan yang memerlukan diskusi antara
dokter spesialis THT dan dokter spesialis ASMA.

PENDAHULUAN
Rhinosinusitis kronik dengan polip nasal (CRSwNP) adalah penyakit kronik
tersering pada kalangan orang dewasa, dengan frekuensi 2-4%. Didefinisikan
sebagai penyakit imflamasi dari mukosa nasal dan sinus yang sebabkan
berbagai derajat obstruksi nasalis, sekresi, hilangnya fungsi penciuman dan
sakit kepala selama lebih dari 12 minggu. Telah diterima secara umum bahwa
gangguan saluran nafas atas dan bawah sering kali terjadi secara bersamaan
baik pada gangguan saluran nafas alergi dan non alergi, sebuah konsep yang
dikenal sebagai “the united airway”. Hasil dari berbagai penelitian ini
menunjukkan tingginya prevalensi asma (20-90%) pada pasien dengan CRSwNP.
Meskipun begitu, kebanyakan penelitian saat ini diambil dari pelayanan kesehatan
sekunder, misalnya rumah sakit, dan utamanya terdiri dari pasien yang dirujuk
untuk dilakukan ESS (endoscopic sinus surgery). Selain itu, hanya sebagian kecil
penelitian saja yang menggunakan evaluasi asma secara komprehensif dan
terstandarisasi sesuai dengan kriteria internasional, beberapa studi lain hanya
memasukkan kelompok pasien terpilih (misalnya dari klinik alergi), sedangkan
penelitian lain tidak membedakan antara CRSwNP dengan rinosinusitis kronik
tanpa polip nasal. Akibatnya, prevalensi asma pada pasien dengan CRSwNP
yang tidak pernah dirujuk untuk tindakan ESS sebagian besar masih belum
diketahui. Prevalensi asma di Denmark adalah sekitar 7-10% pada populasi umum,
hasil yang cenderung sama dengan negara industrial lainnya. Kami baru baru ini
meneliti pasien di pusat pelayanan kesehatan sekunder (SC) dengan CRSwNP yang
dirujuk untuk dilakukan ESS dan melaporkan tingginya prevalensi asma (65%)
pada kelompok pasien ini. Meskipun begitu, hubungan antara keparahan penyakit
nasal dengan prevalensi asma tampak disini. Oleh karena itu, tingginya frekuensi
asma dapat dihipotesiskan/diperkirakan pada pasien di tingkat pelayanan
sekunder/SC, dan hal ini dapat sebabkan bias seleksi pada sebagian besar penelitian
sebelumnya yang fokus pada frekuensi asma pada pasien yang alami CRSwNP,
termasuk pada penelitian kami sebelumnya.
Di Denmark sendiri, sebagian besar pasien dengan CRSwNP ditatalaksana di klinik
THT PC dan ditangani oleh spesialis THT. Terdapat sekitar 150 klinik THT di
denmark, yang populasinya mencapai 5.6 juta. Berbagai klinik ini melayani sama
seperti klinik PC dan memberikan akses yang bebas dan langsung; meskipun
begitu, tindakan ESS dimana pasien diberikan anestesi umum tidak secara normal
ditrawarkan ke pasien. Sebagai gantinya, pasien CRSwNP yang tidak patuh terapi
akan dirujuk untuk dilakukan ESS di unit pelayanan kesehatan sekunder di bidang
THT. Pada penelitian ini, kami memeriksa Pasien dari sektor PC yang tidak pernah
dirujuk untuk tindakan ESS dan membandingkan hasil datanya dengan data yang
kami terbitkan sebelumnya pada pasien SC dari area geografi yang sama,
menggunakan kriteria dan metode yang sama. Berdasarkan pengetahuan kami, studi
ini adalah yang pertama menggunakan evaluasi klinik standar untuk menilai
hubungan antara gangguan pernafasan atas dan bawah (united airway) pada
pasien dengan CRSwNP di PC yang tidak pernah dirujuk untuk tindakan
ESS.

METODE
Penelitian ini berjenis prospektif observasional. Kualifikasi pasien direkrut secara
berurutan dari sembilan pusat klinik THT PC di wilayah ibukota Denmark
mulai dari desember 2013 hingga desember 2014. Semua peserta yang tinggal di
area kopenhagen dan diobati dengan steroid nasal topikal berdasarkan Europian
position paper on chronic rhinosinusitis and nasal polyps. Pasien ditawari untuk
ikut serta dalam penelitian ini berdasarkan riwayat klinis dan objektif yang
ditemukan pada pasien. Sebelum inklusi, endoskopi nasal dilakukan oleh spesialis
THT. Kriteria inklusi pada pasien antara lain :
- Usia 18-80 tahun
- Yang memenuhi kriteria Europian position paper on chronic
rhinosinusitis and nasal polyps
Kriteria eklusinya antara lain :
- Sebelumnya pernah menjalani ESS atau sudah direncanakan untuk
menjalani ESS
- Imunodefisiensi
- Fibrosis kistik atau diskinesia siliaris primer
- Kebutuhan akan penerjemah linguistik
- Penggunaan steroid sistemik dalam kurun waktu 3 bulan sebelumnya
- Infeksi saluran nafas atas dalam kurun waktu 2 bulan sebelumnya
- Bukan keturunan kulit putih
- Hamil
- Sedang dirawat
Asma dan uji alergi dilakukan selama dua kunjungan. Skin prick test, spirometri,
dan uji reversibilitas agonis beta dua dilakukan saat kunjungan pertama kali.
Dan saat kunjungan kedua, 2 minggu setelahnya, uji tantangan manitol
dilakukan serta dilakukan juga pemeriksaan peak expiratory flow. Studi ini
dilakukan dan sudah sesuai deklarasi helsinski, telah disetujui oleh komite etik dari
wilayah ibukota kopenhagen.

DIAGNOSIS ASMA
Pemeriksaan fungsi paru dilakukan Departemen penelitian kedokteran penafasan,
rumah sakit univeristas Bispebjerg, Copenhagen, oleh penulis pertama (M.F).
penyakit paru paru didiagnosis oleh dokter spesialis paru senior (V.B) dengan
pengalaman yang sudah luas mengenai diagnosis asma secara klinis dan PPOK.
Setelah dilakukan pemeriksaan, peserta penelitian diberikan kuisioner. Asma
didiagnosis berdasarkan Global Initiative for Asthma Guideline apabila ditemukan
adanya gejala pada saluran pernafasan dengan pemeriksan asma positif, misalnya,
reversibilitas terhadap agonis beta 2, variasi hari ke hari dari aliran ekspirasi puncak
(PEF/peak expiratory flow), atau hiperesponsifitas terhadap manitol yang
diinhalasi.

KUISIONER
Peserta menyelesaikan kuisioner berdasarkan riwayat medis, kesehatan secara
umum, gejala nasal dan pulmo, tinggi badan, berat badan, sensitifitas terhadap
NSAID, dan penggunaan obat obatan. Gejala nasal dievaluasi menggunakan
skala visual analog (VAS).
PENILAIAN OBJEKTIF TERHADAP ASMA DAN ALERGI
Pasien diintruksikan untuk tidak menggunakan agonis beta dua atau antihistamin
pada hari pemeriksaan, penggunaan kortikosteroid inhalasi tetap diizinkan.
Peak Flow dan Spirometri. Fungsi paru dinilai menggunakan spirometri
sebelum dan sesudah inhalasi 4 hisapan 0.5 mg terbutalin sulfate. Uji
reversibilitas yang positif didefinisikan sebagai 200 ml dan >12% peningkatan
forced expiratory volume/volume ekspirai paksa dalam 1 detik (FEV1) setelah
penggunaan beta agonis. Peak expiratory flow/aliran ekspirasi puncak/ dinilai
di rumah menggunakan peak flow meter mekanik dua kali sehari selama 14
hari berturut turut. Variasi Secara signifikan dari hari ke hari didefinisikan
setidaknya 100 L/menit.
Tantangan bronkial. Uji tantangan bronkial dengan mannitol bubuk kering
dilakukan. FEV1 dinilai 60 detik setelah masing masing dosis; penurunan pada
FEV1 setidaknya 15% setelah inhalasi manitol sebanyak 635 mg atau kurang
dianggap sebagai respon tantangan yang positif.
Alergi : tes skin-prick dilakukan dengan memaparkan sebanyak 10 macam
alergen yang dianggap sebagai kontrol positif dan negatif berdasarkan rekomendasi
internasional. Allergen tersebut terdiri dari : pollen, rumput, mugwort, kuda,
kucing, anjing, dermatophagoides pteronyssinus dan dermatophagoides farinae,
alternaria, dan cladosporium herbarum. Semua ujia skin prick dilakukan dan
interpretasikan oleh penulis pertama (M.F). diameter bengkak/kemerahan yang
terjadi apabila >3 mm dianggap positif. Atopi didefinisikan sebagai uji skin prick
positif terhadap 10 alergen dengan uji kulit positif terhadap histamin. Diagnosis
penyakit saluran nafas akibat aspirin didasarkan pada riwayat gejala dari hidung,
paru, atau kulit ketika terpapar obat NSAID.

STATISTIK
Paket statistik (IBM, Chicago, IL) digunakan. Untuk variabel kategori, kami
menggunakan uji Pearson X2 atau uji Fisher, tergantung pada jumlah sel minimum
dalam tabel kontingensi. Kami menggunakan uji-t Student untuk data berdistribusi
normal, uji Mann Whitney U untuk data nonparametrik, dan uji Shapiro-Wilk untuk
menilai distribusi data secara normal. Data yang hilang pada paket-tahun (n=3), tes
reversibilitas (n=3), VAS (n=9), dan variasi aliran ekspirasi puncak (n=9). Nilai p
0,05 dianggap signifikan secara statistik.

HASIL
Lima puluh tujuh pasien turut berpartisipasi; 25 (44%)nya menderita asma
dan 4 (7%) menderita PPOK. Karakteristik kelompok dan parameter fungsi paru-
paru untuk pasien PC disajikan pada Tabel 1. Dalam Tabel 2 dan 3, karakteristik
kelompok dan prevalensi penyakit saluran nafas bagian bawah dibandingkan
dengan data yang diterbitkan sebelumnya dari pasien di kelompok SC.
Tabel 1. Rata rata kelompok pasien PC

PENYAKIT SALURAN NAFAS BAWAH


Dua puluh sembilan pasien PC melaporkan adanya asma atau memiliki gejala yang
menunjukkan asma. Asma dikonfirmasi pada 25 dari keseluruhan peserta
penelitian (44% dari pasien yang dimasukkan pada penelitian), dan 12 dari
keseluruhan peserta (48%) memiliki asma yang tidak terdiagnosis sebelum
penelitian (Tabel 2). Terlepas dari variasi aliran puncak dan prevalensi
hiperresponsif terhadap manitol, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
fungsi paru-paru antara pasien dengan asma dan pasien tanpa asma (Tabel
1). PPOK didiagnosis pada empat pasien (7%), sedangkan penyakit pernapasan
yang dieksaserbasi aspirin (yaitu, Samter triad) ditemukan pada tiga peserta
penelitian (5%). Dibandingkan dengan laporan data sebelumnya pada pasien SC,
tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan pada usia, jenis kelamin, PPOK,
atopi (tabel 2), atau frekuensi asma yang dilaporkan sendiri. Prevalensi penyakit
saluran nafas bawah pada kelompok PC adalah 51% dan secara signifikan
lebih rendah dari pada kelompok SC (73%, P=0,03) tabel 3. Juga asma
ditemukan dengan prevalensi yang secara signifikan lebih rendah pada
kelompok PC (44% vs 65%, P=0,04) tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik kelompok. Pasien di PC dan pasien di SC

Tabel 3. Penyakit saluran nafas bawah pada pasien CRSwNP di kelompok


PC dan SC

ATOPI
Atopi ditemukan pada 18 pasien PC (32%) dan tidak berhubungan secara
signifikan dengan asma yang terjadi secara bersamaan (P=0,15) begitu juga dengan
sensititasi terhadap alergen spesifik. Dibandingkan dengan pasien PC, tidak ada
perbedaan yang signifikan pada prevalensi atopi (P=0.56) tabel 2.
VAS
Skoring VAS rata ratanya adalah 4.9 pada kelompok PC dan secara signifikan
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok SC (7.6, P<0,01). Skoring VAS
tidak berkaitan degnan asma yang ada pada kelompok PC (P=0,17) begitu juga
ketika mengumpulkan pasien baik pada kelompok PC dan SC (p=0,28).

BMI DAN OBESITAS


BMI (berat badan (kg)/tinggi badan2(m)) tidak berhubungan dengan asma pada
kelompok PC (P=0,40) tabel 1 begitu juga tidak ada perbedaan pada BMI dan
obesitas (didefinisikan sebagai BMI ≥30) antara pasien PC dan pasien SC (P=0.91;
tabel 2, P=1.0). obesitas ditemukan pada 10% pasien PC dan tidak
berhubungan secara signifikan terhadap asma (P=0,29).

DISKUSI
Penelitian ini, berdasarkan pengetahuan kami, adalah penelitian pertama mengenai
frekuensi asma pada pasien dengan CRSwNP di PC menggunakan kriteria
objektif baik terhadap penyakit saluran nafas atas dan bawah serta evaluasi asma
oleh dokter spesialis paru. Pertama, kami menemukan sekitar 44% pasien PC
memiliki asma dan hampir setengahnya tidak terdiagnosis, yang
mengidikasikan bahwa asma sering kali diabaikan. Kedua, asma secara
signifikan lebih sedikit jumlahnya di PC dibandingkan dengan pasien SC,
yang mengidikasikan bahwa mereka dengan penyakit saluran nafas atas yang
lebih berat akan juga lebih sering alami gangguan saluran pernafasan bagian
bawah. Meskipun begitu, gejala nasal (misalnya, skoring VAS) tidak secara
signifikan berhubungan dengan asma pada pasien PC. Hasil penelitan kami
menunjukkan bahwa, meskipun pasien PC tidak pernah dirujuk untuk ESS,
asma sering terjadi pada kelompok pasien ini, dan kebutuhan akan ESS
mungkin dapat dijadikan prediktor untuk asma. Selain itu, asma yang
dilaporkan sendiri tidak reliabel ketika menilai penyakit saluran nafas pada pasien
dengan CRSwNP karena asma sendiri sering kali tidak terdiagnosis.
Kebanyakan penelitian pada area ini hanya memasukkan pasien di kelompok SC
yang dirujuk untuk ESS. Akibatnya, sedikit sekali informasi yang diketahui
mengenai prevalensi asma pada kelompok besar pasien dengan CRSwNP di
kelompok PC yang tidak pernah menjalani ESS. Beberapa penelitian
menginvestigasi frekuensi asma pada pasien diluar rumah sakit. Pada studi di
skotlandia oleh williamson dan rekan, yang diambil dari klinik rinologi dan
membandingkan 57 pasien non perokok, menemukan jumlah asma sebesar
39% dari seluruh pasien ini, yang senada dengan penelitian kami. Meskipun
begitu, tidak ada kriteria standar asma yang digunakan. Selain itu, 27% pasien
yang turut serta dalam peneltiian sudah pernah menjalani ESS sebelumnya.
Studi berdasarkan kuisioner oleh johansson dan rekan memeriksa frekuensi gejala
asma yang dilaporkan sendiri pada pasien dengan CRSwNP yang direkrut baik dari
luar rumah sakit (32%, n-38) atau pada unit SC (36%, n=44); tidak ada perbedaan
signifikan yang dilaporkan. Berlawanan dengan hal ini, kami menemukan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan pada prevalensi asma antara kelompok SC dan
kelompok PC. Dibandingkan degnan penelitian yang dilakukan oleh Williamson
dan rekan serta Johansson dan rekan, kami menemukan lebih banyaknya
prevalensi asma pada kelompok pasien PC. Meskipun begitu, perbedaan
metodologi pada berbagai penelitian atau studi asma lainnya pada pasien dengan
CRSwNP adalah subtansial; pada penelitian di masa yang akan datang, kriteria
internasional terstandar untuk asma sebaiknya digunakan.
Temuan kami mengindikasikan bahwa, baik pada unit SC maupun PC,
imflamasi saluran nafas bagian bawah lebih sering terjadi pada pasien dengan
CRSwNP dari pada populasi yang melatarbelakanginya. disamping frekuensi
kekerapan asma bersamaan dengan CRSwNP, baik europian position paper on
chronic rhinosinusitis and nasal polups, maupun american academy of
otolaryngology-head and neck surgery tidak ada yang mengembangkan dan
memberikan pedoman tentang terapi khusus untuk pasien yang mengalami
asma bersamaan dengan CRSwNP.
Berbagai hipotesis terkait patofisiologi yang menghubungkan antara imflamasi
saluran nafas bawah dan atas telah diajukan selama ini. Studi terbaru dari kelompok
penelitian kami menemukan bahwa kadar imflamasi pada polip nasal lebih
tinggi secara signifikan dibandingkan pada bronkus beberapa pasien. Temuan
temuan ini mengindikasikan bahwa polip nasal dapat sebabkan imflamasi pada
saluran nafas dari pada fenomena sekunder yang kerap kali terjadi pada
pasien CRSwNP. Bila iya, hal ini mungkin menjelaskan mengapa Pasien di
kelompok SC, yang dimana pada penelitian ini, menunjukkan lebih tingginya
gejala nasal, yang mengidikasikan lebih beratnya imflamasi yang terjadi pada
saluran nafas atas, juga lebih tingginya imflamasi pada saluran nafas bawah,
yakni asma secara bersamaan.
Hasil kami penting karena berbagai alasan, tingginya asma yang tidak
didiagnosis pada kelompok pasien PC dapat dijadikan dorongan untuk segera
mengadakan kolaborasi dalam hal tatalaksana pasien antara ahli THT dengan
dokter spesialis paru,
karena asma yang tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup pasien
pasien ini. Selain itu, penelitian terbaru mengindikasikan bahwa pasien dengan
rinosinusitis kronik bersamaan dengan asma akan lebih sering mengalami
keterlambatan intervensi khususnya operasi, yang mungkin dapat
memperburuk outcome klinis jangka panjang. Oleh karena itu, diagnosis
multidisiplin terbaru dan terapi saluran nafas secara keseluruhan sangatlah
dibutuhkan. Selain itu, studi di masa yang akan datang harus mempertimbangkan
perbedaan penyakit saluran nafas bawah antara pasien PC dan pasien SC karena
hasil dari satu sektor mungkin memiliki validitas yang terbatas pada sektor yang
lain.
Penelitin kami terbatas pada jumlah peserta dan penelitiannya. Sejumlah besar
pasien dan objektifitas data mengenai gangguan pada keparahan gejala nasal
(skoring endoskopi) dapat menjelaskan perbedaan potensial didalam dan antar
kelompok penelitian. Juga, bias seleksi mungkin dapat mempengaruhi hasil studi
kami: pasien dengan CRSwNP dan dengan gejala asma mungkin akan lebih
turut berpartisipasi pada penelitian, yang akan seolah melebihkan
jumlah/frekuensi asma yang tercatat. Barlawanan dengan hal ini, pasien yang
baru saja menjalani evaluasi asma mungkin kurang tertarik untuk berpartisipasi,
yang menyebabkan efek sebaliknya. Juga, kelompok kontrol akan lebih
memvalidasi temuan kami.
KESIMPULAN
Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa asma adalah penyakit yang
sering terjadi dan sering tidak terdiagnosis pada pasien CRSwNP, disamping
sektor pelayanan kesehatan; meskipun begitu, asma lebih sering terjadi pada
pasien yang dipilih dan dirujuk untuk ESS dibandingkan dengan pasien pada
kelompok PC.

Vous aimerez peut-être aussi