Vous êtes sur la page 1sur 78

√ Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan Lengkap)

Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan Lengkap) – Di pembahasan kalian akan
mempelajari mengenai Intervensi. Yang meliputi pengertian, macam-macam dan contoh dari intervensi
dengan penjelasan lengkap dan mudah dipahami.
Daftar Isi [sembunyikan]
 1 Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan Lengkap)
o 1.1 Pengertian Intervensi
o 1.2 Pengertian Intervensi Menurut Para Ahli
 1.2.1 1. J.G. Starke
 1.2.2 2. Black’s Law Dictionary
 1.2.3 3. James Rosenau
o 1.3 Macam-Macam Intervensi
o 1.4 Contoh Tindakan Intervensi
o 1.5 Share this:
o 1.6 Related posts:
Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan Lengkap)
Untuk lebih lengkapnya silakan simak ulasan dibawah ini.
Pengertian Intervensi
Intervensi merupakan salah satu bentuk ikut campur dalam urusan negara lain yang mempunyai sifat
diktatorial. Fungsi dari intervensi yaitu salah satu cara untuk merampungkan sengketa internasional
Pengertian lain dari intervensi yaitu istilah dalam dunia politik yang mana terdapat negara yang
mencampuri urusan negara lainnya yang secara jelas bukan kewenangannya. Atau intervensi dapat juga di
definisikan dengan campur tangan yang berlebihan dalam urusan politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Menjadikan negara yang melakukan itervensi seringkali dibenci negara lain.
Menurut hukum internasional, intervensi dimaknai sebagai suatu bentuk campur tangan negara asing pada
urusan satu negara. Lebih lengkapnya intervensi diartikan sebagai suatu campur tangan negara asing yang
mempunyai sifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan,
ketika keinginannya tidak terpenuhi. Negara yang biasa melakukan intervensi antara lain yakni Amerika
Serikat, Perancis, dan Belanda.
Pengertian Intervensi Menurut Para Ahli
Berikut ini adalah definisi dari intervensi menurut ahlinya.
1. J.G. Starke
Pengertian Intervensi menurut J.G. Starke adalah mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang
dilakukan oleh suatu negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang saudara di
negara lain.
2. Black’s Law Dictionary
Pengertian Intervensi menurut Black’s Law Dictionary adalah one nation’s interference by force, or threat
of force, in another nation’s internal affair or in question arising between other nation.
3. James Rosenau
Pengertian Intervensi menurut James Rosenau, intervensi bisa dibedakan dari instrumen politik luar
negeri lain, dengan cara dua faktor yakni:
 Bahwa intervensi membedakan diri dengan tajam dalam hal cara menyelenggarakan hubungan
antar negara yang konvensional
 Bahwa intervensi secara sadar dilakukan untuk mengakibatkan perubahan politik yang mendasar
di negara yang dijadikan sasaran intervensi.
Macam-Macam Intervensi
Kalevi. J. Holstri, terdapat enam bentuk intervensi antara lain yakni:
1. Intervensi Diplomatik
Intervensi ini seringkali terjadi jika seorang diplomat memberikan komentar kepada atau memihak dalam
suatu krisis atau persoalan politik yang sedang melanda negara tempatnya bertugas.
2. Intervensi Klasik
Bentuk intervensi ini bisa dalam bentuk kegiatan gelap atau misi rahasia. Contohnya intervensi ini dapat
melalui penyuapan atau penyogokan dengan pejabat negara sebagai sasarannya.
3. Pameran kekuatan militer
Yang relatif murah dan mengandung resiko rendah, tetapi justru lebih efektif dibanding pengiriman
ekspedisi militer yang sesunguhnya.
4. Subversi atau Gerilya Bawah Tanah
Subversi merupakan gerakan politk dan militer yang diorganisasikan, ditunjang dan diarahkan oleh suatu
negara asing yang mempunyai tujuan sendiri dengan amat menggunakan situasi dan elemen setempat di
negara sasaran.
5. Gerilya
Gerilya adalah perpaduan antara subversi dengan sistem perang konvensional. Gerilya tidak selalu
merupakan hasil intervensi kekuatan asing tetapi cukup banyak kegiatan gerilya yang merupakan
manifestasi dari intervensi.
6. Intervensi Militer
Intervensi militer ini diwujudkan dalam bentuk pengiriman ekspedisi militer untuk menunjang suatu
pemerintahan yang sedang berkuasa atau membantu suatu kelompok pemberontak.

Menurut J.G. Starke terdapat tiga macam bentuk intervensi yang tidak mengandung karakter diplomatik,
antara lain yakni:
 Intervensi Intern (Internal Intervantion)
Bentuk intervensi ini bisa diulas melalui contoh Negara A yang mencampuri persengketaan antara
pihak-pihak bertikai di Negara B, dengan cara mendukung salah satu pihak baik dari pihak
pemerintah, yang sah dan juga pihak pemberontak.
 Intervensi Ekstern (Eksternal Intervension)
Bentuk intervensi ini dijalankan dengan ikut campur tangan dalam hubungan yang pada umumnya
hubungan permusuhan. contoh intervensi ketika Italia melibatkan diri pada perang dunia kedua
yang berpihak kepada Jerman dan melawan Inggri
Contoh Tindakan Intervensi
Dalam kasus tertentu, suatu negara mempunyai kemampuan untuk menjalankan tindakan secara sah dan
dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Perbuatan intervensi tersebut antara lain seperti:
 Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
 Intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan dan juga keselamatan jiwa warga negara di luar
yang menjadi dasar untuk pemerintah Amerika Serikat yang membenarkan adanya suatu tindakan
dalam bentuk pengiriman tentara multinasional di Pulau Grenada di bulan Oktober 1983.
 Pertahanan diri, ketika intervensi diperlakukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata
yang terlihat jelas.
 Dalam urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya.
 Apabila negara yang menjadi subjek intervensi dipersahkan melakukan pelanggaran berat
terhadap hukum internasional yang berkaitan negara yang melakukan suatu intervensi, sebagai
contoh, apabila negara pelaku intervensi sendiri sudah diintervensi secara melawan hukum.
Adapun contoh tindakan intervensi adalah sebagai berikut:
 Mengirimkan prajurit suatu negara ke negara yang bertikai yang jelas bukan menjadi urusannya.
 Melakukan embargo di suatu negara yang dimusuhi oleh lembaga negara lainnya.
 Melakukan peperangan dengan cara blokade ke negara lainnya, padahal tidak ada sangkut pautnya
sama sekali.

Demikianlah telah dijelaskan tentang Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan
Lengkap), semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian. Terimakasih telah berkunjung dan
jangan lupa untuk membaca artikel lainnya.

Manajemen Kinerja Individu: sudah benarkah penerapannya?


Ada pepatah manajemen yang mengatakan, “What gets measured, gets rewarded, gets done.” Kalimat
tersebut menjadi prinsip yang diterapkan oleh banyak organisasi. Karyawan dalam sebuah perusahaan
diberikan serangkaian tugas dan tanggung jawab yang harus ia kerjakan. Untuk memastikan bahwa tugas
dan tanggung jawab tersebut diselesaikan dengan baik, perusahaan mengenakan suatu bentuk
pengukuran, dan bahkan penghargaan, kepada karyawan tersebut. Inilah yang kemudian dikenal sebagai
manajemen kinerja individu dalam perusahaan.

Manajemen kinerja individu merupakan suatu siklus proses manajemen untuk mengukur kinerja individu
yang bekerja di suatu organisasi. Siklus ini terdiri atas tiga proses utama, yaitu perencanaan kinerja
individu, di mana atasan menyampaikan ekspektasinya kepada karyawan dalam bentuk ukuran dan target
untuk dicapai; pengelolaan kinerja individu, di mana karyawan melakukan tugas dan tanggung jawabnya
dan atasan memantau kinerja karyawan tersebut; dan evaluasi kinerja individu, di mana kinerja karyawan
dievaluasi dan dibandingkan pencapaiannya dengan ukuran dan target yang sudah ditetapkan.

Sekalipun bukan lagi merupakan barang baru dalam perusahaan, bukan berarti tidak ada isu atau kendala
yang ditemui perusahaan ketika mengimplementasikan manajemen kinerja individu. Berikut beberapa isu
yang umumnya terjadi. Pada proses perencanaan, muncul isu ketidakjelasan ukuran kinerja yang
diharapkan. Ketika atasan menyampaikan ekspektasi perusahaan terhadap karyawan, ekspektasi tersebut
seringkali hanya disampaikan secara ambigu, tidak dituangkan dalam ukuran dan target yang jelas,
sehingga karyawan meninggalkan sesi perencanaan dengan kebingungan, apa yang diharapkan
perusahaan dari dirinya untuk dicapai dan bagaimana mencapainya.

Isu lain dalam sesi perencanaan adalah apa yang disebut dengan misalignment. Banyak perusahaan
mendapati kejadian di mana karyawan-karyawannya mendapatkan nilai yang termasuk kategori “Baik
Sekali”, namun ternyata perusahaan tidak mencapai targetnya. Demikian pula sebaliknya, ada perusahaan
yang mengalami kejadian di mana perusahaan mencapai targetnya, namun karyawan tidak demikian.
Kondisi ini terjadi karena pada saat perencanaan kinerja individu, ukuran dan target yang diberikan
kepada karyawan tidak selaras dengan ukuran dan target perusahaan.

Isu berikutnya dalam manajemen kinerja adalah dalam proses pengelolaan kinerja individu, di mana
banyak perusahaan mengabaikan proses ini sama sekali. Pada saat proses perencanaan kinerja, atasan
memberikan ukuran dan target kepada karyawan di awal tahun, kemudian berkata “sampai jumpa tahun
depan”. Padahal proses ini justru penting untuk menangkap adanya peringatan dini (early warning)
mengenai ketidaktercapaian target individu, dan melakukan intervensi yang diperlukan untuk membawa
kinerja individu kembali ke jalurnya, sebelum menyimpang semakin jauh dari target.

Proses terakhir dalam manajemen kinerja individu, yaitu evaluasi kinerja individu, juga memiliki isu
tersendiri. Proses evaluasi kinerja yang seharusnya dapat mendorong kinerja dan motivasi karyawan
apabila dilakukan dengan benar, justru sering disepelekan, sehingga sesi evaluasi hanya menjadi sesi
pelaporan yang membosankan. Di sisi lain, ada karyawan yang memandang proses evaluasi kinerja
sebagai sesi yang menakutkan dan cenderung dihindari, karena dalam sesi evaluasi karyawan merasa
dihakimi dan dicari-cari kesalahannya.

Jika isu-isu tersebut di atas masih terjadi pada perusahaan, maka penerapan manajemen kinerja individu
belum dilakukan dengan benar sehingga belum memberikan manfaat yang optimal. Apabila dilaksanakan
dengan benar, perusahaan bukan hanya dapat memastikan bahwa karyawannya melakukan tugas dan
tanggung jawabnya sesuai dengan harapan, tetapi juga menggali dan mengatasi isu-isu kinerja karyawan,
meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja, dan pada akhirnya memastikan perusahaan mencapai
target kinerjanya.

Meningkatkan Kinerja (dalam konteks Teknologi Pendidikan)

I. PENDAHULUAN
Di dalam lembaga apapun yang bersentuhan langsung dengan masyarakat terutama yang menyangkut
pelayanan publik hal penting yang paling dituntut adalah performa lembaga tersebut baik manusia,
birokrasi/prosedur hingga teknologi pendukung. Contohnya jika kita hendak membuat KTP atau
SIM. Kita pasti ingin mendapatkan dua surat penting tersebut lebih cepat, kalau bisa tidak hitungan hari
lagi namun jam. Alih-alih mewujudkan harapan tersebut, yang terjadi kerap kali adalah sebuah
pemandangan pola kerja manusia yang lamban, birokrasi beberapa meja, dan teknologi usang yang
terlihat aneh di jaman hi-tech ini. Lalu ilmu kebatinan pun dimunculkan, “mengapa kinerja lembaga ini
begitu buruk? Tidakkah ada usaha untuk memperbaiki performa kerja mereka?” Hasilnya adalah
kekecewaan masyarakat karena bagaimanapun alasan situasional yang dikemukan oleh lembaga telah
menimbulkan persoalan-persoalan antara lain:
 Pemborosan waktu
 Pemborosan biaya kedua belah pihak
 Ketidakefektifan proses pembuatan
Melihat berbagai masalah di atas maka yang dibutuhkan adalah sebuah proses perbaikkan atau
peningkatan performa. Performa siapa? Tentu semua unsur yang terlibat di dalam lembaga atau instansi
yang ada, yang memiliki kepentingan langsung dengan publik.
Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan? Apakah unsur di dalam pendidikan juga membutuhkan
peningkatan performa? Jawabnya adalah ya dan harus karena pendidikan adalah bidang yang memiliki
hubungan paling dekat bahkan melekat dengan masyarakat yaitu peserta didik dan pengguna output dari
pendidikan tersebut. Dengan merujuk pada tulisan Michael Molenda dan James A. Pershing “Improving
Performance” dalam buku Educational Technolog: A Definition with Commentary karya Alan
Januszweski and Michael Molenda (2008), makalah ini akan mengulas bagaimana teknologi dapat
dipakai untuk menambah keterlibatan unsur pendidikan dalam rangka meningkatkan kinerja manusia.
Batasannya adalah pada peningkatan performa dengan keterlibatan pendidikan bukan seluas yang
dimaksud oleh HPT (human performance technology) atau teori manajemen.
II. MENINGKATKAN KINERJA
Menurut Association for Educational Communications and Technology atau disingkat AECT (2004),
Teknologi Pendidikan (TP) didefinisikan sebagai “the study and ethical practice of facilitating learning
and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and
resources.” Ini adalah definisi terbaru yang menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan
praktek etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan cara
menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber-sumber teknologi yang
tepat. Jelas, tujuan utamanya yaitu untuk:
a) Memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi pembelajaran agar efektif, efisien dan menarik;
dan
b) Meningkatkan kinerja.
Dalam teknologi pendidikan improving performance atau diterjemahkan sebagai meningkatkan kinerja
lebih sering merujuk pada suatu pernyataan mengenai keefektifan; bisa merupakan cara-cara yang
diharapkan membawa hasil yang berkualitas, produk yang diharapkan dapat menciptakan proses belajar
yang efektif, dan perubahan-perubahan kompetensi yang dapat diterapkan di dunia nyata. Makna belajar
itu pun menhBelajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah
ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.
Efektif sering kali berdampak pada efisiensi, yaitu hasil yang dicapai dengan penggunaan waktu, tenaga,
dan biaya seminim mungkin. Namun apa yang dimaksud dengan efisien sangatlah tergantung pada tujuan
yang hendak dicapai. Efisiensi dalam gerakan pengembangan instruksional sistematis didefinisikan
sebagai menolong peserta didik mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya yang diukur
dengan evaluasi terstruktur (tes, ulangan, dsb). Oleh sebab itu proses kegiatan belajar dilakukan dengan
tahapan-tahapan yang sistematis. Pandangan ini berbeda dengan pendekatan cara belajar konstruktivis.
Cara pandang konstruktivis menekankan pada posisi peserta didiklah yang menentukan tujuan mereka
sendiri dan bagian apa yang hendak dipelajari. Belajar yang benar dan berhasil adalah apabila ilmu
pengetahuan dapat dipahami secara mendalam, dialami, dan diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah
di dunia nyata, bukan berdasar hasil ujian atau ulangan. Konstruktivisme cenderung mempersoalkan
perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini
merupakan konsteks yang kaya, baik dari landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat
yang digunakan untuk memecahkan masalah. Itulah sebabnya efisiensi tergantung pada apa tujuan yang
hendak dicapai dalam proses belajar.
Sementara kata performance atau kinerja merujuk pada dua hal yang saling berkesinambungan:
a) Kemampuan peserta didik untuk menggunakan dan mengaplikasikan kompetensi baru yang telah
dicapainya; bukan sekedar mendapat pengetahuan kemudian stagnan, namun pengetahuan itu
meningkatkan kompetensi dan kompetensi tersebut dapat diaplikasikan secara nyata.
b) Selain menolong peserta didik memiliki kompetensi yang lebih baik, alat dan ide-ide teknologi
pendidikan dapat membantu para guru maupun perancang pembelajaran menjadi tenaga pendidik yang
lebih mumpuni. Hasilnya mereka dapat menolong berbagai institusi mencapai tujuan dengan lebih baik.
Itulah mengapa teknologi pendidikan menyatakan dirinya sebagai salah satu bidang yang punya
kemampuan untuk meningkatkan produktifitas pada level individu yaitu peserta didik dan tenaga
pendidik hingga level organisasi.
Dalam tulisan Molenda dan Pershing makna peningkatan performa atau kinerja dibatasi pada keterlibatan
teknologi dalam bidang pendidikan semata. Artinya bahwa teknologi dapat meningkatkan peran
pendidikan untuk memperbaiki kinerja dan kualitas manusia.
A. Peningkatan Kinerja Peserta Didik Sebagai Pribadi
Pembelajaran dewasa ini menghadapi dua tantangan. Tantangan pertama, adanya perubahan persepsi
tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang
memperlihatkan perkembangan yang sangat luar biasa. Dalam kerangka pembelajaran individual,
teknologi pendidikan sebagai sebuah studi berupaya untuk meningkatan kinerja atau performa peserta
didik melalui beberapa cara yaitu:
1. Memberi pengalaman belajar bernilai lebih dengan difokuskan pada tujuan yang hendak dicapai,
bukan sekedar keberhasilan melewati serangkaian test terstruktur.
2. Alih-alih menghafal pelajaran, melalui pemanfaatan teknologi pengalaman-pengalaman belajar
yang didapat diharapkan dapat membawa pada tingkat pemahaman yang lebih dalam. Jika proses belajar
ini dibuat lebih bernilai dengan mendesainnya sedemikian rupa, maka pengetahuan dan kompetensi yang
baru dapat tertransfer lebih baik lagi.
Individual learning atau pembelajaran individual dapat diartikan “the ability of individuals to experience
personal growth in their interactions with the world around them.” (www.ask.com). Melalui pembelajaran
individual peserta didik langsung mengalami apa yang dipelajarinya, membangun sebuah pemahaman
dengan model self-discovery sehingga penghayatan akan makna pelajaran menjadi lebih dalam
tertanaman. Ada sebuah pepatah Cina kuno yang mengatakan
“Apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat;
Apa yang saya lakukan, saya paham.”
Pembelajaran bernilai lebih yang dimaksud oleh teknologi pendidikan adalah bahwa melalui aplikasi
teknologi dalam bidang pendidikan:
1. Tujuan pembelajaran yang berfokus pada tes atau ujian yang sifatnya sangat dangkal dapat diubah.
Artinya bahwa pembelajaran bagi siswa bukanlah sekedar menggali kemampuan kognitif, apalagi pada
tingkat kognitif yang rendah yaitu pengetahuan dan pemahaman. Tujuan pembelajaran yang sekedar
“berhasil dalam ujian” sudah pasti tidak memberikan peningkatan performa pada peserta didik.
2. Pengabaian pendidikan akan adanya multiple intelegensi pada peserta didik dapat dihindari.
Menurut Howard Gardner, hakikatnya terdapat 7 tipe intelegensia anak (manusia secara umum), namun di
sekolah hanya 2 tipe yang dimasukkan dalam intrakurikuler yaitu kemampuan berbahasa dan logika
matematika. Sementara 5 intelegensia yaitu musik, kemampuan spasial, kinestetik, interpersonal, dan
intrapersonal hanya merupakan tambahan. Konsekuensinya, output pembelajaran dalam pendidikan
formal cenderung diasosiasikan dengan ilmu pengetahuan yang sempit, terbatas, dan pada tingkat yang
redah.
3. Pembelajaran dapat merambah pada semua tingkat atau ranah kemampuan peserta didik yang
semestinya baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik (taksonomi Bloom). Oleh karenanya salah satu
cara yang diusahakan oleh teknologi pendidikan untuk meningkatkan kinerja peserta didik adalah melalui
praktek-praktek design pembelajaran (pendekatan ID sistematis – Morrison)a ang mengarahkan
perencana pembelajaran berpikir tentang berbagai outcome pembelajaran dan mengklarifikasi pada level
apa tipe pembelajaran yang diharapkan. Jika saja keadaan ini tercipta maka peserta didik lebih dapat
menikmati pengalaman aktifitas-aktifitas belajar dan metode penilaian yang sesuai dengan kebutuhan
belajar, bukan sekedar ujian yang terstandarisasikan.
4. Kedalaman pembelajaran lebih mungkin dicapai. Hal ini untuk mengatasi apa yang sering terjadi
dalam proses belajar yaitu belajar untuk menghafal. Weigel mengemukakan istilah pembelajaran di
permukaan (surface learning) dan pembelajaran mendalam (deep learning) untuk memberikan perbedaan
tujuan yang menyolok. Surface learning diwakilkan oleh kebiasaan penghafalan fakta, memperlakukan
materi sebagai bagian-bagian informasi yang tidak berkaitan, dan melakukan prosedur rutin tanpa
berpikir. Sebaliknya tujuan deep learning adalah mendorong peserta didik mengaitkan ide-ide dengan
pengetahuan yang sudah didapat, mencari pola-pola utama, mempelajari pernyataan-pernyataan yang ada
secara kritis, dan merefleksikannya dengan pemahaman mereka sendiri. Deep learning dapat terjadi
dalam komunitas pembelajar yang berorientasi pada penyelidikan (inquiry-oriented). Komunitas ini bisa
tercipta melalui aplikasi teknologi informasi dengan memanfaatkan web berbasis jaringan kerja seperti
blog.
5. Terjadi transfer pembelajaran dalam dunia pendidikan formal. Diakui bahwa teknologi dapat
membantu siswa memiliki kemampuan yang tinggi, sekaligus menerapkan pengetahuan baru di luar
ruang kelas. Artinya bahwa dengan teknologi transfer ilmu pengetahuan tidak terbatas semata dalam
ruang kelas melalui design pembelajaran (disebut sebagai soft technology) yang disusun pengajar, namun
juga melalui hard technology yaitu penciptaan dan pemanfaatan lingkungan dimana pembelajar dapat
mempraktekan pengetahuan dan kemampuannya dalam dunia nyata.
Teknologi pendidikan tidak hanya bergerak di persekolahan tapi juga dalam semua aktifitas manusia
(seperti perusahaan, keluarga, organisasi masyarakat, dll) sejauh berkaitan dengan upaya memecahkan
masalah belajar dan peningkatan kinerja. Oleh karena kinerja peserta didik baik di sekolah maupun di
tempat kerja dapat ditingkatkan melalui penggunaan teknologi teknologi lunak seperti desain
pembelajaran (ID) dan hard-tech, juga penciptaan dan pemanfaatan lingkungan di mana peserta didik
dapat mempraktekkan dan mengaplikasi ilmu pengetahuan yang didapat dalam dunia nyata.
B. Peningkatan Kinerja Guru dan Para Perancang Pembelajaran
Aplikasi teknologi dalam bidang pendidikan dapat menolong para tenaga pengajar menciptakan proses
belajar yang lebih menarik dan bernilai manusiawi. Teknologi pendidikan bagi pengajar memiliki
manfaat luar biasa terutama dalam meminimalisir waktu pembelajaran dan meningkatkan efektifitas yang
pada akhirnya dapat menambah produktifitas tenaga pengajar.
Beberapa langkah yang bisa digunakan untuk memperbaiki kinerja guru dan perancang desain
pembelajaran adalah seperti penjelasan singkat berikut ini.
1. Mengurangi waktu pembelajaran.
TP memberikan wawasan untuk membantu para guru dan para desainer(trainer) mengurang waktu
yang tidak efisien dalam pembelajaran melalui prosedur prosedur khusus dalam analisa kebutuhan dan
analisa pembelajaran Melalui prosedur ini mengetahui apa yang menjadi tujuan pasti Dari tujuan pasti
dari proses pembelajaran (penyampaian materi) dngan tujuan itu lah proyek pembelajarn di mulai.
Konsekuensinya guru dan para desainer mengurangi waktu pembelajaan yang tidak efektif untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Menciptakan pembelajaran yang lebih menguntungkan dari segi biaya.
Desain pembelajaran yang sistemasis menolong para perencana pembelajaran mencapai hasil yang
luar biasa menguntungkan.
3. Menciptakan pembelajan yang ramah. pembelajaran lebih menarik.
Yang dimaksut dengan menarik disini sangat variasi tergantung kasus per kasus, tetapi secara umum
pembelajaran yang menarik memiliki beberapa pengertian:
a. Menantang, memberikan ekspetasi yang tinggi.
b. Memiliki kesesuaian dengan pengalaman peserta didik di masa lalu dan dimasa yang akan datang.
c. Ada unsur humor dan permainan dalam pembelajaran.
d. Mempertahankan perhatian siswa melalui hal-hal yang baru.
e. Terlibat secara intelektual dan emosional.
f. Menggunakan berbagai bentuk penyajian.
Teknologi Pendidikan (TP) mempunyai sejarah panjang yang sangat menarik. Banyak inovasi-inovasi
pembelajaran yang diinspirasi dari teroi kognitifisme, konstruktifisme, seperti problem base lerning yang
didisaen untuk meningkatkan peserta belajar yang disampaikan oleh pengajar.
4. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
Banyak inovasi didalam Teknologi Pendidikan (TP) yang berfokuskan dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Artinya murid adalah orang yang tidak dijejali ilmu saja atau dengan kata lain adalah memanusiakan
murid. Hal ini sesuai dengan bentuk inovasi yang dibuat dengan melihat murid dari segi behaviourisme.
Secara singkat dapat di samapikan bahwa hasil inovasi Teknologi Pendidikan (TP) menempatkan peserta
didik sebagai pemegang control dalam proses pembelajaran.
C. Peningkatan Kinerja Organisasi
Pada awalnya teknologi diadopsi oleh organisasi adalah untuk meningkatkan produktifitas organisasi,
terutama untuk memangkas biaya dan meningkatkan hasil. Itulah yang menjadi tujuan pemanfaatan
teknologi di dunia bisnis dan industri. Namun tujuan ekonomis seperti ini boleh dikata kurang populer di
organisasi atau lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih
dalam lagi beberapa kemungkinan peran teknologi dalam meningkatkan produktifitas di organisasi
pendidikan.
1. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Efisiensi adalah doing things right (dengan benar) dan efektifitas adalah doing the right things (yang
benar). Dalam dunia pendidikan kata efisiensi bisa dipandang sebagai rancangan, pengembangan, dan
melakukan pembelajaran dnegan cara memanfaatkan sumber-sumber sekecil mungkin untuk mencapai
hasil yang, paling tidak, sama atau lebih baik. Sementara kata efektifitas berarti melakukan perbuatan
yang memang benar-benar bisa menolong peserta didik mencapai tujuan pembelajaran yaitu menguasai
pengetahuan, punya keahlian, dan terjadi perubahan sikap. Kita membutuhkan keduanya. Pembelajaran
yang efisien menjadi kehilangan makna jika tidak bisa mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu
pembelajaran yang menghasilkan hasil belajar yang diinginkan tetapi boros penggunaan biaya, tidak tepat
waktu, atau tidak punya dampak menghasilkan lulusan yang tepat guna sama dengan pembelajaran yang
tidak produktif.
2. Sebuah perspektif sistem bagi kinerja organisasi
Dalam pendidikan kalimat “hasil yang diinginkan” bisa bermakna berbeda sesuai dengan persepsi
masing-masing orang. Oleh sebab itu perlu sebuah pengukuran what goals are worth pursuing and what
indicators should be used to measure progress toward those goals” (hal.65). Banyak perdebatan yang
dilakukan oleh ilmuwan pendidikan apakah memang ukuran keberhasilan yang dipakai oleh organisasi-
organisasi bisnis dan industri (ekonomi) bisa dengan begitu saja diterapkan dalam organisasi pendidikan.
Terlepas dari hal tersebut, pendekatan atau cara pandang sistem, secara total dan menyeluruh dapat
membantu organisisi atau institusi pendidikan mendefinisikan dan mencapai tujuan yang berharga
(output) dengan proses pembelajaran yang seefisien dan seefektif mungkin.
Esensi dari pendekatan sistem adalah melangkah ke belakang dan mencatat faktor apa saja yang terjadi di
sekitar dan mempengaruhi kejadian-kejadian dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Dengan
melihat kondisi pembelajaran di kelas maka dapat diperoleh pemahaman lingkungan apa yang seharusnya
diciptakan untuk mendukung strategi pembelajaran yang lebih berdampak.
Organisasi dapat meningkatkan produktifitas komponen yang ada di dalamnya, terutama faktor SDM nya
dengan menolong mereka memperoleh pengetahuan yang baru, keahlian baru, dan menciptakan sikap
baru yang lebih positif. Namun ada usaha lain yang lebih mendalam yaitu dengan mengubah kondisi-
kondisi di dalam organisasi sehingga orang lebih dapat memiliki performa kerja lebih baik lagi untuk
mencapai tujuan organisasi, dengan atau tanpa pembelajaran tambahan. Usaha perbaikan kinerja yang
sifatnya noninstructional intervention seperti mencipatkan kondisi kerja yang lebih baik, alat kerja yang
lebih memadai, dan memotivasi pekerja menjadi lebih giat dilabelkan sebagai HPT atau human
performance improvement atau Teknologi Kinerja Manusia. Keseluruhan intervensi yang bersifat
instruksional dan noninstruksional dalam organisasi merupakan usaha untuk mengembangkan atau
meningkatkan kinerja organisasi.
3. HPT
HPT atau Teknologi Kinerja Manusia menurut Pershing adalah “the study and ethical practice of
improving productivity in organizations by designing and developing effective interventions that are
result-oriented, comprehensive, and systemic.” HPT merupakan seperangkat metode, prosedur, dan
strategi untuk memecahkan masalah dalam kerangka organisasi. Sesuai dengan namanya maka HPT
bersentuhan langsung dengan potensi manusia sebagai sumber daya kerja dalam organisasi. Penanganan
performa SDM dengan baik akan dapat meningkatkan kualitas kinerja organisasi. Bagaimana departemen
Human Resource atau Personalia mengelola karyawan untuk meningkatkan efektifitas kerja mereka
adalah bidang yang ditangani oleh HPT. Intinya HPT mengkaji tentang upaya-upaya untuk meningkatkan
kinerja orang dalam suatu organisasi melalui pendekatan yang sistematis, sistematis dan ilmiah. Para
teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan
masalah. Menurut Barbara B. Seels dan Rita C. Richey. dalamcTeknologi Pembelajaran: Definisi dan
Kawasannya, (terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk). Teknolog kinerja akan cenderung
memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi
sumber sebagai intervensi. Hal ini mencakup empat proses yaitu analisa, desain, pengembangan, dan
produksi. Menurut teknolog kinerja yang pada akhirnya menolong kita melihat posisi teknologi
pendidikan dalam HPT secara menyeluruh adalah bahwa pendidikan merupakan satu dari berbagai
intervensi yang mungkin diterapkan dalam meningkatkan kinerja di tempat kerja.
III. PENUTUP
Demikian apa yang dapat kami paparkan dalam makalah ini. Semoga dengan makalah ini, kita semakin
mendapatkan gambaran yang jelas tentang tujuan utama dari Teknologi Pendidikan (TP ). Jadi dengan
Teknologi Pendidikan (TP) ini diharapkan bisa memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi
pembelajaran agar efektif, efisien, menarik, dan juga bisa meningkatkan kinerja. Peningkatan kinerja ini
tentunya baik dari segi peserta didik, guru atau perancang desain pembelajaran, serta organisasi yang
berkaitan. Dan kita juga bisa merenungkan apakah yang kita lakukan selama ini dalam bidang pendidikan
sudah sesuai dengan tujuan pendidikan kita. Terimakasih.
Referensi
Molenda, Michael & Alan Januszweski. 2008 “Educational Technolog: A Definition with Commentary
. New York.
Seels, Barbara B. dan Rita C. Richey.1995. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya,
(terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk). Jakarta: UNJ Agus Dwiyono. 2007.
Sumber internet:
www.Tpers.Net
Encyclopedia of Educational Technology

Intervensi Pengembangan Organisasi di Organisasi Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengembangan organisasi merupakan sarana untuk mencapai tujuan organisasi. Suatu organisasi juga
senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Sasaran pengembangan organisasi
mengarah pada hubungan pribadi yang lebih efektif antara manajer dan karyawan di semua jenjang
organisasi guna menghapus hambatan-hambatan komunikasi antarpribadi dan kelompok.
Pengembangan organisasi bertujuan untuk meningkatkan keefektifan kerja organisasi. Dalam prakteknya
pengembangan organisasi menggunakan teknik intervensi berencana terhadap proses dalam organisasi
dengan memanfaatkan teori-teori perilaku organisasi. Intervensi pengembangan organisasi dilakukan oleh
manajer atau konsultan atau anggota dengan sasaran individu, kelompok, dan organisasi.
Berdasarkan penjelasan diatas, hal yang melatarbelakangi penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
apakah yang dimaksud dengan intervensi pengembangan organisasi, memahami teknik intervensi
pengembangan organisasi, beserta contoh kasus intervensi pengembangan organisasi di organisasi
pembalajaran.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa definisi, klasifikasi, pemilihan intervensi pengembangan organisasi ?
1.2.2. Bagaimana contoh kasus: Organizational Development Intervention in Learning Organization
(Intervensi Pengembangan Organisasi di Organisasi Pembelajaran) ?
1.3. Tujuan
1.3.1. Memahami definisi, klasifikasi, pemilihan intervensi pengembangan organisasi
1.3.2. Memahami contoh kasus: Organization Development Intervention in Learning Organization
(Intervensi Pengembangan Organisasi di Organisasi Pembelajaran)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi, Klasifikasi, Pemilihan Intervensi Pengembangan Organisasi
2.1.1. Pengertian Pengembangan Organisasi
Menurut Worley dan Feyerherm (2003) Organization development is systemwide planned change, uses
behavioral science knowledge, targets human and social processes of organizations (specifically the
belief systems of individuals, work groups, or culture), and intends to build the capacity to adapt and
renew organization. Robbins (2008) mendefinisikan Pengembangan organisasi (organizational
development-OD) bukanlah sebuah konsep tunggal yang mudah didefinisikan, melainkan sebuah istilah
yang digunakan untuk mencakup sekumpulan intervensi perubahan terencana yang dikembangkan
berdasarkan berbagai nilai humanistis-demokratis, yang berupaya meningkatkan keefektifan organisasi
dan kesejahteraan karyawan. Sementara itu Duha (2016) mendefinisikan Pengembangan organisasi
sebagai sebuah proses yang berkesinambungan secara terus-menerus yang dilakukan untuk melakukan
usaha-usaha perbaikan atas berbagai kegagalan dan kesalahan, juga untuk memenuhi berbagai harapan-
harapan yang diinginkan, serta bagian dari cara untuk peningkatan (kualitas, kuantitas) yang telah dimiliki
sebelumnya, dengan mempertahankan nilai-nilai dasar dan utama yang terkandung di dalam budaya
organisasi.
Pengembangan organisasi merupakan suatu proses perubahan atau intervensi, dimulai dari perubahan
struktur dan sistem didalam organisasi hingga penyuluhan psikoterapi yang diberikan kepada individu
dan kelompok yang ada didalam organisasi, yang mengarah kepada upaya perbaikan efektifitas organisasi
guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan
2.1.2. Pengertian Intervensi
Menurut Miftah Toha (2003) Intervensi dimaksudkan untuk menetapkan cara-cara apakah yang patut
digunakan untuk merencanakan perbaikan berdasarkan masalah yang ditemukan dalam proses diagnosis
dan pemberian umpan balik. Intervensi berarti keikutsertaan klien dan konsultan bersama-sama
merencanakan proses perbaikan berdasarkan atas masalah yang dijumpai dalam proses diagnosis.
Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan dalam rangka menata dan memperbaiki kembali fungsi
organisasi dalam memberikan kesempatan kepada anggota organisasi untuk bekerja dalam tim ataupun
mereka mengelola suatu tim serta memelihara (sustainable) organisasi agar teteap dapat beralan dengan
baik sesuai dengan tujuan organisasi.
(Arif (2011); French dan Bell), intervensi pengembangan organisasi adalah serangkaian kegiatan
terstruktur yang didalamnya terdapat unit - unit organisasi terpilih (kelompok atau sasaran individu)
melakukan tugas yang secara langsung atau tidak langsung sasaran tugas dihubungan dengan perbaikan
organisasi
Suatu intervensi dikatakan efektif apabila terdapat informasi yang benar dan bermanfaat, kebebasan
memilih dan keterikatan di dalam.
a. Informasi yang benar adalah informasi yang nyata terjadi dalam organisasi.
b. Kebebasan memilih mempunyai kewenangan membuat keputusan terletak ditangan klien.
c. Dan keterkaitan di dalam adalah bahwa klien mempunyai tanggung jawab untuk tetap terikat pada
pelaksanaan dari rencana atau keputusan cyang telah dibuat.
Penggunaan perantara atau konsultan berupa seorang individu atau suatu kelompok yang mempunyai
tanggung jawab untuk mengubah pola perilaku seseorang tau sistem yang telah ada. Seorang konsuktan
akan menyelidiki kelakuan sehari-hari, memberika informasi, membantu manajemen dalam perubahan
yang telah disetujui, membantu anggota-anggota organisasi untuk dapat berdiri sendiri dalam
memecahkan masalah.
2.1.3. Klasifikasi Intervensi
Berikut klasifikasi intevensi berdasarkan sasaran atau target yaitu :
a. Human Process Intervention (Intervensi Proses Manusia)
Pada metode ini intervensi berfokus pada orang dalam organisasi dan proses melalui mana anggota
organisasi mencapai tujuan organisasi. Proses ini meliputi komunikasi, pemecahan masalah, pengambilan
keputusan kelompok, dan kepemimpinan. Dengan demikian intervensi proses manusia berkaitan dengan
hubungan interpersonal dan dinamika kelompok. Jenis-jenis intervensi dalam hal ini, yaitu :
· Process Consultation (Consultasi Proses)
Intervensi ini berfokus pada hubungan interpersonal dan dinamika sosial yang terjadi dalam kelompok
kerja. Konsultasi, proses membantu anggota kelompok mendiagnosis berfungsinya kelompok dan solusi
yang tepat terhadap masalah-masalah organisasi
· Third-Party Intervention
Metode perubahan ini merupakan suatu bentuk konsultasi proses berfokus pada hubungan interpersonal
yang tidk berfungsi dalam organisasi. Intervensi ini digunakan untuk membantu anggota organisasi
memecahkan konflik dengan metode seperti pemecahan masalah, tawar menawar, dan konsiliasi.
· Team Bulding
Intervensi ini membantu kelompok kerja menjadi lebih efektif dalam melaksanakan tugas. Sebagaimana
konsultasi proses, pengembangan tim membantu anggota kelompok mendiagnosis proses kelompok dan
pemecahan masalah
· Organization Confrontasi Meeting
Metode perubahan ini memobilisasi anggota organisasi untuk mengidentifikasi masalah, menetapkan
target-target tindakan, itervensi ini diterapkan ketika organisasi mengalami stres dan ketika menejemen
membutuhkan untuk mengatur resources dalam rangka pemecahan masalah
· Large Group Intervention
Intervensi ini melibatkan berbagai stakeholder dalam pertemuan besar untuk memperjelas nilai-nilai yang
dianggap penting, mengembangkan cara kerja baru, menyampaikan visi baru organisasi, atau untuk
memecahkan masalah-masalah organisasi.
Dari beberapa penjelasan tentang Human Process Intervention dapat disusun sebuah program yang dapat
dilakukan agar perubahan total dalam internal organisasi termasuk departemen yang ada antara lain :
· Survey feedback.
Sebuah program intervensi dimana melakukan pengumpulan informasi tentang organisasi lalu
memberikan kepada manager atau anggota agar mereka dapat berpikir dan memecahkan masalahnya
sendiri. Sebuah pengumpulan dengan cara survey atas organisasi dan diberikan langsung oleh atasan.
Setelah diolah oleh atasan akan diberikan ke manajer ataupun anggota.
· Organization confrontation meeting.
Program ini membutuhkan sumber daya yang lebih khususnya pada anggota yang sudah berpengelaman
dan dapan mengidentifikasi masalah yang ada, bekerja sesuai target dan menyelesaikan pekerjaan sesuai
masalah. Intervensi ini biasanya dilakukan di organisasi yang memiliki grup yang terdiri dari beberapa
anggota yang sudah memiliki pengelaman tinggi.
· Intergruop relations
Program yang menganut metode Third-Party Intervention dengan memasukkan orang ketiga dalam grup
agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi.
· Pendekatan normatif
Program intervensi yang banyak dilakukan pada kebanyakan organisasi. Seperti memberikan pelatihan
kepada anggota dalam kegiatan organisasi. didalamnya pemberian prosedur yang berlaku dalam
organisasi agar anggota dapat bekerja sesuai dengan cita-cita organisasi
b. Human Resources Management Intervention (Intervensi Manajemen Sumber Daya Manusia)
Metode intervensi ini berfokus pada intrvensi yang digunakan untuk mengembangkan, mengintegrasikan,
dan mendukung manusia atau orang dalam organisasi. Berikut ini termasuk dua program perubahan:
· Penentuan Tujuan
Program perubahan ini melibatkan penentuan tujuan manajerial dan penilaian. Mencoba untuk
membangun kcocokan antara tujuan pribadi dan organisasi dengan komunikasi dan penetapan tujuan
bersama antara manajer dan bawahan, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Manajer dan
bawahan secara berkala bertemu untuk merencanakan pekerjaan, meninjau prestasi, dan memecahkan
masalah dalam mencapai tujuan.
· Sistem Penghargaan
Intervensi ini yang terlibat dengan merancang imbalan organisasi untuk meningkatkan kepuasan
karyawan dan kinerja. Ini termasuk pendekatan inovatif untuk membayar, promosi, dan tunjangan seperti
liburan dibayar, asuransi kesehatan, dan program pensiun.
Berfokus pada dua metode perubahan:
· Perencanaan dan Pengembangan Karir
Intervensi ini bertujuan untuk membantu orang memilih organisasi dan jenjang karir dan mencapai tujuan
karir. Hal ini biasanya berfokus pada manajer dan staf profesional dan dilihat seberapa jauh dari
peningkatkan kualitas hidup mereka yang bekerja.
· Manajemen Stres
Program perubahan ini bertujuan untuk membantu anggota organisasi mengatasi konsekuensi gangguan
stres di tempat kerja. Ini membantu manajer mengurangi sumber spesifik stres, seperti konflik peran
(permintaan pekerjaan saling bertentangan) dan ambiguitas peran (tuntutan pekerjaan membingungkan).
Hal ini juga menyediakan metode untuk mengurangi gejala stres, seperti hipertensi dan kecemasan.
c. Technostruktural Intervention
Metode intervensi ini berfokus pada perubahan struktur dan desain organisasi. Sehingga lebih cenderung
pada aspek infrastruktur organisasi. Metode perubahan ini mengahsilkan pengingkatan perhatian dalam
OD, terutama dalam penerangan masalah saat ini tentang produktifitas dan efektivitas organisasi.Hal ini
termasuk dalam pendekatan kualitas kehidupan kerja serta metode untuk merancang organisasi,
kelompok, dan pekerjaan.
d. Strategic Intervention
Intervensi ini berfokus pada pilihan strategis untuk mengalokasikan sumber daya organisasi untuk
mendapatkan keuntungan kompetitif dan menciptakan nilai-nilai yang mendorong kinerja tugas yang
sesuai di seluruh perusahaan. Strategi intervensi cenderung keseluruhan organisasi dan berusaha untuk
membawa tentang kesesuaian antara strategi perusahaan, struktur, dan budaya dan lingkungan yang besar.
2.1.4. Memilih Intervensi
Untuk memilih intervensi yang tepat, kita dapat mengikuti beberapa acuan pertanyaan berikut :
a. Apakah hasil yang didapat dari memilih suatu teknik intervensi ?
Dalam pemelihan suatu teknik intervensi dapat mempengaruhi keseluruhan suatu organisasi. Dari
pemilihan dapat mengubah beberapa pola organisasi lainnya, maka dibutuhkan suatu teknik intervensi
yang spesifik agar mendapatkan suatu hasil yang baik. Maka dalam proses pemilihan dibutuhkan analisis
yang tepat atas masalah yang dihadapi dengan memilih teknik yang rendah resiko kegagalan
b. Apa dampak dari dari pemilihan suatu teknik intervensi?
Dalam memilih suatu teknik intervensi tidak hanya diperhatikan jenis atau metode apa yang dipilih
berdasarkan hasil yang diharapkan. Namun harus mengetahui pula dampak yang akan terjadi. Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari teknik intervensi. Diantaranya yaitu individu dalam
organisasi (keingingan, situasi aman), faktor organisasi (suatu sistem manajer yang dianut), dan dimensi
dari suatu proses berlangsung (hubungan antara atasan bawahan). Jika kita tidak dapat menganalisi
beberapa faktor tersebut maka dapat dampak yang didapat akan semakin buruk
c. Bagaimana suatu teknik intervensi di implementasikan ?
Masalah utama implimentasi yang mendasari semua intervensi OD adalah keharusan untuk menyesuaikan
perubahan dengan situasi yang ada di lapangan. Karena keberhasilan intervensi OD tergantung pada
kemungkinan tertentu, intervensi yang dipilih harus sesuai dengan situasi, baik struktur maupun proses
harus disesuaikan. Menyesuaikan intervensi untuk situasi melibatkan penyesuaian yang terus menerus.
Implementasi umumnya dimulai dengan perubahan organisasi tertentu, yang kemudian diubah dari waktu
ke waktu dengan melihat pengalaman dan reaksi organisasi terhadap perubahan.
2.2. Contoh Kasus : Intervensi Pengembangan Organisasi di Organisasi Pembelajaran
Organizational Development Interventions In Learning Organizations
(Intervensi Pengembangan Organisasi di Organisasi Pembelajaran)
John Theodore, Ph.D., DBA, Ph.D., CMC, President, JDT Management Consultants, USA
ABSTRAK
Pengembangan organisasi bertujuan untuk membuat organisasi lebih terbuka dan lebih adaptif melalui
peningkatan kemampuan dan potensi dalam rangka merencanakan perubahan yang berorientasi pada
tindakan. Intervensi dalam pengembangan organisasi sebagai pembelajaran untuk membantu
mengembangkan organisasi. Salah satu contoh intervensi pengembangan organisasi adalah intervensi
pengembangan organisasi di organisasi pembelajaran
Dalam intervensi pengembangan organisasi di organisasi pembelajaranterdapat tiga proses intervensi
yaitu :
1. Diagnosis (Diagnosis) : untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang akan dievaluasi dalam bidang
konsentrasi,
2. Presentation (Presentasi): diagnosis mempresentasikan hasil diagnosis dalam bentuk proposal untuk
mengimplementasikan hasil
3. Implementation (Implementasi) : hasil proposal melalui usaha perubahan yang telah direncanakan
Tiga proses intervensi di atas merupakan dasar yang digunakan untuk menghasilkan berbagai diagnosa
yang digunakan untuk koreksi kekurangan dan / atau disfungsional konsentrasi (bidang utama) yang ada
dalam intervensi pengembangan organisasi di organisasi pembelajaranyaitu kebijakan dan prosedur
sumber daya manusia, evaluasi sumber daya manusia, struktur dan desain, pelatihan dan pengembangan
sumber daya manusia, komunikasi dan kepemimpinan
No Konsentrasi Tujuan Intervensi Diagnosa
1 Kebijakan dan Membuat mutakhir, akurat, Evaluasi bagaimana penyelenggaraan
Prosedur Sumber beretika, realistis, dan melegalkan kebijakan dan prosedur, dan tingkat
Daya Manusia kebijakan dan prosedur yang ketercapaiannya
benar, yang kondusif untuk
perekrutan dan pengembangan
sumber daya manusia
2 Evaluasi Sumber Memperoleh personil dengan Evaluasi persiapan dan fungsi yang
Daya Manusia benar dan meningkatkan efisiensi melakukan evaluasi terkait bagaimana
dan efektivitas sumber daya kinerja evaluasi, jenis, alat, metode,
manusia dalam melaksanakan prosedur, dan teknik evaluasi kinerja
tugas melalui
memperkuat,mempertahankan
dan meningkatkan kinerja
3 Struktur dan desain Mengembangkan posisi peran dan Evaluasi otoritas dan tanggung-jawab
hubungan yang menyebabkan orang dan departemen, serta
pengaturan yang lebih efektif dan pendelegasian kewenangan dan
efisien dalam tugas, sumber daya, tanggung-jawab di dalam organisasi,
dan tanggung jawab hierarkis kesatuan komando; dan tanggung
jawab serta hubungan atau relasi
4 Pelatihan dan Membantu manajemen untuk Evaluasi kebutuhan pelatihan manajer
pengembangan mengembangkan teknis mereka, dalam pelaksanaan manajemen, dan
sumber daya hubungan manusia, dan evaluasi kebutuhan pelatihan para
manusia keterampilan konseptual dan karyawan dalam unit fungsional, serta
dukungan karyawan untuk evaluasi kepuasan karyawan
melakukan lebih efektif dan efisien
tugas fungsional
5 Komunikasi Mengembangkan komunikasi di Evaluasi bagaimana pelaksanaan
dalam departemen yang sama komunikasi pada intra Departemen dan
(intra departemen) dan berbagai antar Departemen
departemen (antar departemen
6 Kepemimpinan Pengembangan pemimpin- Evaluasi pemimpin terkini,
pemimpin yang cakap dan kepemimpinan dibutuhkan dan
dibutuhkan kualifikasinya spesifik dengan paragraf
sebelumnya
Setiap proses atau situasi perubahan pada intervensi harus senantiasa dievaluasi dan dilakukan penilaian
bagaimana ketercapaiannya. Seperti yang ada pada jurnal ini, melalui 3 proses intervensi, yang mana
sudah dipaparkan proses diagnosa terhadap konsentrasi (kebijakan dan prosedur sumber daya manusia,
evaluasi sumber daya manusia, struktur dan desain, pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia,
komunikasi dan kepemimpinan) secara mendalam pada elemen-elemen sumber daya manusia yang ada
pada organisasi pembelajaran. Namun terkait implementasi masih belum dipaparkan disini.
Learning Organization menurut Peter Senge dalam Suyanto (2011) merupakan suatu organisasi dimana
anggota secara kontinyu memperluas kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang sangat mereka inginkan,
dimana pola pemikiran baru yang kespansif ditumbuhkan, aspirasi kolektif dibebaskan, dan orang secara
terus menerus belajar melihat orang secara keseluruhan.
Setelah proses mendiagnosa dan mempresentasikan hasil diagnosa, selanjutnya adalah implementasi.
Menurut analisis penulis, jenis intervensi yang digunakan dalam jurnal ini adalah menggunakan Human
Process Intervention atau intervensi yang berfokus pada orang dalam organisasi dan proses melalui mana
anggota organisasi mencapai tujuan organisasi, karena berkaitan dengan hubungan interpersonal dan
dinamika kelompok. Oleh sebab itu, dapat disusun sebuah program yang dapat dilakukan agar perubahan
dalam internal organisasi antara lain :
a. Survey feedback.
Sebuah pengumpulan informasi dengan cara survey atas organisasi dan olah langsung oleh atasan. Setelah
diolah oleh atasan akan diberikan ke manajer ataupun anggota untuk pemecahan masalahnya.
b. Organization confrontation meeting.
Masalah yang ada dari evaluasi akan diidentifikasi olah anggota yang sudah berpengalaman atau
berkompeten dalam organisasi tersebut.
d. Intergruop relations
Dengan memasukkan orang ketiga dalam grup agar dapat membantu memecahkan masalah yang
dihadapi.
e. Pendekatan normatif
Memberikan pelatihan kepada anggota dalam kegiatan organisasi. didalamnya pemberian prosedur yang
berlaku dalam organisasi.
Setelah implementasi intervensi, perlu adanya evaluasi ketercapaian dari suatu program. Proses evaluasi
dapat menggunakan cara dengan menjawab pertanyaan :
a. Apakah intervensi benar-benar menghasilkan hasil yang diharapkan ?
b. Dalam kondisi yang seperti apa intervensi dapat memperoleh hasil yang positif ?
c. Bagaimana bisa intervensi dapat dilaksanakan ?

BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Intervensi merupakan sebuah program yang direncanakan dengan maksud membantu sebuah organisasi
menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan masalahnya. Dalam mengembangkan efektifitas intervensi,
orgasasi harus mempunyai informasi yang valid terhadap keanggotanannya. Berdasarkan target utama
dari hasil program perubahan, terdapat 4 jenis intervensi pengembangan organisasi : (1) program yang
ditujukan terhadap orang-orang organisasi dan proses interaksi mereka; (2) metode teknostruktural
diarahkan pada teknologi organisasi dan struktur untuk menghubungkan orang dan teknologi; (3)
intervensi manajemen sumber daya manusia yang bertujuan mengintegrasikan orang ke dalam organisasi;
(4) program strategi diarahkan pada bagaimana organisasi menggunakan sumber dayanya untuk
mendapatkan kompetetif keuntungan dalam lingkungan yang lebih besar. Dalam mengevaluasi intervensi,
pertanyaan yang harus ditanyakan pada organisasi yang bersangkutan, adalah :
a. Apakah intervensi benar-benar menghasilkan hasil yang diharapkan ?
b. Dalam kondisi yang seperti apa intervensi dapat memperoleh hasil yang positif ?
c. Bagaimana bisa intervensi dapat dilaksanakan ?
3.2.Saran
Dalam pengembangan organisasi, bagi penentu perubahan apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak
dilakukan, baik tidaknya perubahan yang akan dihasilkan, sehingga para agen harus benar-benar
mengetahui perannya masing-masing. Berwawasan luas dan mempunyai kepercayaan diri yang kuat,
karena akan berdampak langsung pada pelaksanaan organisasi dan masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA
Duha, Timotius.2016.Perilaku Organisasi. Yogyakarta:Deepublish.
Efendi, Arif (2011). “Manajemen perubahan di lembaga dakwah: studikasus tentang pengembangan
organisasi di lembaga griya al-qur’an surabaya.” Dalam http://digilib.uinsby.ac.id/8901/4/Bab2.pdf,
diakses pada 05 Desember 2016 pukul 20.57 WIB.
French, Wendell L. Dan Bell, Cecil H. Jr. 1990. Organization development : behaviora science
interventions for organization limprovement. New Jersey: Prentice hall.
Jayanti, Yuli.2012. “Intervensi dalam pengembangan organisasi.” Dalam
htttp://www.scribd.com/mobile/doc/77085536/intervensi-dalam /PO/ diakses pada 13 November 2016
18.48 WIB
Mackenzie, Jessica dan Gordon, Rebecca. 2016. Studi Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bappenas.
Robbins, Stephen P. & Judge, Timothy A.2008.Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Suyanto, Slamet. 2011. “Organisasi Belajar.” Dalam
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-slametsuyantomed/pengabdian_ 0.pdf diakses pada
16 November 2016 17.50 WIB.
Theodore, John .2013. “Organizational Development Interventions In Learning Organizations.”
International Journal of Management & Information Systems (Online) 17.1 (2013): 65 Dalam
http://search.proquest.com/openview/4a429e6dc3c 3a053244b59df521ec8a5/1?pq-origsite=gscholar
diakses pada 14 November 2016 14.30 WIB.
Worley, Christoper G. dan Feyerherm Ann E.2003. “Reflections on Future of Organization
Development.” Dalam Journal of Applied behavioral Science,Volume 39 nomor 1, Maret 2003.

MENCIPTAKAN SEKOLAH YANG AMAN DAN NYAMAN


1. Pendahuluan
Menciptakan sekolah yang aman, nyaman, dan disiplin sangatlah penting agar siswa dapat mencapai
prestasi yang terbaik dan guru dapat menampilkan kinerja yang terbaik.
Sekolah yang aman, nyaman dan disiplin adalah sekolah yang warga sekolahnya bebas dari rasa takut,
kondusif untuk belajar dan hubungan antar warga sekolahnya positif.
Sekolah yang aman, nyaman, dan disiplin menyediakan lingkungan fisik (gedung, kelas, halaman)
sekolah yang bersih dan aman.
Selain aspek keamanan fisik, kenyamanan atau disebut iklim sekolah, yaitu menyangkut atmosfir,
perasaan, lingkungan keseluruhan secara sosial dan emosional sekolah juga harus diciptakan secara
positif. Faktor yang mempengaruhi kenyamanan atau iklim sekolah ini adalah hubungan atau keterikatan
antar warga sekolah, interaksi antar warga sekolah, rasa saling mempercayai dan saling menghargai antar
warga sekolah. Bila keadaan faktor-faktor tersebut tinggi maka semakin positif iklim sekolah tersebut.
Keamanan, kenyamanan dan kedisiplinan suatu sekolah ditentukan oleh nilai-nilai dan sikap warga
sekolah, termasuk kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, komite sekolah. Pada sekolah yang aman,
warga sekolah mempunyai komitmen yang mendalam dalam menciptakan dan menjaga sekolah. Insiden
intimidasi, kekerasan diselesaikan dengan cepat, efektif dan pemulihan hubungan antar warga sekolah
cepat dipulihkan.
Sekolah yang aman, nyaman dan disiplin akan tercapai bila semua warga sekolah:
1. mengembangkan budaya sekolah yang positif dan fokusnya adalah pada pencegahan
2. membangun komunitas sekolah dengan cara saling menghargai, adil, menerapkan azas persamaan dan
inklusi.
3. mengatur dan mengkomunikasikan secara konsisten prilaku yang diharapkan.
4. mengajar, memberi contoh dan mendorong prilaku sosial yang bertanggung jawab yang memberi
kontribusi terhadap komunitas sekolah
5. memecahkan masalah secara damai menghargai perbedaan dan mengedepankan hak asasi manusia.
6. bertanggung jawab, dan bermitra dengan masyarakat, untuk memecahkan masalah keamanan yang
penting.
7. Berkerjasama untuk memahami bersama isu-isu tentang kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah,
hukuman fisik, rasisme, ketidakadilan gender, dan berbagai ketakutan lainnya.
8. Merespon secara konsisten dan adil terhadap berbagai insiden dan menggunakan intervensi untuk
memperbaiki kerusakan fisik maupun psikis dan memperkuat hubungan dan mengembalikan rasa percaya
diri.
9. berpartisipasi dalam pengembangan kebijakan, prosedur, praktek-praktek yang mempromosikan
keamanan sekolah.
10. memonitor dan mengevaluasi lingkungan sekolah untuk bukti dan peningkatan keamanan sekolah.
11. memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap prestasi sekolah yang pencapaian sekolah yang
aman, damai dan teratur sambil menyebutkan hal-hal yang masih perlu untuk ditingkatkan.
2. Mengapa perlu sekolah yang aman, nyaman dan disiplin
Sekolah yang aman, nyaman dan disiplin ini perlu diciptakan, agar anak dapat belajar tidak hanya
keterampilan akademik akan tetapi juga melatih siswa untuk mencapai hal-hal non-akademik yang juga
sangat penting bagi kehidupan, yaitu:
1. Mencegah kekerasan di sekolah
Melatih siswa mengenai bagaimana cara memecahkan masalah dengan cara tidak melakukan kekerasan
merupakan langkah awal untuk membangun masyarakat yang mencintai perdamaian.
2. Mengembangkan keterampilan intelegensi emosional siswa. Keterampilan ini sangat penting sekali
dimiliki oleh siswa karena sangat mempengaruhi kesuksesan hidup siswa di masa datang. Apabila siswa
mempunyai kemampuan akademik yang tinggi tetapi mempunyai intelegensi emosi yang rendah maka hal
tersebut tidak akan berguna. Intelegensi emosi atau keterampilan intrapersonal dan interpersonal ini
meliputi keterampilan:
a. mengembangkan empati
b. bekerja sama
c. membangun konsensus
d. sensitif terhadap perasaan teman
e. mengontrol impulsif dan rasa marah
f. menenangkan diri
g. mengembangkan sikap positif
Intelegensi emosi yang rendah akan menyebabkan:
h. putus sekolah
i. agresif
j. penggunaan obat terlarang
k. ketidakteraturan hidup
l. kehamilan muda
m. kesehatan rendah
n. kekerasan dan kriminalitas
o. mengalami masalah dalam pekerjaan
3. Menguatkan keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan:
a. keterampilan mendengarkan dan berkomunikasi
b. kemampuan menyesuaikan diri
c. berfikir kreatif
d. memecahkan masalah
e. menetapkan tujuan
f. mengelola waktu
g. keterampilan mengembangkan kualitas pribadi: mengatur waktu, jujur, bertanggung jawab,
bersosialisasi.
3 Ciri-ciri sekolah yang aman, nyaman dan disiplin
a. Sekolah yang aman, nyaman dan disiplin mempunyai karakteristik sebagai berikut. Lingkungan fisik
sekolah aman dan nyaman (gedung sekolah, kelas, laboratorium, peralatan, halaman)
b. Warga sekolah saling mendukung dan menghargai.
c. Semua warga menerapkan disiplin yang efektif
d. Sekolah memberikan pembelajaran terbaik.
e. Warga sekolah mengembangkan sikap persamaan, keadilan, dan saling pengertian
f. Perilaku dan sikap yang diharapkan sekolah diajarkan.
g. Strategi pengelolaan prilaku yang menyimpang sifatnya supportive thd siswa
h. Adanya program penyembuhan/terapi
i. Adanya pemodelan/ contoh prilaku dan sikap yang diharapkan dari semua staf sekolah
j. Adanya hubungan yang baik antara sekolah dan orang tua, komite sekolah dan masyarakat.
4. Cara mewujudkan sekolah yang aman, nyaman dan disiplin
4.1. meningkatkan keamanan lingkungan fisik sekolah
Untuk mewujudkan sekolah yang aman perlu dilakukan beberapa langkah. Pertama sekolah harus
membentuk komite yang terdiri dari berbagai stakeholders, yaitu masyarakat sekitar sekolah, orang tua,
guru, kepala sekolah komite sekolah dan siswa. Dengan melibatkan semua fihak diharapkan komite dapat
memperjatam pemahaman dan kesepakatan tentang apa yang perlu dilakukan. Melibatkan keahlian yang
terdapat di masyarakat, seperti anggota kepolisian atau ABRI sangatlah penting. Keterlibatan orang tua
juga sangat penting agar hal-hal yang menjadi keprihatinan siswa dapat didengar dan diselesaikan. Selain
itu stakeholders yang lain perlu dilibatkan agar dapat didengar bagaimana pengalaman mereka
sehubungan dengan mewujudkan sekolah yang aman.
Tugas pertama dari komite ini adalah melakukan needs assessment mengenai keadaan sekolah saat ini
ditinjau dari segi keamanan. Berdasarkan penilaian awal ini, komite dapat memperoleh pengetahuan
mengenai kekuatan dan kelemahan sekolah dalam hal keamanan. Berdasarkan hal ini rencana untuk
mewujudkan sekolah yang aman.
Untuk meningkatkan keamanan sekolah, upaya harus difokuskan pada bangunan fisik sekolah, tata letak
dan kebijakan dan prosedur yang ada untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dan menyelesaikan
masalah yang mungkin timbul. Bangunan sekolah, kelas, ruang lab, kantor, perpustakaan, lapangan olah
raga dan halaman sekolah harus direview. Selain itu, berbagai kebijakan dan prosedur juga akses masuk
sekolah harus dinilai kembali. Penggunaan teknologi untuk mencegah orang masuk penyusup masuk dari
luar seperti alarm, pagar, teralis harus dipertimbangkan. Pencegahan ini harus distandarkan oleh sekolah
dan standar-standar lain untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan harus dibuat seperti membawa
benda-benda tajam atau benda-benda lain yang berbahaya. Jalur komunikasi dan prosedur yang harus
diikuti bila terjadi kejadian pencurian atau pelanggaran lainnya harus dibuat.
Berikut adalah contoh pertanyaan yang dapat digunakan dalam needs assessment untuk menilai
sejauhmana keamanan sekolah anda.
1. Apakah lingkungan fisik sekolah aman bagi siswa?
2. Apakah ada aturan, kebijakan, prosedur untuk menjaga keamanan sekolah dan apakah semuanya
diterapkan? Misalnya adanya buku tamu, akses satu pintu, warga sekolah memakai kartu identifikasi,
pengaturan lalu-lintas di depan sekolah, prosedur pengantaran dan penjemputan, dll.
3. Apakah ada penyusup/orang yang tidak berkepentingan datang ke sekolah?
4. Apakah ada pencurian atau perusakan di sekolah?
5. Apakah ada senjata tajam atau benda-benda berbahaya lain yang dibawa ke sekolah?
Jawaban terhadap pertanyaan di atas dan frekuensi masalah yang muncul dapat dijadikan dasar untuk
menentukan seberapa aman lingkungan fisik sekolah kita, tindakan yang diperlukan untuk merespon
aspek-aspek yang belum memenuhi syarat.
4. 2 Meningkatkan disiplin siswa
Isu yang dihadapi sekolah dalam menciptakan iklim sekolah yang sosial dan emosional baik adalah
masalah kedisiplinan siswa. Apakah itu disiplin?
Disiplin adalah pengembangan mekanisme internal diri siswa sehingga siswa dapat mengatur dirinya
sendiri (Blandford, 1998).
Kebutuhan siswa menurut Blandford (1998) adalah sebagai berikut.
No Kebutuhan dasar Apa yang diharapkan siswa/ Apa yang harus diberikan sekolah
1 Rasa aman Lingkungan yang aman dan nyaman
2 Rasa memiliki Perhatian dari guru dan teman
5 P: Penerimaan, Perhatian, Penghargaan,
Pengakuan dan Kasih sayang
3 Harapan Memastikan kemajuan belajar, membantu meningkatkan prestasi
4 Kehormatan Perlakukan siswa sebagai anggota kelas/sekolah yang kompeten dan berharga.
Arahkan, tugaskan siswa untuk melakukan tugas yang penting dan jagalah kesepakatan.
5 Kesenangan Berikan kegiatan yang menyenangkan.
Berikan kesempatan untuk belajar kelompok.
Rasa humor
6 Kompetensi Hubungkan pengetahuan dengan situasi sehari-hari
Berilah kesempatan untuk menunjukkan pengetahuan dan keterampilannya.
Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka terjadilah berbagai penyimpangan prilaku atau masalah
disiplin. Masalah disiplin di kelas atau sekolah antara lain
– Makan di kelas
– Membuat suara gaduh
– Berbicara saat bukan gilirannya
– Lamban
– Kurang tepat waktu
– Mengganggu siswa
– Agresif
– Tidak rapi
– Melakukan ejekan
– Lupa
– Tidak memperhatikan
– Membaca materi lain
– Melakukan hal lain.
Sayangnya disiplin di sekolah sering didefinisikan dengan prosedur yang terfokus pada konsekuensi
pemberian hukuman. Perspektif disiplin secara tradisional ini kurang sempurna sebab tidak
memperhatikan perkembangan dan tidak mendukung prilaku pro-sosial yang ditunjukkan siswa. Riset
menunjukkan bahwa memberikan hukuman saja tidak cukup untuk menekan prilaku menyimpang dan
mengembangkan prilaku pro-sosial siswa. Dengan demikian definisi disiplin menurut paradigma baru
adalah langkah-langkah atau upaya yang perlu guru, kepala sekolah orang tua dan siswa ikuti untuk
mengembangkan keberhasilan prilaku siswa secara akademik maupun sosial. Jadi disiplin dianggap
sebagai alat untuk untuk menuju keberhasilan untuk semua guru, dan semua siswa di berbagai situasi.
Sekolah tidak lagi menggunakan pengelolaan penanganan prilaku secara individu dan terpisah-pisah
tetapi menggunakan pendekatan sistem disiplin yang menyeluruh yang meliputi penanganan prilaku yang
terjadi baik di kelas, halaman, kantin, kamar kecil dan lain-lain.
Sekolah yang sudah berhasil menggunakan pendekatan sistem disiplin yang menyeluruh melakukan
langkah-langkah berikut.
1. prilaku yang diharapkan didefinisikan dengan jelas. Prilaku yang diharapkan dirumuskan dengan jelas,
positif dan tepat. Contoh di kelas: Hormati siswa lain, Bertanggung jawablah, jagalah alat tulis, gunakan
semestinya dan lain-lain.
2. Prilaku yang diharapkan diajarkan. Prilaku yang diharapkan diajarkan dalam konteks yang
sesungguhnya. Misalnya menghormati siswa lain berarti mengacungkan tangan bila ingin bicara di kelas,
mendengarkan dan melihat teman yang sedang berbicara.
3. Prilaku yang sudah sesuai dengan harapan dihargai secara teratur. Misalnya melalui sistem tiket atau
sistem medali dan dipresentasikan pada waktu even sosial atau upcara bendera.
4. Prilaku yang menyimpang dikoreksi secara proaktif. Prosedur yang jelas untuk memberitahu bahwa
prilaku tersebut tidak diharapkan dan langkah-langkah pencegehan ke depan.
5. Pendekatan sistem disiplin yang menyeluruh ini dibuat bersama oleh tim diuji coba, disosialisasikan
dan dimonitor keberhasilannya, dan dimodifikasi secara berkala.
6. Pendekatan sistem disiplin yang menyeluruh harus didukung secara aktif oleh semua warga sekolah.
Berikut ini adalah ringkasan bagaimana mengelola penyimpangan prilaku untuk menegakkan
kedisiplinan.
Mencegah Prilaku Menyimpang
A. Meningkatkan Kualitas Sekolah.
1. Sesuaikan pembelajaran dengan siswa (contoh mengakomodasi berbagai motivasi siswa yang berbeda
dan perkembangan siswa yang berbeda)
2. Berikan status tertentu bagi siswa yang kurang populer (peran khusus sebagai asisten atau totur
sebaya).
3. Identifikasi dan remedi kekurangan secara awal.
B. Tindak lanjuti semua penyimpangan prilaku dan penyebabnya.
1. Identifikasi motivasi siswa yang melakukan prilaku menyimpang.
2. Untuk prilaku menyimpang yang tidak disengaja, berilah penguatan cara mengelola/ menguasai diri
(contoh keterampilan sosial, cara memecahkan masalah).
3. Bila prilaku menyimpang ini,
Cara mengelola berbagai penyimpangan prilaku/kedisiplinan
1. Tindakan Pencegahan
A.
Intervensi
Bila terjadi prilaku menyimpang maka prilaku menyimpang itu harus dikoreksi dengan cara sekecil
mungkin intervensi. Tujuan utama adalah menangani prilaku menyimpang seefektif mungkin untuk
menghindari gangguan sehingga pembelajaran dapat berlangsung lancar. (Slavin, 2000)
Strategi menangani disiplin
Langkah 1: Membantu situasi
– hilangkan objek yang mengganggu
– berikan bantuan tentang kegiatan rutinitas sekolah.
– Beri penguatan terhadap prilaku yang sesuai
– Dukunglah minat siswa.
– Berikan petunjuk
– Bantu siswa mengatasi gangguan
– Arahkan prilaku siswa
– Ubahlah pembelajaran
– Gunakan hukuman non-fisik
– Ubahlah suasana kelas.
Langkah 2: Respon lunak
No Non Verbal Verbal
1 Abaikan prilaku Panggil siswa ketika pembelajaran berlangsung.
2 Gunakan tanda non-verbal Gunakan humor
3 Berdiri dekat siswa Gunakan kalimat positif
4 Peganglah siswa tersebut Ingatkan siswa tentang kesepakatan
5 Beri siswa pilihan kegiatan
Beritahukan prilaku salah yang telah diperbuat.
Langkah 3: Respons menengah
– Hilangkan hak siswa
– Ubahlah tempat duduk
– Mintalah siswa untuk merefleksi masalah yang dihadapi.
– Berilah siswa istirahat
– Mintalah siswa untuk pulang lebih lambat
– Kontak oranng tuanya
– Mintalah siswa untuk menemui kepala sekolah.
Disiplin positif
1. Perhatikan siswa dengan menyeluruh, kontak mata dan sapaan.
2. Tanya siswa apa yang paling mereka sukai di sekolah dan bagaimana kelas yang diinginkan.
3. Galilah prilaku yang menyimpang dan hal-hal yang menyebabkannya.
4. Carilah kesepakatan di kelas.
5. Galilah kesepakatan bagaimana guru harus mengintervensi bila siswa melanggar kesepakatan.
(Charles, 2002: 106-107)
4. 3. Menghilangkan hukuman fisik dan merendahkan oleh guru terhadap siswa
Banyak siswa di berbagai negara, termasuk di Indonesia, menderita karena dihukum secara fisik dan
dihukum secara direndahkan oleh guru di sekolah.
Lebih dari 20 negara di dunia ini telah menerbitkan undang-undang atau peraturan yang melarang
hukuman fisik kepada siswa di sekolah. Gerakan mendunia untuk mengubah budaya menghukum secara
fisik ini telah mencapai momentum yang baik. Hal ini disebabkan oleh pemahaman bahwa anak
mempunyai hak asasi dan juga berdasarkan bukti-bukti medis dan psikologis tentang efek negatif akibat
dari hukuman fisik dan bukti ketidakefektifan hukuman fisik sebagai metode pendisiplinan.
Hukuman fisik ini melanggar hak asasi anak dalam hal integritas fisik dan kehormatannya sebagai
manuasia seperti dicanangkan dalam Konvensi PBB tentang hak-hak anak. Dengan demikian, semua
negara diharapkan dapat memberikan jaminan terlaksananya hak anak yaitu hidup bebas dari kekerasan
termasuk hukuman fisik dan psikhologis di sekolah maupun di rumah.
Definisi Hukuman Fisik
Hukuman fisik adalah hukuman yang melibatkan pemukulan dengan tangan atau objek lain seperti
tongkat, penggaris, ikat pinggang, cambuk, sepatu; menendang, melempar, mencubit, menjambak,
menyuruh siswa untuk berdiri pada posisi yang tidak menyenangkan, atau menyuruh siswa untuk
melakukan kegiatan fisik yang berlebihan, menakuti siswa.
Selain itu hukuman fisik terdapat pula hukuman yang merendahkan seperti menghina mengolok, berkata
kasar, mengisolasi, dan membiarkan siswa. Penting untuk diketahui bahwa tidak ada batasan yang jelas
antara hukuman fisik dengan hukuman yang merendahkan. Siswa sering mempersepsikan bahwa
hukuman fisik juga merendahkan mereka.
Mengapa hukuman fisik itu dilarang?
Seperti telah diketahui bahwa manusia memiliki hak asasi. Berbagai standar perilaku telah ditetapkan
untuk menghormati hak asasi manusia ini. Pemukulan dan penghinaan secara disengaja melanggar hak
asasi manusia. Anak-anak juga manusia mereka memiliki hak asasi yang sama seperti orang dewasa.
Anak-anak adalah manusia hanya mereka masih kecil dan lebih rentan daripada orang dewasa.
Menurut UNESCO hukuman phisik dalam bentuk apapun di sekolah ini dilarang. Memukul anak ini
melanggar hak dasar anak agar anak tersebut dihargai integritas fisiknya dan kehormatannya, seperti
dicanangkan dalam Deklarasi hak asasi manusia.
Penerapan hukuman fisik menyebabkan kesehatan mental terganggu, termasuk diantaranya depresi, tidak
bahagia, cemas, perasaan hampa dalam diri siswa. Hukuman fisik juga
Selain bertentangan dengan hak asasi manusia, hukuman fisik dan hukuman merendahkan juga kadang-
kadang masih dilegalisasi dan masih diterima oleh mayarakat tertentu. Status anak yang masih rendah di
mata masyarakat dan siswa tidak mempunyai kekuatan menyebabkan penerapan larangan hukuman fisik
dan hukuman yang merendahkan di sekolah belum sepenuhnya dapat direalisasikan.
Selain itu berdasarkan bukti-bukti medis dan psikologis, hukuman fisik dan hukuman yang merendahkan
menyebabkan anak beresiko mengalami fisik yang terganggu, kesehatan mental yang terganggu,
hubungan interpersonal yang tidak sehat, internalisasi nilai-nilai moral yang lemah, prilaku anti sosial,
kemampuan beradaptasi yang terganggu.
Beberapa alasan mengapa guru sering menggunakan hukuman fisik dan hukuman merendahkan
1. hukuman fisik merupakan bagian yang penting dalam perkembangan dan pendidikan siswa. Siswa
belajar dari dari pukulan itu untuk menghargai guru atau orang tua, belajar untuk membedakan mana
yang baik dan mana yang salah, belajar mematuhi aturan dan belajar bekerja keras. Tanpa hukuman fisik
siswa tidak akan belajar disiplin atau akan menjadi manja.
Hasil riset menunjukkan bahwa hukuman fisik jarang memotivasi siswa untuk berlaku berbeda karena
hukuman fisik tidak memberikan pemahaman kepada siswa bagaimana siswa harus berlaku. Faktanya
guru seringkali harus mengulangi memberi hukuman fisik untuk perilaku yang sama dan kepada anak
yang sama. Hal ini membuktikan bahwa hukuman fisik ini tidak efektif. Hukuman fisik menimbulkan
rasa takut pada anak tidak menimbulkan rasa hormat dari anak kepada guru atau orang tua. Apakah benar
bahwa kita ingin mengajar siswa untuk menghormati orang yang menggunakan kekerasan untuk
menyelesaikan masalah?
2. Saya dipukuli ketika masih menjadi siswa oleh guru dan orang tua. Sebaliknya saya tidak akan menjadi
orang seperti sekarang kalau tidak karena guru dan orang tua saya.
Guru /orang tua biasanya memukul siswa karena ketika mereka masih menjadi siswa merekapun dipukul.
Siswa belajar dan meniru dari guru dan orang tua. Namun demikian kita akan sia-sia menyalahkan
generasi terdahulu karena mereka bertindak berdasarkan norma atau kebiasaan yang berlaku saat itu.
Akan tetapi sikap sosial ini berubah seiring waktu. Ada banyak orang yang sukses yang tidak dipukul
pada waktu menjadi siswa, akan tetapi lebih banyak orang dewasa yang tidak dapat mengembangkan
potensi hidupnya karena dipukul sewaktu menjadi siswa.
3. Ada perbedaan antara pemukulan yang kejam dan hukuman fisik yang dilakukan guru atau orang tua.
Hukuman fisik ini tidak membahayakan, hanya menyebabkan sakit sedikit dan tidak bisa dikatakan
kekerasan. Kenapa harus dihilangkan?
Semua orang termasuk anak-anak mempunyai hak asasi untuk dihargai kehormatan dan integritasnya.
Dalam banyak kasus, hukuman fisik kecil dapat menyebabkan luka yang tidak dikehendaki. Memukul
siswa/anak tetap berbahaya karena siswa adalah anak-anak dan mereka masih sangat rapuh.
Kerusakan gendang telinga, kerusakan otak, luka atau kematian karena jatuh merupakan konsekuensi atau
akibat dari atau bermula dari hukuman fisik kecil. Berdasarkan hasil-hasil riset, akibat negatif dari
hukuman fisik adalah sebagai berikut.
a. Eskalasi: Hukuman bermula dari hukuman ringan, ketika siswa beranjak lebih besar hukuman ringan
tidak berhasil kemudian meningkat, guru atau orangtua yang dituduh menganiaya siswa atau putranya
mengatakan bahwa penganiayaan bermula dari hukuman fisik biasa.
b. Memotivasi kekerasan: setiap hukuman fisik memberi pesan bahwa kekerasan merupakan jawaban
terhadap konflik atau prilaku yang tidak diinginkan. Agresi melahirkan agresi. Siswa yang mendapat
hukuman fisik akan menjadi agresif terhadap saudaranya, mengancam atau menyakiti siswa lain dan
berprilaku anti sosial ketika mereka dewasa. Jadi menghilangkan hukuman fisik merupakan langkah yang
penting untuk mengurangi kekerasan di masyarakat.
c. Kerusakan psikis: hukuman fisik dapat membahayakan emosi anak. Riset menunjukkan bahwa siswa
akan mendapat pesan yang terbalik antara kasih sayang dengan rasa sakit, marah dengan harus selalu
patuh.
Agar sekolah mengubah dari menekankan pamberian hukuman fisik dan pengontrolan prilaku, maka
sekarang terdapat advokasi untuk memfokuskan pada pendidikan intelegensi emosi dan pendidikan
karakter
Alternatif hukuman: Hukuman Positif/Non-Fisik
Siswa memang perlu belajar untuk disiplin terutama disiplin diri. Akan tetapi untuk mengajarkan disiplin
tersebut bukan dengan cara memberikan hukuman fisik dan hukuman merendahkan karena hukuman ini
terbukti tidak efektif untuk menegakkan disiplin. Sebaiknya guru memberitahu dan menjelaskan kepada
siswa kesalahan apa yang telah mereka lakukan bukan dengan cara memberi hukuman fisik atau hukuman
merendahkan.
Guru-guru perlu diberi keterampilan untuk menggunakan metode pendisiplinan yang tidak berupa
hukuman fisik atau hukuman yang merendahkan anak. Berikut ini adalah beberapa petunjuk dan hal-hal
yang dapat dilakukan oleh Kepala sekolah/guru dalam hal hukuman positif/non-fisik.
1. Beri penghargaan/pujian bila siswa patuh atau dapat melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini akan
memotivasi siswa lain untuk mengikuti pprilaku tersebut and memotivasi mereka untuk berdisiplin diri.
Pujian ini tidak perlu modal apapun, bahkan penghargaan tidak harus menghabiskan uang bayak.
Penghargaan ini dapat berupa pemberian kegiatan yang menyenangkan siswa.
2. Berilah model/contoh prilaku yang diinginkan. Bila kita tidak ingin siswa kita berbicara bahasa yang
tidak baik, maka kitapun tidak boleh berbicara yang tidak baik.
3. Realistiklah terhadap harapan kita pada siswa-siswa menurut tingkatan usianya.
4. Motivasilah siswa-siswa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, karena mereka seringkali dapat
menemukan kompromi yang dapat diterima kedua belah pihak.
5. Jangan gunakan ancaman atau berteriak kepada siswa. Lebih baik mereka diberitahu kesalahannya dan
alasannya daripada ditakuti-takuti atau dilecehkan
6. Gunakanlah kata-kata yang baik untuk siswa-siswa anda. Bila anda menggunakan kata yang
melecehkan atau menghina ini akan menjadikan siswa tersebut rendah diri.
7. Negosiasi dan berkompromilah, terutama bila anda harus menemukakan pendapat anda. Kajilah apa
yang akan anda katakan itu penting atau tidak? Apakah hal yang akan anda katakan ini mempengaruhi
keselamatan siswa? Apakah ada yang terluka dengan apa yang akan saya katakan?
8. Gunakan metode bimbingan dan penyuluhan terutama dengan siswa kelas tinggi. Bila diperlukan
undanglah orangtua/keluarga yang dihormatinya. Diskusikan dengan orangtua/keluarga prilaku negatif
siswa dan prilaku yang diharapkan dari siswa tersebut.
9. Siswa belajar dengan cara melakukan, dengan demikian berilah tugas yang tidak mengandung
kekerasan, tugas sebaiknya berhubungan dengan kesalahan siswa. Misalnya siswa diminta membetulkan,
membersihkan sesuatu yang pecah, dengan demikian siswa tidak akan mengurangi perbuatannya.
4.4 Menghilangkan kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah di sekolah
Definisi
Kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah (bullying) adalah suatu situasi dimana seorang siswa atau
lebih secara terus menerus melakukan tindakan yang menyebabkan siswa lain menderita. Kekerasan
terhadap siswa yang lebih lemah ini dapat berbentuk tiga hal yaitu:
1. secara fisik, memukul, menendang, mengambil milik orang lain
2. Secara verbal: mengolok-olok nama siswa lain, menghina, mengucapkan kata-kata yang menyinggung.
3. secara tidak langsung: menyebarkan cerita bohong, mengucilkan, menjadikan siswa tertentu sebagai
target humor yang menyakitkan, mengirim pesan pendek atau surat yang keji.
Mengolok-olok nama merupakan hal yang paling umum karena ciri-ciri fisik siswa, suku, warna kulit,
dan lain-lain.
Identifikasi Kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah
Mengidentifikasi Kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah ini tidaklah mudah, hal-hal berikut harus
dipahami untuk menentukan apakah suatu tindakan dikatakan mengancam atau menyakiti siswa lain.
1. Bila siswa yang diancam atau disakiti tidak mempunyai posisi untuk menghentikan proses menyakiti
atau mengancam tersebut.
2. Kekerasan antar siswa ini tidak selalu terlihat jelas oleh guru atau siswa lain.
3. Efeknya yang menentukan bukan tindakannya.
4. Kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah ini bukan tidak tunggal tetapi dilakukan terus-menerus
secara berkesinambungan.
5. Kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah bertujuan untuk menyakiti atau membuat kesal siswa lain.
4. Kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah bertujuan tidak hanya menyakiti secara fisik tetapi juga
secara psikis dan sosial.
Agar kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah ini tidak terjadi maka perlu dibuat aturan sekolah untuk
melindungi siswa korban kekerasan. Tindakan pencegahan dan strategi mengelola kekerasan terhadap
siswa yang lebih lemah ini juga perlu dibuat untuk melindungi korban agar tindakan kekerasan tidak
berlangsusng terus-menerus.
Sealin itu sekolah harus terbuka mengenai isu kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah ini. Semakin
sekolah terbuka mengenai isu kekerasan ini, semakin siap sekolah tersebut menangani kekerasan dan
semakin baik mengelolanya. Sekolah harus mempunyai catatan yang akurat tentang kejadian kekerasan
yang terjadi di sekolah dan bagaimana cara menanganinya untuk keperluan monitoring dan untuk
melindungi sekolah dari tuntutan hukum.
Sekolah sebaiknya mempunyai strategi anti kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah yang dapat
berbentuk 4 cara:
1. Pencegahan
Pencegahan preventif diintegrasikan dalam semua kurikulum mata pelajaran, termasuk hubungan,
tanggung jawab, dan akibat negatif dari kekerasan. Dengan demikian mata pelajaran dapat menyangkut
aspek keterampilan sosial dan emosional yang sangat penting.
2 Dukungan antar teman
Memberikan dukungan yang aktif kepada teman sangatlah penting. Program pertemanan ini dapat
dipersiapkan oleh sekolah secara formal ataupun informal agar siswa-siswa dapat saling mendukung
secara akatif.
2. Prosedur yang jelas
Prosedur untuk menyampaikan keluhan tindakan kekerasan antar teman harus tersedia, misalnya kepada
unit bimbingan dan konseling, atau konseling antar teman. Demikian pula prosedur untuk mnecatat dan
memonitor kekerasan harus jelas.
5. Promosi
Promosi tentang anti kekerasan terhadap siswa yang lebih lemah dan strateginya diberikan kepada seluruh
warga sekolah: siswa, orang tua, komite sekolah, masyarakat. Bentuknya dapat berupa leaflet, poster,
laporan berkala dan bentuk penerbitan lain yang berisi kebijakan anti kekerasan sekolah yang sangat
membantu menyampaikan informasi ini.

Monev (1) : Mengapa Monitoring Penting?


Sugiarto Arif Santoso1
Kesulitan yang sering dihadapi penggiat organisasi adalah bagaimana mengukur keberhasilan kerja-kerja
mereka pada periode tertentu secara sistematis. Mereka beranggapan bahwa kerja-kerja mereka sudah
maksimal sementara mereka gelisah dengan pertanyaan sudah sampai dimana dan sedang menuju kemana
kerja-kerja mereka. Mereka mengatakan sudah melakukan monitoring yang dilakukan melalui rapat-rapat
organisasi, dan selalu memantau kerja-kerja staf mereka secara rutin. Kegiatan-kegiatan monitoring
tersebut mungkin cukup baik bagi organisasi namun pada kenyataannya belum dapat menjawab mengenai
ukuran keberhasilan itu sendiri.
Menentukan ukuran keberhasilan pencapaian program dalam organisasi merupakan hal vital. Oleh karena
itu monitoring dalam organisasi selalu melihat pada ukuran keberhasilan suatu pencapaian baik di tingkat
output, outcome maupun impact. Baiknya penyusunan ukuran keberhasilan sangat menentukan baiknya
organisasi menampilkan kemajuan dan efek yang ditimbulkan dari pelaksanaan program. Dalam kerangka
teori dapat dikatakan bahwa monitoring adalah pengukuran atas kemajuan dan efek yang ditimbulkan dari
pelaksanaan program dalam organisasi secara periodik dan sistematik.
Dimana letak monitoring dalam kerangka perencanaan dalam organisasi? Sering ditemukan dalam banyak
organisasi, bahwa pengiat organisasi tidak memasukkan skema monitoring dalam penyusunan
perencanaan. Monitoring dianggap menjadi bagian terpisah dari perencanaan, namun pada saat yang
bersamaan mereka berharap hasil monitoring dapat menjelaskan kemajuan pencapaian program dalam
organisasi. Pada kenyataannya hasil monitoring tidak berhasil memetakan perubahan-perubahan dari
waktu ke waktu, selain itu hasil monitoring cenderung mengalami induksi yang seharusnya dihindari
dalam memperoleh bukti-bukti kemajuan program dalam organisasi. Ternyata penjelasan yang banyak
atas perkembangan program dalam organisasi tanpa ukuran keberhasilan ataupun penanda penjelasan
tersebut tidak terarah dan tidak membantu mencapai tujuan monitoring.
Ukuran keberhasilan program dalam organisasi harus disusun sejak awal, selanjutnya diintegrasikan
dalam sistem monitoring. Oleh karena itu perencanaan organisasi mencakup kegiatan menyusun ukuran-
ukuran keberhasilan, strategi-strategi program, pembiayaan dan sistem monitoring yang ingin dilakukan.
Monitoring dapat diartikan upaya yang dilakukan dalam mengukur kemajuan dan menjadi early warning
system bagi organisasi untuk memperbaiki programnya ke depan.
Monitoring yang ideal adalah monitoring yang dilakukan secara periodik dan sistematis. Pada praktiknya,
monitoring secara periodik dan sistematik sulit dilakukan secara konsisten. Hal ini terjadi karena
mengejar deadline program. Banyaknya program dalam organisasi bukanlah masalah yang sebenarnya,
tetapi kapasitas organisasi dalam mengelola waktu dan program ternyata lebih penting untuk
ditingkatkan. Hal lain yang umum dijumpai adalah lemahnya kapasitas pegiat organisasi dalam
memahami ukuran keberhasilan program dalam organisasi. Hal ini terlihat dalam laporan monitoring
yang berasal dari staf, lebih cenderung lemah dalam memahami bagaimana aliran data hingga menjadi
bahan monitoring mengamati kemajuan pogram dalam organisasi.

Monev (2) : Mengenal Indikator, Output dan Outcome dalam Monitoring ?


Sugiarto Arif Santoso1
Monitoring merupakan bagian integral dari perencanaan yang sudah disusun. Oleh karena itu prasyarat
penting dalam monitoring adalah memahami perencanaan program baik pendekatan maupun hasil
perencanaan. Dalam hal pendekatan program secara umum ada yang menggunakan pendekatan berbasis
aset dan berbasis masalah. Dalam konteks monitoring saat ini yang digunakan adalah pendekatan berbasis
masalah, yaitu suatu pendekatan yang diawali dengan mengidentifikasi masalah-masalah sebagai dasar
dalam penyusunan program. Salah satu yang digunakan dalam seri monitoring kali ini adalah RBM
(Result Based Management). Hal penting yang diperlukan dalam perencanaan program adalah bagaimana
perencanaan program berhasil merumuskan perubahan yang dikehendaki secara logis dan rasional dalam
setiap tingkat perubahan. Hal ini akan memudahkan organisasi membaca kemajuan dan efek program
yang dijalankannya dari tahun ke tahun. Di bawah ini ada beberapa istilah penting dalam monitoring yang
perlu diketahui, sebagai berikut.
Indikator
Indikator atau ukuran keberhasilan adalah alat untuk memberikan signal tentang pencapaian hasil
program dalam bentuk yang terukur dan operasional – mengukur pencapaian hasil aktual versus hasil
yang diharapkan, dalam kurun waktu tertentu. Indikator itu sendiri terdiri atas dua jenis:
 Indikator kuantitatif yaitu mengukur kuantitas, seperti: jumlah, prosentase, tingkat pendapatan.
 Indikator kualitatif yaitu merefleksikan opini, judgement, persepsi, dan perilaku orang atas
subyek/isu tertentu; misalnya: tingkat kepuasan, tingkat pengaruh, tingkat partisipasi, tingkat
keterbukaan, aplikasi informasi/teknologi, bentuk dialog.
Pada beberapa kasus, indikator merupakan gabungan antara kualitas dan kuantitas. Contoh indikator
gabungan yaitu “jumlah dan tingkat partisipasi guru”. Indikator ini mencerminkan berapa jumlah guru
yang berpartisipasi dan pada tingkat mana partisipasi itu terjadi. Tingkat partisipasi dapat mengacu pada
Sherry R Arnstein (1969), dan dapat ditargetkan pada tingkat apa partisipasi dapat dicapai. Oleh karena
itu, setiap indikator harus disertakan juga dengan target indikator. Oleh karena itu tips penyusunan
indikator dapat menggunakan rumus SMART sebagai berikut:
 S (Specifik): jelas yang dimaksud, dimana, kapan dan bagaimana situasi akan berubah;
 M (Measurement): target-target dan manfaat mampu dikuantifikasi;
 A (Achievable): dapat berkontribusi pada tujuan-tujuan organisasi;
 R (Realistis): memungkinkan mencapai level perubahan berkaitan dengan tujuan organisasi.
 T (Time bound): dapat diikur dari waktu ke waktu.
Output
Output adalah pernyataan hasil pada tingkat pencapaian jangka pendek, langsung dapat diperoleh hasil
dari kegiatan yang dilakukan dan seluruhnya dalam kendali managemen organisasi. Contoh output
“Dokumentasi praktik baik terkelola dengan baik”. Pendokumentasian praktik baik dapat diperoleh
langsung melalui kegiatan-kegiatan seperti workshop, FGD, ataupun riset dan penulisan. Beberapa
dokumen perencanaan organisasi masih menyamakan antara kegiatan dan output. Padahal kegiatan
merupakan cara atau strategi agar output dapat tercapai. Kegiatan workshop, FGD, riset dan penulisan
merupakan cara-cara untuk mencapai hasil yaitu “Dokumentasi praktik baik terkelola dengan baik”.
Outcome
Outcome merupakan pernyataan hasil pada tingkat pencapaian jangka menengah, tidak langsung
diperoleh melalui kegiatan dan membutuhkan sebagian kontribusi dari pihak lain (misalnya pemangku
kepentingan, penerima manfaat, media, mitra kerja dan lain sebagainya). Outcome dapat dicapai melalui
pencapaian pada tingkat output ditambahkan dengan asumsi pendukungnya. Contoh outcome,
“Meningkatnya partisipasi guru dalam menggunakan metode pembelajaran berbasis teknologi”. Guru
dalam hal ini adalah pihak lain dalam kawasan intervensi perubahan perilaku dari menggunakan metode
konvensional kepada metode berbasis teknologi. Intervensi yang dapat dilakukan organisasi terletak pada
metode pembelajaran berbasis teknologi. Keberhasilan program dapat dinilai apabila guru-guru dengan
kesadaran sendiri melakukan pembelajaran dengan metode berbasis teknologi. Penilaian tersebut akan
berhasil dilakukan apabila indikator dan target pada tingkat outcome terumuskan dengan baik sesuai
kaidah SMART di atas.
Dengan memahami istilah-istilah dalam monitoring diperoleh manfaat yaitu adanya pemahaman
mengenai konteks, alur program, perubahan-perubahan yang diharapkan oleh organisasi melalui program
yang dijalankannya dan lain sebagainya. Pemahaman di atas pihak lain dapat mudah memahami konteks
program yang dijalankan dan kemungkinan menjadi mendukung pencapaian program lebih besar.

Monev (3) : Pengumpulan Data Monitoring


Sugiarto Arif Santoso1
Salah satu tahap penting dalam monitoring adalah pengumpulan data. Data dapat bersumber dari
penerima manfaat baik perorangan, komunitas maupun organisasi; pemangku kepentingan; media;
akademisi; dan mitra kerja organisasi lainnya yang terlibat dalam program organisasi. Data umum yang
dibutuhkan dari sumber data di atas berkaitan dengan ketepatan waktu dan substansi program, kualitas
pelaksana program, dan pemanfaatan program. Sedangkan spesifik data yang dibutuhkan sangat terkait
dengan indikator dan target yang telah ditetapkan.
Pengumpulan data sebaiknya melibatkan seluruh individu dan institusi yang berkepentingan dalam
proyek. Rencana monitoring dengan melibatkan seluruh individu dan institusi telah tertuang dalam sistem
monitoring yang terintegral di dalam perencanaan organisasi. Individu yang terlibat dalam monitoring
idealnya menyusun kerangka pengumpulan data sesuai dengan data yang dibutuhkan. Pada institusi yang
telah mempunyai unit monitoring dan evaluasi, biasanya unit ini bertugas dalam menyediakan instrumen
pengumpulan data yang dibutuhkan serta mempunyai data base data dan informasi yang terintegrasi
dengan data-data lainnya dalam organisasi.
Dalam sistem monitoring juga penting diperhatikan adalah sumber-sumber verifikasi dan metode yang
digunakan dalam pengambilan data. Sumber verifikasi adalah bukti-bukti pendukung kemajuan dan efek
yang timbul dari pelaksanaan program. Sumber verifikasi dapat berupa catatan, laporan, data statistik,
hasil wawancara, kliping koran, hasil survey dan lain sebagainya. Sumber verifikasi yang dipilih
tergantung pada indikator yang sedang dimonitor. Selanjutnya menentukan sumber verifikasi dengan
mempertimbangkan aspek biaya dan komplesitas dalam
pengumpulan data.
Semakin kecil kompleksitas pengumpulan datanya semakin kecil biayanya. Lihat misalnya catatan
administrasi ataupun laporan-laporan manajemen. Sumber verifikasi ini tidak memerlukan komplesitas
yang tinggi, tidak memerlukan untuk mengkontrak seorang konsultan profesional untuk mengerjakannya.
Sehingga biaya yang dikeluarkan juga tidak besar. Demikian juga dengan sumber verifikasi dengan
komplesitas yang tinggi, misalnya melakukan survey yang sudah tentu melibatkan responden dan
kunjungan lapangan. Verifikasi seperti ini memerlukan dana yang cukup besar untuk merekrut tenaga
pengumpul data lapangan yang cukup besar. Biasanya monitoring untuk program dengan skala penerima
manfaat dan lokasi yang kecil tidak memerlukan biaya yang besar sehingga dapat memilih sumber
verifikasi dengan komplesitas yang rendah. Sedangkan program dengan skala program yang besar
kemungkinan mengalokasikan dana yang memadai untuk melaksanakan verifikasi dengan kompleksitas
yang tinggi.
Metode pengumpulan data merupakan suatu cara mendapatkan data atau informasi yang berasal dari
individu ataupun institusi. Beberapa metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam monitoring
sebagai berikut:
 Review dokumen atau study literature;
 Survey;
 Wawancara;
 Diskusi komunitas;
 Observasi;
 Mendengar perbincangan;
 Brainstorming;
 Percakapan informal;
 Pemetaan;
 Dan lain sebagainya.
Sebelum pengumpulan data dilakukan disarankan melakukan analisis situasi. Pentingnya analisis situasi
antara lain; (1) memberi pemahaman pengumpul data mengenai dinamika penerima manfaat dan
stakeholder; dan (2) membantu memberi klarifikasi mengenai kondisi sosial, ekonomi, budaya dan
politik. Analisis situasi dapat dilakukan dengan diskusi refleksi melibatkan individu yang terlibat dalam
kegiatan. Tahapan ini dapat dilakukan seiring dengan mendiskusikan instrumen pengumpulan data dan
teknis pengelolaan pengumpulan data.
MODUL VI
MONITORING PENGENDALIAN EVALUASI DAN PELAPORAN
PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DI PUSKESMAS

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Monitoring, pengendalian, evaluasi, yang di dalamnya termasuk penilaian kinerja organisasi
dan pelaporan merupakan suatu fungsi manajemen yang harus menjadi pendukung
kompetensi seorang manajer kesehatan. Monitoring, pengendalian, dan evaluasi diperlukan
untuk mengetahui dan menjamin kemajuan suatu program atau kegiatan pelayanan, dan untuk menilai
hasil akhir dari suatu program ataupun kegiatan pelayanan. Sedang pelaporan adalah sarana untuk
informasi dan pertanggung jawaban pelaksanaan program.
Kepala Puskesmas dan para supervisor di puskesmas perlu melakukan monitoring, pengendalian dan
evaluasi seluruh kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan di puskesmas, namun sering karena
keterbatasan-keterbatasan yang ada di Puskesmas maka untuk evaluasi biasanya difokuskan pada
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program pokok Puskesmas.
Monitoring, pengendalian dan evaluasi sebenarnya merupakan bagian dari fungsi pengawasan dan
berkaitan erat dengan modul-modul lain yang menguatkan pelaksanaan semua fungsi manajemen, mulai
dari poerencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan, pengawasan (controlling) itu sendiri, Tidak
menutup kemungkinan pada pelaksanaan setiap fungsi manajemen tersebut sudah ditemukan
penyimpangan yang segera perlu diperbaiki/ diluruskan, maka modul ini sangat penting dikuasai
pimpinan Puskesmas untuk menunjang pelaksanaan tugas kepemimpinan dan manajemen Puskesmas.

Deskripsi Singkat Modul


Modul Monitoring Pengendalian Evaluasi dan Pelaporan mencakup penguatan pimpinan
Puskesmas dalam melaksanakan monitoring pengendalian evaluasi dan pelaporan program
sebagai bagian kemampuan pimpinan dalam melakukan pengawasan dan menilai
keberhasilan pelaksanaan program pelayanan kesehatan pertama di Puskesmas. Untuk itu dalam modul
ini dibahas pula tentang penilaian kinerja organisasi, sebagai salah satu pengukur pencapaian tujuan
Puskesmas, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama.
Modul akan membahas tentang konsep dan pelaksanaan monitor-ring,dan pengendalian,
evaluasi, penilaian kinerja Puskesmas dan pelaporan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
pertama di Puskesmas. Diharapkan dapat menguatkan kemampuan pimipinan Puskesmas
dalam pengawasan dan penilaian program.
Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan Pembelajaran Umum


Memberikan pemahaman dan keterampilan dasar kepada para linatih dalam melakukan Monitoring
dan pengendalian, evaluasi, penilaian kinerja dan pelaporan pelayanan kesehatan tingkat pertama
dipuskesmas
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Memberikan pemahaman dan keterampilan dasar kepada para linatih, sehingga para linatih mampu:
a. Menjelaskan pengertian monitoring, pengendalian dan evaluasi program/kegiatan.
b. Menjelaskan perbedaan monitoring, pengendalian, dan evaluasi
c. Menjelaskan fungsi monitoring, pengendalian dan evaluluasii program/kegiatan pelayanan
kesehatan di Puskesmas.
d. Merencanakan proses/ kegiatan monitoring, pengendalian dan evaluasi.
e. Melaksanakan kegiatan monitoring dan evalusi program kegiatan pelayanan kesehatan di
Puskesmas.
f. Menjelaskan pengertian penilaian kinerja
g. Menjelaskan fungsi dan proses penilaian kinerja
h. Melaksanakan penilaian kinerja
i. Menjelaskan pengertian pelaporan
j. Membuat pelaporan kegiatan/program pelayanan kesehatan tingkat pertama di Puskesmas
Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
Modul ini terdiri dari 4 Materi Pokok,dan Sub Materi Pokok yang masing-masing akan
dibahas lebih mendalam, sebagai berikut:
A. Monitoring,dan Pengendalian
 Konsep
 Langkah – langkah pelaksanaan Monitoring dan Pengendalian
B. Evaluasi
 Konsep
 Langkah – langkah pelaksanaan evaluasi
C. Penilaian Kinerja
 Identifikasi Permasalahan Kinerja
 Menyusun Indikator Penilaian Kinerja
 Monitoring dan Penilaian Kinerja
 Faktor-Faktor Penunjang dan Penghamabat Kinerja
 Sub Pokok Bahasan 5 Rencana Perbaikan Kinerja
D. Pelaporan
 Konsep Pelaporan
 Langkah – langkah penyusunan Pelaporan
 Penyusunan Pelaporan Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama di Puskesmas
E. Alokasi Waktu:
 Pembelajaran online:
- 7 hari pembelajaran mandiri teori dan referensi
- 5 hari penugasan online
 Pembelajaran tatap muka: 4JPL (setengah hari)
 Kaji Banding: 4 hari
 Tahap Implementasi: 90 hari berupa praktek lapang terintegrasi
 dengan modul lainnya
II. URAIAN MATERI
POKOK MATERI I: MONITORING DAN PENGENDALIAN
1.1. Pendahuluan
Untuk mencapai kinerja yang diharapkan, para manajer dan pemimpin Puskesmas perlu melakukan
monitoring dan pengendalian terhadap proses pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat
tingkat pertama di Puskesmas.
Perencanaan, monitoring (dan pengendalian) dan evaluasi merupakan kegiatan yang berkaitan.
Berdasarkan perencanaan yang telah disusun,serta lokakarya mini Puskesmas, pelaksanaan kegiatan
perlu dimonitor dan dikendalikan agar selalu disiplin mengikuti rencana
yang telah ditetapkan serta keputusan-keputusan dalam lokakarya mini. Perlu pula dilakukan
monitoring terhadap perubahan lingkungan organisasi yang mungkin dapat mendasari perlunya
dilakukan koreksi atau penyesuaian terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan (seperti misal
pemotongan anggaran, adanya perubahan pola penyakit akibat terjadinya wabah, adanya bencana
alam, diberlakukanya aturan perundangan yang baru dsb).Hasil monitoring dan pengendalian harus
dikemas dalam bentuk informasi yang jelas, lengkap dan mudah dipahami bagi semua yang terlibat
dalam kegiatan (pimpinan sampai staf pelaksana/ pendukung) sehingga dapat dipakai untuk
melakukan koreksi (bila diperlukan) atau penyesuaian kegiatan atau bahkan juga replaning.
Monitoring dan pengendalian dilakukan terhadap kegiatan program atau pelayanan kesehatan yang
sedang berjalan, sehingga koreksi (bia ditemukan penyimpangan) dapat dilaksanakan segera saat itu
untuk lebih dapat menjamin pencapaian tujuan Puskesmas atau tujuan yang telah disesuaikan.
1.2. Pengertian monitoring dan pengendalian
Monitoring adalah kegiatan untuk mengikuti suatu program dan pelaksanaanya secara mantap,
teratur dan terus menerus dengan cara mendengar, melihat dan mengamati dan mencatat keadaan
serta perkembangan program tersebut.
Monitoring adalah upaya yang dilakukan secara rutin untuk mengidentifikasi pelaksanaan dari
berbagai komponen program sebagaimana telah direncanakan, waktu pelaksanaan program
sebagaimana telah dijadwalkan, dan kemajuan dalam mencapai tujuan program (UNESCO).
Monitoring adalah suatu kegiatan untuk mengikuti perkembangan suatu program yang dilakukan
secara mantap dan teratur serta terus menerus (Suherman, dkk.1988).
Monitoring merupakan fungsi manajemen yang berkesinambungan yang mempunyai tujuan utama
menyediakan umpan balik dan indikasi awal tentang bagaimana kegiatan-kegiatan dilaksanakan,
perkembangan atau pencapaian kinerja dari waktu ke waktu serta pencapaian hasil yang diharapkan
kepada manajer dan stakeholders.
Monitoring melacak kinerja yang nyata terhadap apa yang direncanakan atau diharapkan dengan
menggunakan standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Monitoring meliputi kegiatan pengumpulan
dan analisis data tentang proses dan hasil dari pelaksanaan program atau kegiatan dan memberikan
rekomendasi untuk melakukan tindakan koreksi. Monitoring Pengendalian adalah tindak lanjut dari
monitoring. Monitoring sebenarnya lebih ditekankan pada kegiatan mencermati proses pelaksanaan
kegiatan serta adanya perubahan lingkungan organisasi. Hasil monitoring akan memberikan umpan
balik, apakah kegiatan dapat berjalan semestinya, ataukah terjadi adanya penyimpangan dari yang
direncanakan, atau bahkan perencanaan yang tidak tepat atau menjadi tidak tepat oleh adanya
perubahan lingkungan. Hasil monitoring dipakai sebagai dasar tindakan manajemen, mulai dari
penjaminan kegiatan tetap pada tracknya sampai pada tindakan koreksi dan/ atau
penyesuaian.Pengertian inilah yang dilmaksud sebagai pengendalian, sehingga sering pengendalian
tidak dapat dipisahkan atau bahkan sulit dibedakan dengan monitoring itu sendiri. Monitoring dan
pengendalian adalah sebuah kesatuan kegiatan, yang sering juga disebut sebagai on-going evaluation
atau former evaluation.
1.3. Fungsi monitoring dan pengendalian
Adalah fungsi manajemen yang berkesinambungan untuk memberikan rekomendasi untuk
melakukan tindakan koreksi kepada pimpinan puskesmas dan stakeholders lainnya. Bila kemudian
tindakan koreksi dilakukan maka fungsi pengendalian akan terlaksana secara lengkap.
Hasil monitoring dan pengendalian yang telah dianalisis dan diolah dapat dijadikan sebagai
informasi yang dapat dipahami dengan mudah oleh manajer/stake holder (Pimpinan Puskesmas)
untuk dasar pengambilan keputusan tindak lanjut, baik menyangkut kegiatan yang sedang berjalan
maupun kegiatan yang akan datang.
1.4. Tujuan monitoring dan pengendalian
1. Menjamin kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, yang
mencakup standar input (waktu, biaya, SDM, tehnologi, prosedur dll).
2. Memberikan informasi kepada pengambil keputusan tentang adanya penyimpangan dan
penyebabnya, sehingga dapat mengambil keputusan untuk melakukan koreksi pada
pelaksanaan kegiatan atau program berkait, baik yang sedang berjalan maupun
pengembangannya di masa mendatang.
3. Memberikan informasi/laporan kepada pengambil keputusan tentang adanya perubahan-
perubahan lingkungan yang harus ditindak lanjuti dengan penyesuaian kegiatan.
4. Memberikan informasi tentang akuntabilitas pelaksanaan dan hasil kinerja
program/kegiatan kepada pihak yang berkepentingan, secara kontinyu dan dari waktu ke
waktu.
5. Informasi dari hasil monitoring dan pengendalian dapat menjadi dasar pengambilan
keputusan yang tepat dan akuntabel, untuk menjamin pencapaian hasil/tujuan yang lebih
baik, efektif dan lebih efisien dalam penggunaan sumberdaya. Adapun tujuan yang lain
dari pelaksanaan monitoring dan pengendalian adalah:
 Pembelajaran untuk mengetahui mengapa program kegiatan dapat terlaksana dengan
baik atau tidak baik,,apa penyebab yang mempengaruhinya serta bagaimana koreksi
dapat dilakukan.
 Untuk melakukan verifikasi dan meningkatkan kualitas manajemen program, untuk
mengidentifikasi strategi yang berhasil dalam rangka ekstensi/ekspansi dan
replikasi.
 Untuk memodifikasi strategi yang kurang berhasil.
 Untuk mengukur keberhasilan dan manfaat suatu intervensi.
 Untuk memberi informasi kepada stakeholders agar stakeholders dapat
menyebutkan hasil dan kualitas program.
 Untuk memberikan justifikasi atau validasi kepada donor, mitra atau konstituen
yang berkepentingan.
1.5. Langkah-langkah monitoring dan pengendalian
Langkah utama monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan standar dan indikator untuk menilai proses pelaksanaan program/ kegiatan.
Standar biasa mencakup semua input yang digunakan (dana, meteri/bahan, cara atau
metode, SDM, Prosedur, Tehnologi dll).
2. Mengumpulkan data dan melakukan investigasi kinerja (pengamatan) dari pelaksanaan
kegiatan/ proses kegiatan yang dipilih untuk dibandingkan dengan standar/indikator
(baik kualitatif maupun kuantitatif) yang telah ditentukan.
3. Mengamati perubahan lingkungan dan mengumpulkan data untuk pengkajian pengaruh
lingkungan tersebut terhadap kegiatan yang sedang dilaksanakan.
4. Pengolahan, analisis data dan sistesis hasil. Data yang dikumpulkan (termasuk perubahan
lingkungan) diolah dan dianalisis untuk membuat penilaian dan kesimpulan tentang
proses pelaksanaan kegiatan. Hasil analisis dan kesimpulan akan digunakan lebih lanjut
untuk perumusan rekomendasi tindak lanjut.
5. Pengambil keputusan melakukan tindakan (termasuk koreksi dn penyesesuai kegiatan,
maupun perencanaan ulang).
6. Menyampaikan semua hasil monitoring, pengendalian dan tindak lanjut kepada pihak
yang berkepentingan sebagai wujud akuntabilitas dan proses pengambilan keputusan
lebih lanjut.

Pengendalian berbeda dengan monitoring hanya pada


kewenangan dari manajer untuk langsung melakukan intervensi
ketika hasil monitoring tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Jadi pengendalian adalah kegiatan monitoring
ditambah dengan tindakan intervensi yang dilakukan oleh
manajer (pengendali/ superisor/ pelaksana monitoring).
Perbedaan monitoring dan evaluasi ada pada tabel di bawah ini:
Table 1. Characteristics of Monitoring and Evaluation

Monitoring Evaluation
Continuous Periodic: at important milestones such as the mid-
term of programme implementation; at the end or a
substantial period after programme conclusion
Keepstrack; oversight; analyses and In-depth analysis; Compares planned with actual
documents progress achievements
Focuses on inputs, activities, outputs, Focuses on outputs in relation to inputs; results in
implementation processes, continued relation to cost; processes used to achieve results;
relevance, likely results at outcome overall relevance; impact; and sustainability
level
Answers what activities were Answers why and how results were achieved.
implemented and results achieve Contributes to building theories and models for
change
Alerts managers to problems and Provides managers with strategy and policy
provides options for corrective actions options
Self-assessment by programme Internal and/or external analysis by programme
managers, supervisors, community managers, supervisors, community stakeholders,
stakeholders, and donors donors, and/or external evaluators
Sources: UNICEF, 1991. WFP, May 2000.
Monitoring, pengendalian dan evaluasi merupakan alat manajemen untuk memberikan informasi kepada
pengambil keputusan dan menunjukkan akuntabilatas program atau kegiatan. Evaluasi bukan pengganti
monitoring dan pengendalian, demikian sebaliknya monitoring dan pengendalian tidak bisa menggantikan
evaluasi. Data yang dihasilkan secara sistematis pada waktu kegiatan monitoring sangat menentukan
keberhasilan evaluasi

SEKARANG SAYA TAHU


2.1. Yang dimaksud dengan monitoring adalah upaya yang dilakukan secara rutin untuk
mengidentifikasi pelaksanaan dari berbagai komponen program sebagaimana telah
direncanakan, waktu pelaksanaan program sebagaimana telah dijadwalkan, dan kemajuan
dalam mencapai tujuan program (UNESCO) .
2.2. Yang dimaksud, pengendalian adalah tindakan manajemen, mulai dari penjaminan kegiatan tetap
pada tracknya sampai pada tindakan koreksi dan/atau penyesuaian pelaksanaan program berdasarkan hasil
monitoring (temuan adanya penyimpangan).
2.3. Fungsi monitpring dan pengendalian adalah fungsi manajemen yang berkesinambungan untuk
memberikan rekomendasi untuk melakukan tindakan koreksi kepada pimpinan puskesmas dan
stakeholders lainnya. Bila kemudian tindakan koreksi dilakukan maka fungsi pengendalian akan
terlaksana secara lengkap.
2.4. Tujuan monitoring dan pengendalian adalah untuk menjamin agar kegiatan program dapat
dilaksanakan sesuai rencana dan dapat disesuaikan dengan perubahan lingkungan organisasi agar Tujuan
organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien
2.5. Langkah-langkah pelaksanaan monitoring dan pengendalian adalah
1. Menetapkan standar dan indikator untuk menilai proses pelaksanaan program/ kegiatan
2. Mengumpulkan data dan melakukan investigasi kinerja dari pelaksanaan kegiatan
3. Mengamati perubahan lingkungan serta pengaruhnya terhadap kegiatan program
4. Pengolahan dan analisis data serta sisteis hasil untuk perumusan tindak lanjut/ intervensi
5. Pengambilan keputusan dan melakukan tindakan (termasuk koreksi dn penyesesuai kegiatan,
maupun perencanaan ulang)
6. Akuntabilitas pelaksanaan program kepada stakeholder
6. POKOK MATERI II: EVALUASI PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DI
PUSKESMAS
6.I Pendahuluan
Untuk mencapai dan menilai kinerja yang diharapkan, manajer dan pemimpin pada organisasi di sektor
kesehatan (termasuk Puskesmas) perlu melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan pelayanan
kesehatan maupun program-program kesehatan.
Perencanaan, monitoring dan evaluasi merupakan kegiatan yang berkaitan. Evaluasi perlu dilakukan
terhadap setiap fungsi manajemen yang dilakukan, mulai dari perencanaan, penggerakan dan
pengorganisasian, serta pengawasan. Selain itu evaluasi juga perlu dilakukan pada setiap tahap dalam
proses manajemen, mulai dari input, proses, output, outcome dan dampak. kegiatan/program, Tidak kalah
pentingnya evaluasi juga harus dilakukan pada akhir kegiatan untuk menilai pencapaian tujuan atau target
suatu program atau kegiatan pelayanan.
Hasil evaluasi selain digunakan untuk melakukan koreksi terhadap kegiatan atau program pelayanan yang
sedang berjalan, juga digunakan untuk melakukan perencanaan pengembangan program dan kegiatan di
waktu mendatang.
6.2 Pengertian Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan yang terikat dengan waktu untuk mengkaji secara sistematis dan objektif,
relevansi, kinerja, dan keberhasilan dari program yang sedang berjalan atau program yang telah selesai.
Evaluasi dilakukan secara selektif untuk menjawab pertanyaan spesifik, yang akan dijadikan pedoman
bagi pengambil keputusan atau manajer, serta untuk menyediakan informasi apakah asumsi atau teori
yang melatar belakangi suatu program adalah valid, apakah program berhasil atau tidak berhasil dan
mengapa. Evaluasi biasanya bertujuan untuk memastikan atau menilai apakah suatu program itu relevan,
dirancang dengan baik, efisien, efektif, memberi dampak positif, dan dapat berkesinambungan (sustain),
atau bahkan dikembangkan
6.3 Tujuan utama evaluasi adalah:
1. Memberikan informasi kepada pengambil keputusan tentang kebijakan, strategi dan pelaksanaan
program atau kegiatan berkait dengan intervensi program yang sedang berjalan maupun intervensi di
masa mendatang.
2. Menunjukkan akuntabilitas pelaksanaan dan hasil kinerja program/kegiatan kepada pihak yang
berkepentingan.
Memperhatian pengertian dan tujuan diatas, maka evaluasi perlu dilakukan pada setiap fungsi
manajemen, untuk menjamin suatu kegiatan benar-benar dibutuhkan serta tepat untuk mencapai tujuan
secara efektif dan efisien.

6.4 Tipe-Tipe Evaluasi


1. Menurut tahapan pelaksanaan kegiatan/ program:
 Evaluasi pada perencanaan atau ketika
kegiatan belum dilaksanakan (feedforward evaluation)
 Evaluasi pada kegiatan yang sedang
berjalan atau pada proses pelaksanaan kegiatan
(Concurrent Evaluation)
 Evaluasi setelah kegiatan selesai
dilaksanakan atau sering disebut sebagai evaluasi akhir
kegiatan/ program (feedback evaluation)

2. Menurut criteria kegiatan/ program


 Evaluasi input, yaitu
dilakukan pada semua input yang digunakan
dalam kegiatan/ program seperti modal,
sarana dan prasaran, SDM, dana, tehnologi,
procedure, dll
 Evaluasi proses yang
dilaksanakan pada proses pelaksanaan
kegiatan, missal ketaatan waktu pelaksana an,
ketaatan pada SOP atau procedure,
hambatan2 yang ditemukan dll
 Evaluasi output yang dilaksanakan pada hasil kegiatan, seperti cakupan program, kualitas
pelayanan dan kepuasan pelanggan dll
 Evaluasi outcame yang dilakukan pada akibat lebih lanjut dari pencapaian output, misalnya
penurunan kasus malaria, menurunnya kasus komplikasi pada kehamilan dan persalinan dll
 Evaluasi Impact, yang dilakukan pada dampak terjadi atau tercapainya outcome, misalnya
tingkat kesehatan penduduk meningkat, turunnya KI dan AKB dst
6.5 Tahapaan Proses Evaluasi
Proses evaluasi biasanya terdiri dari
paling sedikit 5 (lima) tahap yaitu:
1. Penetapan indicator
pengukuran dan standar pelaksanaan
kegiatan, biasanya sudah dilaksanakan
pada dengan perencanaan kegiatan
2. Penentuan pengukuran
pelaksanaan kegiatan
3. Pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata (riel)
4. Pembandingan hasil ukur dengan standar
5. Merancang dan melakukan tindakan koreksi, bila memang diperlukan
Terdapat sementara ahli yang menambahkan tahap identifikasi penyebab penyimpangan yang terjadi,
yang menjawab mengapa penyimpangan harus terjadi. Identifikasi penyebab akan sangat penting dan
diperlukan dalam merancang tindakan koreksi.
Ad. 1 Penetapan indicator dan standar
Tahap pertama dalam evaluasi adalah penetapan indilator dan standar.Indikator adalah penunjuk evaluasi
sedang standar adalah suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan untuk menilai
kegiatan atau hasil-hasil kegiatan. Pada umumnya penetapan indicator dan standar evaluasi telah
ditetapkan bersamaan dengan proses perencanaan. Tujuan, sasaran, kuota, dan target pelaksanaan dapat
digunakan sebagai standar evaluasi. Bentuk standar yang lebih khusus antara lain target cakupan sasaran,
target penurunan AKI dan AKB, Pencapaian standar kualitas ANC dll. Tiga bentuk standar yang sering
dipakai adalah:
 Standar phisik, misalnya cakupan program, kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan dll
 Standar moneter adalah biaya per satuan produk atau sasaran program/kegiatan. Standar
biaya pemulihan balita gizi buruk, standar biaya ANC dll
 Standar waktu, penetapan waktu ideal untuk menyelesai kan kegiatan tertentu atau untuk
pencapaian tujuan tertentu.
Ad.2 Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan yang tepat akan meningkatkan kehandalan evaluasi.
Beberapa pertanyaan penting berikut dapat dipakai sebagai penuntun tahap ini, yaitu:
 Berapa kali pelaksanaan pengukuran indicator evaluasi harus dilakukan, missal sekali,
bulanan, tahunan dll
 Dalam bentuk apa pengukuran akan dilakukan, dalam bentuk tulisan, menginpeksi visual
(pengamatan), menghitung, menimbang dll
 Siapa yang akan terlibat dalam pelaksanaan evaluasi ? manajer saja atau tim evaluasi dsb
 Seberapa mudahkah pengukuran dapat dilakukan, hasil nya dapat diolah dan dianalisa,
dengan biaya yang “relative” murah
Ad. 3 Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan
Pengukuran pelaksanaan dan kinerja kegiatan/program harus dilakukan untuk dapat melakukan evaluasi
kegiatan/ program. Beberapa cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan atau hasil pelaksanaan
kegiatan adalah:
• Pengamatan (observasi)
• Laporan, baik lisan maupun tertulis
• Mertode-metode otomatis
• Inspeksi dan pengujian (test), termasuk menghitung, menimbang, mengukur waktu dll
• Penelitian atau survai sampel
Ad. 4 Pembandingan hasil pengukuran dengan standar serta analisa penyimpangan
Tahap kritis dari proses evaluasi adalah pembandingan hasil pengukuran (pealaksanaan atau hasil
pelaksanaan) kegiatan yang nyata dengan yang direncanakan atau dengan standar yang ditetapkan.
Walaupun tahap ini paling mudah tetapi kompleksitas dapat terjadi pada saat menginterprestasi adanya
penyimpangan.Titik kritis yang penting lainnya adalah ketika mencari jawaban mengapa penyimpangan
terjadi, yang berarti mencari penyebab terjadinya penyimpangan.
Ad. 5. Pengambilan Tindakan Koreksi Bila diperlukan
Tahap ini adalah pengambilan keputusan untuk melakukan intervensi (koreksi), merancang tindakan
koreksi berdasarkan temuan penyebab penyimpangan serta melaksanakan intervensi/tindakan koreksi.
Tindakan koreksi mungkin berupa:
• Mengubah standar
- Memperbaiki prosedur, tehnologi, metode dalam pelaksanaan kegiatan
• Menggantii kegiatan dengan kegiatan lain yang lebih akuntabel
• Menambah sarana dan prasarana kegiatan
• Mengubah waktu pelaksanaan kegiatan dll

6.6 Kegunaan dan Pentingnya Evaluasi


Kegunaan terpenting dari evaluasi adalah untuk
menjamin agar kegiat an yang dialaksanakan
dapat mencapai tujuan yang telah direncana kan
atau ditetapkan.Selain itu juga untuk
mengetahui bahwa kegiatan yang dilakukan
adalah tepat sasaran, metode, waktu, biaya dll.
Adapun kegunaan yang lain dari pelaksanaan
evaluasi adalah:
• Pembelajaran untuk mengetahui mengapa
program berhasil atau tidak berhasil:
- Untuk melakukan verifikasi dan meningkatkan kualitas dan manajemen program.
- Untuk mengidentifikasi strategi yang berhasil dalam rangka ekstensi/ekspansi dan replikasi.
• Untuk memodifikasi atau memperbaiki strategi yang kurang berhasil.
• Untuk mengukur keberhasilan dan manfaat suatu intervensi.
• Untuk memberi informasi kepada stakeholders agar stakeholders dapat menyebutkan hasil dan
kualitas program.
• Untuk memberikan justifikasi atau validasi kepada donor, mitra atau konstituen yang
berkepentingan.
a. Merancang Proses Evaluasi
Mengacu kepada William H Newman, prosedur perancangan evaluasi terdiri dari 5 langkah dasar, yaitu:
• Merumuskan hasil yang diinginkan menajer harus merumuskan hasil yang akan dicapai dengan
sejelas mungkin. Misalnya meningkatkan kualitas ANC sesuai standar mutu Depkes RI, Menurunkan
angka kematian ibu sebesar 10 persen selama 2 tahun, Meningkatkan cakupan pelayanan ibu hamil
risti hingga 100 % selama 3 tahun, Rujukan kasus balita gizi buruk mencapai 100 % pada setiap
tahunnya, SOP penangan kegawat daruratan ibu bersalin yang ditetapkan secara rinci dan jelas dll.
Agar dapat dengan mudah di evaluasi maka semua kegiatan dan tujuan/sasaran kegiatan dengan
mengacu kepada SMART, yaitu Spesifik, Measurable, Apropriate, Realistik dan Timebound. Selain
itu hasil yang diinginkan harus dihubungkan dengan individu yang bertanggung jawab
• Menetapkan penunjuk (indicator atau predictor) hasil
Tujuan evaluasi sebelum dan selama kegiatan dilaksanakan adalah agar manajer dapat mengatasi
atau memperbaiki adanya penyimpangan.Sedang pada evaluasi akhir berkaitan dengan perencanaan
kegiatan dan pengembangannya di masa datang.Tugas penting manajer adalah merancang program
eva luasi untuk menemukan sejumlah indicator yang terpercaya sebagai penunjuk apakah
penyimpangan terjadi sehingga perlu tindakan koreksi. Beberapa hal yang dapat membantu manajer
memperkirakan apakah hasil yang diinginkan tercapai atau tidak adalah:
a. Pengukuran masukan/input
b. Pengukuran hasil kegiatan pada tahap permulaan
c. Gejala-gejala adanya penyimpangan dan identifikasi penyebab
d. Perubahan dalam kondisi yang diasumsikan (termasuk perubahan lingkungan)
e. Pengukuran hasil akhir dari sebuah kegiatan/program:
- Menetapkan standar penunjuk dan hasil untuk dapat menilai apakah pelaksanaan suatu
kegiatan dan hasilnya menyimpang dari rencana yang ditetapkan serta seberapa besarkah
penyimpangan terjadi, sehingga focus perhatian manajer terhadap kejadian penyimpangan
menjadi tepat
• Menetapkan jaringan informasi dan umpan balik
- Langkah berikutnya adalah menetapkan sarana untuk mnegumpulkan data dan informasi
penunjuk (indicator) dan memandingkan nya dengan standar.
- Jejaring informasi dibangun mulai dari siapa mengumpulkan data, mengukur kegiatan, siapa
mengolah dan menganalisis data menjadi informasi hasil evaluasi, bagaimana metode
pengumpulan data dan pengolahan dilakukan, kepada siapa informasi dilaporkan. Jejarng
informasi dianggap baik bila tidak hanya keatas tetapi juga kesamping dan kebawah, yaitu
kepada
siapa yang akan melaksanakan tindakan koreksi. Pengambil keputusan tentang koreksi
dilakukan oleh manajer atas tetapi pelaksanaan koreksi adalah staf.Selain itu jejaring informasi
harus cukup efisien untuk menyediakan informasi balik yang relevan kepada personalia/petugas
kunci yang memerlukannya.
• Menilai Informasi (hasil evaluasi) dan mengambil tindakan koreksi Menilai informasi dan
mengambil keputusan untuk tindakan koreksi atau perbaikan.Setelah hasil evaluasi diperoleh maka
dibandingkan dengan standard dan penentuan apakah koreksi/ intervensi perlu dilakukan.Apa bila
yam aka rekomendasi koreksi disusun dan kemudian dilaksanakan.
- Informasi tentang temuan penyimpangan dari standar harus dievaluasi terlebih dahulu, sebelum
tindakan koreksi alternative dikembangkan, dievaluasi/dinilai dan diimplementasikan.

b. Perancangan proses evaluasi pada program


pokok Puskesmas Kegiatan pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan Puskes mas sering terlalu
banyak sehingga dalam kebutuhan tertentu,
evaluasi dilakukan pada program pokok
Puskesmas, yaitu upaya kesehatan wajib seperti
yang dimaksud oleh Permenkes RI No. 128 tahun
2004, seperti Program Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), Program Pemberantasan Penyakit (P2),
Program Gizi, Kesehatan Lingkungan dll.
7. SEKARANG SAYA TAHU
1. Evaluasi adalah kegiatan yang terikat dengan
waktu untuk mengkaji secara sistematis dan
objektif, relevansi, kinerja, dan keberhasilan dari
program yang sedang berjalan atau program yang
telah selesai.
2. Tujuan evaluasi adalah memberikan informasi kepada pengambil keputusan tentang kebijakan,
strategi dan pelaksanaan program berkait dengan intervensi program yang sedang berjalan maupun di
masa mendatang. Menunjukkan akuntabilitas pelaksanaan dan hasil kinerja program/ kegiatan
kepada pihak yang berkepentingan
3. Tipe-tipe Evaluasi
Menurut tahapan pelaksanaan kegiatan/ program yaitu pada perencanaan (feedforward evaluation),
kegiatan yang sedang berjalan/ proses pelaksanaan kegiatan (Concurrent Evaluation) dan setelah
kegiatan selesai dilaksanakan (feedback evaluation).
Menurut criteria kegiatan program yaitu evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi ourput, evaluasi
outcome dan evaluasi impact.
4. 5 tahap proses evaluasi adalah :
• Penetapan indicator pengukuran dan standar pelaksanaan kegiatan,
• Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
• Pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata
• Pembandingan hasil ukur dengan standar
• Merancang dan melakukan tindakan koreksi, bila diperlukan
5. Kegunaan dan pentingnya evaluasi adalah untuk menjamin agar kegiatan yang dialaksanakan
dapat mencapai tujuan yang telah direncanakan.Selain itu juga untuk mengetahui bahwa kegiatan
yang dilakukan adalah tepat sasaran, metode, waktu, biaya dll. Selain itu untuk pembelajaran,
verivikasi dan meningkatkan kualitas manajemen program, mengidentifikasi strategi yang berhasil
dalam rangka ekstensifikasi/ekspansi dan replikasi, memodifikasi atau memperbaiki strategi yang
kurang berhasil, mengukur keberhasilan dan manfaat suatu intervensi, memberi informasi kepada
stakeholders dan justifikasi atau validasi kepada donor, mitra atau konstituen yang berkepentingan.
6. Cara merancang proses evaluasi adalah:
• Merumuskan hasil yang diinginkan menajer
• Menetapkan penunjuk (indicator atau predictor) hasil
• Menetapkan standar penunjuk dan hasil untuk dapat menilai apakah pelaksanaan suatu
kegiatan dan hasilnya menyimpang dari rencana yang ditetapkan
• Menetapkan jaringan informasi dan umpan balik
- Menetapkan sarana untuk mnegumpulkan data dan informasi penunjuk (indicator) dan
memandingkan nya dengan standar.
- Membangun jejaring informasi
• Menilai Informasi (hasil evaluasi) dan mengambil tindakan koreksi

Masalah Putus Sekolah (dropout):


Indikator, Tren, dan Intervensi bagi Konselor Sekolah

Donna J. Dockery
Virginia Commonwealth University
Terjemahan oleh Mukti Z. Asikin

Abstrak
Konselor sekolah diharapkan mengembangkan program-program yang dapat men-dukung keberhasilan
akademis bagi semua siswa, termasuk mereka yang beresiko putus sekolah (dropout). Pengetahuan
tentang indikator, potensi dan tren saat ini, dalam penelitian pencegahan putus sekolah, diharapkan dapat
membantu konselor sekolah, dalam memahami masalah yang kompleks ini, secara lebih baik. Para kon-
selor sekolah, disarankan untuk melaksanaan strategi intervensi, termasuk sistem pelacakan mendalam,
agar lebih jelas mengidentifikasi siswa, yang kemungkinan akan putus sekolah. Program yang diharapkan
dapat digunakan untuk membantu individu dan kelompok siswa, yang berisiko putus sekolah, dan
penawaran berbagai strategi sekolah, mungkin dapat membantu konselor sekolah agar lebih memenuhi
kebutuhan siswa - yang potensial putus sekolah.

Indikator, Tren, dan Intervensi Putus Sekolah bagi Konselor Sekolah


Konselor sekolah berusaha untuk mempersiapkan semua siswa, agar memperoleh pendidikan pasca
sekolah menengah, mendapatkan pekerjaan, dan kehidupan yang baik, setelah sekolah tinggi. Namun
kenyataannya banyak siswa meninggalkan sekolah tanpa mendapatkan ijazah (dropout). Mengidentifikasi
siswa yang mungkin rentan terhadap kemungkinan putus sekolah dan memberikan intervensi yang tepat,
untuk mendukung para siswa ini, adalah tantangan penting yang dihadapi sekolah. Konselor sekolah yang
efektif dapat memegang peran kunci dalam upaya pencegahan putus sekolah, namun, dalam rangka
mendukung kesuksesan dan kelulusan semua siswa, mereka harus memiliki pemahaman tentang tren,
faktor, dan intervensi yang berkaitan dengan putus sekolah. Tujuan makalah ini adalah untuk
memberikan informasi mengenai pencegahan putus sekolah dan bagaimana cara terbaik bagi konselor
untuk berperan dalam usaha penting ini.
Kepedulian Nasional terhadap masalah Putus Sekolah
Berdasarkan kejadian yang sudah-sudah, sejumlah besar siswa mengalami putus sekolah menjelang tahun
kelulusan. Pada tahun 1940, lebih dari 50% siswa yang berusia 25-29 tahun, tidak berhasil lulus SMA
(Shannon & Bylsma, 2003). Kepentingan nasional untuk mengurangi angka putus sekolah meningkat
setelah tahun 1950, ketika lebih banyak orang diharapkan memiliki ijazah dan lulus sekolah. Laporan The
Nation at Risk (National Commission, 1983) dan The National Goals 2000 (1998) berpakrarsa
mengangkat kekhawatiran mengenai tingkat putus sekolah di AS yang tinggi. Legislasi seperti “Tak Ada
Anak yang Tertinggal” (No Child Left Behind, 2001), sebuah otorisasi kembali Undang-Undang
Pendidikan Dasar dan Menengah yang ditandatangani Presiden Lyndon B. Johnson tahun 1964, sebagian
fokus pada upaya meningkatkan tingkat kelulusan siswa. Penelitian mengenai pencegahan putus sekolah,
bagaimanapun, sangat kurang dananya dibandingkan dengan dana pemerintah pusat, yang dialokasikan
untuk meningkatkan prestasi akademik. "Salah satu konsekuensi yang tidak diinginkan No Child Left
Behind Act dan penekanan sempit pada hasil skor tes adalah untuk mendorong sekolah menengah atas
agar secara diam-diam mengabaikan siswa-siswa putus sekolah. Atau bahkan secara aktif, mendorong
keluar, siswa yang akan menurunkan nilai tes rata-rata, dimana sekolah dimintai tanggung-
jawabnya."(MacIver & MacIver, 2009, hal. 4).
Peran konselor sekolah yang profesional juga berkembang, mencerminkan adanya perubahan dalam
sistem pendidikan di Amerika Serikat. Undang-undang Pendidikan Kejuruan Nasional 1917,
menyediakan dana awal untuk program bimbingan kejuruan dan menempatkan konselor pertamanya di
sekolah lanjutan (Wright, 2012). Dimulai pada 1920 konselor sekolah memperluas peran mereka untuk
mengatasi masalah pendidikan dan masalah sosial, selain persiapan kejuruan, yang terus berlanjut sampai
akhir 1990-an (Wright, 2012). Gerakan nasional menuju pendidikan berbasis standar, mengakibatkan
pengujian (tes) siswa secara nasional. Sementara No Child Left Behind membutuhkan sekolah dan
identifikasi dari kelompok siswa untuk memenuhi peningkatan standar prestasi setiap tahun. Akibatnya,
mengumpulkan, menafsirkan, dan menganalisis data ujian telah menjadi peran penting dari konselor
sekolah (American School Counselor Association [ASCA], 2005), termasuk membandingkan data yang
dipilah berdasarkan ras dan etnis, kemampuan bahasa Inggris, siswa cacat, dan status sosial ekonomi
siswa.
Dibentuk pada tahun 2003, National Center for Transforming School Counseling menganjurkan akses
dan kesempatan yang sama untuk semua siswa yang terdaftar di sekolah (Education Trust, 2009). Konsep
ini didukung oleh Model Nasional ASCA (2005 ). Kode etik ASCA juga meminta konselor sekolah agar
menjamin peluang yang adil bagi semua siswa, dan menggunakan data untuk mengurangi kesenjangan
pen-capaian prestasi dan kesempatan antara kelompok yang berbeda (2009). Selain itu, kemajuan juga
terlihat untuk mencapai kecakapan akademik, dan sedikit kemajuan telah dibuat terhadap upaya menutup
kesenjangan prestasi dan meningkatkan tingkat kelulusan (Wright, 2012).
Setiap tahun, lebih dari setengah juta orang muda dewasa putus sekolah dari SMA (Dynarski et al., 2008).
Menurut Pusat Statistik Pendidikan Nasional (NCES), tingkat kelulusan nasional tahun 2008 adalah
sekitar 75%, dengan Amerika Kaukasia dan Asia lulus pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari Latin,
Afrika Amerika, dan rekan-rekan asli Amerika (Stillwell, 2010). Tingkat pria putus sekolah lebih tinggi
daripada perempuan di setiap negara bagian. Siswa yang masih harus belajar bahasa Inggris, memiliki
cacat, atau berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah, juga sedikit yang berhasil mendapatkan
ijazah (Stillwell). Meskipun semua upaya dilakukan dalam meningkatkan tingkat kelulusan dan
mengurangi tingkat putus sekolah, angka dropout hanya berubah sedikit. sehingga, upaya menentukan
intervensi yang paling efektif bagi siswa putus sekolah masih menjadi tantangan.
Menurut Alliance for Excellent Education (2009a), siswa yang dropout akan mendapatkan seperempat
juta dolar lebih sedikit, selama karir mereka, dibandingkan dengan yang lulus SMA. Hilangnya
penghasilan, karena upah berkurang selama hidup bagi mereka yang dropout tahun 2008, secara nasional,
diperkirakan lebih dari US$ 319 milyar. Selain itu, siswa yang dropout memberikan konstribusi uang
lebih sedikit kepada daerah dan negara dan pajak federal. Serta lebih bergantung pada bantuan publik dan
pelayanan sosial daripada mereka yang lulus sekolah.
Mereka yang lulus SMA dilaporkan memiliki kepuasan hidup lebih besar daripada mereka yang dropout,
hidupnya rata-rata satu dekade lebih lama, dan berperan lebih besar dalam tanggung jawab sosial seperti
pemilihan umum dan relawan (Alliance for Excellent Education, 2009b). Mereka yang lulus SMA,
menggunakan kupon makanan, bantuan publik, dan perawatan kesehatan pemerintah, lebih rendah
daripada yang dropout. Selain itu, anak dari orang tua memiliki ijasah, hidupnya lebih sehat dan lebih
berpeluang lulus dari SMA, daripada anak-anak dari keluarga yang dropout. Jika sekolah tidak dapat
secara signifikan mengurangi tingkat dropout dalam waktu dekat, sebanyak 13 juta siswa diperkirakan
akan dropout, dalam satu dekade mendatang dan mengurangi pendapatan nasional sebesar US$ 3 triliun
(Alliance for Excellent Education, 2009b).

Karakteristik Siswa Putus Sekolah


Penelitian awal berfokus pada karakteristik individual siswa yang putus sekolah, termasuk sejumlah
faktor demografi dan sosial seperti status sosial ekonomi, ras dan etnis, jenis kelamin, dan status cacat.
Hidup dalam kemiskinan, saat sedang sekolah di SD, SMP dan SMA adalah salah satu dari beberapa
faktor yang secara signifikan berkorelasi dengan dropout (Hammond, Linton, Smink, & Drew, 2007).
Siswa berusia 16 sampai 24 dari latar belakang sosial ekonomi tingkat atas tujuh kali lebih mungkin
untuk lulus daripada yang dari kuartil sosial ekonomi terendah. Meskipun karakteristik demografi terkait
dengan kelurga yang dropout tidak bisa diubah oleh sekolah, indikator ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kelompok-kelompok siswa yang mungkin beresiko untuk dropout dan yang mungkin
mendapatkan manfaat dari layanan yang ditargetkan untuk meningkatkan tingkat kelulusan (Hammond et
al. 2007).
Sementara studi awal difokuskan pada karakteristik individu dan kondisi yang dapat digunakan untuk
memprediksi mana siswa yang akan dropout (Shannon & Blysma, 2003), penelitian telah diperluas untuk
menyelidiki faktor tambahan berbasis rumah, masyarakat, dan sekolah, yang sering mempengaruhi
tingkat kelulusan. Faktor tersebut akan banyak dapat dipengaruhi oleh upaya intervensi. Prestasi
akademik siswa yang rendah, siswa yang mengulang atau kelebihan usia, dan sering membolos, secara
signifikan terkait dengan dropout, baik di SD, SMP, dan SMA (Hammond et al, 2007.). Faktor-faktor ini
mudah diidentifikasi dan mungkin menjadi sasaran upaya pencegahan dropout.
Pengalaman siswa terkena dampak sekolah, apakah mereka akan lulus dari SMA, kinerja akademik dan
keterlibatan mereka di sekolah, merupakan indikator utama peluang dropout (Hammond et al., 2007).
Kinerja akademis yang buruk, yang diukur dengan nilai rendah, gagal kursus, atau nilai tes rendah,
merupakan salah satu indikator dropout. Sejumlah penelitian juga menemukan kombinasi, antara
kegagalan dalam pelajaran inti dalam kelas, kehadiran yang buruk, dan pernah mendapat peringatan
buruk dari para guru, berhubungan dengan dropout (Balfanz, Herzog, & MacIver, 2007; Neild &
Balfanz, 2006). Siswa juga dapat secara psikologis melepaskan diri dari sekolah, tidak berharap untuk
lulus, dan tidak memiliki rencana akademik untuk lulus SMA. Selain itu, perilaku mengganggu di kelas
dapat menunjukkan proses pelepasan siswa. Perilaku yang mengganggu pengajaran dan pembelajaran
siswa dapat mencakup tindakan impulsif, menentang otoritas, berdebat dengan teman sebaya, dan / atau
melanggar peraturan sekolah (Bidell & Deacon, 2010; Powell & Newgent, 2008). Siswa yang
menunjukkan perilaku mengganggu di ruang kelas mengalami kesulitan baik akademik dan psikososial
dan bisa menghambat pelajaran di sekolah (Bidell & Deacon, 2010). Meningkatnya perilaku yang tidak
patut di ruang kelas, menyebabkan bertambah ketatnya tata tertib dan dan menurunkan prestasi
akademik (Lambert, Cartledge, & Heward, 2006). Selain itu, perilaku mengganggu kelas dropout dan
kenakalan, terutama ketika kegiatan tersebut dimulai di kelas SD (Vitaro, Brendgen, Larosse, &
Trembaly, 2005). Pelanggaran disiplin di sekolah dasar, SMP, dan SMA juga berhubungan dengan
dropout, karena memiliki perilaku antisosial termasuk mendapatkan masalah dengan polisi, tindak
kekerasan, dan penyalahgunaan bahan (Ekstrom, Goertz, Pollack, & Rock, 1986). Bahkan setelah
mengontrol karakteristik demografi siswa dan prestasi akademik, Rumberger (2004) menemukan bahwa
kurangnya keterlibatan siswa di sekolah secara signifikan berhubungan dengan dropout. Owings dan
Kaplan (2001) mengutip sejumlah studi yang menghubungkan retensi untuk satu atau lebih tingkat kelas
untuk kemudian dropout. Hasil penelitian menunjukkan retensi tidak memiliki efek positif pada prestasi
siswa dan siswa yang ditunda, secara signifikan lebih mungkin mengalami masalah disiplin dan dropout
(Owings & Kaplan, 2001). Alexander, Entwistle dan Horsey (1997) melaporkan bahwa 63% siswa
sekolah menengah dan 64% siswa SD yang ditunda kenaikannya, kemudian gagal mendapatkan ijazah
SMA.

Tren dalam Memprediksi Putus Sekolah (dropout)


Mencoba untuk mengidentifikasi dan melacak lebih dari 40 faktor risiko yang berbeda terkait dengan
putus sekolah dapat menjadi tantangan yang mencemaskan dan membingungkan. Tren yang dilaporkan,
dalam meta analisis penelitian putus sekolah, membantu memahami masalah yang kompleks ini.
Menganalisis sekaligus beberapa faktor, daripada hanya mencoba untuk melacak satu atau dua
karakteristik, merupakan rekomendasi penting dan sekolah tidak boleh hanya berfokus pada karakteristik
siswa. Sebaiknya, mempertimbangkan juga faktor masyarakat, keluarga, dan sekolah, terkait ketika
mencoba untuk menentukan siapa yang mungkin paling beresiko untuk gagal di sekolah.

Putus Sekolah adalah Proses, Bukan Satu Kejadian


Putus sekolah dapat digambarkan sebagai proses, bukan peristiwa tunggal, dan lebih sering sebagai hasil
akhir dari sebuah proses panjang (Alexander, Entwisle, & Horsey, 1997; Hammond et al, 2007;.
Jimerson, Egeland, Stroufe, & Carlson, 2000). Tantangan akademik, retensi kelas, pelepasan dari sekolah,
dan masalah dengan perilaku dan kehadiran sering telah bermula di sekolah dasar, senyawa dari waktu ke
waktu, dan dihubungkan dengan putus sekolah di masa yang akan datang. Siswa yang putus sekolah,
dilaporkan, adalah mereka yang sering membolos dan merasa terasing dari sekolah untuk satu tahun atau
lebih sebelum meninggalkan sekolah, memberikan dukungan lebih lanjut untuk proses panjang sebuah
pelepasan progresif (Bridgeland, Dilulio, & Morison, 2006).
Analisis Berbagai Faktor
Meskipun berbagai faktor secara signifikan berhubungan dengan putus sekolah, tidak ada faktor tunggal
yang dapat diandalkan secara akurat meramalkan siapa yang akan ikut keluar. Selain itu, karena banyak
siswa yang mendapatkan ijazah sekolah menengah memiliki karakteristik mirip dengan mereka yang
gagal untuk lulus, siswa potensial putus sekolah tersebut sulit untuk diidentifikasi. Pihak sekolah harus
memantau beberapa faktor risiko di seluruh domain keluarga, masyarakat, dan sekolah untuk
meningkatkan kemungkinan mengidentifikasi siswa yang paling berisiko untuk putus, daripada hanya
mengandalkan pada karakteristik individu siswa (Bohanon, Flannery, Mallory, & Fenning, 2009). Karena
semua kasus putus sekolah tidaklah sama, penting untuk menggunakan berbagai kombinasi faktor risiko
untuk mengidentifikasi sub-kelompok berbeda yang potensial menyebabkan putus sekolah(Hammond et
al., 2007). Ada kesepakatan umum bahwa siswa yang memiliki faktor resiko yang lebih banyak, akan
lebih mungkin untuk drop out, daripada siswa yang memiliki faktor risiko lebih sedikit (Ingels, Curtin,
Kaufman, Alt, & Wells, 2002), Sebagai contoh, Gleason dan Dynarski (2002) menemukan bahwa sekitar
25% dari siswa yang memiliki 2 faktor risiko, putus sekolah dan sekitar 33% dari siswa dengan 3 faktor
risiko, gagal lulus. Bahkan ketika menggunakan model regresi dari 40 faktor risiko untuk
mengidentifikasi siswa yang paling berisiko terhadap putus sekolah, hanya 60% dari siswa ini yang
berhasil lulus (Gleason & Dynarski).

Mengidentifikasi Subkelompok dari Siswa Putus Sekolah


Sub kelompok yang berbeda dari putus sekolah telah dijelaskan dalam literatur, masing-masing
diidentifikasi dengan rasi bintang yang berbeda dari faktor risiko. Sebagai contoh, beberapa siswa yang
dapat diidentifikasi sejak awal di sekolah dasar dan menunjukkan karakteristik, kebanyakan berhubungan
dengan dengan putus sekolah. Selain angka tes dan ranking yang rendah, para siswa ini memiliki tingkat
kehadiran yang buruk dan sering memiliki masalah perilaku (Barrington & Hendricks, 1989). Banyaknya
siswa yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah, yang dropout dapat dijelaskan sebagai
kategori putus sekolah "tradisional" (Hammond et al., 2007).
Kelompok lain adalah siswa drop out karena alasan selain kegagalan akademis. Mereka "dapat" putus
sekolah walaupun memiliki nilai ujian rata-rata, tetapi mungkin meninggalkan sekolah karena masalah
disiplin, masalah perilaku, atau konflik dengan kebijakan sekolah. Orang lain mungkin mengundurkan
diri karena faktor dari luar sekolah, seperti hamil atau sudah menikah, mendapatkan pekerjaan, atau
karena tekanan sosial (Hammond et al., 2007). Barrington dan Hendricks (1989) menggambarkan "siswa
yang tidak lulus" sebagai siswa yang duduk di SMA selama empat atau bahkan lima tahun, tetapi tidak
pernah lulus. Di sekolah dasar siswa ini secara akademis sukses dan bersekolah secara teratur. Mulai
berubah, saat di sekolah menengah, di mana mereka pertama kali mengalami kegagalan akademik, nilai
rendah, kehadiran yang buruk, dan masalah disiplin. Sekolah dan divisi sekolah mungkin perlu untuk
melacak sejumlah faktor dari waktu ke waktu, untuk menentukan berbagai kelompok siswa yang
mungkin berada pada risiko putus sekolah. Karena berbagai kelompok siswa putus sekolah disebabkan
oleh berbagai alasan, berbagai intervensi harus dirancang dan dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan
mengatasi perilaku dan kebutuhan siswa.

Mengidentifikasi Faktor Penarik dan Faktor Pendorong


Cara lain untuk mengkonsep faktor-faktor kompleks yang mempengaruhi keputusan siswa untuk putus
sekolah adalah dengan mengidentifikasi faktor penarik dan pendorong. Faktor penarik seperti pengalaman
di luar sekolah yang mempengaruhi keputusan siswa untuk putus sekolah dan mungkin termasuk
keluarga, masyarakat dan pengaruh teman sebaya, selain karakteristik siswa. Beberapa siswa menghadapi
tanggung jawab keluarga yang meningkat, menuntut untuk bekerja, hamil, atau menikah dan memutuskan
untuk meninggalkan sekolah (Ross Epp & Epp, 2001). Faktor pendorong dari dalam sekolah yang
mendorong beberapa siswa untuk meninggalkan sekolah, seperti kebijakan dan prosedur, struktur
sekolah, iklim sekolah, dan masalah lingkungan yang mengasingkan siswa. Sebagai contoh, beberapa
personil sekolah mungkin merasa lebih praktis dan / atau nyaman untuk menghapus siswa yang
menentang sekolah bahkan jika mereka masih resmi terdaftar (Ross Epp & Epp, 2001). Siswa-siswa ini
biasanya dianggap putus sekolah, tapi kritikus menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang didorong
keluar dari sekolah karena kebijakan administrasi sekolah yang tidak fleksibel.
Mayoritas siswa yang meninggalkan sekolah sebelum lulus tidak menghilang tiba-tiba (Ross Epp & Epp,
2001). Siswa menyadari proses pendorong dan lebih sering mengutip faktor-faktor pendorong seperti
tidak menyukai sekolah, gagal secara akademis, absensi yang berlebihan, atau memiliki hubungan sulit
dengan guru sebagai alasan utama mereka untuk meninggalkan sekolah (Bridgeland et al, 2006.; Ekstrom
et al, 1986.).
Satu kelompok siswa yang sering mengalami faktor penarik dan mungkin lebih berpotensi putus sekolah
adalah siswa yang lesbian, gay, biseksual, transgender, atau yang mempertanyakan orientasi seksual
mereka (LGBGTQ). Sering para siswa menjadi sasaran bullying dan perpeloncoan di sekolah, dengan
hampir 90% pelaporan dilecehkan dalam satu tahun terakhir (Kosciw, Greytak, Diaz, & Bartkiewicz,
2010). Banyak siswa LGBTQ merasa tidak aman di sekolah, dan lebih dari tiga kali berpotensi dari siswa
lain, untuk membolos satu hari dari sekolah karena merasa tidak aman atau tidak nyaman (Kosciw et al.,
2010). Siswa LGBTQ beresiko untuk membolos dan putus sekolah dan lebih sering terisolasi secara
sosial, depresi, dan bunuh diri (D'Augelli, 2002). Hanya sebagian kecil siswa LGBTQ berencana untuk
menyelesaikan sekolah menengah atau kuliah, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka (Studi
Pendidikan Longitudinal, 2005). Meskipun kurang dari setengah siswa LGBTQ melaporkan bahwa
sekolah mereka memiliki Aliansi Gay-Straight (GSA), mereka memiliki iklim sekolah yang lebih positif,
pelecehan yang kurang, dan dukungan sekolah yang lebih besar dibandingkan dengan rekan-rekan
LGBTQ di sekolah yang tidak memiliki GSA (Kosciw et al., 2010). Konselor sekolah dapat menjadi
pendukung membantu dalam membangun atau mensponsori organisasi GSA dan juga dapat mendukung
individu siswa LGBTQ maupun dalam dukungan kelompok (Curry & Hayes, 2009; DePaul, Walsh, Dam,
2009). Mendorong pengembangan profesional, mengenai isu-isu LBGTQ bagi taf sekolah dan advokasi
untuk kebijakan sekolah, yang mencakup orientasi seksual adalah cara lain konselor sekolah profesional
untuk mendukung siswa LGBTQ (Curry & Hayes, 2009;. DePaul et al, 2009).

Rekomendasi Pencegahan Putus Sekolah


Ada sejumlah rekomendasi untuk mengurangi tingkat putus sekolah dan memperbesar kelulusan, yang
disarankan dalam penelitian ini (lihat lampiran). Intervensi, termasuk strategi reformasi sekolah untuk
meningkatkan keterlibatan siswa, bantuan yang ditujukan kepada individu atau kelompok siswa yang
teridentifikasi beresiko untuk putus sekolah, memberikan dukungan bagi siswa selama transisi, dan
menggunakan sistem pelacakan diagnostik untuk mengidentifikasi siswa dan faktor sekolah yang
mempengaruhi tingkat putus sekolah ( Dynarski et al, 2008.). Beberapa strategi yang paling umum dari
program pencegahan putus sekolah yang menjanjikan untuk dikaji.

Menerapkan Sistem Pelacakan


Meskipun saat ini hanya ada dukungan empiris untuk mengembangkan sistem pelacakan longitudinal,
para ahli merekomendasikan bahwa negara, sekolah, dan dinas pendidikan, diharapkan mengembangkan
dan memelihara sistem data lokal untuk membantu dalam mengidentifikasi potensi putus sekolah
(Dynarski et al, 2008;. Kennelly & Monrad, 2007). Meskipun tidak mungkin untuk memprediksi dengan
tingkat akurasi apakah siswa tertentu akan putus sekolah, ada beberapa pola yang dapat diidentifikasi
ketika sekolah dan divisi melacak sejumlah indikator dari waktu ke waktu. Karena tingkat putus sekolah
dipengaruhi oleh faktor masyarakat, geografis dan demografis, penting untuk mengumpulkan data lokal
untuk lebih memprediksi siapa yang akan putus sekolah. Awalnya setiap sekolah atau dinas harus
melacak berbagai faktor dalam jumlah yang relative besar, untuk menentukan indikator terbaik putus
sekolah dalam komunitas mereka (Hammond et al., 2007).
Sistem pelacakan harus menggunakan pengidentifikasi unik siswa untuk memungkinkan pelacakan
komprehensif siswa secara individual. Sistem minimal harus mencakup riwayat absensi siswa, retensi
kelas, rendahnya tingkat prestasi akademik, dan pelepasan dari sekolah sejak kelas empat. Karena faktor
ini secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko putus sekolah (Kennelly & Monrad, 2007). Sistem
pelacakan juga dapat digunakan untuk memantau keterlibatan sosial siswa dan prestasi akademis dan
dapat menggunakan peringatan otomatis, untuk mengidentifikasi siswa, yang mungkin mengalami
masalah perilaku atau tantangan hidup, yang membutuhkan bantuan agar tetap di jalur untuk lulus
(Dynarski et al., 2008). Frekuensi dan jenis perilaku mengganggu kelas juga harus dilacak dari waktu ke
waktu sebagai cara untuk mengidentifikasi siswa yang berpotensi mengalami kegagalan sekolah.
Siswa yang menunjukkan perilaku sering mengganggu kelas, dikeluarkan dari kelas atau sekolah mereka,
untuk penegakkan tata tertib yang mengakibatkan penahanan, penangguhan, atau pengusiran (Bidell &
Deacon, 2010). Siswa-siswa ini lebih mungkin untuk gagal secara akademis dan berisiko lebih besar
untuk kenakalan, penyalahgunaan obat, dan putus sekolah (Ekstrom et al, 1986;. Wehlage & Rutter,
1986). Faktor lain untuk memonitor termasuk pengunduran lebih dahulu dari sekolah, status sosial
ekonomi, dan karakteristik lokal lain yang telah dikaitkan dengan putus sekolah.
Agar sistem pelacakan efektif, data harus up-to-date dan mudah diakses oleh personil sekolah yang akan
memonitor dan kemudian diurusi dengan tepat. Meskipun informasi pada banyak indikator yang dipilih
sudah dapat dikumpulkan oleh sekolah, tantangan berikutnya adalah dalam mengidentifikasi sumber
daya keuangan dan personil tambahan, yang dibutuhkan untuk membuat sistem pelacakan terpusat.

Melatih dan Menggunakan Pendukung (penganjur)


Terdapat dukungan empiris yang moderat, untuk program yang menggunakan pendukung terlatih, untuk
bekerja dengan siswa yang menjadi sasaran, di SMP dan SMA (Dynarski et al., 2008). Pendukung dewasa
bekerja melebihi mentor pada siswa yang berisiko, dan diharapkan memberikan dukungan substansial
seperti menyelaraskan layanan untuk mengatasi masalah akademik dan sosial, mendampingi siswa,
melakukan komunikasi dengan orang tua dan personil sekolah, dan bertemu siswasecara teratur. Memiliki
hubungan berkelanjutan dan bermakna dengan orang dewasa yang peduli, adalah salah satu cara untuk
mempromosikan keterlibatan siswa di sekolah dan mentoring yang efektif, telah mengurangi perilaku
berisiko dan ketidakhadiran sembari mempromosikan komunikasi, sosial, dan keterampilan akademik
(Dynarski et al, 2008.). Hasil ini positif ditemukan, pada program di mana orang dewasa dilatih dan
bekerja sebagai pengelola kasus, yang secara intensif bertemu setiap hari dengan siswa, yang dinilai
beresiko. Tantangan mungkin termasuk kesulitan dalam mencari sumber daya masyarakat dan sekolah
yang cukup, mencocokkan siswa yang diidentifikasi dengan seorang mentor yang tepat, menemukan
waktu bagi pendukung untuk bekerja dengan sekolah dan siswa, dan memberikan pengawasan yang
memadai.

Memberikan Dukungan dan Pengayaan Akademik


Menggunakan strategi yang efektif untuk meningkatkan keberhasilan akademik dan melibatkan para
siswa, adalah saran lain, untuk mengurangi tingkat drop out (Dynarski et al., 2008). Pendampingan siswa
yang disarankan, difokuskan pada peningkatan prestasi siswa, dapat ditawarkan melalui les; program
bantuan pekerjaan rumah, atau dukungan akademis yang kuat, baik sebagai bagian dari hari sekolah biasa,
sepulang sekolah, selama musim panas, atau pada akhir pekan. Strategi-strategi ini dapat meningkatkan
keterlibatan siswa, meningkatkan pengembangan keterampilan akademik, dan meningkatkan
pembelajaran (Dynarski, et al., 2008). Program yang lebih berhasil, menawarkan kelas tambahan bagi
siswa yang sedang berusaha, perbaikan dalam membaca, perbaikan nilai, atau pemberian les beberapa
hari dalam seminggu. Beberapa sekolah mungkin harus mempertimbangkan penjadwalan yang inovatif,
dalam rangka memberikan dukungan akademis dan pengayaan, dalam hubungannya dengan pembelajaran
biasa. Program-program lain, mungkin membutuhkan badan atau dana perlu mengembangkan dana
tambahan atau keterlibatan lembaga untuk mendukung program tutorial dan layanan perbaikan.

Promosikan Pengembangan Keterampilan Sosial


Disarankan agar sekolah membantu siswa, dalam mengembangkan keterampilan sosial, seperti:
komunikasi yang efektif dan keterampilan pemecahan masalah; mengidentifikasi, pemahaman, mengatur
emosi; menetapkan tujuan, dan mengatasi konflik (Dynarski et al, 2008.). Penelitian mendukung adanya
hubungan antara perilaku mengganggu kelas dan putus sekolah (Rumberger & Palardy, 2005).
Mengajarkan perilaku yang benar, melalui pendidikan keterampilan sosial dapat meningkatkan rasa
memiliki dari siswa terhadap sekolah; dan memelihara keterlibatan siswa juga berhubungan dengan
kegigihan siswa di sekolah (Rumberger, 2004). Siswa yang terlibat dalam pelatihan keterampilan sosial
belajar untuk secara efektif mengelola maslah pribadi, keluarga, dan sosial; membentuk hubungan yang
lebih positif dengan guru dan teman sebaya, dan lebih terlibat dalam kegiatan sekolah (Marsh &
Kleitman, 2002). Guru, bagaimanapun, mungkin tidak nyaman dengan mengajarkan keterampilan sosial
dan mungkin enggan untuk memberikan waktu pembelajaran kepada konselor sekolah untuk
mempromosikan pengembangan psikososial.

Membantu masa transisi bagi siswa baru


Siswa sering mengalami masa transisi, ketika mereka naik kelas, kembali ke sekolah setelah sakit, setelah
libur panjang, pindah sekolah. Karena siswa baru di SMA sering menunjukkan penurunan prestasi
akademik dan kehadiran, maka adalah penting untuk membantu siswa, agar berhasil menyesuaikan
dengan transisi ke SMA. "Kelas sembilan seringkali dianggap sebagai tahun kritis - antara berhasil atau
gagal - ketika siswa naik atau turun kinerjanya – saat masuk SMA" (Kennelly & Monrad, 2007, hal. 5).
Siswa yang gagal di kelas sembilan, lebih banyak dari di pada tingkat lebih tinggi di kelas SMA lainnya.
Sejumlah siswa yang dibawah rata-rata - yang kemudian putus sekolah, juga dipertahankan di kelas
sembilan. Neild dan Balfanz (2006) mencatat bahwa sekitar dua pertiga dari siswa yang putus sekolah di
Philadelphia digolongkan sebagai kelas sembilan, berdasarkan kredit yang masih harus ditempuh
terhadap kelulusan, meskipun sudah terdaftar di SMA selama beberapa tahun. Pendaftaran kelas
Sembilan mengalami lonjakan, karena banyak siswa yang kurang siap memenuhi tuntutan akademik
masuk SMA, dan gagal naik kelas tahun kedua. Di kota-kota dengan tingkat putus sekolah tertinggi,
Balfanz dan Ledger (2006) menemukan bahwa sampai 40% dari siswa baru harus mengulangi tahun
mereka, dan bahwa kurang dari 15% dari para siswa ini yang lulus dari SMA. Allensworth dan Easton
(2005) melaporkan bahwa keberhasilan akademis di kelas sembilan adalah pertanda baik, untuk berhasil
lulus, dibandingkan faktor demografi atau prestasi akademik di kelas sebelumnya.

Melaksanakan Pendampingan Luas di Sekolah


Selain menerapkan sistem pelacakan diagnostik untuk mengidentifikasi siswa dengan faktor risiko
penyebab putus sekolah, dan memberikan dukungan akademis, sosial, dan transisi yang ditargetkan untuk
siswa yang diidentifikasi, pendampingan yang dilaksanakan di tingkat sekolah dapat mempengaruhi
keberhasilan siswa dan mengurangi tingkat putus sekolah. Seluruh upaya sekolah harus fokus pada
pembejaran, menciptakan harapan yang sesuai dan tinggi, untuk semua siswa, dan memantau kemajuan di
semua tingkatan (Sweet, 2004). Saran lain adalah, membuat lingkungan pembelajaran yang berpusat pada
siswa, budaya hubungan yang saling peduli dan mendukung, dan koneksi yang kuat pada pasca belajar di
sekolah menengah. Mengembangkan iklim sekolah yang positif dan lingkungan yang mendukung adalah
atribut penting sekolah (Goldschmidt & Wang, 1999). Siswa cenderung tidak akan putus sekolah, jika
hubungan antara guru dan siswa secara konsisten positif, sehingga keterampilan interpersonal yang efektif
dan membangun hubungan yang kuat antara pihak sekolah dan siswa sangat penting. Mengembangkan
hubungan positif guru-murid tergantung pada struktur sekolah dan juga organisasi yang efektif
(Goldschmidt & Wang, 1999). Selain itu, penting untuk mengembangkan dan menawarkan
pendampingan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi dalam setiap sekolah,
tidak semua strategi akan sesuai untuk setiap sekolah.

Implikasi Pencegahan Putus Sekolah bagi Konsuler Sekolah


ASCA menekankan dukungan konselor sekolah pada semua siswa dalam karir, psikososial, dan
pengembangan akademik (Asca, 2005). ASCA telah menjalin empat tema ke dalam kerangka Model
Nasional: (a) kepemimpinan, (b) advokasi, (c) kolaborasi dan kerja sama, dan (d) perubahan sistemik.
Jika dimanfaatkan secara efektif, bidang keahlian konselor ini dapat melengkapi upaya lain dari sekolah,
masyarakat, lembaga, dan keluarga untuk mengatasi tingkat putus sekolah. Peran konselor sekolah Model
Nasional ASCA yaitu kolaborasi, koordinasi, dan konsultasi juga menyelaraskan dengan baik layanan
koordinasi dan program untuk mengurangi tingkat putus sekolah dan meningkatkan prestasi akademik di
semua siswa. Akhirnya, pentingnya menggunakan data untuk menunjukkan dampak pendampingan
spesifik, pada jerat siswa dengan rekomendasi-rekomendasi untuk upaya pencegahan putus sekolah.

Kepemimpinan dan Kolaborasi


Konselor sekolah diharapkan untuk melayani sebagai pemimpin di sekolah dan untuk berkolaborasi
dengan rekan-rekan pendidik serta dengan anggota masyarakat, lembaga lainnya, orang tua dan keluarga
dari anak usia sekolah (Asca, 2005). Upaya pencegahan putus sekolah harus mencakup konselor dan
membentuk kemitraan sekolah dengan lembaga lokal untuk lebih efektif mendukung siswa (Dynarski et
al., 2008). Upaya tersebut dapat mencakup konseling keluarga atau lokakarya pendidikan orang tua;
program masyarakat yang diberikan setelah sekolah, pada akhir pekan, atau selama musim panas, dan
upaya terkoordinasi untuk menyediakan mentor, model peran, atau pendukung (Hammond et al, 2007).
Konselor sekolah, dengan pelatihan mereka dalam kolaborasi dan komunikasi yang efektif, dapat
memainkan peran penting dalam mengembangkan dan mengkoordinasikan program responsif untuk
memenuhi kebutuhan siswa. Inisiatitif kepemimpinan untuk konselor sekolah, mungkin termasuk
melayani di gugus tugas pencegahan putus sekolah, untuk mengatasi faktor individu, sekolah, atau
masyarakat yang berhubungan dengan putus sekolah. Konselor sekolah dapat merencanakan dan
memimpin, sesi pelatihan orang tua atau mendidik anggota dewan sekolah lokal dan pemangku
kepentingan lain, mengenai praktik pencegahan putus sekolah yang efektif atau mengenai pengumpulan
data minat siswa, yang dilaksanakan melalui penilaian seluruh kebutuhan sekolah. Selain itu, konselor
mungkin menawarkan kegiatan pengembangan profesional bagi guru dan staf lain mengenai faktor-faktor
risiko yang menyebabkan putus sekolah; strategi yang menjanjikan, dan cara efektif untuk
mengembangkan kelas dan lingkungan sekolah yang positif, di mana siswa merasa disambut, terhubung,
dan dikembangkan.
Konselor sekolah dapat mengambil inisiatif untuk memastikan administrator dan guru mengakui peran
sekolah dalam memberikan tantangan akademis yang sesuai dan mendorong rasa memiliki untuk setiap
siswa. Konselor sekolah juga mungkin memainkan peran kepemimpinan di sekolah, secara luas, sebagai
upaya untuk mengatasi perilaku mengganggu kelas melalui pemodelan yang sesuai perilaku pro-sosial,
membantu guru menghadapi siswa sulit, dan menggunakan pendampingan konseling sebagai alternatif
pemberian sanksi disipliner atau hukuman bagi siswa yang bermasalah. Karena siswa yang sering
mengganggu di sekolah, disimpulkan memiliki konsep diri lebih rendah, konselor sekolah harus
mempertimbangkan cara-cara untuk meningkatkan perilaku dan konsep diri siswa yang tepat (Bidell &
Deacon, 2010). Upaya kolaboratif oleh konselor sekolah, guru, administrator, dan orang tua dapat
mengurangi insiden perilaku mengganggu di kelas dan membantu menjaga siswa terlibat secara positif di
sekolah (Bidell & Deacon, 2010). Selain memberikan konseling dan langkah-langkah pencegahan untuk
mengurangi perilaku yang mengganggu di kelas, konselor sekolah harus bekerjasama dengan
administrator mengenai pelaksanaan aturan dan tata tertib. Hari-Vines dan Terriquez (2008) menemukan
bahwa meniadakan ketidakadilan dan memperjelas prosedur disiplin, ketika digabungkan dengan
pendekatan kekuatan berbasis kepada siswa, menurunkan tingkat “skorsing” terhadap siswa hingga 75%.
Cara ini dan yang sejenisnya mengenai kepemimpinan, kerjasama, dan konsultasi – terkait erat dengan
peran yang direkomendasikan dalam Model Nasional ASCA.

Advokasi dan Perubahan Sistemik


Peran advokasi konseling ini juga penting untuk upaya pencegahan putus sekolah di sejumlah arena.
Selain bekerja dengan siswa untuk menetapkan rencana akademik dan karir individu, konselor harus
mengadvokasi di tingkat administratif sekolah untuk program-program yang mendukung bagi resiko yang
dihadapi remaja (Svec, 1987). Di tingkat distrik, konselor harus bekerja untuk perubahan sistemik demi
mengurangi faktor-faktor pendorong keluar, seperti toleransi nol terhadap kehadiran dan aturan tata tertib.
Upaya advokasi dan perubahan sistemik, mungkin termasuk upaya konseling sekolah untuk
melaksanakan program sekolah dalam pencegahan bullying, memperbaiki lingkungan sekolah,
menetapkan kebijakan untuk memberikan konseling dan dukungan, daripada pengusiran untuk siswa
yang ditemukan dengan obat-obatan, atau pertemuan dengan guru untuk mendiskusikan alternative, selain
sanksi kegagalan bagi siswa dengan kesulitan akademik. Melakukan pendampingan setelah waktu
sekolah, pada akhir pekan, atau program musim panas, dengan memberikan kesempatan tambahan untuk
membantu siswa meningkatkan keterampilan akademik, meningkatkan keterlibatan mereka, atau
menyediakan kursus yang diperlukan dan alternative penting bagi siswa yang mengalami kesulitan
(Dynarski et al., 2008).

Sistem penyelenggaraan
Konselor sekolah seharusnya memasukkan kegiatan pencegahan putus sekolah ke dalam kurikulum
bimbingan yang sedang berlangsung. Sesi bimbingan kelas, harus dipresentasikan kepada semua siswa,
untuk membantu dalam penyesuaian ke sekolah, memperjelas persyaratan kelulusan dan harapan
akademis, atau memberikan informasi karir yang mempromosikan pemahaman tentang hubungan antara
sekolah dan kerja (Suh, Suh, & Houston, 2007). Sesi kelompok kecil mungkin ditawarkan kepada siswa
yang ditargetkan untuk mengatasi masalah dengan masalah kehadiran atau perilaku, mempromosikan
citra diri positif, atau untuk mengembangkan kemampuan efektif dalam komunikasi atau mediasi konflik
(Suh, Suh, & Houston, 2007). Menawarkan sesi pendampingan yang fokus pada kelompok kecil atau
individu, menegnai kemampuan belajar, pengembangan akademik tertentu, dan strategi penentuan tes,
bagi siswa yang sedang memperbaiki masalah akademisnya juga penting. Selain itu, konselor dapat
membentuk kemitraan dengan organisasi masyarakat, perguruan atau bisnis lokal, atau menggunakan staf
pengajar sekolah, untuk memenuhi kebutuhan “para pengajar ekstra”. Menawarkan program untuk
mendukung keberhasilan dalam masa transisi akademik dan sosial, dari SD ke SMP dan dari SMP ke
SMA, bermanfaat bagi semua siswa, sementara kelompok dukungan terus menerus bisa dibentuk, bagi
siswa baru untuk divisi sekolah atau mereka yang baru pindah pada pertengahan tahun (Suh , Suh, &
Houston, 2007).
Mengembangkan mentoring, dukungan les, atau program penasehat guru adalah peluang lain bagi
konselor sekolah untuk mengembangkan program konseling yang efektif sambil tetap menanggapi
kebutuhan siswa (White & Kelly, 2010). Program-program tersebut dapat memberikan dukungan sosial
dan akademik yang positif untuk semua siswa dengan layanan lebih khusus bagi siswa yang ditargetkan
pada-risiko untuk putus sekolah (Putih & Kelly, 2010). Pendamping senior, mungkin dilatih untuk
membantu siswa dalam menetapkan tujuan akademik dan sosial / perilaku yang realistis dan dapat
dicapai. Pemecahan masalah dan pembelajaran keterampilan hidup dapat dimasukkan ke dalam
kurikulum yang ada, ditawarkan kepada kelompok kecil siswa, atau diterapkan melalui program penasihat
guru atau program pendampingan (Dynarski et al., 2008).

Perencanaan individu siswa, mungkin juga digunakan untuk menyusun program akademik yang
menantang bagi siswa dan yang sesuai dengan minat siswa dengan kurikulum yang tepat atau pilihan.
Selain itu, layanan responsif dapat membantu individu atau kelompok kecil siswa tetap bersekolah ketika
menghadapi krisis seperti penyalahgunaan alkohol atau obat, masalah kesehatan mental, kehamilan, atau
tunawisma. Karena kehadiran yang buruk sangat berhubungan dengan kegagalan akademis dan kemudian
putus sekolah, maka perlu dilakukan pemantauan dan pendampingan segera, kepada siswa yang sering
kali absen (Kennelly & Monrad, 2007).

Keterbatasan dan Arah Masa Depan


Berurusan dengan potensi putus sekolah memang menantang bagi guru, administrator, dan konselor,
sehingga sangat penting untuk membangun konsensus dan dukungan sebelum menerapkan strategi untuk
mengatasi kelemahan akademis, sosial, atau emosional siswa. (Cholewa, Smith-Adcock, & Amatea,
2010). Guru mungkin enggan untuk menggunakan waktu kelasnya, untuk mempromosikan
pengembangan keterampilan sosial. Sementara, administrator dihadapkan dengan keputusan sulit yaitu
mengenai program pencegahan sampai soal pembiayaan. Dihadapkan dengan keterbatasan anggaran,
menjadi penting untuk berhati-hati mencocokkan layanan pencegahan dengan siswa - yang akan paling
diuntungkan dari berbagai program pencegahan putus sekolah, agar hemat biaya.
Juga, meskipun ada peningkatan pemahaman mengenai pentingnya intervensi awal di tingkat sekolah
dasar, untuk siswa beresiko yang kemudian akan putus sekolah, banyak penelitian saat ini, justru berfokus
pada strategi di tingkat sekunder, ketika siswa benar-benar meninggalkan sekolah. Hal ini penting, yaitu
untuk mengidentifikasi siswa dan menerapkan strategi sedini mungkin. Sebab, sering membutuhkan
usaha yang intensif untuk membalikkan tahun kegagalan akademis atau pelepasan, saat pendampingan
tidak dimulai, sampai siswa di SMA.

Meskipun banyak upaya pencegahan putus sekolah, fokus pada pendampingan yang ditargetkan baik
dengan siswa secara individual atau lebih komprehensif yaitu melalui reformasi sekolah, penelitian
menunjukkan bahwa penting untuk menggabungkan strategi yang efektif dari kedua pendekatan (MacIver
& MacIver, 2009). "Fokus reformasi komprehensif pada praktek sekolah, perlu mengatasi masalah
ketidakhadiran, masalah perilaku, dan kegagalan mata pelajaran bagi mayoritas siswa. Selanjutnya, upaya
yang fokus pada individu akan dibutuhkan bagi siswa yang memiliki kebutuhan lebih intensif” (MacIver
& MacIver, 2009, p 10). Praktek-praktek ini bertautan secara baik, dengan upaya konseling sekolah,
yang memberikan layanan di seluruh tingkatan: dengan kelompok, individu kecil, dan sekolah. Selain itu,
pemantauan, evaluasi, dan modifikasi strategi pencegahan putus sekolah, melengkapi kebutuhan konselor
sekolah untuk menggunakan data, untuk menunjukkan efektivitas pelayanan mereka dan pada akhirnya
dapat menyebabkan penurunan jumlah siswa putus sekolah.

Lampiran
Strategi dan Intervensi Pencegahan Putus Sekolah

Intervensi Strategi

Intervensi akademik Bimbingan Belajar, dukungan akademik, penyelenggaraan


kegiatan setelah jam sekolah, layanan pembelajaran, akumulasi
kredit yang dipercepat, kelas-kelas tambahan
Dukungan psiko-sosial Intervensi perilaku, kegiatan ekstrakurikuler terstruktur,
pengembangan keterampilan kehidupan, konseling,
pengelolaan amarah, resolusi konflik, penanganan transisi
Intervensi keluarga Mengaktifkan siswa, memperkuat dan / atau konseling dengan
keluarga
Menangani perilaku yang Masa Percobaan, memantau pembolosan dan kehadiran,
beresiko tinggi kehamilan, remaja yg menjadi orangtua, intervensi/pencegahan
penyalahgunaan obat
Bantuan orang dewasa Mentoring, manajemen kasus, pendampingan di pengadilan,
layanan koordinasi
Pembuatan program dan Lingkungan sekolah, suasana ruang kelas, reorganisasi sekolah,
struktur sekolah tahun ajaran baru, pengembangan profesional
pengembangan, pembaruan sistemik / kebijakan
Kurikulum sekolah Pembedaan pembelajaran, pembelajaran yang fokus pada
siswa, pembelajaran interaktif, pembelajaran budaya atau
linguistik yang relevan, standar akademik dan kurikulum yang
tinggi dan ketat untuk semua siswa, link dengan pengembangan
karir, pelatihan kerja, penyiapan sebagai angkatan kerja.

Sumber: Diringkas dari Program Keteladanan dan Faktor-faktor yang Berisiko Dropout oleh C.
Hammond, D. Linton, J. Smink, J., dan S. Drew, 2007, Pusat Pencegahan Dropout Nasional / Jaringan
dan Komunitas di Sekolah, Clemson, SC, Lima belas Strategi Efektif untuk Meningkatkan Kehadiran
Siswa dan Pencegahan pembolosan oleh J.Smink dan M. Reimer, 2005, Jaringan/Pusat Pencegahan
Dropout Nasional, dan "Peran Konselor Sekolah dalam Pencegahan Putus Sekolah "oleh S. White dan D.
elly, 2010, Jurnal Pengembangan dan Konseling, 88, hal. 227-235.

EVALUASI HASIL PENGAWASAN


Posted by suaidinmath ⋅ 14 Juli 2014 ⋅ 1 Komentar

EVALUASI HASIL PENGAWASAN


Tahapan evaluasi hasil pengawasan meliputi kegiatan-kegiatan berikut.
1. Identifikasi masalah-masalah yang ditemukan pada saat melaksanakan pembinaan, pemantauan
pelaksanaan 8 SNP, dan penilaian kinerja guru
2. Rumuskan masalah yang telah teridentifikasi sebelumnya dari setiap kegiatan pengawasan,
3. Berikan analisis terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan tersebut, melalui analisis kuantitatif
atau analisis kualitatif.(dapat digunakan analisis kesenjangan atau analisis SWOT).
4. Evaluasi hasil pengawasan sebagai bahan penyusunan rekomendasi terhadap guru, kepala sekolah
maupun Dinas Pendidikan serta untuk perbaikan program pengawasan berikutnya.
Untuk menjamin pelaksanaan program kegiatan pengawasan sesuai dengan yang diharapkan dan untuk
mengetahui tujuan dan hasil yang dicapai pada setiap kegiatan pembinaan, pemantauan pelaksanaan 8
SNP, penilaian kinerja guru dan/atau kepala sekolah, serta pembimbingan dan pelatihan profesional guru,
maka diperlukan evaluasi hasil pengawasan pada setiap sekolah binaan.
Evaluasi proses pada saat pembinaan maupun pemantauan di sekolah binaan bertujuan untuk melihat
hasil sementara, sedangkan evaluasi akhir dimaksudkan untuk mengetahui hasil pelaksanaan pengawasan
secara menyeluruh pada sekolah binaan selama 1 tahun. Hasil evaluasi pengawasan berbentuk sebuah
laporan disampaikan kepada kepala dinas pendidikan melalui koordinator pengawas sekolah.

D. PELAPORAN
1. Tujuan Penyusunan Laporan Hasil Pengawasan
Penyusunan laporan oleh setiap pengawas sekolah bertujuan untuk:
a. Memberikan gambaran mengenai keterlaksanaan setiap butir kegiatan yang menjadi tugas pokok
pengawas sekolah.
b. Memberikan gambaran mengenai kondisi sekolah binaan berdasarkan hasil pengawasan akademik
maupun manajerial berupa hasil pembinaan, pemantauan, dan penilaian.
c. Menginformasikan berbagai faktor pendukung dan penghambat/kendala dalam pelaksanaan setiap butir
kegiatan pengawasan sekolah.
2. Tahapan pelaporan meliputi kegitan-kegiatan berikut.
a. Mengkompilasi dan mengklasifikasi data hasil pemantauan dan pembinaan
b. Menganalisis data hasil pemantauan dan pembinaan
c. Menyusun Laporan hasil pengawasan sesuai sistematika yang ditetapkan.
d. Menyampaikan Laporan Semesteran dan Tahunan kepada Dinas Pendidikan Provinsi atau Dinas
Pendidikan Kabupaten/ Kota, serta sekolah yang dibinanya.

3. Sistematika Pelaporan Hasil Pengawasan


Sistematika pelaporan pelaksanaan program pembinaan, pemantauan pelaksanaan 8 SNP dan penilaian
kinerja, serta pembimbingan dan pelatihan profesional guru adalah sebagai berikut:

HALAMAN JUDUL (SAMPUL)


HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Fokus Masalah Pengawasan
C. Tujuan dan Sasaran Pengawasan
D. Tugas Pokok /Ruang Lingkup Pengawasan

BAB II. KERANGKA PIKIR PEMECAHAN MASALAH

BAB III. PENDEKATAN DAN METODE

BAB IV. HASIL PENGAWASAN PADA SEKOLAH BINAAN


A. Hasil Pelaksanaan Pembinaan Guru dan/atau kepala sekolah.
B. Hasil Pemantauan Pelaksanaan 8 SNP
C. Hasil Penilaian Kinerja Guru dan/atau Kepala Sekolah
D. Hasil Pembimbingan dan Pelatihan Profesional Guru.
E. Pembahasan Hasil Pengawasan

BAB V. PENUTUP
A. Simpulan
B. Rekomendasi

LAMPIRAN:
1. Surat tugas Pengawasan
2. Surat Keterangan telah melaksanakan tugas pembinaan, pemantauan, penilaian kinerja, pembimbingan
dan pelatihan profesional guru dari sekolah binaan
3. Daftar Hadir guru atau kepala sekolah pada saat pembinaan/pemantauan/penilaian kinerja.
4. Contoh-contoh instrumen pengawasan yang telah diisi/ diolah.

E. PENGEMBANGAN KARIR
Tahapan pengembangan meliputi kegiatan-kegiatan berikut.
1. Melakukan upaya peningkatan 6 (enam) kompetensi pengawas sekolah melalui pelatihan, seminar,
workshop, konferensi, studi banding/benchmarking maupun secara mandiri dengan membaca buku, jurnal
ilmiah atau menggunakan media internet, termasuk bergabung dan aktif dalam mailing list yang relevan,
baik lokal, nasional maupun internasional
2. Melakukan kegiatan pengembangan profesi, antara lain melalui:
a. Penelitian, khususnya Penelitian Tindakan Sekolah (PTS)
b. Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI)
c. Presentasi KTI dalam forum ilmiah/profesi
d. Publikasi KTI dalam jurnal ilmiah/profesi
3. Memberikan kontribusi pemikiran/gagasan kepada kepala sekolah dalam upaya pengembangan
sekolah.
F. PELAPORAN (PORTOFOLIO) BENCHMARKING
Sistematika Penyusunan Laporan Umum Benchmarking
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Waktu Dan Tempat Pelaksanaan
D. Sasaran
E. Manfaat
BAB II PROSES DAN HASIL PELAKSANAAN KEMITRAAN
A. Proses Pelaksanaan Benchmarking
1. Rencana Tindak
2. Jadwal Pelaksanaan
B. Permasalahan dan Solusi
1. Permasalahan
2. Solusi
C. Hasil Pelaksanaan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

Lampiran-Lampiran:
Lampiran 1 Laporan Hasil Pengawasan Akademik dan Manajerial (berikut Instrumen, format, dan
perangkat pendukung yang telah diisi).
Lampiran 2 Foto-Foto Kegiatan yang diberi judul dan keterangan (deskripsi singkat).

G. Best Practice
Kata best practice digunakan untuk mendeskripsikan/menguraikan “ pengalaman terbaik” dari
keberhasilan seseorang atau kelompok dalam melaksanakan tugas, termasuk dalam mengatasi berbagai
masalah dalam lingkungan tertentu. Untuk Pengawas sekolah tentunya utamanya adalah nelakukan tugas
pokok pengawasan di sekolahnya.
Best Practice memiliki ciri-ciri atau indikator sebgai berikut :
1. Best practice mampu mengembangkan cara baru dan inovatif dalam memecahkan suatu masalah dalam
pendidikan khuusnya pengawasan;
2. Best Practice membawa sebuah perubahan/perbedaan sehingga sering dikatakan hasilnya luar biasa
(outstanding result);
3. Best practice mampu mengatasi persoalan tertentu secara berkelanjutan (keberhasilan lestari)atau
dampak dan manfaatnya berkelanjutan/ tidak sesaat;
4. Best practice mampu menjadi model dan memberi inspirasi dalam membuat kebijakan (pejabat) serta
inspiratif perorangan,termasuk Sekolahnya;
5. Cara dan metoda yang dilakukan dan atau digunakan bersifat ekonomis dan efisien.
Best pratice, atau pengalaman terbaik Pengawas sekolah akan bisa dicapai dengan sukses dan lebih cepat
tentunya telah dilakukan dengan tahapan yang sistematis melalui pendekatan ilmiah artinya dilandasi
suatu teori yang relevan dengan masalah pembelajaran, yang telah dibangun sebelumnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam mendeskripsikan best practice atau pengalaman terbaik dalam
pengawasan, memerlukan ilmu pengetahuan dan seni untuk dipakai sebagai landasannya. Sementara data
progres keberhasilan dan juga data pendukung yang secara nyata dialami selama mengatasi permasalahan
dan atau mengembangkan Pengawasan dicatat dengan sebaik baiknya, terutama sangat bermanfaat dalam
merumuskan Standard Operating Procedure.
Yang dimaksudkan dengan tulisan pengalaman terbaik (Best Practice) Pengawas sekolah adalah tulisan
yang dibuat Pengawas sekolah yang berisi laporan uraian pengalaman nyata Pengawas sekolah dalam
memecahkan berbagai masalah pelaksanaan pengawasan dan/atau masalah pengelolaan yang ada di kelas
atau di satuan pendidikan
Di dalam Best Practice, harus secara jelas ditulis tentang hal-hal berikut.
1) Permasalahan yang dihadapi oleh pengawas sekolah yang terkait dengan pelaksanaan pengawasan
yang ada di kelas atau Sekolah binaanya
2) Uraian keterkaitan permasalahan yang dihadapi dengan kajian kepustakaan yang relevan.
3) Pembahasan tentang bagaimana pengawas sekolah yang bersangkutan dalam memecahkan
permasalahannya dan uraian hasilnya.
4) Sajian simpulan dan saran.

Kegiatan penulisan pengalaman terbaik ini, juga merupakan bagian dari kegiatan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan yang berupa Publikasi Ilmiah berjenis Tinjauan Ilmiah. Apabila karya tersebut
memenuhi persyaratan, dapat memperoleh angka kredit untuk unsur Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan .Publikasi ilmiah, di antaranya dapat berupa Tinjauan Ilmiah di bidang pengawasan. Isi
dari publikasi ilmiah tersebut, dapat berupa laporan dari pengalaman-pengalaman terbaik yang telah
dilakukan oleh para Pengawas sekolah dalam melaksanakan tugasnya. Dalam pelaksanaan tugasnya,
seharusnya Pengawas sekolah telah memperoleh banyak pengalaman. Di antara pengalaman-pengalaman
itu, tentu ada yang diyakininya sebagai pengalaman terbaik (Best Practice). Bila pengalaman terbaik
tersebut dipublikasikan, maka akan dapat menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi Pengawas
sekolah yang lain, dan sekaligus juga merupakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan dari
Pengawas sekolah yang menulis.

Tujuan Kegiatan Penulisan Best Practice Pengawas Sekolah


a. Meningkatkan kemauan dan kemampuan Pengawas Sekolah untuk menuliskan pengalaman terbaiknya
dalam bentuk publikasi ilmiah.
b. Menyebarluaskan hasil tulisan pengalaman terbaiknya, melalui berbagai media dan kegiatan yang lain
(seminar, lokakarya, dan lain-lain), agar terjadi penambahan wawasan bagi Pengawas sekolah yang lain
yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu profesionalisme Pengawas sekolah.
c. Membantu Pengawas sekolah dalam melaksanakan pengembangan keprofesian berkelanjutan, melalui
penulisan publikasi ilmiah yang berupa Tinjauan Ilmiah di bidang pengawasan yang berisi ungkapan
pengalaman terbaik pengawas sekolah dalam pelaksanaan tugasnya.

Kerangka isi penulisan diatur sebagai berikut.


1) Bagian Awal terdiri atas (a) halaman judul; (b) lembaran persetujuan; (c) kata pengantar; (d) daftar isi,
daftar tabel, daftar gambar, dan daftar lampiran (bila ada); serta (e) abstrak atau ringkasan. Lembar
persetujuan ditandatangani Kepala Dinas.
2) Bagian Isi terdiri atas beberapa bab.
a) Bab Pendahuluan menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat.
b) Bab Kajian/Tinjauan Pustaka berisi keterkaitan antara permasalahan yang dihadapi dengan berbagai
teori atau pengalaman-pengalaman terdahulu. Inti dari bagian ini adalah memberikan dasar teoretis
terhadap apa yang dilakukan oleh pengawas sekolah dalam memecahkan permasalahannya.
c) Bab Pembahasan Masalah menguraikan langkah-langkah atau cara-cara dalam memecahkan masalah
yang dituangkan secara rinci. Hal yang sangat perlu dituliskan adalah bagaimana tindakan, cara, langkah
yang dilakukan oleh Pengawas sekolah yang bersangkutan sehingga kegiatan tersebut dinyatakan sebagai
pengalaman terbaiknya dalam pemecahan masalah.
Semua uraian tentang pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan harus didukung (dilampirkan) dengan
data yang benar dari satuan pendidikan binaanya. Hal yang sangat perlu disajikan pada bab ini adalah
keaslian dan kejelasan ide/gagasan terkait dengan upaya pemecahan masalah di satuan pendidikannya.
Uraian ini merupakan inti tulisan best practice.
d) Bab Simpulan dan Saran berisi uraian tentang hal-hal yang dapat dipetik sarinya dari pengalaman
berharga tersebut. Simpulan diikuti dengan saran atau rekomendasi terhadap pihak terkait.

3) Bagian Penunjang berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran tentang semua data yang dipakai untuk
menunjang tulisan ini. Sajian lampiran dimaksudkan sebagai bukti bahwa kegiatan yang ditulis memang
benar-benar merupakan hal nyata yang telah dilakukan. Oleh karena itu, dokumen yang dilampirkan harus
benar-benar mampu menyakinkan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud. 1994. Petunjuk Pelaksanaan Supervisi di Sekolah. Jakarta : Direktorat Pendidikan Menengah
Umum. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdiknas 2006. Sistem Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta:

Ditjen. Mandikdasmen Depdiknas. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Kemdiknas, 2011, Buku Kerja Pengawas, PPTK- BPSDMP-PPM, Jakarta

Nanang Fattah. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya

PMPTK, 2009, Bahan Belajar Mandiri Supervisi Manajerial “ Program BERMUTU”

PMPTK, 2010, Evaluasi Diri Sekolah, Apa, Mengapan dan Bagaimana, Bahan ajar dan materi Pelatihan
Penguatan Pengawas/ Kepala Sekolah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/
Madrasah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Kependidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomer 63 Tahun 2009 tentang Sistim Penjaminan Mutu
Pendidikan (SPMP)

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 21 Tahun
2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.
Permendiknas Nomor 11 Tahun 2009. Tentang Perangkat Akreditasi SD/MI. Jakarta: BAN-S/M

Permendiknas Nomor 52 Tahun 2008. Tentang Perangkat Akreditasi SMA/MA. Jakarta: BAN-S/M

Jenis Program Pelatihan dan Pengembangan


dalam Pendidikan
By AsikBelajar.Com |

1 Comment

FacebookTwitter

WhatsAppShare0
Pelatihan (training) : peningkatan keterlibatan pekerja yang berarti memberikan tanggung jawab yang lebih
besar, yang pada giliirannya mensyaratkan tingkat kemampuan dan keterampilan yang lebih tinggi.
Keuntungan diperoleh dari pelatihan (Ross, 1955) :
1. Peningkatan komunikasi
2. Perubahan budaya perusahaan (corporate culture)
3. Unjuk komitmen manajemen terhadap kualitas

Jenis – jenis pelatihan :

Pre-service Training
Pre-service training diselenggarakan oleh lembaga pendidikan (seperti perguruan tinggi dan sekolah) atau
lembaga pelatihan (seperti Pusdiklat, Balai Latihan kerja, Lembaga kursus dan sebagainya ). Lembaga –lembaga ini
menyelenggarakan berbagai macam pelatihan dalam rangka penyediaan tenaga kerja yang memiliki
keterampilan, pengetahuan dan sikap dibidang tertentu. Sebagai contoh BLKI Singosari memiliki lima jenis
program pelatihan, yaitu: pelatihan institusional ( dibiayai oleh pemerintah,lamanya 3-5 bulan ), pelatihan
swadana ( dibiayai oleh peserta pelatihan, lamanya 3-5 bulan ), Mobile Training Unit ( MTU ) (dibiayai oleh
pemerintah lamanya 1-3 bulan ), pelatihan pihak ke III (misalnya perusahaan /instansi pemerintah, dan siswa
sekolah umum,lamanya 1-3 bulan ), dan program pemagangan ( dibiayai oleh pemerintah, lamanya 3 tahun).
Terdapat 7 jenis kejuruan yang ditawarkan meliputi: (1) Teknologi Mekanik,(2) Otomotif,(3) Listrik (4) Bangunan
(5) Tata niaga (6) perhotelan, dan (7) aneka Kejuruan.

In- service Training


In Service Training berfungsi meningkatkan kemampuan pekerja setelah bekerja dalam waktu tertentu.
Pelatihan ini sangat dibutuhkan karena adanya perkembangan teknologi dan perdagangan yang begitu
pesatnya. In service Training dapat diselenggarakan oleh perusahaan yang bersangkutan atau kerjasama
dengan lembaga-lembaga pelatihan. Harris, dkk ( 1979 ) mengklasifikasikan pelatihan menjadi 3 macam :
( 1 ) modul pelatihan individual, (2) Latihan dilaboraturium / bengkel, dan (3) simulasi,studi kasus dan
permainan.

Model Desain Pelatihan


Berbagai–bagai model desain pelatihan telah dikembangkan, salah satunya adalah Model Kejadian-Kritis
(The Critical –Events Model disingkat CEM ) yang diperkenalkan oleh Nadler (1982). Pada dasarnya,
CEM merupakan suatu model terbuka, yang menyadari bahwa organisasi dan individu adalah sangat
kompleks. Namun, tidak semua variabel dapat dimasukkan dalam desain pelatihan. Oleh karena itu,
terdapat titik –titik penting (kejadian-kejadian kritis) yang dicermati dan direncanakan.komponen-
komponen dalam desain model CEM terdiri dari: (1) identifikasi kebutuhan organisasi, (2) spesifikasi
kinerja pekerjaan, (3) identifikasi kebutuhan peserta pelatihan, (4) penentuan tujuan khusus, (5)
penyusunan kurikulum pelatihan, (6) pemilihan strategi instruksional, (7) penyediaan sumber daya
instruksional, (8) pelaksanaan pelatuhan, dan (9) balikan dan evaluasi.

Evaluasi Pelatihan
Terdapat tiga topik menarik dalam bidang pengembangan sumber daya manusia ( HRD , yaitu
evaluasi,pelatihan yang berorientasi pada hasil, dan kontribusi terhadap pengembangan organisasi. Hal
ini kerena semakin banyaknya tuntutan terhadap hasil program –program HRD. Bagian pelatihan dan
pengembangan ( T&D ) berusaha memenuhi tuntutan tersebut agar dapat memberikan kontribusi oleh
partisipan yang menginginkan program yang membawa hasil nyata.
Untuk mengevaluasi hasil pelatihan, Philips ( 1991 ) mengidentifikasi bentuk –bentuk instrumen evaluasi
sebagai berikut : kuesener,survey sikap, test, wawancara,kelompok fokus, observasi, dan rekaman
performansi. Pemilihan bentuk instrumen ini atas dasar bidang kemampuan yang diukur. Di samping itu,
faktor-faktor lain seperti kemudahan melaksanakan, kesederhanaan bentuk instrumen, dan keekonomisan
perlu juga dipertimbangkan.

Pengembangan (Development)
Dalam pendahuluan telah dinyatakan bahwa pengembangan (development) adalah pembelajaran untuk
pertumbuhan umum bagi individu dan / atau organisasi.
Pengembangan tidak dapat dipisahkan dari pelatihan, karena pengembangan merupakan tindak lanjut dari
pelatihan yang harus dilakukan secara terus menerus. Karena itu, sering dalam literatur –literatur
pembahasan tentang pengembangan dilakukan bersama dengan pelatihan dan topik “ pelatihan dan
pengembangan “.
Mengingat bahwa pengembangan ini memiliki spektrum yang lebih luas dibandingkan pelatihan, dan
dilakukan secara terus-menerus,maka metode –metode yang digunakan juga banyak dan bervariasi.
Beberapa metode yang dapat dipergunakan adalah misalnya rotasi pekerjaan ( job rotation , diskusi,
seminar, lokakarya, penataran, kerja tim (team work), studi banding / kunjungan kerja,sampai dengan
mempelajari buku-buku, katalog,dan jurnal profesional.
Pelatihan Keterampilan Fasilitasi bagi Guru

Hasil Kerjasama
Lapangan Kecil - The Learning Farm (www.thelearningfarm.com) - PwC (Pricewaterhouse
Coopers)

Pengantar
Komunikasi guru dan murid merupakan kunci proses belajar di kelas. Komunikasi yang nyaman,
menyenangkan, saling memotivasi, dan fokus memungkinkan pembelajaran berlangsung efektif. Lebih
dari itu, kelas yang nyaman dan menyenangkan akan membuat murid lebih bertanggung jawab dan
mempunyai rasa memiliki atas proses belajar itu sendiri.
Gagasan Guru Fasilitatif merujuk pada sikap dan praktik guru yang mengelola kelas sebagai komunitas
pembelajar yang mengejar prestasi sekaligus perkawanan (friendship). Guru fasilitatif mendorong murid
untuk saling memotivasi, belajar dan berinteraksi secara menyenangkan.
Guru Fasilitatifmengaplikasikan teori-teori relational group communication dengan pendekatan yang
melihat pentingnya komunikasi (verbal maupun nonverbal), pengembangan narasi bersama, dan proses
resiprokal dalam interaksi. Praktik Guru Fasilitatifjuga memanfaatkan seni dan teknik fasilitasi, seperti
mendengarkan secara fasilitatif, pengelolaan ruang, pengelolaan dinamika kelompok, proses divergensi
dan konvergensi untuk komitmen dan aksi bersama.

Tujuan Workshop
Kegiatan workshop satu hari ini bertujuan untuk
1) Mengenalkan dan meningkatkan pemahaman akan berbagai seni dan teknik fasilitasi bagi guru agar
dapat mengembangkan dirinya menjadi guru fasilitatif,
2) Bersama-sama berpraktik untuk meningkatkan keterampilan dasar seni dan teknik fasilitasi untuk
pengelolaan kelas yang lebih nyaman

Durasi dan Metode Pembelajaran


· Workshop berlangsung selama 8 jam (termasuk rehat).
· Proses pembelajaran dalam workshop lebih banyak menggunakan pendekatan partisipatif. Ceramah
atau komunikasi satu arah dibatasi maksimal hanya 25% dari waktu yang tersedia. Selebihnya adalah
pembelajaran melalui praktik dan interaksi antarpartisipan.

Topik Bahasan dan Praktik

Membangun hubungan
Mengenal, membuat kelas saling mengenal
· Penggunaan nama
· Memanfaatkan ruang untuk fasilitasi interaksi
· Permainan-permainan perkenalan dan pengelolaan ruang

Permainan & Prinsip-Prinsipnya


· Individual, pasangan, kelompok
· Gerak dan pikiran; Fungsi komunikasi, penyaluran ketegangan, energizer, review
· Observasi kenyamanan Komunikasi dan hasil intervensi

Menggabungkan Relational dan Instrumental/ Task Oriented Communication

Komunikasi non verbal


· Kontak mata, nada/ intonasi suara, mimicking, jarak, tactile (sentuhan)

Kerja konteks kelompok


· Memberi feedback/ feedforward
· Brainstorming/ Curah Pendapat

Pengenalan Kerangka Kerja Guru Fasilitatif


· Tahap Divergensi – Saling Memahami – Konvergensi

Facilitative Listening
· Mendengarkan secara aktif (generalization, deletion, distortion)
· Model/ jenis pertanyaan (open/ close ended, grand tour – mini tour, 3rd party, magic wand dll.)
· Paraphrasing, mirroring, drawing people out, encouraging, stacking, tracking, balancing
· Keep a running memory (MPC, FC, WB), parking lot

Beberapa Teknik untuk Saling Memahami


· Kelompok/ Sub Kelompok – Paraphrasing
· Jigsaw, fish bowl, role play, dan trade show

Partisipan

A. Persyaratan
· Telah mengajar minimal selama 5 tahun (sebagai pengajar resmi dan/atau bukan)
· Mengisi & mengembalikan formulir pendaftaran paling lambat 10 hari sebelum hari-H
· Bersedia mengikuti workshop secara penuh
· Berasal dari sekolah undangan atau dari sekolah yang mengajukan diri untuk berpartisipasi
· Tingkatan dan jenis sekolah tidak dibatasi

B. Biaya
· Peserta tidak dipungut biaya.
· Peserta akan mendapatkan makanan ringan dan air minum.
· Peserta tidak mendapatkan makan siang. Untuk makan siang, peserta dapat membawa sendiri atau
membeli saat rehat

B. Jumlah partisipan per kelas adalah antara 30 - 40 orang.

C. Setiap sekolah dapat mengajukan maks 8 peserta yang berpartisipasi dalam 4


kelas yang berbeda (maks 2 guru dari sekolah yang sama di setiap kelas)

Waktu & Tanggal Pelaksanaan

Workshop berlangsung pukul 08:30 – 16.30 WIB. Peserta harus datang sebelum 08.30 untuk registrasi
ulang.

Workshop #1: Ruang Tangerine 24 Maret 2015


Workshop #2: Ruang Maroon 31 Maret 2015
Workshop #3: Ruang Orange 7 April 2015
Workshop #4: Ruang Maroon 14 April 2015
Workshop #5: Ruang Tangerine 21 April 2015
Workshop #6: Ruang Maroon 28 April 2015
Workshop #7: Ruang Maroon 19 Mei 2015
Workshop #8: Ruang Maroon 26 Mei 2015

Tempat (peta detail akan diemail)


Ruang Pelatihan PWC Lt 10. The East Jl. Lingkar Mega Kuningan Kav. E-3.2 No. 1

Tata Cara Pendaftaran


1. Sekolah yang diundang/ mengajukan diri mengontak Lapangan Kecil via posting/ komentar email,
telphone, atau sms
Pilihan kontak
Posting di www.lapangankecil.org Rubrik Kegiatan: Pelatihan Keterampilan Fasilitasi bagi Guru
(mohon cantumkan alamat email dalam postingnya)

Email : winnie_sang@yahoo.com cc: risangrimbatmaja@gmail.com


Telephone/ SMS/ WA : 0812-9488622 (Winnie)

2. Calon partisipan mengisi dan mengembalikan formulir terlampir.


3. Calon partisipan/ sekolah memastikan kepesertaannya dengan memeriksa daftar peserta di
www.lapangankecil.org Rubrik Kegiatan: Pelatihan Keterampilan Fasilitasi bagi Guru. Hanya
partisipan yang terdaftar yang dapat mengikuti workshop.

Fasilitator
Evaluasi Peserta Dan Instruktur Pelatihan
23 Des
Latar Belakang
Manusia merupakan asset yang sangat berharga yang dimiliki oleh suatu organisasi, yang dijadikan objek
dan juga subjek dalam oraganisasi. Karena manusia merupakan makhluk yang dapat berkembang sesuai
dengan kapasitas yang dimilikinya. Kemampuan yang dimiliki oleh manusia haruslah senantiasa
dikembangkan karena jika tidak maka kemungkinan akan terjadi kemunduran bahkan statis. Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah dengan pendidikan dan
pelatihan.
Program pelatihan merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia. Untuk mengetahui efektivitas
dan tingkat ketercapaian dari pelatihan maka dilakukan sebuah langkah yaitu evaluasi. Evaluasi dilakukan
bukan hanya ada akhir pelatihan saja karena evaluasi merupakan mata rantai dari system pelatihan
dimana dilakukan sebelum pelatihan, pada saat pelatihan dan setelah pelatihan.
Proses evaluasi pada tahap awal yaitu sebelum pelatihan dinamakan dengan need assessment atau
mencari tahu keterampilan, dan kebutuhan dari para peserta pendidikan dan latihan serta pengembangan
sumber daya manusia. Evaluasi ditahapmenengah pada saat dilakukan pelatihan dinamakan monitoring
yang bertujuan untuk mencari informasi apakah program pelatihan yang telah disusun berjalan sesuai
dengan rencan aau tidak. Dan evaluasi setelah pelatihan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
perubahan kinerja dari karyawan atau anggota organisasi selah mengikuti pelatihan.
Evaluasi menjadi sngat penting untuk dipelajari karena evalusi akan mengukur tingkat ketercapaian dari
program pelatihan yang dilakukan sehingga akan memberikan feed back untuk kelangsungan program
pelatihan selanjutnya. Peserta merupakan objek dari pelatihan dan akan merasakan hasil dari pelatihan
sehinga evaluasi peserta menjadi sangat menentukan keberlangsungan pelatihan selajutnya. Selain peserta
yang menjadi ujung tombak keberhasilan atau ketercapaian program pelatihan adalah instruktur yang
memberikan materi pelatihan.
Konsep Pelatihan
A. Pengertian
Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai: “proses pendidikan jangka pendek yang
menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan
mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”. Menurut Good,
1973 pelatihan adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan pengetahuan (M.
Saleh Marzuki, 1992 : 5). Sedangkan Michael J. Jucius dalam Moekijat (1990 : 2) menjelaskan istilah
latihan untuk menunjukkan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan
pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and Productivity adalah belajar untuk
mengubah tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan pada dasarnya adalah
suatu proses memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai keterampilan khusus
atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
Hadari Nawawi (1997) menyatakan bahwa pelatihan pada dasarnya adalah proses memberikan bantuan
bagi para pekerja untuk menguasai keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki
kekurangannya dalam melaksanakan pekerjaan. Fokus kegiatannya adalah untuk meningkatkan
kemampuan kerja dalam memenuhi kebutuhan tuntutan cara bekerja yang paling efektif pada masa
sekarang. Ernesto A. Franco (1991) mengemukakan pelatihan adalah suatu tindakan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang pegawai yang melaksanakan pekerjaan tertentu.
Dalam PP RI nomor 71 tahun 1991 pasal 1 disebutkan:
“Latihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan
produktivitas, disiplin, sikap kerja dan etos kerja pada tingkat keterampilan tertentu berdasarkan
persyaratan jabatan tertentu yang pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek dari pada teori”.
Veithzal Rivai (2004:226) menegaskan bahwa “pelatihan adalah proses sistematis mengubah tingkah
laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan
pegawai dalam melaksanakan pekerjaan saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu
pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaan”.
B. Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, akan tetapi
juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan yang
dipersyaratkan. Moekijat (1990 : 2) menjelaskan tujuan umum pelatihan sebagai berikut :
1. untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan
lebih efektif;
2. untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional;
3. untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman
pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).
Tujuan pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1995 : 223) adalah untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap karyawan serta meningkatkan kualitas dan
produktivitas organisasi secara keseluruhan, dengan kata lain tujuan pelatihan adalah meningkatkan
kinerja dan pada gilirannya akan meningkatkan daya saing.
C. Manfaat Pelatihan
Manfaat pelatihan beberapa ahli mengemukakan pendapatnya Robinson dalam M. Saleh Marzuki (1992
: 28) mengemukakan manfaat pelatihan sebagai berikut :
1. Pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan/kemampuan individu atau kelompok
dengan harapan memperbaiki performance organisasi;
2. Keterampilan tertentu diajarkan agar karyawan dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan
standar yang diinginkan;
3. Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-sikap terhadap pekerjaan, terhadap pimpinan atau
karyawan;
4. Memperbaiki standar keselamatan.
Pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana juga memberikan manfaat dalam mengurangi
kesalahan produksi; meningkatkan produktivitas; meningkatkan kualitas; meningkatkan fleksibilitas
karyawan; respon yang lebih balk terhadap perubahan; meningkatkan komunikasi; kerjasama tim yang
lebih baik, dan hubungan karyawan yang lebih harmonis (1998 : 215).
Konsep Evaluasi
A. Pengertian
Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation; dalam bahasa Arab; al-taqdir; dalam
bahasa Indonesia berarti; penilaian. Akar katanya adalah value; dalam bahasa Arab; al-qimah; dalam
bahasa Indonesia berarti; nilai.
Dalam Wikipedia Evaluasi (bahasa Inggris:Evaluation) adalah proses penilaian. Dalam perusahaan,
evaluasi dapat diartikan sebagai proses pengukuran akan efektifitas strategi yang digunakan dalam upaya
mencapai tujuan perusahaan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai
analisis situasi program berikutnya.
Secara garis besar, proses evaluasi terbagi menjadi di awal (pretest) dan diakhir (posttest). Pretest
merupakan sebuah evaluasi yang diadakan untuk menguji konsep dan eksekusi yang direncanakan.
Sedangkan, posttest merupakan evaluasi yang diadakan untuk melihat tercapainya tujuan dan dijadikan
sebagai masukan untuk analisis situasi berikutnya.
Evaluasi dapat dilakukan di dalam atau diluar ruangan. Evaluasi yang diadakan di dalam ruangan pada
umumnya menggunakan metode penelitian laboratorium dan sampel akan dijadikan sebagai kelompok
percobaan. Kelemahannya, realisme dari metode ini kurang dapat diterapkan. Sementara, evaluasi yang
diadakan di luar ruangan akan menggunakan metode penelitian lapangan dimana kelompok percobaan
tetap dibiarkan menikmati kebebasan dari lingkungan sekitar. Realisme dari metode ini lebih dapat
diterapkan dalam kehidupansehari-hari.
Untuk mencapai evaluasi tersebut dengan baik, diperlukan sejumlah tahapan yang harus dilalui yakni
menentukan permasalahan secara jelas, mengembangkan pendekatan permasalahan, memformulasikan
desain penelitian, melakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan data, menganalisis data yang
diperoleh, dan kemampuan menyampaikan hasil penelitian.
B. Tujuan Evaluasi
Menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 13) ada dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum diarahkan kepada program secara keseluruhan sedangkan tujuan khusus lebih difokuskan
pada masing-masing komponen. Implementasi program harus senantiasa di evaluasi untuk melihat sejauh
mana program tersebut telah berhasil mencapai maksud pelaksanaan program yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi, program-program yang berjalan tidak akan dapat dilihat
efektifitasnya.
Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru sehubungan dengan program itu tidak akan didukung oleh
data. Karenanya, evaluasi program bertujuan untuk menyediakan data dan informasi serta rekomendasi
bagi pengambil kebijakan (decision maker) untuk memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki
atau menghentikan sebuah program.
Ditinjau dari bentuk-bentuk evaluasi, maka evaluasi bertujuan untuk, evaluasi formatif untuk bertujuan
untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan, sedang evaluasi sumatif bertujuan
untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi dan lanjutan. Menurut Stufflebeam yang membagi
evaluasi kepada proactive evaluation, yakni melayani pemegang keputusan, sedangkan retroactive
evaluation bertujuan untuk keperluan pertanggungjawaban.
Jadi, evaluasi hendaknya bertujuan dalam membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu
program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan
dukungan dari stakeholders.
Salah satu tujuan evaluasi (Sujono, 2007 : 25) adalah;
1. Untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan akhir suatu periode kerja, apa yang telah dicapai, apa
yang belum dicapai, dan apa yang perlu mendapat perhatian khusus.
2. Untuk menjamin cara kerja yang efektif dan efisien yang membawa organisasi pada penggunaan
sumber daya yang dimiliki secara efesien dan ekonomis.
3. Untuk memperoleh fakta tentang kesulitan, hambatan, penyimpangan dilihat dari aspek-aspek
tertentu.
C. Fungsi Evaluasi
Adapun fungsi evaluasi program Menurut scriven (1967:225) adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Formatif yaitu evaluasi dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang
berjalan (program, orang, produk, dsb).
2. Fungsi sumatif yaitu evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau
lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu
program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan
dukungan dari mereka yang terlibat.
3. Fungsi diagnostik yaitu untuk mendiagnostik sebuah program
Stuffebeam menyatakan ada dua fungsi evaluasi program, yaitu:
1. Proactive Evaluation yaitu evaluasi program yang dilakukan untuk melayani pemegang keputusan
2. Retroactive Evaluation yaitu evaluasi program yang dilakukan untuk keperluan pertanggung
jawaban.
Konsep Evaluasi Program Pelatihan
Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat dipakai dalam
mengevaluasi program pelatihan. Kirkpatrick, salah seorang ahli evaluasi program training dalam bidang
pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi yang diberi nama
Kirkpatrick’s training evaluation model juga menunjuk model-model
lain yang dapat dijadikan sebagai pilihan dalam mengadakan evaluasi terhadap sebuah program
training. Model-model yang ditunjuk tersebut di antaranya adalah :
 Five Level ROI Model (Jack PhillPS’)
 CIPP Model (Daniel Stufflebeam’s)
 Responsive Evaluation Model (Robert Stake’s)
 Congruence-Contingency Model (Robert Stake’s)
 Five Levels of Evaluation (Kaufman’s)
 CIRO (Context, Input, R eaction, Outcome)
 PERT (Program Evaluation and Review Technique)
 Goal-Free Evaluation Approach (Michael Scriven’s)
 Discrepancy Model (Provus’s)
Dari berbagai model tersebut di atas dalam tulisan ini hanya akan diuraikan secara singkat
beberapa model. Model yang diungkapkan Djuju Sudjana (2006: 225), yaitu:
A. Evaluasi model CIPP
Konsep evaluasi model CIPP ( Context, Input, Prosess and Product)
pertama kali ditawarkan oleh Stufflebeam pada tahun 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi
ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). Konsep
tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi
adalah bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
The CIPP approach is
based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but to improve
(Mad aus, Scriven, Stufflebeam, 1993: 118). Evaluasi model CIPP
dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, manajemen,
perusahaan sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program
maupun institusi. Dalam bidang pendidikan Stufflebeam menggolongkan sistem
pendidikan atas 4 dimensi, yaitu context, input, process dan product, sehingga
model evaluasi yang ditawarkan diberi nama CIPP model yang merupakan
singkatan ke empat dimensi tersebut. Nana Sudjana & Ibrahim (2004: 246) menterjemahkan
masing-masing dimensi tersebut dengan makna sebagai berikut:
1. Context : situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan
dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem
yang bersangkutan, seperti misalnya masalah pendidikan yang dirasakan, keadaan ekonomi
negara, pandangan hidup masyarakat .
2. Input: sarana/modal/bahan dan rencana strategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan.
3. Process: pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/ bahan di dalam kegiatan nyata di
lapangan.
4. Product : hasil yan g dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem
pendidikan yang bersangkutan.
B. Evaluasi model Brinkerhoff
Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama,
ada banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli evaluasi atau
evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & CS
(1993:111) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-
elemen yang sama, seperti evaluator -evaluator yang lain, namun dalam komposisi dan versi mereka
sendiri sebagai berikut :
1. Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara sistematik
sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program
disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan
diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat sebelumnya dimana
sipemakai akan menerima informasi seperti yang telah ditentukan dalam tujuan. Walaupun desain
fixed ini lebih terstuktur daripada desain emergent, desain fixed juga dapat disesuaikan dengan
kebutuhan yang mungkin berubah. Kebanyakan evaluasi formal yang dibuat secara individu dibuat
berdasarkan desain fixed, karena tujuan program telah ditentukan dengan jelas sebelumnya,
dibiayai dan melalui usulan atau proposal evaluasi. (Brinkerhoff & CS, 1993:111)
2. Formative vs Sumative Evaluation
Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu
memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat implementasi program
sedang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan atau orang-
orang program. Evaluator sering merupakan bagian dari pada program dan kerjasama dengan orang-
orang program. Strategi pengumpulan informasi mungkin juga dipakai tetapi
penekanan pada usaha memberikan informasi yang berguna secepatnya bagi perbaikan program.
Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu program
sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan suatu program tertentu akan
diteruskan atau dihentikan.
Pada evaluasi sumatif difokuskan pada variable-variabel yang dianggap penting bagi sponsor program
maupun pihak pembuat keputusan. Evaluator luar atau tim reviu sering dipakai karena evaluator internal
dapat mempunyai kepentingan yang berbeda. Waktu pelaksanaan evaluasi sumatif terletak pada akhir
implementasi program. Strategi pengumpulan informasi akan memaksimalkan validitas eksternal dan
internal yang mungkin dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama. (Nana Sudjana & Ibrahim,
2004: 246)
3. Experimental and Quasi experimental Design vs Naural/Unotrusive
Beberapa evaluasi memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal seperti ini subyek
penelitian diacak, perlakuan diberikan dan pengukuran dampak dilakukan. Tujuan dari
penelitian untuk menilai manfaat suatu program yang dicobakan. Apabila siswa atau
program dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat pada populasi yang agak lebih
luas. Dalam beberapa hal intervensi tidak mungkin dilakukan atau tidak dikehendaki.
Apabila proses sudah diperbaiki, evaluator harus melihat dokumen-dokumen, seperti
mempelajari nilai tes atau menganalisis penelitian yang dilakukan dan sebagainya.
strategi pengumpulan data terutama menggunakan instrument formal seperti tes, suvey,
kuesioner serta memakai metode penelitian yang terstandar. (Nana Sudjana & Ibrahim,
2004: 246)
C. Evaluasi model Kirkpatrick
Menurut Kirkpatrick (Djuju Sudjana 2006:246) evaluasi terh adap efektivitas program training
mencakup empat level evaluasi, yaitu: level 1 – Reaction, level 2 – Learning, level 3– Behavior, level 4 –
Result
1. Evaluating Reaction
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta
(customer satisfaction). Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa
menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka tertarik termotivasi
untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila proses training
berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari
peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas
terhadap proses training yang diikutin ya maka mereka tidak akan termotivasi
untuk mengikuti training lebih lanjut. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa
keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari minat, perhatian dan motivasi
peserta training dalam mengikuti jalannya kegiatan training. Orang
akan belajar lebih baik manakala mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar.
(Djuju Sudjana 2006:247)
Kepuasan peserta training dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan,
fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan oleh instruktur,
media pembelajaran yang tersedia, jadwal kegiatan sampai menu dan penyajian konsumsi yang
disediakan. (Djuju Sudjana 2006:248)
2. Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick (1988: 20) learning can be defined as the extend to which participans
change attitudes, improving knowledge, and/or increase skill as a result of attending the program.
Ada tiga hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program training, yaitu
pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Peserta training dikatakan telah belajar apabila pada
dirinya telah mengalamai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan ketrampilan.
Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas program training maka ketiga aspek
tersebut perlu untuk diukur.
Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan ketrampilan
pada peserta training maka program dapat dikatakan gagal. Penilaian evaluating learning
ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena itu dalam
pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan satu atau lebih hal berikut:
a). Pengetahuan apa yang telah dipelajari ?, b). Sikap apa yang telah berubah ?, c). Ketrampilan apa
yang telah dikembangkan atau diperbaiki ?. (Djuju Sudjana 2006:249)
3. Evaluating Behavior
Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi terhadap
sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan
sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih bersifat internal,
sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku setelah
peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti training
juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat kerja, sehingga
penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.
Perubahan perilaku apa yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti program
training. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apak ah peserta merasa senang
setelah mengikuti training dan kembali ke tempat kerja?. Bagaimana peserta dapat mentrasfer
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperoleh selama training untuk
diimplementasikan di tempat kerjanya. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku
setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi terhadap
outcomes dari kegiatan training. (Djuju Sudjana 2006:249)
4. Evaluating Result
Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi
karena peserta telah mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari
suatu program training di antaranya adalah kenaikan produksi, peningkatan kualitas,
penurunan biaya, penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja, penurunan
turnover dan kenaikan keuntungan. Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan
moral kerja maupun membangun teamwork yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi
terhadap impact program. (Djuju Sudjana 2006:250)
D. Evaluasi model Stake (Model Countenance)
Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan
membedakan adanya tiga tahap dalam program pelatihan, yaitu antecedent (context),
transaction (process) dan outcomes. Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu progr
am pelatihan, kita melakukan
perbandingan yang relatif antara program dengan program yang lain, atau perbandingan yan
g absolut yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu. Penekan
an yang umum atau hal yang penting dalam model ini adalah
bahwa evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake
mengatakan bahwa description di satu pihak berbeda dengan judgement di lain
fihak. Dalam model ini antecendent (masukan) transaction (proses) dan outcomes
(hasil) data di bandingk an tidak han ya untuk menentukan apakah ada perbedaan
antara tujuan dengan k eadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan
standar yang absolut untuk menilai manfaat program (Farida Yusuf Tayibnapis, 2000: 22).
Evaluasi Peserta Pelatihan
Evaluasi peserta pelatihan adalah evaluasi yang bertjuan untuk mengetahui dan mencari informasi
mengenai ketercapaian program pelatihan dilihat dari peningkatan kemampan atau kopetensi peserta.
(Moekijat, 1990:9).
Evaluasi Kemajuan Peserta merupakan evaluasi yang dilaksanakan untuk mengetahui peningkatan
peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui Pretest dan Post Test. (Moekijat, 1990:8).
Dari hasil Pretest dan Post Test diketahui bahwa pengetahuan yang mereka miliki dapat lebih
dikembangkan dan ditingkatkan melalui keterlibatan mereka dalam mengikuti pelatihan. Terdapat tiga
langkah evaluasi pelatihan dengan menggunakan instrumenn evaluasi dan rancangannya tergantung dari
langkah evaluasi apa yang akan dilakukan. Langkah langkah tersebut antara lain:
1. Evaluasi awal pelatihan; disediakan sebelum pelatihan dimulai dengan tujuan
untuk (1).Mengetahui reaksi peserta terhadap materi yang diberikan; (2). Mengetahui tingkat
pengetahuan atau tingkat kompetensi teknis peserta; (3). Sebagai informasi bagi pelatih.
2. Evaluasi proses pelatihan. Tujuannya adalah (1). Mengetahui reaksi peserta terhadap sebagian
atau keseluruhan program pelatihan; (2). Mengetahui hasil pembelajaran peserta; (3).
Mengantisipasi tindakan tertentu ketika diperlukan untuk mengambil langkah-langkah perbaikan.
Evaluasi program pelatihan. Tujuannya adalah (1). Mengetahui hasil pelaksanaan pelatihan dan
pengaruhnya terhadap kinerja serta masalah-masalahnya; (2) Mengetahui opini pemimpin dan bawahan
peserta mengenai hasil pelatihan; (3). Mengetahui hubungan hasil pelatihan serta dampaknya bagi
organisasi di tempat peserta bekerja. (Moekijat, 1990:20).
Evaluasi setelah pelatihan pada tingkat perilaku dalam pekerjaan sangat penting, karena belum tentu
pengetahuan dan pengalaman pembelajaran yang diperoleh dapat diterapkan dalam pekerjaan, tetapi
perilaku yang baik dalam pekerjaan merupakan gabungan dari pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Untuk mengetahui seberapa jauh peserta mengadakan perubahan perilaku dalam pekerjaan setelah
mengikuti pelatihan, evaluasi hendaknya dilaksanakan oleh beberapa pihak, antara lain: peserta sendiri,
atasan peserta, bawahan peserta, teman sekerja dan pasen serta masyarakat. (Moekijat, 1990:25).
Salah satu tehnik evaluasi setelah pelatihan yang berhubungan dengan perilaku adalah pendekatan
terhadap evaluasi, (Moekijat, 1990:27) dengan 3 langkah evaluasi:
1. Evaluasi oleh peserta segera setelah pelatihan dengan menggunakan daftar isian.
2. Evaluasi oleh peserta 4 bulan setelah pelatihan dengan menggunakan daftar isian
3. Evaluasi peserta dengan supervisornya 6 bulan setelah pelatihan dengan tehnik wawancara terpola
dan pertanyaannya meliputi: tujuan pelatihan, metoda,isi dan pendapat mengenai penerapannya.
Bagi peserta training, evaluasi training dapat memberikan feedback berupa seberapa signifikannya
training tersebut mempunyai impact bagi pekerjaannya, perubahan bagi dirinya, kecocokan program dan
manfaat-manfaat lainnya.
Ini adalah daftar berbagai aspek pelatihan yang dimasukkan ke dalam evaluasi peserta (Moekijat,
1990:30), yaitu:
 Apakah tujuan pelatihan, sasaran pembelajaran, dsb, sudah terpenuhi
 Pertanyaan khusus tentang kaitan dari masing-masing sesi; apakah informasi yang disampaikan
sudah sesuai dan memadai; apakah penyampaiannya diberikan dengan cara yang menarik
 Bagaimana para peserta menerima dan mengambil manfaat dari setiap tugas pelatihan yang
diberikan
 Apakah ada yang hilang dari pelatihan tersebut
 Kualitas dan hubungan dari handout
 Kenyamanan tempat pelatihan
 Ruang yang diberikan dari tempat pelatihan
 Suhu dan sirkulasi udara dalam tempat pelatihan
 Saran-saran umum tentang tempat pelatihan (kondusif untuk pelatihan, suasana yang tenang, dsb)
 Kualitas konsumsi: tepat waktu, memadai, sesuai dengan harganya
 Apabila para peserta memiliki ketentuan-ketentuan pelatihan lanjutan
Evaluasi Instruktur Pelatihan
Bagi sang trainer, evaluasi tidak kalah pentingnya, yaitu dapat memberikan feedback tentang apakah
peserta puas dengan isi program training, kedalaman meteri training, caranya mengajar, caranya
mendelivery ilmunya dan sebagainya. Bukan hal yang mudah bagi seorang trainer untuk dapat
memuaskan seluruh pesertanya, bisa dibayangkan, jika dalam sebuah kelas pelatihan, jumlah peserta 10,
20, 30 bahkan mungin 500 peserta, sang trainer dituntut untuk dapat bertindak secara efektif dan efisien
agar seluruh materi dapat terserap dan seluruh peserta puas dengan caranya mentransfer seluruh isi
materi. Seorang trainer dituntut mampu memainkan peran sebagai seorang trainer, coach, guru, fasilitator,
entertainer, pendongeng atau bahkan mungkin sebagai pelawak. (Moekijat, 1990:35).
Jadi, aspek yang dinilai untuk instruktur atau fasilitator meliputi: Penguasaan atas materi yang diajarkan
dan Kemampuan dalam menyajikan materi.
Contoh Instrument Evaluasi Peserta Dan Instruktur Pelatihan

Sumber : http://www.hrd-
forum.com/HRDIndonesia/Article/evaluasi-training
Kesimpulan
Pelatihan merupakan salah satu kunci untuk membawa seseorang atau suatu organisasi menjadi lebih baik
dan efektif dalam mencapai tujuannya. Evaluasi yang dilakukan pada setiap program adalah evaluasi
terhadap aspek-aspek yang menunjukkan respon selama pelatihan berlangsung.
Evaluasi peserta merupakan suatucara untuk mengetahui peningkatan pengetahuan dan
keterampilan melalui Pretest dan Post Test. Bagi peserta training, evaluasi training dapat memberikan
feedback berupa seberapa signifikannya training tersebut mempunyai impact bagi pekerjaannya,
perubahan bagi dirinya, kecocokan program dan manfaat-manfaat lainnya.
Evaluasi istruktur pelatihan adalah untuk memberikan feedback tentang apakah peserta puas dengan isi
program training, kedalaman meteri training, caranya mengajar, caranya mendelivery ilmunya dan
sebagainya.
Referensi:
Moekijat. (1990). Evaluasi Pelatihan Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas Perusahaan.Bandung:
Penerbit Mandar Maju.
Marzuki, M.S. (1992). Strategi dan Model Pelatihan. Malang : IKIP Malang.
Franco, EA. (1991). Training. Quizon City: kalayan Press Mktg Ent Inc.
Nawawi, H, (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.
Arikunto, Suharsini dan Safruddin, Cepi. (2004). Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis
Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Wikipedia. Evaluasi. [Online]. Tersedia di : http://id.wikipedia.org/wiki/Evaluasi (13 April 2012)
Sudijono, A. (2007). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudjana. (2004). Manajemen Program Pendidikan, untuk pendidikan Non Formal dan Pengembangan
Sumber daya Manusia. Bandung: Falah Production
Nana Sudjan a & Ibrahim. (2004).Penelitian dan penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Kirkpatrick, D.L.(2005).Kirkpatrick’s training evaluation model. Diambil pada tanggal 23 Sepember
2005, dari http://www.businessballs. com/ Kirkpatrick learningevaluationmodel.htm
Home / Pengertian dan Definisi / Intervensi Adalah ? (Pengertian Intervensi)

Intervensi Adalah ? (Pengertian Intervensi)


Intervensi adalah ? Pengertian Intervensi mmm ? Apa Arti Intervensi ? Definisi Intervensi adalah ?
Pertanyaan tersebut mungkin pernah terlintas di pikiran kita.

Pengertian Intervensi
Intervensi adalah tindakan memasukkan satu hal antara lain, seperti orang yang mencoba untuk
membantu. seseorang lainnya bisa menjadi subyek dari intervensi sekolah misalkan jika guru
kamu memanggil orang tua kamu untuk memberi tahu tentang nilai-nilai buruk, maka kamu dengan
cepat akan bersembunyi. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia "Intervensi adalah campur
tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya) dan dalam bahasa
kedokteran Intervensi adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan atau mengubah penyebaran penyakit."

Dalam Bidang Hukum Intervensi adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang untuk masuk ke
dalam gugatan sudah berlangsung; pengakuan orang bukan partai asli untuk gugatan itu sehingga orang
yang dapat melindungi beberapa hak atau kepentingan yang diduga dipengaruhi oleh proses
Pengertian Intervensi Menurut Pakar dan Ahli
Slamet dan Markam (2003:135) mengemukakan bahwa Intervensi adalah suatu metode untuk mengubah
perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang. Trull (2005 : 292) mengemukakan bahwa psikologi intervensi
adalah sebuah metode yang dapat mengubah tingkah laku, pikiran, dan perasaan seseorang. Himpsi (2010
: 114) mengemukakan bahwa intervensi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana berdasar hasil asesmen untuk mengubah keadaan seseorang, kelompok orang atau masyarakat
yang menuju kepada perbaikan atau mencegah memburuknya suatu keadaan atau sebagai usaha
Intervensi Individual
Mappiare (2010 : 167) mengemukakan bahwa psikoterapi individual adalah penempatan individual
pasien/klien sebagai sasaran penyembuhan dalam seting hubungan antarpribadi dengan terapis.
Pomerantz (2013 : 365) mengemukakan bahwa intervensi individual merupakan terapi yang berfokus
pada hubungan interpersonal. Pomerantz (2013 : 476) mengemukakan bahwa intervensi individual
merupakan terapi yang terbatas pada interaksi dua orang antara klien dan terapis. Sedangkan intervensi
kelompok memungkinkan jaringan hubungan yang jauh lebih kompleks untuk berkembang.

Plante (2005 : 275) mengemukakan bahwa intervensi individual merupakan metode yang terlatih dan
metode yang paling umum dalam psikoterapi. Intervensi individual merupakan kegiatan psikoterapi yang
melibatkan seorang ahli terapi yang menjadi penolong bagi kliennnya yang mengalami masalah, tingkah
laku, kualitas hidup dan lain-lain. Psikoterapi individual digunakan untuk mendiskusikan dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan melibatkan interaksi antara seorang ahli terapi dan si klien.
Kaplan, Sadock, dan Grebb (2010 : 434) mengemukakan bahwa psikoterapi individual adalah dalam
terapi individual pasangan yang menikah diperiksa oleh ahli terapi yang berbeda, yang tidak
berkomunikasi satu sama lain dan mungkin tidak saling mengetahui satu sama lainnya. Tujuan dari terapi
ini adalah untuk memperkuat kapasitas adaptif masing-masing pasangan.

Intervensi Kelompok
Plante (2005 : 277) mengemukakan bahwa intervensi kelompok merupakan psikoterapi yang dibentuk
dengan ukuran, tujuan, dan teknik yang beranekaragam sehingga dapat memberikan feedback dari
anggota kelompok. Trull (2005 : 411) mengemukakan bahwa intervensi kelompok merupakan terapi yang
dilakukan dengan teknik atau desain kelompok berdasarkan psikoanalitik. Fithriyah dan Jauhar (2014 :
221) mengemukakan bahwa intervensi kelompok merupakan terapi yang diberikan kepada individu yang
memiliki penyakit emosional yang telah dipilih secara cermat yang kemudian ditempatkan kedalam
kelompok yang dibimbing oleh ahli terapi yang sudah terlatih untuk membantu satu sama lainnya dalam
menjalani perubahan kepribadian.

Intervensi Komunitas
Slamet dan Markam Sumarmo (2003 : 165) mengemukakan bahwa psikologi komunitas merupakan
sebagai pendekatan terhadap kesehatan mental yang menekankan pada peran daya lingkungan dalam
menciptakan dan mengurangi masalah. Psikologi komunitas termasuk dalam bagian dari psikologi sosial.
Kaplan, Sadock, dan Grebb (2010 : 433) mengemukakan bahwa intervensi komunitas dapat dikatakan
juga sebagai terapi jaringan kerja sosial yang dikumpulkan bersama komunitas atau jaringan kerja sosial
pasien yang terganggu.
Prawitasari (2012 : 181) mengemukakan bahwa intervensi pada tingkat komunitas akan mendukung
proses terapiutik bagi individu dan keluarga, dan sebaliknya, intervensi individual dan keluarga akan
mendukung keberhasilan proses rekonstruksi komunitas. Plante (2005 : 291) mengemukakan bahwa
Terapi komunitas biasanya menggunakan pendekatan psychoeducational, memberikan pendidikan,
pelatihan keterampilan-bangunan, dan dukungan untuk mereka yang berisiko untuk atau sudah berjuang
dengan jiwa yang signifikan, medis, atau masalah lainnya.

Bloom (Slamet dan Markam, 2003 : 166) mengemukakan terdapat perbedaan antara layanan psikologi
tradisional dengan layanan pendekatan kesehatan mental komunitas (Community Mental Health)
penekanan pendekatan kesehatan mental komunitas adalah :
1. Intervensi dalam komunitas
2. Intervensi dilakukan dalam populasi terbatas, misalnya high-risk population
3. Penekanan pada pencegahan
4. Promosi pelayanan tak langsung, seperti mengadakan konsultasi dan pelatihan
5. Pelaksanaan oleh ahli dari berbagai bidang ilmu dan awam.

Slamet dan Markam (2003 : 167) mengemukkan terdapat dua konsep yang sangat melekat pada
pendekatan psikologi komunitas, yaitu pencegahan dan pemberdayaan. Pencegahan gangguan jiwa
bertujuan untuk menghemat biaya perawatan penderita. Pemberdayaan manusia dalam masyarakat
bertujuan untuk mempertahankan kesehatan dan mencegah penyakit jiwa.

Referensi :
Slamet, S., Markam. (2003). Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta : UI Press
Kamus KBBI

VARIABEL DAN HUBUNGAN FUNGSIONAL


Variabel artinya sebagai segala faktor yang dilibatkan dalam sebuah penelitian. Faktor faktor itu
bisa jadi atribut individual yang diteliti misalkan segala macam yang ada pada individu (jenis kelamin
umurnya, skor test) juga termasuk kondisi yang berhubungan dengan seting penelitian. Seperti penelitian
dikelas bukan saja penelitian secara formal saja. Atau juga variabel itu bisa hakekat intervensi misalkan
strategi pembelajaran ( pembelajaran kooperatif) materi pembelajaran atau tehnik manajemen prilaku.
Variabel adalah semua yang mencakup dalam penelitian itu.salah satu bentuk variabel counfounding
variabel. Dalam penelitian tujuan adalah mengontrol ada dan tidaknya variabel yang berpengaruh pada
hasil. Misalkan reinforcement terhadap dampaknya keterlambatan siswa. Variabel yang tidak terkontrol
contohnya siswa terlambat, lalu diberikan reinforcement, tetapi tetap terlambat karena siswa itu sakit.
Jenis-jenis variabel ada dua yaitu Dependent dan Independent. Dependent merujuk pada perilaku
yang akan diubah. Independen merujuk pada intervensi yang akan digunakan untuk merubah perilaku.
Contoh: setelah siswa membaca, guru memberikan feed back korektif atau balikan korektif.
Dependent: perilaku membaca. Independen : guru memberikan feed back pada siswa. Desaign single
subjek memungkinkan peneliti untuk mengetahui sebab dan akibat antara variabel independent dan
dependent.
Desain eksperimen subjek tunggal memberi kemungkinan kepada peneliti untuk memahami sebab
dan akibat antara variabel yang independent dan variabel dependent. Jika perubahan dalam variabel
dependent terjadi secara berulang kali, maka variabel independent diberikan maka dapat dikatakan bahwa
terdapat hubungan fungsional antara keduanya.karena itu disain single subjek memberikan kerangka
untuk menguji efek yang berulang kali. Ketika intervensi dan hasilnya terus berulang guru maupun
peneliti dapat meyakini bahwa perilaku tertentu berubah sebab terdapat hubungan fungsional. Hubungan
fungsional adalah jika dibuktikan kebenarannya yaitu dengan mengulang – ulang.
KATEGORI DASAR DESAIGN
Format desain penelitian yang mengatur cara mengajukan pertanyaan, serta cara memperolehnya
dan menganalisa data. Terdapat dua jenis atau katagori desain penelitian. Desain kelompok dan desain
subjek tunggal. Desain kelompok berfokus pada pertanyaan dan data yang berhubungan dengan
kelompok orang dan desain subjek tunggal berfokus pada pertanyaan dan data yang berhubungan dengan
individu.
Desain Group digunakan untuk mengevaluasi dampak intervensi pada perilaku seluruh populasi
(misalnya, semua siswa kelas dua disekolah atau dari seluruh gedung sekolah) atau dari sampel yang
representatif dari populasi. Untuk menentukan efektivitas intervensi, populasi (atau sampel yang dipilih
secara acak) ini, juga secara acak, dibagi menjadi dua kelompok: kelompok eksperimental dan kelompok
kontrol. (Ini adalah ini pilihan acak dan pembagian yang memungkinkan generalisasi dari sampel ke
seluruh populasi.) Anggota kelompok eksperimen menerima intervensi. Ini memberikan ulangan
beberapa pengaruh intervensi. Anggota kelompok kontrol melakukan tidak menerima intervensi.
Pengukuran perilaku (rata-rata kinerja) dibuat sebelum intervensi dan pada akhir intervensi untuk setiap
kelompok. Perubahan perilaku rata-rata di populasi dibandingkan yang terjadi setelah intervensi.
Perbandingan ini dilakukan melalui penggunaan prosedur statistik, tujuan yang adalah: (a) untuk
memverifikasi perbedaan dalam perubahan dalam skor rata-rata antara dua kelompok, (b) untuk
memverifikasi bahwa perbedaan signifikan dan karena itu mungkin layak menjadi tindakan, dan (c) untuk
memverifikasi bahwa perbedaan antara kelompok, mungkin hasil lebih intervensi daripada kesempatan
atau beberapa sumber yang tidak diketahui.
Sebagai contoh, kurikulum Fulton County Public Schools sedang mempertimbangkan mengubah
teks matematika kelas enam. Saat ini mereka menggunakan teks dengan Jones dan Jones. Panitia secara
acak memilih 200 siswa dari antara semua anak kelas enam. Siswa ini kemudian secara acak baik
kelompok eksperimental (100 siswa) atau kelompok kontrol (100 siswa). Selama minggu pertama seluruh
200 siswa diuji pada ujian matematika kelas 6. Kemudian kelompok eksperimen menerima instruksi
menggunakan Smith dan matematika Smith, sedangkan kelompok kontrol terus menerima instruksi
menggunakan matematika Jones and Jones. Pada akhir tahun ajaran setiap kelompok diuji lagi
matematika kelas enam. Keuntungan rata-rata kinerja (jumlah tujuan bertemu) untuk kelompok-kelompok
perbandingan. Hal ini dilakukan untuk menentukan: (a) jika tidak ada perbedaan perolehan skor dua
kelompok, (b) jika ada perbedaan, apakah perbedaan ini signifikan, dan (C) apakah masuk akal untuk
mengasumsikan bahwa keuntungan yang lebih besar atau lebih kecil di skor oleh kelompok eksperimen
adalah akibat penggunaan Smith dan teks Smith. Analis perilaku terapan suka beberapa pengukuran
perilaku dalam rangka memberikan gambaran rinci tentang perilaku sebelum dan selama intervensi.

SINGLE SUBJECT DESAIGN


Single subjek desain menyediakan struktur untuk mengevaluasi kinerja individu bukan kelompok.
Sedangkan desain mengidentifikasi kelompok-pengaruh variabel terhadap kinerja rata-rata sejumlah besar
siswa, desain single-subjek mengidentifikasi pengaruh variabel di sebuah perilaku tertentu dari seorang
siswa tertentu. Desain seperti ini memantau kinerja individu selama manipulasi variabel independen (s).
Single-subjek desain ulang memerlukan tindakan dari variabel dependen. Kinerja individu yang
perilakunya sedang dipantau dicatat mingguan, sehari-hari, atau bahkan lebih sering selama tiap waktu.
Kinerja individu kemudian dapat dibandingkan dalam kondisi percobaan yang berbeda, manipulasi
variabel independen. Setiap individu dibandingkan hanya untuk dirinya sendiri, meskipun intervensi
dapat direplikasi dengan beberapa individu lain dalam desain yang sama. Single-subjek penelitian
menekankan signifikansi klinis bagi seorang individu daripada signifikansi statistik antara kelompok-
kelompok. Jika hasil intervensi dalam perbaikan, diamati dan terukur, ini disebut berfungsi sebagai
meningkatkan, hasil percobaan dianggap memiliki signifikansi klinis.
Analis perilaku terapan umum tidak menganggap hasil penelitian berdasarkan tunggal sukses
intervensi. Ketika hubungan fungsional dibentuk antara independen variabel (intervensi) dan variabel
dependen (perilaku) untuk satu individu, mengulangi penelitian intervensi yang sama dilakukan
menggunakan berbagai individu dan variabel dependen yang berbeda. Intervensi lebih sering suatu
terbukti efektif, kepercayaan lebih umum diperoleh tentang hasil intervensi.
Ketika guru menggunakan pujian secara sistematis meningkatkan perilaku siswa terhadap soal
matematika. Peningkatan tidak hanya hasil matematika tetapi juga perilaku akademik dan sosial lainnya
dengan banyak siswa lebih meyakinkan. Menggunakan replikasi sistematis, diterapkan analis perilaku
secara bertahap mengidentifikasi prosedur dan teknik yang efektif dengan banyak siswa. Lain-lain
kemudian dapat mengadopsi prosedur dan teknik dengan cukup keyakinan bahwa mereka akan bekerja.
Sidman (1960) menyarankan bahwa kesalahan untuk melihat penelitian subjek tunggal
hanya sebagai dunia kecil dari penelitian kelompok. Berulang ukuran dari variabel dependen
jika variabel independen adalah diterapkan dan dihapus menunjukkan kontinuitas
sebab dan akibat dan hubungan dari satu titik data ke yang lain yang tidak akan terlihat
ketika membandingkan pengaruh variabel independen di seluruh kelompok yang terpisah.

Pengukuran Baseline
Tahap pertama dari rancangan subjek tunggal melibatkan pengumpulan dan pencatatan baseline
data. Baseline Data adalah ukuran tingkat perilaku (variabel dependen) seperti itu terjadi secara alami,
sebelum intervensi. Kazdin (1982,1998) menyatakan bahwa baseline data melayani dua fungsi. Pertama,
data baseline melayani fungsi deskriptif. Data ini menggambarkan tingkat kinerja siswa yang ada. Bila
data yang digambarkan, mereka memberikan gambaran kemampuan siswa perilaku saat ini untuk
menyelesaikan masalah atau kemamuan aslinya banyak bicara. Tujuannya dapat membantu guru dalam
memverifikasi atau mengurangi dan meningkatkan perilakunya (banyak bicara).
Kedua, data baseline melayani fungsi “prediktif " Baseline data berfungsi sebagai dasar untuk
memprediksi tingkat kinerja untuk waktu dekat jika intervensi tersebut tidak
diberikan "(Kazdin, 1982, hal 105) Untuk menilai keberhasilan intervensi (yang independen.
variabel), guru harus tahu apa kinerja murid seperti sebelum intervensi. Baseline data melayani tujuan
yang sama dengan sebuah pretest. "predikasi dicapai dengan memproyeksikan ke masa depan kelanjutan
kinerja baseline " (hal. 105). Hal ini melawan proyeksi bahwa dampak intervensi dinilai.
Tahap awal sesi berlanjut untuk beberapa saat sebelum fase intervensi dimulai. Dalam banyak
kasus, setidaknya lima dasar titik data dikumpulkan dan diplot. Sejauh mana pengumpulan data dasar
dipengaruhi oleh karakteristik tertentu dari titik data.
Karena data dasar yang akan digunakan untuk menilai keefektifan intervensi guru, penting bahwa
baseline menjadi stabil, menyediakan sampel yang representatif terjadinya perilaku yang alami.
Kestabilan data dasar dinilai oleh dua karakteristik: variabilitas dari titik-titik data dan kecenderungan di
titik data. Variabilitas data mengacu pada fluktuasi dalam kinerja siswa. "Sebagai aturan umum, semakin
besar variabilitas dalam data, semakin sulit untuk menarik kesimpulan tentang efek intervensi "(Kazdin,
1982, hal 109) dan untuk membuat proyeksi tentang kinerja yang akan datang. Ketika baseline tidak
stabil, hal pertama yang harus diperiksa adalah definisi perilaku target. Tidak stabilnya baseline
menunjukkan bahwa definisi operasional perilaku target tidak cukup deskriptif untuk memungkinkan
keakuratan dan konsisten perekaman atau karena kolektor datanya tidak konsisten pada prosedur
pengumpulan data.
Dimana variabel dapat dikontrol dengan seksama, kriteria penelitian yang berorientasi untuk
adanya variabilitas akan titik data dalam kisaran 5% dari variabilitas (Sidman, 1960), kriteria terapi
sebesar 20% telah disarankan (Repp, 1983). Namun, masalah penelitian murni mungkin kurang penting
dari modifikasi cepat perilaku, kami menyarankan lebih longgar parameter variabilitas 50%. Jika
variabilitas melebihi 50%, teknik statistik untuk perbandingan kinerja harus digunakan (Barlow &
Hersen, 1984). Sebuah baseline dapat dianggap stabil jika tidak ada titik data baseline bervariasi lebih
dari 50% dari rata-rata, atau rata-rata, dari baseline. Gambar 5-1 menggambarkan prosedur untuk
menghitung stabilitas suatu dasar berdasarkan kriteria ini.
Trend dalam data mengacu indikasi adanya arah tertentu dalam kinerja perilaku.
Trend didefinisikan sebagai tiga data berturut-turut bergerak kea rah yang sama (Barlow & Hersen,
1984). Bisa menunjukkan kecenderungan, kecenderungan meningkat, atau kecenderungan menurun.
Gambar dibawah ini menggambarkan dua jenis kecenderungan meningkat dan menurun.
Gambar Kecenderungan meningkat
(Ascending Baseline)




Gambar Kecenderungan menurun
(Descending Baseline)


Baseline ascending menunjukkan kecenderungan meningkat. Guru harus melakukan intervensi


pada baseline naik hanya jika tujuannya adalah untuk mengurangi perilaku tersebut. Contohnya untuk
mengurangi perilaku siswa terlambat.
Baseline descending menunjukkan termasuk setidaknya tiga titik data yang menunjukkan
penurunan khas arah atau kecenderungan dalam perilaku. Guru harus melakukan intervensi pada turun
awal saja jika tujuannya adalah untuk meningkatkan perilaku. Contohnya: meningkatkan siswa yang aktif
berbicara di kelas.
Pengukuran Intervensi
Komponen kedua dari setiap single subjek desain adalah serangkaian tindakan berulang-ulang
subjek kinerja di bawah kondisi perlakuan atau intervensi. Independen
variabel (perlakuan atau intervensi) diperkenalkan, dan pengaruhnya pada tergantung
variabel (kinerja siswa) diukur dan dicatat. Kecenderungan dalam perlakuan menunjukkan efektivitas
perlakuan guru atau peneliti dengan panduan dalam menentukan perlunya perubahan dalam prosedur
intervensi.
Baseline ketika sudah di dapat, langkah selanjutnya melakukan intervensi, lalu di ukur dengan
tujuan apakah salah atau bener intervensi yang dilakukan. Jika intervensinya salah maka di ubah.
Kontrol Eksperimental
Kontrol Eksperimental adalah usaha peneliti untuk memastikan bahwa perubahan yang terjadi
pada variable dependen, secara nyata berhubungan dengan manipulasi variable independen dengan kata
lain terdapat hubungan fungsional diantara keduanya. Peneliti ingin menghilangkan kemungkinan ada
hal-hal yang lain yang menyebabkan untuk perubahan perilaku. contoh: guru melakukan system
behavioral untuk mengurangi perilaku yang distruktif (perilaku pengganggu) setelah tiga siswa yang
mengganggu tiga tempat, dia tidak benar-benar yakin bahwa system yang barulah yang menyebabkan
turunnya level gangguan.. Dalam hal ini tiga siswa tadi merupakan tiga siswa tadi adalah variable
confounding. Kemudian siswa dikeluarkan, setelah itu guru menerapkan sistem behavioral. Kemudian
setelah diterapkan siswa di dalam kelas ternyata diam. Guru tidak tau apakah itu karena guru yang
menerapkan sistemnya ataukah karena siswanya dikeluarkan tadi.
Desain dalam chapter ini terdiri dari beberapa tingkat control eksperimental, salah satunya dikenal
dengan nama desain pembelajaran dan desain penelitian. Desain pembelajaran tidak perlu membahas
hubungan fungsional waluapun begitu desain itu dapat digunakan untuk kepentingan pembelajaran setiap
kali. Sedangkan desain penelitian, perlu control eksperimental yang lebih ketat sehingga memungkinkan
guru atau peneliti mengasumsikan adanya hubungan eksperimental. Para peneliti biasanya melakukan
control eksperimental dengan mengulangi intervensi beberapa kali dan mengobservasi dampaknya
terhadap variable dependen setiap kali intervensi tersebut di ulang.
AB DESAIGN
Desain AB adalah desain single-subjek dasar. Setiap desain yang lebih kompleks sebenarnya
merupakan perluasan satu sederhana. Penunjukan AB mengacu pada dua fase dari desain: A, atau dasar,
fase B, atau intervensi, tahap. Selama Fasa A, awal dikumpulkan dan dicatat. Setelah baseline stabil telah
didirikan, intervensi diperkenalkan, dan tahap B dimulai. Pada tahap ini, data intervensi busur
dikumpulkan dan dicatat. Guru dapat mengevaluasi kenaikan atau penurunan persentase, jumlah, atau
durasi dari perilaku target selama fase intervensi dan membandingkannya dengan fase awal. Dengan
menggunakan informasi ini untuk membuat kesimpulan tentang efektivitas intervensi, guru dapat
membuat keputusan tentang melanjutkan, mengubah, atau membuang intervensi.
Implementasi
Tabel 5-1 menunjukkan data yang dikumpulkan dengan menggunakan desain AB. Guru dalam hal
ini adalah membenarkan jawaban yang benar kepada sejumlah siswa dengan memberikan pertanyaan
tentang tugas membaca. Selama 5 hari, ia mengumpulkan data baseline. Dia kemudian membuat 2 menit
waktu luang kontinjensi pada setiap jawaban yang benar dan terus mencatat jumlah yang benar seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 5-1, jumlahnya jelas meningkat selama fase intervensi. Guru bisa membuat
asumsi sementara bahwa intervensi-nya efektif.
Tampilan Grafis
Data dikumpulkan dengan menggunakan desain AB yang digambarkan dalam dua tahap: A, atau
awal, dan B, atau intervensi. Sebuah garis vertikal putus pada grafik memisahkan dua tahap dan titik data
antara fase tidak terhubung, Grafik pada Gambar 5-4 menunjukkan gambaran yang lebih jelas dari
efektivitas intervensi dibandingkan data dalam bentuk tabel.
Table 5-1
Contoh data dari desain AB
Baseline Data
Hari Jumlah tanggapan yang Benar
Senin 2
Selasa 1
Rabu 0
Kamis 2
Jumat 1
Intervention Data
Hari Jumlah tanggapan yang Benar
Senin 2
Selasa 1
Rabu 0
Kamis 2
Jumat 1

Gambar 5-4
Grafik Desain AB
Data dari table 5-1

Baseline Intervention
“A” “B”

10
9
8

7 •

6 • •
5 •
4 •
3

2 • •
1 • •
0 •
Senssions

Aplikasi Desaign
Dasar Desain AB tidak sering ditemukan dalam literatur penelitian karena tidak bisa menilai untuk
hubungan fungsional. Desain tidak menyediakan untuk replikasi dalam suatu percobaan yang membentuk
hubungan fungsional. Schoen dan Nolen (2004) menggunakan rancangan AB untuk menggambarkan
hasil intervensi yang dirancang untuk mengurangi perilaku off-task seorang anak kelas enam dengan
ketidakmampuan belajar.
Menggambarkan penurunan jumlah menit dia off-task dari awal melalui fase intervensi.
Bagaimanapun orang tidak bisa, mengasumsikan hubungan fungsional antara variabel dependen (off-task
perilaku) dan variabel independen (self-manajemen checklist) karena desain AB tidak menyediakan untuk
manipulasi berulang (penggunaan dan penghapusan) dari variabel independen.
Kelebihan dan Kelemahan
Keuntungan utama dari desain AB adalah kesederhanaannya. Guru berarti cepat membandingkan
perilaku siswa sebelum dan sesudah pelaksanaan beberapa intervensi atau prosedur instruksional,
membuat instruksi yang lebih sistematis.
Kerugian dari desain AB adalah tidak dapat digunakan untuk membuat asumsi yaitu hubungan
fungsional. Meskipun data mungkin menunjukkan peningkatan atau penurunan dalam perilaku selama
fase intervensi, sehingga menunjukkan efektivitas intervensi, desain ini tidak menyediakan untuk
replikasi dari prosedur. Oleh karena itu, desain AB rentan terhadap variabel pengganggu atau peristiwa
kebetulan.
REVERSAL DESAIGN (DESAIGN PEMBALIKAN)
Desain pembalikan digunakan untuk menganalisis efektivitas independen tunggal
variabel. Sering disebut sebagai desain ABAB, desain ini melibatkan sekuensial
aplikasi dan penarikan intervensi untuk memverifikasi efek intervensi terhadap perilaku. Dengan berulang
kali membandingkan data baseline data yang dikumpulkan selama aplikasi
dari strategi intervensi, peneliti dapat menentukan apakah suatu hubungan fungsional
ada antara variabel dependen dan independen.
Implementasi
Desain pembalikan memiliki empat fase: A, B, A, dan B:
· A (baseline 1): baseline awal selama data dikumpulkan pada perilaku sasaran dalam kondisi yang ada
sebelum pengenalan dari intervensi.
· B (intervensi 1): pengenalan awal dari intervensi yang dipilih untuk mengubah perilaku sasaran.
Intervensi terus sampai tercapainya target kriteria perilaku atau kecenderungan ke arah yang diinginkan,
perubahan perilaku dicatat.
· A (baseline 2): kembali ke kondisi dasar asli, dicapai dengan menarik atau mengakhiri intervensi.
· B (intervensi 2); membangkitkan kembali prosedur intervensi.
Data dikumpulkan dengan menggunakan desain pembalikan dapat diperiksa untuk hubungan
fungsional antara variabel dependen dan independen. Gambar 5-6 menunjukkan hubungan fungsional
antara variabel dependen dan independen, dikatakan ada jika set kedua pengembalian baseline data ke
tingkat dekat dengan rata-rata dalam fase awal A atau jika sebuah kecenderungan yang jelas dalam kedua
A fase di arah berlawanan dari fase B pertama. Gambar 5-7 tidak menunjukkan adanya hubungan
fungsional.

Figure 5-6
Pembalikan desain grafik yang menunjukkan
hubungan fungsional antara variabel
Baseline. Intervensi, Baseline, Interevensi
“A”, “B”, “A”, “B”

• •

• •

• •

• • • •
• •

• • • •
• •

Sesi

Figure 5-6
Pembalikan desain grafik yang tidak menunjukkan
hubungan fungsional antara variabel
Baseline. Intervensi, Baseline, Interevensi
“A”, “B”, “A”, “B”
• • • • •

• • •
• •


• •

• • •
• •

Sesi
Cooper (1981, hal 117) menyatakan bahwa peneliti perlu tiga lembar bukti sebelum
mereka dapat mengatakan bahwa hubungan fungsional menunjukkan: (1) prediksi: pernyataan
instruksional bahwa variabel independen tertentu akan mengubah variabel dependent-misalnya,
penggunaan kontingen token untuk meningkatkan jumlah soal matematika Michael; (2) verifikasi
prediksi: kenaikan (atau penurunan) dalam variabel dependen selama fase intervensi pertama, dan
kembali ke tingkat dasar perkiraan kinerja pada tahap kedua A; dan (3) replikasi berlaku: reintroduksi
variabel independen selama fase B kedua menghasilkan lagi dalam perubahan yang diinginkan yang sama
dalam perilaku.
Desain pembalikan adalah desain penelitian yang memungkinkan guru untuk mengasumsikan
hubungan fungsional antara variabel independen dan dependen. Baseline kedua dan fase intervensi,
dengan kondisi yang sama dengan yang pertama, memberikan kesempatan untuk replikasi dari efek
intervensi terhadap perilaku sasaran. Hal ini tidak mungkin bahwa variabel pengganggu akan ada
bersamaan dengan aplikasi berulang-ulang dan penarikan variabel independen. Bagaimanapun desain
pembalikan, tidak selalu pilihan yang paling tepat. Desain pembalikan tidak boleh digunakan dalam
kasus-kasus berikut:
1. Ketika perilaku target adalah berbahaya, seperti perilaku agresif diarahkan kepada siswa lain atau
perilaku yang merugikan diri sendiri. Karena desain pembalikan panggilan untuk kondisi baseline kedua
dilakukan setelah perubahan perilaku sasaran, pertimbangan etis akan melarang menarik teknik intervensi
sukses.
2. Ketika perilaku sasaran tidak reversibel. Banyak teori perilaku, misalnya, tidak reversibel, karena
perubahan perilaku berhubungan dengan proses belajar. Dalam kondisi seperti itu, kembali ke baseline
kinerja tidak layak. Misalnya: Pengetahuan bahwa 4 x 3= 12, tidak mungkin "salah belajar ."
Tampilan Grafis
Desain pembalikan menjelaskan untuk empat tahap yang berbeda pengumpulan data. Gambar 5-8
menggambarkan desain pembalikan dasar. (Perhatikan bahwa ABAB berasal dari label setiap periode
dasar sebagai fasa A dan setiap periode intervensi sebagai fase B)
Variasi Desaign
Variasi dari desain pembalikan dapat ditemukan dalam literatur. Variasi pertama tidak
tidak melibatkan perubahan dalam struktur desain, tetapi hanya lebih pendek basis awal periode (A). Ini
format desain sesuai ketika masa dasar panjang tidak etis, seperti ketika perilaku berbahaya, atau tidak
meminta, seperti dalam kasus seorang mahasiswa yang tidak mampu melakukan perilaku target gelar
apapun.
Sebuah variasi kedua dari desain pembalikan menghilangkan garis awal seluruhnya. Variasi BAB
dianggap jika perilaku target jelas bukan dalam repertoar siswa. Ketika desain ini digunakan, hubungan
fungsional antara variabel dependen dan independen dapat ditunjukkan hanya pada intervensi kedua
(tahap B).

“A” “B” “A” “B”


Baseline Intervention Baseline Intervention

Gambar format rancangan dasar pembalikan


Aplikasi dalam Penelitian
Para peneliti sering menggunakan desain ABAB. Levendoski dan Cartledge (2000) digunakan
untuk menentukan efektivitas prosedur pemantauan diri pada tugas dan produktivitas akademik dengan
siswa usia SD dengan gangguan emosionalnya. Keempat anak laki-laki diberi kartu pemantauan diri pada
awal setiap periode matematika. Mereka diberitahu bahwa setiap kali mereka mendengar bel (setiap 10
menit), mereka harus "Tanyakan pada diri anda... Saya melakukan pekerjaan?" Mereka kemudian untuk
menandai ya atau tidak pada kartu mereka.
Gambar diatas menunjukkan hasil intervensi untuk tugas salah satu anak laki-laki. Selama kondisi
baseline ketika kartu pemantauan diri tidak digunakan, rata-rata tugas 45%. Setelah intervensi di
tempatnya, waktunya rata-rata tugas bertambah 93%. Selama tahap awal, di atas rata-rata tugas kembali
ke 34% dan kemudian meningkat lagi dengan rata-rata 96%, selama reintroduksi kartu pemantauan diri.
Pemeriksaan grafik dengan jelas menunjukkan bahwa ketika siswa menggunakan kartu pemantauan diri,
waktunya pada tugas meningkat. Perhatikan bahwa fase satu dan dua yang ditiru oleh tahap tiga dan
empat memungkinkan penentuan hubungan fungsional.
Umbreit, Lane, dan Dejud (2004) menggunakan rancangan ABAB untuk mengevaluasi dampak
intervensi untuk peningkatan perilaku tugas seorang mahasiswa pendidikan umum kelas empat. Selama
tugas, Jason termasuk berbicara dengan siswa lain, menendang kursi atau yang di depannya, atau
berkeliaran di sekitar ruangan. Guru menetapkan bahwa perilaku ini terjadi ketika ia selesai
penugasannya. Jason berkata ia selesai dengan cepat karena tugas adalah "hampir selalu terlalu mudah."
Selama fase awal, Jason menerima mengerjakan matematika dan tugas membaca sebagai seluruh kelas.
Selama fase intervensi, ia menerima tugas yang lebih menantang (tugas sekitar 2 minggu lebih lanjut
sepanjang dalam kurikulum).
Kelebihan dan Kelemahan
Sebagai menunjukkan aplikasi sebelumnya, desain pembalikan menawarkan keuntungan
kesederhanaan dan kontrol eksperimental. Ini menyediakan analisis tepat dari efek variabel bebas tunggal
pada variabel dependen tunggal.
Kelemahan utama dari desain ini adalah kebutuhan untuk menarik intervensi yang efektif untuk
menentukan apakah ada hubungan fungsional. Bahkan jika perilaku target tidak berbahaya atau tidak
dapat diubah, guru seperti kelihatan bodoh atau tidak berhasil menarik intervensi.
PROPOSAL TESIS KURIKULUM 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah Usaha terpadu untuk memanusiakan manusia muda, membentuk karakter
sehingga peserta didik menjadi cendekiawan berpribadi dan berkeutama,an, dengan kata lain pendidikan
adalah proses humanisasi. (Bambang Sugiharto, 2008). Dengan mengolah potensi-potensi yang dimiliki
oleh manusia untuk lebih manusiawi.
Pendidikan pada dasarnya lahir di Mesir Kuno, kegiatan pembelajaran tidak dilakukan dalam ruang-
ruang kelas seperti Sekolah Modern sekarang, akan tetapi dilaksanakan dilapangan terbuka mirip
kampanye atau rapat akbar sa,at ini, institusi sekolah sa,at ini merupakan wahana yang di pergunakan
sebagai tempat berlangsungnya proses pemupukan pengetahuan, keterampilan dan sikap guna
mewujudkan segenap potensi yang ada dalam diri seseorang (siswa). sekolah tidak serta merta muncul
dari ruang hampa, tetapi menjelma melalui pergulatan panjang dengan proses sosio-historisnya.
Untuk mengikuti proses Pendidikan sudah menjadi harapan dan cita-cita bagi semua ummat
manusia, tak peduli lagi keadaan ekonomi lemah, pendidikan sudah seperti raja dalam kehidupan
manusia, dengan harapan melalui pendidikan anak didik bisa di bentuk dan di bekali pengetahuan dan
keterampilannya sehingga ia menjadi manusia yang bermanfa,at untuk orang banyak, menjaga dan
menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Berangkat dari itu Kurikulum merupakan langkah konkrit untuk menjemput impian pendidikan
dalam memanusiakan manusia itu sendiri, sebab kurikulum adalah alat untuk membentuk watak dan sifat
anak didik dan di dalam kurikulum terdapat aturan-aturan proses belajar dan mengajar. Kurikulum adalah
rencana pelajaran (A Plan For Learning) yang di berikan kepada guru untuk di terapkan pada peserta
didik agar anak didiknya bisa menjadi manusia yang terampil, inovatif, kreatif serta aktif dalam
menjawab polemik berkehidupan. (Hilda Taba, 1962) dalam (S. Nasution, 1994).
Maka dapat kita analisis jika kurikulum tidak diberlakukan untuk kepentingan Pendidikan.
Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang di
sediakan di sekolah dan untuk anak didik, rancangan ini dimaksud dengan untuk memberikan pedoman
kepada para pelaksana pendidikan dalam proses perkembangan pembimbingan belajar anak didik yang
sesuai dengan cita-cita anak didik, keluarga dan masyarakat sekitar.
Ruangan kelas merupakan tempat untuk melaksanakan sekaligus menguji Kurikulum yang berusaha
di terapkan, di sekolah pula guru di uji kemampuan dengan melihat penguasaan materi, pengetahuan, dan
metode mengajar dalam upaya mewujudkan bentuk Kurikulum yang nyata dan hidup, untuk mewujudkan
itu maka membutuhkan guru yang benar-benar paham tentang keprofesionalitasannya dalam mengemban
tugas yang di berikan.
Kerangka Kerja Pengembangan Kurikulum
Persiapan Anak Didik Tujuan Pendidikan Kebutuhan
Standar
Kompetensi. Lulusan (SKL). Satuan Pendidikan.

Kerangka Dasar Kurikulum


( Filosofi, Yuridis, Konseptual )

Struktur Kurikulum

Standar Proses KI Kelas dan KD Mapel Standar Penilaian

(Standar Isi)

Silabus

Panduan Guru RPP Buku Tekas Siswa

IMPLEMENTASI
Kerangka Kerja Pengembangan Kurikulum. (Herry Widyastono, 2014).
B. Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini di rumuskan sebagai
berikut :
1. Apakah kekurangan dari Perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di SMP Negeri 2 Pabelan
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo ?
2. Bagaimanakah keunggulan dari Perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di SMP Negeri 2
Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo ?
3. Adakah langkah alternatif tindakan Perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di SMP Negeri 2
Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusam masalah di atas, maka Tujuan dari Penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan kekurangan dari perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di SMP
Negeri 2 Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo
2. Untuk mendeskripsikan keunggulan dari perkembangan Kurikulum IPA terpadu Kelas VII di SMP
Negeri 2 Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo
3. Untuk mendeskripsikan langkah alternatif tindakan perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di
SMP Negeri 2 Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

D. Manfaat Penelitian
Di lihat dari penjelan di atas maka penelitian dapat memberikan manfa,at Penelitian secara Praktis
dan Teoritis
1. Secara Praktis
a. Bila ditemukannya kekurangan dari perkembangan Kurikulum 2013 IPA Terpadu maka akan dapat
bermanfaat untuk tenaga pendidik dalam memperbaiki implementasi Kurikulum 2013.
b. Bila ditemukannya kelebihan dari perkembangan Kurikulum 2013 IPA Terpadu maka akan dapat
memberikan ilmu pengetahuan baru kepada tenaga pendidikan untuk mengatur/mendesain sekaligus
mengevaluasi kecerdasan dan behavior anak didik dengan melandaskan kurikulum 2013 ipa terpadu di
keadaan dan situasi yang di tentukan.
c. Bila ditemukannya langkah atau tindakan alternatif dalam perkembangan Kurikulum 2013 maka akan
dapat di gunakan sebagai pembentukan karakter anak didik, dengan upaya membentuk karakter anak
didik yang kreatif, inovatif dan produktif dan afektif dalam menelaah konsep kehidupan berlingkungan,
berbangsa dan bernegara.

2. Secara Teoritis
Manfaat teoritis dari Penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu manajemen Pendidikan terutama
pada aspek perkembangan Kurikulum 2013 yang mengkhususkan pada mata pelajaran IPA Terpadu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kurikulum Di Indonesia
Ketidak puasan dengan hasil Kurikulum yang ada memaksa untuk membuat Kurikulum yang baru
dalam rangka menghasilkan peserta didik yang benar. sejarah pengembangan Kurikulum di Indonesia
sering terdapat pendirian yang berbeda-beda dan sering bertentangan, akan tetapi mengajukan Kurikulum
yang ekstrim sering mendiskreditkan Kurikulum yang sudah ada hanya karena ingin menyempurnakan
Kurikulum sesudah di berlakukan otonimi daerah padahal Kurikulum sebelum otonomi daerah juga
memiliki kebaikan untuk yang benar.
Kurikulum yang pernah di berlakukan di Indonesia adalah Kurikulum 1968, Kurikulum1975 dan
Kurikulum 1984 Berbasis Materi (Content-Based Curiculum), Kurikulum 1994 Berbasis Pencapaian
Tujuan (Objective-Based Curiculum), Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi (Competency-Based
Curiculum), Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). (Nurhadi, 2006).
Istilah Kurikulum di katakan baru menjadi populer di Indonesia berkisar tahun lima puluhan yang di
populerkan oleh mereka yang memperoleh Pendidikan di Amerika Serikat yang di kenal dengan rencana
pelajaran (a plan for learning). (S. Nasution, 1994).
Seiring perkembangan Zaman dan sejak Kemerdekaan Indonesia perubahan Kurikulum sudah di
lakukan 11 (sebelas) kali dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, 8 kali terjadi sebelum Era
Otonomi Daerah dan 3 kali setelah Otonomi Daerah. (Herry Widyastono, 2014). Diantaranya :
1. Kurikulum 1947, Kurikulum ini dulunya bukan dikatakan sebagai kurikulum, hanya di bahasakan
sebagai Rentjana Pelajaran terurai Sekolah Dasar yang dalam Bahasa Belanda di sebut leer plan.
2. Pada Tahun 1964, Pemerintah menyempurnakan Kurikulum 1947 dengan di tambah nama menjadi
Kurikulum Rentjana Pendidikan Sekolah Dasar 1964.
3. Di Tahun 1968, Pemerintah menyempurnakan Kurikulum 1964 dengan Kurikulum baru yaitu
Kurikulum 1968 Kurikulum 1968 bertujuan membentuk manusia pancasilais sejati, sehat jasmani, kuat,
mempertinggi kecerdasan dan moral, budi pekerti serta keyakinan beragama.
4. Kurikulum 1973 atau Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), dengan adanya PPSP di rintis
sebagai sekolah Laboratorium namun karna hasil dari kebijakan pembiayaan Pendidikan yang terlalu
mahal sehingga tidak layak untuk didesiminasikan secara nasional.
5. Kurikulum 1975, Kurikulum ini menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif,
dengan di pengaruhi oleh bidang manajemen yaitu manjemen by objective.
6. Kurikulum 1984 atau Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) adalah Kurikulum yang cara
belajarnya di dapatkan dari pengalaman, dengan harapan agar pengetahuan yang di dapatkan lewat
pengalaman tetap akan di ingat.
7. Kurikulum 1994, yaitu dengan pembagian waktunya dalam satu tahun menjadi 3 periode atau dari
semester ke caturwulan, lewat upaya ini agar orang tua siswa dapat melakukan introspeksi untuk
memberikan perhatian penuh dan sedini mungkin dalam menanggapi hasil belajar anaknya.
8. Kurikulum 1999 (Kurikulum yang di sempurnakan dari Kurikulum 1994) dalam kurikulum ini
pembelajaran adalah mengembangkan pengetahuan (Kognitif), keterampilan (Psikomotorik) dan sikap
(Afektif).
9. Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2004 merupakan embrio dari
Kurikulum 2006. yang diberikan hak kepada sekolah untuk mengembangkan Kurikulum yang sesuai
dengan kondisi sekolah dan kebutuhan anak didik (di berlakuan ketika otonomi daerah).
10. Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). prinsip pengembangan
Kurikulum 2006 yang di katakan oleh Depdiknas (2006) perpusat pada : (Pertama) Potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungan. (Kedua) Beragam dan terpadu
(Ketiga) Tanggap terhadap ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni. (Ke-empat) Relevan dengan
kebutuhan kehidupan. (Kelima) Univer dan kontinyu. (Ke-enam) Belajar sepanjang hayat. (Ketujuh)
Seimbang antara kepentingan Nasional dan Daerah dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara.
11. Kurikulum 2013 Berbasi Kompetensi, berbicara tentang pembentukan karakter berbasis kompetensi
pengetahuan dalam menanamkan value transenden dan mewujudkan attitud dan aptitud yang behavior
akhlaktul kharimah.

Kurikulum selalu menjadi pembahasan, Kurikulum selalu menjadi perdebatan, akan bagaimana arah
Pendidikan kedepan dan untuk siapa Kurikulum itu di buat dan di berlakukan, setiap terjadi
pengembangan Kurikulum guru beserta orang tua siswa selalu mengeluh karena Kurikulum selalu di
ubah.
Kurikulum bukan bahan mentah yang dalam keadaan kapan dan di manapun siap saji. maka
kewajiban semua element yang prihatin pada pendidikan untuk menjelaskan pentingnya Kurikulum itu di
kembangkan. Kurikulum adalah program yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) untuk siswa
yang berbicara tentang metode, isi, tujuan, dan evaluasi dalam pembelajaran. (Oemar Hamalik, 2012).
Berangkat dari itu tujuan dari Kurikulum 2013 adalah untuk menghasilkan insan yang mampu
berkarya (produktif), pembaharu (inovatif), memiliki rasa kasih sayang (afektif) dan kreatif melalui sikap,
keterampilan dan pengetahuan yang penyatuannya menjadi satu kesatuan yang utuh (integratif). (E.
Mulyasa, 2014).
Kurikulum 2013 adalah Kurikulum tindak lanjut dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
pernah di implementasikan pada Tahun 2004. (E. Mulyasa, 2014). Kompetensi yang harus dimiliki oleh
siswa Yaitu “merupakan penyatuan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang di refleksikan
dalam kebiasaan berfikir dan bertindak”. (Nurhadi, 2004) pendidik secara konsisten dan terus menerus
(kontinu) merefleksikan pikiran dan tindakan anak didik untuk menjadikan siswa yang berkompeten
dalam memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar dalam menjawab tantangan bangsa.
2. Pengembangan Dan Implementasi Kurikulum
a. Pengembangan Kurikulum.
Pengembangan Kurikulum merupakan suatu proses yang kompleks, mulai dari Proses Tujuan
Pendidikan sampai pada Proses Evaluasi yang melibatkan berbagai komponen yang saling terkait yaitu
para ahli Pendidikan atau ahli Kurikulum, ahli bidang ilmu, Pendidik dan atau pejabat Pendidikan.
Pengembangan Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting. Dalam
dari pada itu, Perkembangan Kurikulum 2013 di dasari oleh Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010
tentang rencana (Plan) Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 atas perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. (Herry Widyastono, 2014)
Berangkat dari itu Mengembangkan Kurikulum pun tidak boleh terlepas dari tujuan Pendidikan, isi
Pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran dan kegiatan penilaian (evaluasi) dan
Gurulah yang berperan penting dalam hal itu. (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997).
menjelaskan Tujuan Pendidikan bersumber dari sistim nilai pancasila yang di rumuskan dalam
undang-undang No. 20 Tahun 2013 Pasal 3 dengan memiliki Tujuan untuk mengembangkan potensi anak
didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Wina Sanjaya, 2014).
Berkenaan dengan isi Pendidikan, isi Pendidikan yang di upayakan harus sesuai dengan kebutuhan
Pendidikan yang telah di tentukan para perencana Kurikulum. Perecanaan Kurikulum berkenaan dengan
Proses Belajar Mengajar (PBM), proses belajar mengajar yang di gunakan sekiranya memperhatikan
metode, tekhnik belajar-mengajar, sarana dan prasarana. dalam proses belajar mengajar pun perlu di
dukung oleh media atau alat pengajaran serta melakukan penilaian dalam upaya pengevaluasian.
Perkembangan Kurikulum dilakukan untuk mewujudkan insan manusia yang berwawasan luas dan
berkarakter Pancasilais. Untuk itu sangat di harapkan kelihaian pendidik (teacher) untuk menanamkan
benih-benih nilai hidup, konsep diri dalam membentuk karakter berfikir, membangun bangsa,
membangun prinsip hidup, mengejar cita-cita dengan menuntun pada falsafah Bangsa.
Perumusan tujuan Pendidikan bersumber pada ketentuan dan kebijakan Pemerintah, melalui survei
mengenai persepsi orang tua siswa/ masyarakat tentang kebutuhan mereka, apakah itu hasil survei melalui
tulisan atau lisan didukung dari pandangan para ahli Pendidikan dengan di sembari survei Kurikulum
Negara-Negara lain yang memiliki masalah dalam pengimplementasian dan pengembangannya.
Jika cara itu dilakukan secara sistematis sesuai dengan aturan dalam menyempurnakan Kurikulum
maka yakin dan pasti Kurikulum tidak akan ada ketidak nyamanan orang tua siswa atau mayarakat dan
guru untuk menerima perkembangan Kurikulum, justru para guru atau Pendidik akan legowo dalam
menerima dan menelaah penerapan Kurikulum yang baru di kembangkan.
b. Implementasi Kurikulum
Setiap Kurikulum memiliki cara Implementasi yang berbeda namun tujuannya sama yaitu untuk
menghasilkan manusia Indonesia yang pancasilais dan itu sangat diharapkan kepada guru untuk bekerja
ekstra dan profesional dalam mendidik anak didik. Guru harus merancang pembalajaran afektif dan
bermakna (Menyenangkan), mengorganisasikan pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran yang
tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi secara efektif serta menetapkan
kriteria keberhasilan. (E. Mulyasa, 2013).
Dalam hal ini guru di anjurkan untuk memahami 4 Metode Pembelajaran : (Pertama), Metode
Ceramah menyampaikan materi secara lisan atau penjelasan langsung. (Ke Dua), Metode Diskusi, metode
ini membutuhkan perencanaan dan persiapan secara matang, untuk mendapatkan pengetahuan baru
metode ini menghadapkan siswa pada suatu permasalahan dan di selesaikan dengan pengalaman untuk
menarik keputusan tertentu secara bersama.
Secara univer metode diskusi memiliki 2 jenis: (1).diskusi kelompok. (2).diskusi kelompok kecil,
yang setiap kelompok terdiri dari 3-7 orang. (Ke Tiga), Metode Demonstrasi adalah metode penyajian
pelajaran, untuk memudahkan pembelajaran guru menggunakan peragakan atau alat. (Ke Empat), Metode
Simulasi (simulate) adalah cara belajar dengan menggunakan situasi tiruan agar secara cepat dan tepat
memahami pelajaran. (Wina Sanjaya, 2014).
Lanjut dari itu Pengimplementasian Kurikulum harus dilihat dari situasi dan kondisi sekolah yang
menganjurkan semua elemen berperan aktif dalam mencerdaskan dan memberikan pendidkan karakter
anak didik yang akuntabel dan berprilaku pancasilais. Pendidikan karakter merupakan upaya
menanamkan nilai-nilai sosial, etika, moral atau budi pekerti dengan tujuan terbentuknya karakter yang
baik. (Zubaedi, 2013).
Jiwa Pancasilais adalah jiwa yang ta,at kepada Tuhan Yang Maha Esa dan saling menghargai antara
sesama agama, tdk semena-mena terhadap orang lain dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan sekaligus
merasa bahwa bangsa indonesia adalah bagian dari dirinya, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara, cinta akan tanah air, mengutamakan kepentingan bangsa dan segala persoalan bangsa di
selesaikan secara musyawarah dan mufakat, serta bersama mewujudkan kemajuan bangsa yang merata
dan berkeadilan sosial.
3. Keunggulan Dan Kekurangan Pengembangan Kurikulum
a. Keunggulan
Sebuah kaniscayaan adanya perubahan dan pengembangan dalam pengimplementasian Kurikulum,
tanpa di kembangkan penerapan Kurikulum akan monoton dan ketinggalan jaman, Pendidikan di
Indonesia harus mengikuti perkembangan zaman, perkembangan Kurikulum harus memberikan bekal
yang mantap dalam pembentukan watak, karakter, dan budi pekerti yang luhur untuk generasi bangsa
(siswa).
Tanpa adanya Kurikulum, Pendidikan tidak akan terlaksana dengan baik, sebab Kurikulum adalah
puncak dari segala proses Pendidikan. Kurikulum merupakan penanaman jiwa pendidik yang berusaha
untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan nilai – nilai prilaku siswa dalam meretas dinamika kekinian. (S.
Nasution, 2001).
Pelaksanaan Kurikulum di bagi menjadi 2 tingkatan yaitu pelaksanaan Kurikulum Tingkat Sekolah
yang bertanggung jawab penuh adalah kepala sekolah dan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Kelas yang
berperan penting dalam proses belajar mengajar adalah guru. (Oemar Hamalik, 2012). Guru yang mampu
menyiapkan anak didik dengan berbagai sikap, keterampilan dan pengetahuan agar menjadi fondasi yang
kuat sebagai pribadi yang produktif, inovatif, kreatif serta mandiri. (E. Mulyasa, 2014).
Melalui pengembangan Kurikulum segala bentuk mata pelajaran di kelompokkan dan pembelajaran
di atur. Pengembangan kurikulum merupakan suatu keharusan untuk menata pendidikan karna kurikulum
tidak terlepas dari tujuan, isi, fungsi serta evalusi pendidikan. Di lihat dari syifat masyarakat, budaya
dengan sekolah sebagai institusi pendidikan Kurikulum memiliki 3 peranan penting yaitu peranan
konserfatif, peranan kritis atau eveluasi dan peranan aktif. (Oemar Hamalik, 2013).
b. Kekurangan
Kebijakan Kurikulum baru cenderung mencerminkan ide-ide dan keyakinan individu-individu dari
pada kebutuhan anak didik atau masyarakat secara keseluruhan, sementara Kurikulum hadir untuk anak
didik karna tuntutan perkembangan zaman. (Abraham Andero, 2000). pengembangan Kurikulum lebih
mementingkan tendensi-tendensi kelompok.
Kurikulum merupakan undang-undang / pedoman sekolah, Kurikulum ada karna kepentingan
Negara dan Bangsa, lembaga pendidikan atau kepala sekolah dan guru. dengan demikian adanya guru
harus selalu siap dalam menerapkan Kurikulum dalam bentuk apapun dalam konteks kebaikan anak didik,
namun
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sangat pesat, membawa dampak negatif dan
positif terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk pergeseran fungsi sekolah sebagai suatu Institusi
Pendidikan, beban sekolah semakin berat dan kompleks. masyarakat menuntut bahwa sekolah harus
mampu menciptakan insan indonesia yang memiliki moral dan kepribadian, keahlian, keterampilan, yang
baik dalam menjemput dunia pekerjaan.
Manakala terjadi pergeseran tupoksi sekolah maka akan mempengaruhi makna Kurikulum,
Kurikulum tidak lagi di anggap sebagai mata pelajaran, akan tetapi di anggap sebagai pengalaman belajar
anak didik. menurut hemat masyarakat, Kurikulum adalah segala kegiatan yang di lakukan oleh anak
didik baik di dalam maupun di luar sekolah yang dalam pengawasan guru sekolahnya.
Jika demikian adanya maka Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan dalam memahami Kurikulum
tidak hanya memberikan tanggung jawab kepada guru dengan membaca dan mempelajari dokumen-
dokumen kurikulum dan memberikan pelajaran hanya pada ruang sekolah, tapi Kurikulum juga harus bisa
memahami situasi dan kondisi yang ada dan terjadi di lingkungan sekitar. Karna pencapaian target
pelaksanaan suatu Kurikulum tidak hanya di ukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau
materi akan tetapi juga di lihat dari kegiatan anak didik sebagai pengalaman belajarnya (behavior siswa di
luar kontrol guru). (Wina Sanjaya, 2014).
Kadang karna keluasan dalam memahami konsep belajar mengajar, Kurikulum menjadi kabur dan
tidak tersistematiskan kegunaan dan fungsinya. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa Kurikulum adalah “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan
bahan pelajaran serta cara yang di gunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar”. (Wina Sanjaya, 2008).
4. Alternatif Tindakan
Di tengah persaingan dengan semrawutnya global dan pasar bebas, pendidikan di hadapkan pada
globalisasi dan westernisasi. Untuk menjawab dengan memberikan solusi, kesemuanya itu membutuhkan
terjadinya pergeseran paradigma (paradigma baru) dalam memberikan solusi cerdas terhadap dunia
pendidikan. Bahwa Pemerintah telah melakukan penyempurnaan sistem pendidikan, baik melalui
perangkat lunak ataupun perangkat keras. (E. Mulyasa, 2006).
Secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Pendidikan yang
dulunya di lakukan oleh Pemerintah pusat sekarang telah di berikan otonom kepada Pemerintah Daerah
(Bupati/Walikota) untuk mengatur pendidikan sesuai dengan keadaan lingkungan harapan dan yang akan
menjalankan secara langsung adalah guru dan kepala sekolah. Guru dan kepala sekolah harus saling
berinteraksi berkaitan dengan kebutuhan sekolah yang berkaitan dengan bantuan fasilitas dan bahan yang
di perlukan untuk proses belajar mengajar dan kepala sekolah menjaga kemampuan dan keterampilan
guru dalam mendesain pembelajaran. (Syaiful Sagala, 2013).
Langkah alternatif yang harus di ambil oleh Sekolah, dengan cara mengadakan seminar atau
Pendidikan khusus kepada seluruh tenaga pendidik yang linear dengan tugas dan keahliannya.
keterlibatan Kepala Sekolah dan Guru dalam membangkitkan rasa akuntabilitas kepada pelanggan
(internal atau eksternal) akan membangkitkan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah, hingga
mendorong kepala sekolah dan guru untuk memberdayakan sumber daya dengan seefisisen mungkin.
Dengan demikian tingkat kesadarn guru dalam mendidik semakin semangat dan konsisten. secara
tidak langsung akan memberikan tekhnik dan ilmu baru bagi seluruh tenaga pendidik untuk menerapkan
Kurikulum dengan baik dan benar dalam mendidik anak didik.
Sembari dari pada itu Sekolah belajar mengetahui kebutuhan dan tuntutan pelanggan, hingga dapat
membentuk relasi yang baik dengan perusahaan-perusahaan di luar maupun di dalam negri untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana sekolah dan itu adalah langkah konkrit
untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan lingkungan, yang dengan melalui itu maka sekolah tersebut
telah menjadi sekolah yang profesional akuntabel dan siswanya tinggal di arahkan kemana kedepannya.

B. Penelitian Terdahulu.
Perkembangan Kurikulum merupakan cara penting untuk mencapai tujuan pendidikan, perumusan
Kurikulum perlu mencerminkan fokus pada perkembangan zaman dan pertumbuhan anak didik, karna
Kurikulum merupakan pengalaman siswa yang terjadi di sekolah atau di luar sekolah. Perencanaan
pembuatan Kurikulum memiliki makna tersendiri melalui praktek-praktek seperti memperkaya
pengetahuan dan memperluas pengalaman atau pengetahuan.
Sebuah pembuktian adaptasi kurikulum yang terjadi di SMA di Gilgit-Baltistan yaitu dalam upaya
salah satu guru (Mazer Khan dan Irfan Baig, nama samaran) menekankan pentingnya anak didik belajar
mendalam dan guru menggunakan metode tanya jawab ketika menyampaikan materi pelajaran di dalam
ruangan agar ilmu yang di sampaikan tidak stagnan yang hanya di miliki oleh pengajar itu sendiri tapi
memberikan bekal ilmu dan pengetahuan pada siswa. (Takbir Ali, 2011).
Dengan upaya itu, untuk mengapresiasi pengetahuan dan pengalaman yang di miliki oleh guru
dalam membangun dan membentuk budaya belajar anak didik, guru merupakan pusat pengetahuan dalam
proses pelaksanaan belajar mengajar dari kurikulum itu sendiri. Guru merupakan penentu dalam
pengimplementasian Kurikulum dengan pembentukan karakter dan power of knowleadge.
Seperti apa yang di lakukan oleh guru seni (Allison) SMA Longwood di Amerika Serikat bahwa dia
mampu memberdayakan anak didiknya agar anak didiknya tidak merasa bosan ketika menerima pelajaran
maka Allison mencoba mengenal anak didiknya ketimbang menyerah, dengan menggunakan strategi
menyapa anak didiknya dari meja ke meja, membangun untuk mengikat hubungan dengan anak didiknya
dan menantang siswa untuk berfikir tentang Komposisi lukisan, gambaran, sketsa, dan berbagai media
sebagai bagian dari metode pengajarannya, maka tidak heran jika hasil dari implementasinya adalah “seni
siswa adalah seni guru itu sendiri”. (Powell Kimberly dan Lisa Lajevic, 2011).
Perencanaan perubahan Kurikulum harus di lihat dari kehidupan bio-sosio-kultural karna itu akan
berpengaruh pada tingkat pengetahuan (Knowleadge) dan tigkah laku (Behavior) anak didik,
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sangat pesat, membawa dampak negatif dan positif
dalam penerapannya terhadap berbagai aspek kehidupan.
Salah satu contoh yang terjadi di Estuari lebih dari 70% anak didik yang tidak pernah menggunakan
Komputer sebagai alat untuk melakukan penyelidikan karna menurut mereka lebih efektif menggunakan
model visualisasi (melihat dengan mata telanjang) dengan mendasarkan Litelatur Ilmiah (Buku). asumsi
mereka ilmuwan menggunakan komputer karna komputer tidak bisa melakukan kesalahan dan komputer
dapat memberikan jawaban cepat. (Kit Yu Karen Chan, Sylvia Yang, Max E Maliska, Daniel Grunbaum,
2012).
Terbukti bahwa dengan strategi penyelidikan dengan membentuk kelompok yang menggunakan
metode Lanskap Pengetahuan (Knowscapes) yaitu strategi Semut mencari makan yang di lakukan di
berbagai negara (Kolaborasi Negara Internasional) seperti Eropa Barat, negara-negara Asia dan Amerika
Utara bahwa Multidisiplin Ilmu seperti Fisika, biologi dan kimia di Eropa Barat, dan Ekonomi dan
Psikologi di Asia, adalah bidang studi dengan internasional kolaborasi (IC) tertinggi, meski Kerja sama
internasional di Asia lebih rendah dibandingkan dengan Eropa Barat untuk sebagian besar wilayah
kecuali pada pelajaran Seni & Humaniora, Ilmu Sosial, Psikologi dan Ekonomi. (Jaffe Klaus, 2014).
Untuk mengembangkan Kurikulum Bukan hanya pada penanaman pengetahuan Tekhnologi tetapi
yang lebih di kedepankan adalah pada cara pengimplementasian yang mengharuskan kerja sama secara
sehat antara pengawas, kepala sekolah, guru dan anak didik serta orang tua dengan didukung oleh
lingkungan sekolah yang kondusif, karna perubahan kecil pada kurikulum dapat mempengaruhi cara
belajara dan sikap anak didik.
Dengan demikian akan lahir generasi-generasi pemikir untuk meluruskan kehidupan berbangsa dan
bernegara seperti yang terjadi di Amerika Serikat bahwa tujuan utama untuk merevisi Kurikulum adalah
untuk memberikan kegiatan otentik untuk mengajar siswa melalui pendekatan belajar aktif tentang
hakikat ilmu dengan memberikan contoh menerapkan metode analisis statistik untuk menganalisis data
biologi dengan memanfaatkan literatur ilmiah (buku) untuk membantu mereka merumuskan hipotesis.
(Goldstein Jessica, Flynn, F. B, 2011).

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
1. Janis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode Penelitian Kualitatif adalah suatu penelitian
yang di gunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena atau peristiwa (Nana Saodakih
Sukmadinata, 2007). Analisis dan Deskripsi di gunakan untuk menemukan prinsip-prinsip dan penjelasan
yang mengarah pada penyimpulan data.
2. Desain Penelitian
Dalam upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian orang yang ingin di pahami
maka desain dalam penelitian ini adalah menggunakan desain penelitian Fenomenologi.

B. Tempat Dan Waktu Penelitian


1. Tempat
Tempat yang akan di lakukan Penelitian di SMP Negeri 2 Desa Pabelan Kecamatan Kartasura
Kabupate Sukoharjo
2. Waktu Penelitian
Pelaksanaan Penelitian ini pada tanggal 30 Agustus, 2015

C. Data, Sumber Data, Dan Nara Sumber


1. Data
Data kualitatif berupa kata-kata, hasil wawancara, obserfasi, dan dokumen tentang analisis
pengembangan Kurikulum 2013 IPA Terpadu.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari 2 yaitu :
a. Sumber data sekunder yaitu hasil dokumen.
b. Sumber data primer yaitu yang berupa wawancara, di dukung dengan dokumentasi dan dan obserfasi
lapangan dengan informan.
3. Nara Sumber
Sumber data dalam penelitian ini di sesuaikan dengan fokus dan tujuan penelitian, yaitu dengan
menjadikan sampel sebagai sumber data. Maka sesuai dengan fokus penelitian yang akan di jadikan
sampel dalam sumber data adalah :
1. Untuk mendapatkan data tentang kekurangan dari pengembangan Kurkulum 2013 pada pelajaran IPA
Terpadu maka sumber datanya adalah guru IPA Kelas VII SMP Negeri 2 Desa Pabelan Kecamatan
Kartasura Kabupaten Sukoharjo.
2. Untuk mendapatkan data tentang langkah alternatif Tindakan apa yang akan di lakukan jika setelah di
lakukan pencarian tentang kekurangan dan keunggulan Kurikulum 2013 terkait mata pelajaran IPA
Terpadu adalah Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Desa Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

D. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai instrumen kunci dan peneliti menggunakan
kondisi obyek yang alamiah (natural setting), obyek alamiah yang di maksud adalah obyek apa adanya
yang tidak di manipulasi oleh peneliti sejak peneliti berada pada obyek penelitian sampai data selesai di
kumpulkan dan tidak berubah. (Sugiyono, 2014). atau dengan kata lain peneliti menjadi instrumen
(human instrumen).

E. Tekhnik Pengumpulan Data


Untuk menemukan permasalahan secara terbuka maka teknik pengumpulan data yang akan di
lakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tekhnik wawancara semi terstruktur, dimana
pelaksanaan wawancaranya lebih bebas.

F. Tekhnik Analisis Data


Analisis data di lakukan secara interaktif dan berlangsung secara kontinyu sampai tuntas, hingga
data sudah jenuh maka tekhnik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
model Miles dan Huberman yaitu :
1. Reduksi Data
Dengan model ini akan di lakukan pemilihan data-data yang pokok, memfokuskan hal-hal yang
penting. karna data yang di temukan di lapangan cukup banyak untuk itu perlu di reduksi.
2. Penyajian Data (Display Data)
Ini adalah langkah ke dua setelah data di reduksi, dengan mendisplai data maka akan memudahkan
untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi.
3. Verifikasi Data (Conclusion Drawing)
Dengan model ferifikasi maka akan di temukan kesimpulan, kesimpulan dari hasil rumusan masalah
yang di angkat.

G. Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam Penelitian Kualitatif terdiri dari : (Pertama), Credibility (Validitas
Interbal). (Kedua), Transferability (Validitas Eksternal). (Ketiga), Dependability (Reliabilitas).
(Keempat), Confirmability (Obyektivitas). (Sugiyono, 2014). Seperti apa yang di katakan di atas maka
untuk mendapatkan Keabhasan Data dalam Penelitian ini melalui :
1. Uji Kredibilitas adalah uji di lakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam
Penelitian, Tri angulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member.
2. Pengujian Transferabiliti adalah data yang di dapatkan melalui validitas eksternal. validitas eksternal
yang di maksud adalah untuk menunjukkan derajad ketepatan atau dapat di terapkan hasil penelitian ke
populasi dimana sampel di ambil.
3. Pengujian Dependability (Reliabilitas) adalah untuk menghindari ketidak validan data yang di ambil
melalui Penelitian.
4. Pengujian Konfirmability (Obyektivitas), Pengujian ini adalah dalam rangka menyempurnakan hasil
penelitian, maka pengujian ini di anggap penting untuk mendapatkan kesepakatan dari berbagai pihak
lewat pengujian hasil penelitian yang berkaitan dengan proses yang dilakukan melaui Penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Takbir. (2011). “ Understanding How Improvement-Oriented High School Teachers Pursue Curriculum
Adaptation In High Schools In Gilgit-Balitistan ”. Gilgit Baltistan : Proquest Research Library Asianet
Pakistan (PVT) Ltd.
Andero, Abraham. (2000) “The Changing Role Of School Superintendent With Regard To Curriculum Policy
And Decision Making”. Montgomery Alabama : ProQues, State University Montgomery.
Chan, Kit Yu Karen. et.al. (2012) “ An Interdisciplinary Guided Inquiry on Estuarine Transport Using a
Computer Model in High School Classrooms ”. Estuari : ProQues University of California Press.
Furchan, Arif. (2004). Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Goldstein, Jessica. et.al. (2011). “ Integrating Active Learning & Quantitative Skills into Undergraduate
Introductory Biology Curricula ”, Amerika serikat : ProQuest dokumen ID, University of California
Press.
Hamalik, Oemar. (2012). Manajemen Pengembangan Kurikulum. (Cetakan Ke-5) Bandung : Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Dengan PT Remaja Rosdakarya.
Hamalik, Oemar (2013). Dasar – Dasar Pengembangan Kurikulum. (Cetakan Ke-5). Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Jun-Ki, Lee. et.al. (2011) “ Scan & Learn! Use Of Quick Response Codes & Smartphones In A Biology Field
Study ” Korea : Proquest University Of California Press.
Kusmana, Suherli. (2012). Merancang Karya Tulis Ilmiah. (Cetakan Ke-2) Bandung : Remaja Rosdakarya
Offset.
Klaus, Jaffe . (2014). “ Social And Natural Sciences Differ In Their Research Strategies, Adapted To Work For
Different Knowledge Landscapes : E113901 ’’. International Kolaboration (IC) (Eropa Barat, Negara-
Negara Asia Dan Amerika) : ProQuest document ID.
Margono, S. (1997). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Mulyasa, E. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. (Cetakan Ke-4) Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2014). Guru Dalam Implementasi Kurikulum 2013. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Nurhadi. (2004). Tanya Jawab Pengembangan Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution. S. (1994). Asas-Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, S. (2001). Implementasi dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.

Powell kimberli dan Lajevic, Lisa. (2011). “ Emergent Places in Preservice Art Teaching : Lived Curriculum,
Relationality, and Embodied Knowledge ” , Amerika Serikat : ProQuest Research Library, National Art
Education Association.
Suwondo dan Wulandari, Sri. (2013). “Inquiry-Based Active Learning: The Enhancement Of Attitude And Of
The Concept Of Experimental Design In Biostatics Course”, Riau : ProQuest Research Library,
Canadian Center of Science and Education.
Satyanarayanajois dan D, SeethaRama. (2010) “Active-Learning Exercises to Teach Drug-Receptor
Interactions in a Medicinal Chemistry Course”. Monroe : ProQues American Association of Colleges of
Pharmacy.
Sagala, Syaiful. (2013). Etika Dan Moralitas Pendidikan “Peluang Dan Tantangan”. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Sanjaya, Wina. (2014). Strategi Pembelajaran “ Berorientasi Standar Proses Pendidikan “. (Cetakan Ke- 11).
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Stevenson, Heidi. (2005) “Guru Informal Kolaborasi Mengenai Teknologi”. Amerika Serikat : ProQues Eugene
Negara publikasi Inggris.
Sutama. (2010). Metode Penelitian Pendidikan, Kuantitatif, Kualitatif, PTK, R & D. (Cetakan Ke-3) Kartasura :
Fairus Media
Sukmadinata, Nana Syaodih, (2004). Metode Penelitian Pendidikan. (Cetakan Ke-3) Bandung : PT Remaja
rosdakarya.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (1997). Pengembangan Kurikulum “Teori Dan Praktik“. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Sugiharto, Bambang. Ed : Bolo, Andreas Doweng Dkk. (2008). Humanisme dan Huamiora “relevansi bagi
pendidikan” Yogyakarta dan Bandung : Jalasutra.
Sugiyono. (2014). Memahami Penelitian Kualitatif. (Cetakan Ke-9) Bandung : CV, Alfabeta.
Widyastono, Herry. Hasan, Said Hamid Eds. (2014). Pengembangan Kurikulum Di Era Otonomi Daerah “
Dari Kurikulum 2004, 2006, Ke Kurikulum 2013.” Jakarta : PT Bumi Aksara.
Wibowo, Agus. (2007). Mal Praktik Pendidikan. Djogja : Genta Press.
Yaumun, M. (2014). Prinsip-Prinsip Desain Pembelajaran “ Di Sesuaikan Dengan Kurikulum 2013. “ (Edisi
Ke-2). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Zubaedi. (2013). Desain Pendidikan Karakter “ Konsepsi Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan. “
(Cetakan Ke-3). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Vous aimerez peut-être aussi