Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan Lengkap) – Di pembahasan kalian akan
mempelajari mengenai Intervensi. Yang meliputi pengertian, macam-macam dan contoh dari intervensi
dengan penjelasan lengkap dan mudah dipahami.
Daftar Isi [sembunyikan]
1 Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan Lengkap)
o 1.1 Pengertian Intervensi
o 1.2 Pengertian Intervensi Menurut Para Ahli
1.2.1 1. J.G. Starke
1.2.2 2. Black’s Law Dictionary
1.2.3 3. James Rosenau
o 1.3 Macam-Macam Intervensi
o 1.4 Contoh Tindakan Intervensi
o 1.5 Share this:
o 1.6 Related posts:
Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan Lengkap)
Untuk lebih lengkapnya silakan simak ulasan dibawah ini.
Pengertian Intervensi
Intervensi merupakan salah satu bentuk ikut campur dalam urusan negara lain yang mempunyai sifat
diktatorial. Fungsi dari intervensi yaitu salah satu cara untuk merampungkan sengketa internasional
Pengertian lain dari intervensi yaitu istilah dalam dunia politik yang mana terdapat negara yang
mencampuri urusan negara lainnya yang secara jelas bukan kewenangannya. Atau intervensi dapat juga di
definisikan dengan campur tangan yang berlebihan dalam urusan politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Menjadikan negara yang melakukan itervensi seringkali dibenci negara lain.
Menurut hukum internasional, intervensi dimaknai sebagai suatu bentuk campur tangan negara asing pada
urusan satu negara. Lebih lengkapnya intervensi diartikan sebagai suatu campur tangan negara asing yang
mempunyai sifat menekan dengan alat kekerasan (force) atau dengan ancaman melakukan kekerasan,
ketika keinginannya tidak terpenuhi. Negara yang biasa melakukan intervensi antara lain yakni Amerika
Serikat, Perancis, dan Belanda.
Pengertian Intervensi Menurut Para Ahli
Berikut ini adalah definisi dari intervensi menurut ahlinya.
1. J.G. Starke
Pengertian Intervensi menurut J.G. Starke adalah mengacu kepada propaganda atau kegiatan lainnya yang
dilakukan oleh suatu negara dengan tujuan untuk mendorong terjadinya revolusi atau perang saudara di
negara lain.
2. Black’s Law Dictionary
Pengertian Intervensi menurut Black’s Law Dictionary adalah one nation’s interference by force, or threat
of force, in another nation’s internal affair or in question arising between other nation.
3. James Rosenau
Pengertian Intervensi menurut James Rosenau, intervensi bisa dibedakan dari instrumen politik luar
negeri lain, dengan cara dua faktor yakni:
Bahwa intervensi membedakan diri dengan tajam dalam hal cara menyelenggarakan hubungan
antar negara yang konvensional
Bahwa intervensi secara sadar dilakukan untuk mengakibatkan perubahan politik yang mendasar
di negara yang dijadikan sasaran intervensi.
Macam-Macam Intervensi
Kalevi. J. Holstri, terdapat enam bentuk intervensi antara lain yakni:
1. Intervensi Diplomatik
Intervensi ini seringkali terjadi jika seorang diplomat memberikan komentar kepada atau memihak dalam
suatu krisis atau persoalan politik yang sedang melanda negara tempatnya bertugas.
2. Intervensi Klasik
Bentuk intervensi ini bisa dalam bentuk kegiatan gelap atau misi rahasia. Contohnya intervensi ini dapat
melalui penyuapan atau penyogokan dengan pejabat negara sebagai sasarannya.
3. Pameran kekuatan militer
Yang relatif murah dan mengandung resiko rendah, tetapi justru lebih efektif dibanding pengiriman
ekspedisi militer yang sesunguhnya.
4. Subversi atau Gerilya Bawah Tanah
Subversi merupakan gerakan politk dan militer yang diorganisasikan, ditunjang dan diarahkan oleh suatu
negara asing yang mempunyai tujuan sendiri dengan amat menggunakan situasi dan elemen setempat di
negara sasaran.
5. Gerilya
Gerilya adalah perpaduan antara subversi dengan sistem perang konvensional. Gerilya tidak selalu
merupakan hasil intervensi kekuatan asing tetapi cukup banyak kegiatan gerilya yang merupakan
manifestasi dari intervensi.
6. Intervensi Militer
Intervensi militer ini diwujudkan dalam bentuk pengiriman ekspedisi militer untuk menunjang suatu
pemerintahan yang sedang berkuasa atau membantu suatu kelompok pemberontak.
Menurut J.G. Starke terdapat tiga macam bentuk intervensi yang tidak mengandung karakter diplomatik,
antara lain yakni:
Intervensi Intern (Internal Intervantion)
Bentuk intervensi ini bisa diulas melalui contoh Negara A yang mencampuri persengketaan antara
pihak-pihak bertikai di Negara B, dengan cara mendukung salah satu pihak baik dari pihak
pemerintah, yang sah dan juga pihak pemberontak.
Intervensi Ekstern (Eksternal Intervension)
Bentuk intervensi ini dijalankan dengan ikut campur tangan dalam hubungan yang pada umumnya
hubungan permusuhan. contoh intervensi ketika Italia melibatkan diri pada perang dunia kedua
yang berpihak kepada Jerman dan melawan Inggri
Contoh Tindakan Intervensi
Dalam kasus tertentu, suatu negara mempunyai kemampuan untuk menjalankan tindakan secara sah dan
dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Perbuatan intervensi tersebut antara lain seperti:
Intervensi kolektif sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
Intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan dan juga keselamatan jiwa warga negara di luar
yang menjadi dasar untuk pemerintah Amerika Serikat yang membenarkan adanya suatu tindakan
dalam bentuk pengiriman tentara multinasional di Pulau Grenada di bulan Oktober 1983.
Pertahanan diri, ketika intervensi diperlakukan untuk menghilangkan bahaya serangan bersenjata
yang terlihat jelas.
Dalam urusan protektorat yang berada di bawah kekuasaannya.
Apabila negara yang menjadi subjek intervensi dipersahkan melakukan pelanggaran berat
terhadap hukum internasional yang berkaitan negara yang melakukan suatu intervensi, sebagai
contoh, apabila negara pelaku intervensi sendiri sudah diintervensi secara melawan hukum.
Adapun contoh tindakan intervensi adalah sebagai berikut:
Mengirimkan prajurit suatu negara ke negara yang bertikai yang jelas bukan menjadi urusannya.
Melakukan embargo di suatu negara yang dimusuhi oleh lembaga negara lainnya.
Melakukan peperangan dengan cara blokade ke negara lainnya, padahal tidak ada sangkut pautnya
sama sekali.
Demikianlah telah dijelaskan tentang Pengertian Intervensi, Macam dan Contohnya (Pembahasan
Lengkap), semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian. Terimakasih telah berkunjung dan
jangan lupa untuk membaca artikel lainnya.
Manajemen kinerja individu merupakan suatu siklus proses manajemen untuk mengukur kinerja individu
yang bekerja di suatu organisasi. Siklus ini terdiri atas tiga proses utama, yaitu perencanaan kinerja
individu, di mana atasan menyampaikan ekspektasinya kepada karyawan dalam bentuk ukuran dan target
untuk dicapai; pengelolaan kinerja individu, di mana karyawan melakukan tugas dan tanggung jawabnya
dan atasan memantau kinerja karyawan tersebut; dan evaluasi kinerja individu, di mana kinerja karyawan
dievaluasi dan dibandingkan pencapaiannya dengan ukuran dan target yang sudah ditetapkan.
Sekalipun bukan lagi merupakan barang baru dalam perusahaan, bukan berarti tidak ada isu atau kendala
yang ditemui perusahaan ketika mengimplementasikan manajemen kinerja individu. Berikut beberapa isu
yang umumnya terjadi. Pada proses perencanaan, muncul isu ketidakjelasan ukuran kinerja yang
diharapkan. Ketika atasan menyampaikan ekspektasi perusahaan terhadap karyawan, ekspektasi tersebut
seringkali hanya disampaikan secara ambigu, tidak dituangkan dalam ukuran dan target yang jelas,
sehingga karyawan meninggalkan sesi perencanaan dengan kebingungan, apa yang diharapkan
perusahaan dari dirinya untuk dicapai dan bagaimana mencapainya.
Isu lain dalam sesi perencanaan adalah apa yang disebut dengan misalignment. Banyak perusahaan
mendapati kejadian di mana karyawan-karyawannya mendapatkan nilai yang termasuk kategori “Baik
Sekali”, namun ternyata perusahaan tidak mencapai targetnya. Demikian pula sebaliknya, ada perusahaan
yang mengalami kejadian di mana perusahaan mencapai targetnya, namun karyawan tidak demikian.
Kondisi ini terjadi karena pada saat perencanaan kinerja individu, ukuran dan target yang diberikan
kepada karyawan tidak selaras dengan ukuran dan target perusahaan.
Isu berikutnya dalam manajemen kinerja adalah dalam proses pengelolaan kinerja individu, di mana
banyak perusahaan mengabaikan proses ini sama sekali. Pada saat proses perencanaan kinerja, atasan
memberikan ukuran dan target kepada karyawan di awal tahun, kemudian berkata “sampai jumpa tahun
depan”. Padahal proses ini justru penting untuk menangkap adanya peringatan dini (early warning)
mengenai ketidaktercapaian target individu, dan melakukan intervensi yang diperlukan untuk membawa
kinerja individu kembali ke jalurnya, sebelum menyimpang semakin jauh dari target.
Proses terakhir dalam manajemen kinerja individu, yaitu evaluasi kinerja individu, juga memiliki isu
tersendiri. Proses evaluasi kinerja yang seharusnya dapat mendorong kinerja dan motivasi karyawan
apabila dilakukan dengan benar, justru sering disepelekan, sehingga sesi evaluasi hanya menjadi sesi
pelaporan yang membosankan. Di sisi lain, ada karyawan yang memandang proses evaluasi kinerja
sebagai sesi yang menakutkan dan cenderung dihindari, karena dalam sesi evaluasi karyawan merasa
dihakimi dan dicari-cari kesalahannya.
Jika isu-isu tersebut di atas masih terjadi pada perusahaan, maka penerapan manajemen kinerja individu
belum dilakukan dengan benar sehingga belum memberikan manfaat yang optimal. Apabila dilaksanakan
dengan benar, perusahaan bukan hanya dapat memastikan bahwa karyawannya melakukan tugas dan
tanggung jawabnya sesuai dengan harapan, tetapi juga menggali dan mengatasi isu-isu kinerja karyawan,
meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja, dan pada akhirnya memastikan perusahaan mencapai
target kinerjanya.
I. PENDAHULUAN
Di dalam lembaga apapun yang bersentuhan langsung dengan masyarakat terutama yang menyangkut
pelayanan publik hal penting yang paling dituntut adalah performa lembaga tersebut baik manusia,
birokrasi/prosedur hingga teknologi pendukung. Contohnya jika kita hendak membuat KTP atau
SIM. Kita pasti ingin mendapatkan dua surat penting tersebut lebih cepat, kalau bisa tidak hitungan hari
lagi namun jam. Alih-alih mewujudkan harapan tersebut, yang terjadi kerap kali adalah sebuah
pemandangan pola kerja manusia yang lamban, birokrasi beberapa meja, dan teknologi usang yang
terlihat aneh di jaman hi-tech ini. Lalu ilmu kebatinan pun dimunculkan, “mengapa kinerja lembaga ini
begitu buruk? Tidakkah ada usaha untuk memperbaiki performa kerja mereka?” Hasilnya adalah
kekecewaan masyarakat karena bagaimanapun alasan situasional yang dikemukan oleh lembaga telah
menimbulkan persoalan-persoalan antara lain:
Pemborosan waktu
Pemborosan biaya kedua belah pihak
Ketidakefektifan proses pembuatan
Melihat berbagai masalah di atas maka yang dibutuhkan adalah sebuah proses perbaikkan atau
peningkatan performa. Performa siapa? Tentu semua unsur yang terlibat di dalam lembaga atau instansi
yang ada, yang memiliki kepentingan langsung dengan publik.
Lalu bagaimana dengan dunia pendidikan? Apakah unsur di dalam pendidikan juga membutuhkan
peningkatan performa? Jawabnya adalah ya dan harus karena pendidikan adalah bidang yang memiliki
hubungan paling dekat bahkan melekat dengan masyarakat yaitu peserta didik dan pengguna output dari
pendidikan tersebut. Dengan merujuk pada tulisan Michael Molenda dan James A. Pershing “Improving
Performance” dalam buku Educational Technolog: A Definition with Commentary karya Alan
Januszweski and Michael Molenda (2008), makalah ini akan mengulas bagaimana teknologi dapat
dipakai untuk menambah keterlibatan unsur pendidikan dalam rangka meningkatkan kinerja manusia.
Batasannya adalah pada peningkatan performa dengan keterlibatan pendidikan bukan seluas yang
dimaksud oleh HPT (human performance technology) atau teori manajemen.
II. MENINGKATKAN KINERJA
Menurut Association for Educational Communications and Technology atau disingkat AECT (2004),
Teknologi Pendidikan (TP) didefinisikan sebagai “the study and ethical practice of facilitating learning
and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and
resources.” Ini adalah definisi terbaru yang menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan
praktek etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan cara
menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber-sumber teknologi yang
tepat. Jelas, tujuan utamanya yaitu untuk:
a) Memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi pembelajaran agar efektif, efisien dan menarik;
dan
b) Meningkatkan kinerja.
Dalam teknologi pendidikan improving performance atau diterjemahkan sebagai meningkatkan kinerja
lebih sering merujuk pada suatu pernyataan mengenai keefektifan; bisa merupakan cara-cara yang
diharapkan membawa hasil yang berkualitas, produk yang diharapkan dapat menciptakan proses belajar
yang efektif, dan perubahan-perubahan kompetensi yang dapat diterapkan di dunia nyata. Makna belajar
itu pun menhBelajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah
ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.
Efektif sering kali berdampak pada efisiensi, yaitu hasil yang dicapai dengan penggunaan waktu, tenaga,
dan biaya seminim mungkin. Namun apa yang dimaksud dengan efisien sangatlah tergantung pada tujuan
yang hendak dicapai. Efisiensi dalam gerakan pengembangan instruksional sistematis didefinisikan
sebagai menolong peserta didik mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya yang diukur
dengan evaluasi terstruktur (tes, ulangan, dsb). Oleh sebab itu proses kegiatan belajar dilakukan dengan
tahapan-tahapan yang sistematis. Pandangan ini berbeda dengan pendekatan cara belajar konstruktivis.
Cara pandang konstruktivis menekankan pada posisi peserta didiklah yang menentukan tujuan mereka
sendiri dan bagian apa yang hendak dipelajari. Belajar yang benar dan berhasil adalah apabila ilmu
pengetahuan dapat dipahami secara mendalam, dialami, dan diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah
di dunia nyata, bukan berdasar hasil ujian atau ulangan. Konstruktivisme cenderung mempersoalkan
perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini
merupakan konsteks yang kaya, baik dari landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat
yang digunakan untuk memecahkan masalah. Itulah sebabnya efisiensi tergantung pada apa tujuan yang
hendak dicapai dalam proses belajar.
Sementara kata performance atau kinerja merujuk pada dua hal yang saling berkesinambungan:
a) Kemampuan peserta didik untuk menggunakan dan mengaplikasikan kompetensi baru yang telah
dicapainya; bukan sekedar mendapat pengetahuan kemudian stagnan, namun pengetahuan itu
meningkatkan kompetensi dan kompetensi tersebut dapat diaplikasikan secara nyata.
b) Selain menolong peserta didik memiliki kompetensi yang lebih baik, alat dan ide-ide teknologi
pendidikan dapat membantu para guru maupun perancang pembelajaran menjadi tenaga pendidik yang
lebih mumpuni. Hasilnya mereka dapat menolong berbagai institusi mencapai tujuan dengan lebih baik.
Itulah mengapa teknologi pendidikan menyatakan dirinya sebagai salah satu bidang yang punya
kemampuan untuk meningkatkan produktifitas pada level individu yaitu peserta didik dan tenaga
pendidik hingga level organisasi.
Dalam tulisan Molenda dan Pershing makna peningkatan performa atau kinerja dibatasi pada keterlibatan
teknologi dalam bidang pendidikan semata. Artinya bahwa teknologi dapat meningkatkan peran
pendidikan untuk memperbaiki kinerja dan kualitas manusia.
A. Peningkatan Kinerja Peserta Didik Sebagai Pribadi
Pembelajaran dewasa ini menghadapi dua tantangan. Tantangan pertama, adanya perubahan persepsi
tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang
memperlihatkan perkembangan yang sangat luar biasa. Dalam kerangka pembelajaran individual,
teknologi pendidikan sebagai sebuah studi berupaya untuk meningkatan kinerja atau performa peserta
didik melalui beberapa cara yaitu:
1. Memberi pengalaman belajar bernilai lebih dengan difokuskan pada tujuan yang hendak dicapai,
bukan sekedar keberhasilan melewati serangkaian test terstruktur.
2. Alih-alih menghafal pelajaran, melalui pemanfaatan teknologi pengalaman-pengalaman belajar
yang didapat diharapkan dapat membawa pada tingkat pemahaman yang lebih dalam. Jika proses belajar
ini dibuat lebih bernilai dengan mendesainnya sedemikian rupa, maka pengetahuan dan kompetensi yang
baru dapat tertransfer lebih baik lagi.
Individual learning atau pembelajaran individual dapat diartikan “the ability of individuals to experience
personal growth in their interactions with the world around them.” (www.ask.com). Melalui pembelajaran
individual peserta didik langsung mengalami apa yang dipelajarinya, membangun sebuah pemahaman
dengan model self-discovery sehingga penghayatan akan makna pelajaran menjadi lebih dalam
tertanaman. Ada sebuah pepatah Cina kuno yang mengatakan
“Apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat;
Apa yang saya lakukan, saya paham.”
Pembelajaran bernilai lebih yang dimaksud oleh teknologi pendidikan adalah bahwa melalui aplikasi
teknologi dalam bidang pendidikan:
1. Tujuan pembelajaran yang berfokus pada tes atau ujian yang sifatnya sangat dangkal dapat diubah.
Artinya bahwa pembelajaran bagi siswa bukanlah sekedar menggali kemampuan kognitif, apalagi pada
tingkat kognitif yang rendah yaitu pengetahuan dan pemahaman. Tujuan pembelajaran yang sekedar
“berhasil dalam ujian” sudah pasti tidak memberikan peningkatan performa pada peserta didik.
2. Pengabaian pendidikan akan adanya multiple intelegensi pada peserta didik dapat dihindari.
Menurut Howard Gardner, hakikatnya terdapat 7 tipe intelegensia anak (manusia secara umum), namun di
sekolah hanya 2 tipe yang dimasukkan dalam intrakurikuler yaitu kemampuan berbahasa dan logika
matematika. Sementara 5 intelegensia yaitu musik, kemampuan spasial, kinestetik, interpersonal, dan
intrapersonal hanya merupakan tambahan. Konsekuensinya, output pembelajaran dalam pendidikan
formal cenderung diasosiasikan dengan ilmu pengetahuan yang sempit, terbatas, dan pada tingkat yang
redah.
3. Pembelajaran dapat merambah pada semua tingkat atau ranah kemampuan peserta didik yang
semestinya baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik (taksonomi Bloom). Oleh karenanya salah satu
cara yang diusahakan oleh teknologi pendidikan untuk meningkatkan kinerja peserta didik adalah melalui
praktek-praktek design pembelajaran (pendekatan ID sistematis – Morrison)a ang mengarahkan
perencana pembelajaran berpikir tentang berbagai outcome pembelajaran dan mengklarifikasi pada level
apa tipe pembelajaran yang diharapkan. Jika saja keadaan ini tercipta maka peserta didik lebih dapat
menikmati pengalaman aktifitas-aktifitas belajar dan metode penilaian yang sesuai dengan kebutuhan
belajar, bukan sekedar ujian yang terstandarisasikan.
4. Kedalaman pembelajaran lebih mungkin dicapai. Hal ini untuk mengatasi apa yang sering terjadi
dalam proses belajar yaitu belajar untuk menghafal. Weigel mengemukakan istilah pembelajaran di
permukaan (surface learning) dan pembelajaran mendalam (deep learning) untuk memberikan perbedaan
tujuan yang menyolok. Surface learning diwakilkan oleh kebiasaan penghafalan fakta, memperlakukan
materi sebagai bagian-bagian informasi yang tidak berkaitan, dan melakukan prosedur rutin tanpa
berpikir. Sebaliknya tujuan deep learning adalah mendorong peserta didik mengaitkan ide-ide dengan
pengetahuan yang sudah didapat, mencari pola-pola utama, mempelajari pernyataan-pernyataan yang ada
secara kritis, dan merefleksikannya dengan pemahaman mereka sendiri. Deep learning dapat terjadi
dalam komunitas pembelajar yang berorientasi pada penyelidikan (inquiry-oriented). Komunitas ini bisa
tercipta melalui aplikasi teknologi informasi dengan memanfaatkan web berbasis jaringan kerja seperti
blog.
5. Terjadi transfer pembelajaran dalam dunia pendidikan formal. Diakui bahwa teknologi dapat
membantu siswa memiliki kemampuan yang tinggi, sekaligus menerapkan pengetahuan baru di luar
ruang kelas. Artinya bahwa dengan teknologi transfer ilmu pengetahuan tidak terbatas semata dalam
ruang kelas melalui design pembelajaran (disebut sebagai soft technology) yang disusun pengajar, namun
juga melalui hard technology yaitu penciptaan dan pemanfaatan lingkungan dimana pembelajar dapat
mempraktekan pengetahuan dan kemampuannya dalam dunia nyata.
Teknologi pendidikan tidak hanya bergerak di persekolahan tapi juga dalam semua aktifitas manusia
(seperti perusahaan, keluarga, organisasi masyarakat, dll) sejauh berkaitan dengan upaya memecahkan
masalah belajar dan peningkatan kinerja. Oleh karena kinerja peserta didik baik di sekolah maupun di
tempat kerja dapat ditingkatkan melalui penggunaan teknologi teknologi lunak seperti desain
pembelajaran (ID) dan hard-tech, juga penciptaan dan pemanfaatan lingkungan di mana peserta didik
dapat mempraktekkan dan mengaplikasi ilmu pengetahuan yang didapat dalam dunia nyata.
B. Peningkatan Kinerja Guru dan Para Perancang Pembelajaran
Aplikasi teknologi dalam bidang pendidikan dapat menolong para tenaga pengajar menciptakan proses
belajar yang lebih menarik dan bernilai manusiawi. Teknologi pendidikan bagi pengajar memiliki
manfaat luar biasa terutama dalam meminimalisir waktu pembelajaran dan meningkatkan efektifitas yang
pada akhirnya dapat menambah produktifitas tenaga pengajar.
Beberapa langkah yang bisa digunakan untuk memperbaiki kinerja guru dan perancang desain
pembelajaran adalah seperti penjelasan singkat berikut ini.
1. Mengurangi waktu pembelajaran.
TP memberikan wawasan untuk membantu para guru dan para desainer(trainer) mengurang waktu
yang tidak efisien dalam pembelajaran melalui prosedur prosedur khusus dalam analisa kebutuhan dan
analisa pembelajaran Melalui prosedur ini mengetahui apa yang menjadi tujuan pasti Dari tujuan pasti
dari proses pembelajaran (penyampaian materi) dngan tujuan itu lah proyek pembelajarn di mulai.
Konsekuensinya guru dan para desainer mengurangi waktu pembelajaan yang tidak efektif untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Menciptakan pembelajaran yang lebih menguntungkan dari segi biaya.
Desain pembelajaran yang sistemasis menolong para perencana pembelajaran mencapai hasil yang
luar biasa menguntungkan.
3. Menciptakan pembelajan yang ramah. pembelajaran lebih menarik.
Yang dimaksut dengan menarik disini sangat variasi tergantung kasus per kasus, tetapi secara umum
pembelajaran yang menarik memiliki beberapa pengertian:
a. Menantang, memberikan ekspetasi yang tinggi.
b. Memiliki kesesuaian dengan pengalaman peserta didik di masa lalu dan dimasa yang akan datang.
c. Ada unsur humor dan permainan dalam pembelajaran.
d. Mempertahankan perhatian siswa melalui hal-hal yang baru.
e. Terlibat secara intelektual dan emosional.
f. Menggunakan berbagai bentuk penyajian.
Teknologi Pendidikan (TP) mempunyai sejarah panjang yang sangat menarik. Banyak inovasi-inovasi
pembelajaran yang diinspirasi dari teroi kognitifisme, konstruktifisme, seperti problem base lerning yang
didisaen untuk meningkatkan peserta belajar yang disampaikan oleh pengajar.
4. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan.
Banyak inovasi didalam Teknologi Pendidikan (TP) yang berfokuskan dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Artinya murid adalah orang yang tidak dijejali ilmu saja atau dengan kata lain adalah memanusiakan
murid. Hal ini sesuai dengan bentuk inovasi yang dibuat dengan melihat murid dari segi behaviourisme.
Secara singkat dapat di samapikan bahwa hasil inovasi Teknologi Pendidikan (TP) menempatkan peserta
didik sebagai pemegang control dalam proses pembelajaran.
C. Peningkatan Kinerja Organisasi
Pada awalnya teknologi diadopsi oleh organisasi adalah untuk meningkatkan produktifitas organisasi,
terutama untuk memangkas biaya dan meningkatkan hasil. Itulah yang menjadi tujuan pemanfaatan
teknologi di dunia bisnis dan industri. Namun tujuan ekonomis seperti ini boleh dikata kurang populer di
organisasi atau lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih
dalam lagi beberapa kemungkinan peran teknologi dalam meningkatkan produktifitas di organisasi
pendidikan.
1. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas
Efisiensi adalah doing things right (dengan benar) dan efektifitas adalah doing the right things (yang
benar). Dalam dunia pendidikan kata efisiensi bisa dipandang sebagai rancangan, pengembangan, dan
melakukan pembelajaran dnegan cara memanfaatkan sumber-sumber sekecil mungkin untuk mencapai
hasil yang, paling tidak, sama atau lebih baik. Sementara kata efektifitas berarti melakukan perbuatan
yang memang benar-benar bisa menolong peserta didik mencapai tujuan pembelajaran yaitu menguasai
pengetahuan, punya keahlian, dan terjadi perubahan sikap. Kita membutuhkan keduanya. Pembelajaran
yang efisien menjadi kehilangan makna jika tidak bisa mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu
pembelajaran yang menghasilkan hasil belajar yang diinginkan tetapi boros penggunaan biaya, tidak tepat
waktu, atau tidak punya dampak menghasilkan lulusan yang tepat guna sama dengan pembelajaran yang
tidak produktif.
2. Sebuah perspektif sistem bagi kinerja organisasi
Dalam pendidikan kalimat “hasil yang diinginkan” bisa bermakna berbeda sesuai dengan persepsi
masing-masing orang. Oleh sebab itu perlu sebuah pengukuran what goals are worth pursuing and what
indicators should be used to measure progress toward those goals” (hal.65). Banyak perdebatan yang
dilakukan oleh ilmuwan pendidikan apakah memang ukuran keberhasilan yang dipakai oleh organisasi-
organisasi bisnis dan industri (ekonomi) bisa dengan begitu saja diterapkan dalam organisasi pendidikan.
Terlepas dari hal tersebut, pendekatan atau cara pandang sistem, secara total dan menyeluruh dapat
membantu organisisi atau institusi pendidikan mendefinisikan dan mencapai tujuan yang berharga
(output) dengan proses pembelajaran yang seefisien dan seefektif mungkin.
Esensi dari pendekatan sistem adalah melangkah ke belakang dan mencatat faktor apa saja yang terjadi di
sekitar dan mempengaruhi kejadian-kejadian dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Dengan
melihat kondisi pembelajaran di kelas maka dapat diperoleh pemahaman lingkungan apa yang seharusnya
diciptakan untuk mendukung strategi pembelajaran yang lebih berdampak.
Organisasi dapat meningkatkan produktifitas komponen yang ada di dalamnya, terutama faktor SDM nya
dengan menolong mereka memperoleh pengetahuan yang baru, keahlian baru, dan menciptakan sikap
baru yang lebih positif. Namun ada usaha lain yang lebih mendalam yaitu dengan mengubah kondisi-
kondisi di dalam organisasi sehingga orang lebih dapat memiliki performa kerja lebih baik lagi untuk
mencapai tujuan organisasi, dengan atau tanpa pembelajaran tambahan. Usaha perbaikan kinerja yang
sifatnya noninstructional intervention seperti mencipatkan kondisi kerja yang lebih baik, alat kerja yang
lebih memadai, dan memotivasi pekerja menjadi lebih giat dilabelkan sebagai HPT atau human
performance improvement atau Teknologi Kinerja Manusia. Keseluruhan intervensi yang bersifat
instruksional dan noninstruksional dalam organisasi merupakan usaha untuk mengembangkan atau
meningkatkan kinerja organisasi.
3. HPT
HPT atau Teknologi Kinerja Manusia menurut Pershing adalah “the study and ethical practice of
improving productivity in organizations by designing and developing effective interventions that are
result-oriented, comprehensive, and systemic.” HPT merupakan seperangkat metode, prosedur, dan
strategi untuk memecahkan masalah dalam kerangka organisasi. Sesuai dengan namanya maka HPT
bersentuhan langsung dengan potensi manusia sebagai sumber daya kerja dalam organisasi. Penanganan
performa SDM dengan baik akan dapat meningkatkan kualitas kinerja organisasi. Bagaimana departemen
Human Resource atau Personalia mengelola karyawan untuk meningkatkan efektifitas kerja mereka
adalah bidang yang ditangani oleh HPT. Intinya HPT mengkaji tentang upaya-upaya untuk meningkatkan
kinerja orang dalam suatu organisasi melalui pendekatan yang sistematis, sistematis dan ilmiah. Para
teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan
masalah. Menurut Barbara B. Seels dan Rita C. Richey. dalamcTeknologi Pembelajaran: Definisi dan
Kawasannya, (terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk). Teknolog kinerja akan cenderung
memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi
sumber sebagai intervensi. Hal ini mencakup empat proses yaitu analisa, desain, pengembangan, dan
produksi. Menurut teknolog kinerja yang pada akhirnya menolong kita melihat posisi teknologi
pendidikan dalam HPT secara menyeluruh adalah bahwa pendidikan merupakan satu dari berbagai
intervensi yang mungkin diterapkan dalam meningkatkan kinerja di tempat kerja.
III. PENUTUP
Demikian apa yang dapat kami paparkan dalam makalah ini. Semoga dengan makalah ini, kita semakin
mendapatkan gambaran yang jelas tentang tujuan utama dari Teknologi Pendidikan (TP ). Jadi dengan
Teknologi Pendidikan (TP) ini diharapkan bisa memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi
pembelajaran agar efektif, efisien, menarik, dan juga bisa meningkatkan kinerja. Peningkatan kinerja ini
tentunya baik dari segi peserta didik, guru atau perancang desain pembelajaran, serta organisasi yang
berkaitan. Dan kita juga bisa merenungkan apakah yang kita lakukan selama ini dalam bidang pendidikan
sudah sesuai dengan tujuan pendidikan kita. Terimakasih.
Referensi
Molenda, Michael & Alan Januszweski. 2008 “Educational Technolog: A Definition with Commentary
. New York.
Seels, Barbara B. dan Rita C. Richey.1995. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya,
(terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk). Jakarta: UNJ Agus Dwiyono. 2007.
Sumber internet:
www.Tpers.Net
Encyclopedia of Educational Technology
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi, Klasifikasi, Pemilihan Intervensi Pengembangan Organisasi
2.1.1. Pengertian Pengembangan Organisasi
Menurut Worley dan Feyerherm (2003) Organization development is systemwide planned change, uses
behavioral science knowledge, targets human and social processes of organizations (specifically the
belief systems of individuals, work groups, or culture), and intends to build the capacity to adapt and
renew organization. Robbins (2008) mendefinisikan Pengembangan organisasi (organizational
development-OD) bukanlah sebuah konsep tunggal yang mudah didefinisikan, melainkan sebuah istilah
yang digunakan untuk mencakup sekumpulan intervensi perubahan terencana yang dikembangkan
berdasarkan berbagai nilai humanistis-demokratis, yang berupaya meningkatkan keefektifan organisasi
dan kesejahteraan karyawan. Sementara itu Duha (2016) mendefinisikan Pengembangan organisasi
sebagai sebuah proses yang berkesinambungan secara terus-menerus yang dilakukan untuk melakukan
usaha-usaha perbaikan atas berbagai kegagalan dan kesalahan, juga untuk memenuhi berbagai harapan-
harapan yang diinginkan, serta bagian dari cara untuk peningkatan (kualitas, kuantitas) yang telah dimiliki
sebelumnya, dengan mempertahankan nilai-nilai dasar dan utama yang terkandung di dalam budaya
organisasi.
Pengembangan organisasi merupakan suatu proses perubahan atau intervensi, dimulai dari perubahan
struktur dan sistem didalam organisasi hingga penyuluhan psikoterapi yang diberikan kepada individu
dan kelompok yang ada didalam organisasi, yang mengarah kepada upaya perbaikan efektifitas organisasi
guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan
2.1.2. Pengertian Intervensi
Menurut Miftah Toha (2003) Intervensi dimaksudkan untuk menetapkan cara-cara apakah yang patut
digunakan untuk merencanakan perbaikan berdasarkan masalah yang ditemukan dalam proses diagnosis
dan pemberian umpan balik. Intervensi berarti keikutsertaan klien dan konsultan bersama-sama
merencanakan proses perbaikan berdasarkan atas masalah yang dijumpai dalam proses diagnosis.
Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan dalam rangka menata dan memperbaiki kembali fungsi
organisasi dalam memberikan kesempatan kepada anggota organisasi untuk bekerja dalam tim ataupun
mereka mengelola suatu tim serta memelihara (sustainable) organisasi agar teteap dapat beralan dengan
baik sesuai dengan tujuan organisasi.
(Arif (2011); French dan Bell), intervensi pengembangan organisasi adalah serangkaian kegiatan
terstruktur yang didalamnya terdapat unit - unit organisasi terpilih (kelompok atau sasaran individu)
melakukan tugas yang secara langsung atau tidak langsung sasaran tugas dihubungan dengan perbaikan
organisasi
Suatu intervensi dikatakan efektif apabila terdapat informasi yang benar dan bermanfaat, kebebasan
memilih dan keterikatan di dalam.
a. Informasi yang benar adalah informasi yang nyata terjadi dalam organisasi.
b. Kebebasan memilih mempunyai kewenangan membuat keputusan terletak ditangan klien.
c. Dan keterkaitan di dalam adalah bahwa klien mempunyai tanggung jawab untuk tetap terikat pada
pelaksanaan dari rencana atau keputusan cyang telah dibuat.
Penggunaan perantara atau konsultan berupa seorang individu atau suatu kelompok yang mempunyai
tanggung jawab untuk mengubah pola perilaku seseorang tau sistem yang telah ada. Seorang konsuktan
akan menyelidiki kelakuan sehari-hari, memberika informasi, membantu manajemen dalam perubahan
yang telah disetujui, membantu anggota-anggota organisasi untuk dapat berdiri sendiri dalam
memecahkan masalah.
2.1.3. Klasifikasi Intervensi
Berikut klasifikasi intevensi berdasarkan sasaran atau target yaitu :
a. Human Process Intervention (Intervensi Proses Manusia)
Pada metode ini intervensi berfokus pada orang dalam organisasi dan proses melalui mana anggota
organisasi mencapai tujuan organisasi. Proses ini meliputi komunikasi, pemecahan masalah, pengambilan
keputusan kelompok, dan kepemimpinan. Dengan demikian intervensi proses manusia berkaitan dengan
hubungan interpersonal dan dinamika kelompok. Jenis-jenis intervensi dalam hal ini, yaitu :
· Process Consultation (Consultasi Proses)
Intervensi ini berfokus pada hubungan interpersonal dan dinamika sosial yang terjadi dalam kelompok
kerja. Konsultasi, proses membantu anggota kelompok mendiagnosis berfungsinya kelompok dan solusi
yang tepat terhadap masalah-masalah organisasi
· Third-Party Intervention
Metode perubahan ini merupakan suatu bentuk konsultasi proses berfokus pada hubungan interpersonal
yang tidk berfungsi dalam organisasi. Intervensi ini digunakan untuk membantu anggota organisasi
memecahkan konflik dengan metode seperti pemecahan masalah, tawar menawar, dan konsiliasi.
· Team Bulding
Intervensi ini membantu kelompok kerja menjadi lebih efektif dalam melaksanakan tugas. Sebagaimana
konsultasi proses, pengembangan tim membantu anggota kelompok mendiagnosis proses kelompok dan
pemecahan masalah
· Organization Confrontasi Meeting
Metode perubahan ini memobilisasi anggota organisasi untuk mengidentifikasi masalah, menetapkan
target-target tindakan, itervensi ini diterapkan ketika organisasi mengalami stres dan ketika menejemen
membutuhkan untuk mengatur resources dalam rangka pemecahan masalah
· Large Group Intervention
Intervensi ini melibatkan berbagai stakeholder dalam pertemuan besar untuk memperjelas nilai-nilai yang
dianggap penting, mengembangkan cara kerja baru, menyampaikan visi baru organisasi, atau untuk
memecahkan masalah-masalah organisasi.
Dari beberapa penjelasan tentang Human Process Intervention dapat disusun sebuah program yang dapat
dilakukan agar perubahan total dalam internal organisasi termasuk departemen yang ada antara lain :
· Survey feedback.
Sebuah program intervensi dimana melakukan pengumpulan informasi tentang organisasi lalu
memberikan kepada manager atau anggota agar mereka dapat berpikir dan memecahkan masalahnya
sendiri. Sebuah pengumpulan dengan cara survey atas organisasi dan diberikan langsung oleh atasan.
Setelah diolah oleh atasan akan diberikan ke manajer ataupun anggota.
· Organization confrontation meeting.
Program ini membutuhkan sumber daya yang lebih khususnya pada anggota yang sudah berpengelaman
dan dapan mengidentifikasi masalah yang ada, bekerja sesuai target dan menyelesaikan pekerjaan sesuai
masalah. Intervensi ini biasanya dilakukan di organisasi yang memiliki grup yang terdiri dari beberapa
anggota yang sudah memiliki pengelaman tinggi.
· Intergruop relations
Program yang menganut metode Third-Party Intervention dengan memasukkan orang ketiga dalam grup
agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi.
· Pendekatan normatif
Program intervensi yang banyak dilakukan pada kebanyakan organisasi. Seperti memberikan pelatihan
kepada anggota dalam kegiatan organisasi. didalamnya pemberian prosedur yang berlaku dalam
organisasi agar anggota dapat bekerja sesuai dengan cita-cita organisasi
b. Human Resources Management Intervention (Intervensi Manajemen Sumber Daya Manusia)
Metode intervensi ini berfokus pada intrvensi yang digunakan untuk mengembangkan, mengintegrasikan,
dan mendukung manusia atau orang dalam organisasi. Berikut ini termasuk dua program perubahan:
· Penentuan Tujuan
Program perubahan ini melibatkan penentuan tujuan manajerial dan penilaian. Mencoba untuk
membangun kcocokan antara tujuan pribadi dan organisasi dengan komunikasi dan penetapan tujuan
bersama antara manajer dan bawahan, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Manajer dan
bawahan secara berkala bertemu untuk merencanakan pekerjaan, meninjau prestasi, dan memecahkan
masalah dalam mencapai tujuan.
· Sistem Penghargaan
Intervensi ini yang terlibat dengan merancang imbalan organisasi untuk meningkatkan kepuasan
karyawan dan kinerja. Ini termasuk pendekatan inovatif untuk membayar, promosi, dan tunjangan seperti
liburan dibayar, asuransi kesehatan, dan program pensiun.
Berfokus pada dua metode perubahan:
· Perencanaan dan Pengembangan Karir
Intervensi ini bertujuan untuk membantu orang memilih organisasi dan jenjang karir dan mencapai tujuan
karir. Hal ini biasanya berfokus pada manajer dan staf profesional dan dilihat seberapa jauh dari
peningkatkan kualitas hidup mereka yang bekerja.
· Manajemen Stres
Program perubahan ini bertujuan untuk membantu anggota organisasi mengatasi konsekuensi gangguan
stres di tempat kerja. Ini membantu manajer mengurangi sumber spesifik stres, seperti konflik peran
(permintaan pekerjaan saling bertentangan) dan ambiguitas peran (tuntutan pekerjaan membingungkan).
Hal ini juga menyediakan metode untuk mengurangi gejala stres, seperti hipertensi dan kecemasan.
c. Technostruktural Intervention
Metode intervensi ini berfokus pada perubahan struktur dan desain organisasi. Sehingga lebih cenderung
pada aspek infrastruktur organisasi. Metode perubahan ini mengahsilkan pengingkatan perhatian dalam
OD, terutama dalam penerangan masalah saat ini tentang produktifitas dan efektivitas organisasi.Hal ini
termasuk dalam pendekatan kualitas kehidupan kerja serta metode untuk merancang organisasi,
kelompok, dan pekerjaan.
d. Strategic Intervention
Intervensi ini berfokus pada pilihan strategis untuk mengalokasikan sumber daya organisasi untuk
mendapatkan keuntungan kompetitif dan menciptakan nilai-nilai yang mendorong kinerja tugas yang
sesuai di seluruh perusahaan. Strategi intervensi cenderung keseluruhan organisasi dan berusaha untuk
membawa tentang kesesuaian antara strategi perusahaan, struktur, dan budaya dan lingkungan yang besar.
2.1.4. Memilih Intervensi
Untuk memilih intervensi yang tepat, kita dapat mengikuti beberapa acuan pertanyaan berikut :
a. Apakah hasil yang didapat dari memilih suatu teknik intervensi ?
Dalam pemelihan suatu teknik intervensi dapat mempengaruhi keseluruhan suatu organisasi. Dari
pemilihan dapat mengubah beberapa pola organisasi lainnya, maka dibutuhkan suatu teknik intervensi
yang spesifik agar mendapatkan suatu hasil yang baik. Maka dalam proses pemilihan dibutuhkan analisis
yang tepat atas masalah yang dihadapi dengan memilih teknik yang rendah resiko kegagalan
b. Apa dampak dari dari pemilihan suatu teknik intervensi?
Dalam memilih suatu teknik intervensi tidak hanya diperhatikan jenis atau metode apa yang dipilih
berdasarkan hasil yang diharapkan. Namun harus mengetahui pula dampak yang akan terjadi. Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari teknik intervensi. Diantaranya yaitu individu dalam
organisasi (keingingan, situasi aman), faktor organisasi (suatu sistem manajer yang dianut), dan dimensi
dari suatu proses berlangsung (hubungan antara atasan bawahan). Jika kita tidak dapat menganalisi
beberapa faktor tersebut maka dapat dampak yang didapat akan semakin buruk
c. Bagaimana suatu teknik intervensi di implementasikan ?
Masalah utama implimentasi yang mendasari semua intervensi OD adalah keharusan untuk menyesuaikan
perubahan dengan situasi yang ada di lapangan. Karena keberhasilan intervensi OD tergantung pada
kemungkinan tertentu, intervensi yang dipilih harus sesuai dengan situasi, baik struktur maupun proses
harus disesuaikan. Menyesuaikan intervensi untuk situasi melibatkan penyesuaian yang terus menerus.
Implementasi umumnya dimulai dengan perubahan organisasi tertentu, yang kemudian diubah dari waktu
ke waktu dengan melihat pengalaman dan reaksi organisasi terhadap perubahan.
2.2. Contoh Kasus : Intervensi Pengembangan Organisasi di Organisasi Pembelajaran
Organizational Development Interventions In Learning Organizations
(Intervensi Pengembangan Organisasi di Organisasi Pembelajaran)
John Theodore, Ph.D., DBA, Ph.D., CMC, President, JDT Management Consultants, USA
ABSTRAK
Pengembangan organisasi bertujuan untuk membuat organisasi lebih terbuka dan lebih adaptif melalui
peningkatan kemampuan dan potensi dalam rangka merencanakan perubahan yang berorientasi pada
tindakan. Intervensi dalam pengembangan organisasi sebagai pembelajaran untuk membantu
mengembangkan organisasi. Salah satu contoh intervensi pengembangan organisasi adalah intervensi
pengembangan organisasi di organisasi pembelajaran
Dalam intervensi pengembangan organisasi di organisasi pembelajaranterdapat tiga proses intervensi
yaitu :
1. Diagnosis (Diagnosis) : untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang akan dievaluasi dalam bidang
konsentrasi,
2. Presentation (Presentasi): diagnosis mempresentasikan hasil diagnosis dalam bentuk proposal untuk
mengimplementasikan hasil
3. Implementation (Implementasi) : hasil proposal melalui usaha perubahan yang telah direncanakan
Tiga proses intervensi di atas merupakan dasar yang digunakan untuk menghasilkan berbagai diagnosa
yang digunakan untuk koreksi kekurangan dan / atau disfungsional konsentrasi (bidang utama) yang ada
dalam intervensi pengembangan organisasi di organisasi pembelajaranyaitu kebijakan dan prosedur
sumber daya manusia, evaluasi sumber daya manusia, struktur dan desain, pelatihan dan pengembangan
sumber daya manusia, komunikasi dan kepemimpinan
No Konsentrasi Tujuan Intervensi Diagnosa
1 Kebijakan dan Membuat mutakhir, akurat, Evaluasi bagaimana penyelenggaraan
Prosedur Sumber beretika, realistis, dan melegalkan kebijakan dan prosedur, dan tingkat
Daya Manusia kebijakan dan prosedur yang ketercapaiannya
benar, yang kondusif untuk
perekrutan dan pengembangan
sumber daya manusia
2 Evaluasi Sumber Memperoleh personil dengan Evaluasi persiapan dan fungsi yang
Daya Manusia benar dan meningkatkan efisiensi melakukan evaluasi terkait bagaimana
dan efektivitas sumber daya kinerja evaluasi, jenis, alat, metode,
manusia dalam melaksanakan prosedur, dan teknik evaluasi kinerja
tugas melalui
memperkuat,mempertahankan
dan meningkatkan kinerja
3 Struktur dan desain Mengembangkan posisi peran dan Evaluasi otoritas dan tanggung-jawab
hubungan yang menyebabkan orang dan departemen, serta
pengaturan yang lebih efektif dan pendelegasian kewenangan dan
efisien dalam tugas, sumber daya, tanggung-jawab di dalam organisasi,
dan tanggung jawab hierarkis kesatuan komando; dan tanggung
jawab serta hubungan atau relasi
4 Pelatihan dan Membantu manajemen untuk Evaluasi kebutuhan pelatihan manajer
pengembangan mengembangkan teknis mereka, dalam pelaksanaan manajemen, dan
sumber daya hubungan manusia, dan evaluasi kebutuhan pelatihan para
manusia keterampilan konseptual dan karyawan dalam unit fungsional, serta
dukungan karyawan untuk evaluasi kepuasan karyawan
melakukan lebih efektif dan efisien
tugas fungsional
5 Komunikasi Mengembangkan komunikasi di Evaluasi bagaimana pelaksanaan
dalam departemen yang sama komunikasi pada intra Departemen dan
(intra departemen) dan berbagai antar Departemen
departemen (antar departemen
6 Kepemimpinan Pengembangan pemimpin- Evaluasi pemimpin terkini,
pemimpin yang cakap dan kepemimpinan dibutuhkan dan
dibutuhkan kualifikasinya spesifik dengan paragraf
sebelumnya
Setiap proses atau situasi perubahan pada intervensi harus senantiasa dievaluasi dan dilakukan penilaian
bagaimana ketercapaiannya. Seperti yang ada pada jurnal ini, melalui 3 proses intervensi, yang mana
sudah dipaparkan proses diagnosa terhadap konsentrasi (kebijakan dan prosedur sumber daya manusia,
evaluasi sumber daya manusia, struktur dan desain, pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia,
komunikasi dan kepemimpinan) secara mendalam pada elemen-elemen sumber daya manusia yang ada
pada organisasi pembelajaran. Namun terkait implementasi masih belum dipaparkan disini.
Learning Organization menurut Peter Senge dalam Suyanto (2011) merupakan suatu organisasi dimana
anggota secara kontinyu memperluas kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang sangat mereka inginkan,
dimana pola pemikiran baru yang kespansif ditumbuhkan, aspirasi kolektif dibebaskan, dan orang secara
terus menerus belajar melihat orang secara keseluruhan.
Setelah proses mendiagnosa dan mempresentasikan hasil diagnosa, selanjutnya adalah implementasi.
Menurut analisis penulis, jenis intervensi yang digunakan dalam jurnal ini adalah menggunakan Human
Process Intervention atau intervensi yang berfokus pada orang dalam organisasi dan proses melalui mana
anggota organisasi mencapai tujuan organisasi, karena berkaitan dengan hubungan interpersonal dan
dinamika kelompok. Oleh sebab itu, dapat disusun sebuah program yang dapat dilakukan agar perubahan
dalam internal organisasi antara lain :
a. Survey feedback.
Sebuah pengumpulan informasi dengan cara survey atas organisasi dan olah langsung oleh atasan. Setelah
diolah oleh atasan akan diberikan ke manajer ataupun anggota untuk pemecahan masalahnya.
b. Organization confrontation meeting.
Masalah yang ada dari evaluasi akan diidentifikasi olah anggota yang sudah berpengalaman atau
berkompeten dalam organisasi tersebut.
d. Intergruop relations
Dengan memasukkan orang ketiga dalam grup agar dapat membantu memecahkan masalah yang
dihadapi.
e. Pendekatan normatif
Memberikan pelatihan kepada anggota dalam kegiatan organisasi. didalamnya pemberian prosedur yang
berlaku dalam organisasi.
Setelah implementasi intervensi, perlu adanya evaluasi ketercapaian dari suatu program. Proses evaluasi
dapat menggunakan cara dengan menjawab pertanyaan :
a. Apakah intervensi benar-benar menghasilkan hasil yang diharapkan ?
b. Dalam kondisi yang seperti apa intervensi dapat memperoleh hasil yang positif ?
c. Bagaimana bisa intervensi dapat dilaksanakan ?
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Intervensi merupakan sebuah program yang direncanakan dengan maksud membantu sebuah organisasi
menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan masalahnya. Dalam mengembangkan efektifitas intervensi,
orgasasi harus mempunyai informasi yang valid terhadap keanggotanannya. Berdasarkan target utama
dari hasil program perubahan, terdapat 4 jenis intervensi pengembangan organisasi : (1) program yang
ditujukan terhadap orang-orang organisasi dan proses interaksi mereka; (2) metode teknostruktural
diarahkan pada teknologi organisasi dan struktur untuk menghubungkan orang dan teknologi; (3)
intervensi manajemen sumber daya manusia yang bertujuan mengintegrasikan orang ke dalam organisasi;
(4) program strategi diarahkan pada bagaimana organisasi menggunakan sumber dayanya untuk
mendapatkan kompetetif keuntungan dalam lingkungan yang lebih besar. Dalam mengevaluasi intervensi,
pertanyaan yang harus ditanyakan pada organisasi yang bersangkutan, adalah :
a. Apakah intervensi benar-benar menghasilkan hasil yang diharapkan ?
b. Dalam kondisi yang seperti apa intervensi dapat memperoleh hasil yang positif ?
c. Bagaimana bisa intervensi dapat dilaksanakan ?
3.2.Saran
Dalam pengembangan organisasi, bagi penentu perubahan apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak
dilakukan, baik tidaknya perubahan yang akan dihasilkan, sehingga para agen harus benar-benar
mengetahui perannya masing-masing. Berwawasan luas dan mempunyai kepercayaan diri yang kuat,
karena akan berdampak langsung pada pelaksanaan organisasi dan masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Duha, Timotius.2016.Perilaku Organisasi. Yogyakarta:Deepublish.
Efendi, Arif (2011). “Manajemen perubahan di lembaga dakwah: studikasus tentang pengembangan
organisasi di lembaga griya al-qur’an surabaya.” Dalam http://digilib.uinsby.ac.id/8901/4/Bab2.pdf,
diakses pada 05 Desember 2016 pukul 20.57 WIB.
French, Wendell L. Dan Bell, Cecil H. Jr. 1990. Organization development : behaviora science
interventions for organization limprovement. New Jersey: Prentice hall.
Jayanti, Yuli.2012. “Intervensi dalam pengembangan organisasi.” Dalam
htttp://www.scribd.com/mobile/doc/77085536/intervensi-dalam /PO/ diakses pada 13 November 2016
18.48 WIB
Mackenzie, Jessica dan Gordon, Rebecca. 2016. Studi Pengembangan Organisasi. Jakarta: Bappenas.
Robbins, Stephen P. & Judge, Timothy A.2008.Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Suyanto, Slamet. 2011. “Organisasi Belajar.” Dalam
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-slametsuyantomed/pengabdian_ 0.pdf diakses pada
16 November 2016 17.50 WIB.
Theodore, John .2013. “Organizational Development Interventions In Learning Organizations.”
International Journal of Management & Information Systems (Online) 17.1 (2013): 65 Dalam
http://search.proquest.com/openview/4a429e6dc3c 3a053244b59df521ec8a5/1?pq-origsite=gscholar
diakses pada 14 November 2016 14.30 WIB.
Worley, Christoper G. dan Feyerherm Ann E.2003. “Reflections on Future of Organization
Development.” Dalam Journal of Applied behavioral Science,Volume 39 nomor 1, Maret 2003.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Monitoring, pengendalian, evaluasi, yang di dalamnya termasuk penilaian kinerja organisasi
dan pelaporan merupakan suatu fungsi manajemen yang harus menjadi pendukung
kompetensi seorang manajer kesehatan. Monitoring, pengendalian, dan evaluasi diperlukan
untuk mengetahui dan menjamin kemajuan suatu program atau kegiatan pelayanan, dan untuk menilai
hasil akhir dari suatu program ataupun kegiatan pelayanan. Sedang pelaporan adalah sarana untuk
informasi dan pertanggung jawaban pelaksanaan program.
Kepala Puskesmas dan para supervisor di puskesmas perlu melakukan monitoring, pengendalian dan
evaluasi seluruh kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan di puskesmas, namun sering karena
keterbatasan-keterbatasan yang ada di Puskesmas maka untuk evaluasi biasanya difokuskan pada
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program pokok Puskesmas.
Monitoring, pengendalian dan evaluasi sebenarnya merupakan bagian dari fungsi pengawasan dan
berkaitan erat dengan modul-modul lain yang menguatkan pelaksanaan semua fungsi manajemen, mulai
dari poerencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan, pengawasan (controlling) itu sendiri, Tidak
menutup kemungkinan pada pelaksanaan setiap fungsi manajemen tersebut sudah ditemukan
penyimpangan yang segera perlu diperbaiki/ diluruskan, maka modul ini sangat penting dikuasai
pimpinan Puskesmas untuk menunjang pelaksanaan tugas kepemimpinan dan manajemen Puskesmas.
Monitoring Evaluation
Continuous Periodic: at important milestones such as the mid-
term of programme implementation; at the end or a
substantial period after programme conclusion
Keepstrack; oversight; analyses and In-depth analysis; Compares planned with actual
documents progress achievements
Focuses on inputs, activities, outputs, Focuses on outputs in relation to inputs; results in
implementation processes, continued relation to cost; processes used to achieve results;
relevance, likely results at outcome overall relevance; impact; and sustainability
level
Answers what activities were Answers why and how results were achieved.
implemented and results achieve Contributes to building theories and models for
change
Alerts managers to problems and Provides managers with strategy and policy
provides options for corrective actions options
Self-assessment by programme Internal and/or external analysis by programme
managers, supervisors, community managers, supervisors, community stakeholders,
stakeholders, and donors donors, and/or external evaluators
Sources: UNICEF, 1991. WFP, May 2000.
Monitoring, pengendalian dan evaluasi merupakan alat manajemen untuk memberikan informasi kepada
pengambil keputusan dan menunjukkan akuntabilatas program atau kegiatan. Evaluasi bukan pengganti
monitoring dan pengendalian, demikian sebaliknya monitoring dan pengendalian tidak bisa menggantikan
evaluasi. Data yang dihasilkan secara sistematis pada waktu kegiatan monitoring sangat menentukan
keberhasilan evaluasi
Donna J. Dockery
Virginia Commonwealth University
Terjemahan oleh Mukti Z. Asikin
Abstrak
Konselor sekolah diharapkan mengembangkan program-program yang dapat men-dukung keberhasilan
akademis bagi semua siswa, termasuk mereka yang beresiko putus sekolah (dropout). Pengetahuan
tentang indikator, potensi dan tren saat ini, dalam penelitian pencegahan putus sekolah, diharapkan dapat
membantu konselor sekolah, dalam memahami masalah yang kompleks ini, secara lebih baik. Para kon-
selor sekolah, disarankan untuk melaksanaan strategi intervensi, termasuk sistem pelacakan mendalam,
agar lebih jelas mengidentifikasi siswa, yang kemungkinan akan putus sekolah. Program yang diharapkan
dapat digunakan untuk membantu individu dan kelompok siswa, yang berisiko putus sekolah, dan
penawaran berbagai strategi sekolah, mungkin dapat membantu konselor sekolah agar lebih memenuhi
kebutuhan siswa - yang potensial putus sekolah.
Sistem penyelenggaraan
Konselor sekolah seharusnya memasukkan kegiatan pencegahan putus sekolah ke dalam kurikulum
bimbingan yang sedang berlangsung. Sesi bimbingan kelas, harus dipresentasikan kepada semua siswa,
untuk membantu dalam penyesuaian ke sekolah, memperjelas persyaratan kelulusan dan harapan
akademis, atau memberikan informasi karir yang mempromosikan pemahaman tentang hubungan antara
sekolah dan kerja (Suh, Suh, & Houston, 2007). Sesi kelompok kecil mungkin ditawarkan kepada siswa
yang ditargetkan untuk mengatasi masalah dengan masalah kehadiran atau perilaku, mempromosikan
citra diri positif, atau untuk mengembangkan kemampuan efektif dalam komunikasi atau mediasi konflik
(Suh, Suh, & Houston, 2007). Menawarkan sesi pendampingan yang fokus pada kelompok kecil atau
individu, menegnai kemampuan belajar, pengembangan akademik tertentu, dan strategi penentuan tes,
bagi siswa yang sedang memperbaiki masalah akademisnya juga penting. Selain itu, konselor dapat
membentuk kemitraan dengan organisasi masyarakat, perguruan atau bisnis lokal, atau menggunakan staf
pengajar sekolah, untuk memenuhi kebutuhan “para pengajar ekstra”. Menawarkan program untuk
mendukung keberhasilan dalam masa transisi akademik dan sosial, dari SD ke SMP dan dari SMP ke
SMA, bermanfaat bagi semua siswa, sementara kelompok dukungan terus menerus bisa dibentuk, bagi
siswa baru untuk divisi sekolah atau mereka yang baru pindah pada pertengahan tahun (Suh , Suh, &
Houston, 2007).
Mengembangkan mentoring, dukungan les, atau program penasehat guru adalah peluang lain bagi
konselor sekolah untuk mengembangkan program konseling yang efektif sambil tetap menanggapi
kebutuhan siswa (White & Kelly, 2010). Program-program tersebut dapat memberikan dukungan sosial
dan akademik yang positif untuk semua siswa dengan layanan lebih khusus bagi siswa yang ditargetkan
pada-risiko untuk putus sekolah (Putih & Kelly, 2010). Pendamping senior, mungkin dilatih untuk
membantu siswa dalam menetapkan tujuan akademik dan sosial / perilaku yang realistis dan dapat
dicapai. Pemecahan masalah dan pembelajaran keterampilan hidup dapat dimasukkan ke dalam
kurikulum yang ada, ditawarkan kepada kelompok kecil siswa, atau diterapkan melalui program penasihat
guru atau program pendampingan (Dynarski et al., 2008).
Perencanaan individu siswa, mungkin juga digunakan untuk menyusun program akademik yang
menantang bagi siswa dan yang sesuai dengan minat siswa dengan kurikulum yang tepat atau pilihan.
Selain itu, layanan responsif dapat membantu individu atau kelompok kecil siswa tetap bersekolah ketika
menghadapi krisis seperti penyalahgunaan alkohol atau obat, masalah kesehatan mental, kehamilan, atau
tunawisma. Karena kehadiran yang buruk sangat berhubungan dengan kegagalan akademis dan kemudian
putus sekolah, maka perlu dilakukan pemantauan dan pendampingan segera, kepada siswa yang sering
kali absen (Kennelly & Monrad, 2007).
Meskipun banyak upaya pencegahan putus sekolah, fokus pada pendampingan yang ditargetkan baik
dengan siswa secara individual atau lebih komprehensif yaitu melalui reformasi sekolah, penelitian
menunjukkan bahwa penting untuk menggabungkan strategi yang efektif dari kedua pendekatan (MacIver
& MacIver, 2009). "Fokus reformasi komprehensif pada praktek sekolah, perlu mengatasi masalah
ketidakhadiran, masalah perilaku, dan kegagalan mata pelajaran bagi mayoritas siswa. Selanjutnya, upaya
yang fokus pada individu akan dibutuhkan bagi siswa yang memiliki kebutuhan lebih intensif” (MacIver
& MacIver, 2009, p 10). Praktek-praktek ini bertautan secara baik, dengan upaya konseling sekolah,
yang memberikan layanan di seluruh tingkatan: dengan kelompok, individu kecil, dan sekolah. Selain itu,
pemantauan, evaluasi, dan modifikasi strategi pencegahan putus sekolah, melengkapi kebutuhan konselor
sekolah untuk menggunakan data, untuk menunjukkan efektivitas pelayanan mereka dan pada akhirnya
dapat menyebabkan penurunan jumlah siswa putus sekolah.
Lampiran
Strategi dan Intervensi Pencegahan Putus Sekolah
Intervensi Strategi
Sumber: Diringkas dari Program Keteladanan dan Faktor-faktor yang Berisiko Dropout oleh C.
Hammond, D. Linton, J. Smink, J., dan S. Drew, 2007, Pusat Pencegahan Dropout Nasional / Jaringan
dan Komunitas di Sekolah, Clemson, SC, Lima belas Strategi Efektif untuk Meningkatkan Kehadiran
Siswa dan Pencegahan pembolosan oleh J.Smink dan M. Reimer, 2005, Jaringan/Pusat Pencegahan
Dropout Nasional, dan "Peran Konselor Sekolah dalam Pencegahan Putus Sekolah "oleh S. White dan D.
elly, 2010, Jurnal Pengembangan dan Konseling, 88, hal. 227-235.
D. PELAPORAN
1. Tujuan Penyusunan Laporan Hasil Pengawasan
Penyusunan laporan oleh setiap pengawas sekolah bertujuan untuk:
a. Memberikan gambaran mengenai keterlaksanaan setiap butir kegiatan yang menjadi tugas pokok
pengawas sekolah.
b. Memberikan gambaran mengenai kondisi sekolah binaan berdasarkan hasil pengawasan akademik
maupun manajerial berupa hasil pembinaan, pemantauan, dan penilaian.
c. Menginformasikan berbagai faktor pendukung dan penghambat/kendala dalam pelaksanaan setiap butir
kegiatan pengawasan sekolah.
2. Tahapan pelaporan meliputi kegitan-kegiatan berikut.
a. Mengkompilasi dan mengklasifikasi data hasil pemantauan dan pembinaan
b. Menganalisis data hasil pemantauan dan pembinaan
c. Menyusun Laporan hasil pengawasan sesuai sistematika yang ditetapkan.
d. Menyampaikan Laporan Semesteran dan Tahunan kepada Dinas Pendidikan Provinsi atau Dinas
Pendidikan Kabupaten/ Kota, serta sekolah yang dibinanya.
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan
B. Rekomendasi
LAMPIRAN:
1. Surat tugas Pengawasan
2. Surat Keterangan telah melaksanakan tugas pembinaan, pemantauan, penilaian kinerja, pembimbingan
dan pelatihan profesional guru dari sekolah binaan
3. Daftar Hadir guru atau kepala sekolah pada saat pembinaan/pemantauan/penilaian kinerja.
4. Contoh-contoh instrumen pengawasan yang telah diisi/ diolah.
E. PENGEMBANGAN KARIR
Tahapan pengembangan meliputi kegiatan-kegiatan berikut.
1. Melakukan upaya peningkatan 6 (enam) kompetensi pengawas sekolah melalui pelatihan, seminar,
workshop, konferensi, studi banding/benchmarking maupun secara mandiri dengan membaca buku, jurnal
ilmiah atau menggunakan media internet, termasuk bergabung dan aktif dalam mailing list yang relevan,
baik lokal, nasional maupun internasional
2. Melakukan kegiatan pengembangan profesi, antara lain melalui:
a. Penelitian, khususnya Penelitian Tindakan Sekolah (PTS)
b. Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI)
c. Presentasi KTI dalam forum ilmiah/profesi
d. Publikasi KTI dalam jurnal ilmiah/profesi
3. Memberikan kontribusi pemikiran/gagasan kepada kepala sekolah dalam upaya pengembangan
sekolah.
F. PELAPORAN (PORTOFOLIO) BENCHMARKING
Sistematika Penyusunan Laporan Umum Benchmarking
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Waktu Dan Tempat Pelaksanaan
D. Sasaran
E. Manfaat
BAB II PROSES DAN HASIL PELAKSANAAN KEMITRAAN
A. Proses Pelaksanaan Benchmarking
1. Rencana Tindak
2. Jadwal Pelaksanaan
B. Permasalahan dan Solusi
1. Permasalahan
2. Solusi
C. Hasil Pelaksanaan
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Lampiran-Lampiran:
Lampiran 1 Laporan Hasil Pengawasan Akademik dan Manajerial (berikut Instrumen, format, dan
perangkat pendukung yang telah diisi).
Lampiran 2 Foto-Foto Kegiatan yang diberi judul dan keterangan (deskripsi singkat).
G. Best Practice
Kata best practice digunakan untuk mendeskripsikan/menguraikan “ pengalaman terbaik” dari
keberhasilan seseorang atau kelompok dalam melaksanakan tugas, termasuk dalam mengatasi berbagai
masalah dalam lingkungan tertentu. Untuk Pengawas sekolah tentunya utamanya adalah nelakukan tugas
pokok pengawasan di sekolahnya.
Best Practice memiliki ciri-ciri atau indikator sebgai berikut :
1. Best practice mampu mengembangkan cara baru dan inovatif dalam memecahkan suatu masalah dalam
pendidikan khuusnya pengawasan;
2. Best Practice membawa sebuah perubahan/perbedaan sehingga sering dikatakan hasilnya luar biasa
(outstanding result);
3. Best practice mampu mengatasi persoalan tertentu secara berkelanjutan (keberhasilan lestari)atau
dampak dan manfaatnya berkelanjutan/ tidak sesaat;
4. Best practice mampu menjadi model dan memberi inspirasi dalam membuat kebijakan (pejabat) serta
inspiratif perorangan,termasuk Sekolahnya;
5. Cara dan metoda yang dilakukan dan atau digunakan bersifat ekonomis dan efisien.
Best pratice, atau pengalaman terbaik Pengawas sekolah akan bisa dicapai dengan sukses dan lebih cepat
tentunya telah dilakukan dengan tahapan yang sistematis melalui pendekatan ilmiah artinya dilandasi
suatu teori yang relevan dengan masalah pembelajaran, yang telah dibangun sebelumnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam mendeskripsikan best practice atau pengalaman terbaik dalam
pengawasan, memerlukan ilmu pengetahuan dan seni untuk dipakai sebagai landasannya. Sementara data
progres keberhasilan dan juga data pendukung yang secara nyata dialami selama mengatasi permasalahan
dan atau mengembangkan Pengawasan dicatat dengan sebaik baiknya, terutama sangat bermanfaat dalam
merumuskan Standard Operating Procedure.
Yang dimaksudkan dengan tulisan pengalaman terbaik (Best Practice) Pengawas sekolah adalah tulisan
yang dibuat Pengawas sekolah yang berisi laporan uraian pengalaman nyata Pengawas sekolah dalam
memecahkan berbagai masalah pelaksanaan pengawasan dan/atau masalah pengelolaan yang ada di kelas
atau di satuan pendidikan
Di dalam Best Practice, harus secara jelas ditulis tentang hal-hal berikut.
1) Permasalahan yang dihadapi oleh pengawas sekolah yang terkait dengan pelaksanaan pengawasan
yang ada di kelas atau Sekolah binaanya
2) Uraian keterkaitan permasalahan yang dihadapi dengan kajian kepustakaan yang relevan.
3) Pembahasan tentang bagaimana pengawas sekolah yang bersangkutan dalam memecahkan
permasalahannya dan uraian hasilnya.
4) Sajian simpulan dan saran.
Kegiatan penulisan pengalaman terbaik ini, juga merupakan bagian dari kegiatan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan yang berupa Publikasi Ilmiah berjenis Tinjauan Ilmiah. Apabila karya tersebut
memenuhi persyaratan, dapat memperoleh angka kredit untuk unsur Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan .Publikasi ilmiah, di antaranya dapat berupa Tinjauan Ilmiah di bidang pengawasan. Isi
dari publikasi ilmiah tersebut, dapat berupa laporan dari pengalaman-pengalaman terbaik yang telah
dilakukan oleh para Pengawas sekolah dalam melaksanakan tugasnya. Dalam pelaksanaan tugasnya,
seharusnya Pengawas sekolah telah memperoleh banyak pengalaman. Di antara pengalaman-pengalaman
itu, tentu ada yang diyakininya sebagai pengalaman terbaik (Best Practice). Bila pengalaman terbaik
tersebut dipublikasikan, maka akan dapat menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi Pengawas
sekolah yang lain, dan sekaligus juga merupakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan dari
Pengawas sekolah yang menulis.
3) Bagian Penunjang berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran tentang semua data yang dipakai untuk
menunjang tulisan ini. Sajian lampiran dimaksudkan sebagai bukti bahwa kegiatan yang ditulis memang
benar-benar merupakan hal nyata yang telah dilakukan. Oleh karena itu, dokumen yang dilampirkan harus
benar-benar mampu menyakinkan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1994. Petunjuk Pelaksanaan Supervisi di Sekolah. Jakarta : Direktorat Pendidikan Menengah
Umum. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas 2006. Sistem Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta:
PMPTK, 2010, Evaluasi Diri Sekolah, Apa, Mengapan dan Bagaimana, Bahan ajar dan materi Pelatihan
Penguatan Pengawas/ Kepala Sekolah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/
Madrasah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Kependidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomer 63 Tahun 2009 tentang Sistim Penjaminan Mutu
Pendidikan (SPMP)
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 21 Tahun
2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.
Permendiknas Nomor 11 Tahun 2009. Tentang Perangkat Akreditasi SD/MI. Jakarta: BAN-S/M
Permendiknas Nomor 52 Tahun 2008. Tentang Perangkat Akreditasi SMA/MA. Jakarta: BAN-S/M
1 Comment
FacebookTwitter
WhatsAppShare0
Pelatihan (training) : peningkatan keterlibatan pekerja yang berarti memberikan tanggung jawab yang lebih
besar, yang pada giliirannya mensyaratkan tingkat kemampuan dan keterampilan yang lebih tinggi.
Keuntungan diperoleh dari pelatihan (Ross, 1955) :
1. Peningkatan komunikasi
2. Perubahan budaya perusahaan (corporate culture)
3. Unjuk komitmen manajemen terhadap kualitas
Pre-service Training
Pre-service training diselenggarakan oleh lembaga pendidikan (seperti perguruan tinggi dan sekolah) atau
lembaga pelatihan (seperti Pusdiklat, Balai Latihan kerja, Lembaga kursus dan sebagainya ). Lembaga –lembaga ini
menyelenggarakan berbagai macam pelatihan dalam rangka penyediaan tenaga kerja yang memiliki
keterampilan, pengetahuan dan sikap dibidang tertentu. Sebagai contoh BLKI Singosari memiliki lima jenis
program pelatihan, yaitu: pelatihan institusional ( dibiayai oleh pemerintah,lamanya 3-5 bulan ), pelatihan
swadana ( dibiayai oleh peserta pelatihan, lamanya 3-5 bulan ), Mobile Training Unit ( MTU ) (dibiayai oleh
pemerintah lamanya 1-3 bulan ), pelatihan pihak ke III (misalnya perusahaan /instansi pemerintah, dan siswa
sekolah umum,lamanya 1-3 bulan ), dan program pemagangan ( dibiayai oleh pemerintah, lamanya 3 tahun).
Terdapat 7 jenis kejuruan yang ditawarkan meliputi: (1) Teknologi Mekanik,(2) Otomotif,(3) Listrik (4) Bangunan
(5) Tata niaga (6) perhotelan, dan (7) aneka Kejuruan.
Evaluasi Pelatihan
Terdapat tiga topik menarik dalam bidang pengembangan sumber daya manusia ( HRD , yaitu
evaluasi,pelatihan yang berorientasi pada hasil, dan kontribusi terhadap pengembangan organisasi. Hal
ini kerena semakin banyaknya tuntutan terhadap hasil program –program HRD. Bagian pelatihan dan
pengembangan ( T&D ) berusaha memenuhi tuntutan tersebut agar dapat memberikan kontribusi oleh
partisipan yang menginginkan program yang membawa hasil nyata.
Untuk mengevaluasi hasil pelatihan, Philips ( 1991 ) mengidentifikasi bentuk –bentuk instrumen evaluasi
sebagai berikut : kuesener,survey sikap, test, wawancara,kelompok fokus, observasi, dan rekaman
performansi. Pemilihan bentuk instrumen ini atas dasar bidang kemampuan yang diukur. Di samping itu,
faktor-faktor lain seperti kemudahan melaksanakan, kesederhanaan bentuk instrumen, dan keekonomisan
perlu juga dipertimbangkan.
Pengembangan (Development)
Dalam pendahuluan telah dinyatakan bahwa pengembangan (development) adalah pembelajaran untuk
pertumbuhan umum bagi individu dan / atau organisasi.
Pengembangan tidak dapat dipisahkan dari pelatihan, karena pengembangan merupakan tindak lanjut dari
pelatihan yang harus dilakukan secara terus menerus. Karena itu, sering dalam literatur –literatur
pembahasan tentang pengembangan dilakukan bersama dengan pelatihan dan topik “ pelatihan dan
pengembangan “.
Mengingat bahwa pengembangan ini memiliki spektrum yang lebih luas dibandingkan pelatihan, dan
dilakukan secara terus-menerus,maka metode –metode yang digunakan juga banyak dan bervariasi.
Beberapa metode yang dapat dipergunakan adalah misalnya rotasi pekerjaan ( job rotation , diskusi,
seminar, lokakarya, penataran, kerja tim (team work), studi banding / kunjungan kerja,sampai dengan
mempelajari buku-buku, katalog,dan jurnal profesional.
Pelatihan Keterampilan Fasilitasi bagi Guru
Hasil Kerjasama
Lapangan Kecil - The Learning Farm (www.thelearningfarm.com) - PwC (Pricewaterhouse
Coopers)
Pengantar
Komunikasi guru dan murid merupakan kunci proses belajar di kelas. Komunikasi yang nyaman,
menyenangkan, saling memotivasi, dan fokus memungkinkan pembelajaran berlangsung efektif. Lebih
dari itu, kelas yang nyaman dan menyenangkan akan membuat murid lebih bertanggung jawab dan
mempunyai rasa memiliki atas proses belajar itu sendiri.
Gagasan Guru Fasilitatif merujuk pada sikap dan praktik guru yang mengelola kelas sebagai komunitas
pembelajar yang mengejar prestasi sekaligus perkawanan (friendship). Guru fasilitatif mendorong murid
untuk saling memotivasi, belajar dan berinteraksi secara menyenangkan.
Guru Fasilitatifmengaplikasikan teori-teori relational group communication dengan pendekatan yang
melihat pentingnya komunikasi (verbal maupun nonverbal), pengembangan narasi bersama, dan proses
resiprokal dalam interaksi. Praktik Guru Fasilitatifjuga memanfaatkan seni dan teknik fasilitasi, seperti
mendengarkan secara fasilitatif, pengelolaan ruang, pengelolaan dinamika kelompok, proses divergensi
dan konvergensi untuk komitmen dan aksi bersama.
Tujuan Workshop
Kegiatan workshop satu hari ini bertujuan untuk
1) Mengenalkan dan meningkatkan pemahaman akan berbagai seni dan teknik fasilitasi bagi guru agar
dapat mengembangkan dirinya menjadi guru fasilitatif,
2) Bersama-sama berpraktik untuk meningkatkan keterampilan dasar seni dan teknik fasilitasi untuk
pengelolaan kelas yang lebih nyaman
Membangun hubungan
Mengenal, membuat kelas saling mengenal
· Penggunaan nama
· Memanfaatkan ruang untuk fasilitasi interaksi
· Permainan-permainan perkenalan dan pengelolaan ruang
Facilitative Listening
· Mendengarkan secara aktif (generalization, deletion, distortion)
· Model/ jenis pertanyaan (open/ close ended, grand tour – mini tour, 3rd party, magic wand dll.)
· Paraphrasing, mirroring, drawing people out, encouraging, stacking, tracking, balancing
· Keep a running memory (MPC, FC, WB), parking lot
Partisipan
A. Persyaratan
· Telah mengajar minimal selama 5 tahun (sebagai pengajar resmi dan/atau bukan)
· Mengisi & mengembalikan formulir pendaftaran paling lambat 10 hari sebelum hari-H
· Bersedia mengikuti workshop secara penuh
· Berasal dari sekolah undangan atau dari sekolah yang mengajukan diri untuk berpartisipasi
· Tingkatan dan jenis sekolah tidak dibatasi
B. Biaya
· Peserta tidak dipungut biaya.
· Peserta akan mendapatkan makanan ringan dan air minum.
· Peserta tidak mendapatkan makan siang. Untuk makan siang, peserta dapat membawa sendiri atau
membeli saat rehat
Workshop berlangsung pukul 08:30 – 16.30 WIB. Peserta harus datang sebelum 08.30 untuk registrasi
ulang.
Fasilitator
Evaluasi Peserta Dan Instruktur Pelatihan
23 Des
Latar Belakang
Manusia merupakan asset yang sangat berharga yang dimiliki oleh suatu organisasi, yang dijadikan objek
dan juga subjek dalam oraganisasi. Karena manusia merupakan makhluk yang dapat berkembang sesuai
dengan kapasitas yang dimilikinya. Kemampuan yang dimiliki oleh manusia haruslah senantiasa
dikembangkan karena jika tidak maka kemungkinan akan terjadi kemunduran bahkan statis. Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah dengan pendidikan dan
pelatihan.
Program pelatihan merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia. Untuk mengetahui efektivitas
dan tingkat ketercapaian dari pelatihan maka dilakukan sebuah langkah yaitu evaluasi. Evaluasi dilakukan
bukan hanya ada akhir pelatihan saja karena evaluasi merupakan mata rantai dari system pelatihan
dimana dilakukan sebelum pelatihan, pada saat pelatihan dan setelah pelatihan.
Proses evaluasi pada tahap awal yaitu sebelum pelatihan dinamakan dengan need assessment atau
mencari tahu keterampilan, dan kebutuhan dari para peserta pendidikan dan latihan serta pengembangan
sumber daya manusia. Evaluasi ditahapmenengah pada saat dilakukan pelatihan dinamakan monitoring
yang bertujuan untuk mencari informasi apakah program pelatihan yang telah disusun berjalan sesuai
dengan rencan aau tidak. Dan evaluasi setelah pelatihan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
perubahan kinerja dari karyawan atau anggota organisasi selah mengikuti pelatihan.
Evaluasi menjadi sngat penting untuk dipelajari karena evalusi akan mengukur tingkat ketercapaian dari
program pelatihan yang dilakukan sehingga akan memberikan feed back untuk kelangsungan program
pelatihan selanjutnya. Peserta merupakan objek dari pelatihan dan akan merasakan hasil dari pelatihan
sehinga evaluasi peserta menjadi sangat menentukan keberlangsungan pelatihan selajutnya. Selain peserta
yang menjadi ujung tombak keberhasilan atau ketercapaian program pelatihan adalah instruktur yang
memberikan materi pelatihan.
Konsep Pelatihan
A. Pengertian
Sikula dalam Sumantri (2000:2) mengartikan pelatihan sebagai: “proses pendidikan jangka pendek yang
menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. Para peserta pelatihan akan
mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu”. Menurut Good,
1973 pelatihan adalah suatu proses membantu orang lain dalam memperoleh skill dan pengetahuan (M.
Saleh Marzuki, 1992 : 5). Sedangkan Michael J. Jucius dalam Moekijat (1990 : 2) menjelaskan istilah
latihan untuk menunjukkan setiap proses untuk mengembangkan bakat, keterampilan dan kemampuan
pegawai guna menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and Productivity adalah belajar untuk
mengubah tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Pelatihan pada dasarnya adalah
suatu proses memberikan bantuan bagi para karyawan atau pekerja untuk menguasai keterampilan khusus
atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
Hadari Nawawi (1997) menyatakan bahwa pelatihan pada dasarnya adalah proses memberikan bantuan
bagi para pekerja untuk menguasai keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki
kekurangannya dalam melaksanakan pekerjaan. Fokus kegiatannya adalah untuk meningkatkan
kemampuan kerja dalam memenuhi kebutuhan tuntutan cara bekerja yang paling efektif pada masa
sekarang. Ernesto A. Franco (1991) mengemukakan pelatihan adalah suatu tindakan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan seseorang pegawai yang melaksanakan pekerjaan tertentu.
Dalam PP RI nomor 71 tahun 1991 pasal 1 disebutkan:
“Latihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan
produktivitas, disiplin, sikap kerja dan etos kerja pada tingkat keterampilan tertentu berdasarkan
persyaratan jabatan tertentu yang pelaksanaannya lebih mengutamakan praktek dari pada teori”.
Veithzal Rivai (2004:226) menegaskan bahwa “pelatihan adalah proses sistematis mengubah tingkah
laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan
pegawai dalam melaksanakan pekerjaan saat ini. Pelatihan memiliki orientasi saat ini dan membantu
pegawai untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaan”.
B. Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, akan tetapi
juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan yang
dipersyaratkan. Moekijat (1990 : 2) menjelaskan tujuan umum pelatihan sebagai berikut :
1. untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan
lebih efektif;
2. untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional;
3. untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman
pegawai dan dengan manajemen (pimpinan).
Tujuan pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1995 : 223) adalah untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap karyawan serta meningkatkan kualitas dan
produktivitas organisasi secara keseluruhan, dengan kata lain tujuan pelatihan adalah meningkatkan
kinerja dan pada gilirannya akan meningkatkan daya saing.
C. Manfaat Pelatihan
Manfaat pelatihan beberapa ahli mengemukakan pendapatnya Robinson dalam M. Saleh Marzuki (1992
: 28) mengemukakan manfaat pelatihan sebagai berikut :
1. Pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan/kemampuan individu atau kelompok
dengan harapan memperbaiki performance organisasi;
2. Keterampilan tertentu diajarkan agar karyawan dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan
standar yang diinginkan;
3. Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-sikap terhadap pekerjaan, terhadap pimpinan atau
karyawan;
4. Memperbaiki standar keselamatan.
Pelatihan menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana juga memberikan manfaat dalam mengurangi
kesalahan produksi; meningkatkan produktivitas; meningkatkan kualitas; meningkatkan fleksibilitas
karyawan; respon yang lebih balk terhadap perubahan; meningkatkan komunikasi; kerjasama tim yang
lebih baik, dan hubungan karyawan yang lebih harmonis (1998 : 215).
Konsep Evaluasi
A. Pengertian
Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation; dalam bahasa Arab; al-taqdir; dalam
bahasa Indonesia berarti; penilaian. Akar katanya adalah value; dalam bahasa Arab; al-qimah; dalam
bahasa Indonesia berarti; nilai.
Dalam Wikipedia Evaluasi (bahasa Inggris:Evaluation) adalah proses penilaian. Dalam perusahaan,
evaluasi dapat diartikan sebagai proses pengukuran akan efektifitas strategi yang digunakan dalam upaya
mencapai tujuan perusahaan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai
analisis situasi program berikutnya.
Secara garis besar, proses evaluasi terbagi menjadi di awal (pretest) dan diakhir (posttest). Pretest
merupakan sebuah evaluasi yang diadakan untuk menguji konsep dan eksekusi yang direncanakan.
Sedangkan, posttest merupakan evaluasi yang diadakan untuk melihat tercapainya tujuan dan dijadikan
sebagai masukan untuk analisis situasi berikutnya.
Evaluasi dapat dilakukan di dalam atau diluar ruangan. Evaluasi yang diadakan di dalam ruangan pada
umumnya menggunakan metode penelitian laboratorium dan sampel akan dijadikan sebagai kelompok
percobaan. Kelemahannya, realisme dari metode ini kurang dapat diterapkan. Sementara, evaluasi yang
diadakan di luar ruangan akan menggunakan metode penelitian lapangan dimana kelompok percobaan
tetap dibiarkan menikmati kebebasan dari lingkungan sekitar. Realisme dari metode ini lebih dapat
diterapkan dalam kehidupansehari-hari.
Untuk mencapai evaluasi tersebut dengan baik, diperlukan sejumlah tahapan yang harus dilalui yakni
menentukan permasalahan secara jelas, mengembangkan pendekatan permasalahan, memformulasikan
desain penelitian, melakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan data, menganalisis data yang
diperoleh, dan kemampuan menyampaikan hasil penelitian.
B. Tujuan Evaluasi
Menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 13) ada dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum diarahkan kepada program secara keseluruhan sedangkan tujuan khusus lebih difokuskan
pada masing-masing komponen. Implementasi program harus senantiasa di evaluasi untuk melihat sejauh
mana program tersebut telah berhasil mencapai maksud pelaksanaan program yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi, program-program yang berjalan tidak akan dapat dilihat
efektifitasnya.
Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru sehubungan dengan program itu tidak akan didukung oleh
data. Karenanya, evaluasi program bertujuan untuk menyediakan data dan informasi serta rekomendasi
bagi pengambil kebijakan (decision maker) untuk memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki
atau menghentikan sebuah program.
Ditinjau dari bentuk-bentuk evaluasi, maka evaluasi bertujuan untuk, evaluasi formatif untuk bertujuan
untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan, sedang evaluasi sumatif bertujuan
untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi dan lanjutan. Menurut Stufflebeam yang membagi
evaluasi kepada proactive evaluation, yakni melayani pemegang keputusan, sedangkan retroactive
evaluation bertujuan untuk keperluan pertanggungjawaban.
Jadi, evaluasi hendaknya bertujuan dalam membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu
program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan
dukungan dari stakeholders.
Salah satu tujuan evaluasi (Sujono, 2007 : 25) adalah;
1. Untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan akhir suatu periode kerja, apa yang telah dicapai, apa
yang belum dicapai, dan apa yang perlu mendapat perhatian khusus.
2. Untuk menjamin cara kerja yang efektif dan efisien yang membawa organisasi pada penggunaan
sumber daya yang dimiliki secara efesien dan ekonomis.
3. Untuk memperoleh fakta tentang kesulitan, hambatan, penyimpangan dilihat dari aspek-aspek
tertentu.
C. Fungsi Evaluasi
Adapun fungsi evaluasi program Menurut scriven (1967:225) adalah sebagai berikut:
1. Fungsi Formatif yaitu evaluasi dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang
berjalan (program, orang, produk, dsb).
2. Fungsi sumatif yaitu evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau
lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu
program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan
dukungan dari mereka yang terlibat.
3. Fungsi diagnostik yaitu untuk mendiagnostik sebuah program
Stuffebeam menyatakan ada dua fungsi evaluasi program, yaitu:
1. Proactive Evaluation yaitu evaluasi program yang dilakukan untuk melayani pemegang keputusan
2. Retroactive Evaluation yaitu evaluasi program yang dilakukan untuk keperluan pertanggung
jawaban.
Konsep Evaluasi Program Pelatihan
Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat dipakai dalam
mengevaluasi program pelatihan. Kirkpatrick, salah seorang ahli evaluasi program training dalam bidang
pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi yang diberi nama
Kirkpatrick’s training evaluation model juga menunjuk model-model
lain yang dapat dijadikan sebagai pilihan dalam mengadakan evaluasi terhadap sebuah program
training. Model-model yang ditunjuk tersebut di antaranya adalah :
Five Level ROI Model (Jack PhillPS’)
CIPP Model (Daniel Stufflebeam’s)
Responsive Evaluation Model (Robert Stake’s)
Congruence-Contingency Model (Robert Stake’s)
Five Levels of Evaluation (Kaufman’s)
CIRO (Context, Input, R eaction, Outcome)
PERT (Program Evaluation and Review Technique)
Goal-Free Evaluation Approach (Michael Scriven’s)
Discrepancy Model (Provus’s)
Dari berbagai model tersebut di atas dalam tulisan ini hanya akan diuraikan secara singkat
beberapa model. Model yang diungkapkan Djuju Sudjana (2006: 225), yaitu:
A. Evaluasi model CIPP
Konsep evaluasi model CIPP ( Context, Input, Prosess and Product)
pertama kali ditawarkan oleh Stufflebeam pada tahun 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi
ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). Konsep
tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi
adalah bukan membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
The CIPP approach is
based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but to improve
(Mad aus, Scriven, Stufflebeam, 1993: 118). Evaluasi model CIPP
dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, manajemen,
perusahaan sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program
maupun institusi. Dalam bidang pendidikan Stufflebeam menggolongkan sistem
pendidikan atas 4 dimensi, yaitu context, input, process dan product, sehingga
model evaluasi yang ditawarkan diberi nama CIPP model yang merupakan
singkatan ke empat dimensi tersebut. Nana Sudjana & Ibrahim (2004: 246) menterjemahkan
masing-masing dimensi tersebut dengan makna sebagai berikut:
1. Context : situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan
dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem
yang bersangkutan, seperti misalnya masalah pendidikan yang dirasakan, keadaan ekonomi
negara, pandangan hidup masyarakat .
2. Input: sarana/modal/bahan dan rencana strategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan.
3. Process: pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/ bahan di dalam kegiatan nyata di
lapangan.
4. Product : hasil yan g dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem
pendidikan yang bersangkutan.
B. Evaluasi model Brinkerhoff
Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama,
ada banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli evaluasi atau
evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & CS
(1993:111) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-
elemen yang sama, seperti evaluator -evaluator yang lain, namun dalam komposisi dan versi mereka
sendiri sebagai berikut :
1. Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara sistematik
sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program
disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan
diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat sebelumnya dimana
sipemakai akan menerima informasi seperti yang telah ditentukan dalam tujuan. Walaupun desain
fixed ini lebih terstuktur daripada desain emergent, desain fixed juga dapat disesuaikan dengan
kebutuhan yang mungkin berubah. Kebanyakan evaluasi formal yang dibuat secara individu dibuat
berdasarkan desain fixed, karena tujuan program telah ditentukan dengan jelas sebelumnya,
dibiayai dan melalui usulan atau proposal evaluasi. (Brinkerhoff & CS, 1993:111)
2. Formative vs Sumative Evaluation
Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu
memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat implementasi program
sedang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan atau orang-
orang program. Evaluator sering merupakan bagian dari pada program dan kerjasama dengan orang-
orang program. Strategi pengumpulan informasi mungkin juga dipakai tetapi
penekanan pada usaha memberikan informasi yang berguna secepatnya bagi perbaikan program.
Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu program
sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan suatu program tertentu akan
diteruskan atau dihentikan.
Pada evaluasi sumatif difokuskan pada variable-variabel yang dianggap penting bagi sponsor program
maupun pihak pembuat keputusan. Evaluator luar atau tim reviu sering dipakai karena evaluator internal
dapat mempunyai kepentingan yang berbeda. Waktu pelaksanaan evaluasi sumatif terletak pada akhir
implementasi program. Strategi pengumpulan informasi akan memaksimalkan validitas eksternal dan
internal yang mungkin dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama. (Nana Sudjana & Ibrahim,
2004: 246)
3. Experimental and Quasi experimental Design vs Naural/Unotrusive
Beberapa evaluasi memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal seperti ini subyek
penelitian diacak, perlakuan diberikan dan pengukuran dampak dilakukan. Tujuan dari
penelitian untuk menilai manfaat suatu program yang dicobakan. Apabila siswa atau
program dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat pada populasi yang agak lebih
luas. Dalam beberapa hal intervensi tidak mungkin dilakukan atau tidak dikehendaki.
Apabila proses sudah diperbaiki, evaluator harus melihat dokumen-dokumen, seperti
mempelajari nilai tes atau menganalisis penelitian yang dilakukan dan sebagainya.
strategi pengumpulan data terutama menggunakan instrument formal seperti tes, suvey,
kuesioner serta memakai metode penelitian yang terstandar. (Nana Sudjana & Ibrahim,
2004: 246)
C. Evaluasi model Kirkpatrick
Menurut Kirkpatrick (Djuju Sudjana 2006:246) evaluasi terh adap efektivitas program training
mencakup empat level evaluasi, yaitu: level 1 – Reaction, level 2 – Learning, level 3– Behavior, level 4 –
Result
1. Evaluating Reaction
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta
(customer satisfaction). Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa
menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka tertarik termotivasi
untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila proses training
berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari
peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas
terhadap proses training yang diikutin ya maka mereka tidak akan termotivasi
untuk mengikuti training lebih lanjut. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa
keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari minat, perhatian dan motivasi
peserta training dalam mengikuti jalannya kegiatan training. Orang
akan belajar lebih baik manakala mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan belajar.
(Djuju Sudjana 2006:247)
Kepuasan peserta training dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan,
fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan oleh instruktur,
media pembelajaran yang tersedia, jadwal kegiatan sampai menu dan penyajian konsumsi yang
disediakan. (Djuju Sudjana 2006:248)
2. Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick (1988: 20) learning can be defined as the extend to which participans
change attitudes, improving knowledge, and/or increase skill as a result of attending the program.
Ada tiga hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program training, yaitu
pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Peserta training dikatakan telah belajar apabila pada
dirinya telah mengalamai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan ketrampilan.
Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas program training maka ketiga aspek
tersebut perlu untuk diukur.
Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan ketrampilan
pada peserta training maka program dapat dikatakan gagal. Penilaian evaluating learning
ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena itu dalam
pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan satu atau lebih hal berikut:
a). Pengetahuan apa yang telah dipelajari ?, b). Sikap apa yang telah berubah ?, c). Ketrampilan apa
yang telah dikembangkan atau diperbaiki ?. (Djuju Sudjana 2006:249)
3. Evaluating Behavior
Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi terhadap
sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada perubahan
sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih bersifat internal,
sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah laku setelah
peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti training
juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat kerja, sehingga
penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.
Perubahan perilaku apa yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti program
training. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apak ah peserta merasa senang
setelah mengikuti training dan kembali ke tempat kerja?. Bagaimana peserta dapat mentrasfer
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperoleh selama training untuk
diimplementasikan di tempat kerjanya. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku
setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi terhadap
outcomes dari kegiatan training. (Djuju Sudjana 2006:249)
4. Evaluating Result
Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi
karena peserta telah mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil akhir dari
suatu program training di antaranya adalah kenaikan produksi, peningkatan kualitas,
penurunan biaya, penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja, penurunan
turnover dan kenaikan keuntungan. Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan
moral kerja maupun membangun teamwork yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi
terhadap impact program. (Djuju Sudjana 2006:250)
D. Evaluasi model Stake (Model Countenance)
Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan
membedakan adanya tiga tahap dalam program pelatihan, yaitu antecedent (context),
transaction (process) dan outcomes. Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu progr
am pelatihan, kita melakukan
perbandingan yang relatif antara program dengan program yang lain, atau perbandingan yan
g absolut yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu. Penekan
an yang umum atau hal yang penting dalam model ini adalah
bahwa evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake
mengatakan bahwa description di satu pihak berbeda dengan judgement di lain
fihak. Dalam model ini antecendent (masukan) transaction (proses) dan outcomes
(hasil) data di bandingk an tidak han ya untuk menentukan apakah ada perbedaan
antara tujuan dengan k eadaan yang sebenarnya, tetapi juga dibandingkan dengan
standar yang absolut untuk menilai manfaat program (Farida Yusuf Tayibnapis, 2000: 22).
Evaluasi Peserta Pelatihan
Evaluasi peserta pelatihan adalah evaluasi yang bertjuan untuk mengetahui dan mencari informasi
mengenai ketercapaian program pelatihan dilihat dari peningkatan kemampan atau kopetensi peserta.
(Moekijat, 1990:9).
Evaluasi Kemajuan Peserta merupakan evaluasi yang dilaksanakan untuk mengetahui peningkatan
peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui Pretest dan Post Test. (Moekijat, 1990:8).
Dari hasil Pretest dan Post Test diketahui bahwa pengetahuan yang mereka miliki dapat lebih
dikembangkan dan ditingkatkan melalui keterlibatan mereka dalam mengikuti pelatihan. Terdapat tiga
langkah evaluasi pelatihan dengan menggunakan instrumenn evaluasi dan rancangannya tergantung dari
langkah evaluasi apa yang akan dilakukan. Langkah langkah tersebut antara lain:
1. Evaluasi awal pelatihan; disediakan sebelum pelatihan dimulai dengan tujuan
untuk (1).Mengetahui reaksi peserta terhadap materi yang diberikan; (2). Mengetahui tingkat
pengetahuan atau tingkat kompetensi teknis peserta; (3). Sebagai informasi bagi pelatih.
2. Evaluasi proses pelatihan. Tujuannya adalah (1). Mengetahui reaksi peserta terhadap sebagian
atau keseluruhan program pelatihan; (2). Mengetahui hasil pembelajaran peserta; (3).
Mengantisipasi tindakan tertentu ketika diperlukan untuk mengambil langkah-langkah perbaikan.
Evaluasi program pelatihan. Tujuannya adalah (1). Mengetahui hasil pelaksanaan pelatihan dan
pengaruhnya terhadap kinerja serta masalah-masalahnya; (2) Mengetahui opini pemimpin dan bawahan
peserta mengenai hasil pelatihan; (3). Mengetahui hubungan hasil pelatihan serta dampaknya bagi
organisasi di tempat peserta bekerja. (Moekijat, 1990:20).
Evaluasi setelah pelatihan pada tingkat perilaku dalam pekerjaan sangat penting, karena belum tentu
pengetahuan dan pengalaman pembelajaran yang diperoleh dapat diterapkan dalam pekerjaan, tetapi
perilaku yang baik dalam pekerjaan merupakan gabungan dari pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Untuk mengetahui seberapa jauh peserta mengadakan perubahan perilaku dalam pekerjaan setelah
mengikuti pelatihan, evaluasi hendaknya dilaksanakan oleh beberapa pihak, antara lain: peserta sendiri,
atasan peserta, bawahan peserta, teman sekerja dan pasen serta masyarakat. (Moekijat, 1990:25).
Salah satu tehnik evaluasi setelah pelatihan yang berhubungan dengan perilaku adalah pendekatan
terhadap evaluasi, (Moekijat, 1990:27) dengan 3 langkah evaluasi:
1. Evaluasi oleh peserta segera setelah pelatihan dengan menggunakan daftar isian.
2. Evaluasi oleh peserta 4 bulan setelah pelatihan dengan menggunakan daftar isian
3. Evaluasi peserta dengan supervisornya 6 bulan setelah pelatihan dengan tehnik wawancara terpola
dan pertanyaannya meliputi: tujuan pelatihan, metoda,isi dan pendapat mengenai penerapannya.
Bagi peserta training, evaluasi training dapat memberikan feedback berupa seberapa signifikannya
training tersebut mempunyai impact bagi pekerjaannya, perubahan bagi dirinya, kecocokan program dan
manfaat-manfaat lainnya.
Ini adalah daftar berbagai aspek pelatihan yang dimasukkan ke dalam evaluasi peserta (Moekijat,
1990:30), yaitu:
Apakah tujuan pelatihan, sasaran pembelajaran, dsb, sudah terpenuhi
Pertanyaan khusus tentang kaitan dari masing-masing sesi; apakah informasi yang disampaikan
sudah sesuai dan memadai; apakah penyampaiannya diberikan dengan cara yang menarik
Bagaimana para peserta menerima dan mengambil manfaat dari setiap tugas pelatihan yang
diberikan
Apakah ada yang hilang dari pelatihan tersebut
Kualitas dan hubungan dari handout
Kenyamanan tempat pelatihan
Ruang yang diberikan dari tempat pelatihan
Suhu dan sirkulasi udara dalam tempat pelatihan
Saran-saran umum tentang tempat pelatihan (kondusif untuk pelatihan, suasana yang tenang, dsb)
Kualitas konsumsi: tepat waktu, memadai, sesuai dengan harganya
Apabila para peserta memiliki ketentuan-ketentuan pelatihan lanjutan
Evaluasi Instruktur Pelatihan
Bagi sang trainer, evaluasi tidak kalah pentingnya, yaitu dapat memberikan feedback tentang apakah
peserta puas dengan isi program training, kedalaman meteri training, caranya mengajar, caranya
mendelivery ilmunya dan sebagainya. Bukan hal yang mudah bagi seorang trainer untuk dapat
memuaskan seluruh pesertanya, bisa dibayangkan, jika dalam sebuah kelas pelatihan, jumlah peserta 10,
20, 30 bahkan mungin 500 peserta, sang trainer dituntut untuk dapat bertindak secara efektif dan efisien
agar seluruh materi dapat terserap dan seluruh peserta puas dengan caranya mentransfer seluruh isi
materi. Seorang trainer dituntut mampu memainkan peran sebagai seorang trainer, coach, guru, fasilitator,
entertainer, pendongeng atau bahkan mungkin sebagai pelawak. (Moekijat, 1990:35).
Jadi, aspek yang dinilai untuk instruktur atau fasilitator meliputi: Penguasaan atas materi yang diajarkan
dan Kemampuan dalam menyajikan materi.
Contoh Instrument Evaluasi Peserta Dan Instruktur Pelatihan
Sumber : http://www.hrd-
forum.com/HRDIndonesia/Article/evaluasi-training
Kesimpulan
Pelatihan merupakan salah satu kunci untuk membawa seseorang atau suatu organisasi menjadi lebih baik
dan efektif dalam mencapai tujuannya. Evaluasi yang dilakukan pada setiap program adalah evaluasi
terhadap aspek-aspek yang menunjukkan respon selama pelatihan berlangsung.
Evaluasi peserta merupakan suatucara untuk mengetahui peningkatan pengetahuan dan
keterampilan melalui Pretest dan Post Test. Bagi peserta training, evaluasi training dapat memberikan
feedback berupa seberapa signifikannya training tersebut mempunyai impact bagi pekerjaannya,
perubahan bagi dirinya, kecocokan program dan manfaat-manfaat lainnya.
Evaluasi istruktur pelatihan adalah untuk memberikan feedback tentang apakah peserta puas dengan isi
program training, kedalaman meteri training, caranya mengajar, caranya mendelivery ilmunya dan
sebagainya.
Referensi:
Moekijat. (1990). Evaluasi Pelatihan Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas Perusahaan.Bandung:
Penerbit Mandar Maju.
Marzuki, M.S. (1992). Strategi dan Model Pelatihan. Malang : IKIP Malang.
Franco, EA. (1991). Training. Quizon City: kalayan Press Mktg Ent Inc.
Nawawi, H, (1997). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.
Arikunto, Suharsini dan Safruddin, Cepi. (2004). Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis
Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Wikipedia. Evaluasi. [Online]. Tersedia di : http://id.wikipedia.org/wiki/Evaluasi (13 April 2012)
Sudijono, A. (2007). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudjana. (2004). Manajemen Program Pendidikan, untuk pendidikan Non Formal dan Pengembangan
Sumber daya Manusia. Bandung: Falah Production
Nana Sudjan a & Ibrahim. (2004).Penelitian dan penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Kirkpatrick, D.L.(2005).Kirkpatrick’s training evaluation model. Diambil pada tanggal 23 Sepember
2005, dari http://www.businessballs. com/ Kirkpatrick learningevaluationmodel.htm
Home / Pengertian dan Definisi / Intervensi Adalah ? (Pengertian Intervensi)
Pengertian Intervensi
Intervensi adalah tindakan memasukkan satu hal antara lain, seperti orang yang mencoba untuk
membantu. seseorang lainnya bisa menjadi subyek dari intervensi sekolah misalkan jika guru
kamu memanggil orang tua kamu untuk memberi tahu tentang nilai-nilai buruk, maka kamu dengan
cepat akan bersembunyi. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia "Intervensi adalah campur
tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya) dan dalam bahasa
kedokteran Intervensi adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan atau mengubah penyebaran penyakit."
Dalam Bidang Hukum Intervensi adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang untuk masuk ke
dalam gugatan sudah berlangsung; pengakuan orang bukan partai asli untuk gugatan itu sehingga orang
yang dapat melindungi beberapa hak atau kepentingan yang diduga dipengaruhi oleh proses
Pengertian Intervensi Menurut Pakar dan Ahli
Slamet dan Markam (2003:135) mengemukakan bahwa Intervensi adalah suatu metode untuk mengubah
perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang. Trull (2005 : 292) mengemukakan bahwa psikologi intervensi
adalah sebuah metode yang dapat mengubah tingkah laku, pikiran, dan perasaan seseorang. Himpsi (2010
: 114) mengemukakan bahwa intervensi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana berdasar hasil asesmen untuk mengubah keadaan seseorang, kelompok orang atau masyarakat
yang menuju kepada perbaikan atau mencegah memburuknya suatu keadaan atau sebagai usaha
Intervensi Individual
Mappiare (2010 : 167) mengemukakan bahwa psikoterapi individual adalah penempatan individual
pasien/klien sebagai sasaran penyembuhan dalam seting hubungan antarpribadi dengan terapis.
Pomerantz (2013 : 365) mengemukakan bahwa intervensi individual merupakan terapi yang berfokus
pada hubungan interpersonal. Pomerantz (2013 : 476) mengemukakan bahwa intervensi individual
merupakan terapi yang terbatas pada interaksi dua orang antara klien dan terapis. Sedangkan intervensi
kelompok memungkinkan jaringan hubungan yang jauh lebih kompleks untuk berkembang.
Plante (2005 : 275) mengemukakan bahwa intervensi individual merupakan metode yang terlatih dan
metode yang paling umum dalam psikoterapi. Intervensi individual merupakan kegiatan psikoterapi yang
melibatkan seorang ahli terapi yang menjadi penolong bagi kliennnya yang mengalami masalah, tingkah
laku, kualitas hidup dan lain-lain. Psikoterapi individual digunakan untuk mendiskusikan dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan melibatkan interaksi antara seorang ahli terapi dan si klien.
Kaplan, Sadock, dan Grebb (2010 : 434) mengemukakan bahwa psikoterapi individual adalah dalam
terapi individual pasangan yang menikah diperiksa oleh ahli terapi yang berbeda, yang tidak
berkomunikasi satu sama lain dan mungkin tidak saling mengetahui satu sama lainnya. Tujuan dari terapi
ini adalah untuk memperkuat kapasitas adaptif masing-masing pasangan.
Intervensi Kelompok
Plante (2005 : 277) mengemukakan bahwa intervensi kelompok merupakan psikoterapi yang dibentuk
dengan ukuran, tujuan, dan teknik yang beranekaragam sehingga dapat memberikan feedback dari
anggota kelompok. Trull (2005 : 411) mengemukakan bahwa intervensi kelompok merupakan terapi yang
dilakukan dengan teknik atau desain kelompok berdasarkan psikoanalitik. Fithriyah dan Jauhar (2014 :
221) mengemukakan bahwa intervensi kelompok merupakan terapi yang diberikan kepada individu yang
memiliki penyakit emosional yang telah dipilih secara cermat yang kemudian ditempatkan kedalam
kelompok yang dibimbing oleh ahli terapi yang sudah terlatih untuk membantu satu sama lainnya dalam
menjalani perubahan kepribadian.
Intervensi Komunitas
Slamet dan Markam Sumarmo (2003 : 165) mengemukakan bahwa psikologi komunitas merupakan
sebagai pendekatan terhadap kesehatan mental yang menekankan pada peran daya lingkungan dalam
menciptakan dan mengurangi masalah. Psikologi komunitas termasuk dalam bagian dari psikologi sosial.
Kaplan, Sadock, dan Grebb (2010 : 433) mengemukakan bahwa intervensi komunitas dapat dikatakan
juga sebagai terapi jaringan kerja sosial yang dikumpulkan bersama komunitas atau jaringan kerja sosial
pasien yang terganggu.
Prawitasari (2012 : 181) mengemukakan bahwa intervensi pada tingkat komunitas akan mendukung
proses terapiutik bagi individu dan keluarga, dan sebaliknya, intervensi individual dan keluarga akan
mendukung keberhasilan proses rekonstruksi komunitas. Plante (2005 : 291) mengemukakan bahwa
Terapi komunitas biasanya menggunakan pendekatan psychoeducational, memberikan pendidikan,
pelatihan keterampilan-bangunan, dan dukungan untuk mereka yang berisiko untuk atau sudah berjuang
dengan jiwa yang signifikan, medis, atau masalah lainnya.
Bloom (Slamet dan Markam, 2003 : 166) mengemukakan terdapat perbedaan antara layanan psikologi
tradisional dengan layanan pendekatan kesehatan mental komunitas (Community Mental Health)
penekanan pendekatan kesehatan mental komunitas adalah :
1. Intervensi dalam komunitas
2. Intervensi dilakukan dalam populasi terbatas, misalnya high-risk population
3. Penekanan pada pencegahan
4. Promosi pelayanan tak langsung, seperti mengadakan konsultasi dan pelatihan
5. Pelaksanaan oleh ahli dari berbagai bidang ilmu dan awam.
Slamet dan Markam (2003 : 167) mengemukkan terdapat dua konsep yang sangat melekat pada
pendekatan psikologi komunitas, yaitu pencegahan dan pemberdayaan. Pencegahan gangguan jiwa
bertujuan untuk menghemat biaya perawatan penderita. Pemberdayaan manusia dalam masyarakat
bertujuan untuk mempertahankan kesehatan dan mencegah penyakit jiwa.
Referensi :
Slamet, S., Markam. (2003). Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta : UI Press
Kamus KBBI
Pengukuran Baseline
Tahap pertama dari rancangan subjek tunggal melibatkan pengumpulan dan pencatatan baseline
data. Baseline Data adalah ukuran tingkat perilaku (variabel dependen) seperti itu terjadi secara alami,
sebelum intervensi. Kazdin (1982,1998) menyatakan bahwa baseline data melayani dua fungsi. Pertama,
data baseline melayani fungsi deskriptif. Data ini menggambarkan tingkat kinerja siswa yang ada. Bila
data yang digambarkan, mereka memberikan gambaran kemampuan siswa perilaku saat ini untuk
menyelesaikan masalah atau kemamuan aslinya banyak bicara. Tujuannya dapat membantu guru dalam
memverifikasi atau mengurangi dan meningkatkan perilakunya (banyak bicara).
Kedua, data baseline melayani fungsi “prediktif " Baseline data berfungsi sebagai dasar untuk
memprediksi tingkat kinerja untuk waktu dekat jika intervensi tersebut tidak
diberikan "(Kazdin, 1982, hal 105) Untuk menilai keberhasilan intervensi (yang independen.
variabel), guru harus tahu apa kinerja murid seperti sebelum intervensi. Baseline data melayani tujuan
yang sama dengan sebuah pretest. "predikasi dicapai dengan memproyeksikan ke masa depan kelanjutan
kinerja baseline " (hal. 105). Hal ini melawan proyeksi bahwa dampak intervensi dinilai.
Tahap awal sesi berlanjut untuk beberapa saat sebelum fase intervensi dimulai. Dalam banyak
kasus, setidaknya lima dasar titik data dikumpulkan dan diplot. Sejauh mana pengumpulan data dasar
dipengaruhi oleh karakteristik tertentu dari titik data.
Karena data dasar yang akan digunakan untuk menilai keefektifan intervensi guru, penting bahwa
baseline menjadi stabil, menyediakan sampel yang representatif terjadinya perilaku yang alami.
Kestabilan data dasar dinilai oleh dua karakteristik: variabilitas dari titik-titik data dan kecenderungan di
titik data. Variabilitas data mengacu pada fluktuasi dalam kinerja siswa. "Sebagai aturan umum, semakin
besar variabilitas dalam data, semakin sulit untuk menarik kesimpulan tentang efek intervensi "(Kazdin,
1982, hal 109) dan untuk membuat proyeksi tentang kinerja yang akan datang. Ketika baseline tidak
stabil, hal pertama yang harus diperiksa adalah definisi perilaku target. Tidak stabilnya baseline
menunjukkan bahwa definisi operasional perilaku target tidak cukup deskriptif untuk memungkinkan
keakuratan dan konsisten perekaman atau karena kolektor datanya tidak konsisten pada prosedur
pengumpulan data.
Dimana variabel dapat dikontrol dengan seksama, kriteria penelitian yang berorientasi untuk
adanya variabilitas akan titik data dalam kisaran 5% dari variabilitas (Sidman, 1960), kriteria terapi
sebesar 20% telah disarankan (Repp, 1983). Namun, masalah penelitian murni mungkin kurang penting
dari modifikasi cepat perilaku, kami menyarankan lebih longgar parameter variabilitas 50%. Jika
variabilitas melebihi 50%, teknik statistik untuk perbandingan kinerja harus digunakan (Barlow &
Hersen, 1984). Sebuah baseline dapat dianggap stabil jika tidak ada titik data baseline bervariasi lebih
dari 50% dari rata-rata, atau rata-rata, dari baseline. Gambar 5-1 menggambarkan prosedur untuk
menghitung stabilitas suatu dasar berdasarkan kriteria ini.
Trend dalam data mengacu indikasi adanya arah tertentu dalam kinerja perilaku.
Trend didefinisikan sebagai tiga data berturut-turut bergerak kea rah yang sama (Barlow & Hersen,
1984). Bisa menunjukkan kecenderungan, kecenderungan meningkat, atau kecenderungan menurun.
Gambar dibawah ini menggambarkan dua jenis kecenderungan meningkat dan menurun.
Gambar Kecenderungan meningkat
(Ascending Baseline)
•
•
•
•
Gambar Kecenderungan menurun
(Descending Baseline)
•
•
Gambar 5-4
Grafik Desain AB
Data dari table 5-1
Baseline Intervention
“A” “B”
10
9
8
7 •
6 • •
5 •
4 •
3
2 • •
1 • •
0 •
Senssions
Aplikasi Desaign
Dasar Desain AB tidak sering ditemukan dalam literatur penelitian karena tidak bisa menilai untuk
hubungan fungsional. Desain tidak menyediakan untuk replikasi dalam suatu percobaan yang membentuk
hubungan fungsional. Schoen dan Nolen (2004) menggunakan rancangan AB untuk menggambarkan
hasil intervensi yang dirancang untuk mengurangi perilaku off-task seorang anak kelas enam dengan
ketidakmampuan belajar.
Menggambarkan penurunan jumlah menit dia off-task dari awal melalui fase intervensi.
Bagaimanapun orang tidak bisa, mengasumsikan hubungan fungsional antara variabel dependen (off-task
perilaku) dan variabel independen (self-manajemen checklist) karena desain AB tidak menyediakan untuk
manipulasi berulang (penggunaan dan penghapusan) dari variabel independen.
Kelebihan dan Kelemahan
Keuntungan utama dari desain AB adalah kesederhanaannya. Guru berarti cepat membandingkan
perilaku siswa sebelum dan sesudah pelaksanaan beberapa intervensi atau prosedur instruksional,
membuat instruksi yang lebih sistematis.
Kerugian dari desain AB adalah tidak dapat digunakan untuk membuat asumsi yaitu hubungan
fungsional. Meskipun data mungkin menunjukkan peningkatan atau penurunan dalam perilaku selama
fase intervensi, sehingga menunjukkan efektivitas intervensi, desain ini tidak menyediakan untuk
replikasi dari prosedur. Oleh karena itu, desain AB rentan terhadap variabel pengganggu atau peristiwa
kebetulan.
REVERSAL DESAIGN (DESAIGN PEMBALIKAN)
Desain pembalikan digunakan untuk menganalisis efektivitas independen tunggal
variabel. Sering disebut sebagai desain ABAB, desain ini melibatkan sekuensial
aplikasi dan penarikan intervensi untuk memverifikasi efek intervensi terhadap perilaku. Dengan berulang
kali membandingkan data baseline data yang dikumpulkan selama aplikasi
dari strategi intervensi, peneliti dapat menentukan apakah suatu hubungan fungsional
ada antara variabel dependen dan independen.
Implementasi
Desain pembalikan memiliki empat fase: A, B, A, dan B:
· A (baseline 1): baseline awal selama data dikumpulkan pada perilaku sasaran dalam kondisi yang ada
sebelum pengenalan dari intervensi.
· B (intervensi 1): pengenalan awal dari intervensi yang dipilih untuk mengubah perilaku sasaran.
Intervensi terus sampai tercapainya target kriteria perilaku atau kecenderungan ke arah yang diinginkan,
perubahan perilaku dicatat.
· A (baseline 2): kembali ke kondisi dasar asli, dicapai dengan menarik atau mengakhiri intervensi.
· B (intervensi 2); membangkitkan kembali prosedur intervensi.
Data dikumpulkan dengan menggunakan desain pembalikan dapat diperiksa untuk hubungan
fungsional antara variabel dependen dan independen. Gambar 5-6 menunjukkan hubungan fungsional
antara variabel dependen dan independen, dikatakan ada jika set kedua pengembalian baseline data ke
tingkat dekat dengan rata-rata dalam fase awal A atau jika sebuah kecenderungan yang jelas dalam kedua
A fase di arah berlawanan dari fase B pertama. Gambar 5-7 tidak menunjukkan adanya hubungan
fungsional.
Figure 5-6
Pembalikan desain grafik yang menunjukkan
hubungan fungsional antara variabel
Baseline. Intervensi, Baseline, Interevensi
“A”, “B”, “A”, “B”
• •
• •
• •
• • • •
• •
•
• • • •
• •
Sesi
Figure 5-6
Pembalikan desain grafik yang tidak menunjukkan
hubungan fungsional antara variabel
Baseline. Intervensi, Baseline, Interevensi
“A”, “B”, “A”, “B”
• • • • •
• • •
• •
•
• •
•
• • •
• •
Sesi
Cooper (1981, hal 117) menyatakan bahwa peneliti perlu tiga lembar bukti sebelum
mereka dapat mengatakan bahwa hubungan fungsional menunjukkan: (1) prediksi: pernyataan
instruksional bahwa variabel independen tertentu akan mengubah variabel dependent-misalnya,
penggunaan kontingen token untuk meningkatkan jumlah soal matematika Michael; (2) verifikasi
prediksi: kenaikan (atau penurunan) dalam variabel dependen selama fase intervensi pertama, dan
kembali ke tingkat dasar perkiraan kinerja pada tahap kedua A; dan (3) replikasi berlaku: reintroduksi
variabel independen selama fase B kedua menghasilkan lagi dalam perubahan yang diinginkan yang sama
dalam perilaku.
Desain pembalikan adalah desain penelitian yang memungkinkan guru untuk mengasumsikan
hubungan fungsional antara variabel independen dan dependen. Baseline kedua dan fase intervensi,
dengan kondisi yang sama dengan yang pertama, memberikan kesempatan untuk replikasi dari efek
intervensi terhadap perilaku sasaran. Hal ini tidak mungkin bahwa variabel pengganggu akan ada
bersamaan dengan aplikasi berulang-ulang dan penarikan variabel independen. Bagaimanapun desain
pembalikan, tidak selalu pilihan yang paling tepat. Desain pembalikan tidak boleh digunakan dalam
kasus-kasus berikut:
1. Ketika perilaku target adalah berbahaya, seperti perilaku agresif diarahkan kepada siswa lain atau
perilaku yang merugikan diri sendiri. Karena desain pembalikan panggilan untuk kondisi baseline kedua
dilakukan setelah perubahan perilaku sasaran, pertimbangan etis akan melarang menarik teknik intervensi
sukses.
2. Ketika perilaku sasaran tidak reversibel. Banyak teori perilaku, misalnya, tidak reversibel, karena
perubahan perilaku berhubungan dengan proses belajar. Dalam kondisi seperti itu, kembali ke baseline
kinerja tidak layak. Misalnya: Pengetahuan bahwa 4 x 3= 12, tidak mungkin "salah belajar ."
Tampilan Grafis
Desain pembalikan menjelaskan untuk empat tahap yang berbeda pengumpulan data. Gambar 5-8
menggambarkan desain pembalikan dasar. (Perhatikan bahwa ABAB berasal dari label setiap periode
dasar sebagai fasa A dan setiap periode intervensi sebagai fase B)
Variasi Desaign
Variasi dari desain pembalikan dapat ditemukan dalam literatur. Variasi pertama tidak
tidak melibatkan perubahan dalam struktur desain, tetapi hanya lebih pendek basis awal periode (A). Ini
format desain sesuai ketika masa dasar panjang tidak etis, seperti ketika perilaku berbahaya, atau tidak
meminta, seperti dalam kasus seorang mahasiswa yang tidak mampu melakukan perilaku target gelar
apapun.
Sebuah variasi kedua dari desain pembalikan menghilangkan garis awal seluruhnya. Variasi BAB
dianggap jika perilaku target jelas bukan dalam repertoar siswa. Ketika desain ini digunakan, hubungan
fungsional antara variabel dependen dan independen dapat ditunjukkan hanya pada intervensi kedua
(tahap B).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah Usaha terpadu untuk memanusiakan manusia muda, membentuk karakter
sehingga peserta didik menjadi cendekiawan berpribadi dan berkeutama,an, dengan kata lain pendidikan
adalah proses humanisasi. (Bambang Sugiharto, 2008). Dengan mengolah potensi-potensi yang dimiliki
oleh manusia untuk lebih manusiawi.
Pendidikan pada dasarnya lahir di Mesir Kuno, kegiatan pembelajaran tidak dilakukan dalam ruang-
ruang kelas seperti Sekolah Modern sekarang, akan tetapi dilaksanakan dilapangan terbuka mirip
kampanye atau rapat akbar sa,at ini, institusi sekolah sa,at ini merupakan wahana yang di pergunakan
sebagai tempat berlangsungnya proses pemupukan pengetahuan, keterampilan dan sikap guna
mewujudkan segenap potensi yang ada dalam diri seseorang (siswa). sekolah tidak serta merta muncul
dari ruang hampa, tetapi menjelma melalui pergulatan panjang dengan proses sosio-historisnya.
Untuk mengikuti proses Pendidikan sudah menjadi harapan dan cita-cita bagi semua ummat
manusia, tak peduli lagi keadaan ekonomi lemah, pendidikan sudah seperti raja dalam kehidupan
manusia, dengan harapan melalui pendidikan anak didik bisa di bentuk dan di bekali pengetahuan dan
keterampilannya sehingga ia menjadi manusia yang bermanfa,at untuk orang banyak, menjaga dan
menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Berangkat dari itu Kurikulum merupakan langkah konkrit untuk menjemput impian pendidikan
dalam memanusiakan manusia itu sendiri, sebab kurikulum adalah alat untuk membentuk watak dan sifat
anak didik dan di dalam kurikulum terdapat aturan-aturan proses belajar dan mengajar. Kurikulum adalah
rencana pelajaran (A Plan For Learning) yang di berikan kepada guru untuk di terapkan pada peserta
didik agar anak didiknya bisa menjadi manusia yang terampil, inovatif, kreatif serta aktif dalam
menjawab polemik berkehidupan. (Hilda Taba, 1962) dalam (S. Nasution, 1994).
Maka dapat kita analisis jika kurikulum tidak diberlakukan untuk kepentingan Pendidikan.
Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang di
sediakan di sekolah dan untuk anak didik, rancangan ini dimaksud dengan untuk memberikan pedoman
kepada para pelaksana pendidikan dalam proses perkembangan pembimbingan belajar anak didik yang
sesuai dengan cita-cita anak didik, keluarga dan masyarakat sekitar.
Ruangan kelas merupakan tempat untuk melaksanakan sekaligus menguji Kurikulum yang berusaha
di terapkan, di sekolah pula guru di uji kemampuan dengan melihat penguasaan materi, pengetahuan, dan
metode mengajar dalam upaya mewujudkan bentuk Kurikulum yang nyata dan hidup, untuk mewujudkan
itu maka membutuhkan guru yang benar-benar paham tentang keprofesionalitasannya dalam mengemban
tugas yang di berikan.
Kerangka Kerja Pengembangan Kurikulum
Persiapan Anak Didik Tujuan Pendidikan Kebutuhan
Standar
Kompetensi. Lulusan (SKL). Satuan Pendidikan.
Struktur Kurikulum
(Standar Isi)
Silabus
IMPLEMENTASI
Kerangka Kerja Pengembangan Kurikulum. (Herry Widyastono, 2014).
B. Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini di rumuskan sebagai
berikut :
1. Apakah kekurangan dari Perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di SMP Negeri 2 Pabelan
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo ?
2. Bagaimanakah keunggulan dari Perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di SMP Negeri 2
Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo ?
3. Adakah langkah alternatif tindakan Perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di SMP Negeri 2
Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusam masalah di atas, maka Tujuan dari Penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan kekurangan dari perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di SMP
Negeri 2 Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo
2. Untuk mendeskripsikan keunggulan dari perkembangan Kurikulum IPA terpadu Kelas VII di SMP
Negeri 2 Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo
3. Untuk mendeskripsikan langkah alternatif tindakan perkembangan Kurikulum IPA Terpadu Kelas VII di
SMP Negeri 2 Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.
D. Manfaat Penelitian
Di lihat dari penjelan di atas maka penelitian dapat memberikan manfa,at Penelitian secara Praktis
dan Teoritis
1. Secara Praktis
a. Bila ditemukannya kekurangan dari perkembangan Kurikulum 2013 IPA Terpadu maka akan dapat
bermanfaat untuk tenaga pendidik dalam memperbaiki implementasi Kurikulum 2013.
b. Bila ditemukannya kelebihan dari perkembangan Kurikulum 2013 IPA Terpadu maka akan dapat
memberikan ilmu pengetahuan baru kepada tenaga pendidikan untuk mengatur/mendesain sekaligus
mengevaluasi kecerdasan dan behavior anak didik dengan melandaskan kurikulum 2013 ipa terpadu di
keadaan dan situasi yang di tentukan.
c. Bila ditemukannya langkah atau tindakan alternatif dalam perkembangan Kurikulum 2013 maka akan
dapat di gunakan sebagai pembentukan karakter anak didik, dengan upaya membentuk karakter anak
didik yang kreatif, inovatif dan produktif dan afektif dalam menelaah konsep kehidupan berlingkungan,
berbangsa dan bernegara.
2. Secara Teoritis
Manfaat teoritis dari Penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu manajemen Pendidikan terutama
pada aspek perkembangan Kurikulum 2013 yang mengkhususkan pada mata pelajaran IPA Terpadu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kurikulum Di Indonesia
Ketidak puasan dengan hasil Kurikulum yang ada memaksa untuk membuat Kurikulum yang baru
dalam rangka menghasilkan peserta didik yang benar. sejarah pengembangan Kurikulum di Indonesia
sering terdapat pendirian yang berbeda-beda dan sering bertentangan, akan tetapi mengajukan Kurikulum
yang ekstrim sering mendiskreditkan Kurikulum yang sudah ada hanya karena ingin menyempurnakan
Kurikulum sesudah di berlakukan otonimi daerah padahal Kurikulum sebelum otonomi daerah juga
memiliki kebaikan untuk yang benar.
Kurikulum yang pernah di berlakukan di Indonesia adalah Kurikulum 1968, Kurikulum1975 dan
Kurikulum 1984 Berbasis Materi (Content-Based Curiculum), Kurikulum 1994 Berbasis Pencapaian
Tujuan (Objective-Based Curiculum), Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi (Competency-Based
Curiculum), Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). (Nurhadi, 2006).
Istilah Kurikulum di katakan baru menjadi populer di Indonesia berkisar tahun lima puluhan yang di
populerkan oleh mereka yang memperoleh Pendidikan di Amerika Serikat yang di kenal dengan rencana
pelajaran (a plan for learning). (S. Nasution, 1994).
Seiring perkembangan Zaman dan sejak Kemerdekaan Indonesia perubahan Kurikulum sudah di
lakukan 11 (sebelas) kali dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, 8 kali terjadi sebelum Era
Otonomi Daerah dan 3 kali setelah Otonomi Daerah. (Herry Widyastono, 2014). Diantaranya :
1. Kurikulum 1947, Kurikulum ini dulunya bukan dikatakan sebagai kurikulum, hanya di bahasakan
sebagai Rentjana Pelajaran terurai Sekolah Dasar yang dalam Bahasa Belanda di sebut leer plan.
2. Pada Tahun 1964, Pemerintah menyempurnakan Kurikulum 1947 dengan di tambah nama menjadi
Kurikulum Rentjana Pendidikan Sekolah Dasar 1964.
3. Di Tahun 1968, Pemerintah menyempurnakan Kurikulum 1964 dengan Kurikulum baru yaitu
Kurikulum 1968 Kurikulum 1968 bertujuan membentuk manusia pancasilais sejati, sehat jasmani, kuat,
mempertinggi kecerdasan dan moral, budi pekerti serta keyakinan beragama.
4. Kurikulum 1973 atau Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), dengan adanya PPSP di rintis
sebagai sekolah Laboratorium namun karna hasil dari kebijakan pembiayaan Pendidikan yang terlalu
mahal sehingga tidak layak untuk didesiminasikan secara nasional.
5. Kurikulum 1975, Kurikulum ini menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif,
dengan di pengaruhi oleh bidang manajemen yaitu manjemen by objective.
6. Kurikulum 1984 atau Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) adalah Kurikulum yang cara
belajarnya di dapatkan dari pengalaman, dengan harapan agar pengetahuan yang di dapatkan lewat
pengalaman tetap akan di ingat.
7. Kurikulum 1994, yaitu dengan pembagian waktunya dalam satu tahun menjadi 3 periode atau dari
semester ke caturwulan, lewat upaya ini agar orang tua siswa dapat melakukan introspeksi untuk
memberikan perhatian penuh dan sedini mungkin dalam menanggapi hasil belajar anaknya.
8. Kurikulum 1999 (Kurikulum yang di sempurnakan dari Kurikulum 1994) dalam kurikulum ini
pembelajaran adalah mengembangkan pengetahuan (Kognitif), keterampilan (Psikomotorik) dan sikap
(Afektif).
9. Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2004 merupakan embrio dari
Kurikulum 2006. yang diberikan hak kepada sekolah untuk mengembangkan Kurikulum yang sesuai
dengan kondisi sekolah dan kebutuhan anak didik (di berlakuan ketika otonomi daerah).
10. Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). prinsip pengembangan
Kurikulum 2006 yang di katakan oleh Depdiknas (2006) perpusat pada : (Pertama) Potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungan. (Kedua) Beragam dan terpadu
(Ketiga) Tanggap terhadap ilmu pengetahuan, tekhnologi dan seni. (Ke-empat) Relevan dengan
kebutuhan kehidupan. (Kelima) Univer dan kontinyu. (Ke-enam) Belajar sepanjang hayat. (Ketujuh)
Seimbang antara kepentingan Nasional dan Daerah dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara.
11. Kurikulum 2013 Berbasi Kompetensi, berbicara tentang pembentukan karakter berbasis kompetensi
pengetahuan dalam menanamkan value transenden dan mewujudkan attitud dan aptitud yang behavior
akhlaktul kharimah.
Kurikulum selalu menjadi pembahasan, Kurikulum selalu menjadi perdebatan, akan bagaimana arah
Pendidikan kedepan dan untuk siapa Kurikulum itu di buat dan di berlakukan, setiap terjadi
pengembangan Kurikulum guru beserta orang tua siswa selalu mengeluh karena Kurikulum selalu di
ubah.
Kurikulum bukan bahan mentah yang dalam keadaan kapan dan di manapun siap saji. maka
kewajiban semua element yang prihatin pada pendidikan untuk menjelaskan pentingnya Kurikulum itu di
kembangkan. Kurikulum adalah program yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) untuk siswa
yang berbicara tentang metode, isi, tujuan, dan evaluasi dalam pembelajaran. (Oemar Hamalik, 2012).
Berangkat dari itu tujuan dari Kurikulum 2013 adalah untuk menghasilkan insan yang mampu
berkarya (produktif), pembaharu (inovatif), memiliki rasa kasih sayang (afektif) dan kreatif melalui sikap,
keterampilan dan pengetahuan yang penyatuannya menjadi satu kesatuan yang utuh (integratif). (E.
Mulyasa, 2014).
Kurikulum 2013 adalah Kurikulum tindak lanjut dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang
pernah di implementasikan pada Tahun 2004. (E. Mulyasa, 2014). Kompetensi yang harus dimiliki oleh
siswa Yaitu “merupakan penyatuan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang di refleksikan
dalam kebiasaan berfikir dan bertindak”. (Nurhadi, 2004) pendidik secara konsisten dan terus menerus
(kontinu) merefleksikan pikiran dan tindakan anak didik untuk menjadikan siswa yang berkompeten
dalam memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar dalam menjawab tantangan bangsa.
2. Pengembangan Dan Implementasi Kurikulum
a. Pengembangan Kurikulum.
Pengembangan Kurikulum merupakan suatu proses yang kompleks, mulai dari Proses Tujuan
Pendidikan sampai pada Proses Evaluasi yang melibatkan berbagai komponen yang saling terkait yaitu
para ahli Pendidikan atau ahli Kurikulum, ahli bidang ilmu, Pendidik dan atau pejabat Pendidikan.
Pengembangan Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting. Dalam
dari pada itu, Perkembangan Kurikulum 2013 di dasari oleh Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010
tentang rencana (Plan) Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 atas perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. (Herry Widyastono, 2014)
Berangkat dari itu Mengembangkan Kurikulum pun tidak boleh terlepas dari tujuan Pendidikan, isi
Pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran dan kegiatan penilaian (evaluasi) dan
Gurulah yang berperan penting dalam hal itu. (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997).
menjelaskan Tujuan Pendidikan bersumber dari sistim nilai pancasila yang di rumuskan dalam
undang-undang No. 20 Tahun 2013 Pasal 3 dengan memiliki Tujuan untuk mengembangkan potensi anak
didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Wina Sanjaya, 2014).
Berkenaan dengan isi Pendidikan, isi Pendidikan yang di upayakan harus sesuai dengan kebutuhan
Pendidikan yang telah di tentukan para perencana Kurikulum. Perecanaan Kurikulum berkenaan dengan
Proses Belajar Mengajar (PBM), proses belajar mengajar yang di gunakan sekiranya memperhatikan
metode, tekhnik belajar-mengajar, sarana dan prasarana. dalam proses belajar mengajar pun perlu di
dukung oleh media atau alat pengajaran serta melakukan penilaian dalam upaya pengevaluasian.
Perkembangan Kurikulum dilakukan untuk mewujudkan insan manusia yang berwawasan luas dan
berkarakter Pancasilais. Untuk itu sangat di harapkan kelihaian pendidik (teacher) untuk menanamkan
benih-benih nilai hidup, konsep diri dalam membentuk karakter berfikir, membangun bangsa,
membangun prinsip hidup, mengejar cita-cita dengan menuntun pada falsafah Bangsa.
Perumusan tujuan Pendidikan bersumber pada ketentuan dan kebijakan Pemerintah, melalui survei
mengenai persepsi orang tua siswa/ masyarakat tentang kebutuhan mereka, apakah itu hasil survei melalui
tulisan atau lisan didukung dari pandangan para ahli Pendidikan dengan di sembari survei Kurikulum
Negara-Negara lain yang memiliki masalah dalam pengimplementasian dan pengembangannya.
Jika cara itu dilakukan secara sistematis sesuai dengan aturan dalam menyempurnakan Kurikulum
maka yakin dan pasti Kurikulum tidak akan ada ketidak nyamanan orang tua siswa atau mayarakat dan
guru untuk menerima perkembangan Kurikulum, justru para guru atau Pendidik akan legowo dalam
menerima dan menelaah penerapan Kurikulum yang baru di kembangkan.
b. Implementasi Kurikulum
Setiap Kurikulum memiliki cara Implementasi yang berbeda namun tujuannya sama yaitu untuk
menghasilkan manusia Indonesia yang pancasilais dan itu sangat diharapkan kepada guru untuk bekerja
ekstra dan profesional dalam mendidik anak didik. Guru harus merancang pembalajaran afektif dan
bermakna (Menyenangkan), mengorganisasikan pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran yang
tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi secara efektif serta menetapkan
kriteria keberhasilan. (E. Mulyasa, 2013).
Dalam hal ini guru di anjurkan untuk memahami 4 Metode Pembelajaran : (Pertama), Metode
Ceramah menyampaikan materi secara lisan atau penjelasan langsung. (Ke Dua), Metode Diskusi, metode
ini membutuhkan perencanaan dan persiapan secara matang, untuk mendapatkan pengetahuan baru
metode ini menghadapkan siswa pada suatu permasalahan dan di selesaikan dengan pengalaman untuk
menarik keputusan tertentu secara bersama.
Secara univer metode diskusi memiliki 2 jenis: (1).diskusi kelompok. (2).diskusi kelompok kecil,
yang setiap kelompok terdiri dari 3-7 orang. (Ke Tiga), Metode Demonstrasi adalah metode penyajian
pelajaran, untuk memudahkan pembelajaran guru menggunakan peragakan atau alat. (Ke Empat), Metode
Simulasi (simulate) adalah cara belajar dengan menggunakan situasi tiruan agar secara cepat dan tepat
memahami pelajaran. (Wina Sanjaya, 2014).
Lanjut dari itu Pengimplementasian Kurikulum harus dilihat dari situasi dan kondisi sekolah yang
menganjurkan semua elemen berperan aktif dalam mencerdaskan dan memberikan pendidkan karakter
anak didik yang akuntabel dan berprilaku pancasilais. Pendidikan karakter merupakan upaya
menanamkan nilai-nilai sosial, etika, moral atau budi pekerti dengan tujuan terbentuknya karakter yang
baik. (Zubaedi, 2013).
Jiwa Pancasilais adalah jiwa yang ta,at kepada Tuhan Yang Maha Esa dan saling menghargai antara
sesama agama, tdk semena-mena terhadap orang lain dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan sekaligus
merasa bahwa bangsa indonesia adalah bagian dari dirinya, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara, cinta akan tanah air, mengutamakan kepentingan bangsa dan segala persoalan bangsa di
selesaikan secara musyawarah dan mufakat, serta bersama mewujudkan kemajuan bangsa yang merata
dan berkeadilan sosial.
3. Keunggulan Dan Kekurangan Pengembangan Kurikulum
a. Keunggulan
Sebuah kaniscayaan adanya perubahan dan pengembangan dalam pengimplementasian Kurikulum,
tanpa di kembangkan penerapan Kurikulum akan monoton dan ketinggalan jaman, Pendidikan di
Indonesia harus mengikuti perkembangan zaman, perkembangan Kurikulum harus memberikan bekal
yang mantap dalam pembentukan watak, karakter, dan budi pekerti yang luhur untuk generasi bangsa
(siswa).
Tanpa adanya Kurikulum, Pendidikan tidak akan terlaksana dengan baik, sebab Kurikulum adalah
puncak dari segala proses Pendidikan. Kurikulum merupakan penanaman jiwa pendidik yang berusaha
untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan nilai – nilai prilaku siswa dalam meretas dinamika kekinian. (S.
Nasution, 2001).
Pelaksanaan Kurikulum di bagi menjadi 2 tingkatan yaitu pelaksanaan Kurikulum Tingkat Sekolah
yang bertanggung jawab penuh adalah kepala sekolah dan pelaksanaan Kurikulum Tingkat Kelas yang
berperan penting dalam proses belajar mengajar adalah guru. (Oemar Hamalik, 2012). Guru yang mampu
menyiapkan anak didik dengan berbagai sikap, keterampilan dan pengetahuan agar menjadi fondasi yang
kuat sebagai pribadi yang produktif, inovatif, kreatif serta mandiri. (E. Mulyasa, 2014).
Melalui pengembangan Kurikulum segala bentuk mata pelajaran di kelompokkan dan pembelajaran
di atur. Pengembangan kurikulum merupakan suatu keharusan untuk menata pendidikan karna kurikulum
tidak terlepas dari tujuan, isi, fungsi serta evalusi pendidikan. Di lihat dari syifat masyarakat, budaya
dengan sekolah sebagai institusi pendidikan Kurikulum memiliki 3 peranan penting yaitu peranan
konserfatif, peranan kritis atau eveluasi dan peranan aktif. (Oemar Hamalik, 2013).
b. Kekurangan
Kebijakan Kurikulum baru cenderung mencerminkan ide-ide dan keyakinan individu-individu dari
pada kebutuhan anak didik atau masyarakat secara keseluruhan, sementara Kurikulum hadir untuk anak
didik karna tuntutan perkembangan zaman. (Abraham Andero, 2000). pengembangan Kurikulum lebih
mementingkan tendensi-tendensi kelompok.
Kurikulum merupakan undang-undang / pedoman sekolah, Kurikulum ada karna kepentingan
Negara dan Bangsa, lembaga pendidikan atau kepala sekolah dan guru. dengan demikian adanya guru
harus selalu siap dalam menerapkan Kurikulum dalam bentuk apapun dalam konteks kebaikan anak didik,
namun
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sangat pesat, membawa dampak negatif dan
positif terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk pergeseran fungsi sekolah sebagai suatu Institusi
Pendidikan, beban sekolah semakin berat dan kompleks. masyarakat menuntut bahwa sekolah harus
mampu menciptakan insan indonesia yang memiliki moral dan kepribadian, keahlian, keterampilan, yang
baik dalam menjemput dunia pekerjaan.
Manakala terjadi pergeseran tupoksi sekolah maka akan mempengaruhi makna Kurikulum,
Kurikulum tidak lagi di anggap sebagai mata pelajaran, akan tetapi di anggap sebagai pengalaman belajar
anak didik. menurut hemat masyarakat, Kurikulum adalah segala kegiatan yang di lakukan oleh anak
didik baik di dalam maupun di luar sekolah yang dalam pengawasan guru sekolahnya.
Jika demikian adanya maka Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan dalam memahami Kurikulum
tidak hanya memberikan tanggung jawab kepada guru dengan membaca dan mempelajari dokumen-
dokumen kurikulum dan memberikan pelajaran hanya pada ruang sekolah, tapi Kurikulum juga harus bisa
memahami situasi dan kondisi yang ada dan terjadi di lingkungan sekitar. Karna pencapaian target
pelaksanaan suatu Kurikulum tidak hanya di ukur dari kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau
materi akan tetapi juga di lihat dari kegiatan anak didik sebagai pengalaman belajarnya (behavior siswa di
luar kontrol guru). (Wina Sanjaya, 2014).
Kadang karna keluasan dalam memahami konsep belajar mengajar, Kurikulum menjadi kabur dan
tidak tersistematiskan kegunaan dan fungsinya. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa Kurikulum adalah “Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan
bahan pelajaran serta cara yang di gunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar”. (Wina Sanjaya, 2008).
4. Alternatif Tindakan
Di tengah persaingan dengan semrawutnya global dan pasar bebas, pendidikan di hadapkan pada
globalisasi dan westernisasi. Untuk menjawab dengan memberikan solusi, kesemuanya itu membutuhkan
terjadinya pergeseran paradigma (paradigma baru) dalam memberikan solusi cerdas terhadap dunia
pendidikan. Bahwa Pemerintah telah melakukan penyempurnaan sistem pendidikan, baik melalui
perangkat lunak ataupun perangkat keras. (E. Mulyasa, 2006).
Secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi Pendidikan yang
dulunya di lakukan oleh Pemerintah pusat sekarang telah di berikan otonom kepada Pemerintah Daerah
(Bupati/Walikota) untuk mengatur pendidikan sesuai dengan keadaan lingkungan harapan dan yang akan
menjalankan secara langsung adalah guru dan kepala sekolah. Guru dan kepala sekolah harus saling
berinteraksi berkaitan dengan kebutuhan sekolah yang berkaitan dengan bantuan fasilitas dan bahan yang
di perlukan untuk proses belajar mengajar dan kepala sekolah menjaga kemampuan dan keterampilan
guru dalam mendesain pembelajaran. (Syaiful Sagala, 2013).
Langkah alternatif yang harus di ambil oleh Sekolah, dengan cara mengadakan seminar atau
Pendidikan khusus kepada seluruh tenaga pendidik yang linear dengan tugas dan keahliannya.
keterlibatan Kepala Sekolah dan Guru dalam membangkitkan rasa akuntabilitas kepada pelanggan
(internal atau eksternal) akan membangkitkan rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah, hingga
mendorong kepala sekolah dan guru untuk memberdayakan sumber daya dengan seefisisen mungkin.
Dengan demikian tingkat kesadarn guru dalam mendidik semakin semangat dan konsisten. secara
tidak langsung akan memberikan tekhnik dan ilmu baru bagi seluruh tenaga pendidik untuk menerapkan
Kurikulum dengan baik dan benar dalam mendidik anak didik.
Sembari dari pada itu Sekolah belajar mengetahui kebutuhan dan tuntutan pelanggan, hingga dapat
membentuk relasi yang baik dengan perusahaan-perusahaan di luar maupun di dalam negri untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana sekolah dan itu adalah langkah konkrit
untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan lingkungan, yang dengan melalui itu maka sekolah tersebut
telah menjadi sekolah yang profesional akuntabel dan siswanya tinggal di arahkan kemana kedepannya.
B. Penelitian Terdahulu.
Perkembangan Kurikulum merupakan cara penting untuk mencapai tujuan pendidikan, perumusan
Kurikulum perlu mencerminkan fokus pada perkembangan zaman dan pertumbuhan anak didik, karna
Kurikulum merupakan pengalaman siswa yang terjadi di sekolah atau di luar sekolah. Perencanaan
pembuatan Kurikulum memiliki makna tersendiri melalui praktek-praktek seperti memperkaya
pengetahuan dan memperluas pengalaman atau pengetahuan.
Sebuah pembuktian adaptasi kurikulum yang terjadi di SMA di Gilgit-Baltistan yaitu dalam upaya
salah satu guru (Mazer Khan dan Irfan Baig, nama samaran) menekankan pentingnya anak didik belajar
mendalam dan guru menggunakan metode tanya jawab ketika menyampaikan materi pelajaran di dalam
ruangan agar ilmu yang di sampaikan tidak stagnan yang hanya di miliki oleh pengajar itu sendiri tapi
memberikan bekal ilmu dan pengetahuan pada siswa. (Takbir Ali, 2011).
Dengan upaya itu, untuk mengapresiasi pengetahuan dan pengalaman yang di miliki oleh guru
dalam membangun dan membentuk budaya belajar anak didik, guru merupakan pusat pengetahuan dalam
proses pelaksanaan belajar mengajar dari kurikulum itu sendiri. Guru merupakan penentu dalam
pengimplementasian Kurikulum dengan pembentukan karakter dan power of knowleadge.
Seperti apa yang di lakukan oleh guru seni (Allison) SMA Longwood di Amerika Serikat bahwa dia
mampu memberdayakan anak didiknya agar anak didiknya tidak merasa bosan ketika menerima pelajaran
maka Allison mencoba mengenal anak didiknya ketimbang menyerah, dengan menggunakan strategi
menyapa anak didiknya dari meja ke meja, membangun untuk mengikat hubungan dengan anak didiknya
dan menantang siswa untuk berfikir tentang Komposisi lukisan, gambaran, sketsa, dan berbagai media
sebagai bagian dari metode pengajarannya, maka tidak heran jika hasil dari implementasinya adalah “seni
siswa adalah seni guru itu sendiri”. (Powell Kimberly dan Lisa Lajevic, 2011).
Perencanaan perubahan Kurikulum harus di lihat dari kehidupan bio-sosio-kultural karna itu akan
berpengaruh pada tingkat pengetahuan (Knowleadge) dan tigkah laku (Behavior) anak didik,
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sangat pesat, membawa dampak negatif dan positif
dalam penerapannya terhadap berbagai aspek kehidupan.
Salah satu contoh yang terjadi di Estuari lebih dari 70% anak didik yang tidak pernah menggunakan
Komputer sebagai alat untuk melakukan penyelidikan karna menurut mereka lebih efektif menggunakan
model visualisasi (melihat dengan mata telanjang) dengan mendasarkan Litelatur Ilmiah (Buku). asumsi
mereka ilmuwan menggunakan komputer karna komputer tidak bisa melakukan kesalahan dan komputer
dapat memberikan jawaban cepat. (Kit Yu Karen Chan, Sylvia Yang, Max E Maliska, Daniel Grunbaum,
2012).
Terbukti bahwa dengan strategi penyelidikan dengan membentuk kelompok yang menggunakan
metode Lanskap Pengetahuan (Knowscapes) yaitu strategi Semut mencari makan yang di lakukan di
berbagai negara (Kolaborasi Negara Internasional) seperti Eropa Barat, negara-negara Asia dan Amerika
Utara bahwa Multidisiplin Ilmu seperti Fisika, biologi dan kimia di Eropa Barat, dan Ekonomi dan
Psikologi di Asia, adalah bidang studi dengan internasional kolaborasi (IC) tertinggi, meski Kerja sama
internasional di Asia lebih rendah dibandingkan dengan Eropa Barat untuk sebagian besar wilayah
kecuali pada pelajaran Seni & Humaniora, Ilmu Sosial, Psikologi dan Ekonomi. (Jaffe Klaus, 2014).
Untuk mengembangkan Kurikulum Bukan hanya pada penanaman pengetahuan Tekhnologi tetapi
yang lebih di kedepankan adalah pada cara pengimplementasian yang mengharuskan kerja sama secara
sehat antara pengawas, kepala sekolah, guru dan anak didik serta orang tua dengan didukung oleh
lingkungan sekolah yang kondusif, karna perubahan kecil pada kurikulum dapat mempengaruhi cara
belajara dan sikap anak didik.
Dengan demikian akan lahir generasi-generasi pemikir untuk meluruskan kehidupan berbangsa dan
bernegara seperti yang terjadi di Amerika Serikat bahwa tujuan utama untuk merevisi Kurikulum adalah
untuk memberikan kegiatan otentik untuk mengajar siswa melalui pendekatan belajar aktif tentang
hakikat ilmu dengan memberikan contoh menerapkan metode analisis statistik untuk menganalisis data
biologi dengan memanfaatkan literatur ilmiah (buku) untuk membantu mereka merumuskan hipotesis.
(Goldstein Jessica, Flynn, F. B, 2011).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
1. Janis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode Penelitian Kualitatif adalah suatu penelitian
yang di gunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena atau peristiwa (Nana Saodakih
Sukmadinata, 2007). Analisis dan Deskripsi di gunakan untuk menemukan prinsip-prinsip dan penjelasan
yang mengarah pada penyimpulan data.
2. Desain Penelitian
Dalam upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian orang yang ingin di pahami
maka desain dalam penelitian ini adalah menggunakan desain penelitian Fenomenologi.
D. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai instrumen kunci dan peneliti menggunakan
kondisi obyek yang alamiah (natural setting), obyek alamiah yang di maksud adalah obyek apa adanya
yang tidak di manipulasi oleh peneliti sejak peneliti berada pada obyek penelitian sampai data selesai di
kumpulkan dan tidak berubah. (Sugiyono, 2014). atau dengan kata lain peneliti menjadi instrumen
(human instrumen).
G. Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam Penelitian Kualitatif terdiri dari : (Pertama), Credibility (Validitas
Interbal). (Kedua), Transferability (Validitas Eksternal). (Ketiga), Dependability (Reliabilitas).
(Keempat), Confirmability (Obyektivitas). (Sugiyono, 2014). Seperti apa yang di katakan di atas maka
untuk mendapatkan Keabhasan Data dalam Penelitian ini melalui :
1. Uji Kredibilitas adalah uji di lakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam
Penelitian, Tri angulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member.
2. Pengujian Transferabiliti adalah data yang di dapatkan melalui validitas eksternal. validitas eksternal
yang di maksud adalah untuk menunjukkan derajad ketepatan atau dapat di terapkan hasil penelitian ke
populasi dimana sampel di ambil.
3. Pengujian Dependability (Reliabilitas) adalah untuk menghindari ketidak validan data yang di ambil
melalui Penelitian.
4. Pengujian Konfirmability (Obyektivitas), Pengujian ini adalah dalam rangka menyempurnakan hasil
penelitian, maka pengujian ini di anggap penting untuk mendapatkan kesepakatan dari berbagai pihak
lewat pengujian hasil penelitian yang berkaitan dengan proses yang dilakukan melaui Penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Takbir. (2011). “ Understanding How Improvement-Oriented High School Teachers Pursue Curriculum
Adaptation In High Schools In Gilgit-Balitistan ”. Gilgit Baltistan : Proquest Research Library Asianet
Pakistan (PVT) Ltd.
Andero, Abraham. (2000) “The Changing Role Of School Superintendent With Regard To Curriculum Policy
And Decision Making”. Montgomery Alabama : ProQues, State University Montgomery.
Chan, Kit Yu Karen. et.al. (2012) “ An Interdisciplinary Guided Inquiry on Estuarine Transport Using a
Computer Model in High School Classrooms ”. Estuari : ProQues University of California Press.
Furchan, Arif. (2004). Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Goldstein, Jessica. et.al. (2011). “ Integrating Active Learning & Quantitative Skills into Undergraduate
Introductory Biology Curricula ”, Amerika serikat : ProQuest dokumen ID, University of California
Press.
Hamalik, Oemar. (2012). Manajemen Pengembangan Kurikulum. (Cetakan Ke-5) Bandung : Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Dengan PT Remaja Rosdakarya.
Hamalik, Oemar (2013). Dasar – Dasar Pengembangan Kurikulum. (Cetakan Ke-5). Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Jun-Ki, Lee. et.al. (2011) “ Scan & Learn! Use Of Quick Response Codes & Smartphones In A Biology Field
Study ” Korea : Proquest University Of California Press.
Kusmana, Suherli. (2012). Merancang Karya Tulis Ilmiah. (Cetakan Ke-2) Bandung : Remaja Rosdakarya
Offset.
Klaus, Jaffe . (2014). “ Social And Natural Sciences Differ In Their Research Strategies, Adapted To Work For
Different Knowledge Landscapes : E113901 ’’. International Kolaboration (IC) (Eropa Barat, Negara-
Negara Asia Dan Amerika) : ProQuest document ID.
Margono, S. (1997). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Mulyasa, E. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. (Cetakan Ke-4) Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2014). Guru Dalam Implementasi Kurikulum 2013. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Nurhadi. (2004). Tanya Jawab Pengembangan Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution. S. (1994). Asas-Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, S. (2001). Implementasi dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.
Powell kimberli dan Lajevic, Lisa. (2011). “ Emergent Places in Preservice Art Teaching : Lived Curriculum,
Relationality, and Embodied Knowledge ” , Amerika Serikat : ProQuest Research Library, National Art
Education Association.
Suwondo dan Wulandari, Sri. (2013). “Inquiry-Based Active Learning: The Enhancement Of Attitude And Of
The Concept Of Experimental Design In Biostatics Course”, Riau : ProQuest Research Library,
Canadian Center of Science and Education.
Satyanarayanajois dan D, SeethaRama. (2010) “Active-Learning Exercises to Teach Drug-Receptor
Interactions in a Medicinal Chemistry Course”. Monroe : ProQues American Association of Colleges of
Pharmacy.
Sagala, Syaiful. (2013). Etika Dan Moralitas Pendidikan “Peluang Dan Tantangan”. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Sanjaya, Wina. (2014). Strategi Pembelajaran “ Berorientasi Standar Proses Pendidikan “. (Cetakan Ke- 11).
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Stevenson, Heidi. (2005) “Guru Informal Kolaborasi Mengenai Teknologi”. Amerika Serikat : ProQues Eugene
Negara publikasi Inggris.
Sutama. (2010). Metode Penelitian Pendidikan, Kuantitatif, Kualitatif, PTK, R & D. (Cetakan Ke-3) Kartasura :
Fairus Media
Sukmadinata, Nana Syaodih, (2004). Metode Penelitian Pendidikan. (Cetakan Ke-3) Bandung : PT Remaja
rosdakarya.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (1997). Pengembangan Kurikulum “Teori Dan Praktik“. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Sugiharto, Bambang. Ed : Bolo, Andreas Doweng Dkk. (2008). Humanisme dan Huamiora “relevansi bagi
pendidikan” Yogyakarta dan Bandung : Jalasutra.
Sugiyono. (2014). Memahami Penelitian Kualitatif. (Cetakan Ke-9) Bandung : CV, Alfabeta.
Widyastono, Herry. Hasan, Said Hamid Eds. (2014). Pengembangan Kurikulum Di Era Otonomi Daerah “
Dari Kurikulum 2004, 2006, Ke Kurikulum 2013.” Jakarta : PT Bumi Aksara.
Wibowo, Agus. (2007). Mal Praktik Pendidikan. Djogja : Genta Press.
Yaumun, M. (2014). Prinsip-Prinsip Desain Pembelajaran “ Di Sesuaikan Dengan Kurikulum 2013. “ (Edisi
Ke-2). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Zubaedi. (2013). Desain Pendidikan Karakter “ Konsepsi Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan. “
(Cetakan Ke-3). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.