Vous êtes sur la page 1sur 15

1.

Latar Belakang
Pertambahan Rumah Sakit di Indonesia dalam 1 tahun (tahun 2015 yaitu 2.490 sampai
dengan tahun 2016 yaitu 2.623) sebanyak 133 RS, atau mengalami pertumbuhan sebesar 5,3
%. Banyaknya rumah sakit yang berdiri merupakan bentuk persaingan di bidang industri
kesehatan yang tak terelakkan dalam hal sistem pembiayaan, kualitas pelayanan, keunggulan
produk, teknologi dan inovasi di bidang pelayanan medis. Kondisi masyarakat yang dinamis,
perekonomian cukup dan kemudahan mengakses informasi turut mempengaruhi pasien dalam
menentukan pilihan tempat pelayanan kesehatan. Beberapa fenomena diatas selayaknya
dijadikan bahan evaluasi bagi manajer untuk mengembangkan perusahaan agar mampu
bersaing di masa depan. Oleh karena itu, klinik yang telah berdiri dan beroperasi saat ini harus
mempersiapkan diri untuk membina organisasinya agar mampu menciptakan pelayanan
kesehatan yang berkualitas bagi pelanggannya.
Menurut Kotler (2003), biaya untuk mendatangkan pelanggan baru lebih besar
dibandingkan dengan biaya untuk mempertahankan pelanggan yang telah ada. Oleh karena itu
akan jauh lebih baik bagi klinik untuk mempertahankan pasien yang telah ada dengan
menampilkan dan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga mampu
memberikan kepuasan kepada pasien.
Dalam hal ini, menurut Solomon (1985) dalam Karyati (2006), perilaku pembeli dapat
dijadikan kiat dasar untuk menghubungkan kualitas pelayanan dan minat perilaku konsumen
untuk menggunakan pelayanan yang sama. Pembeli yang merasa puas akan kualitas produk
jasa yang mereka terima akan membeli ulang produk itu kembali. Karena Minat perilaku
konsumen untuk membeli atau memakai jasa dari pemberi jasa yang sama sangat dipengaruhi
oleh pengalaman kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan sebelumnya. Setelah menerima
jasa pelayanan kesehatan, pasien akan membandingkan jasa yang dialami dengan jasa yang
diharapkan. Jika jasa yang dialami memenuhi atau melebihi harapan, maka kualitas pelayanan
akan dipersepsikan baik dan memuaskan serta mereka akan menggunakan jasa itu kembali. Hal
ini dapat dilihat dari tren rasio jumlah kunjungan pasien lama dengan total jumlah kunjungan
(Rustiyanto, 2010).
Kecenderungan masyarakat mencari upaya pelayanan pengobatan yang praktis sekali
datang dan pada hari itu pula memperoleh pelayanan yang lengkap (one day care). Oleh sebab
itu para manajemen klinik menyadari bahwa menetapkan sebuah posisi yang kuat dalam pasar
rawat jalan adalah penting demi kelangsungan klinik. Dengan demikian, para manajemen rawat
jalan harus mampu memberikan pelayanan yang berkualitas agar dapat mempertahankan
pelanggan yang telah ada.
Klinik Utama Cahaya Qalbu merupakan klinik yang telah berdiri 8 tahun yang teletak di
lokasi strategis di Jl. Raya Laswi No. 480 Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten
Bandung. Namun, dalam perkembangannya banyak sekali klinik dan rumah sakit baru yang
bermunculan dan menjadi kompetitor
Berdasarkan data rekam medis Klinik Utama Cahaya Qalbu (2018), kunjungan pasien
lama rawat jalan Klinik Utama Cahaya Qalbu selama tiga tahun terakhir menunjukkan
penurunan pada jumlah kunjungan pasien lama di unit rawat jalan. Penurunan angka kunjungan
pasien lama terutama dari tahun 2016 ke 2017. Penurunan yang terjadi mencapai 420
kunjungan.
Kunjungan pasien lama klinik umum memiliki angka yang lebih rendah dibandingkan
dengan kunjungan pasien baru. Tahun 2015, kunjungan pasien lama berjumlah 620 sedangkan
pasien baru 838. Begitu pula pada tahun 2016, pasien lama berjumlah 1133 dan pasien baru
1503. Serta tahun 2017, kunjungan pasien lama sebesar 1699 dan 1314 pasien baru. Apabila
dirata-ratakan dalam persentase selama tiga tahun terakhir, angka kunjungan pasien lama
sebesar 48% dibandingkan dengan total angka kunjungan. Serta angka kunjungan pasien lama
di klinik umum terjadi penurunan, terutama pada tahun 2011 ke 2012 sebesar 434 kunjungan
(Rekam Klinik Utama Cahaya Qalbu, 2018).
Hal ini menunjukkan masih rendahnya minat pasien untuk kembali menggunakan
pelayanan klinik umum. Sehingga agar tetap dapat menjadi pelayanan pilihan pasien, Klinik
Utama Cahaya Qalbu harus terus meningkatkan kualitas pelayanannya. Sebagaimana menurut
Parasuraman dalam Trimurthy (2008), minat perilaku konsumen untuk membeli atau memakai
jasa dari pemberi jasa yang sama sangat dipengaruhi oleh pengalaman kepuasan terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan sebelumnya.
Atas latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui hubungan mutu pelayanan dengan
minat kunjungan ulang yang dimediasi oleh kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu
Kabupaten Bandung

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan dimensi bukti fisik (tangible) dengan kepuasan pasien di Klinik
Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
2. Bagaimana hubungan dimensi keandalan (reliability) dengan kepuasan pasien di Klinik
Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
3. Bagaimana hubungan dimensi ketanggapan (responsiveness) dengan kepuasan pasien
di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
4. Bagaimana hubungan dimensi jaminan (assurance) dengan kepuasan pasien di Klinik
Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
5. Bagaimana hubungan dimensi empati (empathy) dengan kepuasan pasien di Klinik
Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
6. Bagaimana hubungan kepuasan pasien dengan minat kunjungan ulang Klinik Utama
Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
7. Bagaimana hubungan dimensi bukti fisik (tangible) dengan minat kunjungan ulang
yang dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
8. Bagaimana hubungan dimensi keandalan (reliability) dengan minat kunjungan ulang
yang dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
9. Bagaimana hubungan dimensi ketanggapan (responsiveness) dengan minat kunjungan
ulang yang dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten
Bandung?
10. Bagaimana hubungan dimensi jaminan (assurance) dengan minat kunjungan ulang
yang dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
11. Bagaimana hubungan dimensi empati (empathy) dengan minat kunjungan ulang yang
dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?

3. Tujuan Penelitian
3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan mutu pelayanan dengan minat kunjungan ulang yang di mediasi
oleh kepuasan pasien tentang Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung Tahun 2018.
3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan dimensi bukti fisik (tangible) dengan kepuasan pasien di Klinik
Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
2. Mengetahui hubungan dimensi keandalan (reliability) dengan kepuasan pasien di
Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
3. Mengetahui hubungan dimensi ketanggapan (responsiveness) dengan kepuasan pasien
di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
4. Mengetahui hubungan dimensi jaminan (assurance) dengan kepuasan pasien di Klinik
Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
5. Mengetahui hubungan dimensi empati (empathy) dengan kepuasan pasien di Klinik
Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
6. Mengetahui hubungan kepuasan pasien dengan minat kunjungan ulang Klinik Utama
Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
7. Mengetahui hubungan dimensi bukti fisik (tangible) dengan minat kunjungan ulang
yang dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
8. Mengetahui hubungan dimensi keandalan (reliability) dengan minat kunjungan ulang
yang dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
9. Mengetahui hubungan dimensi ketanggapan (responsiveness) dengan minat kunjungan
ulang yang dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten
Bandung
10. Mengetahui hubungan dimensi jaminan (assurance) dengan minat kunjungan ulang
yang dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung?
11. Mengetahui hubungan dimensi empati (empathy) dengan minat kunjungan ulang yang
dimediasi kepuasan pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung

4 . Manfaat Penelitian
4.1 Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan dan memperdalam pengalaman peneliti terkait hubungan
mutu pelayanan dengan minat kunjungan ulang yang dimediasi oleh kepuasan pasien sebagai
media pengembanggan kompetensi diri sesuai dengan keilmuan yang diperoleh selama
perkuliahan.
4.2 Bagi Institusi
1. Sebagai tambahan referensi karya tulis penelitian yang berguna bagi masyarakat,
khususnya terkait hubungan mutu pelayanan dengan minat kunjungan ulang yang
dimediasi oleh kepuasan pasien di klinik umum.
2. Sebagai bahan untuk penelitian lanjutan oleh peneliti lain.
4.3 Bagi Klinik Utama Cahaya Qalbu
1. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan angka kunjungan
klinik umum berdasarkan kualitas pelayanan berupa kehandalan, jaminan, bukti fisik,
daya tanggap dan empati.
2. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam memberikan gambaran minat
kunjungan ulang pasien di klinik umum.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan klinik umum berupa kehandalan, jaminan, bukti fisik, daya tanggap
dan empati.
5. Kerangka Berfikir
A. Pengertian Minat Kunjungan Ulang
Menurut Crow dan Crow dalam Djaali (2013:121) mengatakan bahwa minat berhubungan
dengan gaya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau berurusan dengan
orang, benda, kegiatan, pengalaman yang diransang oleh kegiatan itu sendiri. Menurut
Gerungan dalam Djaali (2013:122) menyebutkan minat merupakan pengerahan perasaan dan
menafsirkan untuk sesuatu hal (ada unsur seleksi). Disamping itu, minat merupakan bagian
dari ranah afeksi, mulai dari kesadaran sampai pada pilihan nilai. Minat tidak timbul sendirian,
ada unsur kebutuhan.
Djaali (2013:122) menyimpulkan bahwa minat memiliki unsur afeksi, kesadaran sampai
pilihan nilai, pengerahan perasaan, seleksi, dan kecenderungan hati. Minat dapat diekspresikan
melalui pernyataan yang menunjukan bahwa pasien lebih menyukai suatu hal daripada hal
lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas.
Kajian teoritis tentang pemanfaatan ulang pendapat Zeithalm et all. (2006) bahwa minat
beli ulang (future intention) menekankan bahwa pentingnya mengukur minat beli kembali
pelanggan untuk mengetahui keinginan pelanggan yang tetap setia atau meninggalkan suatu
pelayanan jasa. Dari pengalaman yang dapat dicatat, sasaran pembelian ulang barang atau jasa
adalah jumlah dan kualitas barang atau jasa yang dibeli jangan sampai kurang. Hal lain yang
masih terkait dengan pembelian ulang adalah menjaga mutu barang atau jasa agar tidak
menurun (Nitisusastro, 2012:245).
Pembelian ulang yang terus-menerus dari suatu jasa yang sama akan menunjukan loyalitas
pasien terhadap jasa tersebut. Tingkat kepuasan pasien akan mempengaruhi derajat kualitas
pelayanan, semakin puas seorang pasien terhadap suatu jasa pelayanan akan semakin loyal
terhadap jasa pelayanan tersebut. Namun loyalitas seringkali bukan disebabkan oleh kepuasan
pasien tetapi karena keterpaksaan dan ketiadaan pilihan (Sunyoto, 2013:142).
Sikap dalam perilaku terbentuk dalam suatu proses komunikasi dimana dengan adanya
proses komunikasi yang informatif kognitif akan timbul sikap yang mempertimbangkan segala
informasi terkait yang sebelumnya sudah ada sesuai dengan kemampuan maupun kecerdasan
seseorang dalam hal menganalisa, ketepatan naluri dan kesadaran akan kebutuhan yang
diperlukannya pada kondisi tertentu dan pada tahap selanjutnya seseorang melakukan tindakan
sesuai dengan dorongan motivasi yang dikendalikan oleh sikap serta emosi dimana tindakan
yang serupa dilakukan berulang maka hal tersebut dapat dikatakan perilaku dalam kehidupan
(Liliweri, 2007).
B. Mutu Pelayanan Kesehatan
Pengertian Mutu
Mutu adalah perpaduan sifat-sifat dan karakteristik produk atau jasa yang dapat memenuhi
kebutuhan pemakai atau pelanggan (Bustami, 2011:3). Menurut Purwoastuti dan Walyani
(2015:2), mutu (quality) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan karakteristik barang atau jasa
yang menunjukan kemampuan dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik kebutuhan yang
dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat.
Mubarak dan Chayatin (2009:135) mutu atau kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan
pasar atau konsumen. Menurut Feigen Baum dalam Mubarak dan Chayatin (2009:135), suatu
produk dikatakan bermutu apabila dapat memberikan kepuasan, sesuai dengan apa yang
diharapkan konsumen. Mutu atau kualitas yaitu suatu kondisi dinamis yang berhubungan
dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan
(Goetsh dan Davis (1994) dalam Sari (2010:53)).
Deming dalam Bustami (2011) mengemukakan bahwa mutu dapat dilihat dari aspek
konteks, persepsi pasien, serta kebutuhan dan keinginan pasien. Dari aspek konteks, mutu
adalah suatu karakteristik atau atribut dari suatu produk atau jasa. Dari aspek persepsi pasien,
mutu adalah penilaian subjektif pasien. Persepsi pasien dapat berubah karena pengaruh
berbagai hal seperti iklan, reputasi produk atau jasa yang dihasilkan, pengalaman dan
sebagainya. Dari aspek kebutuhan dan keinginan pasien, mutu adalah apa yang dikehendaki
dan dibutuhkan oleh pasien Mutu memerlukan suatu proses perbaikan terus menerus dengan
individual yang dapat diukur dan pencapaian performa yang diinginkan. Apabila dikelola
dengan tepat, mutu dapat berkontribusi positif terhadap terwujudnya kepuasan dan kunjungan
ulang pasien. Kualitas memberikan nilai plus berupa motivasi khusus bagi para pasien untuk
menjalin ikatan relasi saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan puskemas/rumah
sakit. Ikatan emosional semacam ini memungkinkan puskesmas/rumah sakit untuk memahami
dengan seksama harapan dan kebutuhan spesifik pasien. Pada gilirannya Puskesmas dapat
meningkatkan kepuasan pasien, dimana puskesmas memaksimumkan pengalaman pasien yang
menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman pasien yang kurang
menyenangkan yang akan berdampak pada keputusan pasien untuk melakukan kunjungan
ulang (Deming dalam Bustami (2011)).
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat dilakukan dari berbagai aspek pelayanan
seperti peningkatan mutu fasilitas kesehatan, peningkatan kualitas profesionalisme sumber
daya manusia dan peningkatan mutu manajemen rumah sakit/puskesmas. Pelayanan yang
berkualitas harus dijaga dan dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran sejauh mana mutu
pelayanan kesehatan yang telah diberikan secara terus menerus dan berkala, agar diketahui
kelemahan dan kekurangan dari jasa pelayanan yang diberikan dan dibuat tindak lanjut sesuai
prioritas permasalahan yang ada di lapangan. (Supranto, 2011).
Dimensi Mutu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami
(2011:5-6), mereka menggabungkan beberapa dimensi menjadi satu, yaitu kompetensi,
kesopanan, keamanan, dan kredibilitas yang disatukan menjadi jaminan (assurance). Dimensi
komunikasi, akses, dan kemampuan memahami pelanggan digolongkan sebagai empati
(empathy). Akhirnya jadilah lima dimensi utama, yaitu reliabilitas, daya tanggap, jaminan,
empati, dan bukti fisik atau bukti langsung.
1. Reliabilitas (reliability)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6) reliabilitas
(reliability) adalah kemampuan memberikan pelayanan dengan segera, tepat (akurat), dan
memuaskan. Secara umum dimensi reliabilitas merefleksikan konsistensi dan kehandalan (hal
yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan) dari penyedia pelayanan. Dengan kata lain,
reliabilitas berarti sejauh mana jasa mampu memberikan apa yang telah dijanjikan kepada
pelanggannya dengan memuaskan. Hal ini berkaitan erat dengan apakah perusahaan/instansi
memberikan tingkat pelayanan yang sama dari waktu ke waktu, apakah perusahaan/instansi
memenuhi janjinya, membuat catatan yang akurat, dan melayani secara benar.
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1998) dalam Khasanah dan Pertiwi (2010:119)
kehandalan (reliability) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai
dengan apa yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan
konsumen yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa
kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
Dibandingkan dengan empat dimensi kualitas pelayanan lainnya dimensi kehandalan
sering dipersepsikan menjadi yang paling penting bagi pelanggan dari beragam industri jasa.
Karena apabila konsumen merasakan bahwa keandalan suatu perusahaan jasa sangat sesuai
dengan harapan, maka mereka akan bersedia mengeluarkan biaya tambahan agar perusahaan
melaksanakan transaksi seperti yang dijanjikan.
2. Daya tanggap (responsiveness)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6) daya tanggap
(responsivenss) yaitu keinginan para karyawan/staf membantu semua pelanggan serta
berkeinginan dan melaksanakan pemberian pelayanan dengan tanggap. Dimensi ini
menekankan pada sikap dari penyedia jasa yang penuh perhatian, cepat dan tepat dalam
menghadapi permintaan, pertanyaan, keluhan, dan masalah dari pelanggan. Dimensi
ketanggapan ini merefleksikan komitmen perusahaan atau instansi untuk memberikan
pelayanan yang tepat pada waktunya dan persiapan perusahaan /instansi sebelum memberikan
pelayanan.
Khasanah dan Pertiwi (2010:119) mendefinisikan dimensi daya tanggap merupakan
dimensi yang paling dinamis. Harapan konsumen hampir dapat dipastikan akan berubah seiring
dengan kecepatan daya tanggap dari pemberi jasa.
Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Barry (1998) dalam Khasanah dan Pertiwi (2010 :
119) daya tanggap (responsiveness) berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan para
karyawan untuk membantu para konsumen dan merespon permintaan mereka, serta
menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat.
Tingkat kesediaan atau kepedulian ini akan dilihat sampai sejauh mana pihak perusahaan dalam
membantu konsumennya. Adapun bentuknya bisa dilakukan dengan penyampaian informasi
yang jelas, tindakan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh pelanggan.
3. Jaminan (assurance)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6) jaminan
(assurance) artinya karyawan/staf memiliki kompetensi, kesopanan dan dapat dipercaya, bebas
dari bahaya, serta bebas dari risiko dan keragu-raguan. Dimensi-dimesi ini merefleksikan
kompetensi perusahaan, keramahan (sopan, santun) kepada pelanggan, dan keamanan
operasinya. Kompetensi ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan dalam memberikan
jasa.
Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Barry (1998) dalam Khasanah dan Pertiwi
(2010:119) jaminan (assurance) adalah jaminan kepada konsumen mencakup kemampuan,
kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf, bebas dari bahaya atau resiko
keragu-raguan, perilaku para karyawan diharapkan mampu menumbuhkan kepercayaan dan
perusahaan diharpkan dapat menumbuhkan rasa aman bagi pelanggannnya.
Jaminan yakni perilaku karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap
perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi pelanggannya. Jaminan juga
berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan
ketrampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan
(Purwoastuti dan Walyani, 2015:9).
4. Empati (empathy)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6) empati (empathy)
dalam hal ini karyawan/staf mampu menempatkan dirinya pada pelanggan, dapat berupa
kemudahan dalam menjalin hubungan dan komunikasi termasuk perhatiannya terhadap para
pelanggannya, serta dapat memahami kebutuhan dari pelanggan. Dimensi ini menunjukan
derajat perhatian yang diberikan kepada setiap pelanggan dan merefleksikan kemampuan
pekerja (karyawan) untuk menyelami perasaan pelanggan.
Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1998) dalam Khasanah dan Pertiwi
(2010:119), empati yaitu memberikan sikap yang tulus dan besifat individual atau pribadi yang
diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Empati
berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan
pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman (Purwoastuti dan Walyani, 2015:9).
5. Bukti fisik atau bukti langsung (tangible)
Menurut pendapat Parasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011:5-6) bukti fisik (tangible
dapat berupa ketersediaan sarana dan prasarana termasuk alat yang siap pakai serta penampilan
karyawan/staf yang menyenangkan. Bukti fisik berkenaan dengan daya tarik kualitas fisik,
perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan karyawan
(Purwoastuti dan Walyani, 2015:9).
Kelima dimensi tersebut dikenal sebagai service quality (SERVQUAL). Dimensi-dimensi
ini diperoleh melalui wawancara terhadap para pelanggan untuk mengetahui atribut apa saja
yang diharapkan para pelanggan dari perusahaan atau instansi tertentu (Bustami, 2011:6).
Gaspersz (1997) dalam Bustami (2011:6-7) mengemukakan bahwa terdapat beberapa dimensi
mutu yang harus diperhatikan dalam pelayanan, yaitu:
1. Ketepatan waktu pelayanan, misalnya waktu tunggu pasien, waktu pelaksanaan (proses)
pelayanan.
2. Akurasi pelayanan, berkaitan dengan reliabilitas pelayanan dan bebas dari kesalahan.
3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan.
4. Tanggung jawab, berkaitan dengan penanganan keluhan dari pasien (pelanggan).
5. Kelengkapan, menyangkut dengan ketersediaan sarana pendukung pelayanan.
6. Kemudahan mendapat pelayanan, berkaitan dengan petugas dan tersedianya pola baru
dalam pelayanan.
7. Variasi model pelayanan, berhubungan dengan inovasi untuk memberikan pola baru dalam
pelayanan.
8. Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas petugas.
9. Kenyamanan dalam mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang, kemudahan
menjangkau, tempat parkir kendaraan, ketersediaan informasi, dan sebagainya.
10. Atribut pendukung pelayanan lainnya seperti lingkungan, fasilitas AC, dan sebagainya.
Harapan konsumen terhadap layanan yang dijabarkan kedalam lima dimensi kualitas
layanan harus bisa dipahami oleh perusahaan dan diupayakan untuk bisa diwujudkan. Tentunya
hal ini merupakan tugas berat bagi perusahaan, sehingga dalam kenyataannya sering muncul
keluhan yang dilontarkan konsumen karena layanan yang diterima tidak sesuai dengan layanan
yang mereka harapkan. Hal inilah yang disebut dengan gap (kesenjangan) kualitas pelayanan
(Purnama, 2006:33). Terdapat 5 gap kualitas pelayanan yaitu :
1. Gap 1 antara harapan konsumen dengan persepsi manajemen, yang disebabkan oleh
kesalahan manajemen dalam memahami harapan konsumen.
2. Gap 2 antara persepsi manajemen atas harapan konsumen dengan spesifikasi kualitas
layanan, yang disebabkan oleh kesalahan manajemen dalam menterjemahkan harapan
konsumen ke dalam tolak ukur atau standar kualitas layanan.
3. Gap 3 antara spesifikasi kualitas layanan dengan layanan yang diberikan, yang disebabkan
oleh ketidakmampuan sumber daya manusia (SDM) perusahaan dalam memenuhi standar
kualitas layanan yang telah ditetapkan.
4. Gap 4 antara layanan yang diberikan dengan komunikasi eksternal yang disebabkan
ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi janji yang telah dikomunikasikan secara
eksternal.
5. Gap 5 antara harapan konsumen dengan layanan yang diterima (dirasakan) konsumen yang
disebabkan tidak terpenuhinya harapan konsumen.
C. Kepuasan Pelanggan
Kepuasan adalah perasaan senang/kecewa seseorang yang muncul setelah
membandingkan kinerja produk yang dipikirkan terhadap kinerja yang ditawarkan. Jika kinerja
berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas, dan sebaliknya. (6) Manfaat terciptanya
kepuasan pelanggan antara lain hubungan antar perusahaan dan pelanggannya menjadi
harmonis serta memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang.
Beberapa penelitian kualitas layanan dan kepuasan pelanggan yang menggunakan
modifikasi metode ServQual dalam bidang kesehatan yaitu penelitian yang telah dilakukan
Lim & Tang (2000), Choi et al. (2004), Ramsuran-Fowder (2005), Alrubaee & Alkaa’ida
(2011). Adapun penelitian tentang minat beli ulang pernah diteliti oleh Ahmed et al. (2010)
dan Hellier PK (2002). Minat kunjungan ulang diposisikan sebagai variabel dependen,
sedangkan kepuasan pelanggan dan kualitas layanan sebagai anteseden bagi minat kunjungan
ulang. Selain menjadi anteseden, kualitas layanan dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan
kemudian akan mempengaruhi keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian selanjutnya.
D. Pengertian Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga,
kelompok, dan masyarakat (Mubarak dan Chayatin, 2009:132). Pelayanan adalah kualitas
pelayanan birokrat terhadap masyarakat (Sinambela dkk, 2010). Menurut Levey dan Loomba
dalam Ade O., Suswitaroza dan Aulia P. (2012:15) pelayanan kesehatan adalah setiap upaya
yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perseorangan.
Purwoastuti dan Walyani (2015:15) mendefinisikan pelayanan kesehatan adalah setiap
upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas (Pusat Kesehatan
masyarakat), pelayanan kesehatan adalah upaya yang diberikan oleh puskesmas kepada
masyarakat, mencakup perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pencatatan, pelaporan dan
dituangkan dalam suatu sistem. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013
tentang pelayanan kesehatan pada JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) mendefinisikan
penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang bekerja sama
dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan berupa fasilitas kesehatan
tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Hodgetts dan Cascio (1983)
dalam Mubarak dan Chayatin (2009:140) ada dua macam jenis pelayanan kesehatan :
1. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan masyarakat
(public health services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara
bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya adalah untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, serta sasarannya terutama untuk kelompok dan
masyarakat.
2. Pelayanan kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical
services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice) atau
secara bersama-sama dalam satu organisasi (institution), tujuan utamanya untuk
menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk
perseorangan dan keluarga

Bukti Fisik/ Tangiable

Keandalan/
Responsiveness

Kunjungan
Keandalan/ Reliability Kepuasan Pelanggan
Minat Ulang

Jaminan / Assurance

Empati/ Empathy

Gambar 1. Kerangka Berfikir

6. Hipotesis Penelitian
H1: Terdapat hubungan dimensi bukti fisik (tangible), keandalan (reliability), ketanggapan
(responsiveness), jaminan (assurance), empati (empathy), dengan kepuasan pasien di
Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
H2: Terdapat hubungan dimensi bukti fisik (tangible), keandalan (reliability), ketanggapan
(responsiveness), jaminan (assurance), empati (empathy), dengan minat kunjungan ulang
pasien di Klinik Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
H3: Terdapat hubungan kepuasan pasien dengan minat kunjungan ulang pasien di Klinik
Utama Cahaya Qalbu Kabupaten Bandung
7. Definisi Operasional
No. Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
Dependen
1) Minat kunjungan ulang Pernyataan pasien akan Wawancara Kuesioner 1. Berminat Ordinal
kembali menggunakan 2. Tidak
jasa pelayanan klinik Berminat
umum unit rawat jalan (Trimurth
apabila membutuhkan y, 2008)
pelayanan.
Independen

8. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan rancangan penelitian tanpa perlakuan
(observasional) analitik melalui pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah semua
pasien rawat jalan berstatus pasien umum. Jumlah sampel 90 orang yang diambil secara
convenience sampling. Instrumen penelitian kualitas layanan dan kepuasan pasien
menggunakan kuesioner yang diadopsi dari penelitian Alrubaee & Alkaa’ida (2011) dan
instrumen minat kunjungan ulang juga berupa kuesioner yang diadopsi dari penelitian Cronin
dan Taylor (1992).
Pelaksanaan penelitian dilakukan selama periode September-Desember 2018 di Klinik
Utama Cahaya Qalbu dengan membagikan kuesioner kepada 100 pasien yang memenuhi
kriteria, namun kuesioner yang kembali dan terisi lengkap hanya 90 buah untuk kemudian
dianalisis data menggunakan regresi dua tahap dan uji Sobel
9. Proporsi dan Sample
Berdasarkan perhitungan sampel didapatkan hasil sebesar 82 sampel. Untuk
mengantisipasi adanya missing jawaban maka peneliti menambahkan jumlah sampel sebanyak
10%, sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 90 orang.
Penentuan jumlah sampel pasien ditentukan dengan menggunakan rumus uji
hipotesis dua proporsi (Ariawan, 1998) :
{ Z 1−α/2 2P 1−P +Z 1−β P1 1−P1 +P2 1−P2 }2
𝑛= 2 x deff
(P1−P2)

Keterangan:

n : Jumlah Sampel

Z 1−α/2 : Tingkat Kemaknaan pada α= 5% ( Z 1−α/2 = 1,96)

Z 1−β : Kekuatan uji pada 1-β = 80% (Z 1−β = 0,84)

P1 : Proporsi hubungan pelayanan dengan minat kunjungan ulang


pada penelitian sebelumnya 65,4% (Trimurthy, 2008)
P2 : Proporsi hubungan kepuasan dengan minat kunjungan ulang
pada penelitian sebelumnya 34,6% (Trimurthy, 2008)
P : P1+P2/ 2

Maka besar sampel yang dihasilkan adalah:

{1,96 2.0,5 1−0,5 +0,84 0,654 1−0,654 +0,346 1−0,346 } 2


𝑛=
x2
(0,654−0,346)2

= 41 x 2 = 82 Sampel
= dibulatkan 90 Sampel
10. Teknik Analisis
Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Dalam penelitian ini analisis
univariat dilakukan pada tiap variabel dari hasil penelitian dengan mendeskripsikan setiap
variabel dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi, diantaranya variabel pasien
tentang kualitas pelayanan berupa kehandalan, daya tanggap, jaminan, empati, bukti fisik
dan variabel minat kunjungan ulang, lalu dilakukan pengolahan data terlebih dahulu. Data
yang terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah data menjadi informasi.
Selanjutnya jika sudah dilakukan pengolahan data, maka akan dilakukan analisis data
dengan pertama-tama menganalisis data univariabel dan data bivariabel.
Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan setelah dilakukan analisis univariat
masing-masing variabel. Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji statistik chi-
square. Menurut Sabri dan Hastono (2006) uji chi- square adalah pengujian hipotesis
mengenai perbandingan antara frekuensi observasi dan frekuensi harapan yang didasarkan
atas hipotesis tertentu. Uji statistik dalam penelitian ini untuk menguji hipotesis, yaitu untuk
melihat hubungan antara variabel independen dengan dependen.
Signifikansi uji chi-square menggunakan derajat kepercayaan 95% (α = 5%). Jika Pvalue
≤ 0,05 maka hipotesis alternatif (Ha) diterima atau hipotesis null (Ho) ditolak yang
menunjukkan adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
Sebaliknya, jilka Pvalue > 0,05 maka maka hipotesis alternatif (Ha) ditolak atau hipotesis null
(Ho) diterima yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara variabel independen dengann
variabel dependen.
Selanjutnya analisis data akan dilakukan dengan menggunakan program Statistical Product
and Service Solution (SPSS) for windows versi 21.0 pada derajat kepercayaan 95% dengan
nilai p ≤ 0,05.

11. Daftar Pustaka


1. Reichheld FF, Sasser WE. Zero defections: quality comes to services. Harvard
business: 1990.
2. Elu, Balthasar. Manajemen penanganan komplain konsumen di industri jasa. Jurnal
Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi; 13: 2005.
3. Kotler dan Armstrong. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Jakarta: Erlangga. 2001.
4. Lupiyoadi, Rambat. Manajemen Pemasaran Jasa: Teori dan Praktik. Jakarta: Salemba
Empat. 2001.
5. Lumentut FL, Palandeng ID. Fasilitas, servicescape, dan kualitas pelayanan,
pengaruhnya terhadap kepuasan konsumen Mcdonald’s Manado. Jurnal EMBA; 2:
2014.
6. Afriadi Y. Pengaruh kualitas layanan, harga, dan fasilitas terhadap kepuasan pasien
rawat inap. Jurnal ilmu dan riset manajemen; 5: 2016.
7. Aji WK. Analisis pengaruh kualitas pelayanan, harga, dan fasilitas terhadap kepuasan
pasien: studi pada pasien klinik As Syifa di Kab. Bekasi. Semarang: 2011.

Vous aimerez peut-être aussi