Vous êtes sur la page 1sur 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kolelitiasis atau batu saluran empedu merupakan penyakit yang umumnya lebih
sering ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang.
Namun, dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala
barat serta perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit
kolelitiasis di negara berkembang cenderung mengalami peningkatan.
Kolelitiasis merupakan salah satu masalah gastrointestinal yang paling sering
menyebabkan dilakukannya intervensi bedah. Tiap tahun, dilakukan sekitar 500.000
prosedur kolesistektomi di Amerika Serikat. Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10%
populasi usia dewasa di Amerika Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan
pada 70% dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu
dari sejumlah komposisi lain. Angka kejadian batu saluran empedu ini nampak
semaking meningkat seiring bertambahnya usia. Penelitian menggunakan
pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien dengan batu saluran
empedu umumnya nampak asimtomatik. Faktor risiko untuk pembentukan batu
empedu meliputi obesitas, diabetes melitus, estrogen dan kehamilan, penyakit
hemolitik, dan sirosis. Manifestasi klinik dari batu empedu dapat berupa nyeri
episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung empedu (kolesistitis akut) atau
inflamasi di saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi- komplikasi akibat migrasi
batu empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang
dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.
Pasien yang asimptomatik umumnya dapat ditangani secara konsrevatif,
Namun, sekitar 35% pasien dengan kolelitiasis asimptomatik pada akhirnya dapat
mengalami komplikasi atau gejala berulang sehingga memerlukan terapi bedah.
Selama dua dekade terakhir, prinsip umum penanganan batu saluran empedu tidak
banyak mengalami perubahan. Namun, metode terapi yang digunakan sudah banyak
berkembang. Saat ini, kolesistektomi laparoskopik, laparoskopi eksplorasi duktus
biliaris komunis, dan terapi retrograde endoskopik untuk batu duktus biliaris komunis
(CBD) nampak memainkan peranan penting untuk terapi batu saluran empedu.
Namun, terapi pilihan yang utama untuk batu saluran empedu tetap menggunakan
prosedur kolesistektomi.

1
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver
Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3
syarat (Trias Anestesi), yaitu: Hipnotik (hilang kesadaran), Analgetik (hilang perasaan
sakit), Relaksan (relaksasi otot-otot).2
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana hilangnya
kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh akibat pemberian
obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum dapat diberikan secara
intravena, inhalasi dan intramuskular.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi
2.1.1 Definisi Anestesi1,2
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver
Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3
syarat (Trias Anestesi), yaitu:
a. Hipnotik, hilang kesadaran
b. Analgetik, hilang perasaan sakit
c. Relaksan, relaksasi otot-otot

2.1.2 Anestesi Umum


Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh akibat
pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum dapat
diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular2.
Indikasi anestesi umum:1
 Pada bayi dan anak-anak
 Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai oleh ahli
bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
 Operasi besar
 Pasien dengan gangguan mental
 Pembedahan yang lama
 Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan
 Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

3
Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :
a. Anestesi umum intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam
pembuluh darah vena.
b. Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa
gas dan atau cairan yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan yaitu N2O,
Halotan, Enfluran, Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori
menggunakan sungkup muka, Endotrakeal tube nafas spontan, Endotrakeal tube
nafas terkontrol.
c. Anestesi berimbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi
atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai
trias anestesi secara optimal dan berimbang.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-


anestesi. Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut:1
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar sangat
penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
sistem organ tubuh pasien.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin yang
sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa

4
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di atas
50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) : (Latief,
2018)
 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
 ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya siap untuk
ditransplantasi.
 Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau IIE.

2.1.3 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan
premedikasi:1
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi rasa sakit
 Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
 Menurunkan basal metabolisme tubuh

5
Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan keadaan
umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam sebelumnya atau
per oral 2 jam sebelum anestesi.
Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk premedikasi jika
anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan campuran eter/udara. Obat yang
banyak digunakan:

Analgetik opium : - Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler


- Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler
Sedatif : - Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler
- Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, Dewasa
1,5 mg/kgbb intramuskuler
- Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral A
- Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb
nak
Vagolitik antisialagog ue: - Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau
intravena pada saat induksi maksimal 0,5 mg
Antasida : - Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan
2 jam sebelum operasi
- Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
- Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi

Sebelum induksi anastesi


Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti. Tanggung jawab
untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah
apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum sekurang-
kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui hanya dipuasakan
3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung mungkin penuh).
Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa mungkin. Asisten
yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman. Jangan menginduksi
pasien sendirian saja tanpa asisten.

6
Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,
karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar hal-
hal yang harus diperiksadan gantungkan pada alat anastesi yang sering digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan baik.
Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan aliran
gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan sistem
pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah fungsi alat
resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran gas),
laringoskop, pipa dan alat penghisap.
Kita juga harus yakin bahwa pasien berbaring pada meja atau kereta dorong
yang dapat diatur dengan cepat ke dalam posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi
mendadak atau muntah. Persiapkan obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi
label, dan yakinkan bahwa obat itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan
induksi anastesi, yakinkan aliran infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling
atau kanula dalam vena besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat
harus segera dimulai.

2.1.4 Induksi Anestesi2


Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Sebelum
memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih
cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata
STATICS:1
 S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
 T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed).

7
 A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
 T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
 I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
 C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
 S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan
2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan
manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB.
Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan ketamin
sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan menggunakan
sedative seperti midazolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan
darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar,
tetapi dengan mata terbuka.
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk

8
induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anesthesia opioid digunakan fentanil
dosis induksi 20 – 50 mg / kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

Induksi Intamuskular
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Induksi inhalasi
Induksi inhalasi hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga
obat anestesi dapat masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat
masuk dan anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal.
Jika hal ini terjadi, bersihkan jalan napas. Induksi inhalasi juga digunakan untuk anak-
anak yang takut pada jarum.

2.1.5 Intubasi Endotrakeal


Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa pernafasan
yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan penderita atau
waktu memberikan anestesi secara inhalasi. (Harahap, 2012)

Gambar 1.: Intubasi Endotrakeal

Indikasi intubasi endotrakeal:1


1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

9
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernapasan yang tenang dan tak
ada ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan pengisian
cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
10. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu:1


 Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang cukup
 Posisi kepala dan leher yang tepat
 Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal:1


a. Pipa endotrakeal
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam
milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda,
penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat
sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil digunakan tanpa
cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff supaya tidak bocor. Pipa
endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui hidung.

Gambar 2.: Endotracheal Tube

10
Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + ¼ umur (thn)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)

b. Laringoskop
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop ialah alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan
pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop
:
 Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
 Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Gambar 3.: Laringoskop

11
Penilaian Mallapati
Dalam anestesi, skor Mallapati digunakan untuk memprediksi kemudahan
intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut, khusus, itu
didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi tampakan faring pada
saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 grade:
 Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas
 Grade II :Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak
terlihat
 Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
 Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.

Gambar 4. Grade Mallampati

Kesulitan dalam teknik intubasi:1


 Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap
 Mandibula yang menonjol.
 Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
 Kesulitan membuka mulut
 Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)

12
 Gerak sendi temporo – mandibular terbatas
 Gerak vertebra servikal terbatas.

Komplikasi pada intubasi endotrakeal:1


 Memar & oedem laring
 Strech injury
 Non specific granuloma larynx
 Stenosis trakea
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi dan laring
 Aspirasi, spasme bronkus

2.1.6 Obat-Obat Anestesi Umum1


Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah :
I. Gas Anestesi
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk praktek
klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.Mekanisme
kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi misteri dalam
farmakologi modern.
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat fisiknya :
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:
1. N2O
N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.

13
2. Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan napas,
maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Halotan
merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana induksi dan tahapan
anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera bangun setelah anestetik
dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas
kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan dengan klinis pasien.
3. Isofluran
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi dicapai
dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat intravena untuk
mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi adalah penurunan
tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan frekuensi denyut
jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap oksigen, tetapi
meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
4. Desfluran
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan vaporiser
khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah singkat atau
bedah rawat jalan.Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme
laring, sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat ¼ kali
lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten dibanding
N2O.
5. Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk
induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi
inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai dalam
1-3 menit. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Setelah pemberian
dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.

14
II. Obat-obat Anestesi Intravena
Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang diberikan
dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena. (Mangku, 2010)
A. Hipnosis
1. Golongan barbiturat (pentotal)
 Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya
cepat (30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat
kerjanya habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan
kehilangan kesadaran dengan jalan memblok kontrol brainstem.
 Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai
induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian
15-20 detik (untuk orang dewasa).
2. Benzodiazepin
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi
obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, dan
tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak
digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan
sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi.
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric
acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine
tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan
reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat. Dosis : Diazepam :
induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.
3. Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna
putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pada
manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn dan pada wanita hamil tidak
dianjurkan.

15
4. Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan
kerja singkat. Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran
dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat.
Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk
sistem viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan
kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi. Dosis ketamin adalah 1-2
mg/kgBB IV atau 3-10 mg/kgBB IM. Anestesi dengan ketamin diawali
dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang sampai
halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering
disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-
gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran segera pulih
setelah 10-15 menit, analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia
berlangsung sampai 1-2 jam.

B. Analgetik
1. Morfin
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni
tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar
(vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu
hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui
emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri
pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3)
morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri
meningkat.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang adalah
0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan
dapat diulang sesuai yamg diperlukan.
2. Fentanil
Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV. Fentanyl merupakan opioid sintetik
dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ. Fentanyl
banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai puncak

16
analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang
diberikan secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.
3. Meridipin
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena
menyebabkan depresi nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25
mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian
besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan
anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

C. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)


Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.
A. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf otot
tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah sipnatik,
sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot
lurik.Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan dosis 1-2
mg/kgBB IV.
B. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik,
tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.

17
Dosis (mg/kgBB) Durasi (menit)
Long Acting
1. D-tubokurarin 0,4-0,6 30-60
2. Pankuronium 0,08-0,12 30-60
3. Metakurin 0,2-0,4 40-60
4. Pipekuronium 0,05-0,12 40-60
5. Doksakurium 0,02-0,08 45-60
6. Alkurium 0,15-0,3 40-60
Intermediate Acting
1. Gallamin 4-6 30-60
2. Atrakurium 0,5-0,6 20-45
3. Vekuronium 0,1-0,2 25-45
4. Rokuronium 0,6-1,2 30-60
5. Cistacuronium 0,15-0,2 30-45
Short Acting
1. Mivakurium 0,2-0,25 10-15
2. Ropacuronium 1,5-2 15-30

2.1.7 Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi baik dari
anestesi umum atau analgesia regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau, unit
perawatan pasca anestesi (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care
Unit).
Sebagai ahli anastesi, anda bertanggung jawab terhadap perawatan pasien
pada saat pemulihan. Lakukan observasi dengan mengukur nadi, tekanan darah dan
frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan
perdarahan yang berlanjut.
Pada jam pertama setelah anestesi , merupakan saat yang paling berbahaya
bagi pasien. Reflek perlindungan jalan napas masih tertekan, walaupun pasien tampak
sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernapasan. Nyeri
pada luka khususnya pada thoraks dan abdomen bagian atas, akan menghambat
pasien untuk mengambil napas dalam atau batuk. Ini dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi di dada atau kolaps dasar paru dengan hipoksia lebih lanjut.

18
Pasien yg masih belum sadar betul, sebaiknya dibaringkan dalam posisi miring, tetapi
pasien dengan insisi abdomen, bila sudah benar-benar sadar, biasanya pernafasannya
lebih enak dalam keadaan duduk atau bersandar. Oksigen harus selalu diberikan
secara rutin pada pasien yang sakit dan pasien yg menjalani operasi yang lama. Cara
yang paling ekonomis untuk memberikan oksigen selama masa pemulihan adalah
melalui kateter nasofaring lunak 0,5-1 L/menit, yang akan menghasilkan udara
inspirasi dengan konsistensi oksigen 30-40%. Jika dibutuhkan analgetik kuat,
misalnya opium, berikan dosis pertama secara intravena, sehingga anda dapat
menghitung dosis yg diperlukan untuk melawan rasa sakit dan juga bisa
mengobservasi bila terjadi depresi pernapasan.Bila dibutuhkan, dosis intravena
tersebut kemudian dapat diberikan secara intramuskular.
Tempat pemulihan
Tempat yang terbaik untuk masa pemulihan adalah kamar operasi itu sendiri,
dimana semua peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk resusitasi tersedia.
Akan tetapi biasanya pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, sehingga kamar operasi
dapat dibersihkan dan digunakan untuk operasi berikutnya. Ruang pemulihan harus
bersih, dekat dengan kamar operasi sehingga anda bisa cepat melihat pasien bila
terjadi sesuatu. Alat penghisap harus selalu tersedia, juga oksigen dan peralatan
resusitasi. Pasien yang tidak sadar jangan dikirim ke bangsal.
Sebelum pasien meninggalkan ruang pemulihan, kita harus melakukan
penilaian pemulihan pasca anestesi. Salah satunya berdasarkan Aldrete Score.
Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, Dapat Tidak
orientasi baik dibangunkan dapat
dibangunkan
Warna Merah muda Pucat kehitaman, Sianosis,
(pink), tanpa O2, perlu O2, dengan O2 SaO2
SaO2 92% SaO2>90% tetap <90%
Aktivitas 4 2 Tidak ada
ekstremitas ekstremitas ekstremitas
bergerak bergerak bergerak

Respirasi Dapat bernapas Napas dangkal Apnue

19
dalam Batuk Sesak napas atau obstruksi
Kardiovaskular Tekanan Berubah Berubah
darah berubah 20-30 % >50%
<20%

Kriteria pindah dari unit perawatan pasca anestesi jika nilai 9 atau 10.

2.2. CHOLELITHIASIS

2.2.1 DEFINISI CHOLELITHIASIS

Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung


empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang mengendap dan
membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung empedu atau saluran empedu.
Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam empedu, fosfolipid dan
kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu bisa berupa batu
kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran.1

Lokasi batu empedu bisa bermacam-macam yakni di saluran empedu utama


atau di duktus koledokus (koledokolitiasis), di saluran sistikus (sistikokolitiasis)
jarang sekali di temukan dan biasanya bersamaan dengan batu di dalam kandung
empedu, dan di saluran empedu intrahepatal atau hepatolitiasis. Batu empedu pada
umumnya di temukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat
bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran
empedu dan di sebut sebagai batu saluran empedu sekunder.4

20
2.2.2 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika Serikat, yaitu mengenai


20% penduduk dewasa. Setiap tahunnya beberapa ratus ribu orang menjalani
pembedahan pada penyakit ini. Kondisi klinis yang dikaitkan dengan semakin
meningkatnya insidensi batu empedu adalah diabetes, sirosis hepatis, pankreatitis,
kanker kandung empedu. Faktor resiko lain yang berkaitan dengan timbulnya batu
empedu adalah obesitas, multiparitas, pertambahan usia, dan makanan yang
mengandung kalori rendah.
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu. Perubahan
komposisi empedu kemungkinan merupakan factor terpenting dalam pembentukan
batu empedu. Hati penderita batu empedu kolesterol menyekresi empedu yang sangat
jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung
empedu untuk membentuk batu empedu. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan dalam pembentukan batu. Mucus meningkatkan viskositas empedu, dan
unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi.
Klasifikasi batu empedu menurut gambaran makroskopis dan komposisi
kimianya, batu empedu digolongkan atas 3 golongan yaitu:
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Kolesterol merupakan unsure normal pembentuk empedu yang bersifat
tidak larut dalam air. Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi
penurunan sintesis asam ampedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati.

21
Keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang
kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan berbentuk batu.
2. Batu pigmen empedu
Batu ini mengandung kadar kolesterol 25%, tidak banyak bervariasi, sering
ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya
bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam dan berbentuk seperti lumpur atau
tanah yang rapuh.
3. Batu campuran
Merupakan kombinasi antara batu kolesterol dan batu kalsium bilirubinat.

2.2.3 GEJALA KLINIS


1. Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin
teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri
hebat pada abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu
kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan bertambah hebat dalam
makan makanan dalam porsi besar. Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan
kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat
tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung
empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10
kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan
atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga
dada.
2. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan
menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejal gatal-
gatal pada kulit.

22
3. Perubahan warna urine dan feses.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut “Clay-colored ”.
4. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K
yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal.

2.2.4 DIAGNOSIS6

Diagnosis kolelitiasis berdasarkan wawancara medis dari keluhan yang


diungkapkan pasien. Pada pemeriksaan fisik umumnya sangat bervariasi hasilnya
mulai dari tensi dan nadi yang berfluktuatif demam dan nyeri pada penekanan perut
sebelah kanan.

Diagnosis secara lebih pasti yaitu dengan melakukan pemeriksaan USG yang
merupakan pilihan pertama dan sangat sensitif (>95%) untuk mendiagnosa. Bisa juga
dengan rontgen yang dapat melihat adanya batu.

Beberapa alat diagnostik yang akan digunakan untuk menilai antara lain:

 Pemeriksaan ultrasound atau USG


 Computed Tomography (CT) Scan
 Magneting resonance imaging (MRI)
 Cholescintigraphy
 Endoscopic retrograde cholangiopancreatogrpahy (ERCP).

2.2.5 PENANGANAN
a) Non Bedah, yaitu :
Therapi Konservatif
- Pendukung diit : Cairan rendah lemak
- Cairan Infus : menjaga kestabilan asupan cairan
- Analgetik : meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala penyakit

23
- Antibiotik : mencegah adanya infeksi pada saluran kemih
b) Bedah

 Kolesistektomi laparoskopi adalah pembedahan yang paling umum. Sayatan


yang sangat kecil dibuat di perut, dan dengan bantuan teleskop khusus,
kantung empedu diangkat.
 Pembedahan “terbuka” diperlukan untuk kasus yang rumit. Proses ini
memerlukan sayatan yang jauh lebih besar di daerah perut.
 Pengobatan non-invasif seperti ERCP, lingkup tampilan khusus, digunakan
untuk mengangkat batu empedu yang tersangkut di saluran empedu.

24
BAB III
LAPORAN ANESTESI

3.1 Ilustrasi Kasus


Laporan kasus ini membahas pasien seorang perempuan, usia 66 tahun dengan
diagnosis cholelithiasis, jenis tindakan cholesistectomi dengan rencana anestesi
umum dengan endotrakeal tube.

 Identitas Pasien
Nama Ny. W
Umur 66 tahun
Jenis kelamin Perempuan
Agama Islam
Status Janda
Tinggi / Berat badan 150 cm / 55 kg
No. RM 01.08.44.36
Alamat Jl. Flamboyan No.237
MRS 25 April 2019
Tanggal Operasi 26 April 2019

 Anamnesis (Autoanamnesis) (25 April 2019)


 Keluhan utama : Nyeri perut kanan atas
 Riwayat penyakit sekarang :Sudah dialami os ±2 bulan lalu. Os mengaku ±
4 bulan yang lalu sudah menjalani endoskopi dan dokter mengatakan iritasi
lambung. Kemudian 2 bulan setelahnya os mengeluhkan nyeri perut kanan atas.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat dirawat : disangkal
 Hipertensi : ( + )  Amlodipin 5 mg, valsartan 160 mg
 Asma : disangkal
 Alergi obat-obatan dan makanan : disangkal
 Alergi udara dingin : disangkal

25
 Diabetes : disangkal
 Penyakit Jantung : disangkal
 Penyakit Paru : disangkal
 Kejang : disangkal
 Penyakit Hati : disangkal
 Penyakit Ginjal : disangkal
 Riwayat Operasi dan Anestesi : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat Kebiasaan
 Merokok : disangkal
 Minum alkohol : disangkal
 Narkotik : disangkal
 Olahraga :-

26
3.2 Keadaan Pra Bedah (Follow Up Anestesi 25 April 2019)

B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 17 x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-
Pernapasan cuping hidung :-
JMH : 3 jari
Mallapati :1
Buka mulut : 3 jari
Gerak leher : bebas
Gerakan Dada : simetris
Maxillofacial injury :-

B2 (Blood)
Akral : Hangat
Tekanan darah : 140/70 mmHg
Frekuensi nadi : 82 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 36,6o C
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik : -/-/-

B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
GCS : 15
RC : +/+
Pupil : Bulat, ϴ 3 mm, Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/
-

27
B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-

B5 (Bowel)
Abdomen : Soepel (+), distensi (-), Nyeri tekan hypocondrium
dextra (+)
Peristaltik : (+)
Mual/Muntah : -/-
BAB/Flatus : +/+
NGT :-

B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar :-
Oedem :-

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Hematologi (13 April 2019)
Hb : 12,4 gr/dl (N: 12-14 gr/dl)
Ht : 36,2 % (N : 36,0-45,0 %)
Eritrosit : 4,32 106/ul (N: 4,50-5,10 106/ul)
Leukosit : 4.440,00 103/ul (N: 4000-10000/ul)
Trombosit : 282.000,00 103/ul (N: 150.000-450.000/ul)

Koagulasi (-)
INR : - (N:1-1,3)
Waktu Protombin : - (N:9,0-12,2)
APTT : - (N:20,8-28,2)

28
Kimia Klinik (13 April 2019)
Ureum : 11,00 mg/dl (N:10,00-50,00)
Creatinin : 0,95 mg/dl (N:0,60-1.20)
SGOT/SGPT : 37,00 U/L / 30,00 mg/dl (N: 0-40)
Total Bilirubin : 1,45 mg/dl (N:0-1,20)
Direct Bilirubin : 0,37 mg/dl (N: 0,05-0,30)
Albumin : 4,00 mg/ml (N: 3,60-5,00)

Elektrolit (13 April 2019)


Natrium : 141,20 mmol/L (N:136,00 – 155,00)
Kalium : 3,33 mmol/L (N:3,50 – 5,50)
Chlorida : 107,60 mmol/L (N:95,00 – 103,00)

 Rontgen Thorax (13 April 2019) : Tidak tampak kelainan radiologis pada
cor dan pulmo
 EKG : Sinus Rhytm
 USG (08 April 2019) : Penebalan dinding dan Cholelithiasis multiple
kandung empedu dd Cholesistitis

Diagnosa Kerja
Cholelithiasis

Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA


ASA II dengan Hipertensi Terkontrol

Rencana Tindakan
Cholesistectomi

Rencana Anestesi
Anestesi Umum dengan Endotrakeal Tube
Premedikasi : Midazolam, Fentanyl, Dexamethasone
Induksi : Propofol, Isofluran
Relaksan : Roculax

29
Kesimpulan
Pasien Perempuan usia 66 tahun, berat badan 55 kg, status fisik ASA II
dengan Hipertensi Terkontrol, diagnosis Cholelithiasis yang akan dilakukan
tindakan Cholesistectomi, rencana anestesi umum dengan endotrakeal tube.

FOTO KLINIS:
Persiapan Pasien
Sebelum Operasi (25 April 2019)
 Pasien di konsultasikan ke spesialis anestesi dari bagian Bedah Digestif untuk
menilai kondisi fisik pasien, apakah pasien dalam kondisi fisik yang layak untuk
dilakukan tindakan operasi.
 Setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis anestesi, pasien di periksa 1 hari
sebelum operasi (kunjungan pre-operatif), hasil dari kunjungan pre-operatif ini
telah dijabarkan sebelumnya.

Diruang perawatan ( 25 April 2019)


 Informed consent : Bertujuan untuk memberitahukan kepada pasien dan keluarga
pasien tindakan medis apa yang akan dilakukan kepada pasien bagaimana
pelaksanaannya, kemungkinan hasilnya, resiko tindakan yang akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi : merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan
sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien tidak akan
mengajukan tuntutan.
 Pasien dipuasakan sejak pukul 00.00 WIB tanggal 26 April 2019, tujuannya untuk
memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
 Pengosongan kandung kemih pada pagi harinya pada pukul 06.00 WIB.

Di Ruang OK (26 April 2019)


 Identifikasi Pasien
 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.
 Pemeriksaan fisik pasien di ruang persiapan : TD=150/80 mmHg, nadi 90x/menit,
suhu=36.80C, RR = 18x/menit

30
 Pendataan kembali identitas pasien di ruang operasi. Anamnesa singkat kepada
keluarga yang meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat alergi, riwayat
kebiasaan, dan lainnya.
 Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian dilakukan
pemasangan EKG, manset, infus, dan oksimeter.
 Pemeriksaan tanda-tanda vital.

3.3 Persiapan Alat


 Laringoskop
 Stetoskop
 ETT no. 7,5
 Guedel (Oropharyngeal airway)
 Plester/Tape : Hypafix
 Mandrin
 bougie
 Suction
 Ambu bag
 Spuit 3 cc, 5 cc dan 10 cc
 Gel lubricating
 Sarung tangan
 Face mask adult
 Pack
 Forcep Magill
 Mesin anestesi
 EKG monitor
 Sfigmomanometer digital
 Oksimeter/saturasi
 Infuse set
 Infuse set dan cairan infus – Ringer Laktat
 Abocath no.18 G
 Plester
 Alcohol
 Tourniquet

31
 Persiapan Obat-Obatan Anestesi
1 Premedikasi Midazolam 5 mg/5cc
. : Dosis : 0,05-0,1 mg/kgBB 2,75-5,5 mg
Pemberian : 5 mg

Fentanyl 100 µg/2cc


Dosis : 2-5 µg/kgBB 110 - 275 µg
Pemberian : 300 µg
2 Induksi Propofol 200 mg/20cc
. : Dosis : 2-2,5 mg/kgBB 110 – 137,5 mg
Pemberian : 150 mg

4 Relaksan Roculax 50 mg
. : Dosis : 0,6-1,2 mg/kgBB 33 – 66
mg
Pemberian : 50 mg
5 Maintenance Isoflurane 1% N2O, O2
. (rumatan)
:
Steroid -
:
Anti emetic -
selama op :
Antifibrinolitik -
:
Anti emetic Ondansetron 4 mg/12 jam
post op :
Analgetik post Ketorolac 30 mg/8 jam
op :
Obat  Sulfas Atropin dosis 0,25 mg-5 mg IV
emergency :  Epinephrine dosis 1 mg atau 0.02 mg/kg

32
larutan 1:10.000

Di Ruang Operasi
JAM
(WIB)
09.40  Pasien dari ruang tunggu masuk ke
ruang operasi
 Pindahkan pasien ke meja operasi
dengan posisi supinasi
 Memasang monitor EKG dan
oksimeter pulse
 Mengukur tekanan darah, nadi, saturasi
prainduksi (TD: 150/80 mmHg, Nadi :
90x/m, SPO2 : 99%)
 Pemberian obat analgetik fentanyl 100
mcg iv, midazolam 5 mg iv
(premedikasi), dexamethasone 5 mg
TD: 130/80 mmHg, Nadi : 89x/m,
SPO2 : 99%.
09.45  Induksi dengan propofol 150 mg iv.
 Memastikan pasien sudah tidak sadar dengan
cara memeriksa refleks bulu mata, kemudian
diberikan muscle relaksan yaitu Roculax 50
mg iv.
 Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup
muka menggunakan O2 sebanyak 6 liter/menit,
kalau perlu nafas dibantu dengan menekan
balon nafas secara periodik ± 3 menit.
 Setelah relaksasi pasien diintubasi dengan ETT
no.7,5 cuff (+), pack (+), guedel (-), untuk
memastikan ETT terpasang dengan benar
dengarkan suara nafas dengan stetoskop bahwa
paru kanan dan kiri sama dan dinding dada

33
kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap
inspirasi buatan. Setelah berhasil fiksasi
dengan hipafix.
TD: 130/78 mmHg, Nadi : 70x/m,
SPO2 : 99%.
09.50  Tutup mata kanan dan kiri pasien dengan
plester.
 ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit
nafas alat anestesi, kemudian N2O dibuka 2
liter/menit dan O2 2 liter/menit kemudian
isofluran dibuka 1%.
 Nafas pasien dikendalikan dengan respirator.
Inspirasi 400 ml dengan frekuensi 14 kali per
menit. (Bila menggunakan respirator setiap
inspirasi (volume tidal) diusahakan kurang
lebih 6-8 ml/kg BB dengan frekuensi 12-
20x/menit).
 Perhatikan apakah gerakan nafas pasien
simetris antara yang kanan dan kiri.
TD: 114/72 mmHg, Nadi : 76x/m, SPO2 : 99%
09.55  Operasi dimulai
TD: 100/70 mmHg, Nadi : 70x/m,
SPO2 : 99%.
10.05  Pemberian obat analgetik ketorolac 30 mg iv dan
ondansentron 4 mg iv
TD: 110/80 mmHg, Nadi : 80x/m, SPO2 : 99%.
10.20 TD: 120/90 mmHg, Nadi : 90x/m, SPO2 : 99%.
10.35 TD : 150/105 mmHg, nadi : 89 x/menit SPO2 :
98%
10.40 TD : 152/100 mmHg, nadi : 89 x/menit SPO2 :
98%
11.10 TD : 130/92 mmhg, Nadi : 94 x/menit SPO2 :
98%

34
 Operasi selesai
 Pemberian SA 0,5 mg dan
Neostigmin 0,5 mg
 Pemberian obat anastesi dihentikan,
pemberian O2 dipertahankan
 TD 130/80 mmHg, Nadi 95x/menit,
SPO2 99%, ETT dan guedel dicabut
setelah pasien dapat dibangunkan.
Lendir dikeluarkan dengan suction lalu
pasien diberi oksigen murni selama 5
menit.
Setelah semua peralatan dilepaskan (EKG,
manset tensimeter, oksimeter) pasien dibawa ke ruang
Recovery Room.

Monitoring perdarahan
Perdarahan
Kassa basah : 10 x 10 cc = 100 cc
Kassa ½ basah : 0 x 5cc = 0 cc
Suction : 100 cc
Total : 200 cc
Infus RL o/t regio dorsum manus sinistra

KETERANGAN TAMBAHAN
- EBV : 65 x 55 kg = 3575 cc
- EBL : 10% = 357,5 cc
20% = 715 cc
30% = 1072,5 cc

Post Operasi
Di Ruang Pemulihan
Setelah operasi selesai pukul 11.10, sekitar pukul 11.15 pasien dibawa ke
recovery room, lalu diberikan oksigen via nasal canul sebesar 2 liter/menit,

35
kemudian dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien
kesadarannya adalah compos mentis. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital
ditemukan tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 98/menit, respirasi 20/menit dan
saturasi O2 100%.
Pasien di observasi di recovery room
Instruksi Pasca Bedah :
 Bed rest,
 O2 2 L/i via nasal kanul
 Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam
 Injeksi Ondansentron 4 mg/12 jam
 Antibiotik dan terapi lain sesuai TS Bedah
 Pantau vital sign per 15 menit selama 2 jam.

3.4 Pembahasan Teori


TEORI KASUS
Pertimbangan anesthesia-analgesia yang Pasien perempuan 66
akan diberikan kepada pasien yang akan tahun dengan diagnosa
menjalani pembedahan, memperhatikan berbagai Chlelithiasis akan dilakukan
faktor, yaitu: tindakan Cholesistectomy
1. Umur  pada pasien bayi dan anak adalah dengan rencana GA-ETT
anestesi umum karena pasien ini kurang (General Anestesi Endo
kooperatif Tracheal Tube)
2. Jenis kelamin Faktor emosional dan rasa
malu yang lebih dominan pada pasien wanita
merupakan faktor pendukung pilihan
anesthesia umum.
3. Jenis operasi :
 Lokasi
 Posisi
 Manipulasi: operasi laparatomy dengan
manipulasi intraabdominal yang luas
dengan segala resiko, membutuhkan

36
relaksasi lapangan operasi optimal, harus
dilakukan dengan anestesi umum dengan
fasilitias intubasi endotrakeal
 Durasi  jika operasi membutuhkan
waktu yang sangat lama membutuhkan
anesthesia umum
Kontra indikasi: Berhubungan dengan
efek farmakologi obat yang digunakan
Komplikasi Intubasi Pada pasien ini tidak
1. Hipoksia dijumpai komplikasi dari
2. Trauma tindakan anestesi umum
3. Aktivitas Refleks
Komplikasi anestesi
1. Depresi SSP
Depresi pusat nafas.

37
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai Pasien ini
kebugaran fisik seseorang berasal dari The digolongkan dalam ASA 2
American Society of Anesthesiologists (ASA). karena terdapat gangguan
Klasifikasi sebagai berikut : sistemik ringan berupa
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, hipertensi terkontrol
psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik
ringan dan sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik
berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik
berat yang tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan
dangan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya
dicantumkan huruf E.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pasien Perempuan usia 66 tahun, berat badan 55 kg, status fisik ASA II, diagnosis
Cholelithiasis yang akan dilakukan tindakan Cholesistectomy.
2. Pasien dengan JMH 3 jari, Mallapati I, buka mulut 3 jari serta gerakan leher bebas.
3. Pasien dilakukan tindakan anastesi umum GA-ETT
4. Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi dilanjutkan pada pasien post
operasi ruang ICU, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah,

38
nadi, respirasi dan saturasi oksigen. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anastesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu
diperhatikan.
5. Kolelitiasis atau batu saluran empedu merupakan penyakit yang umumnya lebih
sering ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang.
Kolelitiasis merupakan salah satu masalah gastrointestinal yang paling sering
menyebabkan dilakukannya intervensi bedah. Tiap tahun, dilakukan sekitar 500.000
prosedur kolesistektomi di Amerika Serikat. Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10%
populasi usia dewasa di Amerika Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan
pada 70% dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu
dari sejumlah komposisi lain. Angka kejadian batu saluran empedu ini nampak
semaking meningkat seiring bertambahnya usia. Penelitian menggunakan
pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien dengan batu saluran
empedu umumnya nampak asimtomatik. Faktor risiko untuk pembentukan batu
empedu meliputi obesitas, diabetes melitus, estrogen dan kehamilan, penyakit
hemolitik, dan sirosis. Manifestasi klinik dari batu empedu dapat berupa nyeri
episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung empedu (kolesistitis akut) atau
inflamasi di saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi- komplikasi akibat migrasi
batu empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang
dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.

4.2 Saran
Untuk mencapai hasil maksimal dari anastesi sebaiknya permasalahan yang ada
diantipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anastesi dapat
diminimalisir.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. 2012. Anestesiologi Edisi 2. Jakarta: FKUI.

2. Mangku, Gde, Senapathi, Tjokorda Gde Agung. 2010. Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta : PT Indeks.

3. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, Anestesiologi. Jakarta: Bagian


Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI. 2004; p.1, 45, 49-58, 59-62, 63, 65-
71, 81-86, 93-109, 146-156.

4. Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC.

40
5. Badar S, Sore Throat. Bagian Anastesiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia – RSUPM Cipto Mangunkusumo. Jakarta 1982.

6. Wibowo S, KanadIhardja W, SjamsuhidaYat R, Syukur A (2005). Saluran


Empedu dan Hati. Sjamsuhidayat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
Ke 3 Jakarta : EGC,.

7. Morgan, M E. Mikhail, M. Murray M, 2006. Clinical Anasthesiologi Edisi Ke


4 New York : McGraw-Hill.

8. Girsang, J.H. Hiswani dan Jenadi. 2011. Karakteristik Penderita Kolelitiasis


Yang Rawat Inap di RS. Santa Elisabeth Medan, Jurnal Kesehatan.

9. Dr. Divatia J.V, Complications Of Endotracheal Intubation And Other Airway


Management Procedures, India J. ANasthesiologi 2005.

10. Sussan K. Sutphen, MD,Med, Out Of Hospital Endotracheal Intubation :


Emergency Medicine, June 2006.

41

Vous aimerez peut-être aussi