Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PAPER
Kelas C
Dosen pengampu
Drs. Kayan Swastika,. M.Si
Dr. Nurul Umamah,. M.Pd
Riza Afita Surya,. M.Pd
Oleh :
RIS lahir dari hasil kompromi antara RI dan negara-negara federal ciptaan
Belanda yang dicapai dalam Konferensi Inter-Indonesia dan dilanjutkan dalam
KMB. Ini merupakan kompromi antarelite politik. Aka“ tetapi, rakyat di negara-
negara federal yang sejak akhjr tahun 1949 menjadi negara bagian RIS, tetap
menghendaki bentuk negara kesatuan. Sejak aWal tahun 1950 sudah muncul
gerakan-gerakan yang menuntut pembubaran negara bagian dan
penggabungannya dengan RI. Pemberontakan yang dilancarkan oleh kelompok
kecil pendukung federalis, seperti APRA, Andi Azis, dan RMS (akan diuraikan di
bagian belakang), semakin memperkuat tuntutan tersebut.
1. lnstabilitas Politik
Dari tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat empat buah kabinet yang
memerintah sehingga rata-rata tiap tahun terdapat pergantian kabinet. Kabinet-
kabinet tersebut secara berturut-turut ialah Kabinet Natsir (September 1950-Maret
1951), Kabinet Sukiman (April 1951-April 1952), Kabinet Wilopo (April 1952
Juli 1953), dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953 Agustus 1955). Dapat
digambarkan, dalam waktu rata-rata satu tahun itu, tidak ada kabinet yang dapat
melaksanakan programya karena Parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet jika
kelompok oposisi kuat. Bahkan, pemah terjadi partai pemerintah menjatuhkan
kabinetnya sendiri.
4. politik luar negeri: menjalankan politik luar negeri secara bebas-aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Kabinet ini juga tidak berusia lama karena banyak soal yang mend‘apat
tantangan dalam Parlemen termasuk dari Masyumi dan PNI sendiri. Konflik
politik muncul akibat Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) menginstruksikan
penonaktifan dewan-dewan perwakilan daerah yang dibentuk berdasarkan PP N o.
39. Konflik kepentingan bertambah tajam ketika Iskaq mengangkat tokoh PNI
menjadi gubemur di Iawa Barat dan Sulawesi. Sementara itu, Menteri Kehakiman
Muh. Yamin, tanpa persetujuan kabinet, membebaskan 950 orang tahanan SOB.
Tindakan ini ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan golongan militer.
Akibatnya Yamin mengundurkan diri.
Kedudukan kabinet yang sudah goyah itu semakin goyah karena soal tanah
di Sumatra Timur yang terkenal dengan nama Peristiwa Tanjung Morawa.22
Peristiwa itu terjadi karena pemerintah, sesuai dengan apa yang diputuskan dalam
persetujuan KMB, mengizinkan pengusaha asing kembali mengusahakan tanah-
tanah perkebunan. Sebetulnya Mr. Iskaq Tjokroadisurjo, Menteri Dalam Negeri
Kabinet Sukiman, pada tahun 1951 sudah mengadakan kompromi sebagai dasar
penyelesaian masalah pengusahaan perkebunan asing. Pemerintah sudah
menyetujui dikembalikannya tanah Deli Planters Vereeniging (DPV) yang sudah
bertahun-tahun ditinggalkan dan sementara itu digarap oleh petani Sumatra Utara
yang terdiri dari bangsa Indonesia dan keturunan Cina. Kabinet Wilopo kemudian
melaksanakannya. Akan tetapi, petani penggarap yang dihasut oleh kader-kader
PKI menolak untuk meninggalkan tanah garapan mereka. Pada tanggal 16 Maret
1953 Gubemur Sumatra Utara A. Hakim (Masyumi) memerintahkan satuan polisi
memaktor tanah tersebut. Para penggarap mengadakan perlawanan yang
mengakibatkan jatuhnya korban, lima orang meninggal dan beberapa orang
ditangkap. Peristiwa ini mendapat sorotan tajam dan emosional baik dari pers
maupun dalam Parlemen. Mosi tidak percaya dilancarkan oleh Sidik Kertapati
dari Sarekat Tani Indonesia (Sakti). Dalam mosi itu disampaikan tuntutan agar
pemerintah menghentikan usaha pengosongan tanah tersebut dan semua tahanan
dibebaskan. PNI cabang Sumatra Utara mendesak Fraksi PNI dalam Parlemen
agar mendukung mosi Kertapati dengan ancaman akan keluar dari PNI jika hal itu
tidak dilakukan. Sebagian anggota DPP PNI pun mendesak agar Gubemur A.
Hakim meletakkan jabatannya. Akibatnya, pada tanggal 2 juni 1953 Wilopo
mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Kab'met kembali demisioner dan
Indonesia mengalami krisis pemerintahan lagi.
Untuk membentuk kabmet baru yang diharapkan mendapat dukungan
Yang cukup dari Parlemen, pada tanggal 15 luni 1953 Presiden Soekamo
menunjuk Sarmidi Mangunsarkoro (PNI) dan Moh. Roem (Masyumi) sebagai
formatur. Kedua formatur gagal mencapai kesepakatan dengan beberapa Partai.
Pada tanggal 24 Iuni 1953 mereka mengembalikan mandat kepada Presiden.
Formatur baru, Mukarto Notowidagdo (PNI), tidak pula berhasil
mencapai'kesepakatan dengan Masyumi mengenai komposisi dan personalia
kabinet. Setelah Mukarto mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 Juli
Presiden Soekarno menunjuk Mr. Wongsonegoro (PIR) sebagai formatur. Ia
berhasil menghimpun partai-partai kecil untuk mendukungnya. Pada tanggal 80
Juli kabinet baru dilantik tanpa mengikutsertakan Masyumi, tetapi memunculkan
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan baru. Ali Sastroamidjojo diangkat
sebagai Perdana Menteri. Kabinet mi dlkenal dengan nama Kabinet Ali 1 atau
Kabinet Ali-Wongso.
Pada bulan Oktober terjadi penggantian Kepala Staf TNI AD. Tiga orang
calon diajukan yaitu Kolonel Simbolon, Kolonel Gatot Subroto, dan Kolonel
Zulkiflj Lubis. Akan tetapi, tidak ada kesepakatan dalam Parlemen siapa dari
ketiga calon ini yang akan dipilih sebab masing-masing ada yang menentangnya.
Atas usul NU, Kolonel A.H. Nasution dicalonkan dan Nasution sendiri pada
tanggal 25 Oktober 1955 menerima pencalonan itu. Akhimya, pada tanggal 28
Oktober 1955 diputuskan bahwa Kolonel AHNasution kembali diangkat menjadi
Kepala Staf Angkatan Darat.
Program kabinet ini yang disebut Rencana Lima Tahun, memuat soaL soal
jangka panjang, yaitu usaha perjuangan memasukkan Irian Barat ke dalam RI,
melaksanakan pembentukan daerah-daerah otonom dan mempercepat pemilihan
anggota-anggota DPRD; mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan
pegawai; menyehatkan keuangan negara sehingga tercapai imbangan anggaran
belanja serta berusaha mewujudkan pergantian ‘ ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
"... Dalam hal ini bukan maksud pemerintah Indonesia untuk membentuk
suatu blok ketiga, tetapi adalah menjadi pendapat Indonesia, bahwa suatu
konferensi Asia-Afrika sangat mungkin mendorong terciptanya suatu faktor
perdamaian dan dapat memberikan sumbangan bagi perdamaian dunia.
a. tidak memilih salah satu pihak untuk selamanya dengan mengikat diri kepada
salah satu dari dua blok dalam pertentangan itu;
b. tidak mengikat diri untuk selamanya atau akan bersikap netral dalaIn tiap-tiap
peristiwa yang terbit dari pertentangan antara dua blok itu”
a. paham tentang niat dan tujuannya sebagai anggota yang ikhlas, setia dan
bersungguh-sungguh dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
1) memajukan kemauan baiik dan kerja sama antara bangsa bangsa Asia-Afrika
dalam menjelajah dan memajukan kepentingan-kepentingan bersama mereka serta
memperkukuh hubungan persahabatan dan tetangga baik
2. meninjau masalah-masalah hubungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari
negara-negara yang diwakili
3. hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri (di dalamnya antara
lain termasuk soal Palestina dan rasialisme)
5. masalah perdamaian dunia dan kerja sama internasional (di dalamnya termasuk
beberapa segi tentang PBB, soal koeksistensi masalah Indo Cina, Aden, serta
masalah pengurangan persenjataan serta masalahmasalah senjata pemusnah
massal).
D. Kehidupan Ekonomi
1. Masa Awal Kemerdekaan
Pada tanggal 27 Desember 1949, merupakan pengakuan kedaulatan
Indonesia oleh pemerintah Belanda. Pemerintah Indonesia menghadapi berbagai
masalah ekonomi yang gawat akibat pendudukan militer Jepang (1942-1945) dan
perjuangan bersenjatamelawan Belanda (1945-1949). Selama itu, banyak fasilitas
produksi (perkebunan besar, tambang, dan pabrik) serta prasarana fisik (jalan
raya, jembatan, pelabuhan besar dan jalan kereta api) megalami kerusakan besar.
Jaringan irigasi yang luas di pulau Jawa mengalami bnayak kerusakan karena
pembabatan hutan yang luas dan terbengkalainya pemeliharaan selama
pendudukan Jepang dan masa perjuangan fisik terhadap Belanda. Jawa adalah
gudang beras Indonesia, tetapi produksi beras di Pulau Jawa merosot dengan
tajam. Demikian pula dengan produksi beras di daerah-daerah penghasil beras di
luar Jawa. Termasuk Sulawesi Selatan, Bali, Lombok, dan Sumbawa yang juga
turun secara drastis (Abdullah dan Lapian. 2012:241).
Pada masa pendudukan Jepang, perkebunan besar rata-rata
milikperusahaan Belanda dan Barat lainnya, termasuk yang membudidayakan
tanaman musiman maupun tahunan, ditutup oleh pengusaha Jepang. Produksi gula
di Jawa yang sebelum pendudukan Jepang rata-rata berjumlah 1,5 juta ton
setahun, pada 1947 hanya berjumlah 20.000 ton. Banyak lahan perkebunan besar
yang membudidayakan tanaman tahunan diambil alih penduduk setempat, yang
kemudian menanam tanaman pangan di lahan-lahan tersebut. Selama perjuangan
bersenjata, kebanyakan pabrik di hancurkan (Abdullah dan Lapian. 2012:241).
Kondisi ekonomi yang dihadapi Indonesia pada awal tahunan 1950-an
dibahas rinci dalam suatu laporan yang telah disusun De Javasche Bank. Bank
sirkulasi di Hindia Belanda, tiga tahun sebelumnya. Laporan De Javasche Bank
tersebut disusun sebagai bagian dari laporan pemerintahan Belanda yang
disampaikan kepadapemerintahan Amerika Serikat, agar memperoleh bantuan
dalam rangka Rencana Bantuan Marshall. Laporan tersebut menekankan bahwa
tidak mungkin secara pasti kerusakan fisik yang telah diderita Indonesia selama
pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tetapi, laporan tersebut
memperkirakan bahwa kerusakan fisik berjumlah kuranglebih 2 miliar dolar AS
(menurut harga tahun 1938) Indonesia pada tahun 1950 (Abdullah dan Lapian.
2012:241).
Dalam laporan De Javasche Bank di sajikan perkiraan tingkat produksi
berbagai sektor pada tahun 1950 sebagai presentase dari tingkat produksi sebelum
pendudukan Jepang.
Perkebunan besar
Gula 1,175 2 210 - 18
Kopi 29 6 17 22 59
Teh 72 28 40 38 56
Tembakau 24 4 6 18 25
Minyak dan biji 268 121 182 45 68
sawit
Karet 157 238 238 98 152
Pertambangan
Minyak bumidan 6,067 5,95 9,887 97 90
prouk yang disuling
Batubara 368 62 67 17 18
Timah dan biji 27 44 49 167 181
mentah
Bauksit 274 550 247 201 90
Sumber : Abdullah dan Lapian. 2012:243
Angka-angka dalam tabel kedua memperlihatakan bhawa ekpor karethaisl
perkebunan rakyat sesudah perang meningkat jauh lebih pesat dibanding dengan
keadaan sebelum perang dan dnegan volume ekspor karet hasil perkebunan besar
yang telah mengalami kemerosotan atau kerusakan yang lebih besar selama
perang.
2. Pemikiran Ekonomi Nasional
Dr. Sumitro Djojohadikusumo berpendapat bahwa pembangunan ekonomi
baru dilakukan dengan cara mengubah struktur ekonomi umumnya dari ekonomi
kolonial ke ekonomi nasional. Sumitro mencoba mempraktikkan pemikirannnya
pada sekotor perdagangan. Ia berpendapat bahwa pada bangsa Indonesia harus
selekas mungkin ditumbuhkan kelas pengusaha. Para pengusaha bangsa Indonesia
umumnya modalnya lemah, namun akan diberikan kesempatan berpartisipasi
membangun ekonomi nasional. Pemerintah seharusnya membantu dan
membimbing para pengusaha-pengusaha, baik dalam bentuk bimbingan konkret
maupun dengan bnatuan pemberian kredit karena pemerintah menyadari bahwa
pengusaha Indonesia umumnya tida mempunyai modal yang cukup. Apabila
usaha-usaha ini berhasil atau sukses, makasecara bertahap pengusaha bangsa
Indonesia dapat berkembang baik dan maju, sesuai tujuan mengubah struktur
ekonomi kolonial di bidang perdagangan tercapai (Soejono dan Leirisa,
2010:332).X
Gagasan sumitro dituangkan dalam program Kabinet Natsir pada bulan
September 1950-April 1951) dan waktu itu Sumitro menjabat sebagai Menteri
Perdagangan. Program ini dikenal dengan nama Program Benteng. Gerakan
Benteng atau Benteng Group telah dimulai pada bulan April 1950. Selama tiga
tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia mendapat
kredit bantuan dari program Benteng tersebut. Program pemerintahan ini pada
hakikatnya adalah kebijakan melindungi pengusaha-pengusaha pribumi. Namun,
usaha tersebut bekum berhasil mencapai tujuan (Soejono dan Leirisa, 2010:332-
333).X
Pengusaha-pengusaha di Indonesia sangat lamban untuk berkembang,
bahkan ada yan menyalahgunakan maksud pemerintahan ini dengan mencari
keuntungan secara cepat. Bantuan kredit ternyata tidak seefektif mungkin,
sehingga program pemerintahan tidak berhasil. Padahal, pemerintah menambah
beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selama kurang
lebih 10 bulan sejak bulan April 1951 sampai Februari 1952, Kabinet Sukiman
memegang pemerintahan berusaha membatasi krisis moneter. Nasionalisasi
terhadap De Javasche Bank merupakan salah satu usaha yang ditempuhnya
(Soejono dan Leirisa, 2010:333).X
Krisis moneter yang dihadapi pemerintahan adaah defisit anggaran belanja
pada tahun 1952 sebanyak 3 Miliyar rupiah, ditambah dengan sisa defisit
anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Meskipun dilanda krisis
moneter, menteri keuangan Jusuf Wibosono masih memberikan perhatian kepada
para pengusaha dan pedagang nasional golongan ekonomi lemah. Sesuai dengan
Program Benteng kepada mereka masih diberikan bantuan pinjaman uang.
Dengan demikian, diberikannya bantuan tersebut diharapkan para pengusaha yang
merupakan produsen dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Menteri Perekonomian (Mr. Iskaq Tjokrohadikusumo) dibawah kabinet
Ali lebih mengutamakan kebijakan Indonesianisasi, yang merupakan mendorong
tumbuh dan berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi dalam
usaha merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Langkah-angkah
yang diambil antara lain :
a. Mewajibkan perusahaan-perusahaan asing memberikan pelatihan-pelatihan dan
tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bnagsa Indonesia agra dapat menduduki
jabatan-jabatan staf.
b. Mendirikan perusahaan-perusahaan negara.
c. Menyediakan kredt dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
d. Memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-
perusahaan asing yang ada.
Kebijakan pemerintah di bidang perekonomian, terutama mengenai lisansi
istimewa menimbulkan perdebatan di parlemen, oleh Tjikwan dari Masyumi
diajukan mosi tidak percaya terhadap Menteri Perekonomian Iskaq. Meskipun
Mosi Tjikwan dapat dikalahkan, kabinet menjadi goyah, karena NU
menyampaikan nota politik yang menghendaki perubahan-perubahan kabinet.
Pada bulan November 1954 Mr. Iskaq digantikan oleh Ir. Roosseno
Surjodikusumo. Mengenai masalah pengelolaan bank pemerintah dan swasta di
Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara bekas Menteri Keuangan pada Kabinet RIS
dan kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia mengatakan bahwa
keberhasilan suatu bank sentral, dalam hal ini adalah bank pemerintah, tergantung
pada dorongan dan kerja sama dengan bank-bank lainnya. Demi kelangsungan
hidup bank-bank yang lebih kecil lainnya, bank sentral harus dapat mengurangi
persaingan dengan mereka (Soejono dan Leirisa, 2010:333).X
3. Sistem Ekonomi Liberal
Setelah pengakuan kedaulatan, Indonesia mennaggung beban ekonomi dan
keuangan sebagai akibat ketentuan-ketentuan KMB. Beban utang luar negeri
sebesar Rp 1.500 juta dan utang dalam negeri sejumlah Rp 2.800 juta. Struktur
ekonomi yang diwarisi berat sebelah. Ekspor masih tergantung kepada beberapa
jenis hasil perkebunan. Produksi barang-barang ekspor ini dibawah produksi
sebelum Perang Dunia II.
Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah
mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup,
sedangkan masalah jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk dan
tingkat hidup yang rendah. Beban yang berta merupakan konsekuensi dari
pengakuan kedaulatan. Defisit pemerintah pada waktu itu sejumlah Rp 5,1 Miliar.
Defisit ini untuk sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah, yaitu
dengan cara melakukan pinjaman wajib Rp 1,6 miliar pada tanggal 20 Maret
1950. Kemudian dengan kesepakatan sidang menteri Uni Indonesia-Belanda.,
diperoleh sebesar kredit Rp 200.000.000,00 dari negara Belanda. Pada tanggal 13
Maret di bidang perdagangan diadakan usaha untuk memajukan ekspor dengan
sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang ekspor.
Nilai tukar rupiah dari Rp 3,80 setiap $1, menjadi Rp 7, untuk setiap $1 untuk
ekspor, dan Rp 11,40 setiap $1 untuk impor. Sistem ini memberikan penghasilan
yang besar kepada eksportir dalam rupiah sehingga mereka dapat membayar lebih
tinggi kepada produsen (Soejono dan Leirisa, 2010:334-335).
Karena pecanya perang korea, ekspor RI pada kuartal kedua meningkat
menjadi 187% pada bulan April 1950, dan 243% pada bulan mei 1950, atau
sejumlah $115 juta. Disamping usaha-usaha tersebut pemerintah berusaha
mendapat kredit dari luar negeri. Kredit ini dimaksudkan untuk pembangunan
prasarana ekonomi. Misi menteri kemakmuran Ir. Djuanda ke Amerika Serikat
berhasil mendapat kredit dari Exim Bank of Wangshington sejumlah
$100.000.000. dari jumalh tersebut direasilisaikan sejumlah $52.245.000. jumlah
ini ditentukan untuk membangun proyek-proyek pengangkutan automoti,
pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan
udara (Soejono dan Leirisa, 2010:335).
Sejak tahun 1951 penerimaan pemerintahan mulai berkurang disebabkan
oeh menurunnya volume perdaganagn international. Indonesia sebagai negara
yang sedang berkembang tidka memiliki barang-barang ekspor menunjukkan arah
yang stabil, bahkan sebaliknya. Pengeluaran pemerintahan yang semakin
meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik (perluasan adalah sebab utama
bagi defisit. Disamping itu, pemerintah sendiri tidak berhasil meningkatkan
produksi dengan menggunakan sumber-sumber yang masih ada untuk
peningkatan pendapatan nasional. Kecuali, kelemahan pemerintah lainnya adalah
politik keuangan tidka dibuat di Indonesia tetapi dirancang di Nederland. Akibat
dari olitik kolonial Belanda, pemerintahan belanda tidka mewariskan ahli-ahli
yangcukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke
ekonomi nasional tidak menghasilkan perubahan yang sama (Soejono dan Leirisa,
2010:335).
Pemerintah berusaha keras untuk meningkatkan penghasilan negara.
Kebijakan moneter ditinjau kembali sesudah pada akhir 1951 Indonesia
menasionalkan De Javsche Bank. Usaha pemerintah adalah menurunkan biaya
ekspordan melakukan tindakan penghematan. Defisit pada tahun 1952 telah
meningkat menjadi 3 miliar rupiah. Awalnya pemerintah tidka pernah meminta
DPR untuk mengesahkan anggaran belanja. Barulah sejak tahun 1952 rencana
anggaran belanja dimintakan persetujuan DPR.
Karena defisit, kecenderungan mencetak uangbaru, yang menimbulkn
tendensi inflansi. Kecenderungan inflansi secara tidak langsung menghambat
produksi karena naiknya upah. Sejak tahun 1953 defisit anggaran belanja
pemerintahan sebesar Rp 3.047 juta dan peredaran uang berjmalh Rp 7,6 miliar.
Defisit ini meluncur sampai tahun 1958.
1953 3.047 juta rupiah
1954 3.600 juta rupiah
1955 2.000 juta rupiah
1956 2.300 juta rupiah
1957 5.300 juta rupiah
Abdullah, Taufik & Lapian, A.B. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta:
PT. Ictiar Baru Van Hoeve.