Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ ganda yang terletak di daerah abdomen, retroperitoneal antara
vetebra lumbal 1 dan 4. Pada neonatus kadang-kadang dapat diraba. Ginjal terdiri dari korteks
dan medula. Tiap ginjal terdiri dari 8-12 lobus yang berbentuk piramid. Dasar piramid terletak di
korteks dan puncaknya yang disebut papilla bermuara di kaliks minor. Pada daerah korteks
terdapat glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan distal.
Panjang dan beratnya bervariasi yaitu ±6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup bulan,
sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobus-lobus
yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur.
Tiap ginjal mengandung ± 1 juta nefron (glomerulus dan tubulus yang berhubungan
dengannya ). Pada manusia, pembentukan nefron selesai pada janin 35 minggu. Nefron baru
tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah hipertrofi dan hiperplasia
struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional.
Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air.
Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3ˉ.
Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam rentang normal.
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama urea, asam
urat dan kreatinin.
Fungsi dasar nefron adalah membersihkan atau menjernihkan plasma darah dan
substansi yang tidak diperlukan tubuh sewaktu darah melalui ginjal. Substansi yang paling
penting untuk dibersihkan adalah hasil akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan
lain-lain. Selain itu ion-ion natrium, kalium, klorida dan hidrogen yang cenderung untuk
berakumulasi dalam tubuh secara berlebihan.
Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak diperlukan dalam
tubuh adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan menghasilkan
cairan filtrasi.
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak diperlukan tidak
akan direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan direabsorpsi kembali ke dalam
plasma dan kapiler peritubulus.
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi yang tidak
diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi
dan plasma langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi
urine yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi
dan juga sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.
1. glomerulus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar
korteks.
2. glomerulus jukstamedular yang mempunayi ansa henle yang panjang sampai ke bagian
dalam medula. Glomerulus semacam ini berada di perbatasan korteks dan medula dan
merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsoprsi air dan slut.
Tidak ada protein plasma yang lebih besar dari albumin pada filtrat gromerulus
menyatakan efektivitas dari dinding kapiler glomerulus sebagai suatu barier filtrasi. Sel endotel,
membran basal dan sel epitel dinding kapiler glomerulus memiliki kandungan ion negatif yang
kuat. Muatan anion ini adalah hasil dari 2 muatan negatif: proteoglikan (heparan-sulfat) dan
glikoprotein yang mengandung asam sialat. Protein dalam darah relatif memiliki isoelektrik yang
rendah dan membawa muatan negatif murni. Karena itu, mereka ditolak oleh dinding kapiler
gromerulus yang muatannnya negatif, sehingga membatasi filtrasi.
gambar 5. anatomi sistem ginjal
2.2. FISIOLOGI
2.2.1. Filtrasi glomerulus
Dengan mengalirnya darah ke dalam kapiler glomerulus, plasma disaring melalui dinding
kapiler glomerulus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel, mengandung semua substansi
plasma seperti ektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatinin, peptida, protein-protein dengan berat
molekul rendah kecuali protein yang berat molekulnya lebih dari 68.000 (seperto albumin dan
globulin). Filtrat dikumpulkan dalam ruang bowman dan masuk ke dalam tubulus sebelum
meningalkan ginjal berupa urin.
Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan
penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut single nefron
glomerular filtration rate (SN GFR). Besarnya SN GFR ditentukan oleh faktor dinding kapiler
glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut.
SN GFR = Kf.(∆P-∆π) = Kf.P.uf
Koefisien ultrafiltrasi (Kf) dipengaruhi oleh luas permukaan kapiler glomerulus yang
tersedia untuk filtrasi dan konduksi hidrolik membran basal.
Tekanan ultrafiltrasi (Puf) atau gaya Starling dalam kapiler ditentukan oleh:
§ tekanan hidrostatik dalam kapiler glomerulus (Pg)
§ tekanan hidrostatik dalam kapsula bowman atau tubulus (Pt)
§ tekanan onkotik dalam kapiler glomerulus (π g)
§ tekanan onkotik dalam kapsula bowman yang dianggap nol karena ultra filtrat tidak mengandung
protein.
Laju filtrasi glomelurus (LFG) sebaiknya ditetapkan dengan cara pengukuran klirens
kreatinin atau memakai rumus berikut:
Harga “k” pada: BBLR < 1 tahun = 0,33
LFG = k Tinggi Badan (cm) Aterm < 1 tahun = 0,45
Kretinin serum (mg/dl) 1 – 12 tahun = 0,55
Berbagai kemungkinan penyebab GN antara lain: adanya zat yang berasal dari luar yang
bertindak sebagai antigen (Ag), rangsangan autoimun, dan induksi pelepasan sitokin/ aktifasi
komplemen lokal yang menyebabkan kerusakan glomerular. Pada umumnya kerusakan
glomerular (glomerular injury) tidak diakibatkan secara langsung oleh endapan kompleks imun
di glomerulus, akan tetapi hasil interaksi dari sistem komplemen, mediator humoral dan selular.1
Tiga
mekanisme imunologik yang menjelaskan terjadinya GN adalah ikatan langsung antara antibodi
(Ab) dengan Ag glomerulus (fixed antigen), terjebaknya kompleks imun yang beredar dalam
sirkulasi (circulating immune complexes) dan endapan kompleks imun insitu (planted antigen).
Menurut kejadiannya GN dibedakan atas GN primer dan GN sekunder. Dikatakan GN primer
jika penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri dan GN sekunder jika kelainan ginjal terjadi
akibat penyakit sistemik lain seperti penyakit autoimun tertentu, infeksi, keganasan atau penyakit
metabolik.
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup
A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-
14 hari setelah infeksi streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar
10-15%.
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan
bahwa :
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi
terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan karena infeksi dari
streptokokus, penyebab lain diantaranya:
1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus,
Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll
2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis epidemika
dl
3. Parasit : malaria dan toksoplasma
2.3.2.1. Streptokokus
Streptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk
pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan bakteri yang
heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan
oleh Streptococcus hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini diberi spesies nama S. pyogenes.
S. pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
A. Sterptolisin O adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan
tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen. Sterptolisin
O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan dipotong
cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisisn O bergabung
dengan antisterptolisin O, suatu antibody yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap
sterptokokus yang menghasilkan sterptolisin O. antibody ini menghambat hemolisis oleh
sterptolisin O. fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum
antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan
adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi
setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas.
B. Sterptolisin S adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptokokus
yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini
dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan
dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptokokus.
Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang sering
disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan glomerulonefritis.
2.3.3. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah suatu proses kompleks imun dimana
antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam darah dan komplemen
untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun yang beredar dalam darah dalam
jumlah yang banyak dan waktu yang singkat melekat pada kapiler-kapiler glomerulus dan terjadi
perusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen, reaksi peradangan dan mikrokoagulasi.
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga
terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang merupakan unsur
membran plasma streptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan
bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam
membran basalis. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan
yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis
dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM).
Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel
mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk
oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen antigen-
antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai
bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan
cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi
hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap
di membran basalis glomerulus. Aktivasi kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada
membran basalis glomerulus.
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan komplemen yang dianggap merupakan mediator
utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus, kompleks-kompleks ini dapat tersebar
dalam mesangium, dilokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau
menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam
kompleks ini tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-endapan terpisah
atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop
imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti
IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3, C4 dan C2 sering dapat
diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini
terkadang dapat diidentifikasi.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh
Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap
IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah
yang kemudian mengendap di ginjal.
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya
GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin
ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem
komplemen.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen
bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik.
Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan
kerusakan dapat ringan dan berlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post
steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan
adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan
hipotesis sebagai berikut :
2.3.6. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan laboratoriun
a. Pemeriksaan urine : adanya proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan
eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder
lekosit (+) dan lain-lain. Analisa urine adanya strptococus
b. Pemeriksaan darah :
- kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.
- jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatem dan hipokalsemia.
- analisa gas darah ; adanya asidosis.
- Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah.
- kadar albumin, darah lengkap (Hb,leukosit,trombosit dan erytrosit)adanya anemia
c. Pemeriksaan Kultur tenggorok : menentukan jenis mikroba adanya streptokokus
d. Pemeriksaan serologis : antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase
e. Pemeriksaan imunologi : IgG, IgM dan C3.kompleks imun
2. Pemeriksaan radiologi : foto thorak adanya gambaran edema paru atau payah jantung
3. ECG : adanya gambaran gangguan jantung
Keterangan gambar :
Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop electron. Gambar menunjukjan
proliferadi dari sel endothel dan sel mesangial juga infiltrasi lekosit yang bergabung dnegan
deposit electron di subephitelia.(lihat tanda panah)
Gambar 11. Histopatologi glomerulonefritis dengan immunofluoresensi
Keterangan gambar :
Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop immunofluoresensi dengan
pembesaran 25×. Gambar menunjukkan adanya deposit immunoglobulin G (IgG) sepanjang
membran basalis dan mesangium dengan gambaran ”starry sky appearence”
2.3.8. DIAGNOSIS
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan
gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut
setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis (analisa air
kemih), bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen
C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat
menyerupai glomerulonefritis akut pasca streptokokus pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA
dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria
nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut
pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat
faringitas (synpharyngetic hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok
hematuria timbul 10 hari setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada
nefropati-IgA.
Glomerulonefritis akut yang terjadi setelah infeksi selain streptokokus biasanya lebih
mudah terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya masih berlangsung.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan laju endap darah meningkat, kadar hemoglobin
menurun akibat hipervomia (retensi air dan garam). Seddangkan pada pemeriksaan urin
didapatkan jumlah urin berkurang, berat jenis meningkat, hematuria makroskopik dan ditemukan
albumin, eritrosit, dan leukosit.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria
makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang
menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan
glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut
pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit.
Pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus perjalanan penyakitnya cepat membaik
(hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik dan proteinuria masih
lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada
glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan
tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan
glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu
6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada glomerulonefritis yang
lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl sedangkan kadar ASTO > 100 kesatuan Todd.
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat
infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis
membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan
biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan
terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi.
2.3.9. DIAGNOSIS BANDING
GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit, diantaranya adalah :
1. Nefritis IgA
Periode laten antara infeksi dengan onset nefritis adalah 1-2 hari, atau ini mungkin berhubungan
dengan infeksi saluran pernafasan atas.
2. MPGN (tipe I dan II)
Merupakan penyakit kronik, tetapi pada awalnya dapat bermanifestasi sama sperti gambaran
nefritis akut dengan hipokomplementemia.
3. Lupus nefritis
Gambaran yang mencolok adalah gross hematuria
4. Glomerulonefritis kronis
Dapat bermanifestasi klinis seperti glomerulonefritis akut.
2.3.10. PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di
glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu
untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis
seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini
sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg
BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah
garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala
serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat
parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah
dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan
usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat
dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak
berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk, 1972).
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
2.3.11. KOMPLIKASI
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagian akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan
spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung
dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas
dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun.
2.3.12. PROGNOSIS
Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan
penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus. Diuresis
akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya
sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum,
kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen
serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat
selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok yang
terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna sangat
baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang
persisten.Sebaliknya prognosis glomerulonefritis akut pasca streptokokus pada dewasa kurang
baik.
Potter dkk menemukan kelainan sedimen urin yang menetap (proteinuria dan hematuria)
pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad. Prevalensi hipertensi
tidak berbeda dengan kontrol.Kesimpulannya adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis
akut pascastreptokok baik. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis
penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih
dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh
karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstra-
kapiler dan gagal ginjal krooni
Infeksi/ Penyakit
(Streptococurs β hemoliticus grup A)
Proteinuria
Perubahan, eliminasi urine.
Intoleran aktifitas
Kelelahan (Fatique)
G3.Kesimbangan cairan
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
1. Indentitas klien
GNA adalah suatu reaksi imunologi yang sering ditemukan pada anak umur 3-7 tahun lebih
sering pada pria
2. Riwayat penyakit sebelumnya :
Adanya riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat lupus eritematosus atau penyakit
autoimun lain.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Klien mengeluh kencing berwarna seperti cucian daging, bengkak sekitar mata dan seluruh
tubuh. Tidak nafsu makan, mual , muntah dan diare. Badan panas hanya sutu hari pertama sakit.
4. Pertumbuhan dan perkembangan :
Ø Pertumbuhan :
BB = 9x7-5/2=29 kg , menurut anak umur 9 tahun BB nya adalah BB umur 6 tahun = 20 kg
ditambah 5-7 lb pertahun = 26 - 29 kg, tinggi badan anak 138 cm. Nadi 80—100x/menit, dan
RR 18-20x/menit, tekanan darah 65-108/60-68 mm Hg. Kebutuhan kalori 70-80 kal/kgBB/hari.
Gigi pemanen pertama /molar, umur 6-7 tahun gigi susu mulai lepas, pada umur 10—11 tahun
jumlah gigi permanen 10-11 buah.
Ø Perkembangan :
Psikososial : Anak pada tugas perkembangan industri X inferioritas, dapat menyelesaikan tugas
menghasilkan sesuatu.
5. Pengkajian Perpola
a. Pola nutrisi dan metabolik:
Suhu badan normal hanya panas hari pertama sakit. Dapat terjadi kelebihan beban
sirkulasi karena adanya retensi natrium dan air, edema pada sekitar mata dan seluruh tubuh.
Klien mudah mengalami infeksi karena adanya depresi sistem imun. Adanya mual , muntah dan
anoreksia menyebabkan intake nutrisi yang tidak adekuat. BB meningkat karena adanya edema.
Perlukaan pada kulit dapat terjadi karena uremia.
b. Pola eliminasi :
Eliminasi alvi tidak ada gangguan, eliminasi urin : gangguan pada glumerulus
menyebakan sisa-sisa metabolisme tidak dapat diekskresi dan terjadi penyerapan kembali air
dan natrium pada tubulus yang tidak mengalami gangguan yang menyebabkan oliguria sampai
anuria, proteinuri, hematuria.
c. Pola Aktifitas dan latihan :
Pada Klien dengan kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus karena
adanya hiperkalemia. Dalam perawatan klien perlu istirahat karena adanya kelainan jantung dan
dan tekanan darah mutlak selama 2 minggu dan mobilisasi duduk dimulai bila tekanan ddarah
sudah normaal selama 1 minggu. Adanya edema paru maka pada inspeksi terlihat retraksi dada,
pengggunaan otot bantu napas, teraba , auskultasi terdengar rales dan krekels , pasien mengeluh
sesak, frekuensi napas. Kelebihan beban sirkulasi dapat menyebabkan pemmbesaran jantung
(Dispnea, ortopnea dan pasien terlihat lemah) , anemia dan hipertensi yang juga disebabkan oleh
spasme pembuluh darah. Hipertensi yang menetap dapat menyebabkan gagal jantung.
Hipertensi ensefalopati merupakan gejala serebrum karena hipertensi dengan gejala penglihatan
kabur, pusing, muntah, dan kejang-kejang. GNA munculnya tiba-tiba orang tua tidak
mengetahui penyebab dan penanganan penyakit ini.
d. Pola tidur dan istirahat :
Klien tidak dapat tidur terlentang karena sesak dan gatal karena adanya uremia. keletihan,
kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus
e. Kognitif & perseptual :
Peningkatan ureum darah menyebabkan kulit bersisik kasar dan rasa gatal. Gangguan
penglihatan dapat terjadi apabila terjadi ensefalopati hipertensi. Hipertemi terjadi pada hari
pertama sakit dan ditemukan bila ada infeksi karena inumnitas yang menurun.
f. Persepsi diri :
Klien cemas dan takut karena urinenya berwarna merah dan edema dan perawatan
yang lama. Anak berharap dapat sembuh kembali seperti semula
g. Hubungan peran :
Anak tidak dibesuk oleh teman – temannya karena jauh dan lingkungan perawatann
yang baru serta kondisi kritis menyebabkan anak banyak diam.
h. Nilai keyakinan : Klien berdoa memohon kesembuhan sebelum tidur.
2. Potensial kelebihan volume cairan b.d. retensi air dan natrium serta disfungsi ginjal.
Tujuan : Klien tidak menunjukan kelebihan volume cairan
Rencana Rasional
1. Pantau dan laporkan tanda dan gejala 1,2. Memonitor kelebihan cairan
kelebihan cairan : sehingga dapat dilakukan tindakan
2. Ukur dan catat intak dan output setiap penanganan
4-8 jam 3,4.Jumlah , karakteristik urin dan
3. Catat jumlah dan karakteristik urine BB dapat menunjukan adanya
4. Ukur berat jenis urine tiap jam dan ketidak seimbangan cairan.
timbang BB tiap hari 5.Natrium dan protein meningkatkan
5. Kolaborasi dengan gizi dalam osmolaritas sehingga tidak terjadi
pembatasan diet natrium dan protein retriksi cairan.
6. Berikan es batu untuk mengontrol 6. Rangsangan dingin ddapat
rasa haus dan maasukan dalam merangsang pusat haus
perhitungan intak 7. Memonitor adanya ketidak
7. Pantau elektrolit tubuh dan observasi seimbangan elektrolit dan
adanya tanda kekurangan elektrolit menentukan tindakan penanganan
tubuh yang tepat.
- Hipokalemia : kram abd,letargi,aritmia
- Hiperkalemia : kram otot, kelemahan
- Hipokalsemia : peka rangsang pada
neuromuskuler
- Hiperfosfatemia:
hiperefleksi,parestesia, kram otot, gatal,
kejang 8.Pemberian elektrolit yang tepat
- Uremia : kacau mental, letargi,gelisah mencegah ketidak seimbangan
8. Kaji efektifitas pemberian elektrolit elektrolit.
parenteral dan oral
3. Potensial terjadi infeksi (ISK, lokal, sistemik) b.d. depresi sistem imun
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi setelah diberikan asuhan keperawatan.
Rencana Rasional
1.Kaji efektifitas pemberian 1.Imunosupresan berfunsi menekan
imunosupresan. sisteem imun bila pemberiannya tidak
2.Pantau jumlah leukosit. ekeftif maka tubbuh akan sangat
3.Pantau suhu tiap 4 jam. rentan terhadap infeksi
4.Perhatikan karakteristik urine. 2.Indikator adanya infeksi
5.Hindari pemakaian alat/kateter pada 3.Memonitor suhu & mengantipasi
saluran urine. infeksi
6.Pantau tanda dan gejala ISK dan 4.Urine keruh mmenunjukan adanya
lakukan tindakan pencegahan ISK. infeksi saluran kemiih
7.Gunakan dan anjurkan tehnik cuci 5.Kateter dapat menjadi media
tangan yang baik. masuknya kuman ke saluran kemih
8.Anjurkan pada klien untuk 6.Memonitor adanya infeksi sehingga
menghindari orang terinfeksi dapat dilakukan tindakan dengan
9.Lakukan pencegahan kerusakan cepat
integritas kulit 7.Tehnik cuci tangan yang baik dapat
memutus rantai penularan.
8.Sistim imun yang terganggu
memudahkan untuk terinfeksi.
9.Kerusakan integritas kulit merupakan
hilangnya barrier pertama tubuh
5. Perubahan integritas kulit b.d. imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan edema.
Tujuan : Klien tidak menunjukan adanya perubahan integritas kulit selama menjalani
perawatan.
Rencana Rasional
1. Kaji kulit dari kemerahan, 1. Mengantisipasi adanya kerusakan
kerusakan, memar, turgor dan suhu. kulit sehingga dapat diberikan
2. Jaga kulit tetap kering dan bersih penangan dini.
3. Bersihkan & keringkan daerah 2,3. Kulit yang kering dan bersih tidak
perineal setelah defikasi mudah terjadi iritasi dan mengurangi
4. Rawat kulit dengan menggunakan media pertumbuhan kuman.
lotion untuk mencegah kekeringan 4. Lotion dapat melenturkan kulit
untuk daerah pruritus. sehingga tidak mudah pecah/rusak.
5. Hindari penggunaan sabun yang 5. Sabun yang keras dapat menimbulkan
keras dan kasar pada kulit klien kekeringan kulit dan sabun yang kasar
6. Instruksikan klien untuk tidak dapat menggores kulit.
menggaruk daerah pruritus. 6. Menggaruk menimbulkan kerusakan
7. Anjurkan ambulasi semampu klien. kulit.
8. Bantu klien untuk mengubah posisi 7,8.Ambulasi dan perubahan posisi
setiap 2 jam jika klien tirah baring. meningkatkan sirkulasi dan mencegah
9. Pertahankan linen bebas lipatan penekanan pada satu sisi.
10. Beri pelindung pada tumit dan siku. 9.Lipatan menimbulkan tekanan pada
11. Lepaskan pakaian, perhiasan yang kulit.
dapat menyebabkan sirkulasi 10. Sirkulasi yang terhambat
terhambat. memudahkan terjadinya kerusakan
12. Tangani area edema dengan hati - kulit..
hati. 12. Elastisitas kulit daerah edema
13. Pertahankan nutrisi adekuat. sangat kurang sehingga mudah rusak
13. Nutrisi yang adekuat meningkatkan
pertahanan kulit
3.4 ANALISA DATA
NO ETIOLOGI MASALAH
DX KEPERAWATAN
1 Infeksi streptokokus β hemoliticus group A Intoleransi aktifitas b.d.
kekurangan protein dan
Migrasi sel radang ke glomerulus disfungsi ginjal
Intoleransi aktivitas
2 Infeksi streptococcus β hemoliticus group A Potensial kelebihan,
volume cairan
berhubungan dengan
retansi natrium dan air
Terbentuknya komplek antigen anti body
serta disfungsi ginjal.
Merusak glomerulus
Gangguan filtrasi
Edema
Odema
Perubahan integritas kulit berhubungan dengan
odema.
hemoliticus group A
odema
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
indonesia sehat
I . I D E N T I T A S
1. Nama :Tn. N
2. Umur :30
3. J enis kelamin : laki -laki
4. Status :kawin
5. Agama :islam
6. Suku/bangsa : madura/Indonesia
7. Bahasa :Madura
8. Pendidikan : SMA
9. Pekerjaan : Wiraswasta
10. Alamat dan No. Telp : Jabung Wetan, Paiton/ -
11. Penanggung Jawab : Tn. W
Keterangan :
: laki – laki
: perempuan
: klien
: meninggal
: garis keluarga
: tinggal satu rumah
6. Riwayat alergi :
Klien mengatakan bahwa klien tidak mempunyai alergi makanan dan obat ataupun benda lainnya
Uremia
Asidosis metabolik
Mual muntah
2 Ds : pasien mengatakan Nutrisi kurang dari Intoleransi Aktivitas
kencing bercampur darah kebutuhan
dan lelah yang
berkepanjangan
Do :
- K/U lemah
TTV
- TD : 130/90mmHg Streptoccus
- RR : 20x/mnt
- N : 90x/mnt
- S : 37° C Infeksi glomerulus
Glomeruluonefritis akut
Kerusakan glomerulus
kebocoran glomerulus
hematuria
anemia
in adekuatnya O2
3 Ds : klien mengatakan Ansietas
kencing bercampur darah
Do : penurunan perfusi jaringan
- K/U lemah
- Klien kebingungan intoleransi aktivitas
- Klien tampak tegang
TTV
- TD : 130/90mmHg
- RR : 20x/mnt
- N : 90x/mnt
- S : 37° C
Streptoccus
Infeksi glomerulus
Glomeruluonefritis akut
Kerusakan glomerulus
kebocoran glomerulus
hematuria
kurang pengetahuan
ansietas
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN NOC NIC
1 Intoleransi Aktivitas b/d ketidak Setelah dilakukan asuhan1. Kaji pola aktivitas
seimbangan suplai O2 dan keperawatan selama 3x24 klien
kebutuhan O2 yang ditandai jam aktivitas kembali 2. Kaji respon emosi,
dengan lelah yang berkepanjangan normal spiritual dan sosial
Ds : pasien mengatakan kencing Dengan kriteria hasil : terhadap aktivitas
bercampur darah dan lelah yang - Klien tidak lemah 3. Evaluasi motivasi dan
berkepanjangan - Vital sign dalam batas keinginan untuk
Do : normal (TD : 120/80 meningkatkan aktivitas
- K/U lemah mmHg, N : 60–100 4. Evaluasi Ajarka klien
TTV x/mnt, , RR : 16–24 mengguanakn snafas
- TD : 130/90mmHg x/mnt. terkontrol apabila
- RR : 20x/mnt - Keadaan baik beraktivitas
- N : 90x/mnt 5. Penggunakan terknik
- S : 37° C relaksasi waktu
beraktivitas
2 6. Ciptakan lingkungan
yang nyaman untuk
Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan b/d kondisi pasien, agar
mual dan muntah yang ditandai pasaien dapat
dengan penrunan Berat Badan S etelah dilakukan beristirahat, batasi
Ds : pasien mengatakan sering asuhan keperawatan pengunjung.
lelah yang bekepanjangan dan tidak selama 3x24jam
nafsu makan, mual dan muntah diharapakan nutrisi
Do : kembali terpenuhi
- BB menurun Dengan kriteria hasil : 1. Kaji kebiasaan pasien,
- K/U lemah - BB kembali normal makanan yang disukai
TTV - K/U baik dan waktu makan yang
- TD : 130/90mmHg - Vital sign dalam batas disukai
- RR : 20x/mnt normal (TD : 120/80 2. Pantau keluaran dan
- N : 90x/mnt mmHg, N : 60–100 masukan dan keluaran
- S : 37° C x/mnt, , RR : 16–24 3. Pantau berat badan
x/mnt. setiap hari
4. Berikan informasi
yang tepat tentang
kebutuhan nutrisi dan
bagaimana
memenuhinya
5. Ciptakan lingkungan
yang nyaman untuk
kondisi pasien, agar
pasaien dapat
beristirahat, batasi
pengunjung.
6. Kolaborasi dengan tim
gizi tentang diit yang
dibutuhkan klien
RENCANA KEPERAWATAN
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
A. Anatomi Fisiologi
Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh
simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula
(“juxtame-dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal
dari arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata ,
dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya
kedua arteriola itu disebut kutub vaskuler.
C. Etiologi
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di
traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi
streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an
timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina,diisolasinya kuman
streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada
serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa
laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih
bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan
factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya
glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik
akut yang ditandai dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi
ginjal. Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis akut
pasca streptococcus terutama menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3
tahun.Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat
mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga
pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan
kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit
ini dapat dikurangi.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti
keracunan timah hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis, purpura
anafilaktoid dan lupus eritematosus.
D. Patogenesis
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis
akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan
auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis
ginjal.
b. Glomerulonefritis Primer
1. Glomerulonefritis membranoproliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak
spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30%
pasien menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya
menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan sembab,
sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang
ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga
penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.
2. Glomerulonefritis membranosa
Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah
pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling sering dijumpai
pada hepatitis B dan lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang
dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-6% pada anak dengan sindrom nefrotik. Umur
rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar antara 10-12 tahun, meskipun pernah
dilaporkan awitan pada anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan
jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik
merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat
pada 50-60%, dan hipertensi 30%.
3. Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma
nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada
kasus dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA
asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik.
Adanya episode hematuria makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau
infeksi lain atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.
c. Glomerulonefritis sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis
pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta
hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia
sekolah. Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata,
kadang-kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka dan hipertensi.
F. Manifestasi Klinis
1. Hematuria
2. Edema pada wajah terutama periorbita atau seluruh tubuh
3. Oliguria
4. Tanda-tanda payah jantung
5. Hypertensi
6. Muntah-muntah,nafsu makan kurang kadang diare
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi
tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi. Kadang-
kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya
edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung.Edema yang terjadi berhubungan
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium,
zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Di pagi hari sering terjadi edema
pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota GFR
biasanya menurun (meskipun aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan
aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium.Dipagi hari sering terjadi edema pada
wajah terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh
ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya tergantung pada berat peradangan glomerulus,
apakah disertai dengan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan
garam.
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian
pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal,
maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila
keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali
pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain
yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan
diare tidak jarang menyertai penderita GNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya
sedang.Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme
masih belum diketahui dengna jelas.
G. Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan
spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung
dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas
dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang
menurun.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan urine : adanya proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan
eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder
lekosit (+) dan lain-lain. Analisa urine adanya strptococus
2. Pemeriksaan darah :
- kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.
- jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatem dan hipokalsemia.
- analisa gas darah ; adanya asidosis.
- Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah.
- kadar albumin, darah lengkap (Hb,leukosit,trombosit dan erytrosit)adanya anemia
3. Pemeriksaan Kultur tenggorok : menentukan jenis mikroba adanya streptokokus
4. Pemeriksaan serologis : antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase \
5. Pemeriksaan imunologi : IgG, IgM dan C3.kompleks imun
6. Pemeriksaan radiologi : foto thorak adanya gambaran edema paru atau payah jantung
7. ECG : adanya gambaran gangguan jantung
Urinalisis menunjukkan hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita,
Kadang-kadang dengan tanda gagal ginjal seperti Kadang-kadang tampak adanya proteinuria
masif dengan gejala sindroma nefrotik. pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi
C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien.
Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus
dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan C3 tidak berhubungan
dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen akan mencapai kadar normal
kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada
glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung
lebih lama.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan
kulit.Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap
antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain
antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup
bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus.
Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan
faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya
serum diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan,
lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi sterptokokus.Titer ASTO meningkat pada
hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus
biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga
sebaiknya uji titer dilakukan secara seri.Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3.kompleks imun
bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu
dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.
I. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah selama 6-8 minggu
untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus
yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari,
sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman
penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis
seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini
sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg
BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah
garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal
jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan harus
dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk
menenangkan penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala
serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka selanjutnya
reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat
parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah
dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan
usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun dapat
dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak
berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk, 1972).
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
a. Pengkajian Anamnesis
1. Indentitas klien:
GNA adalah suatu reaksi imunologi yang sering ditemukan pada anak umur 3-7 tahun lebih
sering pada pria
2. Riwayat penyakit
Sebelumnya :
Adanya riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat lupus eritematosus atau penyakit
autoimun lain.
Sekarang :
Klien mengeluh kencing berwarna seperti cucian daging, bengkak sekitar mata dan seluruh
tubuh. Tidak nafsu makan, mual , muntah dan diare. Badan panas hanya sutu hari pertama sakit.
3. Pertumbuhan dan perkembangan :
Ø Pertumbuhan :
BB = 9x7-5/2=29 kg , menurut anak umur 9 tahun BB nya adalah BB umur 6 tahun = 20 kg
ditambah 5-7 lb pertahun = 26 - 29 kg, tinggi badan anak 138 cm. Nadi 80—100x/menit, dan
RR 18-20x/menit, tekanan darah 65-108/60-68 mm Hg. Kebutuhan kalori 70-80 kal/kgBB/hari.
Gigi pemanen pertama /molar, umur 6-7 tahun gigi susu mulai lepas, pada umur 10—11 tahun
jumlah gigi permanen 10-11 buah.
Ø Perkembangan :
Psikososial : Anak pada tugas perkembangan industri X inferioritas, dapat menyelesaikan tugas
menghasilkan sesuatu.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas/istirahat
- Gejala: kelemahan/malaise
- Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus otot
2. Sirkulasi
- Tanda: hipertensi, pucat,edema
3. Eliminasi
- Gejala: perubahan pola berkemih (oliguri)
- Tanda: Perubahan warna urine (kuning pekat, merah)
4. Makanan/cairan
- Gejala: (edema), anoreksia, mual, muntah
- Tanda: penurunan keluaran urine
5. Pernafasan
- Gejala: nafas pendek
- Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman (pernafasan kusmaul)
6. Nyeri/kenyamanan
- Gejala: nyeri pinggang, sakit kepala
- Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
c. Pengkajian Perpola
a. Pola nutrisi dan metabolik:
Suhu badan normal hanya panas hari pertama sakit. Dapat terjadi kelebihan beban sirkulasi
karena adanya retensi natrium dan air, edema pada sekitar mata dan seluruh tubuh. Klien mudah
mengalami infeksi karena adanya depresi sistem imun. Adanya mual , muntah dan anoreksia
menyebabkan intake nutrisi yang tidak adekuat. BB meningkat karena adanya edema. Perlukaan
pada kulit dapat terjadi karena uremia.
b. Pola eliminasi :
Eliminasi alvi tidak ada gangguan, eliminasi urin : gangguan pada glumerulus menyebakan sisa-
sisa metabolisme tidak dapat diekskresi dan terjadi penyerapan kembali air dan natrium pada
tubulus yang tidak mengalami gangguan yang menyebabkan oliguria sampai anuria, proteinuri,
hematuria.
d. Pemeriksaan Diagnostik
Pada laboratorium didapatkan:
- Hb menurun ( 8-11 )
- Ureum dan serum kreatinin meningkat.
( Ureum : Laki-laki = 8,84-24,7 mmol/24jam atau 1-2,8 mg/24jam, wanita = 7,9-14,1
mmol/24jam atau 0,9-1,6 mg/24jam, Sedangkan Serum kreatinin : Laki-laki = 55-123
mikromol/L atau 0,6-1,4 mg/dl, wanita = 44-106 mikromol/L atau 0,5-1,2 mg/dl ).
- Elektrolit serum (natrium meningkat, normalnya 1100 g)
- Urinalisis (BJ. Urine meningkat : 1,015-1,025 , albumin , Eritrosit , leukosit )
- Pada rontgen: IVP abnormalitas pada sistem penampungan (Ductus koligentes)
- Pemeriksaan darah
LED meningkat.
Kadar HB menurun.
Albumin serum menurun (++).
Ureum & kreatinin meningkat.
Titer anti streptolisin meningkat.
e. Analisa Data
No Etiologi Problem
DX
1 Infeksi streptokokus β hemoliticus group A Intoleransi aktifitas b.d.
kekurangan protein dan
disfungsi ginjal
Migrasi sel radang
ke glomerulus
Antigen-Antibody
dalam dinding kapiler
Fibrinogen dan
plasma melalui dinding sel
Intoleransi aktivitas
2 Potensial kelebihan,
Infeksi streptococcus β hemoliticus volume cairan
groupA berhubungan dengan
retansi natrium dan air
serta disfungsi ginjal.
Terbentuknya komplek antigen anti body
Merusak glomerulus
Gangguan filtrasi
Edema
Resiko
peradangan/infeksi berhubungan dengan
depresi system imun
4 Infeksi/ Penyakit Potensial gangguan
perfusi jaringa b.d
(Streptococurs β hemoliticus grup A) hipertensi
Odema
Perubahan integritas kulit berhubungan
dengan odema.
6 Kurang pengetahuan
Keadaan social ekonomi keluarga rendah
berhubungan dengan
kurang informasi
Lingk. Tempat tinggal yang tidak sehat
tentang proses penyakit.
Terjadi Infeksi
streptococcus β
hemoliticus group A
Odema
f. Diagnosa Keperawatan
1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal
2. Potensial kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air dan natrium serta disfungsi
ginjal.
3. Potensial terjadi infeksi (ISK, lokal, sistemik) berhubungan dengan depresi sistem imun.
4. Potensial gangguan perfusi jaringan: serebral/kardiopulmonal berhubungan dengan resiko krisis
hipertensi.
5. Perubahan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan
edema.
6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit,
perawatan dirumah dan instruksi evaluasi.
g. Intervensi
1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal
Tujuan : Klien dapat toleransi dengan aktifitas yang dianjurkan.
Intervensi Rasional
1. Pantau kekurangan protein yang 1. Kekurangan protein beerlebihan
berlebihan(proteinuri, albuminuria ) dapat menimbulkan kelelahan.
2. Gunakan diet protein untuk mengganti 2. Diet yang adekuat dapat
protein yang hilang. mengembalikan kehilangan
3. Beri diet tinggi protein tinggi 3. TKTP berfungsi menggantikan
karbohidrat. 4. Tirah baring meningkatkan
4. Anjurkan Pasien untuk tirah baring mengurangi penggunaan energi.
5. Berikan latihan selama pembatasan 5. Latihan penting untuk
aktifitas. mempertahankan tunos otot
6. Rencana aktifitas denga waktu istirahat.6. Keseimbangan aktifitas dan
7. Rencanakan cara progresif untuk istirahat mempertahankan
kembali beraktifitas normal ; evaluasi kesegaran.
tekanan darah dan haluaran protein urin.
7. Aktifitas yang bertahap menjaga
kesembangan dan tidak
mmemperparah proses penyakit
2. Potensial kelebihan volume cairan b.d. retensi air dan natrium serta disfungsi ginjal.
Tujuan : Klien tidak menunjukan kelebihan volume cairan
Rencana Rasional
1. Pantau dan laporkan tanda dan gejala 1. Memonitor kelebihan cairan
kelebihan cairan: sehingga dapat dilakukan tindakan
Ukur dan catat intak dan output setiap penanganan
4-8 jam 2. Jumlah , karakteristik urin dan
2. Catat jumlah dan karakteristik urine BB dapat menunjukan adanya
Ukur berat jenis urine tiap jam dan ketidak seimbangan cairan
timbang BB tiap hari 3. Natrium dan protein meningkatkan
3. Kolaborasi dengan gizi dalam osmolaritas sehingga tidak terjadi
pembatasan diet natrium dan protein retriksi cairan.
4. Berikan es batu untuk mengontrol rasa
4. Rangsangan dingin ddapat
haus dan maasukan dalam perhitungan merangsang pusat haus
intak 5. Memonitor adanya ketidak
5. Pantau elektrolit tubuh dan observasi seimbangan elektrolit dan
adanya tanda kekurangan elektrolit menentukan tindakan penanganan
tubuh yang tepat.
Hipokalemia : kram abd,letargi,aritmia6. Pemberian elektrolit yang tepat
Hiperkalemia : kram otot, kelemahan mencegah ketidak seimbangan
Hipokalsemia : peka rangsang pada elektrolit.
neuromuskuler
Hiperfosfatemia: hiperefleksi,parestesia,
kram otot, gatal, kejang
Uremia : kacau mental, letargi,gelisah
6. Kaji efektifitas pemberian elektrolit
parenteral dan oral
3. Potensial terjadi infeksi (ISK, lokal, sistemik) b.d. depresi sistem imun
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi setelah diberikan asuhan keperawatan.
Rencana Rasional
1. Kaji efektifitas pemberian 1. Imunosupresan berfunsi menekan
imunosupresan. sisteem imun bila pemberiannya
2. Pantau jumlah leukosit. tidak ekeftif maka tubbuh akan
3. Pantau suhu tiap 4 jam. sangat rentan terhadap infeksi
4. Perhatikan karakteristik urine. 2. Indikator adanya infeksi
5. Hindari pemakaian alat/kateter pada 3. Memonitor suhu & mengantipasi
saluran urine. infeksi
6. Pantau tanda dan gejala ISK dan 4. Urine keruh mmenunjukan adanya
lakukan tindakan pencegahan ISK. infeksi saluran kemiih
7. Gunakan dan anjurkan tehnik cuci 5. Kateter dapat menjadi media
tangan yang baik. masuknya kuman ke saluran kemih
8. Anjurkan pada klien untuk menghindari6. Memonitor adanya infeksi
orang terinfeksi sehingga dapat dilakukan tindakan
9. Lakukan pencegahan kerusakan dengan cepat
integritas kulit 7. Tehnik cuci tangan yang baik dapat
memutus rantai penularan.
8. Sistim imun yang terganggu
memudahkan untuk terinfeksi
9. Kerusakan integritas kulit
merupakan hilangnya barrier
pertama tubuh
5. Perubahan integritas kulit b.d. imobilisasi, uremia, kerapuhan kapiler dan edema.
Tujuan : Klien tidak menunjukan adanya perubahan integritas kulit selama menjalani perawatan.
Rencana Rasional
1. Kaji kulit dari kemerahan, kerusakan,1. Mengantisipasi adanya kerusakan
memar, turgor dan suhu. kulit sehingga dapat diberikan
2. Jaga kulit tetap kering dan bersih penangan dini.
Bersihkan & keringkan daerah 2. Kulit yang kering dan bersih tidak
perineal setelah defikasi mudah terjadi iritasi dan mengurangi
3. Rawat kulit dengan menggunakan media pertumbuhan kuman.
lotion untuk mencegah kekeringan 3. Lotion dapat melenturkan kulit
untuk daerah pruritus. sehingga tidak mudah pecah/rusak.
4. Hindari penggunaan sabun yang 4. Sabun yang keras dapat menimbulkan
keras dan kasar pada kulit klien kekeringan kulit dan sabun yang kasar
5. Instruksikan klien untuk tidak dapat menggores kulit.
menggaruk daerah pruritus. 5. Menggaruk menimbulkan kerusakan
6. Anjurkan ambulasi semampu klien. kulit.
7. Bantu klien untuk mengubah posisi 6. Ambulasi dan perubahan posisi
setiap 2 jam jika klien tirah baring. meningkatkan sirkulasi dan mencegah
Pertahankan linen bebas lipatan penekanan pada satu sisi.
Beri pelindung pada tumit dan siku 7. Lipatan menimbulkan tekanan pada
8. Lepaskan pakaian, perhiasan yang kulit.
dapat menyebabkan sirkulasi 8. Sirkulasi yang terhambat
terhambat. memudahkan terjadinya kerusakan
kulit.
9. Tangani area edema dengan hati -
hati.
10. Pertahankan nutrisi adekuat. 9. Elastisitas kulit daerah edema sangat
kurang sehingga mudah rusak
10. Nutrisi yang adekuat meningkatkan
pertahanan kulit
h. Implementasi
Melakukan implementasi sesuai dengan intervensi dengan memegang prinsip sebagai berikut :
1). Mempertahankan toleransi anak terhadap aktivitas sehari-hari.
2). Mempertahankan cairan tubuh dalam batas normal.
3). Mencegah terjadinya infeksi.
4). Meningkatkan pengetahuan orang tua terhadap penyakit anaknya.
5). Memenuhi kebutuhan nutrisi klien adekuat.
i. Evaluasi
Dari setiap tindakan yang dilakukan secara paripurna untuk mengatasi masalah keperawatan
akan didapatkan hasil sebagai berikut :
1). Tujuan tercapai / masalah teratasi.
2). Tujuan tercapai sebagian, Intervensi dilanjutkan.
3). Tujuan belum tercapai / masalah belum teratasi dilakukan reasesmen.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
GNA adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus
tertentu (infeksi kuman streptococcus). GNA sering ditemukan pada anak usia 3-7 thn dan pada
anak pria lebih banyak. Penyakit sifilis,keracunan,penyakit amiloid,trombosis vena
renalis,purpura anafilaktoid, dan lupus eritematosus. Laju endap darah meninggi, HB menurun
pada pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin mengurang, berat
jenis meninggi,hematuria makroskopik, albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+),silinder
leukosit,ureum dan kreatinin darah meningkat. Pada penyakit ini, klien harus istirahat selama 1-2
minggu, diberikan penicilli, pemberian makanan rendah protein dan bila anuria, maka ureum
harus dikeluarkan. Komplikasi yang ditimbulkan adalah oliguria,ensefalopati
hipertensi,gangguan sirkulasi serta anemia. Gejala-gejala umum yang berkaitan dengan
permulaan penyakit adalh rasa lelah, anoreksia dan kadang demam,sakit kepala, mual, muntah.
Gambaran yang paling sering ditemukan adalah :hematuria, oliguria,edema,hipertensi
Tujuan utama dalam penatalaksanaan glomerulonefritis adalah untuk
meminimalkan kerusakan pada glomerulus, meminimalkan metabolisme pada ginjal,
meningkatkan fungsi ginjal
Tidak ada pengobatan khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan
glomerulus. Pemberian pinisilin untuk membrantas semua sisa infeksi,tirah baring selama
stadium akut, diet bebas bila terjadi edema atau gejala gagal jantung danantihipertensi kalau
perlu,sementara kortikosteroid tidak mempunyai efek pada glomerulofritis akut pasca infeksi
strepkokus.
Pronosis penyakit pada anak-anak baik sedangkan prognosisnya pada orang
dewasa tidak begitu baik.
Search
Sakinah Sehat Kreatif
Manisnya Berbagi, Indahnya Memberi, We Care We Share!
Home
Kumpulan Askep
Dunia Perawat
Melancong
Pojok Islami
Cuap-Cuap
Recomended Blog »
Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh simpai
Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula (“juxtame-
dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal dari arteriola
afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata , dan kemudian
berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola itu
disebut kutub vaskuler. Di seberangnya terdapat kutub tubuler, yaitu permulaan tubulus contortus
proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang oleh
jaringan yang disebut mesangium, yang terdiri atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler
dalam keadaan normal tampak paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel
endotel, yang mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel
epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan sitoplasma, yang
disebut sebagai pedunculae atau “foot processes”.
Maka itu sel epitel viseral juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit
terdapat membrana basalis glomeruler (GBM = glomerular basement membrane). Membrana
basalis ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron ternyata bahwa
membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan, yaitu dari arah dalam ke luar ialah lamina rara
interna, lamina densa dan lamina rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam
berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai
Bowman. Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler pada kutub
vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler . Dalam keadaan patologik,
sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi membentuk bulan sabit (” crescent”).Bulan sabit
bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa.
Populasi glomerulus ada 2 macam yaitu :
1. glomerulus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar
korteks.
2. glomerulus jukstamedular yang mempunayi ansa henle yang panjang sampai ke bagian
dalam medula. Glomerulus semacam ini berada di perbatasan korteks dan medula dan
merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsoprsi air dan slut.
2.2 Definisi
Glomerulonefritis dapat juga disertai demam scarlet (demam yang muncul karena infeksi bakteri
streptokokus sehingga muncul ruam merah dan radang tenggorokan) dan impetigo (infeksi
purulen akut yang menular) serta infeksi virus akut. Contohnya, ISPA, gondongan, varisela,
Epstein-barr, hepatitis B, dan infeksi HIV. Proses inflamasi ginjal yang melibatkan reaksi
antigen-antibodi sekunder terhadap infeksi di tempat lain pada tubuh; faktor pencetus paling
umum adalah streptokokus beta hemolitik grup A.
Glomerulonefritis adalah penyakit yang mengenai glomeruli kedua ginjal. Factor penyebabnya
antara lain reaksi imunologis (Lupus eritematosus sistemik, infeksi streptokokus, cedera vascular
(hipertensi), dan penyakit metabolic (diabetes mellitus). Glomerulonephritis akut yang paling
lazim adalah yang akibat infeksi streptokokus. Glomerulonephritis akut biasanya terjadi sekitar
2-3 minggu setelah serangan infeksi streptokokus. Faring, tonsil, dan kulit (empetigo) merupakan
tempat infeksi primer. Penyakit ini banyak mangenai anak-anak usia prasekolah dan anak-anak
umur sekolah.
2. Etiologi
Faktor penyebab yang mendasari sindrom ini secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi
dan non infeksi:
a. Infeksi
Infeksi streptokokus beta-hemolitikus group A terjadi sekitar 5-10% pada orang dengan radang
tenggorokan dan 25% pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab nonstreptokokus, meliputi
bakteri, virus dan parasit.
b. Non-infeksi
Penyakit sistemik multisistem, seperti pada lupus eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis,
sindrom Goodpasture, granulomatosis Wegener. Kondisi penyabab lainnya adalah pada kondisi
sindrom Guillain-Bare.
Menurut Brunner dan Suddarth. Biasanya terjadi sakit kepala, malaise, edema fasial dan nyeri
tekan. Umum terjadi hipertensi ringan sampai berat dan nyeri tekan pada sudut kostovertebral
(CVA).
Tanda dan gejala yang lain sebagai berikut:
2.5 Patofisiologi
Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang merupakan
unsur membran plasma streptococcal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi di dalam
darah dan bersirkulasi ke dalam glomerulus, kompleks tersebut secara mekanis terperangkap
dalam membrane basalis. Selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan
peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi.
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membrane basalis
glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel
yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran
kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang
sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks
komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul sub epitel pada mikroskop
electron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop
imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak dan hiperseluler
disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang dilakukan, penyebab infeksi pada glomerulus akibat dari reaksi
hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang timbul dari infeksi) mengendap
di membrane basalis glomerulus. Aktivasi komplemen yang menyebabkan destruksi pada
membran basalis glomerulus.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptococcus,
merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibody terhadap IgG yang telah
berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian
mengendap di ginjal.
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya
Glomerulonefritis. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin.
Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan system komplemen sehingga terjadi cascade dari system
komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit. Bila
terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan mesangiopatik
berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapat meluas diantara sel-sel endotel dan
membrane basalis, serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama
terletak subendotel ataus ubepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa,
seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek imun
subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membrane basalis
glomerulus berangsur- angsu rmenebal dengan masuknya kompleks-kompleks kedalam
membrane basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun
dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks
tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung
menembus simpai kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler di
bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah
menembus membrane basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat berlokalisasi
pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas, misal antigen bakteri
dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu atau dengan terapi spesifik. Pada
keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan
dapat ringan dan berlangsung singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis
sebagai berikut :
2. Pemeriksaan Diagnosis
a. Laju endap Darah (LED) meningkat
b. Kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air)
c. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin darah meningkat bilafungsi ginjal mulai
menurun
d. Jumlah urine berkurang
e. Berat jenis meninggi
f. Hematuria makroskopis ditemukan pada 50% pasien
g. Ditemukan pula albumin (+), eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit dan
hialin
h. Titer antistreptolisin O (ASO) umumnya meningkat jika ditemukan infeksi
tenggorok, kecuali kalau infeksi streptokokus yang mendahului hanya mengenai
kulit saja
i. Kultur sampel atau asupan alat pernapasan bagian atas untukidentifikasi
mikroorganisme
j. Biopsi ginjal dapat diindikasikan jika dilakukan kemungkinantemuan adalah
meningkatnya jumlah sel dalam setiap glomerulusdan tonjolan subepitel yang
mengandung imunoglobulin dan komplemen.
2. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Tidak ada pengobatan yag khusus yang memengaruhi penyembuhan kelainan di glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dahulu dianjurkan selama 6-8 minggu. tetapi
penyelidikan terakhir dengan hanya istirahat 3-4 minggu tidak berakibat buruk bagi
perjalanan penyakitnya
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotic ini tidak memengaruhi
beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangimenyebarnya infeksi
streptococcus yang mungkin masih ada.Pemberian penisilin dianjurkan hanya untuk
10 hari. Pemberian profilaksi yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap
kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap.Secara
teoretis anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman neritogenlain, tetapi kemungkinan
ini sangat kecil.
3. Makanan pada fase akut diberikan makanan rendah protein 1 g/kg BB/hari) dan
rendah garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan pada pasien dengan suhu tinggi
dan makanan biasa bila suhunormal kembali. Bila ada anuria atau muntah, diberikan
IVFD dengan larutan glukosa 10%. pada pasien dengan tanpa komplikasi pemberian
cairan disesuaikan dengan kebutuhan,sedangkan bila ada komplikasi seperti ada
gagal jantung, edema,hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang diberikan
harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedative
untuk menenangkan pasien sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi
dengan gejala serebral diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan
reserpin sebanyak 0,07 mg/kg BB secara intramuscular. Bila terjadi dieresis 5-10
jam kemudian, selanjutnya pemberian sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena
member efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7/hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah. Dapat dengan cara peritoneumdialysis, hemodialisisi, tranfusi tukar dan
sebagainya.
6. Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut,tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosamid (Lasix) secara intravena (1mg/kg BB/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
7. Bila timbul gagal jantung, diberikan digitalis, sedativum dan oksigen.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien GNA perlu dirawat dirumah sakit karena memerlukan pengobatan/pengawasan
perkembangan penyakitnya untuk mencegah penyakit menjadi lebih buruk. hanya pasien GNA
yang tidak terdapat tekanan darah tinggi, jumlah urine satu hari paling sedikit 400ml dan
keluarga sanggup setra mengerti boleh dirawat diruah di bawah pengawasan dokter. Masalah
pasien yang perlu diperhatikan adalah gangguan faal ginjal, resiko terjadi komplikasi, diet,
gangguan rasaaman dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
Gangguan faal ginjal. Ginjal diketahui sebagai alat yang salah satu dari fungsinya adalah
mengeluarkan sisa metabolism terutama proteinsebagai ureum, juga kalium, fosfat, asam urat,
dan sebagainya. Karena terjadi kerusakan pada glumerolus (yang merupakan reaksi
autoimunterhadap adanya infeksi streptococcus ekstrarenal) menyebabkan gangguan filtrasi
glomerulus dan mengakibatkan sisa-sia metabolismtidak dapat diekskresikan maka di dalam
darah terdapat ureum, dan lainnya lagi yang disebutkan di atas meninggi. Tetapi tubulus karena
tidak terganggu maka terjadi penyerapan kembali air dan ion natriumyang mengakibatkan
banyaknya urine berkurang, dan terjadilah oliguria sampai anuria. untuk mengetahui keadaan
ginjal, pasien GNA perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk fungsi ginjal, laju endap darah
(GNA), urine,dan foto radiologi ginjal. Urine perlu ditampung selama 24 jam, diukur banyaknya
dan berat jenisnya (BJ) dicatat pada catatan khusus (catatan pemasukan/pengeluaran cairan). Bila
dalam 24 jam jumlah urine kurang dari 400 ml supaya memberitahukan dokter.
Tempat penampung urine sebaiknya tidak dibawah tempat tidur pasien karena selain tidak sedap
dipandang juga menyebabkan bau urine didalam ruangan. penampung urine harus ada tutupnya
yang cocok, diberi etiket selain “nama” juga jam dan tanggal mulai urine ditampung. Hati-
hati jika ada nama yang sama jangan tertukar; tuliskan juga nomor tempattidur atau nomor
register pasien. Tempat penampung urine harus dicuCi bersih setiap hari; bila terdapat
endapan yang sukar digosok pergunakan asam cuka, caranya merendamkan dahulu beberapa
saat baru kemudian digosok pakai sikat. untuk membantu lancarnya dieresisdi samping obat-
obatan pasin diberikan minum air putih dan dianjurkan agar anak banyak minum (ad libitum)
kecuali jika banyaknya urine kurang dari 200 ml. berapa banyak pasien dapat menghabiskan
minum air supaya dicatat pada catatan khusus dan dijumlahkan selama 24 jam. Kepada
pasien yang sudah mengerti sebelum mulai pencatatan pengeluaran/pemasukan cairan tersebut
harus diterangkaan dahulu mengapa ia harus banyak minum air putih dan mengapa air kemih
harus ditampung. Jika anak akan buang air besarsupaya sebelumnya berkemih dahulu ditempat
penampungan urine baru ke WC atau sebelumnya gunakan pot lainnya. Dengan demikian bahwa
banyaknya urine adalah benar-benar dari keseluruhan urine pada hari itu.
Resiko terjadi komplikasi. Akibat fungsi ginjal tidak fisiologis menyebabkan produksi urine
berkurang, sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan sehingga terjadi uremia, hiperfosfatemia,
hiperkalemia, hidremia, dan sebagainya. Keadaan ini akan menjadi penyebab gagal ginjal akut
atau kronik (GGA/GGK) jika tidak secepatnya mendapatkan pertolongan. Karena adanya retensi
air dan natrium dapat menyebabkan kongesti sirkulasi yang kemudian menyebabkan terjadinya
efusi ke dalam perikard dan menjadikan pembesaran jantung. Jika keadaan tersebut berlanjut
akan terjadi gagal jantung. Keadaan uremia yang makin meningkat akan menimbulkan
keracunan pada otak yang biasanya ditandai dengan adanya gejala hipertensi ensefalopati, yaitu
pasien merasa pusing, mual, muntah, kesadaran menurun atau bahkan lebih parah atau untuk
mengenal gejala komplikasi sedini mungkin pasien memerlukan:
1. Istirahat
2. Pengawasan tanda-tanda vital bila terdapat keluhan pusing (+)
3. Jika mendadak terjadi penurunan haluaran urine periksalah dahulu apakah pasien
berkemih di tempat lain dan keadaan umumnya.
4. Jika pasien mendapat obat-obatan berikanlah pada waktunya dan tunggu sampai
obat tersebut betul-betul telah diminum (sering terjadi obat tidak diminum dan
disimpan di bawah bantal pasien). Jika hal itu terjadi penyembuhan tidak seperti
yang diharapkan.
5. Diet. Bila ureum darah melebihi 60 mg % di berikan protein 1 g/kgBB/hari dan
garam 1 g/hari (rendah garam). Bila ureum antara 40-60 mg% protein diberikan 2
g/kg BB/hari dan masih rendah garam. Jika pasien tidak mau makan karena merasa
mual atauingin muntah atau muntah-muntah segera hubungi dokter, siapkan
keperluan infuse dengan cairan yang biasa dipergunakan ialah glukosa 5-10% dan
selanjutnya atas petunjuk dokter. Jika infusediberikan pada pasien yang tersangka
ada kelainan jantung atau tekanan darahnya tinggi, perhatikan agar tetesan tidak
melebihi yang telah dipergunakan dokter, bahayanya memperberat kerja jantung.
6. Gangguan rasa aman dan nayaman
Untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien disarankan agar sering kontak dan
berkomunikasi dengan pasien akan menyenangkan pasien. agar pasien tidak bosan pasien
dibolehkan duduk dan melakukan kegiatan ringan misalnya membawa buku (anak yang sudah
sekolah), melihat buku gambar atau bermain dengan teman yang telah dapat berjalan. Sebagai
perawat kita juga harus mendampingi/mengajak bermain dengan pasien yang memerlukan
hiburan agar tidak bosan
1. Bila ada anak yang sakit demam tinggi disertai rasa sakit menelan atau batuk
dan demam tinggi hendaknya berobat ke dokter/pelayanan kesehatan supaya
anak mendapatkan pengobatan yang tepat dan tepat.
2. Jika anak sudah terlanjur menderita GNA selama dirawat dirumah sakit,
orang tua diharapkan dapat membantu usaha pengobatannya misalnya untuk
pemeriksaan atau tindakan, sering memerlukan biaya yang cukup banyak
sedangkan rumah sakit tidak tersedia keperluan tersebut. (sebelumnya orang
tuadiberi penjelasan mengenai perlunya pengumpulan urine dan mencatat
minum anak selama 24 jam, untuk keperluan pengamatan perkembangan
penyakit anaknya).
3. Bila pasien sudah boleh pulang, dirumah masih harus istirahat cukup.
Walaupun anak sudah diperbolehkan sekolah tetapi belum boleh mengikuti
kegiatan olahraga. makanan, garam masih perlu dikurangi sampai keadaan
urine benar-benar normal kembali (kelainan urine, adanya eritrosit dan
sedikit protein akan masih diketemukan kira-kira 4 bulan lamanya). Jika
makanan dan istirahatnya tidak diperhatikan ada kemungkinan penyakit
kambuh kembali. Hindarkan terjadinya infeksi saluran pernapasan terutama
mengenai tenggorokan untuk mencegah penyakit berulang. Kebersihan
lingkungan perlu dianjurkan agar selalu diperhatikan khususnya
streptococcus yang menjadi penyebab timbulnya GNA. Pasien harus kontrol
secara teratur untuk mencegah timbulnya komplikasi yang mungkin terjadi
seperti glomerulus kronik atau bahkan sudah terjadi gagal ginjal akut. Juga
petunjuk mengenai kegiatan anak yang telah boleh dilakukan.
2.9 komplikasi
GNA peradangan pada glomerulus apabila hal tersebut terjadi terus menerus dan tidak di tangani
maka fungsi ginjal menurun untuk mengimbangi fungsinya maka ginjal tesebut akan lebih kerja
dari batas kemampuan ginjal
2. Oliguri sampai anuria sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Oliguria sampai
anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat berkurangnya filtrasi
glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia,
hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada
anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
3. Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala
berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme
pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
4. Terdapat gejala berupa gangguan pada penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang.
Hal ini disebabkan spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
2.10 Prognosis
Prognosis penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi sering terjadi pada usia awal sekolah
dan jarang pada anak yang lebih muda dari 2 tahun, lebih banyak pria dari pada wanita (2 : 1).
Timbulnya glomerulo nephirits akut (GNA) didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di
traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptokokkus beta hemolitikus gol A.
Faktor lain yang dapat menyebabkan adalah factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan
faktor alergi.
Pada Glomerulonefritis Akut sebagian besar pasien dapat sembuh, tetapi 5% diantaranya
mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat. Diuresis akan menjadi normal
kembali pada hari ke 7 - 10 setelah awal penyakit dengan menghilangnya sebab dan secara
bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) membaik
dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Menurut Potter menemukan
kelainan sediment urine yang menetap ( proteinuria dan hematuria ) pada 3,5% dari 534 pasien
yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad.
Gejala fisik menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia darah menjadi normal pada minggu
ke 2 dan hematuria mikroskopik atau makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu pada
Glomerulonefritis Akut. LED meninggi terus sampai kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam
urine dan dapat menetap untuk beberapa bulan. Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi
akut selama fase penyembuhan, tetapi umumnya tidak mengubah proses penyakitnya. Penderita
yang tetap menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun dianggap menderita penyakit
glomerulonefritis kronik, walaupun dapat terjadi penyembuhan sempurna. LED digunakan untuk
mengukur progresivitas penyakit ini, karena umumnya tetap tinggi pada kasus-kasus yang
menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari
penyakit ini dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis.
Glomerulonefritis kronik terjadi penurunan fungsi ginjal dan dapat berlangsung perlahan-lahan,
tetapi kadang dapat berlangsung cepat sehingga berakhir dengan kematian, dalam 5 - 10 tahun
kedepan tergantung pada kerusakan ginjal
2.11 Asuhan Keperawatan Teori
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, usia, alamat, nomor telepon, status
pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan, agama, suku, bangsa, dan nama penanggung jawab
klien.
b. Keluhan utama
Klien mengeluh nyeri pada pinggang, urin berdarah, wajah kaki bengkak, pusing dan badan
cepat lelah.
c. Riwayat penyakit
1. Riwayat Penyakit Dahulu : riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat
lupus eritemateosus
2. Riwayat Penyakit Sekarang : klien mengeluh bengkak seluruh tubuuh, kencing
berwarna seperti cucian daging atau berdarah , tidak nagfsu makan, mual, muntah,
dan diare. Badan panas saat hari pertama sakit.
3. Riwayat Penyakit Keluarga : Adakah keluarga pasien yang memiliki penyakit
serupa.
e. Psikososial spiritual
Meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk mendapatkan hasil yang jelas
terhadap status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Masalah kesehatan pada sistem perkemihan
menimbulkan respon maladaptif terhadap konsep diri klien sehingga tingkat stres emosional dan
mekanisme koping yang digunakan berbeda-beda. Nyeri juga memberikan stimulus akan
kecemasan dan ketakutan klien.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran pasien kompos mentis namun menunjukkan kelemahan dan terlihat sakit, apabila
pasien datang pada fase awal akan didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi
meningkat, terjadi peningkatan pada tekanan darah.
b. B1 (breathing)
c. B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah sekunder adalah tanda dari glomerulonefritis yang disebabkan oleh
retensi natrium dan air yang berdampak pada kardiovaskuler yang akan terjadi penurunan perfusi
jaringan.
d. B3 (brain)
Terdapat konjungtiva yang anemis dan edema wajah terutama periorbital. Pasien beresiko kejang
sekunder akibat gangguan elektrolit.
e. B4 (bladder)
Terdapat edema pada ektremitas dan wajah. Warna urin menjadi seperti cola karena proteinuri
dan hematuri. Saat dipalpasi terdapat nyeri tekan ringan pada bagian kostovetebra. Perkusi
pada sudut kostovertebra akan ditemukan nyeri ringan lucal yang menjalar ke pinggang dan
abdomen.
f. B5 (bowel)
g. B6 (bone)
B. Analisa Data
Masalah
No. Data Etiologi
Keperawatan
Glomerulonefritis akut
DS: pasien mengeluh nyeri bagian
↓
kostovertebra
Terbentuk
DO:
Asam Arachidonat
P: glomerulonefritis akut
↓
Q:
Terbentuk substansi
R: nyeri pada daerah kostovertebra
nyeri
S: pasien mengatakan skala nyeri 4
1. ↓ Nyeri akut
(0-10)
Respon saraf sensori
T: nyeri hilang timbul
dan perifer
Vital sign:
↓
TD : >120/80 mmHg
Sensitivitas pada
S : 370C
neuron primer aferen
N :>100 x/menit
↓
RR : normal
Nyeri akut
Glomerulonefritis akut
↓
DS: Klien mengeluh mata, tangan
Aktivasi komplemen
dan kaki bengkak
↓
Melaporkan BB meningkat dalam
Menarik leukosit dan
periode singkat
trombosit ke
DO:
glomerulus
↓
a. tampak adanya edema
Pengendapan fibrin
(ekstremitas/periorbital/abdo Kelebihan volume
2 dan pembentukan
men) cairan
jaringan parut
b. pemeriksaan urinalisis
↓
didapatkan proteinuria > 3,5
Membran glomerulus
gr/hr
menebal
c. Timbang berat badan
↓
didapatkan meningkat di atas
Penurunan volume
normal
urin,
↓
retensi cairan dan
natrium,
↓
Kelebihan volume
cairan
Glomerulonefritis akut
↓
DS: Aktivasi komplemen
Klien mengeluh tidak nafsu makan. ↓
DO: Gangguan
permeabilitas selektif
a. Pasien hanya menghabiskan kapiler glomerulus
setengah dari porsi makan. ↓
b. Jenis diet: tinggi kalori Protein plasma dan
c. A : BB meningkat karena eritrosit bocor melalui
Ketidakseimbangan
cairan edema glomerulus
3. nutrisi kurang dari
d. B : hB 13,1 g/dL, ↓
kebutuhan tubuh
Albumin<3,2 g/dL. Proteinuria &
e. C : klien hanya hematuria
menghabiskan setengah dari ↓
porsi makan, klien tampak Respon sistemik :
lemas. Mual,
f. D : klien mnedapatkan terapi muntah,anoreksia
tinggi kalori . ↓
ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
C. Diagnosa Keperawatan
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam, skala nyeri yang dilaporkan berkurang.
Kriteria Hasil :
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapakan terjadi
keseimbangan cairan dan tidak ada udema pada tubuh serta pengeluaran urin kembali normal
Kriteria Hasil:
Intervensi Rasional
1. Pantau input dan output urine serta
Pemantauan input dan output urine serta
hitung keseimbangan cairan
menghitung keseimbangan cairan dapat
membantu mengevaluasi status cairan
klien
2. Pantau keadaan umum dan tanda-
tanda vital pasien, perhatikan Sebagai deteksi dini untuk mengetahui
hipertensi,nadi kuat, distensi vena timbulnya komplikasi
leher
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam, nutrisi dan zat gizi klien terpenuhi optimal
Kriteria Hasil :
Intervensi Rasional
1. Monitoring intake makanan
setiap hari. Dan timbang berat Penurunan berat badan terus menerus dalam
badan setiap hari serta laporkan keadaan masukan kalori yang cukup merupakan
adanya penurunan atau kenaikan indikasi adanya gangguan pada GIT
E. Evaluasi
a. Nyeri pasien berkurang
b. rasa nyaman pasien bertambah
c. Asupan dan haluaran pasien seimbang
d. Berat badan pasien kembali normal
BAB III
ASKEP KASUS
3. Kasus
Tn. R ( 37 tahun ) dirawat di RSUA pada tanggal 3 Maret 2015 dengan keluhan BAK agak
berkurang dan air kencing berwarna seperti teh pekat. Sebelumnya, pasien pernah mengalami
radang tenggorokan. Selain itu, pasien juga mengalami mual dan muntah sehingga nafsu
makannya menurun danbadannya lemas. Perawat menemukan adanya konjungtiva anemis,
edema pada ekstremitas dan pasien terlihat sembab disekitar mata. Pada saat dilakukan palpasi,
didapatkan nyeri tekan ringan pada area kostovertebra. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital
didapatkan TD 155/100 mmHg, N 100x/menit, RR 20x/menit dan suhu 37,5 derajat Celsius.
Pasein juga dilakukan pemeriksaan urinalisis yang didapatkan adanya proteinuria dan hematuria.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan BUN: 25 mg/dl, Albumin: 3 gr/dl dan Hb: 10 gr/dl.
3. Pembahasan Kasus
A. PENGKAJIAN
1. Anamnesa
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki- laki
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Alamat : Surabaya
Tanggal MRS : 3 Maret 2015
2. Keluhan utama
Pasien mengatakan bahwa BAKnya agak berkurang dan air kencingnya berwarna seperti teh
pekat.
Pasien dirawat di RSUA dengan keluhan BAK agak berkurang dan air kencing berwarna seperti
teh pekat. Selain itu, pasien juga mengalami mual dan muntah sehingga nafsu makannya
menurun dan badannya lemas. Perawat menemukan adanya konjungtiva anemis, edema pada
ekstremitas dan pasien terlihat sembab disekitar mata. Pada saat dilakukan palpasi, didapatkan
nyeri tekan ringan pada area kostovertebra
2. Pemeriksaan fisik
b. B1 ( Breating )
c. B2 ( Blood )
d. B3 ( Brain )
Sadar, badan lemas, daerah di sekitar mata tampak sembab, konjungtiva anemis.,
e. B4 ( Bladder )
Terdapat edema pada ekstremitas dan wajah, perubahan warna urin yaitu berwarna seperti teh
pekat karena proteinuria dan hematuria serta frekuensi BAK berkurang, pada saat palpasi
didapatkan nyeri tekan ringan pada area kostovertebra.
f. B5 ( Bowel )
Nafsu makan menurun, mual dan muntah
Pasien tampak lemah, terdapat edema pada ekstremitas dan sembab di sekitar mata
3. Pemeriksaan Penunjang
B. ANALISA DATA
Glomerulonefritis akut
DS : Pasien mengeluh mata ↓
dan kaki bengkak Aktivasi komplemen
↓
DO : Menarik leukosit dan
trombosit ke glomerulus
Terdapat edema ↓
pada ekstremitas Pengendapan fibrin dan
Kelebihan volume cairan
dan sembab di pembentukan jaringan parut
sekitar mata pasien. ↓
Terjadi peningkatan Membran glomerulus
BB pasien di atas menebal
normal ↓
Terjadi hipertensi Penurunan volume urin,
↓
retensi cairan dan natrium,
↓
Kelebihan volume cairan
DS : Pasien mengeluh tidak
nafsu makan dan
Glomerulonefritis akut
mengalami mual dan
↓
muntah
Aktivasi komplemen
↓
DO :
Gangguan permeabilitas
selektif kapiler glomerulus
A : BB meningkat
↓
karena cairan edema
Protein plasma dan eritrosit
B : Hb 10gr/dL, Ketidakseimbangan nutrisi
bocor melalui glomerulus
Albumin 3 gr/dL, kurang dari kebutuhan
↓
BuN 25 mg/dl tubuh
Proteinuria & hematuria
C : klien hanya
↓
menghabiskan
Respon sistemik : Mual,
setengah dari porsi
muntah,anoreksia
makan, klien
↓
tampak lemas.
ketidakseimbangan nutrisi
D : klien
kurang dari kebutuhan
mendapatkan terapi
tubuh
tinggi kalori .
Glomerulonefritis
Akut
DS : Pasien mengatakan ↓
dirinya merasa lemas Kapiler glomerulus
Bocor
DO : ↓
Protein yang dibentuk ginjal Intoleransi aktivitas b.d
Pasien tampak pucat keluar proteinuria
dan lemah dalam urin
Proteinuria ↓
Konjungtiva anemis Proteinuria
Edema ekstremitas ↓
Tubuh lemas
↓
Intoleransi aktivitas
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan respon inflamasi, kontraksi otot sekunder, adanya
inflamasi glomerulus
2. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan fungsi ginjal terganggu, retensi cairan
dan natrium
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah,anoreksia
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan edema ekstremitas, anemia, kelemahan fisik
secara umum
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan respon inflamasi, kontraksi otot sekunder, adanya
inflamasi glomerulus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam terdapat penurunan respon
nyeri
Kriteria Hasil :
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST Menjadi parameter dasar untuk mengetahui
sejauh mana intervensi yang diperlukan dan
sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi
manajemen nyeri keperawatan
Tidak ada tanda dan gejala kelebihan cairan yang ditandai dengan :
Intervensi Rasional
1. Kaji adanya edema ekstremitas. Curiga gagal kongestif / kelebihan
volume cairan.
Intervensi Rasional
1. Pantau TTV dan monitoring intake Penurunan berat badan terus menerus dalam
makanan setiap hari serta timbang berat keadaan masukan kalori yang cukup merupakan
badan setiap hari serta laporkan adanya indikasi adanya gangguan pada GIT.
penurunan atau kenaikan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam aktivitas sehari-hari klien
terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktivitas
Kriteria Hasil :
Intervensi Rasional
1. Pantau kekurangan protein tubuh yang Protein merupakan salah satu sumber energi
berlebihan. bagi tubuh dan penurunan protein menyebabkan
kelemahan
E. EVALUASI
Hasil yang diharapkan setelah mendapat intervensi, meliputi hal – hal sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, Mary, SPC, MN, dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC
Betz, Cecily L. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Brunner, Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC
Brunner and Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta : EEC
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Harnowo, Sapto. 2001. Keperawatan Medikal Bedah untuk Akademi Keperawatan. Jakarta:
Widya Medika.
Mansjoer, Arif M. 2000. Kapita Selekta Kedokteran ed 3, jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Morgan, peer, Kathleen. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan klinikal
pathways. Jakarta: EGC
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Rachmadi, Dedi. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut
Saputra, Lyndon. 2012. Medikal Bedah Renal dan Urologi. Tangerang: Binapura Aksara
Publisher
Suharyanto, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: CV. Trans Info Media
Staf Pengajar IKA UI. 2004. Standar Pelayananan Medis IDAI. Jakarta: Erlangga
0 0 Google +0 3