Vous êtes sur la page 1sur 14

ASUHAN KEPERAWATA PADA PASIE HIV / AIDS

KONSEP MEDIS

A. PENGERTIAN

AIDS adalah singkatan dari acquired immunedeficiency syndrome, merupakan


sekumpulan gejala yang menyertai infeksi HIV. Infeksi HIV disertai gejala infeksi yang
oportunistik yang diakibatkan adanya penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan sistem imun.
Sedangkan HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus.

AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang
berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler dan
Brenda G.Bare )

AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan
dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan
berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas
yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and Prevention )

Human immunodeficiency virus adalah virus penyebab Acquired Immunodeficiency


Syndrome (AIDS). HIV yang dulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell lympothropic virus
Tipe III) atau LAV (Lymphadenopathy Virus), adalah virus sitopatik dari famili retrovirus. Hal
ini menunjukkan bahwa virus ini membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA)
dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA) (Price & Wilson, 1995).

Virus ini memiliki kemampuan unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari
RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, yang merupakan
kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke RNA) dan translasi (dari RNA ke protein) pada
umumnya (Muma et al, 1997).

AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit karena


menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV (Samsuridjal Djauzi,
2004).

B. ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV.
Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral
yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap
limfosit T.
Pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986
di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus
kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut
HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :

1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B
menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan
manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang
termasuk kelompok resiko tinggi adalah :

1. Lelaki homoseksual atau biseks


2. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
3. Orang yang ketagian obat intravena
4. Partner seks dari penderita AIDS
5. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
Jalur penularan infeksi HIV serupa dengan infeksi Hepatitis B.

Anal intercourse/anal manipulation (homoseksual) akan meningkatkan kemungkinan trauma


pada mukosa rektum dan selanjutnya memperbesar peluang untuk terkena virus HIV lewat sekret
tubuh.

Hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti. Hubungan heteroseksual dengan orang
yang menderita infeksi HIV.

Melalui pemakai obat bius intravena terjadi lewat kontak langsung darah dengan jarum dan
semprit yang terkontaminasi. Meskipun jumlah darah dalam semprit relatif kecil, efek kumulatif
pemakaian bersama peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut akan meningkatkan
risiko penularan.

Darah dan produk darah, yang mencakup transfusi yang diberikan pada penderita hemofilia,
dapat menularkan HIV kepada resipien.
C. PATOFISIOLOGI

Virus memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4.
Kelompok terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit T4 yang mengatur reaksi
sistem kekebalan manusia. Sel-sel target lain adalah monosit, makrofag, sel dendrit, sel
langerhans dan sel mikroglia. Setelah mengikat molekul CD4 melalui transkripsi terbalik.
Beberapa DNA yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam sel target dan
membentuk provirus. Provirus dapat menghasilkan protein virus baru, yang bekerja menyerupai
pabrik untuk virus-virus baru. Sel target normal akan membelah dan memperbanyak diri seperti
biasanya dan dalam proses ini provirus juga ikut menyebarkan anak-anaknya. Secara klinis, ini
berarti orang tersebut terinfeksi untuk seumur hidupnya (Price & Wilson, 1995).

Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan.
Aktifasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau
interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr, herpes
simpleks dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi
serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk
ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+ lainnya. Karena
proses infeksi dan pengambil alihan sel T4 mengakibatkan kelainan dari kekebalan, maka ini
memungkinkan berkembangnya neoplasma dan infeksi opportunistik (Brunner & Suddarth,
2001).

Sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi oleh
HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat
primernya adalah jaringan limfoid. Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan
status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. jika orang tersebut tidak sedang
menghadapi infeksi lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun, reproduksi HIV
tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem
imunnya terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh
sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (65%)
tetap menderita HIV/AIDS yang simptomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang tersebut
terinfeksi (Brunner & Suddarth, 2001).

D. MANIFESTASI KLINIK

Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupai flu
biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih dari
10% dari berat badan semula, berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati.
Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu : (Majalah Kedokteran
Indonesia, 1995)

1. Infeksi HIV Stadium Pertama


Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga terjadi gejala-
gejala yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening.
2. Persisten Generalized Limfadenopati
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu
malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur
kandida di mulut.
3. AIDS Relative Complex (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga mulai terjadi
berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini
penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya dan berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah
dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua.
4. Full Blown AIDS
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan terhadap
infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi radang paru
pneumocytik, sarcoma kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman
opportunistik, gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum
saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum
waktunya.

STADIUM INFEKSI (WHO)


1. Stadium I
Tanpa gejala; Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh yang menetap.
Tingkat aktivitas 1: tanpa gejala, aktivitas normal.
2. Stadium II
Kehilangan berat badan, kurang dari 10%; Gejala pada mukosa dan kulit yang ringan
(dermatitis seboroik, infeksi jamur pada kuku, perlukaan pada mukosa mulut yang sering
kambuh, radang pada sudut bibir); Herpes zoster terjadi dalam 5 tahun terakhir; ISPA
(infeksi saluran nafas bagian atas) yang berulang, misalnya sinusitis karena infeksi
bakteri.
Tingkat aktivitas 2: dengan gejala, aktivitas normal.
3. Stadium III
Penurunan berat badan lebih dari 10%; Diare kronik yang tidak diketahui penyebabnya
lebih dari 1 bulan; Demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari
1 bulan; Candidiasis pada mulut; Bercak putih pada mulut berambut; TB paru dalam 1
tahun terakhir; Infeksi bakteri yang berat, misalnya: pneumonia, bisul pada otot. Tingkat
aktivitas 3: terbaring di tempat tidur, kurang dari 15 hari dalam satu bulan terakhir.
4. Stadium IV
Kehilangan berat badan lebih dari 10% ditambah salah satu dari : diare kronik yang tidak
diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan.
Kelemahan kronik dan demam berkepanjangan yang tidak diketahui penyebabnya lebih
dari 1 bulan.
a) Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
b) Toksoplasmosis pada otak.
c) Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan.
d) Kriptokokosis di luar paru.
e) Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa dan kelenjar getah bening.
f) Infeksi virus Herpes simpleks pada kulit atau mukosa lebih dari 1 bulan atau
dalam rongga perut tanpa memperhatikan lamanya.
g) PML(progressivemultifocalencephalopathy) atau infeksi virus dalam otak.
h) Setiap infeksi jamur yang menyeluruh, misalnya: histoplasmosis,
kokidioidomikosis.
i) Candidiasis pada kerongkongan, tenggorokan, saluran paru dan paru.
j) Mikobakteriosis tidak spesifik yang menyeluruh.
k) Septikemia salmonela bukan tifoid.
l) TB di luar paru.
m) Limfoma.
n) Kaposi’s sarkoma.
o) Ensefalopati HIV sesuai definisi CDC.
Tingkat aktivitas 4: terbaring di tempat tidur, lebih dari 15 hari dalam 1 bulan
terakhir.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
- Hematokrit.
- LED
- CD4 limfosit
- Rasio CD4/CD limfosit
- Serum mikroglobulin B2
- Hemoglobulin
F. KRITERIA DIAGNOSTIK

Diagnostik AIDS ditegakkan bila ditemukan dua tanda mayor dan satu tanda minor tanpa
penyebab lain, yaitu : (Majalah Kedokteran Indonesia, 1995)

1. Tanda Mayor
a. Penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan semula.
b. Diare kronik lebih dari 1 bulan.
c. Demam menetap lebih dari 1 bulan intermitten dan konstan.
2. Tanda minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b. Dermatitis generalisata.
c. Herpes zoster rekuren.
d. Infeksi herpes simpleks virus kronik progresif disseminata.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus
(HIV), bisa dilakukan dengan :

1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak
terinfeksi.

2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak
terlindungi.

3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human
Immunodeficiency Virus (HIV) nya.

4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.

5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.


Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka pengendaliannya yaitu :

1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi


opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi
pasien dilingkungan perawatan kritis

2. Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS,
obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan
menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah
sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

3. Terapi Antiviral Baru

Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat
replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah
:

a. Didanosine

b. Ribavirin

c. Diedoxycytidine

d. Recombinant CD 4 dapat larut

4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

5. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari


stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.

6. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat
reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

H. KOMPLIKASI
1. Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan
berat badan, keletihan dan cacat.

2. Neurologik

a. kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus


(HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi social.

b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,


ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala,
malaise, demam, paralise, total / parsial.

c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik


endokarditis.

d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci


Virus (HIV)

3. Gastrointestinal

a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.

b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik.
Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.

c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal
dan siare.

4. Respirasi

Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus,


dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.

5. Dermatologik

Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi
skunder dan sepsis.
6. Sensorik

Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan

Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek
nyeri.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN.

1. Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.

2. Penampilan umum : pucat, kelaparan.

3. Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4. Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan
perasaan takut, cemas, meringis.

5. Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang
interest pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi
dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.

6. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir
atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.

7. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku


kuduk, kejang, paraplegia.

8. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.

9. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.

10. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan,
batuk produktif atau non produktif.

11. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare,
inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.

12. Gu : lesi atau eksudat pada genital,

13. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebih

2. Resiko terhadap infeksi b.d imunodefisiensi.

3. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.

4. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.

6. Diare berhubungan dengan infeksi GI

7. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Dx : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebih


Tujuan : mempertahankan hidrasi cairan yang dibuktikan oleh normalnya kadar elektrolit
Kriteria hasil :
– Terpenuhinya kebutuhan cairan secara adekuat
- Defekasi kembali normal, maksimal 2x sehari

Intervensi Rasional
Mandiri
 Indikator tidak langsung dari status
 Kaji turgor kulit,membran mukosa, dan cairan.
rasa haus
 Mempertahankan keseimbangan cairan,
 Pantau masukan oral dan memasukkan mengurangi rasa haus, melembabkan
cairan sedikitnya 2500 ml/hari mukosa.

 Hilangkan makanan yang potensial  Mungkin dapat mengurangi diare.


menyebabkan diare, yakni yang pedas/
makanan berkadar lemak tinggi,  Meningkatkan asupan nutrisi secara
kacang, kubis, susu. adekuat.

 Berikan makanan yang membuat pasien  Mengurangi insiden muntah,


berselera. menurunkan jumlah keenceran feses
mengurangi kejang usus dan peristaltik.
Kolaborasi
 Mewaspadai adanya gangguan elektrolit
 Berikan obat-obatan sesuai indikasi : dan menentukan kebutuhan elektrolit.
antiemetikum, antidiare atau
antispasmodik.  Diperlukan untuk mendukung volume
sirkulasi, terutama jika pemasukan oral
 Pantau hasil pemeriksaan laboratorium. tidak adekuat.

 Berikan cairan/elektrolit melalui selang


makanan atau IV.

2. Dx : Resiko infeksi b.d imunodefisiensi


Tujuan : Mengurangi resiko terjadinya infeksi dan Mempertahankan daya tahan tubuh
Kriteria hasil:
– Infeksi berkurang
- Daya tahan tubuh meningkat

Intervensi Rasional
Mandiri
 Deteksi dini terhadap infeksi penting
 Pantau adanya infeksi : demam, untuk melakukan tindakan segera.
mengigil, diaforesis, batuk, nafas Infeksi lama dan berulang memperberat
pendek, nyeri oral atau nyeri menelan. kelemahan pasien.

 Ajarkan pasien atau pemberi perawatan  Berikan deteksi dini terhadap infeksi.
tentang perlunya melaporkan
kemungkinan infeksi.  Peningkatan SDP dikaitkan dengan
infeksi
 Pantau jumlah sel darah putih dan
diferensial  Memberikan informasi data dasar,
peningkatan suhu secara berulang-ulang
 Pantau tanda-tanda vital termasuk dari demam yang terjadi untuk
suhu. menunjukkan bahwa tubuh bereaksi
pada proses infeksi ang baru dimana
 Awasi pembuangan jarum suntik dan obat tidak lagi dapat secara efektif
mata pisau secara ketat dengan mengontrol infeksi yang tidak dapat
menggunakan wadah tersendiri. disembuhkan.

Kolaborasi  Mencegah inokulasi yang tak disengaja


dari pemberi perawatan.
 Beriakan antibiotik atau agen
antimikroba, misal : trimetroprim  Menghambat proses infeksi. Beberapa
(bactrim atau septra), nistasin, obat-obatan ditargetkan untuk
pentamidin atau retrovir. organisme tertentu, obat-obatan lainya
ditargetkan untuk meningkatkan fungsi
imun

D. EVALUASI
1. DX 1 : Terpenuhinya kebutuhan cairan secara adekuat
Dan Defekasi kembali normal, maksimal 2x sehari
2. DX 2 : Infeksi berkurang dan Daya tahan tubuh meningkat
DAFTAR PUSTAKA

1. Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year
Book, Toronto.

2. Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.

3. Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua,
EGC, Jakarta.

4. Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.

5. Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

6. Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice,
4th edition, Mosby Year Book, Toronto

7. Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made
Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Vous aimerez peut-être aussi