Sumarko, 60 tahun adalah seorang pensiunan dari Kebumen,
Jawa Tengah. Dalam kehidupannya seringkali ia mengalami pelanggaran hak asasi manusia ketika bersosialisasi dalam masyarakat luas yang bersifat heterogen. Sebagai seorang minoritas hak-hak nya sebagai anggota dalam bemasyarakt seringkali dilanggar. Contohnya saja ketika ada acarq kenduri dikampungnya, terkadang ia diundang tapi ketika ada isu-isu agama yang muncul di televisi, ia menjadi tidakpernah diundang bahkan dikucilkan. Ia mengatakan bahwa hidup sebagai minoritas ditengah masyarakat yang majemuk membutuhkan mental dan keyakinan yang kuat.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ia dapatkan tidak
sebatas tidak undang ke acara kenduri di kampungnya. Ia sering mendapatkan perlakuan yang tidak nyaman seperti ditolak ketika bersalaman dengan oknum orang muslim, mendapat halang-halangan ketika ingin meperbaiki sebuah gereja, dilarang memakamkan keluarganya di pemakaman umum dikampungnya, dan dikucilkan oleh orang kampungnya.
Bagi beliau pengalaman yang paling beliau ingat adalah
ketika mendapat tekanan dan halangan dalam memperbaiki gereja. Beliau beberapa kali didatangi oleh kepolisian setempat dan diinterograsi seputar perizinan gereja. Padahal menurut pandangan beliau, memperbaiki gereja tidak ada salahnya dan tidak mengganggu peribadahan agama lain didaerah tersebut. Beliau juga mengatakan bahwa banyak bangunan tempat ibadah lainnya (selain gereja) yang tidak berizin namun dapat dengn leluasa beroperasi.
Menurutnya, hal-hal yang ia alami termasuk pelanggaran
HAM karrena merupakan pelanggaran hak pribadi dalam hal kepercayaan dan kebebasan menjalankan keyakinan agama juga hak dalam mendapatkan persamaan di masyarakat. Dalam Undang-undang pun sudah diatur dengan jelas namun dalam pelaksanaannya sering kali masih melenceng.
Beliau juga menuturkan bahwa, sesungguhnya kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia terkait dengan kepercayaan terjadi secara temporer. Umumnya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti diatas berbanding lurus dengan dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. Ketika kasus penistaan agama di pilkada jakarta, memicu penurunan tingkat toleransi sehingga masyarakat minoritas menjadi semakin tertekan. Namun setelah beberapa saat, perlakuan oknum mayoritas menjadi normal kembali dan menjadi seperti biasa.
Menurut pandangan beliau, hal tersebut bisa terjadi
karena banyak masyarakat yang berpikiran sempit tentang agama sehingga dengan mudah dapat dipengaruhi oleh informasi- informasi pemicu kebencian yang kurang membangun. Beliau berpendapat bahwa pelanggaran HAM karena keyakinan cenderung terjadi secara tidak sadar karena mereka merasa bahwa mereka telah melakukan kewajiban agamanya.
Pelajaran yang bisa diambil.
Menurut kami, kita harus bisa berpandangan nasional yang
luas tetapi tetap religius agar tidak terjadi hal-hal berbau intoleran. Maka kami akan berusaha memperluas dan memperbaiki pola pikir dan pandangan kami terkait dengan wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan.