Vous êtes sur la page 1sur 28

Anotasi Spirit “International Criminal Courth” Dalam

Menanggulangi Prinsip Unable dan Unwilling Terhadap


Kejahatan Perang Israel Palestina

Zainal Abdul Aziz Hadju


Program Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Jl. Banda No.42, Bandung-Jawa Barat
E-mail: zainal.hadju2103@gmail.com

ABSTRAK
Bagi masyarakat internasional, 11 April 2002 merupakan suatu tanggal bersejarah baru bagi
perkembangan serta penegakan hukum internasional. Karena pada hari itu, sepuluh negara
meratifikasi Rome Statute for International Criminal Court 1998 sekaligus. Jumlah ini
menggenapkan negara yang telah meratifikasi Statuta ICC menjadi 60 negara. Ini berarti
persyaratan pemberlakuan International Criminal Court (ICC) sudah terpenuhi Pembentukan
International Criminal Court (ICC). Tujuan utama pembentukan ICC adalah untuk memutus
praktik impunity terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan, difasilitasi atau didiamkan
oleh pemerintah yang dilakukan secara sistematis atau dengan akibat yang meluas, banyak
unsur politis di dalamnya, yang menyangkut negara "kuat” dan negara "lemah", mengingat
banyak negara yang secara politis berpengaruh yang tidak mengikatkan diri pada ICC, berkaitan
dengan pelanggaran HAM berat seperti kejahatan Perang Israel terhadap Palestina yang
menimbulkan kerugian dan banyaknya korban jiwa, penyerangan terhadap penduduk sipil,
obyek sipil, fasilitas umum, penggunaan senjata terlarang, dan penyerangan udara secara tidak
proporsional. Dengan demikian dari serangan tersebut mengakibatkan lebih dari 1500 anak-
anak, wanita meninggal dunia, dan 5000 penduduk sipil mengalami cidera dan cacat. Maka
perlunya Anotasi seperti menerangkan, mengomentari, atau mengkritik terkait spirit ICC dalam
menanggulangi Unable and UnWilling terhadap pengadilan suatu negara dalam kejahatan perang
oleh negara non state atau non anggota Statuta Roma.

Kata kunci : International Criminal Court (ICC), Statuta Roma, Kejahatan Perang

1
ABSTRACT

For international Community, April 11, 2002 is a new historical date for development and also
enforcement of international law, because on that day ten states ratified Rome Statute for
International Criminal Court 1998 at once. This number fulfills the state which has ratified
statute ICC to be 60 states. It means the enforcement requirement of ICC has been achieved
establishment of ICC. The main purpose of the establishment of ICC is to cut off practice impunity
against gross Human Rights violation which is carried out, facilitated or silenced by the
government which is carried out systematically or widely consequences, there are much political
unsure in it, concerning “strong” state and “weak” state, remembering there are many influential
states politically which are not bound by the ICC, related to gross Human Rights violation such as
Israeli war crimes against Palestine which causes harm and lot of fatalities, attacking against
civilians, civil object, public facilities, the use of prohibited gun, and disproportionate air attack.
Therefore, from that attack caused more than 1500 children and women die, and 5000 civilians
have experienced injured and disabled. Then, the need of annotation such as explain, comment,
or criticize related to spirit ICC in overcoming Unable and Unwilling over court of a state in war
violation by non state or non member of Rome Statute.

Keywords: International Criminal Court(ICC), Rome Statute, War Crime

2
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas
wilayahnya baik darat, air, maupun udara, dimana hukum yang berlaku adalah
hukum nasional negara masing-masing. Batas-batas wilayah suatu negara telah
diatur berdasarkan atas suatu perjanjian yang dilakukan oleh 2 atau lebih
Negara yang wilayahnya berdekatan. Negara dibagi atas beberapa macam
negara sesuai dengan letak geografis serta besar kecilnya suatu negara, seperti
negara mini atau sering disebut dengan negara liliput, negara pantai, negara
kepulauan dan sebagainya.1
Asas teritorial merupakan salah satu asas yang digunakan untuk melandasi
yurisdiksi negara atas orang, perbuatan dan benda. Asas teritorial menetapkan
bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang, perbuatan dan benda yang ada di
wilayahnya.2 Kondisi tersebut secara tidak langsung menyebabkan semua benda
yang ada dalam wilayah suatu negara tunduk pada kekuasaan dan hukum
negara yang bersangkutan.
Kedaulatan negara dalam hukum internasional juga tidak bisa terlepas dari
perjanjian Wesphalia 1648 yang mengenalkan konsep nation state dimana
negara memiliki kedaulatan ekternal dan internal, negara berdaulat memiliki
kewenangan ekslusif atas suatu wilayah tertentu tampa campur tangan dari
pihak luar.3setiap bentuk intevensi suatu negara terhadap negara lain dengan
menggunakan tindakan pemaksaan bahkan kekerasan pada situasi damai
dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara.
Deklarasi universal hak asasi manusia (Universal Declaration of Human
Right, 1948) merupakan langkah awal meletakkan landasan kearah penyusunan
standar instrument HAM yang akan menjadi perjanjian internasional bagi setiap

1
F. Sugeng Istanto, “Hukum Internasional” (Univesitas Atma Jaya Yogyakarta,1998), hal 26-28
2
Ibid, hal 48
3
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengatar, Edisi Kedua ( Depok, Rajawali Pers, 2018), hal 13

3
negara. Pada tahun 1966 Sidang Umum Majelis PBB telah mengadopsi tiga
instrument internasional HAM yaitu, The International Convenan on Civil and
Cultural Right and The Optional Protocol to the International Convenan on Civil
And Political Right. Konvenan mengenai Hak-hak Sipil dan Politik merupakan
sarana hukum internasional yang sangat strategis dalam rangka menciptakan
bangsa-bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi hak-hak dasar yang
melekat kepada setiap orang. Hal ini tersirat dalam pasal 1 ICCPR,4

“All peoples have the right of selt-Determinatio, by virtue of that right they
freely determine their political status and freey pursue their economic, social
and cultural development”.

Penegasan mengenai hak-hak dasar tersebut diperkuat dengan kewajiban


setiap Negara pihak (state party) terhadap konvensi untuk memelihara dan
menjamin hak-hak dasar semua orang yang berada di dalam wilayah
teritorialnya dan wilayah yuridiksinya tanpa membedakan atas dasar ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, kebangsaan, atau keturunan harta
kekayaan, kelahiran atau status lainnya (pasal 2 ayat 1). Jaminan tersebut lebih
dikuatkan kembali dengan kewajiban setiap Negara pihak untuk melakukan
langkah/tindakan yang efektif untuk melindungi hak-hak korban sekalipun
pelanggaran tersebut dilakukan dengan kapasitas pelaku sebagai pejabat
pemerintahan pasal 2 ayat 3 huruf (a). Salah satu dasar yang bersifat universal
dan seluruh agama mengakui hak tersebut, adalah “hak untuk hidup” (the right
to life dalam pasal 6). Didalam pasal 6 ayat 1 ditegaskan bahwa hak ini harus
dilindungi dengan hukum, dan seorang pun dapat secara sewenang-wenang
(arbitrarily) mencabut nyawa orang lain,5

4
Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional (Jakarta: Hecca Mitra Utama, Bagian II 2004), hal
3.
5
Ibid, hal 4.

4
Statute International Criminal Courth (ICC) telah diadopsi dalam konprensi
Diplomatik di Roma pada bulan juli tahun 1998 dan telah dijadikan acuan oleh
PBB dalam menuntut dan mengadili pelanggaran kejahatan yang sangat serius
dan telah menjadi keprihatinan masyarakat internasional (serious crimes of
international concerns) dimuka sidang Mahkamah Internasional (MPI).
Kejahatan yang telah menjadi perhatian serius masyarakat internasional
tersebut adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang
dan agresi.6
Statuta Roma adalah perjanjian yang diadopsi dalam Konferensi Roma
1998 untuk menjadi dasar terbentuknya International Criminal Court (ICC)
(Human Rights Watch 1998). Perjanjian yang disusun dan disetujui pada hari
yang sama yaitu 17 Juli 1998 tersebut hingga saat ini telah diratifikasi oleh 124
negara, sedangkan jumlah negara penandatangan mencapai 139 negara. Terkait
ICC, Statuta Roma mengaturnya di bagian 1. Pasal 1 mendefinisikan ICC sebagai :
“permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction
over persons for the most serious crimes of international concern, as referred
to in this Statute, and shall be complementary to national criminal
jurisdictions.”7

Pada Pasal 34 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT)


secara tegas diatur bahwa: “A treaty does not create either obligations or rights
for a third State without its consent”. Pasal ini memperlihatkan hubungan antara
negara non pihak8 dengan perjanjian internasional adalah dengan adanya
consent. Prinsip ini dikenal dengan prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt.
Prinsip ini sekaligus menegaskan bahwa hanya negara pihak dari suatu
perjanjian internasional yang terikat oleh norma dalam perjanjian tersebut.9

6
Ibid, hal 11
7
Wakhid Aprizal Maruf, Kebijakan Indonesia Belum Meratifikasi Statuta Roma 1998, Journal Of
International Relations, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2017, hal 83
8
Pasal 34 VCLT
9
Ibid, hal 28

5
Salah satu masalah yang telah menggurita sekian lama adalah konflik
antara Israel dan Palestina adalah sebuah konflik antara Israel dan Palestina
dalam memperebutkan otoritas tanah yang mana kedua belah pihak mengklaim
mempunyai hak yang sama atas tanah tersebut. Dalam penelitian ini tanah yang
diperebutkan itu disebut Tanah Suci. Perang 6 hari atau Perang Arab-Israel 1967
adalah perang yang berlangsung selama 6 hari ini merupakan konflik bersenjata
antara Israel melawan negara-negara Arab yang diwakili oleh Mesir, Suriah dan
Yordania. Pasca perang yang dimenangkan oleh Israel tersebut, wilayah Israel
terus meluas, sementara wilayah negara-negara Arab mulai berkurang.
Akan tetapi persoalan Israel dan Palestina ini bukan lagi permasalahan
bilateral kedua negara, namun telah menjadi pusat perhatian dunia dan perlu
mendapatkan perhatian dari hukum internasional. Kasus yang berkaitan dengan
pelanggaran HAM berat seperti kejahatan Perang Israel terhadap Palestina yang
menimbulkan kerugian dan banyaknya korban jiwa adapun pelanggaran
tersebut diantaranya melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil,
menyerang obyek sipil, fasilitas umum, penggunaan senjata terlarang,
penyerangan udara secara tidak proporsional. Akibat dari serangan tersebut
mengakibatkan lebih dari Empat puluh warga Palestina telah tewas dan 5.511
terluka dalam pawai Gaza di sepanjang pagar perbatasan antara Jalur Gaza dan
Israel sejak 30 Maret 2018. Informasi mengenai korban dalam pawai Gaza
dipilah menurut tanggal, sifat cedera, jenis kelamin dan usia, serta di mana
orang tersebut dirawat. Dari yang terluka di pawai Gaza, 2.596 orang dirawat di
rumah sakit di rumah sakit pemerintah, 773 di rumah sakit non pemerintah dan
sisanya dirawat di lapangan. Dari mereka yang berada di rumah sakit
pemerintah, 1.499 terkena peluru tajam, 107 dengan peluru bermata spons, 408

6
menderita inhalasi gas dan 582 menderita luka-luka lainnya; 2.142 adalah orang
dewasa dan 454 adalah anak di bawah umur.10
Dibentuknya International Criminal Court (ICC) ditujukan untuk memenuhi
akan keadilan dan kepastian. Namun demikian berdasarkan ketentuan Pasal 1
Statuta yang dinamakan prinsip komplementer (complementary principle) hanya
sebagai pelengkap yurisdiksi kriminal nasional dari suatu negara. Sehingga
International Criminal Court yang diatur dalam Statuta Roma 1998 tidak
melaksanakan yurisdiksinya atas tindak kejahatan internasional yang dilakukan
oleh individu atau warga negara dari suatu negara, ketika pengadilan nasional
dari suatu negara dianggap mampu untuk melaksanakannya.
Penegakan hukum atas kejahatan internasional yang dilaksanakan oleh
suatu negara, ada kalanya negara dianggap tidak mau (unwilling), bahkan tidak
mampu (unable), padahal dalam penegakan hukum atas kejahatan ini haruslah
akuntabel. International Criminal Court merupakan suatu mahkamah yang
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan internasional tetap menjadi perhatian
dan pengharapan masyarakat internasional, ketika suatu negara mengalami
keadaan negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable).
Terbentuknya International Criminal Court pada tahun 1998 dan mulai berlaku
pada tanggal 1 Juli 2002 tidak semata-mata menghentikan pelanggaran
kejahatan internasional khususnya terhadap kejahatan perang yang dilakukan
oleh Israel terhadap Palestina
Hal ini menunjukan bahwa Israel melanggar hukum internasional dan
perlunya sprit dari lembaga International Criminal Courth (ICC) terkait prinsip
Unable dan Unwilling terhadap pengadilan suatu negara dalam menyelesaikan
pelanggaran HAM berat yang di lakukan oleh negara non state. Berdasarkan
penjelasan diatas penulis tertarik menulis artikel tentang ”Anotasi Spirit

10
Https://Www.Matamatapolitik.Com/40-Mati-5-511-Luka-Luka-Pbb-Laporkan-Jumlah-Korban
Palestina-Yang-Terus-Bertambah-Di-Pawai-Gaza/ Diakses Pada 17 November 2018.

7
“International Criminal Courth” Dalam Menanggulangi Prinsip Unable dan
Unwilling Terhadap Kejahatan Perang Israel Palestina”

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi pertimbangan utama suatu entitas diakui sebagai
negara oleh hukum internasional ?
2. Bagaimana relasi antara spirit International Criminal Court (ICC) dengan
prinsip unable and willing terhadap Palestina menurut hukum
internasional?

C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menggunakan bahan
hukum primer dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, literatur,
serta hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Data yang ada dikaji
dan dianalisa melalui studi kepustakaan untuk selanjutnya ditarik
kesimpulannya. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan
perundang-undangan, pendekatan sejarah serta pendekatan kasus. Analisis data
yang dilakukan dengan menggunakan deskriptif analitis.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Pertimbangan Diakunya Palestina Sebagai Sebuah Negara Menurut
Hukum Internasional
Pengakuan terhadap suatu negara melibatkan dua aspek yaitu aspek hukum
dan politik akan tetapi para pakar hukum internasional selalu berusaha untuk
menentukan aspek mana yang lebih menonjol dari kedua aspek tersebut. Banyak
yang berpendapat bahwa pengakuan merupakan suatu perbuatan hukum,
namun banyak pula yang mengatakan dan diperkuat oleh praktek negara bahwa

8
pengakuan lebih bersifat politik yang mempunyai akibat hukum.11sedangkan
pengakuan terhadap suatu negara juga dapat dibedakan menjadi dua metode
yaitu pengakuan secara tegas (express recognition) dan pengakuan secara diam-
diam (implied recognition).
Di dalam praktik internasional pengakuan secara tegas (express recognition)
dapat dilakukan dengan pernyataan pengakuan lewat public statement, nota
diplomatik, atau juga perjanjian bilateral yang isinya secara tegas menyatakan
pengakuan oleh satu pihak ke pihak lainnya. Sedangkan dalam praktik
pengakuan diam-diam (implied recognition) justru lebih sering dilakukan
tindakan negara membuka hubungan diplomatik dengan suatu negara baru,
pemberian execuatur pada konsuler negara baru.12
Sebagai tambahan tentang bentuk pengakuan tadi, masih terdapat
pengakuan terhadap suatu Negara seperti, pemberontak, organisasi
pembebasan bangsa merdeka dan berdaulat ditengah keluarga bangsa-bangsa
sehingga ia dapat pengakuan atas wilayah, traktat baru dan lain-lain. ada juga
pengakuan yang diberikan secara terang-terangan dan secara diam-diam, dan
terakhir adalah pengakuan secara de jure dan de facto.13
1) Teori-Teori tentang Pengakuan terhadap suatu negara
Dalam literatur-literatur hukum Internasional maupun hukum tata Negara,
secara garis besar dapat ditemukan dua teori terkenal mengenai pengakuan
yaitu teori konstitutif dan teori deklaratif.
a. Teori Konstitutif
Teori konsultatif berpendapat bahwa suatu negara menjadi subyek hukum
internasional hanya melalui pengakuan, hanya dengan pengakuanlah suatu

11
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
(Bandung, Alumni, 2000), hal 60
12
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Rajawali Pers, Jakarta, 2014), hal 183
13
Bayu Sujadmiko, Pengakuan Negara Baru Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional (Studi
Terhadap Kemerdekaan Kosovo), Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April
2012, hal 4.

9
negara baru itu diterima sebagai angota masyarakat internasional dan
karenanya dapat memperoleh statusnya sebagai subagai subyek hukum
internasional de jure14
Pendukung utama teori ini ialah Prof. Lauterpacht yang menyatakan bahwa :
“a state is, and becomes, an international person through recognition only
and exclusively”, selanjutnya ditegaskan pula bahwa “Statehood alone does
not imply membership of the family of nations”, untuk menguatkan sifat
hukum dari perbuatan pengakuan, ia juga menegaskan bahwa “recognition
is a quasi judicial duty and not an act of arbitrary discreation or a political
concession”.

Menurut Lauterpaht berpendapat bahwa suatu negara tidak dapat ada


sebagai subyek hukum (legal actor) tanpa adanya pengakuan ini. Karena itu,
hukum internasional membebankan kewajiban kepada negara-negara yang
pernah ada untuk memberikan pengakuannya agar negara baru itu ada.
b. Teori Deklaratif
Pengakuan tidak menciptakan suatu Negara karena lahirnya suatu Negara
semata-mata merupakan suatu fakta murni dan dalam hal ini pengakuan hanya
penerimaan fakta tersebut. Mereka menegaskan bahwa suatu Negara begitu
lahir langsung menjadi anggota masyarakat internasional dan pengakuan
hanya merupakan pengukuhan dari kelahiran tersebut, jadi pengakuan tidak
menciptakan suatu Negara. Pengakuan bukan merupakan syarat bagi kelahiran
suatu Negara.
Menurut teori deklaratif ini pengakuan hanya merupakan pernyataan atau
pengesahan saja (to declare) dari negara yang memberikan pengakuan bahwa
suatu negara baru tersebut telah ada dalam pergaulan masyarakat
internasional, asalkan secara objektif sudah memenuhi kualifikasi
internasional dengan sendirinya sudah dapat diterima sebagai pribadi

14
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Bandung, Keni Media, 2015), hal
69

10
internasional (international personality) terlepas dari ada atau tidaknya negara
yang mengakuinya.
Teori deklaratif menetralisisasi eksistensi suatu Negara dari masalah
pengakuan yang nyata-nyata sangat subjektif itu. Teori deklaratif ini dapat
dikatakan lebih objektif dan netral daripada teori konstitusif yang dalam
prakteknya sudah ditinggalkan karena eksistensi suatu negara tidak
ditentukan oleh ada atau tidak adanya pengakuan Negara-negara lain.15
Menurut Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara
dirumuskan dalam konferensi Internasional ketujuh negara-negara yang
berada di benua Amerika pada tanggal 26 Desember tahun 1933 di Uruguay.
Konvensi ini mendorong agar teori deklaratif dapat diterima sebagai bagian
dari hukum kebiasaan internasional (international costumary law).
Konvensi ini ditanda tangani oleh sembilan belas negara dan telah menjadi
referensi utama dalam upaya menerjemahkan arti dan ciri sebuah negara Pasal
1 Konvensi ini menyebutkan bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi
oleh sebuah negara baru untuk menjadi sebuah negara berdaulat, yaitu; adanya
populasi yang tetap (permanent population), adanya wilayah yang jelas dan
tetap (defined territory), adanya pemerintah (government) dan adanya
kapasitas (negara) untuk melakukan tindakan atau hubungan hukum dengan
negara lain.16
Kriteria pertama yakni (permanent population), populasi didefinisikan
sebagai penduduk tetap yang menghuni suatu tempat di daerah tertentu secara
terrus menerus dalam hal ini penduduk yang telah menempati suatu negara,
(permanent population) menjelaskan bahwa ketika ada negara dan disana juga
sudah terdapat penduduk maka hal tersebut perlu diatur. Jadi dapat dikatakan

15
Bayu Sujadmiko, Pengakuan Negara Baru Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional, Op.Cit,
hal 5
16
M. Syuib, Negara Palestina Dalam Perspektif Hukum Internasional, Uin Ar-Raniry Banda Aceh, hal
4

11
sebuah negara ketika dalam suatu wilayah terdapat penduduk di daerah
tersebut. Bila dikaji melalui negara Palestina bahwa hal tersebut tidak menjadi
masalah sama sekali karena jauh sebelum deklarasi negara Palestina
dilakukan, sudah terdapat manusia atau penduduk yang menghuni wilayah
tersebut. Namun ketika konflik yang terjadi dengan Israel pada tahun 1948
sebagian penduduk palestina terpaksa meninggalkan tempat mereka dan
kembali lagi setelah perang berakhir.
Sebuah negara sudah pasti memiliki wilayah, maka tanpa wilayah maka
tidak dapat disebut sebuah negara, terdapatnya wilayah dalam sebuah negara
merupakan salah satu penunjang adanya sebuah negara karena didalam suatu
wilayahlah negara dapat melakukan pemerintahannya, selain itu wilayah juga
mencerminkan kedaulatan suatu negara, tampa kedaulatan sudah jelas tidak
dapat dikatakan sebuah negara. Seperti kita ketahui wilayah Palestina saat ini
terbagi ke dalam tiga wilayah utama, yaitu; Jalur Gaza, Yerusalem Timur dan
Tepi Barat. Daerah-daerah ini terpisah satu sama lain, jalur Gaza dan Tepi
Barat misalnya dipisahkan oleh wilayah Israel, dari uraian diatas jelas bahwa
pada dasarnya Palestina telah kehilangan beberapa wilayahnya akibat konflik
yang terjadi seperti beberapa wilayah Palestina di Yarusalem Timur yang telah
dikuasai Israel.
Ketiga adalah memiliki pemerintah, penetapan ketiteria adanya
pemerintah ini telah menjadi salah satu syarat penting juga dalam mendirikan
sebuah negara baru, jika telah terdapat wilayah maka diperlukan lembaga
pemerintah untung menunjang terciptanya sebuah negara baru. Pemerintah
Palestina masih mengupayakan untuk mengecam kejahatan perang yang
dlakukan Israel diwilayahanya akan tetapi ketidakmampuan untuk mengadili
menjadi faktor utama, untuk menjaga kadaulatannya maka dengan
bergabungnya Palestina dengan ICC maka seharusnya pemerintah Palestina
dapat membawa Israel untuk diadili

12
Keempat yakni kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum atau
hubugan dengan negara-negara lain, kriteria ini sulit untuk difenisikan
mengingat bahwa dengan status kemerdekaan dengan sendirinya sebuah
negara dapat melakukan perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan
negara-negara lain. Dari kriteria tersebut apakah Palestina memenuhi syarat
yang telah diuraikan diatas, Palestina sendiri masih memiliki masalah terkait
aspek hukumnya karena masih memiliki masalah dengan wilayahnya dengan
Israel, disisi lain Palestina sudah menjalin hubungan internasional dengan
negara lain berupa perjanjian-perjanjian internasional seperti Piagam Budaya
dan Warisan UNESCO (the UNESCO Cultural and Heritage Charter), Piagam
Arab tentang Hak Asasi Manusia (the Arab Charter on Human Rights).
Dari uraian diatas telah dijelaskan bagaimana teori-teori pengakuan
terhadap sebuah negara yakni teori konsultatif yang berarti untuk bisa
dikatakan sebagai negara maka harus mendapat pengakuan oleh negara lain
dan menurut teori deklaratif merunjuk terhadap Konvensi Montevideo yakni
Pasal 1 Konvensi ini menyebutkan bahwa ada empat kriteria yang harus
dipenuhi oleh sebuah negara baru yaitu; adanya populasi yang tetap
(permanent population), adanya wilayah yang jelas dan tetap (defined
territory), adanya pemerintah (government) dan adanya kapasitas (negara)
untuk melakukan tindakan atau hubungan hukum dengan negara lain. Dan juga
pengakuan terhadap pemerintahan melalui suatu pengakuan berdasarkan
kenyataan yang ada (de jure) dan suatu pengakuan berdasarkan pada hukum
(de facto).
Diakuinya sebuah negara dalam hukum internasional kontenporer masih
menjadi polemik dan masih menjadi perbincangan hingga saat ini terutama
terkait tolak ukur atau pertimbangan bahwa bagaimana suatu entitas itu
dianggap sebagai sebuah negara oleh hukum internasional, jika dilihat dari
negara Palestina sudah jelas bahwa seharusnya sudah memenuhi unsur negara

13
menurut Konvensi Pasal 1 Konvensi Montevidio, akan tetapi keempat unsur
yang dimiliki yang menjadi permasalahan ketika memunuhi ketentuan akan
tetapi didalamnya terjadi sebuah konflik, apakah Palestina bisa dikatakan
sebuah negara, hal ini masih menjadi permasalahan mengingat bahwa
Palestina sendiri secara praktik telah diakui oleh negara-negara melalui
hubungan internasional dengan negara lain melalui perjanjian internasional.
Terkait hal tersebut untuk mengukur diakuinya sebuah negara disamping
dari melihat teori konsultatif, teori deklaratif maupun Konvensi Montevidio
maka kita harus kembali kepada sifat dan hakekat dari hukum internasional
bahwa pada dasarnya hukum internasional adalah hukum yang bersifat
koordinatif bukan sub-ordinatif seperti halnya hukum nasional, sub-ordinatif
diartikan ada hubungan tinggi rendah antara pemerintah (rakyat) dengan yang
memerintah (pemerintah/penguasa). Tidak ada suatu badan supranasional
ataupun pemerintah dunia (world government).
Sebagai hukum yang bersifat koordinatif, hukum internasional tidak
bersifat superior terhadap negara. Sistem hukum ini tidak mengenal lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif seperti hukum nasional. Hukum internasional
adalah sistem hukum yang bersifat horizontal. Perserikatan bangsa-bangsa
(PBB) bukan merupakan lembaga dunia (world legislature). Mahkamah
internasional beroperasi atas persetujuan negara-negara yang berpekara
begitu juga dengan Dewan Keamanan PBB dalam menjaga perdamaian dan
keamanan internasional, secara hukum dan politik tunduk pada sejumlah
pembatasan.17 yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengukur dan
memaksa berlakunya suatu aturan internasional, jadi terhadap pengakuan
suatu negara kembali ke sifat dan hakekat hukum internasional itu sendiri.

17
Atip Latipulhayat, Pengantar Hukum Internasional, Buku Ajar, Fakultas Hukum, Universitas
Padjadjaran, 2015, hal 9

14
2. Relasi spirit International Criminal Court (ICC) terhadap prinsip Unable
and Unwilling Palestina dalam mengadili kejahatan perang oleh Israel
Kejahatan perang (war crime) sebagai salah satu yuridiksi oleh mahkamah
pidana internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi pada
negara-negara di dunia, hal ini berdasarkan pada Pasal 8 ayat (1) Statuta Roma
yakni :18
“The Court shall have jurisdiction in respect of war crimes in particular when
committed as part of a plan or policy or as part of a large-scale commission of
such crimes.”

Keadaan perang yang dimaksud yaitu perang yang membawa kesensaraan


bagi semua pihak ataupun memakan banyak korban luka dan mati akibat perang
tersebut. Menurut Oppenhein-Lauterpact menyatakan definisi kejahatan perang
adalah :
“war is a contention between two or more states through their armed forces
for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions of
peace as the victor pleases.”

Sedangkan pemahaman mengenai kejahatan perang (war crimes) adalah


suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum internasional terhadap
hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil.19
Konflik Palestina dan Israel adalah topik yang tak asing lagi bagi umat
manusia. Sudah dari pertengahan abad ke-20 hingga sekarang, konflik antara
kedua negara tersebut tidak pernah selesai. Terjadi perebutan wilayah antara
warga Arab dan Yahudi pada tahun 1937 Seorang diplomat Inggris yang
bernama Lord Peel ditugaskan oleh Inggris untuk mencari tahu penyebab
pemberontakan arab di daerah tersebut. Setelah beberapa bulan menyelidiki, ia
menyimpulkan bahwa ada 2 kubu yang berbeda, yaitu Arab dan Yahudi yang
ingin memerintah daerah yang sama untuk menyelesaikan permasalahan itu,

18
Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, (Jakarta, Sinar Grafika, 2014), hal 72
19
Ibid

15
deklarasi perdamaian yang jadi cikal bakal resolusi 2 negara atau biasanya
dikenal dengan Two States Solution. Dalam isinya, orang Arab di Palestina akan
mendapat 80 persen dari daerah yang diperebutkan. Adapun Yahudi yang akan
mendirikan negara Israel dengan porsi sekitar 20% dari daerah tersebut. Orang-
orang Yahudi menerima keputusan ini, tetapi kelompok Arab menolaknya.
Akibat dari serangan yang berlangsung selama 22 hari tersebut sekitar 1434
penduduk Palestina tewas menjadi korban. Korban penduduk sipil berjumlah
960, 239 polisi dan 235 pejuang Hamas. Dari 960 penduduk sipil yang tewas
terdiri dari 288 anak, 121 wanita, dan 409 penduduk sipil selain wanita dan
anak anak. Menurut data dari Departemen Kesehatan Palestina, korban luka-
luka mencapai 5303 yang terdiri dari 1606 anak-anak dan 828 Wanita.20
Serangan Israel juga telah menghancurkan rumah-rumah, masjid dan kantor
lembaga bantuan PBB dan infrastruktur lain.
Untuk dapat menaggunangi kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel
maka perlulah suatu lembaga seperti International Criminal Courth (ICC) yang
dibentuk untuk mengadili segala jenis kejahatan berat, mengingat ketika
Palestina dalam hal ini tidak mampu untuk mengadili kejahatan perang yang
dilakukan oleh Israel.
Statuta Roma adalah perjanjian yang diadopsi dalam Konferensi Roma 1998
untuk menjadi dasar terbentuknya International Criminal Court (selanjutnya
ditulis ICC) (Human Rights Watch 1998). Perjanjian yang disusun dan disetujui
pada hari yang sama yaitu 17 Juli 1998 tersebut hingga saat ini telah diratifikasi
oleh 124 negara, sedangkan jumlah negara penandatangan mencapai 139
negara. Terkait ICC. Pasal 1 mendefinisikan ICC sebagai :
“permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction
over persons for the most serious crimes of international concern, as referred

20
Aryuni Yuliantiningsih, Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter
Internasional, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 2 Mei 2009, hal 8

16
to in this Statute, and shall be complementary to national criminal
jurisdictions.

“suatu lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan


jurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius yang menjadi
perhatian internasional, sebagaimana dicantumkan dalam Statuta ini.21
Disamping itu yuridiksi ICC merupakan perluasan dari yuridiksi pidana nasional
dari negara-negara pesertanya atau dengan kata lain ICC merupakan suplemen
bagi pengadilan nasional dalam hal yang terakhir ketika gagal menjalani
fungsinya, ICC dalam menjalankan yuridiksinya membutuhkan kerjasama
dengan pemerintah nasional.22
ICC memiliki kewenangan untuk mengadili kejahatan yang paling serius
(the most serious crimes) yakni kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida,
kejahatan perang, dan agresi. Pada Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma diyatakan
bahwa ICC memiliki kewenangan untuk mengadili individu yang melakukan
kejahatan di wilayah teritorial negara pihak dari ICC atau individu yang berasal
dari negara yang sudah menjadi pihak dari ICC. Pasal tersebut mengartikan
bahwa ICC tidak hanya dapat mengadili individu yang berasal dari negara yang
sudah mengakui yurisdiksi ICC atau menjadi pihak Statuta Roma, namun juga
semua individu (termasuk yang berasal dari negara non-pihak ICC) sepanjang
kejahatan yang dilakukan terjadi di wilayah negara yang menjadi pihak dari
ICC. Statuta Roma juga memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan
(DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk merujuk situasi suatu negara
yang dinilai DK memenuhi kriteria Bab VII Piagam PBB untuk dibawa ke muka
ICC meskipun negara tersebut bukan merupakan negara pihak Statuta Roma.

21
Wakhid Aprizal Maruf, Kebijakan Indonesia Belum Meratifikasi Statuta Roma 1998, Journal Of
International Relations, Op.Cit, hal 1
22
Jawahir Thontowi Dkk, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung, Refika Aditama, 2016), hal
249

17
Kewenangan ICC tersebut memunculkan banyak kritikan dari berbagai pihak.23
Berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Pidana Internasional, Negara
(sebagai negara pihak) dalam hal ini juga memiliki kedaulatan negara, dimana
hukum negaranya tidak mau dicampuri oleh negara lain, terlebih untuk
menyerahkan pelakunya untuk diadili. Disaat kejahatan itu terjadi, negara
mempunyai kekuasaan dan eksistensi yang cukup kuat di
negaranya.24mahkamah pidana internasional pun memiliki empat macam
yuridiksi yakni, yuridiksi personal, kriminal, temporal dan territorial.
Adapun tentang yuridiksi personal Mahkamah sebagimana ditegaskan dalam
Pasal 1 juncto Pasal 25 selanjutnya bahwa mahkamah menganut tanggung jawab
pidana secara pribadi dan individu (individual criminal responsibility). Dalam
Pasal 25 Ayat 1 bahwa yuridiksi mahkamah terhadap orang-orang atau individu
yang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya sebagimana
yang ditentukan dalam statuta.
Yuridiksi kriminal berupa empat jenis kejahatan atau tindak pidana yang
dinyatakan dalam Pasal 5, yakni: kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahata agresi. Masing-masing kejahatan
itu (kecuali kejahatan agresi) dirinci dalam Pasal 6 (gonosida), Pasal 7
(kejahatan terhadap kemanusiaan), dan Pasal 8 (kejahatan perang).
Yuridiksi temporal (jurisdiction ratione temporis) ditegaskan dalam Pasal 11
ayat 1 dan 2. Menurut Ayat 1, mahkamah hanya memiliki yuridiksi atas
kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya statuta, untuk kepastiannya
haruslah ditentukan lebih dahulu tentang waktu atau tanggal mulai berlakunya
statute.

23
Diajeng Wulan Christianti, Yurisdiksi International Criminal Court (Icc) Terhadap Warga Negara
Non-Pihak Statuta Roma Dan Dampaknya Terhadap Indonesia, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum
Volume 2 Nomor 1 Tahun 2015, hal 28
24
Krisdiana Katiandagho, Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Untuk Mengadili Pelaku
Kejahatanpelanggaran Ham Berat Dalam Suatu Negara Tanpa Adanya Permintaan Dari Negara
Tuan Rumah, Jurnal Ilmiah, hal 6

18
Yuridiksi territorial dalam hal ini tidak terdapat satu Pasal pun yang
menegaskannya. Mengingat mahkamah merupakan suatu peradilan kriminal
yang dimaksudkan untuk menjangkau keempat jenis kejahatan yang ditentukan
dalam statuta.25 Penerapan suatu yuridiksi territorial tidak menjadi masalah
mengingat negara-negara tersebut merupakan negara yang menerima yuridiksi
dari mahkamah sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 12 Ayat 1.
Statute Roma 1998 juga menentukan bahwa mahkamah Pidana internasioal
memiliki prinsip dasar mahkamah yakni:
a. Prinsip Komplementer
Dalam mukadimahnya, Statuta menyatakan bahwa mahkamah pidana
internasional merupakan pelengkap dari yuridiksi nasional. Ketentuan ini
dijabarkan dalam Pasal 1 Statuta yang dinamakan dengan prinsip komplementer
(complementary principle).26 Bahwa dalam hal ini merupakan pengakuan
terhadap prinsip kedaulatan negara agar hukum nasional dapat mengadili dan
menghukum tindak pidana yang menjadi perhatian dunia.
b. Prinsip Penerimaan
Prinsip ini menunjukkan bahwa statute merunjuk kepada hubungan
komplek antara sistem hukum nasional dengan hukum internasional. Mahkamah
pidana internasional tidak dapat menerima jika dalam keadaan:
i. Sedang dilaksanakannya sistem hukum nasional untuk memeriksa dan
mengadili oleh negara setempat, kecuali negara tersebut dianggap unable
atau unwilling.
ii. Telah dilaksanakannya penyelidikan oleh negara setempat dan negara
setempat tidak berkehendak untuk mengajukan tuntutan terhadap individu
yang bersangkutan. Kecuali disebabkan oleh faktor ketidaksediaan atau
ketidakmauan negara.

25
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, (Bandung, CV.Yrama Widya, 2015), hal 360
26
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Op.Cit, hal 297

19
iii. Individu yang bersangkutan telah dipidana atas dasar tindakan sama yang
menjadi dasar tuntutan dari mahkamah pidana internasional
iv. Tindak pidana yang ringan untuk ditangani mahkamah pidana internasional
c. Prinsip Otomatis (automatic principles)
Menurut prinsip ini pelaksanaan yuridiksi mahkamah atas tindak-tindak
pidana yang tercantum dalam statute tidak memerlukan persetujuan
sebelumnya dari negara pihak. Semua negara secara otomatis menertima
yuridiksi mahkamah atas semua tindak pidana sesuai dengan Pasal 12 ayat 1
Statuta.27 Selanjutnya Pasal 12 Ayat 2 statuta, mahkamah dapat melaksanakan
yuridiksinya bila
i. Kejahatan yang terjadi wilayah negara pihak statute (Locut Delicti)
ii. Orang yang melakukan kejahatan tersebut adalah warga negara dari negara
pihak tersebut.
Dalam kejahatan perang yang dilakukan Israel terhadap Palestina maka
terdapat suatu regualasi dalam memahami konflik yang terjadi di Palestina
suatu spirit dari International Criminal Courth (ICC) diperlukan dalam
menganalisa konflik tersebut maka dalam hal ini Mahkamah Pidana
internasional, berdasarkan prinsip komplementer seperti yang tertera dalam
ayat 10 Pembukaan dan dipertegas oleh ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998,
sebagai berikut:28

“Emphasizing that the International Criminal Court established under this


Statute shall be complementary to national criminal jurisdictions”

Sedangkan terdapat ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998 tentang


Mahkamah Pidana Internasional, sebagai berikut:29

27
Ibid, hal 298
28
Paragrap 10 Preamble Rome Statute of The International Criminal Court 1998
29
Article 1 Rome Statute of The International Criminal Court 1998.

20
“An International Criminal Court (‘the Court’) is hereby established. It shall be
a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction
over persons for the most serious crimes of international concern, as referred
to in this Statute, and shall be complementary to national criminal
jurisdictions. The jurisdiction and functioning of the Court shall be governed
by the provisions of this Statute.”

Mahkamah Pidana Internasional bersifat komplementer, kerena diketahui


berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ayat 6 Pembukaan Statuta Roma
1998 dan tentunya mengingat pula ayat 10 Pembukaan Statuta Roma 1998,
bahwa kewajiban untuk menegakkan hukum, atas kejahatan yang menjadi
perhatian masyarakat internasional yang dilakukan, menjadi tanggung jawab
suatu negara. Berikut ketentuan lengkap ayat 6 Pembukaan Statuta Roma 1998
tentang Mahkamah Pidana Internasional:30
“Recalling that it is the duty of every State to exercise its criminal jurisdiction
over those responsible for international crimes”

Ketentuan dalam Statuta Roma 1998, meskipun pada dasarnya


menyebutkan bahwa kewajiban untuk menegakkan hukum ada di suatu negara,
akan tetapi negara dapat berada dalam keadaan atau dianggap tidak mau
(unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan
internasional. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 Statuta Roma
1998, menentukan negara yang dalam keadaan atau dianggap tidak mau atau
ketidaksediaan (unwilling) sebagai berikut:31
2. In order to determine unwillingness in a particular case, the Court shall
consider, having regard to the principles of due process recognized by
international law, whether one or more of the following exist, as applicable:
(a) The proceedings were or are being undertaken or the national decision
was made for the purpose of shielding the person concerned from
criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the Court
referred to in article 5;
30
Paragraph 6 Preamble Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
31
Article 17 (2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.

21
(b) There has been an unjustified delay in the proceedings which in the
circumstances is inconsistent with an intent to bring the person
concerned to justice;
(c) The proceedings were not or are not being conducted independently or
impartially, and they were or are being conducted in a manner which, in
the circumstances, is inconsistent with an intent to bring the person
concerned to justice

Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998,


menentukan negara yang dalam keadaan atau dianggap tidak mampu atau
ketidaksediaan (unable) adalah sebagai berikut:32
In order to determine inability in a particular case, the Court shall consider
whether, due to a total or substantial collapse or unavailability of its national
judicial system, the State is unable to obtain the accused or the necessary
evidence and testimony or otherwise unable to carry out its proceedings.

Ciri khusus dari ICC, dan untuk membedakannya dengan pengadilan


internasional lainnya terletak bahwa ICC didasarkan atas prinsip
komplementaritas, dimana pengadilan nasional memegang prioritas. sebuah
kasus bisa tidak diterima dan pengadilan tidak mampu menjalankan yuridiksi
dalam sejumlah situasi. Seperti bilamana sebuah kasus telah di investigasi atau
dituntut oleh sebuah negara yang memiliki yuridiksi atasnya kecuai jika negara
tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak mampu melaksanakan
penyelidikan maupun penuntutan.33
Pada dasarnya Israel telah melanggar prinsip-prinsip dalam ICC yakni dalam
prinsip komplementer dan prinsip yang terkandung dalam Piagam PBB,
kejahatan Israel ke Palestina mengakibatkan korban penduduk sipil. Hal ini
bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusiaan dan

32
Article 17 (3) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
33
Malcom N Shaw, Hukum Internasioanl, (Bandung, Nusa Media, 2013) hal, 403

22
perlindungan terhadap penduduk sipil telah lama dikenal dalam membatasi
korban karena peperangan.
Pada bulan November 2012, 193 negara anggota Majelis Umum PBB
mengakui secara de facto Palestina sebagi sebuah negara dengan peningkatan
status dari "entity" menjadi "non-member state". Bergabungnya Palestina dengan
ICC maka ICC berkewenangan untuk melakukan peyidikan, penyelidikan
maupun penuntutan terhadap Israel didukung dengan prinsip komplementer
dan dari prinsip otomatos yakni locus dilicti dari ICC, kejahatan perang yang
dilakukan Israel termasuk dalam locus delicti tempat kejadian berada di
Palestina, dengan masuknya Palsestina sebagai anggota dari ICC maka ICC
berhak dalam mengadili Israel. Walaupun secara de Facto Israel bukan negara
anggota Statuta roma akan tetapi kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di
lakukan di wilayah palestina sebagai anggota Statuta Roma.
Pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sesuai dengan
prinsip komplementer yang terdapat dalam ayat 10 Pembukaan dan dipertegas
oleh ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998. Pada dasarnya prinsip
komplementer merupakan prinsip yang mendorong sistem hukum nasional
untuk memuat pengaturan untuk mengadili para pelaku kejahatan yang menjadi
perhatian internasional, sekaligus berupa penghormatan terhadap kedaulatan
negara.
Ketika Palestina tidak dapat melaksanakan suatu kewajiban dalam
mengadili kejahatan yang dilakukan oleh Israel, atau dalam hal terdapat suatu
keadaan dimana Palestina tidak mampu (unable) dalam penyelesaikan kejahatan
yang dilakukan oleh Israel. Negara yang dianggap tidak mau (unwilling)
merupakan negara yang pada dasarnya dapat menegakkan aturan dalam hukum
nasional terhadap pelaku kejahatan yang dimaksud, akan tetapi pada
pelaksaannya negara tersebut tidak kredibel atau tidak mempunyai kekuatan
dalam mengadili kejahatan tersebut baik dalam tahapan serta terhadap

23
putusannya. Berkaitan dengan Palestina bahwa seharusnya Israel dapat diadili
akan tetapi Israel sendiri adalah pelaku dari kejahatan perang tersebut. Israel
tentu menolak untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi di Palestina
dengan alasan mengidili pelaku dari negara itu sendiri.
Berbeda dengan negara yang dianggap tidak mau (unwilling), negara yang
tidak mampu (unable) Palestina dalam hal ini tidak mampu (unable) dalam
penyelesaian kejahatan internasional, sebelum terbentuknya Statuta Roma 1998
tentang Mahkamah Pidana Internasional adalah negara yang tidak dapat
menerapkan sistem hukum nasionalnya. Keadaan negara tersebut sama halnya
yang terjadi terhadap Palestina terutama dalam penegakan hukum atas
pelanggaran kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel, baik dalam proses
maupun hasil yang diputuskan.
Kriteria negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable),
dalam penyelesaian kejahatan internasional setelah adanya Statuta Roma 1998.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 dan 3 Statuta Roma 1998
menentukan secara tegas negara yang dapat dianggap tidak mau (unwilling) dan
negara yang dianggap tidak mampu (unable) dengan memberikan penjelasan
mengenai kriteria negara tersebut.
International criminal court (ICC) pada dasarnya bukanlah badan di bawah
PBB. ICC merupakan sebuah organ hukum yang independen secara politik dan
keuangan dari PBB. Jadi kekuatan politik dari PBB tidak bisa diharapkan
terbawa di ICC untuk mendukung Palestina. Selain itu proses peradilan di ICC
tidak bisa singkat dari penyelidikan, dakwaan sampai penjatuhan hukuman.
Faktor waktu bisa akan lebih menguntungkan Israel dengan dukungan AS
dengan penguasaan perang di dalam opini publik dunia, dan didukung dengan
kewenangannya sebagai dewan keamanan tetap.
ICC tidak akan mengambil langkah jika suatu negara pihak telah melakukan
penyelidikan dan pengadilan sendiri seperti yang selama ini telah dilakukan oleh

24
Israel lepas dari hasilnya yang tidak memuaskan Palestina. Menjadi tantangan
tersendiri untuk membuktikan bahwa sistem pengadilan Palestina "unable"
(tidak mampu) untuk mengadili tindakan tentara Israel. Berkenan dengan hal itu
kita dapat kembali ke prinsip otomatis yaitu locus delicti bahwa Israel
melakukan kejahatan perang di wilayah palestina oleh karena ICC sudah lebih
dari cukup untuk mengadili Israel sebagai yuridiksi prinsip otomatis yang
terkandung dalam statute roma 1998.

Kesimpulan dan Saran


Menurut Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara
dirumuskan dalam konferensi Internasional ketujuh negara-negara yang berada
di benua Amerika pada tanggal 26 Desember tahun 1933 di Uruguay. Pasal 1
Konvensi ini menyebutkan bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi oleh
sebuah negara baru untuk menjadi sebuah negara berdaulat, yaitu; adanya
populasi yang tetap (permanent population), adanya wilayah yang jelas dan tetap
(defined territory), adanya pemerintah (government) dan adanya kapasitas
(negara) untuk melakukan tindakan atau hubungan hukum dengan negara lain.
Dan dalam hal ini pengakuan terhadap negara terbagi dalam dua bentuk yakni
pengakuan secara de jure dan secara de facto, Palestina telah diakui secara de
jure karna dalam praktiknya telah diakui oleh beberapa negara yang dibuktikan
melalui perjanjian internasional dengan negara lain yang hakekatnya perjanjian
internasional dibuat oleh subyek hukum internasional seperti negara, dan
dengan bergabungannya Palestina di anggota UNESCO dan juga anggota ICC.
Sifat dan hakekatnya hukum internasional ini sendiri bersifat koordinatif tidak
ada lembaga dunia (world government) yang dapat mengatur seperti hukum
nasional dan untuk menentukan Palestina sebagai negara maka kembali kepada
Konvensi Montevidio dan sifat dan hakekat hukum internasional itu sendiri.

25
ICC merupakan suatu lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakan jurisdiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius, ICC
pun memiliki empat macam yuridiksi yakni, yuridiksi personal, kriminal,
temporal dan territorial. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 Statuta
Roma 1998, menentukan negara yang dalam keadaan atau dianggap tidak mau
atau ketidaksediaan (unwilling). Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat
3 Statuta Roma 1998, menentukan negara yang dalam keadaan atau dianggap
tidak mampu atau ketidaksediaan (unable). Palestina pada praktinya tidak
mampu (unable) dalam penyelesaikan kejahatan perang yang dilakukan oleh
Israel. Berbeda dengan Israel menolak untuk mengadili kejahatan perang yang
dilakukannya terhadap Palestina disebabkan karena mengidili pelaku dari
negara itu sendiri, oleh karena hal tersebut maka Israel dianggap tidak mau
(unwilling) dalam mengadili kejahatan yang dilakukannya. ICC tidak dapat
mengambil langkah jika suatu negara pihak telah melakukan penyelidikan dan
pengadilan sendiri seperti yang selama ini telah dilakukan oleh Israel lepas dari
hasilnya yang tidak memuaskan Palestina. Menjadi tantangan tersendiri untuk
membuktikan bahwa sistem pengadilan Palestina "unable" (tidak mampu) untuk
mengadili tindakan tentara Israel. Berkenan dengan hal itu kita dapat kembali ke
prinsip otomatis yaitu locus delicti bahwa Israel melakukan kejahatan perang di
wilayah palestina oleh karena ICC sudah lebih dari cukup untuk mengadili Israel
sebagai yuridiksi prinsip otomatis yang terkandung dalam statute roma 1998.

26
DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Widyawati, Anis, (2014), Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.

Latipulhayat, Atip, (2015). Pengantar Hukum Internasional, Buku Ajar, Fakultas


Hukum, Universitas Padjadjaran.

Mauna, Boer, (2000), Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi


Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.

Istanto, F. Sugeng, (1998), Hukum Internasional, Univesitas Atma Jaya


Yogyakarta.

Adolf, Huala, (2015). Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Keni


Media, Bandung.

Parthiana, I Wayan, (2015), Hukum Pidana Internasional, CV.Yrama Widya, ,


Bandung.

Thontowi, Jawahir, Dkk, (2016), Hukum Internasional Kontemporer, Refika


Aditama, Bandung.

N Shaw, Malcom, (2013), Hukum Internasioanl, Nusa Media, Bandung.

Atmasasmita, Romli, (2004) Hukum Pidana Internasional, Hecca Mitra Utama,


Bagian II, Jakarta.

Sefriani, (2014), Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta.

Sefriani, (2018), Hukum Internasional Suatu Pengatar, Edisi Kedua, Rajawali


Pers, Depok.

II. JURNAL/ ARTIKEL/DISERTASI/TESIS/SKRIPSI/INTERNET.

Yuliantiningsih, Aryuni, (2009), Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif


Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 2 Mei.

27
Sujadmiko, Bayu, (2012), Pengakuan Negara Baru Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Internasional (Studi Terhadap Kemerdekaan Kosovo), Fiat Justitia
Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No. 1 Januari-April.

Christianti, Diajeng Wulan, (2015), Yurisdiksi International Criminal Court (Icc)


Terhadap Warga Negara Non-Pihak Statuta Roma Dan Dampaknya
Terhadap Indonesia, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1
Tahun.

Katiandagho, Krisdiana, Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional Untuk


Mengadili Pelaku Kejahatanpelanggaran Ham Berat Dalam Suatu Negara
Tanpa Adanya Permintaan Dari Negara Tuan Rumah, Jurnal Ilmiah.

Syuib, M, (Tanpa Tahun), Negara Palestina Dalam Perspektif Hukum


Internasional, Uin Ar-Raniry Banda Aceh.

Aprizal Maruf, (2017), Wakhid, Kebijakan Indonesia Belum Meratifikasi Statuta


Roma 1998, Journal Of International Relations, Volume 3, Nomor 2,
Tahun.

III. Peraturan Perundang-undangan/Putusan Pengadilan/Peraturan


Internasional

Rome Statute of The International Criminal Court 1998

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.

IV. Internet

Https://Www.Matamatapolitik.Com/40-Mati-5-511-Luka-Luka-Pbb-Laporkan
nJumlah-Korban Palestina-Yang-Terus-Bertambah-Di-Pawai-Gaza/

28

Vous aimerez peut-être aussi