Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel II.1. Famili, Genus dan Spesies mikroorganisme gram negative yang
paling sering sebagai penyebab ISK (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2014)
Famili Genus Spesies
Enterobacteriaceae Eschericea Colli
Klebsiella Pneumonia
Oxytosa
Proteus Mirabilis
Vulgaris
Enterobacter Cloaceae
Aerogenes
Providencia Rettgeri
Stuartii
Morganella Morganii
Citrobacter Freundeii
Diversus
Serratia Morcescens
Pseudomanadeaceae Pseudomonas Aeruginosa
Tabel II. 2. Famili, Genus dan Spesies mikroorganisme gram Positif yang
paling sering sebagai penyebab ISK (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2014)
Famili Genus Spesies
Micrococcaceae Staphylococcus Aureus
Streptococcaceae Streptococcus Fecalis
Enterococcus
5. Faktor Risiko
Diagnosis ISK akan sulit dilakukan pada pasien dengan pemasangan kateter
jangka panjang, karena bakteri tersebut sudah berkolonisasi, oleh karena itu
penegakan diagnosa infeksi dilakukan dengan melihat tanda klinis pasien sebagai
acuan selain hasil biakan kuman dengan jumlah >105 cfu/ml dianggap sebagai
indikasi infeksi (Kementrian Kesehatan RI, 2017). Faktor risiko tersebut antara
lain:
a. Usia
Prevalensi ISK meningkat secara signifikan pada manula. Bakteriuria meningkat
dari 5-10% pada usia 70 tahun menjadi 20% pada usia 80 tahun. Pada usia tua,
seseorang akan mengalami penurunan sistem imun, hal ini akan memudahkan
timbulnya ISK (Theresa A Rowe and Manisha Juthani-Mehta, 2013). Wanita
yang telah menopause akan mengalami perubahan lapisan vagina dan penurunan
estrogen, hal ini akan mempermudah timbulnya ISK (Theresa A Rowe and
Manisha Juthani-Mehta, 2013).
b. Jenis Kelamin
Secara anatomi, uretra perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm dan terletak di
dekat anus. Hal ini menjadikannya lebih rentan untuk terkena kolonisasi bakteri
basil gram negatif. Karenanya, perempuan lebih rentan terkena ISK (Grape,
Dedering, & Jonasson, 2016). Berbeda dengan laki-laki yang struktur uretranya
lebih panjang dan memiliki kelenjar prostat yang sekretnya mampu melawan
bakteri, ISK pun lebih jarang ditemukan. Tidak dilakukannya sirkumsisi juga
menjadi salah satu faktor risiko infeksi saluran kemih pada laki-laki. Sekitar 40%
wanita paling sedikit satu kali terkena sistitis selama hidupnya, dan ini sering
terjadi pada wanita yang aktif secara seksual, selama kehamilan, pasca operasi,
dan setelah menopause (Grape et al., 2016).
c. Penyakit Penyerta
Insidensi pyelonefritis akut empat sampai lima kali lebih tinggi pada individu
yang diabetes daripada yang tidak (Alves, Casqueiro, & Casqueiro, 2012). Hal
itu dapat terjadi karena disfungsi vesica urinaria sehingga memudahkan distensi
vesica urinaria serta penurunan kontraktilitas detrusor dan hal ini meningkatkan
residu urin maka mudah terjadi infeksi (David. & Flood., 2011). Faktor lain yang
dapat menyebabkan ISK adalah menderita diabetes lebih dari 20 tahun,
retinopati, neuropati, penyakit jantung, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Konsentrasi glukosa urin yang tinggi juga akan merusak fungsi fagosit dari
leukosit polimorfonuklear. Kombinasi dari beberapa faktor diatas menjadi
penyebab insidensi ISK dan keparahan ISK pada pasien diabetes mellitus (Alves
et al., 2012).
d. Antibiotik
Penggunaan antibiotik yang terlalu banyak dan tidak rasional dapat
menimbulkan resistensi. Hal ini terjadi terutama pada pasien yang mendapat
terapi antibiotik dalam 90 hari sebelumnya (Ang & Sun, 2018). Penggunaan
antibiotik yang tidak rasional mengurangi jumlah bakteri lactobacillus yang
melindungi. Hal ini menimbulkan jumlah pertumbuhan E. coli yang tinggi di
vagina. Pada percobaan kepada kera, pemberian antimikroba β-lactam
meningkatkan kolonisasi E. coli, pemberian trimethoprim dan nitrofurantoin
tidak meningkatkan kolonisasi E. coli (David. & Flood., 2011). E. coli
merupakan penyebab terbanyak ISK (Ang & Sun, 2018). Resistensi E. coli
terhadap antibiotik meningkat dengan cepat, terutama resistensi terhadap
fluorokuinolon dan cephalosporin generasi 3 dan 4 (Collignon, 2009).
e. Perawatan di Intensive Care Unit (ICU)
National Nosocomial Infections Surveillance System dilakukan pada pasien
ICU, dari studi tersebut didapatkan kesimpulan bahwa ISK merupakan infeksi
terbanyak pada pasien kritis di ICU. Disebutkan bahwa penyebabnya adalah
penggunaan antibiotik yang tinggi multipel pada satu pasien sehingga
menimbulkan peningkatan resistensi terhadap antimikroba (Joshi, 2007).
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan resistensi melalui
mekanisme antibiotic selective pressure, antibiotik akan membunuh bakteri
yang peka sehingga bakteri yang resisten menjadi berkembang (Lipsitch &
Samore, 2002). Faktor lain yang menyebabkan tingginya resistensi di ICU
adalah penyakit serius yang diderita, penggunaan alat kesehatan invasif dalam
waktu lama, dan waktu tinggal di rumah sakit yang lama (Archibald L, Phillips
L, McGowan Jr JE, Tenover F, 1997).
f. Perawatan jangka Panjang
Infeksi yang paling banyak terjadi pada pasien perawatan jangka panjang adalah
infeksi respiratorius dan traktus urinarius (ISK), khususnya infeksi oleh
Extended Spectrum Beta Lactamase Producers (ESBLs) yaitu E. coli (Kassis-
Chikhani et al., 2004). Kejadian resistensi antimikroba pada pasien perawatan
kesehatan jangka panjang tinggi dikarenakan populasi pasien yang sangat rentan
terhadap infeksi dan kolonisasi. Penurunan sistem imun, beberapa komorbiditas,
dan penurunan fungsional pada pasien perawatan jangka panjang akan
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan melemahkan pertahanan tubuh
melawan infeksi (Viray et al., 2014). Pasien perawatan kesehatan jangka panjang
sering menerima pengobatan empiris dengan antibiotik spektrum luas, ini
meningkatkan antibiotic selective pressure sehingga menimbulkan resistensi
(Viray et al., 2014).
g. Kateter
Sebagian besar ISK terjadi setelah pemasangan kateter atau instrumentasi urin
lainnya. Pada pasien yang terpasang kateter, bakteri dapat memasuki vesica
urinaria melalui 4 tempat: the meatus-cathether junction, the cathether-drainage
tubing junction, the drainage tubing-bag junction, dan pintu drainase pada
kantung urin. Pada kateterisasi dengan waktu singkat, bakteri yang paling
banyak ditemukan adalah E. coli. Bakteri lain yang ditemukan adalah P.
aeruginosa, K. pneumonia, Staphylococcus epidermidis, dan enterococcus. Pada
kateterisasi jangka panjang, bakteri yang banyak ditemukan adalah E. coli,
bakteri ini menempel pada uroepitelium (Nicolle, 2014).
6. Patofisiologi
Infeksi saluran kemih terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam saluran
kemih dan berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih, uretra dan
dua ureter dan ginjal. Kuman ini biasanya memasuki saluran kemih melalui uretra,
kateter, perjalanan sampai ke kandung kemih dan dapat bergerak naik ke ginjal dan
menyebabkan infeksi yang disebut pielonefritis. ISK terjadi karena gangguan
keseimbangan antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent
dan epitel saluran kemih sebagai host. Mikroorganisme tersebut dapat memasuki
saluran kemih melalui 3 cara yaitu ascending hematogen seperti penularan M.
Tuberculosis atau S. Aureus, limfogen dan langsung dari organ sekitarnya yang
sebelumnya telah mengalami infeksi (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2014).
Sebagian besar pasien ISK mengalami penyakit komplikasi. ISK komplikasi
adalah ISK yang diperburuk dengan adanya penyakit lainya seperti lesi, obstruksi
saluran kemih, pembentukan batu, pemasangan kateter, kerusakan dan gangguan
neurologi serta menurunya sistem imun yang dapat mengganggu aliran yang normal
dan perlindungan saluran urin. Hal tersebut mengakibatkan ISK komplikasi
membutuhkan terapi yang lebih lama (Aristanti, 2015).
7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada ISK berbeda-beda sesuai dengan terjadinya lokasi infeksi, yaitu:
a. ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik,
polakisuria, nokturia, disuria, stranguria (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
b. ISK atas (Pielonefritis Akut/ PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi
(39,5-40,5°C), disertai menggigil dan sakit pinggang. Presentasi klinis PNA ini
sering didahului gejala ISK bawah (sistitis) (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
8. Diagnosis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa ISK yaitu dengan
melakukan kegiatan pemeriksaan penunjang seperti :
a. Urinalisis
Leukosuria.
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap
dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit per lapang
pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada
sedimen urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya
leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai
pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituri yang bermakna,
perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
Hematuria.
Hematuria dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu
bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh
berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh
sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
b. Tes dipstick
Tes dipstick merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang sering
dilakukan jika pasien memiliki gejala klinis. Komponen yang paling sering
diperiksa adalah nitrit, leukosit esterase, protein dan darah.
c. Kultur urin
Kultur urin merupakan baku emas penegakkan diagnosis ISK secara kuantitatif
dan dapat mengidentifikasi bakteri pathogen secara spesifik.
9. Penatalaksanaan
a. Infeksi Saluran Kemih Bawah.
Prinsip manajemen meliputi intake cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat
dan terapi simptomatik antara lain dengan antibiotika tunggal seperti ampisilin
3 gr, trimetropim 200 mg. Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis
diperlukan terapi selama 5-10 hari. Pada SUA dengan jumlah bakteri 103-105
diperlukan antibiotika yang adekuat. Untuk yang anaerob diberikan antimikroba
yang sesuai seperti kuinolon (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2014).
b. Infeksi Saluran Kemih Atas
Pada umumnya pielonefritis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara
status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral paling sedikit 48 jam. The
Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui
mikroorganisme sebagai penyebabnya, yaitu: (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014)
- Florokuinolon
- Aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin
- Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
Tabel II. 6 Pilihan antibiotik untuk ISK berdasarkan bakteri (Young’s, 2013).
Bakteri Drug of choice Alternatif
Gram Negatif
- Escherichia colli Cephalosporin gen 3 Cephalosporin gen 1 atau 2,
Gentamicin
- Klebsiella Cephalosporin gen 3 Cephalosporin gen 1 atau 2,
pneumonia Gentamicin, TMP-SMX
- Enterobacter TMP-SMX Quinolon, Carbapenem,
cloacae Aminoglikosid
- Pseudomonas Ceftazidim ± Quinolone/ Imipenem ±
aeruginosa Aminoglikosida/ Quinolon Aminoglikosida
- Pseudomonas Ceftazidim ± Quinolone/ Imipenem ±
fluorescens Aminoglikosida/ Quinolon Aminoglikosida
Gram Positif
- Staphylococcus Nafcillin Cefazolin, Vancomycin,
epidermidis Clindamycin
- Staphylococcus Nafcillin Cefazolin, Vancomycin,
aureus Clindamycin, TMP-SMX
Ket : TMP-SMX (Trimetoprim Sulfamethoxazol)
DAFTAR PUSTAKA
Alves, C., Casqueiro, J., & Casqueiro, J. (2012). Infections in Patients with Diabetes
Mellitus: A Review of Pathogenesis. Indian Journal of Endocrinology and
Metabolism, 16(7), 27–36. https://doi.org/10.4103/2230-8210.94253
Ang, H., & Sun, X. (2018). Risk Factors for Multidrug-Resistant Gram-Negative
Bacteria Infection in Intensive Care Units. International Journal of Nursing
Practice, 1–13. https://doi.org/10.1111/ijn.12644
Archibald L, Phillips L, McGowan Jr JE, Tenover F, G. R. (1997). Antimicrobial
Resistante in Isolates from Inpatients an Outpatients in The United States:
Increasing Importance of The Intensive Care Units. Clinical Infectious Diseases,
24(August), 211–215.
Chowdhury, S., & Parial, R. (2014). Antibiotic Susceptibility Patterns of Bacteria
among Urinary Tract Infection Patients in Chittagong , Bangladesh, (January),
114–126.
Colgan, R., & Williams, M. (2011). Diagnosis and Treatment of Acute Uncomplicated
Cystitis. American Academy of Family Physician, 84, 771–776.
https://doi.org/d9030 [pii]
Collignon, P. (2009). Resistant Escherichia coli. Clinical Infectious Diseases, pp. 202–
204. https://doi.org/10.1086/599831
David., N. F., & Flood., H. D. (2011). The Pathogenesis of Urinary Tract Infections.
Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infection, 101–120.
https://doi.org/10.5772/22308
Grape, H., Dedering, A., & Jonasson, A. (2016). The Terminology for Female Pelvic
Organ Prolapse (POP). International Urogynecology Association, 35, 137–168.
https://doi.org/10.1002/nau
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (2015). Guideline Penatalaksanaan Infeksi Saluran
Kemih dan Genitalia Pria. Jakarta.
Joshi, M. (2007). Urinary Tract Infection in the Intensive Care Unit: A Common
Occurrence, but With Minimal Clarity. Infectious Diseases in Clinical Practice,
15(6), 355–356.
Kassis-Chikhani, N., Vimont, S., Asselat, K., Trivalle, C., Minassian, B., Sengelin, C.,
… Arlet, G. (2004). Beta-Lactamase-Producing Escherichia coli in Long-Term
Care Facilities, France. Emerging Infectious Diseases, 10(9), 1697–1698.
https://doi.org/10.3201/eid1009.030969
Kementrian Kesehatan RI. (2017). Permenkes 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Lipsitch, M., & Samore, M. H. (2002). Antimicrobial Use and Antimicrobial
Resistance. Emerging Infectious Diseases, 8(4), 347–354.
https://doi.org/10.3201/eid0804.010312
Maxine A. Papadakis, S. J. M. (2019). Current Medical Diagnosis & Treatment (Fifty-
Eigh). McGraw-Hill Education.
Nicolle, L. E. (2014). Catheter Associated Urinary Tract Infections. Antimicrobial
Resistance and Infection Control, 3(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/2047-2994-3-
23
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. (2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Ed. VI. Interna Publishing. Jakarta.
Theresa A Rowe and Manisha Juthani-Mehta. (2013). Urinary Tract Infection in Older
Adults. Aging Health, 9(5), 1–15. https://doi.org/10.2217/ahe.13.38.Urinary
Viray, M., Linkin, D., Maslow, J. N., Donald, D., Carson, L. S., Bilker, W. B., …
Esistance, R. (2014). Longitudinal Trends in Antimicrobial Susceptibilities A
Cross Long Term – Care Facilities: Emergence of Fluoroquinolone. The University
of Chicago Press, 26(1), 55–62.
Young’s, K.-K. (2013). Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs (Tenth Edit).
Philadelphia, USA.