Vous êtes sur la page 1sur 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. INFEKSI SALURAN KEMIH


1. Definisi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) menunjukkan keberadaan mikroorganisme
dalam urine. Adanya bakteri dalam urine disebut dengan bakteriuria. Bakteriuria
bermakna ditunjukkan dengan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105
colony forming units (cfu/ml) pada biakan urine. Bakteriuria bermakna tanpa
disertai dengan gejala klinis ISK disebut bakteriuria asimtomatik sedangkan
bakteriuria bermakna yang disertai dengan gejala klinis ISK disebut juga dengan
bakteriuria simtomatik (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia,
2014).
2. Klasifikasi
Klasifikasi ISK dapat dibedakan berdasarkan :
a. Letak anatomis
1) Infeksi Saluran Kemih Bawah
Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender:
a) Perempuan
 Sististis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai
bakteriuria bermakna (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2014).
 Sindrom Uretra Akut (SUA) adalah presentasi klinis tanpa ditemukan
mikroorganisme. Penelitian terkini SUA disebabkan bakteri anaerob
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
b) Laki-laki.
Presentasi klinis infeksi ISK pada laki-laki yang dapat terjadi yaitu Sistisis,
Prostatitis, Epididimis, dan Uretritis (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
2) Infeksi Saluran Kemih Atas
a) Pielonefritis Akut (PNA). Pielonefritis akut adalah proses inflamasi
parenkim ginjal yang disebabkan infeksi bakteri (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
b) Pielonefritis Kronis (PNK) dapat terjadi akibat lanjutan dari infeksi bakteri
yang berkepanjangan. Obstruksi saluran kemih dan refluks vesikoureter
dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti dengan pembentukan
jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai dengan PNK yang spesifik.
Bakteriuria asimtomatik kronik pada dewasa tanpa faktor prediposisi tidak
dapat menyebabkan pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
b. Gejala klinis
1) Infeksi saluran kemih sederhana (uncomplicated).
ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non obstruksi. ISK ini banyak diderita
oleh wanita tanpa adanya kelainan struktural dan fungsional di dalam saluran
kemih maupun penyakit ginjal atau faktor lain yang dapat memperberat
penyakit (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2015).
2) Infeksi saluran kemih terkomplikasi (complicated), yaitu suatu infeksi yang
diasosiasikan dengan suatu kondisi, seperti abnormalitas struktural atau
fungsional saluran genitourinari atau adanya penyakit dasar yang
mengganggu dengan mekanisme pertahanan diri individu, yang
meningkatkan risiko untuk mendapatkan infeksi atau kegagalan terapi (Ikatan
Ahli Urologi Indonesia, 2015).
3. Epidemiologi
Infeksi saluran kemih merupakan penyakit infeksi kedua tersering di dunia,
terhitung sekitar 8.1 juta kunjungan ke layanan kesehatan setiap tahunnya
(Chowdhury & Parial, 2014). ISK tergantung banyak faktor seperti usia, gender,
prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan
struktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan
lebih dari 65 tahun, perempuan cenderung menderita ISK dibanding laki-laki. ISK
berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi
(pencetus). Prevalensi bakteriuri asimtomatik lebih sering ditemukan pada
perempuan. Prevalensi selama periode sekolah 1% meningkat menjadi 5% selama
periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai
30%, baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor pencetus (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
4. Etiologi
Pada umumnya ISK biasa disebabkan oleh mikroorganisme tunggal, yaitu :
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014)
 Escherichia coli (E. coli) merupakan mikroorganisme tersering yang ditemukan
pada urine pasien ISK dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik.
 Mikroorganisme lain yang sering ditemukan yaitu Proteus Spp, Klebsiela Spp
dan Stapylococcus Spp dengan koagulase negative.
 Infeksi yang disebabkan Pseudomonas Spp dan mikroorganisme lainnya seperti
Staphylococcus biasa ditemukan setelah katerisasi.

Tabel II.1. Famili, Genus dan Spesies mikroorganisme gram negative yang
paling sering sebagai penyebab ISK (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2014)
Famili Genus Spesies
Enterobacteriaceae Eschericea Colli
Klebsiella Pneumonia
Oxytosa
Proteus Mirabilis
Vulgaris
Enterobacter Cloaceae
Aerogenes
Providencia Rettgeri
Stuartii
Morganella Morganii
Citrobacter Freundeii
Diversus
Serratia Morcescens
Pseudomanadeaceae Pseudomonas Aeruginosa
Tabel II. 2. Famili, Genus dan Spesies mikroorganisme gram Positif yang
paling sering sebagai penyebab ISK (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2014)
Famili Genus Spesies
Micrococcaceae Staphylococcus Aureus
Streptococcaceae Streptococcus Fecalis
Enterococcus

5. Faktor Risiko
Diagnosis ISK akan sulit dilakukan pada pasien dengan pemasangan kateter
jangka panjang, karena bakteri tersebut sudah berkolonisasi, oleh karena itu
penegakan diagnosa infeksi dilakukan dengan melihat tanda klinis pasien sebagai
acuan selain hasil biakan kuman dengan jumlah >105 cfu/ml dianggap sebagai
indikasi infeksi (Kementrian Kesehatan RI, 2017). Faktor risiko tersebut antara
lain:
a. Usia
Prevalensi ISK meningkat secara signifikan pada manula. Bakteriuria meningkat
dari 5-10% pada usia 70 tahun menjadi 20% pada usia 80 tahun. Pada usia tua,
seseorang akan mengalami penurunan sistem imun, hal ini akan memudahkan
timbulnya ISK (Theresa A Rowe and Manisha Juthani-Mehta, 2013). Wanita
yang telah menopause akan mengalami perubahan lapisan vagina dan penurunan
estrogen, hal ini akan mempermudah timbulnya ISK (Theresa A Rowe and
Manisha Juthani-Mehta, 2013).
b. Jenis Kelamin
Secara anatomi, uretra perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm dan terletak di
dekat anus. Hal ini menjadikannya lebih rentan untuk terkena kolonisasi bakteri
basil gram negatif. Karenanya, perempuan lebih rentan terkena ISK (Grape,
Dedering, & Jonasson, 2016). Berbeda dengan laki-laki yang struktur uretranya
lebih panjang dan memiliki kelenjar prostat yang sekretnya mampu melawan
bakteri, ISK pun lebih jarang ditemukan. Tidak dilakukannya sirkumsisi juga
menjadi salah satu faktor risiko infeksi saluran kemih pada laki-laki. Sekitar 40%
wanita paling sedikit satu kali terkena sistitis selama hidupnya, dan ini sering
terjadi pada wanita yang aktif secara seksual, selama kehamilan, pasca operasi,
dan setelah menopause (Grape et al., 2016).
c. Penyakit Penyerta
Insidensi pyelonefritis akut empat sampai lima kali lebih tinggi pada individu
yang diabetes daripada yang tidak (Alves, Casqueiro, & Casqueiro, 2012). Hal
itu dapat terjadi karena disfungsi vesica urinaria sehingga memudahkan distensi
vesica urinaria serta penurunan kontraktilitas detrusor dan hal ini meningkatkan
residu urin maka mudah terjadi infeksi (David. & Flood., 2011). Faktor lain yang
dapat menyebabkan ISK adalah menderita diabetes lebih dari 20 tahun,
retinopati, neuropati, penyakit jantung, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Konsentrasi glukosa urin yang tinggi juga akan merusak fungsi fagosit dari
leukosit polimorfonuklear. Kombinasi dari beberapa faktor diatas menjadi
penyebab insidensi ISK dan keparahan ISK pada pasien diabetes mellitus (Alves
et al., 2012).
d. Antibiotik
Penggunaan antibiotik yang terlalu banyak dan tidak rasional dapat
menimbulkan resistensi. Hal ini terjadi terutama pada pasien yang mendapat
terapi antibiotik dalam 90 hari sebelumnya (Ang & Sun, 2018). Penggunaan
antibiotik yang tidak rasional mengurangi jumlah bakteri lactobacillus yang
melindungi. Hal ini menimbulkan jumlah pertumbuhan E. coli yang tinggi di
vagina. Pada percobaan kepada kera, pemberian antimikroba β-lactam
meningkatkan kolonisasi E. coli, pemberian trimethoprim dan nitrofurantoin
tidak meningkatkan kolonisasi E. coli (David. & Flood., 2011). E. coli
merupakan penyebab terbanyak ISK (Ang & Sun, 2018). Resistensi E. coli
terhadap antibiotik meningkat dengan cepat, terutama resistensi terhadap
fluorokuinolon dan cephalosporin generasi 3 dan 4 (Collignon, 2009).
e. Perawatan di Intensive Care Unit (ICU)
National Nosocomial Infections Surveillance System dilakukan pada pasien
ICU, dari studi tersebut didapatkan kesimpulan bahwa ISK merupakan infeksi
terbanyak pada pasien kritis di ICU. Disebutkan bahwa penyebabnya adalah
penggunaan antibiotik yang tinggi multipel pada satu pasien sehingga
menimbulkan peningkatan resistensi terhadap antimikroba (Joshi, 2007).
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan resistensi melalui
mekanisme antibiotic selective pressure, antibiotik akan membunuh bakteri
yang peka sehingga bakteri yang resisten menjadi berkembang (Lipsitch &
Samore, 2002). Faktor lain yang menyebabkan tingginya resistensi di ICU
adalah penyakit serius yang diderita, penggunaan alat kesehatan invasif dalam
waktu lama, dan waktu tinggal di rumah sakit yang lama (Archibald L, Phillips
L, McGowan Jr JE, Tenover F, 1997).
f. Perawatan jangka Panjang
Infeksi yang paling banyak terjadi pada pasien perawatan jangka panjang adalah
infeksi respiratorius dan traktus urinarius (ISK), khususnya infeksi oleh
Extended Spectrum Beta Lactamase Producers (ESBLs) yaitu E. coli (Kassis-
Chikhani et al., 2004). Kejadian resistensi antimikroba pada pasien perawatan
kesehatan jangka panjang tinggi dikarenakan populasi pasien yang sangat rentan
terhadap infeksi dan kolonisasi. Penurunan sistem imun, beberapa komorbiditas,
dan penurunan fungsional pada pasien perawatan jangka panjang akan
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan melemahkan pertahanan tubuh
melawan infeksi (Viray et al., 2014). Pasien perawatan kesehatan jangka panjang
sering menerima pengobatan empiris dengan antibiotik spektrum luas, ini
meningkatkan antibiotic selective pressure sehingga menimbulkan resistensi
(Viray et al., 2014).
g. Kateter
Sebagian besar ISK terjadi setelah pemasangan kateter atau instrumentasi urin
lainnya. Pada pasien yang terpasang kateter, bakteri dapat memasuki vesica
urinaria melalui 4 tempat: the meatus-cathether junction, the cathether-drainage
tubing junction, the drainage tubing-bag junction, dan pintu drainase pada
kantung urin. Pada kateterisasi dengan waktu singkat, bakteri yang paling
banyak ditemukan adalah E. coli. Bakteri lain yang ditemukan adalah P.
aeruginosa, K. pneumonia, Staphylococcus epidermidis, dan enterococcus. Pada
kateterisasi jangka panjang, bakteri yang banyak ditemukan adalah E. coli,
bakteri ini menempel pada uroepitelium (Nicolle, 2014).
6. Patofisiologi
Infeksi saluran kemih terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam saluran
kemih dan berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih, uretra dan
dua ureter dan ginjal. Kuman ini biasanya memasuki saluran kemih melalui uretra,
kateter, perjalanan sampai ke kandung kemih dan dapat bergerak naik ke ginjal dan
menyebabkan infeksi yang disebut pielonefritis. ISK terjadi karena gangguan
keseimbangan antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent
dan epitel saluran kemih sebagai host. Mikroorganisme tersebut dapat memasuki
saluran kemih melalui 3 cara yaitu ascending hematogen seperti penularan M.
Tuberculosis atau S. Aureus, limfogen dan langsung dari organ sekitarnya yang
sebelumnya telah mengalami infeksi (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2014).
Sebagian besar pasien ISK mengalami penyakit komplikasi. ISK komplikasi
adalah ISK yang diperburuk dengan adanya penyakit lainya seperti lesi, obstruksi
saluran kemih, pembentukan batu, pemasangan kateter, kerusakan dan gangguan
neurologi serta menurunya sistem imun yang dapat mengganggu aliran yang normal
dan perlindungan saluran urin. Hal tersebut mengakibatkan ISK komplikasi
membutuhkan terapi yang lebih lama (Aristanti, 2015).
7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada ISK berbeda-beda sesuai dengan terjadinya lokasi infeksi, yaitu:
a. ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik,
polakisuria, nokturia, disuria, stranguria (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
b. ISK atas (Pielonefritis Akut/ PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi
(39,5-40,5°C), disertai menggigil dan sakit pinggang. Presentasi klinis PNA ini
sering didahului gejala ISK bawah (sistitis) (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
8. Diagnosis
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa ISK yaitu dengan
melakukan kegiatan pemeriksaan penunjang seperti :
a. Urinalisis
 Leukosuria.
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap
dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit per lapang
pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada
sedimen urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya
leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai
pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituri yang bermakna,
perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
 Hematuria.
Hematuria dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu
bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh
berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh
sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014).
b. Tes dipstick
Tes dipstick merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang sering
dilakukan jika pasien memiliki gejala klinis. Komponen yang paling sering
diperiksa adalah nitrit, leukosit esterase, protein dan darah.
c. Kultur urin
Kultur urin merupakan baku emas penegakkan diagnosis ISK secara kuantitatif
dan dapat mengidentifikasi bakteri pathogen secara spesifik.
9. Penatalaksanaan
a. Infeksi Saluran Kemih Bawah.
Prinsip manajemen meliputi intake cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat
dan terapi simptomatik antara lain dengan antibiotika tunggal seperti ampisilin
3 gr, trimetropim 200 mg. Bila infeksi menetap disertai kelainan urinalisis
diperlukan terapi selama 5-10 hari. Pada SUA dengan jumlah bakteri 103-105
diperlukan antibiotika yang adekuat. Untuk yang anaerob diberikan antimikroba
yang sesuai seperti kuinolon (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2014).
b. Infeksi Saluran Kemih Atas
Pada umumnya pielonefritis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara
status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral paling sedikit 48 jam. The
Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif
antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam sebelum diketahui
mikroorganisme sebagai penyebabnya, yaitu: (Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia, 2014)
- Florokuinolon
- Aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin
- Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.

Tabel II. 3. Antibiotik untuk infeksi saluran kemih bawah (Cystistis)


(Colgan & Williams, 2011)
Tahapan Jenis Antibiotik Dosis
Lini Fosfomycin 3 g dosis tunggal
Pertama Nitrofurantoin 100 mg tiap 12 jam selama 5 hari
Trimetroprim/ 160/800 mg tiap 12 jam selama 3 hari
Sulfametoxazole
Lini Ciprofloxacin 250 mg tiap 12 jam selama 3 hari
Kedua Ciprofloxacin 500 mg/hari selama 3 hari
extended release
Levofloxacin 250 mg/hari selama 3 hari
Ofloxacin 200 mg/hari selama 3 hari atau 400mg
dosis tunggal
Lini Amoxicillin/ 500/125 mg tiap 12 jam selama 7 hari
Ketiga Clavulanat
Cefdinir 300 mg tiap 12 jam selama 10 hari
Cefpodoxime 100 mg tiap 12 jam selama 7 hari

Tabel II. 4. Antibiotik untuk infeksi saluran kemih atas (Pyelonephritis)


Jenis Antibiotik Dosis Oral Dosis IV Interval
(mg)
Penicillin
Amoxicillin 500 - Setiap 8-12 jam
Amoxicillin-clavulanat 500/125 - Setiap 8-12 jam
Ampicillin-sulbactam - 150-200 Setiap 4-6 jam
mg/kg/hari
Aztreonam - 1-2 g Setiap 6-8 jam
Piperacillin - 3g Setiap 6 jam
Piperacillin-Tazobactam - 3,375g/4,5g Setiap 6-8 jam
Ticarcillin-Clavulanat - 3,1 g Setiap 4-6 jam
Cephalosporin
Cefotaxime - 1-2 g Setiap 8-12 jam
Ceftriaxone - 1-2 g Setiap 24 jam
Cephalexin 500 - Setiap 6 jam
Floroquinolon
Ciprofloxacin 500 400 mg Setiap 12 jam
Enoxacin 400 - Setiap 24 jam
Gatifloxacin - 400 mg Setiap 24 jam
Levofloxacin 250-750 250-750mg Setiap 24 jam
Lomefloxacin 400 - Setiap 24 jam
Norfloxacin 400 - Setiap 12 jam
Ofloxacin 200-400 400 mg Setiap 12 jam
Aminoglicosida
Amikasin - 7,5 mg/kg Setiap 12 jam
Gentamycin - 5-7 mg/kg Setiap 24 jam
Tobramycin - 5-7 mg/kg Setiap 24 jam
Carbapenems
Imipenem - 0,5 g Setiap 6 jam
Antibiotic lain
TMP-SMX 160/800 8-10 mg/kg Setiap 12 jam
(TMP)
Tabel II. 5 Terapi antibiotik empiris untuk ISK (Maxine A. Papadakis, 2019)
Diagnosis Antibiotik Dosis Rute Durasi
Pyelonephritis Ampicillin 1 gr tiap 6 jam IV 14 hari
Ciprofloxacin 750 mg tiap 12 jam PO 7-14 hari
Levofloxacin 750mg sekali hari PO 5 hari
TMP-SMX 160/800mg tiap 12 jam PO 10-14 hari
Cystistis Cephalexin 250-500 mg tiap 6 jam PO 1-3 hari
Ciprofloxacin 250-500 mg tiap 12 jam PO 1-3 hari
Levofloxacin 750 mg sekali sehari PO 5 hari
Nitrofurantoin 100 mg tiap 12 jam PO 5-7 hari
Norfloxacin 400 mg tiap 12 jam PO 1-3 hari
TMP-SMX 160/800mg tiap 12 jam PO 3 hari
Ket: TMP-SMX (Trimetoprim-sulfamethoxazol)

Tabel II. 6 Pilihan antibiotik untuk ISK berdasarkan bakteri (Young’s, 2013).
Bakteri Drug of choice Alternatif
Gram Negatif
- Escherichia colli Cephalosporin gen 3 Cephalosporin gen 1 atau 2,
Gentamicin
- Klebsiella Cephalosporin gen 3 Cephalosporin gen 1 atau 2,
pneumonia Gentamicin, TMP-SMX
- Enterobacter TMP-SMX Quinolon, Carbapenem,
cloacae Aminoglikosid
- Pseudomonas Ceftazidim ± Quinolone/ Imipenem ±
aeruginosa Aminoglikosida/ Quinolon Aminoglikosida
- Pseudomonas Ceftazidim ± Quinolone/ Imipenem ±
fluorescens Aminoglikosida/ Quinolon Aminoglikosida
Gram Positif
- Staphylococcus Nafcillin Cefazolin, Vancomycin,
epidermidis Clindamycin
- Staphylococcus Nafcillin Cefazolin, Vancomycin,
aureus Clindamycin, TMP-SMX
Ket : TMP-SMX (Trimetoprim Sulfamethoxazol)

Tabel II. 7 Dosis antibiotik untuk pasien dewasa (Young’s, 2013)


CrCl
Antibiotik
>50 ml/min 10-50 ml/min <10 ml/min Dialisys
Amikacin 15-20 mg/kg IV 5-7,5 mg/kg 5mg/kg IV tiap 5mg/kg IV tiap
tiap 12 jam IV tiap 12 jam 24 jam 24 jam
Ampicillin 1,5-3 g IV tiap 6 1,5 g IV tiap 6- 1,5 g IV tiap 1,5 g IV tiap 6
Sulbactam jam 8 jam 12 jam jam
Cefepim 2 g IV tiap 12 1-2 g IV tiap 500 mg IV tiap 2 g IV tiap 12
jam 24 jam 24 jam jam
Ceftazidim 2 g IV tiap 8 2 g IV tiap 12- 500 mg IV tiap 2 g IV tiap 12
jam 24 jam 24 jam jam
Ceftriaxon 1 g IV tiap 24 Tidak berubah Tidak berubah Tidak berubah
jam
Ciprofloxacin 400 mg IV tiap 200-400 mg IV 200 mg IV tiap 400 mg IV tiap
12 jam tiap 12 jam 12 jam 12 jam
500-750 mg PO 250-500 mg 250 mg PO
tiap 12 jam PO tiap 12 jam tiap 12 jam
Colistin 2,5 mg/kg IV 2,5 mg/kg IV 2,5 mg/kg IV 2,5 mg/kg IV
tiap 12 jam tiap 12-24 jam tiap 24 jam tiap 24 jam
Imipenem 500 mg IV tiap 500 mg IV tiap 250-500 mg IV 500 mg IV tiap
6-8 jam 8 jam tiap 12 jam 8 jam
Levofloxacin 250-750 mg IV/ 250 mg IV/ PO 250-500 mg 250-500 mg
PO tiap 24 jam tiap 24 jam IV/ PO tiap 48 IV/ PO tiap 24
jam jam
Meropenem 0,5-2 g IV tiap 8 0,5-2 g IV tiap 0,5-1 g IV tiap 1 g IV tiap 12
jam 12 jam 24 jam jam
B. HIPOTESIS
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
H0 = TIDAK ADA hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia,
penggunaan kateter urin, lama perawatan, status gizi, pemeriksaan kultur,
riwayat penyakit ISK, penyakit DM, penyakit ginjal dan kerasionalan
penggunaan antibiotik terhadap outcome pasien ISK di RSUP Fatmawati
(Null hypothesis).
H1 = TERDAPAT hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia,
penggunaan kateter urin, lama perawatan, status gizi, pemeriksaan kultur,
riwayat penyakit ISK, penyakit DM, penyakit ginjal dan kerasionalan
penggunaan antibiotik terhadap outcome pasien ISK di RSUP Fatmawati
(Alternative hypothesis).

DAFTAR PUSTAKA

Alves, C., Casqueiro, J., & Casqueiro, J. (2012). Infections in Patients with Diabetes
Mellitus: A Review of Pathogenesis. Indian Journal of Endocrinology and
Metabolism, 16(7), 27–36. https://doi.org/10.4103/2230-8210.94253
Ang, H., & Sun, X. (2018). Risk Factors for Multidrug-Resistant Gram-Negative
Bacteria Infection in Intensive Care Units. International Journal of Nursing
Practice, 1–13. https://doi.org/10.1111/ijn.12644
Archibald L, Phillips L, McGowan Jr JE, Tenover F, G. R. (1997). Antimicrobial
Resistante in Isolates from Inpatients an Outpatients in The United States:
Increasing Importance of The Intensive Care Units. Clinical Infectious Diseases,
24(August), 211–215.
Chowdhury, S., & Parial, R. (2014). Antibiotic Susceptibility Patterns of Bacteria
among Urinary Tract Infection Patients in Chittagong , Bangladesh, (January),
114–126.
Colgan, R., & Williams, M. (2011). Diagnosis and Treatment of Acute Uncomplicated
Cystitis. American Academy of Family Physician, 84, 771–776.
https://doi.org/d9030 [pii]
Collignon, P. (2009). Resistant Escherichia coli. Clinical Infectious Diseases, pp. 202–
204. https://doi.org/10.1086/599831
David., N. F., & Flood., H. D. (2011). The Pathogenesis of Urinary Tract Infections.
Clinical Management of Complicated Urinary Tract Infection, 101–120.
https://doi.org/10.5772/22308
Grape, H., Dedering, A., & Jonasson, A. (2016). The Terminology for Female Pelvic
Organ Prolapse (POP). International Urogynecology Association, 35, 137–168.
https://doi.org/10.1002/nau
Ikatan Ahli Urologi Indonesia. (2015). Guideline Penatalaksanaan Infeksi Saluran
Kemih dan Genitalia Pria. Jakarta.
Joshi, M. (2007). Urinary Tract Infection in the Intensive Care Unit: A Common
Occurrence, but With Minimal Clarity. Infectious Diseases in Clinical Practice,
15(6), 355–356.
Kassis-Chikhani, N., Vimont, S., Asselat, K., Trivalle, C., Minassian, B., Sengelin, C.,
… Arlet, G. (2004). Beta-Lactamase-Producing Escherichia coli in Long-Term
Care Facilities, France. Emerging Infectious Diseases, 10(9), 1697–1698.
https://doi.org/10.3201/eid1009.030969
Kementrian Kesehatan RI. (2017). Permenkes 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Lipsitch, M., & Samore, M. H. (2002). Antimicrobial Use and Antimicrobial
Resistance. Emerging Infectious Diseases, 8(4), 347–354.
https://doi.org/10.3201/eid0804.010312
Maxine A. Papadakis, S. J. M. (2019). Current Medical Diagnosis & Treatment (Fifty-
Eigh). McGraw-Hill Education.
Nicolle, L. E. (2014). Catheter Associated Urinary Tract Infections. Antimicrobial
Resistance and Infection Control, 3(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/2047-2994-3-
23
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. (2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Ed. VI. Interna Publishing. Jakarta.
Theresa A Rowe and Manisha Juthani-Mehta. (2013). Urinary Tract Infection in Older
Adults. Aging Health, 9(5), 1–15. https://doi.org/10.2217/ahe.13.38.Urinary
Viray, M., Linkin, D., Maslow, J. N., Donald, D., Carson, L. S., Bilker, W. B., …
Esistance, R. (2014). Longitudinal Trends in Antimicrobial Susceptibilities A
Cross Long Term – Care Facilities: Emergence of Fluoroquinolone. The University
of Chicago Press, 26(1), 55–62.
Young’s, K.-K. (2013). Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs (Tenth Edit).
Philadelphia, USA.

Vous aimerez peut-être aussi