Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
ABSTRAK
Gelatin babi merupakan salah satu eksipien yang banyak digunakan pada industri
farmasi. Berdasarkan tingkat kemurniannya, gelatin babi terbagi menjadi golongan
farmasetik dan pro analisis. Adanya perbedaan tingkat kemurnian gelatin babi dapat
meningkatkan potensi toksisitas. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan tingkat
keamanan dari gelatin babi golongan farmasetik dan pro analisis melalui uji toksisitas
akut pada tikus betina Sprague-Dawley dengan metode Up and Down Procedure
(OECD 425). Hewan uji tikus betina galur Sprague Dawley dibagi menjadi kelompok
kontrol (akuades ±4 ml), kelompok uji gelatin babi golongan farmasetik dan kelompok
uji golongan babi pro analisis. Seluruh hewan uji diamati secara individu untuk melihat
adanya perubahan berat badan dan tanda-tanda toksisitas selama 14 hari dan perubahan
pada histopatologi hati dan ginjal hewan uji. Hasil dari limit test menunjukkan bahwa
nilai LD50 gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis adalah >5000
mg/kgBB. Hasil pengamatan menunjukkan tidak ada perubahan bermakna pada berat
badan tikus uji (p≥0,05) dan tidak ada tikus uji yang menunjukkan tanda-tanda
toksisitas. Pemeriksan histopatologi menunjukkan bahwa pemberian gelatin babi
golongan farmasetik ataupun pro analisis tidak menyebabkan perubahan bermakna
pada histopatologi hati dan ginjal (p≥0,05). Berdasarkan data di atas, gelatin babi
golongan farmasetik ataupun pro analisis bersifat tidak toksik.
Kata Kunci : Gelatin babi, OECD 425, nilai LD50
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
10. Teman-teman yang senantiasa berbagi gelak tawa bersama selama proses
penelitian dan skripsi Nabilah Urwatul, Verona Shaqilla, Anissa Florensia,
Fenny Delfiyanti, Zakiyah Zahra, Noni Tri Utami dan Rakha Jati Prasetyo.
11. Kakak-kakak yang senantiasa berbagi pengalaman, ilmu dan waktunya (Kak
aci, Kak eca, Kak Fathiyah, Kak Rian, Kak Rahmi)
12. Laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Eris, Kak Tiwi, Kak
Walid, Kak Rani, Kak Yaenap, yang membantu penulis selama penelitian.
13. Rekan-rekan pengurus HMPS Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode
2014-2015 atas semua pengalaman dan motivasinya kepada penulis.
14. Teman-teman 2012 atas segala bantuan, kebersamaan, motivasi selama
pengerjaan skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan.
15. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian naskah
skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna dan
banyak kekurangan. Oleh karena itu saran serta kritik yang membangun sangat
diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya. Amin Ya Robbal’alamin.
Jakarta, Juni 2016
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Kriteria Toksisitas Senyawa Berdasarkan GHS .................................11
Tabel 2.2 Klasifikasi Toksisitas Akut Loomis ....................................................12
Tabel 2.3 Perbandingan Metode Uji Toksisitas Akut OECD .............................17
Tabel 2.4 Data Biologis Tikus ............................................................................25
Tabel 3.1 Dosis Perlakuan Pada Tikus ................................................................27
Tabel 3.2 Skoring Derajat Kerusakan Jaringan Hati ...........................................30
Tabel 3.3 Skoring Derajat Kerusakan Jaringan Ginjal........................................31
Tabel 4.1 Data Respon Hewan Uji Terhadap Dosis ...........................................33
Tabel 4.2 Pengamatan Tanda Toksisitas .............................................................35
Tabel 4.3 Rerata Skoring Histopatologi Jaringan Hati Hewan Uji .....................36
Tabel 4.4 Rerata Skoring Histopatologi Jaringan Ginjal Hewan Uji ..................37
Tabel 4.5 Gambaran Histopatologi Organ Hati Dan Ginjal Tikus......................38
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Profil keamanan eksipien dapat ditentukan melalui uji toksisitas akut. Uji
toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul
setelah pemberian sediaan uji dalam dosis tunggal pada hewan uji (BPOM, 2014). Pada
uji toksisitas akut, dilakukan pengamatan hewan uji selama 24 jam dan dilanjutkan
selama 7-14 hari. Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk menentukan nilai Lethal Dose
50 (LD50), yaitu dosis tunggal suatu senyawa yang secara statistik diperkirakan akan
membunuh 50% hewan percobaan (Harmita, 2006). Selain itu, uji toksisitas akut juga
bertujuan untuk mengamati berbagai gejala yang dapat timbul karena efek toksik dari
senyawa uji (Wahyono et al., 2006). Hewan uji yang digunakan dapat berupa tikus atau
mencit betina yang telah diaklimatisasi terlebih dahulu (Organisation for Economic
Co-operation and Development, 2008).
Menurut Handbook Of Pharmaceutical Excipient (2006), salah satu eksipien
yang banyak digunakan pada sediaan farmasi adalah gelatin. Gelatin merupakan
protein yang dihasilkan dari hidrolisis jaringan kolagen hewan yang terdapat pada
tulang, kulit dan jaringan ikat (Gimenez et al., 2005). Pada industri farmasi, gelatin
umum digunakan sebagai bahan penyusun kapsul keras dan lunak, pengikat pada tablet,
pelapis pada tablet, stabilizer pada vaksin dan pembawa pada sediaan suppositoria.
Selain industri farmasi, gelatin juga banyak digunakan pada bidang pangan,
kedokteran, kosmetik dan industri fotografi. Pada industri pangan, gelatin dapat
digunakan sebagai pembentuk gel, agen pengikat dan pengemulsi (Gelatin
Manufacture Institute Of America, 2012).
Bahan baku gelatin dapat berasal dari mamalia (kulit sapi, tulang sapi, kulit
babi) maupun ikan. Gelatin yang beredar di pasaran umumnya berasal dari kulit babi
atau sapi (Pranoto et al., 2011) dan diimpor dari negara-negara di Eropa atau Amerika.
Produsen Eropa pada tahun 2011 menyatakan bahwa bahan baku gelatin adalah kulit
babi sebanyak 80%, kulit sapi 15% dan sebanyak 5% sisanya dapat berasal dari babi,
tulang sapi, unggas dan ikan (Jamaludin et al., 2011).
Bagi muslim, penggunaan gelatin babi adalah hal yang haram. Penelitian Choe,
et al (2015) melaporkan bahwa daging babi mengandung lemak dan kolesterol yang
tinggi, sehingga dapat meningkatkan resiko timbulnya penyakit kardiovaskular, seperti
obesitas, dislipidemia dan kanker. Menurut Sheikhi dan Firoozabadi (2015), pada babi
terdapat berbagai bibit penyakit, seperti cacing pita Taenia solium, bakteri
Tuberculosis (TBC) dan cacing usus Fasciolopis buski. DNA babi dan manusia juga
diketahui memiliki kemiripan sehingga sifat-sifat buruk babi dapat menular ke
manusia.
Gelatin sebagai eksipien terdiri dari golongan farmasetik dan non-farmasetik
yang dibedakan berdasarkan sifat fisika, kimia dan tingkat kemurniannya. Eksipien
golongan farmasetik adalah senyawa atau bahan kimia yang memiliki kemurnian
sesuai dengan standar yang tertulis di US Pharmacopeia (USP), British Pharmacopeia
(BP) dan Europe Pharmacopiea (Ph.Eur). Sedangkan, golongan non-farmasetik adalah
senyawa kimia dengan tingkat kemurnian lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan
golongan farmasetik. Golongan non-farmasetik terdiri dari golongan teknis, pro
analisis, reagen, food grade dan laboratorium. Tingkat kemurnian gelatin dapat
mempengaruhi efek toksik suatu senyawa. Pemberian senyawa kimia golongan non-
farmasetik pada hewan uji dilaporkan dapat menimbulkan efek toksik (Institutional
Animal Care Use Committe, 2015).
Menurut Handbook Of Pharmaceutical Excipient (2009), gelatin babi yang
beredar di pasaran harus memiliki nilai LD50 >5000 mg/kg. Namun, produk gelatin
babi yang beredar di pasaran tidak melampirkan data toksisitasnya. Penelitian tentang
uji toksisitas akut gelatin babi juga belum pernah dipublikasikan. Padahal penggunaan
gelatin sebagai pembentuk kapsul dilaporkan dapat menimbulkan efek toksik berupa
iritasi esophagus. Selain itu, gelatin yang digunakan sebagai eksipien pada sediaan
parenteral diketahui dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas berupa syok
anafilaktik (Rowe, Sheskey dan Quinn, 2009). Oleh karena itu, uji toksisitas akut
gelatin babi menjadi penting untuk mengetahui profil keamanan gelatin babi.
Pada penelitian ini dilakukan pengujian toksisitas akut gelatin babi golongan
farmasetik dan golongan pro analisis dengan menggunakan tikus betina sebagai hewan
uji. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Up and Down
Procedure (UDP). UDP merupakan metode yang efisien dalam menentukan nilai LD50
karena dapat menentukan klasifikasi toksisitas bahan uji dengan meminimalkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eksipien
Menurut International Pharmaceutical Excipients Council Amerika dan Eropa,
eksipien adalah substansi selain zat aktif yang terdapat pada sediaan farmasi.
Penggunaan eksipien pada sediaan farmasi berfungsi untuk mempermudah proses
produksi, menjaga stabilitas sediaan selama penyimpanan dan meningkatkan
bioavaibilitas zat aktif (Blecher, 1995). Selain itu, penambahan eksipien ke dalam
sediaan farmasi bertujuan untuk menjaga pH pada formula larutan, menjaga reologi
sediaan semisolid, pengikat dan penghancur pada tablet, agen pengemulsi, antioksidan,
alasan estetika dan pengisi pada sediaan dengan dosis zat aktif yang kecil (Fathima, et
al., 2011). Karakteristik yang ideal bagi eksipien yang digunakan adalah stabil secara
kimia, bersifat inert, ekonomis dan tidak toksik (Chaudhari, et al., 2012). Salah satu
eksipien yang banyak dimanfaatkan pada industri farmasi adalah gelatin.
2.2 Gelatin
Gelatin adalah protein yang diperoleh melalui hidrolisis parsial jaringan
kolagen hewan yang terdapat pada bagian kulit dan tulang (Gimenez et al., 2005).
Komponen dasar penyusun gelatin terdiri dari 50,5% karbon, 6.8% hidrogen, 17%
nitrogen dan 25.2% oksigen. Berat molekul gelatin berkisar antara 15.000-400.000.
Sebagai produk turunan protein, gelatin dapat dihidrolisis oleh enzim proteolitik dan
menghasilkan komponen peptida atau asam amino (GMIA, 2012).
Susunan asam amino pada gelatin hampir mirip dengan kolagen, dimana 2/3
asam amino penyusunnya didominasi oleh glisin. Sementara, 1/3 asam amino yang
tersisa disusun oleh prolin dan hidroksiprolin (Chaplin, 2005). Pada gelatin, asam-asam
amino saling terikat melalui ikatan peptida. Namun, gelatin tidak dapat digolongkan
sebagai protein yang lengkap karena tidak adanya triptofan dan histidin (Grobben et
al., 2004). Struktur kimia gelatin dapat dilihat pada gambar 2.1.
tergantung pada konsentrasi gelatin, kekuatan intrinsik dari gelatin, pH, suhu, dan
adanya zat tambahan. Kekuatan instrinsik gelatin merupakan fungsi dari struktur dan
massa molekul (GMIA, 2012).
Gelatin merupakan senyawa amfoter, dimana titik isoelektrik gelatin tipe A
berada diantara pH 7-9 dan titik isoelektrik gelatin tipe B berada pada pH 4,7-5,4.
Perubahan pH yang ekstrim dan adanya enzim proteolitik karena kontaminasi
mikroorganisme dapat menyebabkan degradasi pada gelatin. Sifat fisika dan kimia
gelatin dapat berubah dengan adanya modifikasi struktur gelatin atau reaksi kimia,
meliputi seperti asilasi, esterifikasi, deaminasi, cross-linking dan polimerisasi, serta
reaksi sederhana dengan asam dan basa. Viskositas larutan gelatin akan sebanding
dengan jumlah gelatin yang digunakan (GMIA, 2012).
Terdapat 2 tipe gelatin komersial di pasaran, yaitu gelatin tipe A yang
diproduksi melalui hidrolisis asam dan gelatin tipe B yang diproduksi melalui hidrolisis
basa. Sifat fisika dan kimia gelatin tipe A dan tipe B tidak banyak berbeda. Perbedaan
gelatin tipe A dan tipe B berada pada asam amino penyusunnya. Gelatin tipe A
memiliki kandungan glisin dan prolin yang lebih besar dibandingkan gelatin tipe B.
Selain itu, asam amino yang bersifat polar seperti asam aspartat, asam glutamat dan
arginin juga lebih banyak terdapat pada gelatin tipe A (Hermanto, et al., 2013).
FDA dan tingkat kemurniannya sesuai dengan persyaratan pada USP, BP dan Ph.Eur.
Gelatin yang digunakan pada produksi obat adalah gelatin golongan farmasetik
(European Pharmacopeia). Gelatin golongan non-farmasetik terbagi menjadi beberapa
jenis, salah satunya adalah gelatin pro analisis yang memiliki tingkat kemurnian 99,9%.
Pada bidang farmasi, gelatin pro analisis digunakan untuk kebutuhan analisis.
2.3 Toksisitas
Toksisitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu senyawa menimbulkan efek
yang berbahaya atau efek toksik pada suatu organisme. Senyawa yang dapat
menimbulkan toksisitas disebut dengan toksin. Efek berbahaya biasanya ditimbulkan
karena adanya interaksi toksin dengan DNA atau protein (Hodgson, 2000). Potensi
toksik suatu senyawa dipengaruhi oleh dosis, konsentrasi racun pada reseptor, sifat zat
tersebut, kondisi bioorganisme, dan bentuk efek yang ditimbulkan (Wirasuta et al.,
2007).
Pemaparan senyawa kimia terhadap tubuh merupakan hal yang sulit dihindari.
Evaluasi toksisitas suatu senyawa perlu dilakukan untuk menentukan nilai pemaparan
senyawa kimia yang dapat menimbulkan efek berbahaya (Mansuroh, 2013). Salah satu
mekanisme evaluasinya adalah melalui uji toksisitas.
diberikan secara oral dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan dalam
waktu kurang dari 24 jam. Setelah pemberian sediaan uji, dilakukan pengamatan
terhadap adanya efek toksik dan kematian. Hewan yang mati selama percobaan akan
dibedah untuk melihat tanda toksisitas pada histopatologi organ. Sedangkan, hewan uji
yang hidup sampai akhir percobaan akan diamati untuk melihat adanya gejala-gejala
toksisitas dan diterminasi pada akhir uji (BPOM, 2014). Pengamatan tanda toksisitas
dan kematian dilakukan setiap 30 menit selama 4 jam dan dilanjutkan selama 14 hari
(OECD, 2008). Uji toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui profil keamanan suatu
senyawa, menentukan klasifikasi toksisitas suatu senyawa, dan estimasi nilai LD50
(Hau et al., 2003).
Hasil yang bisa didapatkan dari uji toksisitas akut adalah nilai LD50 senyawa
uji (Gupta et al., 2012). LD50 adalah dosis tunggal suatu senyawa yang secara statistik
diperkirakan akan membunuh 50% hewan percobaan (Harmita, 2006). Penentuan LD50
merupakan langkah awal yang digunakan untuk menilai toksisitas dan keamanan
senyawa uji.
Toksisitas suatu senyawa dapat diklasifikasikan berdasarkan kategori GHS
(Globally Harmonised Classification System for Chemical Substances and Mixtures)
yang tercantum dalam Thirteenth Addendum to The OECD Guidelines for The Testing
of Chemicals (2001). Klasifikasi toksisitas senyawa berdasarkan GHS dapat dilihat
pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Kriteria toksisitas senyawa berdasarkan GHS
TOKSISITAS AKUT ORAL
5 < mg/kg 50 < mg/kg 300 < mg/kg 2000 < mg/kg
LD50 Oral ≤ 5 mg/kg
BB≤ 50 BB≤ 300 BB≤ 2000 BB≤ 5000
Mungkin
Pernyataan Fatal jika Fatal jika Beracun jika Berbahaya
berbahaya jika
bahaya ditelan ditelan ditelan jika ditelan
ditelan
Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor hewan uji yang hanya menerima satu dosis saja.
Pemberian dosis dilakukan secara oral dan dengan dosis bertingkat antar kelompok.
Setelah uji selesai, dilakukan uji kembali dengan menggunakan hewan uji dari jenis
kelamin berbeda. Hewan uji yang digunakan adalah tikus atau mencit (rodentia)
dengan jenis kelamin yang sama (OECD, 1987; Sitzel&Carr 1999).
Penentuan LD50 didasarkan pada dosis yang dapat menyebabkan kematian pada
50% hewan uji. Metode penentuan LD50 mengikuti metode dari Bliss, Litchifield, &
Wilcoxon, Finney, Weil, Thompson, maupun Miller & Tainter. Kurva dosis respon
dapat dilinearkan dengan persen respon untuk log dosis ke dalam grafik probit.
Metode uji toksisitas akut oral OECD 401 sudah tidak digunakan sejak
Desember 2002 karena metode ini menggunakan banyak hewan uji (Schelde, et al.,
2005)
2.5.1.3 Metode Standar OECD 423 Acute Toxic Class Method (ATC)
Tahun 2001, OECD juga mempublikasikan metode standar OECD 423 sebagai
alternatif metode OECD 401 (Schelde, et al., 2005). Pada metode OECD 423, hewan
uji yang digunakan lebih sedikit (3 hewan uji dengan jenis kelamin yang sama tiap
tahap uji) dan titik akhir uji ditentukan berdasarkan kematian hewan uji.
Metode OECD 423 terdiri dari limit test dan main test. Pada limit test dilakukan
penentuan dosis awal dengan menggunakan satu hewan uji pada tiap dosis. Dosis awal
yang diberikan merupakan dosis dibawah estimasi nilai LD50, namun menimbulkan
gejala toksisitas pada hewan uji. Pada main test dosis diberikan secara bertahap dengan
menggunakan 3 hewan uji untuk masing-masing kelompok dosis.. Pemberian dosis
berikutnya pada hewan uji didasarkan pada respon fisiologi hewan uji terhadap dosis
awal. Jika jumlah hewan uji yang mati lebih dari satu, maka dosis untuk uji berikutnya
diturunkan, begitupun sebaliknya (OECD, 2001c).
Dosis yang diberikan sama dengan dosis pada pedoman OECD 420 yaitu 5, 50,
300 dan 2000 mg/kgBB. Nilai LD50 yang dihasilkan juga berupa suatu rentang nilai
dosis. Perbedaan metode OECD 420 dan 423 terletak pada jumlah hewan uji yang
digunakan untuk masing-masing kelompok dosis.
dan Quinn, 2006). Limit test dapat terdiri dari 3 termin. Pada termin pertama limit test,
digunakan satu hewan uji terlebih dahulu untuk diberi dosis 5000 mg/kgBB. Jika
hewan uji tersebut mati, maka dilakukan main test. Sedangkan, jika hewan uji tersebut
hidup maka dilakukan limit test untuk termin kedua menggunakan 2 hewan uji lainnya
dengan dosis yang sama. Jika kedua hewan uji pada termin ke-2 limit test mati, maka
uji dilanjutkan ke main test. Namun, jika terdapat salah satu hewan uji yang hidup pada
termin kedua, maka limit test dilanjutkan ke termin ke-3 dengan menggunakan 2 hewan
uji lainnya. Apabila hasil dari ketiga termin limit test menunjukkan adanya kematian
hanya pada 2 ekor tikus, maka limit test dapat dihentikan dan disimpulkan bahwa nilai
LD50 gelatin babi adalah >5000 mg/kgBB. Sedangkan jika terdapat lebih dari 2 tikus
yang mati, maka pengujian harus dilanjutkan ke main test (OECD, 2008). Penentuan
nilai LD50 melalui limit test dapat dilihat pada lampiran 6.
Pada main test, pemberian dosis dilakukan secara bertahap. Dosis awal yang
diberikan merupakan dosis dibawah estimasi nilai LD50. Pemberian dosis berikutnya
bergantung pada respon fisiologis hewan uji pertama. Jika hewan uji pertama bertahan
hidup, maka dosis berikutnya ditingkatkan. Sedangkan jika hewan uji pertama mati,
maka dosis berikutnya diturunkan. Peningkatan atau penurunan dosis sesuai dengan
faktor 3,2. Adapun urutan dosis yang dianjurkan oleh OECD adalah 5,5; 17,5; 55; 175;
550; 1750; 5000 mg/kgBB (OECD, 2001). Pengamatan tanda, gejala toksisitas dan
kematian hewan uji dilakukan setiap 30 menit selama 4 jam setelah pemberian dosis
dan dilanjutkan setiap hari selama 14 hari. Hewan uji yang digunakan dapat berupa
tikus atau mencit betina. Hewan uji jantan tidak direkomendasikan karena kurang
sensitif jika dibandingkan hewan uji betina (OECD, 2001). Uji dihentikan bila
memenuhi kriteria:
Kriteria OECD 401 “AOT” OECD 420 “FDP” OECD 423 “ATC” OECD 425 “UDP”
Prinsip Pemberian dosis tunggal senyawa uji secara oral pada tikus atau mencit dengan pengamatan tanda dan gejala
toksisitas, berat badan dan kematian hewan uji selama 14 hari
Jenis kelamin Terdapat kelompok hewan Hewan uji betina Hewan uji betina Hewan uji betina
hewan uji uji jantan dan kelompok
hewan uji betina
Jumlah hewan Minimal 20. 5 hewan uji 5 hewan uji untuk 3 hewan uji untuk Maksimal 14 hewan uji.
uji untuk tiap kelompok dosis tiap kelompok dosis tiap kelompok dosis Pemberian dosis dilakukan
secara bertahap
Dosis hewan Maksimal 2000 mg/kg bb Kelompok dosis 5, Kelompok dosis 5, Dimulai dari perkiraan LD50
uji 50, 300, dan 2000 50, 300, dan 2000 (175 mg/kgBB) dan
mg/ kg bb mg/ kg bb peningkatan dosisnya mengikuti
faktor pengalian 3,2.
Pengamatan Perubahan berat badan, gejala toksisitas, histopatologi
Output Rentang perkiraan LD50 dan tanda-tanda toksisitas akut Estimasi interval nilai LD50 dan
tanda-tanda toksisitas akut
Masa berlaku Dihapuskan pada tahun 2002 Masih berlaku Masih berlaku Masih berlaku
metode
uji yang digunakan adalah tikus putih betina dengan berat 150-180 gram. Pada
penelitian tersebut dilakukan main test dengan dosis 175, 550 dan 2000 mg/kgBB.
Observasi tanda toksisitas dilakukan selama 14 hari meliputi adanya perubahan pada
bulu dan kulit, tremor, konvulsi, salivasi, lakrimasi dan adanya kematian pada hewan
uji. Hasil observasi menunjukkan tidak adanya tanda toksisitas yang disebabkan oleh
pemberian ekstrak etanol daun Derris Scandens dan Pulicaria Wightiana. Nilai LD50
dari ekstrak etanol daun Derris Scandens dan Pulicaria Wightiana adalah lebih dari
2000 mg/kgBB.
Penelitian uji toksisitas terhadap eksipien yang pernah dilakukan adalah uji
toksisitas subkronik gelatin kulit ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) terhadap
mencit (Mus musculus) oleh Rachmawati, et al (2011). Pada penelitian tersebut
digunakan 72 ekor mencit jantan dengan berat 20-30 g yang terbagi dalam 4 kelompok.
Dosis gelatin kulit ikan yang diberikan adalah 0 (kontrol negatif), 12, 24 dan 48
mg/gBB mencit. Pemberian bahan uji dilakukan setiap hari selama 4 minggu yang
dilanjutkan dengan masa pemulihan (recovery) selama 2 minggu.
Pengamatan toksisitas dilakukan terhadap kondisi serum darah, yaitu Glutamic
Oxaloacetic Transaminase (GOT), Glutamic Pyruvic Transaminase (GPT), kreatinin,
albumin, dan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan tingkat kerusakan organ target (hati,
ginjal, dan lambung). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian gelatin pada
dosis 48 mg/gBB mencit berpengaruh pada kadar GOT setelah minggu ke-2 perlakuan.
Namun, dosis lainnya tidak menunjukkan perbedaan bermakna kerusakan organ target
dari kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (Novalia, et
al., 2011).
Piloereksi merupakan perubahan pada bulu tikus menjadi tegang dan keras
yang dapat menandakan adanya efek toksik. Timbulnya konvulsi (kejang) dan tremor
(bergetar) mengindikasikan adanya gangguan pada sistem syaraf pusat tikus uji (Hau
et al., 2003). Konvulsi biasanya diawali dengan tremor pada bagian kaki, kepala, dahi
dan mulut. Jika kejang terjadi berulang sebanyak 5 kali, maka hewan uji dianjurkan
untuk diterminasi. Gejala toksisitas lainnya yang dapat timbul adalah tremor pada kaki
bagian depan tikus atau bagian kepala tikus (OECD, 2000).
Tanda toksisitas lainnya yang dapat muncul adalah nyeri yang ditandai ketika
tikus menyipitkan bagian orbital, melipat daun telinga ke bagian dalam dan
menjauhkan kumisnya dari wajah (OECD, 2000). Adanya efek toksik juga dapat
mengganggu respon daun telinga tikus. Pada tikus normal yang disentuh daun
telinganya, maka tikus akan mengguncangkan bagian kepalanya.
Pada tikus normal, secara berkala tikus akan mensekresikan cairan kemerahan
(cairan hardarian) di sekitar kelenjar mata yang akan digosokkan oleh tikus ke bagian
tubuhnya untuk menjaga suhu tubuhnya (OECD,2000). Akumulasi cairan kemerahan
pada daerah sekitar mata mengindikasikan tikus mengalami stress (Whishaw, et al.,
1999).
Hiperaktivitas atau aktivitas yang berlebihan pada tikus dapat timbul karena
efek toksik dari sampel uji. Tanda toksik lainnya yang dapat diamati adalah terjadinya
hipersalivasi pada tikus. Salivasi ditandai dengan produksi air liur berlebihan pada
tikus. Efek toksik yang paling parah adalah kematian. Gejala yang sering timbul
sebelum tikus uji mati dapat berupa ketidakmampuan tikus uji untuk mencapai air atau
makanan, kejang dan tremor.
Tanda toksisitas diamati secara intensif setelah pemberian sample uji dan
dilanjutkan setiap 30 menit selama 4 jam. Pengamatan tanda toksisitas dilanjutkan pada
jam ke-24, 48 hingga hari ke-14 (OECD, 2008).
2.8.2 Ginjal
Ginjal adalah organ berbentuk kacang berwarna kemerahan. Pada tubuh, ginjal
berfungsi untuk mengatur keseimbangan cairan tubuh dan merupakan organ
pengeksresi urin. Unit fungsional setiap ginjal adalah tubulus uriniferus mikroskopik.
Tubulus ini terdiri dari nefron dan duktus koligens yang berfungsi untuk menampung
aliran dari nefron. Nefron banyak terdapat pada bagian korteks ginjal. Komponen
nefron terbagi menjadi korpuskulum ginjal dan tubulus ginjal (Eroschenko, 2010).
Setiap ginjal dilapisi oleh kapsul jaringan ikat padat tidak teratur. Irisan sagital
ginjal menunjukkan korteks pada bagian luar dan medula pada bagian dalam. Pada
bagian korteks terdapat glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan distal, radius
medullaris, arteri interlobularis dan vena interlobularis. Glomerulus adalah
sekumpulan kapiler yang dibentuk dari arteriol glomerulus aferen dan ditunjang oleh
jaringan ikat halus serta dikelilingi oleh kapsul glomerulus. Tubulus kontortus
merupakan segmen awal dan akhir pada nefron. Bagian tubulus kontortus proksimal
lebih panjang dibandingkan tubulus kontortus distal. Tubulus kontortus proksimal
lebih banyak ditemukan di bagian korteks jika dibandingkan dengan tubulus kontortus
distal. Bagian medulla ginjal terdiri dari piramid-piramid ginjal berbentuk kerucut.
Basis setiap piramid berbatasan langsung dengan korteks dan apeksnya membentuk
papilla renalis. Pada bagian medulla hanya mengandung bagian lurus tubulus dan
segmen ansa henle (Eroschenko, 2010).
Vena interlobaris
Tubulus kontortus
proksimal
Duktus koligens
Vena interlobaris
Area kribrosa
Gambar 2.3 Histologi ginjal normal (Eroschenko, 2010)
Tabel 2.4 Data Biologis Tikus (Baker et al,1979 dan Weihe 1987).
pH urin 7,5-8,5
BAB III
METODE PENELITIAN
selisih berat badan antar tikus ±20%. Hewan uji diperoleh dari Unit Pengelola Hewan
Laboratorium (UPHL) Institut Pertanian Bogor. Tikus betina dipilih karena memiliki
sensitivitas lebih tinggi dibandingkan tikus jantan.
3.4.3 Uji Toksisitas Akut Gelatin Babi dengan Metode Up and Down (OECD
425, 2008)
Metode uji toksisitas akut yang digunakan pada penelitian ini adalah limit test
dari Up and Down Procedure (UDP). Larutan diberikan dalam dosis tunggal secara
oral dengan menggunakan sonde lambung.
Pada limit test digunakan 2 ekor tikus sebagai kontrol dan 3 ekor tikus pada
masing-masing kelompok uji. Sebelum perlakuan, tikus tidak diberi makan
(dipuasakan) selama 12 jam kemudian ditimbang. Setelah ditimbang, tikus kontrol
diberikan akuades dengan volume administrasi 4 ml secara oral. Pada masing-masing
kelompok uji, tikus diberikan gelatin babi golongan farmasetik dan pro analisis dengan
dosis 5000 mg/kgbb. Setelah perlakuan, tikus dipuasakan selama 4 jam dan diamati
adanya tanda toksisitas.
Pengamatan jangka pendek dilakukan setiap 30 menit selama 4 jam awal
setelah pemberian bahan uji. Pengamatan jangka panjang dilakukan setiap harinya
selama 14 hari. Jika setelah 48 jam pemberian bahan uji tidak ada kematian pada tikus,
maka masing-masing larutan gelatin babi golongan farmasetik dan pro analisis
diberikan pada 2 ekor tikus lainnya dengan dosis yang sama. Limit test dapat terdiri
dari 3 termin. Jika hasil uji pada dua termin awal limit test tidak menunjukkan adanya
kematian pada hewan uji, maka limit test dapat dihentikan (lampiran 6). Sedangkan
jika terdapat tikus yang mati pada kedua termin awal, maka pengujian harus dilanjutkan
ke limit test termin ketiga. Jika hasil dari ketiga termin limit test menunjukkan adanya
kematian pada 3 ekor tikus atau lebih, maka uji dilanjutkan ke main test.
Skor Keterangan
0 Hepatosit tampak nomal
1 Terdapat pelebaran asinus, degenerasi lemak atau nekrosis
terfokus di satu tempat
2 Terdapat pelebaran asinus, degenerasi lemak atau nekrosis
terfokus di beberapa tempat
3 Terdapat pelebaran asinus, degenerasi lemak atau nekrosis
terfokus di seluruh tempat
Sumber: Andreas, et al., 2015
mikroskop optik pada perbesaran 10x20. Bentuk kerusakan yang ada dinilai dengan
sistem skoring (tabel 3.3).
Skor Keterangan
0 Struktur glomerulus normal
1 Terdapat dilatasi kapiler glomerulus
2 Terdapat atrofi glomerulus (glomerulus mengkerut)
Sumber: Leehey, et al.,2008
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Penyiapan Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah gelatin babi golongan
farmasetik dan pro analisis. Secara organoleptis, gelatin babi golongan farmasetik dan
pro analisis berbentuk serbuk dan tidak berbau. Gelatin babi golongan farmasetik
berwarna kekuningan dan gelatin babi golongan pro analisis berwarna putih.
(a) (b)
Gambar 4.1. (a) Gelatin babi golongan farmasetik;
(b) Gelatin babi golongan pro analisis
Pada penelitian ini, masing-masing serbuk gelatin babi golongan farmasetik
dan pro analisis ditimbang sesuai bobot tikus, sehingga diperoleh dosis 5000 mg/kgBB.
Kemudian masing-masing gelatin babi golongan farmasetik dan pro analisis
didispersikan dalam akuades dengan suhu 600C selama ±8 menit, sehingga membentuk
larutan koloid. Dispersi gelatin didiamkan pada suhu 250C hingga suhu dispersi gelatin
turun menjadi 300C. Perbandingan gelatin babi dan akuades yang digunakan adalah 1:5
karena gelatin bersifat menyerap air dan akan mengembang di dalam akuades (Rowe,
Sheskey dan Quinn, 2009).
Larutan koloid gelatin babi golongan farmasetik yang dihasilkan memiliki
warna kuning dan konsistensi cairannya kental. Sedangkan, larutan koloid gelatin babi
golongan pro analisis memiliki warna putih dengan konsistensi cairan yang lebih kental
dibandingkan larutan gelatin babi golongan farmasetik.
Hasil uji toksisitas akut gelatin babi golongan farmasetik menunjukkan tidak
adanya kematian pada seluruh hewan uji hingga hari ke-14. Berdasarkan hasil
pengolahan data respon hewan uji pada tabel 4.1, maka dapat diestimasikan nilai LD50
gelatin babi golongan farmasetik adalah >5000 mg/kgBB.
Pada uji toksisitas akut gelatin babi golongan pro analisis juga tidak ditemukan
adanya kematian pada seluruh hewan uji, sehingga estimasi nilai LD50 gelatin babi
golongan pro analisis adalah >5000mg/kgBB. Berdasarkan klasifikasi toksisitas akut
Loomis, senyawa dengan LD50 >5000 mg/kgBB merupakan senyawa yang bersifat
praktis tidak toksik
250
BERAT BADAN TIKUS (GRAM)
200
150
100
50
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
HARI KE-
gelatin babi golongan pro analisis dan kontrol selama 14 hari, nilai p≥0,05 (lampiran
10). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian gelatin babi golongan farmasetik ataupun
pro analisis tidak mempengaruhi perubahan berat badan tikus uji.
Piloereksi - - - - - - - - - - - - - - - - -
Konvulsi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Tremor - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Nyeri - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mata
N N N N N N N N N N N N N N N N N N
(grooming)
Refleks Daun
N N N N N N N N N N N N N N N N N N
Telinga
Salivasi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Lakrimasi - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hiperaktivitas - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Mortalitas - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Keterangan:
0 m – 240 m : 0 menit hingga 240 menit, H2 – H14 : Hari ke-2 hingga hari ke-14
N : Normal, (-) : tidak terjadi
Kontrol 0,150±0,212
4.1.5.2 Ginjal
Preparat organ ginjal tikus diamati dengan mikroskop pada perbesaran 10 x 20.
Hasil pengamatan histopatologi organ ginjal kelompok kontrol dan uji menunjukkan
tidak ada kerusakan pada struktur tubulus, namun pada beberapa glomerulus ditemukan
adanya atrofi (penyempitan). Atrofi glomerulus ditandai dengan mengecilnya
glomerulus dan pelebaran bagian kapsula bowman (Hard, et al., 1999). Berdasarkan
hasil pengamatan, atrofi glomerulus lebih banyak ditemukan pada tikus uji yang
diberikan gelatin babi golongan pro analisis.
Penilaian derajat kerusakan organ ginjal dilakukan dengan melakukan skoring
pada 30 glomerulus yang dipilih secara random untuk masing-masing preparat. Rerata
hasil skoring glomerulus dapat dilihat pada tabel 4.4
Tabel 4.4 Rerata skoring histopatologi jaringan ginjal hewan uji
Kelompok Rerata Skoring Glomerulus±SD
Kontrol 0±0
Hati
Keterangan: Keterangan:
Keterangan:
Glomerulus Glomerulus
Glomerulus
Tubulus Proksimal Tubulus Proksimal
Tubulus Proksimal
Tubulus Distal Tubulus Distal
Tubulus Distal
Glomerulus yang Glomerulus yang
mengalami atrofi mengalami atrofi
4.2 Pembahasan
Gelatin babi yang digunakan sebagai bahan uji pada penelitian ini terdiri dari
golongan farmasetik dan pro analisis. Menurut Institutional Animal Care and Use
Committee, adanya perbedaan kemurnian gelatin dapat mempengaruhi potensi
toksiksitas suatu senyawa (IACUC, 2015). Secara organoleptis, gelatin babi golongan
farmasetik berbentuk serbuk, berwarna kuning dan tidak berbau. Sedangkan, gelatin
babi golongan pro analisis berwarna putih, berbentuk serbuk dan tidak berbau.
Pada penelitian ini, masing-masing serbuk gelatin babi golongan farmasetik
dan pro analisis ditimbang sesuai dengan berat badan tikus, sehingga diperoleh dosis
5000 mg/kgBB. Selanjutnya masing-masing gelatin babi golongan farmasetik dan pro
analisis didispersikan dalam akuades pada suhu 600C dengan disertai pengadukan.
Waktu yang dibutuhkan agar gelatin terdispersi dalam akuades adalah 8 menit. Gelatin
babi yang telah didispersikan dalam akuades akan membentuk larutan koloid. Secara
organoleptis, larutan koloid gelatin babi golongan farmasetik yang dihasilkan memiliki
warna kuning dan konsistensi cairannya kental. Sedangkan, larutan koloid gelatin babi
golongan pro analisis memiliki warna putih dengan konsistensi cairan yang lebih kental
dibandingkan larutan gelatin babi golongan farmasetik.
Gelatin babi bersifat menyerap air dan mengembang dalam air, sehingga
perbandingan antara gelatin dan akuades yang digunakan pada penelitian ini adalah 1:5
(Rowe, Sheskey dan Quinn, 2009). Berdasarkan perbandingan tersebut, larutan koloid
gelatin babi yang terbentuk juga lebih mudah untuk diberikan pada tikus uji dengan
menggunakan sonde oral. Proses pendispersian gelatin babi menggunakan suhu 600C
dikarenakan gelatin babi mudah larut dalam akuades pada suhu diatas 400C (Rowe,
Sheskey dan Quinn, 2009). Akuades merupakan pembawa bahan uji yang
direkomendasikan karena bersifat tidak toksik sehingga tidak berpengaruh pada uji
toksisitas (OECD, 2008).
Metode uji toksisitas akut yang digunakan pada penelitian ini adalah Up and
Down Procedure (UDP). Jika dibandingkan dengan metode konvensional, hewan uji
yang digunakan pada metode UDP lebih sedikit, yakni sepertiga dari jumlah hewan
yang digunakan dalam metode konvensional (Erkekoglu, et al., 2011). Metode UDP
juga telah divalidasi dan memenuhi persyaratan akurasi dan presisi sehingga dapat
digunakan sebagai metode acuan uji toksisitas (Ningrum, 2012).
Pada penelitian ini, metode UDP yang digunakan adalah limit test dengan dosis
5000 mg/kgBB. Dosis 5000 mg/kgBB dipilih karena persyaratan nilai LD50 gelatin
babi adalah lebih dari 5000 mg/kgBB (Rowe, Sheskey dan Quinn, 2009). Pada
prinsipnya, limit test akan menghasilkan estimasi nilai LD50 yang dapat digunakan
untuk klasifikasi tingkat toksisitas bahan uji (Roopashree, et al., 2009). Pemberian
bahan uji pada limit test dilakukan secara bertahap.
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus betina galur Sprague
Dawley berusia 8-12 minggu. Tikus betina dipilih karena lebih sensitif dibandingkan
tikus jantan (Erkekoglu, et al., 2011). Pemilihan galur Sprague Dawley karena
memiliki sifat yang tenang dan mudah dikontrol. Selain itu, galur Sprague Dawley juga
dinyatakan lebih sensitif dibandingkan galur Wistar (Zmarowski, et al., 2013). Tikus
betina yang digunakan dalam keadaan nulipara (belum pernah kawin, melahirkan) dan
tidak sedang hamil.
Hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol (aquades ±4
ml), kelompok uji gelatin babi golongan farmasetik dan kelompok uji golongan pro
analisis. Kelompok kontrol terdiri dari 2 ekor tikus dan masing-masing kelompok uji
terdiri dari 3 ekor tikus. Menurut Interagency Coordinating Committee on the
Validation of Alternative Methods (ICCVAM), jumlah minimal hewan uji yang
digunakan sebagai kelompok kontrol adalah 2 ekor.
Limit test dapat terdiri dari 3 termin. Pada termin pertama limit test, 1 ekor tikus
diberikan larutan gelatin babi golongan farmasetik dengan dosis 5000 mg/kgBB.
Sedangkan, 1 ekor tikus lainnya diberikan larutan gelatin babi golongan pro analisis
dengan dosis 5000 mg/kgBB. Sebelum pemberian bahan uji, tikus tidak diberikan
makan selama 12 jam. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya kemungkinan
reaksi antara bahan uji dengan senyawa kandungan pakan dalam saluran cerna (Jothy,
et al., 2011). Larutan gelatin babi diberikan pada tikus secara oral dengan
menggunakan sonde. Rute oral merupakan metode yang paling umum digunakan pada
uji toksisitas akut, efisien dan tidak menyebabkan nyeri pada hewan uji (Jothy, et al.,
2011). Setelah diberikan larutan gelatin babi, tikus tidak diberikan makan selama 4
jam, tetapi tetap diberikan minum secara ad libitum. Hal ini dilakukan untuk
mengoptimalkan penyerapan absorbsi pada pencernaan tikus (Mansuroh, 2013).
Setelah 48 jam pemberian bahan uji tidak ditemukan adanya kematian pada
seluruh tikus uji, sehingga limit test dilanjutkan ke termin kedua. Pada termin kedua
limit test, 2 ekor tikus diberikan larutan gelatin babi golongan farmasetik dan 2 ekor
tikus lainnya diberikan larutan gelatin babi golongan pro analisis dengan dosis 5000
mg/kgBB. Seluruh tikus yang diberikan bahan uji diamati selama 14 hari dan hasil
pengamatan menunjukkan tidak ada tanda toksisitas yang timbul ataupun kematian
pada tikus. Jika tidak ditemukan adanya kematian tikus uji pada kedua termin limit test,
maka limit test dapat dihentikan dan tidak perlu dilakukan main test (OECD, 2008).
Nilai LD50 gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis dapat ditentukan
dengan menggunakan software AOT 425 StatPgm.
Hasil pengolahan data respon hewan uji menunjukkan estimasi nilai LD50
gelatin babi golongan farmasetik ataupun golongan pro analisis adalah >5000
mg/kgBB. Menurut Kennedy dikutip dari Jothy, et al (2011), senyawa dengan nilai
LD50 (oral) >5000 mg/kgBB merupakan senyawa yang praktis tidak toksik dan aman
digunakan. Penelitian Sunggono, et al (2014) yang juga menggunakan dosis 5000
mg/kgBB menyebutkan jika suatu senyawa dengan nilai LD50 >5000 mg/kgBB, maka
menurut klasifikasi Loomis, senyawa tersebut berada pada rentang praktis tidak toksik.
Berdasarkan nilai LD50, gelatin babi golongan farmasetik dan pro analisis yang
digunakan pada penelitian ini telah sesuai dengan nilai LD50 gelatin yang tercantum
pada Handbook Of Pharmaceutical Excipients.
Penentuan nilai LD50 gelatin babi golongan farmasetik dan pro analisis belum
pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian terkait yang pernah dilakukan adalah uji
toksisitas akut kolagen oleh Marone,et al (2010). Kolagen merupakan bahan baku
gelatin. Hasil penelitian Marone,et al (2010) menunjukkan nilai LD50 kolagen yang
sama dengan nilai LD50 gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis. Nilai
LD50 polimer lain yang pernah diteliti adalah nilai LD50 kitosan. Kitosan merupakan
eksipien pada kosmetik atau formulasi farmasetik. Nilai LD50 oral kitosan adalah >16
g/kgBB, sehingga kitosan termasuk senyawa yang bersifat tidak toksik. Penentuan nilai
LD50 juga pernah dilakukan pada selulosa. Selulosa dan gelatin merupakan eksipien
yang dapat digunakan sebagai pengikat pada tablet. Nilai LD50 oral selulosa adalah >
5 g/kgBB (Rowe, Sheskey dan Quinn, 2009).
Parameter uji toksisitas kedua yang diamati adalah pengaruh pemberian bahan
uji terhadap perubahan berat badan tikus. Perubahan berat badan tikus dapat
menggambarkan efek toksik setelah pemberian suatu zat (Jothy, et al., 2011). Menurut
Raza, et al (2002), suatu senyawa dinyatakan memiliki efek samping yang bermakna
jika menyebabkan penurunan berat badan tikus lebih dari 10% dari sebelum uji. Hasil
uji Kruskal-Wallis terhadap berat badan tikus menunjukkan tidak ada perbedaan
bermakna pada perubahan berat badan kelompok gelatin babi golongan farmasetik, pro
analisis dan kontrol selama 14 hari (p≥0,05). Tidak adanya perbedaan bermakna ini
menandakan bahwa pemberian gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis
tidak mempengaruhi berat badan tikus uji.
Pada penelitian Marone, et al (2010), pemberian kolagen juga tidak
menyebabkan perbedaan bermakna pada berat badan tikus uji yang digunakan.
Perubahan berat badan juga merupakan salah satu parameter yang diamati pada uji
toksisitas akut kitosan dan hasilnya menunjukkan bahwa pemberian kitosan tidak
menyebabkan perubahan bermakna pada berat badan tikus (Pokharkar, 2009).
Parameter ketiga yang diamati adalah kemungkinan adanya tanda toksisitas
yang timbul setelah pemberian bahan uji. Pengamatan tanda toksisitas dilakukan
dengan membandingkan aktivitas tikus uji dan kontrol selama 4 jam awal setelah
pemberian bahan uji secara intensif. Hasil pengamatan tanda toksisitas menunjukkan
bahwa tidak ada tanda toksisitas yang ditemukan pada seluruh tikus uji, sehingga
gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis dengan dosis 5000 mg/kgBB
bersifat tidak toksik dan tidak menyebabkan gejala toksititas pada tikus uji. Hasil
penelitian Marone, et al (2010) juga menunjukkan tidak ditemukan adanya gejala
toksik atau perubahan perilaku pada seluruh hewan uji setelah pemberian kolagen.
Perubahan perilaku, tanda toksisitas dan kematian hewan uji juga tidak ditemukan pada
uji toksisitas akut kitosan (Porkharkar, et al,2009).
kelompok uji dan kelompok kontrol (p≥0,05). Meskipun terdapat beberapa kerusakan
minor pada jaringan hati, hasil statistik menunjukkan bahwa pemberian larutan gelatin
babi golongan farmasetik ataupun pro analisis tidak berpengaruh terhadap
histopatologi hati hewan uji.
Gambaran histopatologi organ ginjal tikus uji serupa dengan tikus kontrol.
Berdasarkan hasil pengamatan, pada bagian tubulus ginjal tikus uji tidak ditemukan
adanya tanda patologi. Bentuk kerusakan ginjal yang ditemukan adalah atrofi
glomerulus yang ditandai dengan penyusutan kapiler glomerulus dan perbesaran pada
ruang pada kapsula bowman (Hard, et al., 1999). Berdasarkan hasil pengamatan, atrofi
glomerulus lebih banyak terdapat pada preparat histopatologi ginjal yang diberikan
gelatin babi golongan pro analisis. Adanya senyawa toksik yang masuk ke glomerulus
menyebabkan berkurangnya aktivitas sel-sel tubuli yang merupakan barrier dari filter
glomerulus. Munculnya atrofi glomerulus menggambarkan reaksi antara
makromolekul yang terfiltrasi dengan dinding filter glomerulus (Jones, et al, 2006
dalam Mansuroh, 2013).
Derajat kerusakan ginjal dinilai dengan melakukan skoring pada 30 glomerulus
yang dipilih secara random untuk masing-masing preparat. Hasil analisis Kruskal-
Wallis menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada derajat kerusakan
histopatologi ginjal kelompok uji dan kelompok kontrol (p≥0,05). Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis tidak
mempengaruhi histopatologi ginjal tikus.
Penelitian tentang pengaruh pemberian gelatin babi golongan farmasetik
ataupun pro analisis terhadap kerusakan organ hati dan ginjal belum pernah dilakukan
sebelumnya. Penelitian Rachmawati, et al (2011), mengamati pengaruh pemberian
gelatin kulit ikan patin siam terhadap kerusakan organ hati dan ginjal. Pada penelitian
tersebut gelatin ikan diberikan setiap hari selama 4 minggu dengan dosis 0, 12, 24 dan
48 mg./gBB mencit. Hasil penelitian Rachmawati, et al (2011) juga menunjukkan
bahwa pemberian gelatin ikan pada hewan uji tidak menyebabkan kerusakan organ hati
dan ginjal. Penelitian terkait lainnya yang pernah dilakukan adalah penelitian Utomo
(2015) berupa pengamatan pengaruh pemberian gelatin tulang ayam terhadap
histopatologi hati dan ginjal mencit. Hasil penelitian Utomo (2015) menunjukkan pada
dosis 5000 mg/kgBB, gelatin ayam dapat menyebabkan degenerasi hidropik, fibrin dan
makrofag. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh pemberian dosis yang terlalu besar
(Utomo, 2015).
Gelatin babi golongan farmasetik dan pro analisis yang digunakan pada
penelitian ini memiliki nilai LD50 >5000 mg/kgBB. Berdasarkan klasifikasi Loomis,
senyawa dengan LD50 >5000 mg/kgBB merupakan senyawa yang bersifat praktis tidak
toksik. Pemberian gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis tidak
berpengaruh secara bermakna terhadap perubahan berat badan tikus uji (p≥0,05).
Tanda toksisitas dan perubahan aktivitas juga tidak ditemukan pada tikus yang
diberikan gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis. Hasil pengamatan
terhadap organ hati dan ginjal menunjukkan terdapat beberapa kerusakan minor
jaringan, terutama pada kelompok gelatin babi golongan pro analisis. Gelatin babi
golongan pro analisis merupakan produk yang tidak ditujukan untuk dikonsumsi,
sehingga tingkat keamanan produk mungkin kurang diperhatikan. Pada penelitian ini,
gelatin babi golongan pro analisis memiliki warna yang lebih putih jika dibandingkan
dengan gelatin babi golongan farmasetik. Perbedaan warna tersebut dapat disebabkan
adanya proses pemutihan (bleaching) pada gelatin. Proses ekstraksi gelatin babi yang
menggunakan senyawa kimia, seperti asam klorida, asam sulfat dan natrium hidroksida
dapat berisiko menimbulkan toksisitas (Rachmawati, et al.,2011). Meskipun demikian,
hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada derajat
kerusakan organ hati dan ginjal kelompok kontrol, kelompok gelatin babi golongan
farmasetik dan kelompok gelatin babi golongan pro analisis (p≥0,05).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil beberapa
kesimpulan, diantaranya:
1. Nilai LD50 gelatin babi golongan farmasetik dan pro analisis yang
didapatkan adalah >5000 mg/kgBB. Berdasarkan klasifikasi Loomis,
senyawa dengan LD50 >5000 mg/kgBB merupakan senyawa yang bersifat
tidak toksik.
2. Pemberian gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis tidak
menimbulkan tanda toksisitas pada tikus betina Sprague-Dawley
3. Derajat kerusakan histopatologi hati dan ginjal kelompok gelatin babi
golongan farmasetik ataupun pro analisis tidak berbeda secara bermakna
terhadap kelompok kontrol (p≥0,05)
Hasil uji toksisitas akut pada penelitian ini menunjukkan bahwa gelatin babi
golongan farmasetik ataupun pro analisis bersifat tidak toksik.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji toksisitas subkronik dan
kronik gelatin babi golongan farmasetik ataupun pro analisis untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap organ sasaran jika digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Abdalbasit Adam Mariod., Hadia Fadol Adam. 2013. Review: Gelatin, Source,
Extraction And Industrial Applications. Arab: Acta Sci. Pol., Technol.
Aliment. 12(2) 2013, 135-147
Anzini, Nia. 2014. Uji Toksisitas Akut Fraksi Etil Asetat Batang Dan Daun Pacar Air
(Impatiens balsamina Linn) Terhadap Tikus Putih Betina Galur Sprague
Dawley. J.Trop. Pharm. Chem. 2014. Vol 2. No. 4
Biswas, Anindita, Ganga Rao Battu. 2014. Potential Hepatoprotective and Antioxidant
Activity Of Delonix Regia Flower Extract Against Paracetamol Induced Liver
Toxicity In Rats. International Journal Of Biological and Pharmaceutical
Research: India
Botham. 2003. Acute systemic toxicity—prospects for tiered testing strategies: Elsevier
diakses pada tanggal 18 November 2015
BPOM RI. 2014. Peraturan Kepala dan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2014. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan
Brandle, I., Boujnah-Khouadja, A., and Foussereau, J. 1983. Allergy to Castor Oil
Contact Dermatitis 9, 424-425
Choe, et al., 2015. Characteristics of Pork Belly Consumption in South Korea and
Their Health Implication. Journal of Animal Science and Technology: South
Korea
Dhillon, Amar Paul. 2012. Normal Liver Histology. London: UCL Medical School
Dono, Nanung Danar. 2004. Skema Manfaat dan Penggunaan Babi. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada
Gimenez, B., M.C. Gomez-Guillen dan P. Montero. 2005. Storage of dried fish skins
on quality characteristics of extracted gelatin. J. Food Hydrocolloids. 19:958-
963.
Grobben, A.H.; P.J. Steele; R.A. Somerville; and D.M. Taylor. 2004. Inactivation of
The Bovine-Spongiform-Encephalopathy (BSE) Agent by The Acid and Alkali
Processes Used The Manufacture of Bone Gelatin. Biotechnology and Applied
Biochemistry, 39: 329 – 338.
Hard, G.C, et al. 1999. Non-proliferative Lesions of the Kidney and Lower Urinary
Tract in Rats. Guides for Toxicologic Pathology: New York
Harmita dan M. Radji. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Hastuti, Dewi, dkk. 2007. Pengenalan dan Proses Pembuatan Gelatin MEDIAGRO
Vol. 3 No. 1
Hau, Jann, Gerald L. Van Hoosier. 2003. Handbook Of Laboratory Animal Science
Second Edition. Washington D.C: CRC Press
Hinterwaldner R. 1997. Raw Material. In : Ward. AG; and A.Courts, Editors. The
Science and Technology of Gelatin.New York: Academic Press
Hodgson, E., Levi P.E. 2000. A Textbook of Modern Toxicology 2nd Ed. Singapore:
McGraw-Hill Higher Education
Jones, Thomas C, Ronald DH, Norval WK. 2006. Veterinary Pathology. Edisi ke-6.
Blackwell Publishing. United State of America.
Jothy, Subramanion L, et al. 2011. Acute Oral Toxicity of Methanolic Seed Extract of
Cassia fistula in Mice. Molecules 2011, 16, 5268-5282; ISSN 1420-3049
Juliasti, Radia, et.al. 2015. Pemanfaatan Limbah Tulang Kaki Kambing sebagai
Sumber Gelatin dengan Perendaman Menggunakan Asam Klorida
.Semarang: Indonesian Food Technologists
Junianto, Ir. MP, et al.2006. Produksi Gelatin dari Tulang Ikan dan Pemanfaatannya
sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. Bandung: Universitas
Padjajaran
Kamal, Mohd Saleh Ahmad, et al. 2012. Acute Toxicity Study of Standardized
Mitragyna speciosa Korth Aqueous Extract in Sprague Dawley Rats. Journal
of Plant Studies; 10.5539/jps.v1n2p120
Kimani, D, et al., 2014. Safety of Prosopis juliflora (Sw.) DC. (Fabaceae) and Entada
leptostachya Harms (Leguminosae) Extract Mixtures Using Wistar Albino
Ratsshil. British Journal of Pharmaceutical Research:
10.49734/BJPR/2014/10993
Krinke, G.J. 2000. The Laboratory Rat. San Diego, CA: Academic Press. Hal: 150-152
Mansuroh, Farichah. 2013. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Kulit Akar Ginseng
Kuning (Rennellia elliptica Korth.) terhadap Mencit (Mus musculus). Skripsi
FKIK: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Marone, Palma Ann, et al. 2010. Safety and toxicological evaluation of undenatured
type collagen. Toxicology Mechanisms and Methods, 2010; 20 (4): 175-189
Ningrum, Sri Rahayu Widya. 2012. Validasi Uji Toksisitas Akut Metode Organization
For Economic Cooperation And Development (OECD) 425 Pada Mencit
Betina Menggunakan Tembaga (Ii) Sulfat Pentahidrat. Skripsi. FMIPA:
Universitas Indonesia
Oliveira, Dirce R, et al. 2001. Gelatin Intake Increases The Atheroma Formation in
apoE Knock Out Mice. Elsevier
Pifferi, giorgio, et al. 2002. The safety of pharmaceutical excipients. Italy: Elsevier
Pokharkar, Varsha, et al. 2009. Acute and Subacute Toxicity Studies of Chitosan
Reduced Gold Nanoparticles: A Novel Carrier for Therapeutic Agents. Journal
of Biomedical Nanotechnology Vol. 5, 1-7
Poppe J. 1992. Gelatin. Di dalam: Imeson A, editor, Thikening and Gelling Agents for
Food. Blackie Academy and Profesional, London.
Pranoto, et al., 2011. Characteristics of gelatins extracted from fresh and sun dried
seawater fih skins in Indonesia. International Food Research Journal 18(4):
1335-1341
Rachmawati, Novalia, et al., 2011. Toksisitas Subkronik Gelatin Kulit Ikan Patin Siam
(Pangasius Hypophthalmus) Terhadap Mencit (Mus Musculus). Jurnal
Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 6 No. 1, Juni 2011
Raza, M.; Al-Shabanah, O.A.; El-Hadiyah, T.M.; Al-Majed, A.A. 2002. Effect of
prolonged vigabatrin treatment on haematological and biochemical
parameters in plasma, liver and kidney of Swiss albino mice. Sci. Pharm.
2002, 70, 135-145.
Roopashree, T.S.; Raman, D.; Rani, R.H.S.; Narendra, C. Acute oral toxicity studies of
antipsoriatic herbal mixture comprising of aqueous extracts of Calendula
officinalis, Momordica charantia, Cassia tora and Azadirachta indica seed
oil. Thai J. Pharm. Sci. 2009, 33, 74-83
Sabbani, Vidya., et al. 2015. Acute Oral Toxicity Studies of Ethanol Leaf Extracts of
Derris Scandes & Pulicaria Wightiana in Albino Rats. International Journal
Of Pharmacological Research: India
Sai, S.1983. Lipstick dermatitis caused by castor oil. Contact Dermatitis 9, 75.
Schelde E, Elke, horst, Gisela, & Detlev. (2005). Oral acute toxic class method: a
successful alternative to the oral LD50 test. Jour. Reg. Toxic. and Pharm 42,
15-23.
Sheikhi, Mohammad Ali dan Mehdi Dehghani Firoozabadi. 2015. Pork Meat From
The Viewpoints Of Quran and Medical Research. World Journal Of
Pharmaceutical Research Vol. 4, Issue 8.
Sitzel, K & G. Carr. (1999). Statistical basis for estimating acute oral toxicity
comparison of OECD guidelines 401, 420, 423, and 425. Up-andDown
Procedure Peer Panel Report, O3-O10.
Stella V.J. and He, Q. (2008). Cyclodextrins. Toxicol Pathol 36, 30-42
Sunggoni, Benny Wijaya, Indri Kusharyanti, Siti Nani Nurbaeti. 2014. Acute Toxicity
Evaluation Of Impatiens balsamina Linn. Stem and Leaf N-Hexane Fraction
Using OECD 425 Guideline. Traditional Medicine Journal, 19 (3), 2014.
Supriadi, Agus, et al. 2013. Pengaruh Defatting dan Suhu Ektraksi Terhadap
Karakteristik Fisik Gelatin Tulang Ikan Gabus (Channa striata):Universitas
Sriwijaya
Tatukude, Loho dan Lintong. 2014. Gambaran Histopatologi Hati Tikus Wistar Yang
Diberikan Boraks. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 2, Nomor 3, November
2014
Tortora GJ. 2005. Principles of Human Anatomy. Ed ke-10. USA: John wiley & sons,
Inc
Utama, H. 1997. Gelatin yang Bikin Heboh. Jurnal Halal LPPOM-MUI No.18: 10- 12.
Utomo, Budi. 2015. Pengaruh Pemberian Gelatin Tulang Ayam Terhadap Gambaran
Makroskopik dan Mikroskopis Hati dan Ginjal Mencit. Skripsi: Universitas
Hasanuddin Makassar
Wirasuta, I Made Agus Gelgel., Rasmaya Niruri. 2007. Toksikologi Umum. Denpasar:
Udayana
Zar T, et al. 2007. Recognition, treatment, and prevention of propylene glycol toxicity.
Pubmed
Zmarowski, Amy, et al., 2013. Differential Performance of Wistar Han and Sprague
Dawley Rats in Behavioral Tests: Differences in Baseline Behavior and
Reactivity to Positive Control Agents. WIL Research Europe, B.V., ’s-
Hertogenbosch, The Netherlands
Alur Kerja Penyiapan Larutan Gelatin Babi Golongan Farmasetik dan Pro
analisis
Setelah 48 jam
2 ekor tikus uji mati Setelah 48 jam 1 ekor tikus uji mati
Lampiran 4. Rancangan Uji Toksisitas Akut Gelatin Babi dengan Metode Up and Down Procedure (OECD, 2008)
Jumlah Perlakuan
Kelompok Parameter Pengamatan
Tikus Sebelum Uji Uji Setelah Uji
Limit Test
Tikus diberikan aquades
I (Kontrol) 2 Dipuasakan selama i. Tanda dan gejala toksisitas (kulit dan
sebanyak ±4ml Dipuasakan selama 4 jam
12 jam (tidak diberi bulu, mata, konvulsi, tremor, dan mati)
Tikus diberikan larutan setelah pemberian (tetap
II (Dosis 5000 makan, namun tetap ii. Pengamatan mikroskopik organ hati
1 gelatin babi dengan dosis diberikan minum)
mg/kgBB) diberi minum) dan ginjal
5000mg/kgBB
Jika tikus uji tetap hidup setelah 48 jam pemberian larutan gelatin babi, maka limit test dilanjutkan ke termin kedua dengan memberikan larutan gelatin babi
pada 2 ekor tikus uji lainnya (perlakuan sebelum dan sesudah uji sama dengan tikus uji pertama). Sedangkan, jika tikus uji mati pada termin pertama limit
test, maka harus dilakukan main test.
Jika hasil uji termin kedua menunjukkan tidak ada tikus uji yang mati, maka nilai LD50 >5000 mg/kg BB. Sedangkan, jika hasil uji termin kedua
menunjukkan adanya kematian pada salah satu tikus uji, maka diperlukan limit test termin ketiga.
Apabila hasil dari ketiga termin limit test menunjukkan adanya kematian hanya pada 2 ekor tikus, maka limit test dapat dihentikan dan disimpulkan bahwa
nilai LD50 gelatin babi adalah >5000 mg/kgbb. Sedangkan jika terdapat lebih dari 2 tikus yang mati, maka pengujian harus dilanjutkan ke main test (OECD,
2008).
Main Test
Dosis yang diberikan pada uji utama adalah 55, 175, 550, 1750 dan 5000 mg/kgBB. Pemberian dosis dilakukan secara bertahap dan menggunakan tikus yang
berbeda untuk masing-masing dosis
Tikus diberikan aquades i. Tanda dan gejala toksisitas (kulit
I (Kontrol) 2 Dipuasakan selama sebanyak ±4ml Dipuasakan selama 4 jam dan bulu, mata, letargi, konvulsi,
12 jam (tidak diberi
Tikus diberikan larutan setelah pemberian (tetap tremor, diare dan mati)
II (Dosis awal makan, namun tetap
1 gelatin babi sebanyak diberikan minum) ii. Pengamatan mikroskopik organ
175 mg/kgBB) diberi minum)
175mg/kgBB hati dan ginjal
Jika setelah 48 jam tikus uji bertahan hidup, maka pemberian dosis berikutnya ditingkatkan (550 mg/kgBB)
Jika setelah 48 jam tikus uji mati, maka pemberian dosis berikutnya diturunkan (55 mg/kgBB)
Uji utama dihentikan hingga uji memenuhi salah satu kriteria:
a. 3 hewan berturut-turut bertahan di atas batas dosis;
b. 5 pembalikan (reverse) terjadi pada setiap 6 hewan yang diuji berturut-turut;
c. Sedikitnya terdapat 4 hewan telah mengalami pembalikan pertama.
𝑚𝑔
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 ( ) 𝑥𝐵𝐵 (𝑘𝑔)
𝑘𝑔𝐵𝐵
𝑉𝐴𝑂 (𝑚𝑙) = 𝑚𝑔
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
5000 ( ) 𝑥0,16 (𝑘𝑔)
𝑘𝑔𝐵𝐵
4𝑚𝑙 = 𝑚𝑔
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 = 800 𝑚𝑔/4𝑚𝑙
Larutan gelatin babi dibuat setiap sebelum perlakuan. Volume administrasi oral yang
diberikan adalah 4 ml karena perbandingan kelarutan gelatin babi dalam akuades
adalah 1:5 dan dosis uji yang digunakan sangat besar.
Nilai LD50 <5000 mg/kgBB (jika ditemukan 3 tikus uji yang mati, maka harus
dilakukan main test)
Limit Test I (1 tikus uji) Limit Test II (2 tikus Limit Test III (2 tikus uji)
uji)
O XO XX
O OX XX
O XX OX
O XX X
Nilai LD50 >5000 mg/kgBB (jika ditemukan 3 tikus uji yang bertahan hidup)
Limit Test I (1 tikus uji) Limit Test II (2 tikus Limit Test III (2 tikus uji)
uji)
O OO -
O XO XO
O XO O
O OX O
Tikus
Bobot tikus (gram) pada hari ke-
Kontrol
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 150 158 159 164 164 166 168 170 173 171 175 178 175 175 181
2 183 202 196 201 206 200 205 210 210 211 208 216 216 220 220
166.5± 180±3 177.5± 182.5± 185± 183± 186.5± 190± 191.5± 191± 191.5± 197± 195.5± 197.5± 200.5±
Rerata±SD
23,33 1,11 26,16 26,16 29,70 24,04 26,16 28,28 26,16 28,28 23,33 26,87 28,99 31,81 27,57
Tikus
Gelatin Babi
PG
1 167 173 172 175 178 182 180 179 181 180 178 186 186 182 180
2 151 164 144 144 161 165 163 155 151 152 161 153 152 149 151
3 148 154 152 138 138 155 156 157 158 154 164 160 164 163 167
167.3 163.6 166.3
155.3± 163.6± 156±1 152.3± 159± 166.3± 163.3± 162± 167.6± 167.31 164.66 166±14
Rerata±SD ±13,6 6±13, 3±17,
10,21 9,50 4,42 19,85 20,07 12,34 15,69 15,62 9,07 7,24 ±16,56 ,52
5 31 38
Tikus
Gelatin Babi
PA
1 166 159 162 152 158 152 155 161 160 155 170 161 173 177 176
2 153 158 160 156 157 162 161 159 164 167 171 167 170 170 170
3 159 159 157 156 154 158 157 157 158 159 160 160 160 160 164
159.3± 158.6± 159.6± 154.6± 156.3 157.3 157.6± 159± 160.6± 160.3 167±6, 162.6 167.6± 169±8,
Rerata±SD 6,51 0,58 2,52 2,31 ±2,08 ±5,03 3,05 2 3,05 ±6,11 08 ±3,78 6,8 54 170±6
perlakuan Hari0 Hari1 Hari2 Hari3 Hari4 Hari5 Hari6 Hari7 Hari8 Hari9 Hari10 Hari11 Hari12 Hari13 Hari14
N 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
Mean 1.8750 159.6250 165.8750 162.7500 160.7500 164.5000 167.5000 168.1250 168.5000 169.3750 168.6250 173.3750 172.6250 174.5000 174.5000 176.1250
Normal
Std. .83452 11.87960 15.67015 15.64563 19.83323 20.09975 16.00000 16.99107 18.62410 18.94305 19.64643 15.39886 20.56306 19.65415 21.19973 20.22331
Parametersa,b
Deviation
Most Absolute .228 .211 .298 .269 .220 .260 .287 .253 .281 .237 .202 .257 .233 .240 .237 .280
Extreme Positive .228 .211 .298 .269 .220 .260 .287 .253 .281 .237 .202 .257 .233 .240 .237 .280
Differences Negative -.185 -.164 -.224 -.121 -.126 -.176 -.166 -.220 -.234 -.166 -.199 -.193 -.170 -.126 -.122 -.149
Kolmogorov-Smirnov Z .644 .598 .842 .761 .621 .735 .813 .715 .796 .669 .571 .727 .658 .678 .670 .791
Asymp. Sig. (2-tailed) .801 .867 .478 .608 .835 .652 .524 .685 .551 .761 .900 .666 .779 .747 .761 .558
Keputusan: Data berat tikus tidak homogen (p≤0,05), sehingga dilanjutkan dengan uji
Kruskal Wallis.
Test Statisticsa,b
Hari0 Hari1 Hari2 Hari3 Hari4 Hari5 Hari6 Hari7 Hari8 Hari9 Hari10 Hari11 Hari12 Hari13 Hari14
Chi-Square .556 .434 1.444 2.924 3.222 3.778 3.778 2.839 2.839 2.889 2.889 2.839 2.778 1.806 4.028
Df 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Asymp. Sig. .757 .805 .486 .232 .200 .151 .151 .242 .242 .236 .236 .242 .249 .405 .133
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
Keputusan: Data berat badan kelompok uji dan kelompok kontrol tidak berbeda bermakna (p≥0,05)
Piloereksi Piloereksi merupakan perubahan pada bulu tikus, yakni bulu tikus terlihat
keras atau tegak sebagian (OECD, 2000).
Konvulsi Konvulsi atau kejang mengindikasikan adanya gangguan pada sistem syaraf
(kejang) pusat tikus dan dapat berlangsung selama beberapa detik atau mungkin lebih
lama. Jika konvulsi berlangsung selama lebih dari satu menit dan diulangi
selama 5 kali sehari, maka tikus harus dibunuh (Hau et al., 2003)
Tremor Tremor merupakan gerakan berkedut otot atau gerakan kulit yang cepat dan
(bergetar) mengindikasikan adanya gangguan pada sistem syaraf pusat (Hau et al.,
2003).
Nyeri Tikus yang merasakan nyeri akan menyipitkan bagian orbital, melipat daun
telinga ke bagian dalam dan menjauhkan kumisnya dari wajah (OECD, 2000)
Mata Akumulasi cairan kemerahan pada daerah sekitar mata mengindikasikan tikus
(grooming) mengalami stress. Pada tikus normal, cairan kemerahan pada sekitar mata
akan digunakan untuk menggosok bagian tubuh sehingga dapat menjaga suhu
tubuhnya (Whishaw, et al., 1999).
Refleks daun Ketika daun telinga tikus dicubit biasanya tikus akan mengguncang kepalanya.
telinga Jika tidak ada reflex maka adanya ketidaknormalan
Hiipersalivasi Hipersalivasi merupakan tanda toksisitas berupa produksi air liur berlebihan
(OECD, 2000).
Lakrimasi Lakrimasi merupakan adanya produksi air mata pada tikus. Adanya cairan air
mata berwarna merah mengindikasikan tikus mengalami stress (OECD,
2000).
Hiperaktivitas Reaksi berlebihan ketika tikus uji disentuh karena adanya ketakutan atau
perubahan pada sistem syaraf (OECD, 2000).
Mortalitas Tahapan kematian pada tikus memiliki beberapa ciri bisa dilihat saat
pengamatan berlangsung yaitu kondisi ketika tikus tidak mampu mencapai air
minum dan makanan, muncul tanda-tanda berupa kejang-kejang, penyerahan
diri, dan tremor.
Hepatosit Hepatosit
Sinusoid Sinusoid
Sampel LP1 LP2 LP3 LP4 LP5 LP6 LP7 LP8 LP9 LP10 Rerata Skor
KONTROL
Tikus 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0,3
Tikus 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rerata skor kelompok kontrol±SD 0,15±0,212
GELATIN BABI GOLONGAN FARMASETIK
Tikus 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tikus 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Tikus 3 0 0 1 0 2 0 0 2 0 0 0,5
Rerata skor kelompok gelatin babi golongan farmasetik±SD 0,167±0,289
GELATIN BABI GOLONGAN PRO ANALISIS
Tikus 1 2 1 2 2 1 2 3 1 0 2 1,6
Tikus 2 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0,2
Tikus 3 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0,2
Rerata skor kelompok gelatin babi golongan pro analisis±SD 0,667±0,808
Keterangan:
LP= Lapang Pandang
0 = Sel tampak normal
1 = Terdapat degenerasi atau nekrosis terfokus di satu tempat
2 = Terdapat degenerasi atau nekrosis terfokus di beberapa tempat
3 = Terdapat degenerasi atau nekrosis terfokus di seluruh tempat (Andreas, et al., 2015)
Tujuan: Untuk melihat data skoring derajat kerusakan histopatologi hati tikus
terdistribusi normal atau tidak
Hipotesis :
a. Ho : Data skoring derajat kerusakan histopatologi hati tikus terdistribusi
normal
b. Ha : Data skoring derajat kerusakan histopatologi hati tikus tidak
terdistribusi normal
Pengambilan keputusan :
a. Jika nilai signifikansi ≥0,05, maka Ho diterima
b. Jika nilai signifikansi ≤0,05, maka Ho ditolak
Skoring
N 8
Mean 3.7500
Normal Parametersa,b
Std. Deviation 5.47070
Absolute .305
Most Extreme Differences Positive .305
Negative -.247
Kolmogorov-Smirnov Z .861
Asymp. Sig. (2-tailed) .448
Hipotesis :
a. Ho : Data skoring derajat kerusakan histopatologi hati tikus bervariasi
homogen
b. Ha : Data skoring derajat kerusakan histopatologi hati tikus tidak bervariasi
homogen
Pengambilan keputusan :
a. Jika nilai signifikansi ≥0,05, maka Ho diterima
b. Jika nilai signifikansi ≤0,05, maka Ho ditolak
4.072 2 5 .089
3. Uji ANOVA
Tujuan : untuk menentukan ada tidaknya perbedaan derajat kerusakan
histopatologi hati tikus pada seluruh kelompok hewan uji
Hipotesis :
a. Ho : Derajat kerusakan histopatologi hati tikus tidak berbeda secara
bermakna
b. Ha : Derajat kerusakan histopatologi hati tikus berbeda secara bermakna
Pengambilan keputusan :
a. Jika nilai signifikansi ≥0,05, maka Ho diterima
b. Jika nilai signifikansi ≤0,05, maka Ho ditolak
ANOVA
skoring
Keputusan: Derajat kerusakan histopatologi hati tikus kelompok gelatin babi golongan
farmasetik dan golongan pro analisis tidak berbeda secara bermakna
dibandingkan terhadap kelompok kontrol (p≥0,05)
Tikus kontrol 1
Tikus kontrol 2
Keterangan: Tikus uji 1: gelatin babi golongan
Keterangan:
Glomerolus farmasetik
Glomerulus
Tubulus Proksimal Keterangan:
Tubulus Proksimal
Tubulus Distal Glomerolus
Tubulus Distal
Tubulus Proksimal
Tubulus Distal
Atrofi glomerulus
Tikus uji 2: gelatin babi golongan Tikus uji 3: gelatin babi babi
Tikus uji 4: gelatin babi golongan
farmasetik golongan farmasetik
pro analisis
Keterangan: Keterangan:
Keterangan:
Glomerulus Glomerulus
Glomerulus
Tubulus Proksimal Tubulus Proksimal
Tubulus Proksimal
Tubulus Distal Tubulus Distal
Tubulus Distal
Tikus uji 5: gelatin babi golongan Tikus uji 6: : gelatin babi golongan
pro analisis pro analisis
Keterangan: Keterangan:
Glomerolus Glomerolus
Tubulus Proksimal Tubulus Proksimal
Tubulus Distal Tubulus Distal
Atrofi Glomerulus
Glomerulus Kontrol Gelatin babi golongan farmasetik Gelatin babi golongan pro analisis
ke- Tikus1 Tikus2 Tikus1 Tikus2 Tikus3 Tikus1 Tikus2 Tikus3
1 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0 0 0
5 0 0 0 0 0 0 0 2
6 0 0 0 0 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 0 0 0 0 0 2
11 0 0 2 0 0 0 0 0
12 0 0 0 0 0 0 0 0
13 0 0 0 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 0 0 0
15 0 0 0 0 0 0 0 0
16 0 0 0 0 0 0 0 0
17 0 0 0 0 0 0 0 0
18 0 0 0 0 0 0 0 0
19 0 0 0 0 0 0 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0
21 0 0 0 0 0 0 0 0
22 0 0 0 0 0 0 0 0
23 0 0 0 0 0 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0 0 0
25 0 0 0 0 0 0 0 0
26 0 0 0 0 0 0 0 0
27 0 0 0 0 0 0 0 0
28 0 0 0 0 0 0 0 0
29 0 0 0 0 0 0 0 0
30 0 0 0 0 0 0 0 2
Total 0 0 2 0 0 0 0 6
Rerata±SD 0±0 0,67±1,15 2±3,46
Keterangan:
0 = Struktur glomerulus normal
1 = Terdapat dilatasi kapiler atau ekspansi matriks ekstraseluler
2 = Terdapat atrofi (pengerutan) pada glomerulus
Tujuan: Untuk melihat data skoring derajat kerusakan histopatologi ginjal tikus
terdistribusi normal atau tidak
Hipotesis :
c. Ho : Data skoring derajat kerusakan histopatologi ginjal tikus terdistribusi
normal
d. Ha : Data skoring derajat kerusakan histopatologi ginjal tikus tidak
terdistribusi normal
Pengambilan keputusan :
a. Jika nilai signifikansi ≥0,05, maka Ho diterima
b. Jika nilai signifikansi ≤0,05, maka Ho ditolak
skoring
N 8
Mean 1.0000
Normal Parametersa,b
Std. Deviation 2.13809
Absolute .430
Most Extreme Differences Positive .430
Negative -.320
Kolmogorov-Smirnov Z 1.216
Asymp. Sig. (2-tailed) .104
Hipotesis :
a. Ho : Data skoring derajat kerusakan histopatologi ginjal tikus bervariasi
homogen
b. Ha : Data skoring derajat kerusakan histopatologi ginjal tikus tidak
bervariasi homogen
Pengambilan keputusan :
a. Jika nilai signifikansi ≥0,05, maka Ho diterima
b. Jika nilai signifikansi ≤0,05, maka Ho ditolak
8.000 2 5 .028
Hipotesis :
a. Ho : Derajat kerusakan histopatologi ginjal tikus tidak berbeda secara
bermakna
Pengambilan keputusan :
a. Jika nilai signifikansi ≥0,05, maka Ho diterima
b. Jika nilai signifikansi ≤0,05, maka Ho ditolak
Test Statisticsa,b
skoring
Chi-Square .810
Df 2
Asymp. Sig. .667