Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aliansi Mahasiswa Kawal Pemilu sebagai pressure group, dalam menyukseskan


pemilu 2019 memaksimalkan Fungsi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara
pemilu dan melihat fakta – fakta di lapangan Lampung masih meyimpan berbagai
polemik permasalahan pemilu yang tak kunjung terselesaikan dari pemilu ke
pemilu. Maka penting Aliansi Mahasiswa Kawal Pemilu untuk mengkaji
permasalahan yang ada dalam pemilu Lampung.

Telah kita ketahui negara demokrasi memilih dan dipilih merupakan suatu
keniscayaan, yang dijamin oleh Konstitusi sebagai hak warga negara. Setiap
negara memiliki caranya masing-masing dalam berdemokrasi. Pesta
Demokrasinya Indonesia yaitu Pemilihan Umum yang dilakukan lima tahun
sekali. Pemilu merupakan perwajantahan kedaulatan rakyat dalam memilih
pemimpinnya. Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tentang pemilihan
umum berbunyi “Pemilihan umum di selenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 1 ayat (1)
berbunyi “ Pemilihan umum selanjutnya disebut ( Pemilu ) adalah sarana
kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota
dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan untuk memilih
anggota dewan perwakilan daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.” Sejatinya pemilu dilaksanakan dengan mengedepankan subtansial
pemilu bukan hanya sekadar prosedural saja, yakni momen seremonial pergantian
kekuasaan lima tahunan.

1
Janedjri M. Gaffar (2012; 11) dalam bukunya menyatakan, “ Demokrasi tidak
hanya sekadar sebagai prosedur, melainkan juga sebagai seperangkat nilai yang
menentukan bentuk dan berjalannya pemerintahan oleh rakyat.” Tak perlu di
pungkiri secara subtansial pemilihan umum di Indonesia belum tercapai baik
nasional maupun daerah, karena masih banyak permasalahan subtansial yang
hingga kini masih saja terjadi.

Berdasarkan berbagai pemberitaan di media massa, pemilihan umum untuk kepala


daerah dan calon legislatif serta presiden sepertinya masih diwarnai adanya mahar
politik yang begitu mahal guna menyewa kendaraan politik. Kegiatan kampanye
yang melibatkan massa pendukung secara masif, serangan fajar saat mau
pelaksanaan pemungutan suara, adanya oknum yang bermain untuk lelang suara
dengan mengatasnamakan lembaga penyelenggara pemilu, dan ijon proyek dan
ijon pengelolaan sumber daya alam untuk pembiayaan politik, penggunaan isu
politik identitas, banyaknya daerah dan TPS rawan konflik, maraknya black
campaign, maraknya politik dinasti, adanya penyelewengan hasil penghitungan
suara, serta politik pencitraan yang didukung media pers yang tidak netral.
Persoalan-persoalan ini berimbas pada rendahnya kualitas hasil pemilihan umum
khususnya dan kualitas sistem demokrasi pada umumnya serta tingginya angka
golput (golongan putih).

Pemilu memiliki tujuan yang harus dicapai diantaranya :

1. Tujuan pemilu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat

2. Tujuan pemilu sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat

3. Tujuan Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD
dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden

4. Tujuan Pemilu untuk melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara


damai, aman, dan tertib (secara konstitusional).

5. Tujuan pemilu untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional.

2
Berdasarkan tujuan diatas untuk mencapainya di perlukan penyelenggara
pemilihan umum yang mimiliki integritas, dimana peran KPU sangat penting
dalam mengelola penyelenggaraan pemilu sesuai dengan asas pemilu yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Bukan hanya
demokrasi prosedural yang diperlihatkan kepada publik, Namun secara subtansial
demokrasi itu sendiri harus ada, untuk mengahasilkan pemimpin-pemimpin yang
baik. Peran Bawaslu juga sangat penting dalam mengawasi jalannya pemilu
diperlukan ketegasan bawaslu dalam menangani kasus pelanggaran pemilu
melihat masih tingginya pelanggaran pemilu, sehingga dapat menekan
pelanggaran pemilu yang ada. Apabila pemilu dikelola secara baik maka dapat
menekan angka golput dan meningkatkan partisipasi masyarakat.

Perlu kita ketahui pesta demokrasi indonesia akan terselenggara pada 17 April
2019 momen suksesi kepemimpinan bangsa indonesia. Pemilu 2019 berbeda
dengan pemilu-pemilu sebelumnya dimana Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden dengan Pemilihan Anggota Legislatif dilakukan secara bersamaan.
Tentunya dengan sistem yang berbeda akan menimbulkan permasalahan-
permasalahan yang baru dalam pemilu kali ini. Nah, Fokus Kajian ini adalah
membahas mengenai permasalahan-permasalahan yang ada dalam pemilu dan
memberikan solusinya untuk tercapainya tujuan pemilu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Permasalahan Politik Identitas di Provinsi Lampung?
2. Bagaimana Permasalahan Golongan Putih (Golput) di Provinsi Lampung?
3. Bagaimana Permasalahan Politik Uang di Provinsi Lampung?
4. Bagaimana Permasalahan DPT di Provinsi Lampung?

C. Tujuan
1. Mengetahui permasalahan politik identitas di Provinsi Lampung
2. Mengetahui permasalahan golongan putih di Provinsi Lampung
3. Mengetahui permasalahan politik uang di Provinsi Lampung
4. Mengetahui permasalahan DPT di Provinsi Lampung

3
BAB II
PEMBAHASAN

Pemilu memiliki berbagai persoalan yang belum terselesaikan, yang masih


menjadi PR oleh penyelenggara pemilu dan tentunya kita semua sebagai rakyat
Indonesia. Dimulai dari politik identitas, politik uang, tingginya (golput), dan
tentunya DPT yang tak kunjung akurat, berikut analisis nya :

A. Politik Identitas

Acuan Literatur politik maupun sosiologi, mengkategorisasikan identitas dalam


dua kategori, yakni: identitas sosial (agama, kelas, ras, etnis, gender, dan
seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan-citizenship).
Identitas sosial menentukan posisi individu di dalam relasi atau interaksi
sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi individu di dalam suatu
komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus
menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan (sense of otherness).

Dikarenakan identitas juga menyakut apa-apa saja yang membuat sekelompok


orang menjadi berbeda dengan yang lainnya, maka konstruksi identitas berkaitan
erat dengan konstruksi mengenai “perbedaan” (difference). Identitas politik
(political identity) secara konseptual berbeda dengan “politik identitas” (politics
of identity); identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi
kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik, sedangkan pengertian
politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik
identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.

Politik Identitas di Indonesia, sebagaimana dikutip dari Ma’arif dalam bukunya


Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia”, menjelaskan bahwa
khususnya di Indonesia, politik Identitas lebih terkait dengan etnisitas, agama,
ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit
politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55).

4
Menurut Cressida Heyes (dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007)
politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-
kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan
identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau
keagamaan. Menguatnya Politik identitas ini dapat kita lihat contoh-contohnya di
banyak daerah, yaitu adanya gerakan-gerakan serba kedaerahan, keagamaan,
kesukuan, sampai gerakan cara berpakaian yang melambangkan kedaerahan dan
keagamaan tertentu.

Tak terkecuali daerah Sai Bumi Ruwai Jurai yang berada di ujung Pulau Sumatra.
Dilansir dari kupastuntas.co, Kasubdit Politik Dit Intelkam Polda Lampung,
AKBP Halomoan Siregar mengatakan “ Untuk pemilu tahun 2019 ini,
mengkategorikan ada TPS kurang rawan, rawan dan sangat rawan konflik. Sangat
rawan konflik ada 135 TPS, rawan 289 TPS, dan kurang rawan 25.881 TPS”.
Sedangkan untuk daerah rawan konflik di lansir dari lampungpro.com Wakapolda
Lampung Brigjen Teddy Minahasa Putra menyebutkan dari 3.095 tempat
pemungutan suara (TPS) ada sembilan yang masuk kategori rawan yakni delapan
di Pulau Sebesi dan satu di Pulau Rimau. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) dan
Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019, di Lampung Selatan terdapat 759 ribu
pemilih.

Politik identitas dengan menonjolkan salah satu golongan tertentu dapat


menimbulkan dampak negatif, dengan heterogennya masyarakat Lampung resiko
konflik akibat politik identitas sangat tinggi. Polarisasi masyarakat yang menjadi
dua karena kontastan pilpres dua pasangan calon, semakin membuat mewarnai
politik identitas. Konflik akibat dari politik identitas bisa terjadi sebelum dan
sesudah pemilu terjadi, karena masyarakat yang terpolarisasi tidak terima salah
satu pasangan yang mereka dukung kalah dalam pemilu. Peran KPU dan Bawaslu
sangat penting dalam menekan politik identitas dengan cara mensosialisasikan
kepada peserta pemilu untuk lebih fokus pada ide, gagasan, visi misi yang di
tawarkan. Sehingga masyarakat bisa memilih secara rasional. Solusi dari Kajian
ini diantaranya penguatan pranata dan kearifan lokal sebagai simbol pemersatu

5
komunitas, dorongan netralitas tokoh agama, ASN dan budaya dalam pemilu.
Selain itu, penguatan institusi-institusi pelaksana pemilu dalam menangani gejala
politik identitas yang ekstrem, serta penegakan hukum secara tegas dalam
pelaksanaan pemilu.

B. Politik Uang

Menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, salah satu kata yang seringkali kita dengar
adalah “Money Politic” atau “Politik Uang” yang juga kerap disebut “Politik
Perut”. Secara sederhana Politik Uang atau Politik Perut ini dapat diartikan
sebagai janji atau suatu bentuk pemberian untuk menyuap seseorang agar tidak
menjalankan haknya di dalam proses Pemilu atau memberikan hak pilihnya
kepada calon tertentu yang memberinya janji, uang atau dalam bentuk barang.
Money Politic ini pada umumnya dilakukan oleh pengurus atau kader partai
politik serta simpatisan menjelang hari H pelaksanaan Pemilu.

Sejak kapan Politik Uang ini berkembang di Indonesia dan siapa yang pertama
kali melakukannya, tentu sangat menarik untuk diketahui, mengingat salah satu
bentuk pelanggaran dari Pemilihan Umum ini sampai sekarang masih sulit untuk
diberantas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Warner Mutinghe, seorang
Ilmuwan Belanda pada tahun 1817, sistem yang berkembang di desa-desa di
seluruh Pulau Jawa dan di beberapa wilayah di Indonesia terkait dengan
pemimpin desa dijabat oleh seseorang seumur hidup atau orang tersebut dapat
melepaskan jabatannya jika sudah merasa tidak mampu. Jabatan Pemimpin Desa
ini bersifat turun temurun, artinya Pemimpin Desa selanjutnya adalah anak turun
dari Pemimpin Desa sebelumnya atau masih ada hubungan sanak kerabat.

Kearifan lokal tersebut kemudian dirubah pada masa penjajahan Belanda,


tepatnya pada saat Gubernur kolonial Belanda di Jawa dipegang oleh Thomas
Stanford Raffles. Perubahan tatanan dilakukan dengan memberikan hak kepada
seluruh warga desa untuk dipilih dan memilih dalam proses pemilihan Kepala
Desa. Sehingga jabatan Lurah atau Kepala Desa tidak lagi dipegang seumur hidup
dan tidak dapat diwariskan ke anak turun serta sanak famili. Pada saat terjadi

6
Perang Diponegoro (1825 – 1830), Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan
Indische Staatsregering atau Peraturan Dasar tentang pemerintahan jajahannya
yang dalam Pasal 128 disebutkan bahwa Desa mempunyai kewenangan penuh
dalam memilih Kepala Desa.

Kemudian dalam Staatblad No.490 juga dimuat aturan yang disebut IGOB
(Inlandsche Gemeente Ordonnantie Biutengewsten. Aturan tersebut menjelaskan
tentang tugas dan kewenangan serta kekuasaan pemerintah desa serta berbagai
aturan tentang susunan organisasi, termasuk tata tertib dan hukum yang berlaku
bagi Kepala Desa dan seluruh anggota Pamong Desa. Tentu saja dalam aturan
tersebut terdapat kewajiban untuk patuh terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Alasan yang mendasari dikeluarkannya Indische Staatsregering tersebut tidak lain


adalah pecahnya Perang Diponegoro yang merupakan perang terbesar di Pulau
Jawa. Pada saat itu, para pengikut Pangeran Diponegoro masuk ke desa-desa
untuk merekrut pasukan baru guna melawan pasukan Belanda. Masuknya para
pengikut Diponegoro membuat banyak desa melakukan aksi perlawanan sehingga
pemberontakan terjadi di sana-sini. Karena itu, pemerintah kolonial menanamkan
kaki tangannya hingga di struktur pemerintahan yang paling bawah yaitu
Binenland Bestuur atau Asisten Wedana yang sekarang kita kenal dengan sebutan
Camat.

Asisten Wedana ini mendapat tambahan tugas untuk melakukan intervensi setiap
kali berlangsung pemilihan lurah atau Kepala Desa dengan menyingkirkan calon-
calon lurah yang dipandang berpotensi membangkang terhadap aturan-aturan
pemerintah kolonial. Cara yang dilakukan adalah dengan mencalonkan orang-
orang kepercayaannya untuk ikut dalam bursa pemilihan Kepala Desa dan
membujuk sebagian besar pemilih agar memilih calon yang dia usung, tentu saja
dengan memberikan imbalan dalam bentuk uang atau barang. Sejak saat itulah
politik uang mulai berkembang di Indonesia.

Dengan melihat kronologi munculnya politik uang sebagaimana tersebut di atas,


kita dapat mengetahui bahwa Money Politic sebenarnya merupakan cara-cara
kotor yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda.

7
Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Ketua Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan di Jakarta, Selasa (26/6/2018) menegaskan
politik uang merupakan kejahatan dalam demokrasi. Karena itu, masyarakat sudah
sepatutnya menolak segala praktik pemberian uang yang dimaksudkan untuk
mendongkrak suara dalam pemilu tersebut.

"Politik uang adalah kejahatan yang mencederai demokrasi, sedangkan


masyarakat merupakan salah satu elemen yang menyukseskan proses demokrasi.
Harapan kami, masyarakat ini berpartisipasi (menyukseskan pemilu) dan tidak
tergoda, harus berani menolak politik uang."

Politik uang di Indonesia merupakan sesuatu pelanggaran pemilu yang sangat sulit
dibuktikan secara hukum. Politik uang masih tinggi di Indonesia, tak terkecuali di
Lampung di sebabkan oleh kesejahteraan masyarakat yang masih rendah. Menurut
undang-undang nomor 7 tahun 2017 pasal 515 mengatur politik uang yang dapat
kena sanksi adalah pemberi uang, bunyinya Setiap orang yang dengan sengaja
pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih
Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah).

Di Provinsi Lampung sendiri sebagai contoh : melalui koalisi rakyat penyelamat


demokrasi (Kopdar) Ribuan massa menuntut untuk mengusut tuntas dugaan
politik uang yang dilakukan oleh pasangan calon gubernur Nomor 3 yakni Arinal
- Nunik . Adapun tuntutan yang diminta oleh massa UNRAS adalah terkait
pembiayaan politik Pilgub yang dinilai Kopdar dinahkodai korporasi PT.SGC
dengan mendistribusikan Gula , Susu , Sarung dan uang tunai terhadap salah satu
Paslon . Meskipun di lapangan banyak di temukannya fakta, namun tak terbukti di
bawaslu karena tak memenuhi TSM, ( Terstruktur, Sistematis, Masif ). Diperlukan
peran bawaslu dalam mindak tegas setiap pelanggaran pemilu khususnya politik
uang yang sudah tidak lagi menjadi rahasia di masyarakat. Bawaslu harus mampu
memainkan perannya sebagai lembaga penyelenggara pemilu untuk mengawasi

8
dan menindak tegas segala bentuk pelanggaran pemilu. Solusi dalam politik uang
bukan hanya sekadar memperbaiki pendidikan masyarakat karena faktanya
semakin tinggi pendidikan masyarakat harga jual suaranya semakin mahal, yang
seharusnya diberikan pendidikan atau sosialisasi politik uang yaitu peserta pemilu
itu sendiri sebagai (pemberi), karena pada hakekatnya masyarakat Indonesia
umumnya, khusunya Lampung hanya butuh kesejahteraan.

C. Golongan Putih (Golput)

Istilah golput baru muncul menjelang Pemilu yang dihelat pada 5 Juli 1971.
Pemilu itu adalah pesta demokrasi pertama di era Orde Baru. Kontestan partai
politik jauh lebih sedikit dari Pemilu 1955. Sejumlah parpol dibubarkan, seperti
Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi),
dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ada delapan parpol lama, satu parpol baru,
dan satu organisasi peserta Pemilu, yang ikut Pemilu 1971. Parpol lama antara
lain Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul
Ulama, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak
(Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI)m Persatuan Tarbiah Islamiah (Perti),
Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Sementara parpol baru
adalah Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Muncul juga Golongan Karya
(Golkar) untuk pertama kalinya sebagai peserta Pemilu.

Pada kemunculan pertamanya, istilah golput relatif merujuk sesuatu yang lebih
spesifik. Menurut Ekspres edisi 14 Juni 1971, golput adalah sebuah gerakan untuk
datang ke kotak suara dan menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar, bukan
gambarnya. Hal itu akan mengakibatkan suaranya jadi tidak sah, dan tak dihitung.
Jadi, para pemilih tetap pergi ke bilik suara.

Gerakan ini dikumandangkan para pemuda dan mahasiswa yang memprotes


penyelenggaraan Pemilu 1971. Mereka mendeklarasikan gerakan ini pada awal
Juni 1971, sebulan sebelum pemilu pertama Orba itu. Kelompok pemuda ini juga
membuat semacam simbol golput bikinan seniman Balai Budaya.Mereka lantas
memasang pamflet simbol tersebut di sejumlah titik di Jakarta. Sontak aksi ini
menimbulkan masalah pada pelaksanaan Pemilu 1971.

9
Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) menyatakan gerakan golput sebagai masalah
kecil. Dalam Ekspres, 14 Juni 1971, Bakin menyebut, mereka menggunakan versi
lama, dengan pelaku yang baru. Bakin mengendus, gerakan-gerakan yang muncul
berasal dari rasa tidak puas yang berasal dari gerakan bawah tanah untuk
mendiskreditkan pemerintah.

Tempo edisi 19 Juni 1971 menulis, deklarasi untuk “menjadi penonton yang baik”
kala Pemilu 1971 sudah dimulai sejak akhir Maret dan awal April 1971 oleh
Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), Max
Wajong. Namun, Max belum menyebut gerakan itu sebagai golongan putih.
Istilah golongan putih muncul beberapa waktu kemudian, melalui tulisan Imam
Walujo Sumali, bekas Ketua Ikatan Mahasiswa Kebayoran. Tempo edisi 19
Juni1971 melaporkan, Imam menulis artikel “Partai Kesebelas untuk Generasi
Muda” di harian KAMI edisi 12 Mei 1971. Tulisan itu dibuat setelah dua-tiga kali
berdiskusi dengan tokoh-tokoh parpol dan Golkar. Inti tulisan itu adalah gagasan
memunculkan partai kesebelas, selain sembilan parpol dan satu Golkar yang akan
bertarung di Pemilu 1971.

Partai tersebut dinamakan Imam sebagai Partai Putih, dengan gambar putih polos.
Di dalam tulisannya itu, Imam pun memberikan anjuran bagi yang memilih Partai
Putih dalam Pemilu 1971 agar menusuk bagian putih yang ada di sela-sela atau di
antara kesepuluh tanda gambar parpol dan Golkar. Bisa dikatakan, pencetus istilah
golongan putih adalah Imam. Dalam edisi 19 Juni 1971, Tempo melaporkan
gerakan ini menjadi membesar.

Sekelompok pemuda, seperti Arief Budiman, Imam Walujo, Husin Umar,


Marsilam Simandjuntak, Asmara Nababan, dan Julius Usman, yang menamakan
diri mereka Kelompok Oposisi, mulai bergerak. Lantas, Partai Putih, yang tanpa
tanda gambar bermetamorfosis menjadi golongan putih yang memiliki simbol
gambar segilima hitam di atas dasar putih polos. Tokoh sentral golput adalah
Arief Budiman, yang disebut Goenawan Mohamad sebagai “tukang protes
profesional”.

10
Menurut Goenawan, dalam tulisannya “Teater Arief Budiman; Sebuah Kritik”
dalam Tempo edisi 19 Juni 1971, meski sudah berusia 30 tahun, Arief masih ada
dalam lingkaran Mahasiswa Menggugat dan Komite Anti Korupsi, aktif pula di
Wartawan Generasi Muda. Dia pun menjadi salah seorang tokoh kunci golput.
Kala itu, Arief sudah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dia
memilih tak masuk ke dalam kekuasaan, seperti kawan-kawan lainnya sesama
aktivis 1966. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, pengertian golput sekarang
terhitung lebih lentur dibandingkan saat pertama kali muncul dalam Pemilu 1971.
Angka-angka di atas pun menggunakan pengertian yang lentur itu tadi, yang
menyamaratakan warga yang tidak memilih dengan kesadaran politis maupun
yang bukan.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan kelompok-


kelompok yang tidak direpresentasikan dengan baik oleh kedua kubu pasangan
calon presiden dan wakil presiden, mungkin memilih untuk golput. Di tahun 2014,
angka golput mencapai sekitar 30%, termasuk orang-orang yang tidak masuk
dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tidak mendapat undangan untuk memberi
hak suara. Pengacara publik LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan bahwa
golput adalah salah satu bentuk ekpresi politik dan merupakan hak warga negara.

Opsi untuk tidak memilih adalah pilihan dan ini adalah bagian dari ekpresi
kedaulatan rakyat. Hari ini, rakyat melihat tidak hanya pimpinan politiknya yang
tidak beres, tapi juga sistem politik yang harusnya menjamin prinsip-prinsip
demokrasi, menjamin persamaan di muka hukum, persamaan ekonomi, sosial, dan
budaya bagi masyarakat, bagi rakyat, itu tidak ada. Sikap golput, ujarnya.
dilindungi oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR),
UUD 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 515 Undang-
Undang No 7/2017 tentang Pemilihan Umum.Pasal ini berbunyi, setiap orang
yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan
uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp36.000.000,00

11
Sebanyak 1.707.747 masyarakat Provinsi Lampung masuk ke dalam golongan
putih (golput) atau masyarakat Lampung yang tidak menyalurkan hak suaranya
pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur dan wakil gubernur Provinsi
Lampung pada 27 Juni 2018 lalu. Sesuai dengan berita acara nomor: 273/PL.03.6-
BA/03/Prov/VII/2018 rapat rekapitulasi hasil penghitungan suara, dilakukan
penjumlahan data dari seluruh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi yang
tertuang dalam formulir model DC1-KWK jumlah pemilih dari DPT, DPPh dan
DPTb/KTP el/Surat Keterangan sebanyak 5.887.152 pemilih. Kemudian untuk
jumlah suara sah di 15 kabupaten/kota yakni 4.099.272 suara, sedangkan jumlah
suara tidak sah ada 80.133 suara. Kemudian untuk total surat suara sebanyak
4.179.405 suara. Peran KPU yaitu menekan angka golput dalam pemilu 2019
dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa pentingnya untuk
berpartisipasi dalam pemilu sebagai hak warga negara yang dijamin konstitusi.

Terutama kepada pemilih milenial yang jumlahnya meningkat. Solusi untuk


meningkatkan angka partisipasi dan menekan angka golput adalah bukan hanya
sekadar sosialisasi pada masyarakat tetapi kembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap proses demokrasi itu sendiri, dengan memberikan prosedural dan
subtansial pemilu sehingga menghasilkan pemimpin yang baik untuk keadilan dan
kesejahteraan rakyat, maka ketika kesejahteraan dan keadilan itu hadir,
kepercyaan masyarakat akan kembali.

D. Daftar Pemilih Tetap

Proses pembuatan DPT Data kependudukan yang berada di setiap kabupaten/kota


diserahkan ke KPU. Setelah melakukan perbaikan data, KPU membuat Daftar
Pemilih Sementara (DPS) berdasarkan data kependudukan ini. DPS diumumkan
di setiap wilayah untuk mendapatkan koreksi/masukan dari masyarakat. DPS
masih bisa diperbaiki jika masih ada kesalahan atau kekurangan. Terdapat petugas
di setiap kelurahan/desa yang akan menampung koreksi/masukan dari masyarakat.
Kesalahan yang dapat terjadi misalnya, kesalahan penulisan nama, tanggal lahir
atau elemen data lainnya.

12
Nama anggota masyarakat yang belum terdaftar padahal memiliki hak pilih, orang
yang sudah meninggal tetapi masih berada di dalam daftar atau kesalahan lainnya.
Setelah mengalami koreksi, DPS kemudian ditetapkan oleh KPU menjadi Daftar
Pemilih Tetap. Selanjutnya DPT yang digunakan dalam penyelenggaraan
Pemilihan umum, sebagai dasar petugas di TPS untuk menentukan seseorang
boleh ikut memilih atau tidak dan untuk menandai orang yang sudah memilih atau
belum. DPT juga menjadi dasar jumlah surat suara yang dicetak dan penentuan
jumlah TPS serta berbagai keperluan lainnya. Data-data mengenai jumlah pemilih
pemula beragam.

Dirjen Dukcapil Zudan Arif Farullah pernah menyebutkan, dalam Daftar


Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) terdapat pemilih pemula yang akan
berusia 17 tahun tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan 17 April 2019 sebanyak
5.035.887 jiwa. Data Ketua KPU Arif Budiman menyebutkan adanya potensi
pemilih pemula atau pemilih yang baru 17 tahun pada hari pemungutan suara
sebanyak lebih dari 7 juta. Dalam kesempatan lain Arif menyebut, ada sekitar 5
juta pemilih pemula yang sudah akan berusia 17 tahun dalam kurun waktu Januari
hingga April 2019. Sementara, Komsioner KPU Viryan Aziz menyebut, jumlah
pemilih pemula lebih kecil lagi yakni 1.262.878 jiwa.

Mengacu data pemilih versi Viryan, urutan 10 data pemilih pemula terbanyak
berturut-turut: Jawa Barat menempati urutan pertama dengan 212.749 jiwa dari
DPT 32.636.846 per 30 Agustus 2018; Jawa Timur sebanyak 174.558 jiwa dari
DPT 30.554.761 jiwa per 30 Agustus; Jawa Tengah 154.188 jiwa dari DPT
27.430.269 jiwa per 30 Agustus; Sumatera Utara 81.034 jiwa dari DPT 9.426.220
jiwa per 3 September; Sulawesi Selatan 50.497 jiwa dari DPT 5.972.161 jiwa per
1 September; Banten 46.260 jiwa dari DPT 7.452.971 jiwa per 29 Agustus;
Lampung 45.873 jiwa dari DPT 5.914.926 jiwa per 29 Agustus; Sumatera Selatan
40.697 jiwa dari DPT 5.821.160 jiwa per 29 Agustus; Nusa Tenggara Timur
35.257 jiwa dari DPT 3.289.174 jiwa per 31 Agustus; dan, DKI Jakarta 33.855
jiwa dari DPT 7.211.891 jiwa per 30 Agustus.

13
Pada pilkada Lampung 2018 Jumlah DPT 5.919.967, terjadi peningkatan jumlah
DPT Pemilu 2019 di Lampung mencapai 6.101.544 orang dengan rincian Laki-
laki: 3.113.938 dan Perempuan: 2.987.606 . Tersebar di 26.236 unit tempat
pemungutan suara, 2.640 desa/kelurahan, 228 kecamatan, dan 15 kabupaten/kota
se-Lampung. Daftar lengkap DPT di Provinsi Lampung :

1. Lampung Tengah
- Laki-laki: 484.890
- Perempuan: 466.128
- Total: 951.018

2. Lampung Timur
- Laki-laki: 403.286
- Perempuan: 391.445
- Total: 794.731

3. Lampung Selatan
- Laki-laki: 389.129
- Perempuan: 375.732
- Total: 764.861

4. Bandar Lampung
- Laki-laki: 324.718
- Perempuan: 321.527
- Total: 646.245

5. Tanggamus
- Laki-laki: 234.211
- Perempuan: 221.821
- Total: 456.032

14
6. Lampung Utara
- Laki-laki: 222.914
- Perempuan: 216.016
- Total: 438.930

7. Way Kanan
- Laki-laki: 174.080
- Perempuan: 166.870
- Total: 340.950

8. Pesawaran
- Laki-laki: 170.217
- Perempuan: 161.545
- Total: 331.762

9. Pringsewu
- Laki-laki: 152.763
- Perempuan: 144.592
- Total: 297.355

10. Tulangbawang
- Laki-laki: 149.703
- Perempuan: 138.717
- Total: 288.420

11. Lampung Barat


- Laki-laki: 110.992
- Perempuan: 100.894
- Total: 211.886

12. Tulangbawang Barat


- Laki-laki: 100.942
- Perempuan: 96.343
- Total: 197.285

15
13. Mesuji
- Laki-laki: 80.383
- Perempuan: 74.615
- Total: 154.998

14. Metro
- Laki-laki: 56.796
- Perempuan: 57.797
- Total: 114.593

15. Pesisir Barat


- Laki-laki: 58.914
- Perempuan: 53.564
- Total: 112.478

Untuk Permasalahan DPT Ketua Bawaslu Lampung Fatikhatul Khoiriyah


mengungkap ada 54.943 data bermasalah dalam DPT Pemilu 2019 di 15
kabupaten/kota di Lampung. Data bermasalah itu termasuk data ganda calon
pemilih. Berikut ini jumlah data bermasalah per kabupaten/kota dalam DPT
Pemilu 2019 di Lampung.

- Bandar Lampung: 2.870


- Tulangbawang Barat: 157
- Tulangbawang: 4.946
- Way Kanan: 1.634
- Mesuji: 12.231
- Pringsewu: 2.630
- Pesawaran: 1.272
- Pesisir Barat: 27
- Lamteng: 891
- Lamsel: 6.445
- Lambar: 281
- Metro: 224

16
- Lampura: 6.377
- Lamtim: 7.491
- Tanggamus: 7.467
- Total: 54.943

Masih banyaknya DPT yang bermasalah menjadi PR bagi penyelenggara pemilu


untuk segera memperbaiki daftar pemilih tetap. Sehingga proses pemilu 2019
nanti berjalan dengan baik dan lancar. Demokrasi subtansial terwujud dalam
pemilu karena hak warga negara untuk memilih yang telah dijamin konstitusi
dilaksanakan dengan baik. Solusinya itu ada di kinerja penyelenggara KPU itu
sendiri.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Aliansi Mahasiswa Kawal Pemilu memiliki tanggung jawab untuk memberikan


kontribusinya dalam perubahan di masyarakat. Khususnya untuk Lampung dalam
menghadapi pemilu 2019, melihat data yang telah paparkan di atas Aliansi
Mahasiswa Kawal Pemilu mengambil peran sebagai pergerakan mahasiswa
sebagai mitra kritis penyelenggara pemilu ( KPU dan Bawaslu). Ada beberapa hal
yang menjadi bahasan dalam kajian ini dalam mengawal permasalahan pemilu
politik identitas, politik uang, golput dan DPT yang masih banyak bermasalah.

Politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-


kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan
identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau
keagamaan. Apabila politik identitas yang di kedepankan maka dapat
menimbulkan konflik antar masyarakat yang terpolarisasi. Politik uang adalah
sebuah bentuk pelanggaran kampanye yang mencerdai demokrasi. Politik uang
dapat merusak kualitas demokrasi kita, bukannya partisipasi masyarakat
meningkat, malah mobilisasi pemilik kepentingan yang tinggi. Golongan Putih
merupakan sebuah pilihan seseorang yang sudah apatis terhadap pemilu, karena
sudah tidak lagi memiliki rasa kepercayaan terhadap jalannya proses pemilu.
Karena beranggapan bahwa siapapun yang terpilih tidak akan berdampak
padanya. Permasalahan DPT pun masih saja terjadi untuk provinsi Lampung
sendiri 54.943 data bermasalah dalam DPT Pemilu 2019 di 15 kabupaten/kota di
Lampung.

18
B. Saran dan Tuntutan

Untuk menekan angka permasalahan di atas dan untuk mewujudkan pemilu cerdas
maka ada beberapa hal yang akan disepakati anatara Aliansi Mahasiswa Kawal
Pemilu dengan Bawaslu Provinsi Lampung sebagai penyelenggara pemilu, yaitu :

1. Mengurangi kecurangan pemilu 2019 di Provinsi Lampung.


2. Melaksanakan transparansi publik, yaitu anggaran penyelenggara pemilu
Bawaslu Provinsi Lampung.
3. Menindak tegas segala bentuk pelanggaran administrasi dan pidana pemilu
2019.
4. Menekan konflik akibat politik identitas.

19
Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar 1945.


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Gaffar M, Jendjri, 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Kontitusi Press,


Jakarta.

Maarif, Ahmad Syafii. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta,
Democracy Project, 2012.

Jamuin, M. 2004. Resolusi Konfik antar Etnik dan Agama, Ciscore, Solo.

Maarif, A. S. 2012. Politik identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita,


Democracy Project, Jakarta.

Budiawan. 2019. Angka Golput Pemilu.


https://news.detik.com/berita/2578828/dibanding-tahun-2009-angka-golput-
pemilu-2014-lebih-rendah (Diakses padaPada: Kamis,3 Maret 2019)

Kartiko, K. H. Pemilu Serentak Langkah Awal Menuju Demokrasi Substansial.


Tenaga Profesional Bidang Hukum Lemhannas RI.
http://mediaindonesia.com/read/detail/142215-pemilu-serentak-langkah-
awal-menuju-demokrasi-substansial (Diakses padaPada: Kamis, 1 Maret
2019)

Setiawan, H. 2019. Tujuan Pemilu Yang Harus dipahami.


https://www.liputan6.com/citizen6/read/3871545/ini-tujuan-pemilu-yang-
harus-kamu-pahami-biar-nggak-golput-atau-asal-pilih (Diakses padaPada:
Kamis, 1 Maret 2019)

Andika. 2019. Politik Uang. Penerima Tak Dikenakan Sanksi. Ini Hukuman untuk
Pemberi. http://jambi.tribunnews.com/2018/11/19/politik-uang-penerima-

20
tak-dikenakan-sanksi-ini-hukuman-untuk-pemberi. (Diakses padaPada:
Kamis, 1 Maret 2019)

Yulianto , B. 2019. Bawaslu Lampung Temukan 54.943 Data Bermasalah pada


Daftar Pemilih Tetap Pemilu 2019.
http://lampung.tribunnews.com/2018/09/11/bawaslu-lampung-temukan-
54943-data-bermasalah-pada-daftar-pemilih-tetap-pemilu-2019. (Diakses
padaPada: Kamis, 1 Maret 2019)

Editor: Amiruddin Sormin Jumat, 29 Maret 2019 | 09:05 AM


https://lampungpro.com/post/19123/pemilu-2019-wakapolda-sebut-9-tps-
rawan-di-lampung-selatan

Editor : Mita Wijayanti, Selasa, 2 April 2019


https://www.kupastuntas.co/2019/04/02/ratusan-tps-di-provinsi-lampung-
rawan-konflik/

Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Total Pemilih Pemilu
2019 di Lampung 6.101.544, Ada Tambahan 3,7%,
http://lampung.tribunnews.com/2018/11/13/total-pemilih-pemilu-2019-di-
lampung-6101544-ada-tambahan-37?page=3.
Penulis: Beni Yulianto
Editor: yoso

Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul "Bagaimana Golput Muncul Pertama


Kali dalam Sejarah Indonesia?", https://tirto.id/bagaimana-golput-muncul-
pertama-kali-dalam-sejarah-indonesia-cS9E.

21

Vous aimerez peut-être aussi