Vous êtes sur la page 1sur 7

A.

Adab seorang murid


Didalam kitab yang berjudul : “Mensucikan Jiwa“ yang merupakan intisari Ihya’ Ulumuddin
oleh Sa’id Hawwa dijelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada sepuluh adab dan
tugas(wazhifah)seorang murid,diantaranya:

Pertama : Mendahulukan kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak dan keburukan sifat,
karena ilmu adalah ibadahnya hati, sholatnya jiwa, dan peribadatan bathin kepada Allah.
Sebagaimana sholat yang merupakan tugas anggota badan yang zhahir, tidak sah kecuali dengan
mensucikan yang zhahir itu dari hadats dan najis. Demikian pula ibadah bathin dan
menyemarakkan hati dengan ilmu tidak sah kecuali setelah benar-benar bersih dari berbagai
kotoran akhlak dan najis-najis sifat baik yang besar maupun yang kecil.
Allah berfirman : “ Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis “ . ( Q.S. At-Taubah : 28 ),
mengingatkan kepada akal bahwa kesucian dan kekotoran tidak khusus pada hal-hal yang
lahiriah. Seorang musyrik bisa menjadi bersih pakaian dan badan tetapi batinnya najis. Najis
ialah ungkapan tentang sesuatu yang harus dijauhi dan dihindari. Sedangkan kotoran sifat lebih
penting untuk dijauhi karena ia disamping kotor secara langsung juga pada akhirnya
menghancurkan.

Kedua : Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena ikatan-ikatan itu


menyibukkan dan memalingkan. Allah berfirman : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya “. (Q.S, Al-Ahzab : 4).
Jika fikiran terpecah maka tidak akan bisa mengetahui berbagai hakikat. Oleh karena itu
dikatakan : “Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagiannya sebelum kamu menyerahkan
kepadanya seluruh jiwamu. Jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya tetapi ia
baru memberikan sebagiannya kepadamu maka kamu berarti dalam bahaya.” Fikiran yang
terpencar pada berbagai hal yang berserakan adalah seperti sungai kecil yang airnya berpencar
kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian lagi dihisap udara sehingga tidak ada yang
terkumpul dan sampai keladang tanaman.

Ketiga : Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidak bertindak sewenang-
wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya kepadanya dan
mematuhi nasehatnya seperti orang sakit yang harus mematuhi nasehat dokter yang penuh kasih
sayang dan mahir. Hendaklah ia bersikap tawadhu’ kepada gurunya dan mencari pahala dan
ganjaran dengan berkhidmat kepadanya. Asy-Sya’bi berkata : “Zaid bin Tsabit menshalatkan
jenazah, lalu baghalnya didekatkan kepadanya untuk ditunggangi, kemudian Ibnu Abbas segera
mengambil kendali baghal itu dan menuntunnya. Maka Zaid berkata : “Lepaskan wahai anak
paman Rasulullah !” Ibnu Abbas menjawab : “Beginilah kami diperintahkan untuk melakukan
kepada para ulama dan tokoh “. Kemudian Zaid bin Tsabit mencium tangannya seraya berkata :
“Beginilah kami diperintahkan untuk melakukan kepada para kerabat-kerabat Nabi kami
rasullullah SAW“.

Oleh karena itu, penuntut ilmu tidak boleh bersikap sombong terhadap guru. Diantara bentuk
kesombongannya terhadap guru ialah sikaf tidak mahu mengambil manfaat (ilmu) kecuali dari
orang-orang besar yang terkenal ; padahal sikaf ini merupakan kebodohan. Karena ilmu
merupakan faktor penyebab keselamatan dan kebahagiaan. Siapa yang mencari tempat pelarian
dari binatang buas yang berbahaya maka ia tidak akan membeda-bedakan antara diberitahukan
oleh orang yang terkenal ataukah orang yang tidak tenar. Ilmu pengetahuan adalah barang milik
kaum Muslimin yang hilang, ia harus memungutnya dimana saja ditemukan, dan merasa
berhutang budi kepada orang yang membawanya kepada dirinya siapapun orangnya. Oleh sebab
itu dikatakan : “Ilmu enggan tehadap pemuda yang congkak. Seperti banjir enggan terhadap
tempat yang tinggi”. Ilmu tidak bisa didapat kecuali dengan tawadhu’ dan menggunakan
pendengaran (berkonsentrasi). Allah berfirman : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. “ (Q.S. Qaaf :37).

Arti “mempunyai akal” ialah menerima ilmu dengan faham, kemudian kemampuan
memahami itu tidak akan bisa membantunya sebelum ia “menggunakan pendengarannya sedang
ia menyaksikan” dengan hati yang sepenuhnya hadir untuk menerima setiap hal yang
disampaikan kepadanya dengan konsentrasi yang baik, tawadhu’, syukur, memberi dan
menerima karunia. Hendaklah murid bersikap kepada gurunya seperti tanah gembur yang
menerima hujan deras kemudian menyerap semua bagian-bagiannya dan tunduk sepenuhnya
untuk menerimanya. Bagaimanapun cara mengajar yang diterapkan seorang guru maka
hendaklah ia mengikutinya dan meninggalkan pendapat pribadinya karena kesalahan
pembimbingnya lebih bermanpaat baginya ketimbang kebenaran dirinya sendiri. Karena
pengalaman memberitahukan hal-hal yang detil dan rumit yang kedengarannya aneh tetapi
sangat besar manpaatnya. Ali ra. berkata : “Diantara hak seorang guru ialah kamu tidak banyak
bertanya kepadanya, tidak merepotkannya dalam memberi jawaban, tidak mendesaknya apabila
ia malas, tidak memegangi kainnya apabila ia bangkit, tidak menyebarkan rahasinya, tidak
menggunjing seseorang dihadapannya, dan tidak mencari-cari kesalahannya ; jika ia tergelincir
maka kamu terima alasannya. Kamu juga harus menghormatinya dan memuliakannya karena
Allah selama ia tetap menjaga perintah Allah, dan tidak duduk dihadapannya sekalipun kamu
ingin mendahului orang dalam berkhidmat memenuhikeperluannya.”

Keempat : Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari
mendengarkan perselisihan diantara manusia, baik apa yang ditekuninya itu termasuk ilmu dunia
ataupun ilmu akhirat. Karena hal itu akan membingungkan akal fikirannya, dan membuatnya
putus asa dari melakukan pengkajian dan tela’ah mendalam, bahkan pertama kali ia harus
menguasai satu jalan yang terpuji dan memuaskan kemudian setelah itu baru mendengarkan
berbagai madzhab (pendapat)yang ada untuk di pertimbangakan manayang terbaik.
Kelima : Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji,
atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertimbangkan matang-matang dan
memperhatikan tujuan dan maksudnya. Kemudian jika usianya mendukung maka ia harus
berusaha mendalaminya, tetapi jika tidak maka ia harus menekuni yang paling penting
diantaranya dan mencukupkan diri dengannya. Karena ilmu pengetahuan saling mendukung dan
saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Ia juga harus berusaha dengan segera untuk tidak
memusuhi ilmu tersebut dikarenakan kebodohannya, sebab manusia memusuhi apa yang tidak
diketahui, Allah berfirman : “Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka
mereka akan berkata : “Ini adalah dusta yang lama”. (Q.S. Al-Ahqaf:11).

Keenam : Tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus tetapi menjaga urutan dan
dimulai dengan yang paling penting, Karena apabila usia, pada ghalibnya, tidak memadai untuk
mendapatkan semua ilmu maka seyogyanya ia mengambil yang terbaik dari segala sesuatu dan
mencurahkan segenap kekuatannya pada ilmu yang mudah dipelajari sampai menyempurnakan
ilmu yang paling mulia yaitu ilmu akhirat. Secara umum, ilmu yang paling mulia dan puncaknya
ialah pengenalan Allah (ma’rifatullah) azza wajalla. Ia adalah lautan yang tidak diketahui
kedalamannya, dan puncak derajat manusia dalam hal itu adalah tingkatan para Nabi kemudian
para Wali kemudian orang-orang yang dibawah mereka.

Ketujuh : Hendaklah tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu
yang sebelumnya; karena ilmu tersusun secara teratur, sebagiannya merupakan jalan bagi
sebagian yang lain. Orang yang mendapat taufiq ialah orang yang menjaga urutan dan
pentahapan tersebut. Hendaklah tujuannya dalam setiap ilmu yang dicarinya adalah peningkatan
kepada apa yang berada diatasnya. Oleh sebab itu, ia tidak boleh menilai tidak benar suatu ilmu
karena ada penyimpangan dikalangan orang-orang yang menekuninya, atau karena kesalahan
salah seorang atau beberapa orang dalam ilmu itu, atau karena pelanggaran mereka terhadap
konsekwensi amaliah dari ilmu mereka. Sehingga ada sekelompok orang yang tidak mahu
melakukan kajian dalam masalah ‘aqliyah danfiqhiyah dengan alasan seandainya punya dasar
niscaya sudah dicapai oleh para ahlinya. Ada juga sekelompok orang yang meyakini kebatilan
ilmu kedokteran hanya karena mereka pernah menyaksikan kesalahan yang dilakukan oleh
seorang dokter. Adapula sekelompok yang meyakini kebenaran ramalan perbintangan
(perdukunan) hanya karena adanya kesesuaian yang pernah dibuktikan oleh seseorang yang
sebenarnya hanya ramalan belaka yang belum tentu benar adanya.

Kedelapan : Hendaklah mengetahui faktor penyebab yang dengannya ia bisa mengetahui ilmu
yang paling mulia. Apa yang dimaksudkannya adalah dua hal ; pertama kemuliaan hasil; dan
kedua kekokohan dan kekuatan dalil. Ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan ilmu tentang jalan yang
mengantarkan kepada ilmu-ilmu ini yang akan menyelamatkan ia dari jalan-jalan yang
menyesatkan.

Kesembilan : Hendaklah tujuan murid di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik
batinnya dengan keutamaan, dan di akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan
orang-orang yang didekatkan (muqarrobin). Hendaklah murid tidak bertujuan untuk
mendapatkan kekuasaan , harta, dan pangkat, atau untuk mengelabui orang-orang bodoh dan
membanggakan diri kepada sesama orang yang berilmu. Disamping itu, ia tidak boleh
meremehkan semua ilmu, yakni ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang berkaitan denga al-
Qur’an dan as-Sunnah dan ilmu-ilmu lainnya yang merupkan fardhu kifayah. Dan barangsiapa
dengan ilmunya bermaksud untuk mencari ridho Allah maka pasti ilmu itu akan bermapaat
baginya dan mengangkat derajatnya.

Kesepuluh : Hendaklah mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan agar supaya mengutamakan
yang tinggi lagi dekat daripada yang jauh, dan yang penting daripada yang lainnya. Arti “yang
penting” ialah apa yang menjadi kepentingan anda ; tidak ada yang menjadi kepentingan anda
kecuali urusan dunia dan akhirat.

B. Adab Murid Terhadap Guru

Kemudian dijelaskan mengenai adab-adab seorang murid terhadap Gurunya (Mursyidnya)


yang diambil dari kitab : ’Awaarif Al-Ma’aarif karya Syeikh Syihaabuddin ‘Umar Suhrawardi
diantaranya ada lima belas, sebagai berikut:

Pertama : Keyakinan penuh pada Mursyid dalam ajaran, bimbingan, dan penyuciannya atas
diri murid-muridnya. Jika ia memandang orang lain lebih sempurna, maka ikatan cinta pun
melemah, dan ucapan mursyid tak banyak berpengaruh pada diri sang murid. Sebab, sarana yang
diperlukan agar segenap ucapan dan tindakan mursyid bisa berpengaruh adalah cinta. Jika kadar
cintanya besar, maka kesiapannya untuk menerima perintah mursyid pun besarpula.

Kedua : Ketetapan hati yang sempurna untuk mendatangi Mursyid. Ia harus mengatakan
kepada dirinya sendiri bahwa tanpa mendatangi mursyid, tak bakal ada pintu terbuka. Jadi, di
depan pintu gerbang mursyid, ia harus berniat menyerahkan hidupnya dan mencapai tujuan.
Tandanya adalah bahwa ia tidak menolak dibimbing dan diarahkan oleh mursyid.

Ketiga : Mematuhi perintah Mursyid. Dengan segenap jiwa dan raganya sang murid harus
mengakui kekuasaan mursyid dan mematuhi semua perintahnya. Sebab, tanpa ini, tidak akan ada
yang bisa diraih dan ketulusan tidak bisa diketahui.

Keempat : Tidak melawan. Seorang murid, baik secara lahir maupun batin, tidak boleh
melawan kewibawaan mursyidnya. Jika ada sesuatu pada diri mursyid yang tidak bisa
dipahaminya, dan kebenarannya belum ia mengerti, maka ia harus selalu mengingat kisah Nabi
Musa AS dan Nabi Khidhir AS. Meskipun memiliki kekuasaan kenabian, pengetahuan, dan
cintanya yang besar, Nabi Musa AS tidak bersedia mematuhi perintah-perintah Nabi Khidhir AS.
Sesudah berbagai misteri berikut hikmahnya diungkapkan, Nabi Musa AS bersediamematuhinya.

Kelima : Menafikan kehendak dan keinginannya sendiri. Seorang murid tidak boleh memulai
segala sesuatu, sebagian atau seluruhnya, tanpa menyesuaikannya dengan keinginan mursyidnya.

Keenam : Selalu menghargai pemikiran sang mursyid. Seorang murid tidak boleh melakukan
apapun yang dibenci oleh mursyid, walaupun dianggap persoalan kecil.

Ketujuh : Mengacu pada pengetahuan mursyid dalam menjelaskan makna berbagai macam
mimpi. Dalam menjelaskan makna berbagai macam mimpi, entah dalam keadaan tidur maupun
terjaga, ia harus mengacu pada pengetahuan mursyid. Sebab, mungkin saja, mimpi itu hanyalah
ungkapan dari hasrat buruk yang terpendam sehingga bisa membahayakan dirinya. Ia harus
menyampaikannya kepada mursyid agar bisa dimengerti dan dipahami.

Kedelapan : Menghormati ucapan mursyid. Seorang murid haruslah memahami bahwa lidah
mursyid adalah mata rantai kehendak Allah. Ia haruslah yakin bahwa mursyid adalah juru bicara
Allah dan bukan juru bicara hawa nafsu. Ia harus berpandangan bahwa hati mursyid laksana
lautan yang luas dan berisi mutiara pengetahuan, permata ma’rifat, dan selalu ditiup oleh angin
rahmat dari Zat Maha Abadi, yang menyisakan sebagian mutiara dan permata itu dibibir pantai
lidahnya. Tidak ada ucapan mursyid yang sia-sia, dan tidak berguna bagi kemajuan muridnya.
Di antara ucapan mursyid dan keadan dirinya, ia harus menempuh jalan yang tepat serta bergaul
dengannya. Di depan pintu gerbang kerajaan Allah, dengan bekal lidah kesiapan,. ia harus
mencari ketulusan. Sesuai dengan kesiapannya ini, akhirnya ia tiba di tujuan. Hanya dengan
berbekal kemunafikan dan pengetahuannya sendiri semata, ia tidak akan pernah sampai kepada-
Nya. Karena dorongan hawa nafsunya, ia akan semakin jauh dari dirinya sendiri, dan tidak bisa
mendengar ucapan dan kata-kata mursyidnya.

Kesembilan : Merendahkan suara. Di hadapan mursyid, seorang murid tidak boleh


mengeraskan suaranya. Sebab, jika ia mengeraskan suaranya, maka ini berarti bahwa ia telah
bersikap tidak sopan dan menghilangkan martabatnya sendiri. Al-Qur'an mencela suara yang
terlalu keras atau terlalu lemah sehingga tidak terdengar.

Kesepuluh : Menahan diri dari tindakan di luar batas. Sang murid menempuh jalan
kegembiraan bersama mursyid bukan karena kata-kata atau perbuatan belaka. Dengan
kegembiraan, hijab kemuliaan atau kehormatan terkoyak, dan pintu berkah pun tertutup. Ia mesti
mengucapkan, “Wahai Junjunganku ! Wahai Pemimpinku !” Semula, para sahabat biasa
memanggil Nabi Muhammad secara tidak sopan tanpa sebutan kehormatan dengan mengatakan :
“Wahai Muhammad ! Wahai Ahmad !” Kemudian turunlah perintah Allah yang mencela
mereka. Selanjutnya, mereka mengucapkan “Ya Rasulullah !” Di hadapan mursyid, seorang
murid tidak boleh membentangkan sajadahnya kecuali pada waktu shalat, tidak bergerak dan
berteriak selama melakukan dzikir, dan harus menahan diri agar tidak bergerak dantertawa-tawa.

Kesebelas : Mengetahui waktu yang tepat untuk bicara. Ketika murid ingin berbicara kepada
mursyidnya tentang masalah iman atau urusan diniawi yang penting, pertama-tama ia harus
memastikan apakah mursyid punya waktu luang. Ia tidak boleh terlalu terburu-buru dan bicara
kasar sewaktu mendekati mursyidnya. Sebelum berbicara, ia harus menunjukkan kerendahan
hati, tenang dalam berucap dan jangan terlalu banyak bertanya.

Kedua belas : Menjaga batas kehormatannya sendiri. Sewaktu bertanya kepada mursyid, ia
harus menjaga kehormatannya dan karena keadaannya sendiri, tidak perlu berusaha mengetahui
segenap keadaan mursyid yang mungkin tidak ia ketahui. Ia tidak boleh berbicara suatu masalah
yang bukan menjadi bagian dari kedudukan (maqam) atau keadaan mistis (hal)-nya. Ia juga tidak
boleh bertanya banyak tentang berbagai persoalan penting dari keadaan yang dialaminya sendiri.
Kata-kata yang bermanfaat adalah yang mereka ucapkan hingga dipahami oleh pendengar. Dan
pertanyaan yang bermanfaat adalah yang sesuai dengan tingkatan pendengar sehingga pedengar
mudah memahaminya.

Ketiga belas : Mampu menjaga rahasia-rahasia mursyid. Sang murid tidak diizinkan
mengungkapkan dan menceritakan setiap keadaan (entah berupa keajaiban, mimpi, dan
sebagainya) yang dirahasiakan oleh mursyid. Sebab, dengan menyembunyikannya, sang mursyid
beroleh manfaat dalam keimanan dan kehidupan duiawi yang tidak bisa dicapai oleh ilmunya.
Sebaliknya, dengan mengungkapkannya, akan ada bahaya besar yang dapat ditimbulkan.

Keempat belas : Mengungkapkan berbagai rahasianya sendiri kepada mursyid. Kepada


mursyidnya, seorang murid tidak boleh menyembunyikan rahasia-rahasianya. Setiap kejaiaban
dan anugerah yang diberikan Allah kepadanya harus segera diceritakan kepada mursyidnya
untuk memperoleh penjelasan dan penilaian dari mursyid.

Kelima belas : Berbicara kepada mursyid sesuai dengan kadar pemahaman pendengar
lainnya. Seorang murid tidak boleh mengemukakan masalah yang tak bisa dipahami atau tidak
dimengerti pendengar lainnya. Sebab, tidak diperoleh manfaat dari ucapan seperti itu dan
mungkin juga bisa melemahkan kepercayaan pendengar kepada mursyid.

Jika murid mengamalkan adab-adab tersebut diatas, maka tujuan yang dicapainya (yang
diperolehnya dari Rahmat Agung Allah dan turunnya berkah Ilahi tak terhingga jumlahnya)
menjadi jelas secara tersurat maupun tersirat dalam majelis yang diadakan oleh mursyid

Dalam dunia pendidikan islam khususnya pembelajaran, telah banyak ulama merumuskan
konsep kurikulum, metodologi bahkan sampai kaifiyyah (cara) implementasi keilmuan yang
menjadi intisari dari proses pembelajaran. Bahkan secara kualitas tampak jelas akan hasilnya
kepada objek dalam hal ini murid. Melihat uraian hal di atas, para ulama salaf menawarkan
konsepnya dengan penuh bijak. Kalau kita telita sangat erat sekali hubungan seorang murid
kepada gurunya tidak hanya secara lahiriyah saja, namun mencakup bathiniyyah. Hal ini tentu
berbeda dengan realita pendidikan yang ada khususnya dalam kenal dimana hanya
mengedepankan intelektual dan formalitas dengan menafikan unsure-unsur yang lain. Tentu hal
tersebut perlu ditelaah kembali.

Daftar Pustaka:

1. Syaikh Zarnuji, Ta’lim Muta’alim.


2. Syeikh Syihaabuddin ‘Umar Suhrawardi, ’Awaarif Al-Ma’aarif.

3. Sa’id Hawwa, mensucikan jiwa, sebuah intisari kitab Ihya Ulumuddin

Vous aimerez peut-être aussi