Vous êtes sur la page 1sur 28

Tinjauan Literatur

Angiogenesis in Burn

PROGRAM PENDIDIKAN S2 BIOMEDIK

KONSENTRASI ANTI AGING MEDICINE ANGKATAN XVIII

Kelompok :

Monika Indriani Kurnianto 1880721004


Julia Florencia 1880721005
Theresia Wulansari 1880721006
Diany Natasha 1880721007
Kezia Natania 1880721011
Rizki Rahmania Ramadhani 1880721016
Vany Novanty 1880721018
Claudia Natalia Zachawerus 1880721021
Dona Yunika Bangun 1880721029
Milhanah 1880721030
PENDAHULUAN

Luka bakar dapat dialami oleh siapa saja dan dapat terjadi dimana saja baik di rumah,
tempat kerja bahkan di jalan atau tempat-tempat lain. Penyebab luka bakar pun
bermacam-macam bisa berupa api, cairan panas bahkan bahan kimia, aliran listrik, dan
lain-lain. Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman
luka bakar. Walaupun demikian beratnya luka bakar tergantung pada dalam, luas, dan daerah
luka. Luka bakar yang terjadi dapat menimbulkan kondisi kerusakan kulit selain itu juga
dapat mempengaruhi berbagai sistem tubuh. Penderita luka bakar memerlukan
perawatan secara khusus karena luka bakar berbeda dengan luka tubuh lain (seperti
luka tusuk, tembak, sayatan, dan lain-lain). Hal ini disebabkan karena pada luka bakar sering
terdapat keadaan seperti ditempati kuman dengan patogenesis tinggi, terdapat banyak
jaringan mati, mengeluarkan banyak air dan serum, terbuka untuk waktu yang lama (mudah
terinfeksi dan terkena trauma), serta memerlukan jaringan untuk menutup. Dalamnya
luka bakar akan mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel.1

Penyembuhan luka adalah suatu proses kompleks yang melibatkan banyak sel. Proses
tersebut dikatakan kompleks karena terdiri atas beberapa fase yaitu fase koagulasi, fase
inflamasi, fase proliferasi, dan fase remodeling. Salah satu proses penting dalam
penyembuhan luka adalah angiogenesis. Angiogenesis yang termasuk dalam fase proliferasi
adalah pembentukan pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya.
Sel endotel yang melapisi bagian dalam pembuluh darah merupakan selsel target regulator
angiogenik. Sel endotel yang terangsang akan memproduksi matrix metalloproteinases yang
mendegradasi basement membrane dan extracellular matrix (ECM), menstimulasi migrasi
dan proliferasi sel endotel, mensekresi dan diferensiasi kolagen yang menghasilkan
pembentukan tunas dan akhirnya terjadilah pembentukan pembuluh darah baru. Kegagalan
pada salah satu fase penyembuhan terutama dalam proses angiogenesis mengakibatkan luka
gagal sembuh secara penuh serta mengakibatkan terjadinya luka kronis.2
LUKA BAKAR

A. DEFINISI
Luka bakar adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau terpapar
dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (elektrik), atau zat kimia (chemical).1,8

B. ETIOLOGI
Luka bakar dikategorikan menurut mekanisme terjadinya meliputi:
1. Luka Bakar Thermal
Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan
api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.
2. Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan karena terjadi kontak jaringan kulit
dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan
banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini.
Contoh luka bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat – zat
pembersih yang sering dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan berbagai
zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer. Lebih dari
25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
3. Luka Bakar Elektrik
Luka bakar elektrik (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi
listrik yang dihantarkan melalui tubuh.
4. Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan adanya paparan dari sumber radioaktif. Tipe luka
ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari
sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh
sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe
luka bakar radiasi.8
C. DERAJAT LUKA BAKAR

Menurut Jackson (1947), luka bakar terbagi menjadi tiga zona, yaitu:1,8

1. Zona Koagulasi
Merupakan area yang paling banyak mengalami kerusakan. Kerusakan yang
terjadi pada zona ini merupakan kerusakan jaringan yang ireversibel akibat
koagulasi protein.
2. Zona Stasis
Ditandai dengan berkurangnya perfusi jaringan. Jaringan pada zona ini bisa
diselamatkan. Tujuan utama resusitasi pada zona ini adalah untuk
meningkatkan perfusi jaringan dan mencegah terjadinya kerusakan yang
ireversibel. Jika terjadi hipotensi yang lama, infeksi, atau edema pada zona ini,
maka dapat terjadi kehilangan jaringan yang luas
3. Zona hiperemia
Merupakan zona paling luar, dimana perfusi jaringan meningkat. Pada zona
ini, jaringan bisa kembali normal selama tidak terjadi sepsis yang berat atau
hipoperfusi yang lama.

Gambar 1. Zona luka bakar menurut Jackson (1947) 8


Derajat Luka Bakar sendiri terbagi menjadi:

a. Luka bakar derajat I

Gambar 2. Luka bakar derajat I 1,8

Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superfisial), kulit kering dan eritema,
dapat dijumpai nyeri karena ujung –ujung syaraf sensorik teriritasi, dan
penyembuhannya terjadi secara spontan dalam waktu 5 -10 hari.1,8

b. Luka bakar derajat II

Gambar 3. Luka bakar derajat II 1,8

Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagian lapisan dermis.
Terdapat reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai pula pembentukan
scar dan terjadi nyeri karena ujung syaraf sensorik teriritasi. Dasar luka berwarna
merah atau pucat. Sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal.

Luka bakar derajat II juga dibagi lagi menjadi:

I. Derajat II Dangkal (Superficial)

 Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.


 Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
masih utuh.
 Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan luka bakar
pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan mungkin terdiagnosa
sebagai derajat II superficial setelah 12-24 jam
 Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah muda dan basah.
 Jarang menyebabkan hypertrophic scar.
 Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara spontan kurang
dari 3 minggu.

II. Derajat II dalam (Deep)

 Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis


 Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar keringat,kelenjar
sebasea sebagian besar masih utuh.
 Penyembuhan terjadi lebih lama.
 Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya tanpak berwarna
merah muda dan putih segera setelah terjadi cedera (daerah yang berwarna
putih mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada sama sekali,
daerah yg berwarna merah muda mengindikasikan masih ada beberapa aliran
darah ).
 Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3 -9 minggu

c. Luka bakar derajat III

Gambar 4. Luka bakar derajat III 1,8

Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis. Tidak dijumpai bula, apendises kulit
rusak, kulit yang terbakar berwarna putih dan pucat. Karena kering, letak nya lebih
rendah dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang
dikenal sebagai scar. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung –
ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian. Penyembuhan lebih
lama dan terbentuk scar. Terkadang diperlukan eksisi .

d. Luka bakar derajat IV

Luka telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya kerusakan
yang luas. Kerusakan meliputi seluruh dermis, organ-organ kulit seperti folikel
rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat mengalami kerusakan. Tidak
dijumpai bula, kulit yang terbakar berwarna hitam. Ditemukan adanya koagulasi
protein pada epidemis dan dermis yang dikenal sebagai scar. Tidak dijumpai rasa
nyeri dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan
dan kematian. Penyembuhannya terjadi lebih lama dan terkadang diperlukan eksisi
pada kulit yang terbakar. 1,8

Gambar 5. Klasifikasi Luka bakar 1,8

D. EFEK PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR

Respon Sistemik Pada Luka Bakar

Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi pada luka bakar mempunyai efek sistemik
ketika luka bakar mencapai 30% dari total body surface area.8
Perubahan Kardiovaskular

Permeabilitas kapiler meningkat yang menyebabkan keluarnya protein intravaskular


dan cairan menuju kompartemen interstisial. Terjadi vasokontriksi perifer.
Menurunnya kontraktil jantung dan menghilangnya cairan dari luka bakar
menyebabkan terjadinya hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ.8

Perubahan Sistem Respirasi

Mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi, dan pada luka bakar berat pada
dewasa dapat terjadi respiratory distress syndrome.

Perubahan sistem Imun

Fungsi sistem imun mengalami depresi. Depresi pada aktivitas limfosit, penurunan
produksi immunoglobulin, supresi aktivitas komplemen dan perubahan/gangguan
pada fungsi netrofil dan makrofag dapat terjadi pada luka bakar yang luas. Perubahan-
perubahan ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam
kelangsungan hidup pasien.8
Gambar 6. Akibat dari luka bakar 8

E. FASE PENYEMBUHAN LUKA (WOUND HEALING)

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan
dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda
asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses
penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan
perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh,
melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu
untuk meningkatkan penyembuhan jaringan.3,7
Gambar 7. Fase penyembuhan luka bakar 3,7,8

Gambar 8. Empat fase penyembuhan luka akut 3,7,8

Fase Penyembuhan Luka

a. Fase Inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira – kira hari kelima.
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh
akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh
yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang
keluar dari pembuluh darah saling melengket (agregasi trombosit), dan bersama
dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh
darah.

Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel
radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan.
Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena
kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan
(tumor).

Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh
darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan
enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan
monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan
bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan
kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah.3,7

b. Fase Proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira – kira
akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi,
menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan
dasar serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka.

Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan
tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat
kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini
kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal.3

Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen,
membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus
yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas
dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh
sel baru yang terbentuk dari proses mitosis.
Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel
tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel
saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya
permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan
berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase remodeling.

Gambar 9. Fase Proliferasi 3

c. Fase Penyudahan (Remodeling)

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan
yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan
kembali (remodeling) jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung
berbulan – bulan dan dinyatakan berkahir kalau semua tanda radang sudah lenyap.

Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses
penyembuhan. Oedem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut
sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang
pucat, tipis, dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan
maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan
regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6
bulan setelah penyembuhan.3,7
Gambar 10. Fase Remodelling 3,7

Gambar 11. Tahapan penyembuhan luka 7,8


ANGIOGENESIS

Ketika jaringan di dalam tubuh manusia mengalami kerusakan atau penuaan, jaringan
ini akan digantikan oleh jaringan yang baru. Tidak terkecuali jaringan pembuluh darah, ia
akan melakukan proses adaptasi dengan cara membentuk pembuluh darah baru sebagai
respon perubahan kondisi di sekitar lingkungannya yang tidak menguntungkan atau bahkan
membahayakan bagi kelangsungan hidup jaringan tersebut. Proses ini disebut
angiogenesis.4

Angiogenesis adalah suatu proses pembentukan pembuluh darah baru yang berasal
dari pembuluh darah yang sudah terbentuk sebelumnya dan terjadi secara alami di dalam
tubuh. Angiogenesis dapat bersifat normal (fisiologis) maupun tidak normal (patologis).
Pada angiogenesis yang bersifat fisiologis, angiogenesis dapat terlihat pada jaringan yang
sedang tumbuh, penyembuhan luka, ataupun siklus menstruasi pada wanita. Sementara
angiogenesis yang bersifat patologis terutama dapat ditemukan pada keganasan maupun
pada penyakit lainnya seperti pada infeksi, inflamasi (peradangan), malformasi vaskuler
(kelainan pembentukan pembuluh darah), dan penyakit yang dicetuskan oleh hipoksia
(kekurangan oksigen pada jaringan).4,5

Gambar 12. Struktur Matriks Ekstraseluler Pembuluh darah 4


Angiogenesis biasanya diawali oleh adanya faktor pencetus, dan hipoksia adalah
faktor yang paling sering menjadi pencetus terjadinya angiogenesis. Pada luka bakar, zona
stasis mengalami hipoksia, yang menjadi faktor pencetus terjadinya angiogenesis.

Proses angiogenesis tersusun dari beberapa tahapan yang dimulai dari proses
inisiasi, yaitu dilepaskannya enzim protease dari sel endotel yang teraktivasi; pembentukan
pembuluh darah vaskular, antara lain terjadinya degradasi matriks ekstraseluler (Extra
Cellular Matrix, ECM), migrasi dan proliferasi sel endotel, serta pembuatan ECM baru; yang
kemudian dilanjutkan dengan maturasi/ stabilisasi pembuluh darah yang terkontrol dan
dimodulasi untuk memenuhi kebutuhan jaringan.4–6

Gambar 13. Tahap-tahap Proses Angiogenesis Proses ini melibatkan aktivasi sel endotel (EC) oleh
faktor angiogenik, proliferasi EC, degradasi membran basal (ECM), pembentukan struktur tabung
pembuluh darah, dan stabilisasinya.4

Tahapan-tahapan angiogenesis dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Pelepasan faktor stimulus angiogenik.

Kumpulan sel pada jaringan yang mengalami kerusakan (luka) akan mengalami
hipoksia dan melepaskan faktor angiogenik (berupa faktor pertumbuhan dan protein
rantai pendek lainnya) yang dapat berdifusi ke sel-sel pada jaringan sekitarnya.
Menyusul proses tersebut, terjadi pula proses inflamasi.

Pada proses inflamasi, pembuluh darah kecil di sekitarnya memegang peranan penting
dalam proses yang terjadi selanjutnya. Hal ini karena pembuluh darah merupakan
suatu jaringan yang dilapisi oleh sel endotel, yang akan berinteraksi dengan faktor
peradangan dan angiogenik . Faktor-faktor angiogenik ini dapat menarik dan
mendorong proliferasi sel endotel dan sel radang. Menjelang proses migrasi, sel-sel
radang juga mensekresi molekul-molekul yang juga berperan sebagai stimulus
angiogenik.4,6

B. Pelepasan enzim protease dari sel endotel yang teraktivasi.

Faktor angiogenik berupa faktor pertumbuhan akan berikatan dengan reseptor yang
spesifik terdapat pada reseptor sel endotel (EC) di sekitar lokasi pembuluh darah
lama. Ketika faktor angiogenik berikatan dengan reseptornya, sel endotel akan
teraktivasi dan menghasilkan signal yang kemudian dikirim dari permukaan sel ke
nukleus. Organel-organel sel endotel kemudian mulai memproduksi molekul baru
antara lain adalah enzim protease yang berperan penting dalam degradasi matriks
ekstraseluler untuk mengakomodasi percabangan pembuluh darah.4,6

C. Disosiasi sel endotel dan degradasi ECM yang melapisi pembuluh darah lama.

Disosiasi sel endotel dari sel-sel di sekitarnya distimulasi oleh faktor pertumbuhan
angiopoietin. Sel endotel yang teraktivasi akan mengaktifkan enzim enzim seperti
urokinaseplasminogen activator (uPA) dan matrix metalloproteinases (MMPs) yang
dibutuhkan untuk menginisasi terbentuknya pembuluh darah baru. Dengan sistem
enzimatik tersebut, sel endotel dari pembuluh darah lama akan mendegradasi ECM
dan menginvasi stroma dari jaringan-jaringan di sekitarnya sehingga sel-sel endotel
yang terlepas dari ECM ini akan sangat responsif terhadap signal angiogenik. 4,6

D. Migrasi dan proliferasi sel endotel.

Degradasi proteolitik dari ECM diikuti dengan migrasinya sel endotel ke matriks yang
terdegradasi. Proses tersebut kemudian diikuti dengan proliferasi sel endotel yang
distimulasi oleh faktor angiogenik, yang beberapa di antaranya dilepaskan dari hasil
degradasi ECM, seperti fragmen peptide, fibrin, atau asam hialuronik.4,6

E. Pembentukan lumen dan pembuatan ECM baru.

Sel endotel yang bermigrasi tersebut kemudian mengalami elongasi dan saling
menyejajarkan diri dengan sel endotel lain untuk membuat struktur percabangan
pembuluh darah yang kuat. Proliferasi sel endotel meningkat sepanjang percabangan
vaskular. Lumen kemudian terbentuk dengan pembengkokan (pelengkungan) dari sel-
sel endotel. Pada tahap ini kontak antar sel endotel mutlak dibutuhkan.4,6

F. Stabilisasi struktur pembuluh darah baru.

Pada tahap akhir, pembentukan struktur pembuluh darah baru akan distabilkan oleh
sel mural (sel otot polos dan pericytes) sebagai jaringan penyangga dari pembuluh
darah yang baru terbentuk. Tanpa adanya sel mural, struktur dan jaringan antar
pembuluh darah sangat rentan dan mudah rusak. 4,6

Faktor-faktor Angiogenesis

Faktor-faktor angiogenik dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu sebagai berikut:2,4–6

(i) Kelompok faktor angiogenik yang memiliki target sel endotel, untuk menstimulasi
proses mitosis. Contohnya faktor angiogenik vascular endothelial growth factor
(VEGF) dan angiogenin yang dapat menginduksi pembelahan pada sel endotel.
(ii) Kelompok kedua merupakan molekul yang mengaktivasi sel target secara luas selain
sel endotel. Beberapa sitokin, kemokin, dan enzim angiogenik termasuk dalam
kelompok ini. Fibroblast growth factor (FGF)-2 merupakan sitokin kelompok ini
yang pertama kali dikarakterisasi.
(iii) Kelompok ketiga merupakan faktor yang bekerja tidak langsung. Faktor faktor
angiogenik pada kelompok ini dihasilkan dari makrofag, sel endotel, atau sel tumor.
Kelompok faktor yang paling banyak dipelajari adalah tumor necrosis factor alfa
(TNFα) dan transforming growth factor beta (TGF-β) yang menghambat proliferasi
sel endotel in vitro. Secara in vivo, TGF-β menginduksi angiogenesis dan
menstimulasi ekspresi TNF-α, FGF-2, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), dan
VEGF dengan menarik sel-sel inflamatori. TNF-α diketahui meningkatkan ekspresi
VEGF dan reseptornya, interleukin-8, dan FGF2 pada sel endotel.

Aktivitas TNF-α ini menjelaskan peranannya dalam angiogenesis secara in vivo.


Beberapa kemungkinan mekanisme stimulasi angiogenesis oleh faktor angiogenik
tipe ini antara lain:

- Mobilisasi makrofag dan mengaktivasi sel tersebut untuk mensekresi hormon


pertumbuhan atau faktor kemotaktik sel endotel pembuluh darah, atau bahkan
mensekresi keduanya.
- Menyebabkan terjadinya pelepasan mitogen sel endotel (contohnya b-FGF) yang
dapat disimpan di ECM.
- Menstimulasi pelepasan penyimpanan intraseluler faktor pertumbuhan sel
endotel.

Beberapa di antara faktor-faktor angiogenik di atas telah dikarakterisasi dengan baik,


yang akan dijelaskan sebagai berikut.2,4–6

1. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)

VEGF merupakan glikoprotein pengikat heparin yang disekresi dalam bentuk


homodimer (45 kDa). Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa heparin
berinteraksi dengan VEGF melalui pembentukan kompleks Heparin-VEGF
yang menyebabkan terjadinya perubahan konformasi molekul sehingga VEGF
menjadi lebih stabil, lebih resisten terhadap inaktivasi dan memiliki waktu
paruh yang lebih panjang. Pembentukan kompleks Heparin-VEGF juga
menyebabkan terjadinya peningkatan afinitas reseptor VEGF yang terdapat
pada permukaan sel sehingga terbentuk signal intraseluler sebagai bentuk
aktivasi terjadinya proliferasi.12 Struktur protein VEGF dapat dilihat pada
Gambar 3. Salah satu fungsi VEGF yang pertama kali diketahui adalah
memediasi peningkatan permeabilitas pembuluh darah pada mikrovaskular
tumor. Oleh karena itu, VEGF disebut pula Vascular Permeability Factor
(VPF). Enam kelas VEGF telah diketahui antara lain VEGFA, Placental
Growth Factor (PLGF), VEGF, VEGF-C, VEGF-D, dan VEGF-E. VEGF
akan berinteraksi dengan reseptor FLK-1 atau KDR (VEGFR-2) sehingga
menstimulasi proliferasi, migrasi, ketahanan, dan permeabilisasi sel endotel.
Sedangkan VEGFR-1 berfungsi sebagai inhibitor dari aksi VEGFR-2.7
Peranan VEGF terhadap sel endotel dapat dilihat pada gambar 4. Dalam
keadaan normal, VEGF diekspresikan dalam kadar yang bervariasi oleh
berbagai jaringan, termasuk di antaranya otak, ginjal, hati, dan limpa.Tekanan
oksigen dapat berfungsi sebagai regulator VEGF. Paparan kondisi hipoksia
menginduksi ekspresi VEGF dengan cepat. Sebaliknya, dalam kondisi kadar
oksigen normal (normoksia), ekspresi VEGF menurun dan mengalami
stabilisasi. Tingkat ekspresi VEGF juga bergantung pada jumlah sitokin
inflamatori dan hormon pertumbuhan, termasuk di antaranya Epidermal
Growth Factor (EGF), Interleukin-1β (IL-1β), platelet derived growth factor
(PDGF), tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan transforming growth factor- β1
(TGF- β1).13 VEGF beraksi sebagai mitogen yang terbatas pada sel endotel
vaskular.VEGF terlibat dalam banyak tahap respon angiogenik, antara lain
menstimulasi degradasi matriks ekstraseluler di sekitar sel endotel;
meningkatkan proliferasi dan migrasi sel endotel; membantu pembentukan
struktur pembuluh darah. VEGF diketahui memainkan peranan dalam
pembentukan jaringan vaskular dalam siklus reproduktif wanita, yaitu dalam
perkembangan corpus luteum dan dalam regenerasi endometrium. Selain itu,
tingkat ekspresi molekul VEGF juga dilaporkan meningkat pada masa
penyembuhan luka terutama dalam fase granulasi. Bahkan dilaporkan
bahwa VEGF juga dapat menarik sel prekursor hematopoietik dan endotel dari
sumsum tulang masuk ke dalam sirkulasi peredaran darah. Hal ini berkaitan
dengan adanya populasi sel hemangioblas dalam sumsum tulang yang
merupakan sel punca yang dapat berkembang menjadi sel prekursor
hematopoietik atau menjadi sel prekursor endotel.2,4

Gambar 14. Struktur Protein Faktor Angiogenik 2,4


Gambar 15. Pengikatan VEGF pada VEGFR-2 yang Menstimulasi Proliferasi Migrasi,
Ketahanan, dan Permeabilisasi Sel Endotel 2,4

2. Fibroblast Growth Factor (FGF)

Fibroblast Growth Factor (FGF) merupakan faktor angiogenik yang juga


dapat membentuk kompleks dengan heparin. Kompleks heparin-FGF
membentuk suatu struktur yang tahan terhadap panas dan protease. Ikatan
dengan heparin juga menyebabkan terjadinya bentuk dimer dan oligomer dari
FGF, yang akan meningkatkan efisiensi aktivasi sel menyusul terjadinya
ikatan antara FGF dengan reseptornya. Struktur protein FGF dapat dilihat pada
gambar 5. FGFs sebetulnya merupakan sebuah keluarga yang terdiri dari 28
anggota. FGF ditemukan pada kelenjar pituitari, otak, hipotalamus, mata,
kartilago, tulang, corpus luteum, ginjal, plasenta, makrofag, kondrosarkoma,
dan sel hepatoma. Dua struktur primer asam amino dari FGF ditemukan pada
tahun 1985, antara lain acid FGF atau aFGF (tersusun dari 140 asam amino)
dan basic FGF atau b-FGF (tersusun dari 146 asam amino).a-FGF merupakan
hasil fraksinasi FGF pada kondisi pH asam, sedangkan b-FGF merupakan
hasil fraksinasi FGF pada kondisi basa. Dalam kondisi normal, a-FGF dan b-
FGF terdapat dalam bentuk monomer.Kedua protein ini memiliki homologi
asam amino yang cukup tinggi (53%). Meskipun a-FGF dan b-FGF memiliki
reseptor yang sama (FGFR-1 sampai FGFR-4) namun memiliki perbedaan
tingkat afinitasnya. Afinitas a-FGF dalam pengikatan terhadap reseptornya
(FGFR1-4) lebih tinggi dibandingkan bFGF. a-FGF banyak terdapat pada otak
dan retina dan diketahui berperan dalam menjaga kondisi fisiologi tubuh,
termasuk di antaranya menjaga homeostasis tubuh seperti pertumbuhan
pembuluh darah menjelang regenerasi jaringan dan penyembuhan luka
termasuk luka bakar Sedangkan b-FGF terdapat pada membran basal,
matriks ekstraseluler sub endotel pembuluh darah. b-FGF berperan dalam
pembentukan tumor, memediasi proses angiogenesis, dan juga penyembuhan
luka.Spesifitas a-FGF dan b-FGF cukup luas pada sejumlah sel target,
termasuk di antaranya adalah sel endotel sel otot polos, fibroblast, dan sel
epitel. Diketahui bahwa faktor angiogenik ini tidak hanya menstimulasi
proliferasi sel endotel secara in vitro (pada konsentrasi 1 sampai 10 ng/ml)
namun juga pada proses angiogenik in vivo. Diantaranya adalah pertumbuhan
pembuluh darah baru pada proses penyembuhan luka dengan meningkatkan
proses reendotelialisasi pada pembuluh darah yang mengalami kehilangan atau
kerusakan sel endotel dan pembentukan pembuluh darah pada vaskularisasi
jantung.4

3. Transforming Growth Factor (TGF)

Dua struktur berbeda dari faktor pertumbuhan ini antara lain TGF-α dan
TGF-β, telah dipurifikasi. TGFmerupakan polipeptida, 50-asam amino, yang
disintesis oleh sel rodensial yang sudah ditransformasi oleh virus. Struktur
protein TGF dapat dilihat pada TGF- α diketahui dapat menstimulasi
proliferasi sel endotel mikrovaskular pada konsentrasi 1 sampai 5 ng/ml.26
TGF-β merupakan polipeptida homodimer, 112 asam amino per rantai, dengan
ukuran 25,000 Dalton. Faktor ini ditemukan pada tumor dan sel normal,
termasuk ginjal, plasenta, dan trombosit.Pada bayi tikus, pemberian TGF-β
dengan dosis 1 g,menstimulasi terjadinya peningkatan produksi makrofag,
fibroblas, dan kolagen, serta pembentukan pembuluh kapiler baru.4
Gambar 16. Struktur Protein Faktor Angiogenik, TGF-β2 4

Gambar 17. Struktur Protein Faktor Angiogenik, angiopoietin 4

4. Angiopoietin

Merupakan faktor angiogenik yang terdiri dari dua anggota keluarga, yaitu
Ang1 dan Ang2. Angiopoietin dibutuhkan untuk pematangan pembuluh darah
dan meningkatkan ekspresi dan fungsi VEGF. Ketika Ang-1 dan Ang-2
berikatan dengan reseptornya (Tie-2), hanya ikatan dengan Ang-1 yang dapat
menghasilkan transduksi signal dan pematangan pembuluh darah. Sedangkan
ikatan dengan Ang-2 memiliki fungsi sebagai inhibitor Ang-1, yaitu menekan
pembentukan dan pematangan pembuluh darah.4
Berbagai faktor yang turut berperan dalam proses angiogenesis yang juga
berperan penting dalam angiogenesis antara lain sebagai berikut. 4

a. Heparin

Beberapa fungsi heparin dalam memodulasi angiogenesis yang sudah


diketahui antara lain:

 Mengakomodasi migrasi sel endotel, meningkatkan a-FGF, melalui


peningkatan afinitas a-FGF pada reseptornya
 Meningkatkan afinitas VEGF (Endothelial Cell Growth Factor)
pada reseptor sel endotel
 Stablisasi struktur molekul a-FGF dan b-FGF dari inaktivasi atau
degradasi akibat panas, asam, dan protease4

b. Copper (Cu)

Beberapa fungsi Cu dalam memodulasi angiogenesis yang sudah diketahui


antara lain:4

 Meningkatkan migrasi sel endotel secara in vitro


 Beberapa kompleks Cu tertentu dilaporkan bersifat angiogenik,
seperti kompleks Copper dengan tripeptide GlysHis-Lys,
ceruloplasmin, dan heparin. Diketahui bahwa ceruloplasmin,
protein penhgikat Cu, berperan dalam angiogenesis pada kornea.
Pada kondisi patologis, Cu dilepaskan dari Ceruloplasmin sehingga
protein ini kehilangan sifat angiogeniknya.

c. Hipoksia

Fenotipe angiogenik sel endotel dapat dirangsang oleh kondisi hipoksia.


Rendahnya kadar oksigen, yang dihasilkan dari tidak tercukupinya
kebutuhan oksigen dan nutrisi akibat berjauhannya letak antara sel endotel
dengan pembiluh darah lama menginduksi terjadinya angiogenesis.
Kondisi hipoksia menginduksi ekspresi VEGF dan reseptornya melalui
hypoxiainducible factor-la (HIF-la) yang juga merupakan molekul penarik
sel makrofag. Kondisi tersebut mengakibatkan terbentuknya pembuluh
darah baru yang dapat berperan dalam penyembuhan berbagai penyakit,
seperti myocard infarc dan penyembuhan luka. Pada kasus tumor, factor
angiogenik yang dihasilkan pada kondisi hipoksia tersebut diketahui
meningkatkan ekspresi beberapa onkogen, seperti v-ras, k-ras, v-raf, src,
fos, dan v-yes, yang memiliki aksi sebagai factor angiogenik, dan
menginduksi peningkatan ekspresi factor angiogenik seperti VEGF, IGF-1,
dan TGF-a.4

5. Fibrin

Fibrin memegang peran penting dalam membangun dasar kapiler. Dalam uji in
vitro, diketahui fibrin menstimulasi pergerakan sel endotel dan menginduksi
influx makrofag dan pembuluh darah baru ketika diimplantasi secara in vivo.

Fibrin juga diduga dapat menyediakan substratumuntuk elongasi dari


percabangan pembuluh darah. Diketahui pula bahwa produk degradasi fibrin
dapat mengaktivasi sel makrofag untuk mensekresikan faktor angiogenik.4

Pengaturan Kinetik Proses Angiogenesis

Pembuluh darah tersusun atas monolayer sel-sel endotel yang menempel pada membrana
basalis (Extracellular matrix atau ECM) dan distabilkan oleh pericyte.4

Sel pembuluh darah, khususnya sel endotel memiliki karakteristik yang cukup unik, yaitu
memiliki kecepatan proliferasi yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan tipe sel tubuh
lainnya. Sel endotel membelah setiap tiga tahun, terkecuali pada pembuluh darah retina, yaitu
setiap 14 tahun.

Sel endotel dapat dinduksi dengan faktor angiogenik untuk bereplikasi dan membentuk
pembuluh darah baru untuk merespon stimulus fisiologi dan patologi. Proliferasi sel endotel
di dalam tubuh normal tetap rendah walaupun faktor angiogenik banyak ditemukan pada
berbagai jaringan di dalam tubuh menyebabkan munculnya dugaan bahwa untuk menjaga sel
endotel tetap pada fase quiescence (tidak membelah) dibutuhkan regulator penghambat
angiogenesis, yang sering disebut pula faktor inhibitor angiogenik.4,6
Tubuh yang sehat atau normal akan menjaga keseimbangan baik modulasi maupun inhibisi
angiogenesis melalui regulasi ekspresi faktor angiogenik secara ketat. Ketika jumlah faktor
angiogenik diproduksi dalam jumlah melebihi inhibitor angiogenik, maka sel endotel akan
teraktivasi sehingga terjadi pembentukan pembuluh darah baru. Sebaliknya, ketika faktor
inhibitor berada dalam jumlah yang melebihi faktor pro angiogenik, maka sel endotel tidak
teraktivasi sehingga tidak terjadi atau terhentinya proses angiogenesis.4,6

Keseimbangan faktor pro dan inhibitor angiogenik inilah yang berperan pada kelangsungan
proses angiogenesis dalam keadaan normal. Perbedaan mendasar antara angiogenesis
fisiologi dan patologi adalah, pada proses fisiologi, angiogenesis terjadi selama beberapa hari
atau minggu. Sedangkan, angiogenesis patologi dapat terjadi dalam jangka waktu lebih
panjang dibandingkan dengan pada proses fisiologi.

Faktor Angiogenik dan Inhibitor Angiogenik

Faktor Angiogenik Faktor Inhibitor Angiogenik


Ang-1 Ang-2
a-FGF dan b-FGF2 Angiostatin
Platelet Derived Growth Factor (PDGF)30 Endostatin
TGF-α, TGF-β Interferon (IF)-α/β/γ
VEGF Interleukin-4,12,18
HGF (Hepatocyt Growth Factor) Vasostatin
EGF (Epidermal Growth Factor)
IGF (Insulin Growth Factor)
TNF-α

Tabel 1. Kelompok Faktor Angiogenik dan Inhibitor Angiogenik 4,6


BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan diatas penulis dapat menyimpukan bahwa angiogenesis merupakan faktor
penting dalam proses penyembuhan luka bakar dimana angiogenesis adalah proses
pembentukan pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang sudah ada.

Tujuan angiogenesis pada luka bakar adalah untuk membentuk pembuluh darah baru,
mempertahankan fungsi jaringan atau organ, dan untuk mengurangi iskemia jaringan.
Angiogenesis terjadi pada zona stasis pada daerah yang mengalami luka bakar. Adapun
keseimbangan faktor pro dan inhibitor angiogenik sangat berperan pada kelangsungan proses
angiogenesis dalam keadaan normal.

Perbedaan mendasar antara angiogenesis fisiologi dan patologi adalah, pada proses fisiologi,
angiogenesis terjadi selama beberapa hari atau minggu. Sedangkan, angiogenesis patologi
dapat terjadi dalam jangka waktu lebih panjang dibandingkan dengan pada proses fisiologi.

Tahapan angiogenesis adalah sebagai berikut :

1. Vasodilatasi sebagai respon dari nitric oxide dan peningkatan permeabilitas yang
dipicu oleh VEGF
2. Degradasi dinding kapiler pembuluh darah oleh ekstraseluler proteinase
3. Migrasi sel endothelial menuju jaringan yang rusak
4. Proliferasi sel endothelial di belakangnya sel yang telah bermigrasi
5. Maturasi & remodelling membentuk tabung kapiler
6. Rekrutmen dari sel periendotelial. Pericytes untuk kapiler kecil, dan otot polos untuk
pembuluh darah yang lebih besar.

Faktor faktor yang berperan dalam angiognenesis antara lain:


1. Faktor yang menstimulus Angiogenik
Ang-1, a-FGF, b-FGF, PDGF, TGF-α, TGF-β, VEGF, HGF, EGF, IGF, TNF-α
2. Faktor yang menginhibisi Angiogenik
Ang-2, Angiostatin, Endostatin, Interferon (IF)-α/β/γ, Interleukin-4, Interleukin-12,
Interleukin-18, dan Vasostatin
Tubuh yang sehat atau normal akan menjaga keseimbangan baik modulasi maupun inhibisi
angiogenesis melalui regulasi ekspresi faktor angiogenik secara ketat. Ketika jumlah faktor
angiogenik diproduksi dalam jumlah melebihi inhibitor angiogenik, maka sel endotel akan
teraktivasi sehingga terjadi pembentukan pembuluh darah baru. Sebaliknya, ketika faktor
inhibitor berada dalam jumlah yang melebihi faktor pro angiogenik, maka sel endotel tidak
teraktivasi sehingga tidak terjadi atau terhentinya proses angiogenesis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anggowarsito JL. Luka Bakar sudut pandang dermatologi. 2014;2(2):115–20.


2. Johnson KE, Wilgus TA. Vascular Endothelial Growth Factor and Angiogenesis in
the Regulation of Cutaneous Wound Repair. Adv Wound Care. 2014;3(10):647–61.
3. Saputro ID. Dasar dasar Biomolekuler Pemyembuhan Luka. 1st ed. Surabaya: Global
Persada Press; 2014. 92 p.
4. Tonnesen MG, Feng X, Clark RAF. Angiogenesis in wound healing. J Investig
Dermatology Symp Proc [Internet]. 2000;5(1):40–6. Available from:
http://dx.doi.org/10.1046/j.1087-0024.2000.00014.x
5. Sardjono CT, Sandra F. ANGIOGENESIS : Patofisiologi dan Aplikasi Klinis.
exJKM. 2009;8(2):174–89.
6. Kumar P, Kumar S, Udupa EP, Kumar U, Rao P, Honnegowda T. Role of
angiogenesis and angiogenic factors in acute and chronic wound healing. Plast
Aesthetic Res [Internet]. 2015;2(5):243. Available from:
http://parjournal.net/article/view/1210/664
7. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi. Ed 7 Vol 1. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2007.
8. Syamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ed 4 Vol 1.
2014.

Vous aimerez peut-être aussi