Vous êtes sur la page 1sur 9

Jurnal AgroBiogen 2(1):16-23

Produksi dan Evaluasi Antibodi Poliklonal untuk


Deteksi Toksin Photorhabdus spp.
Yadi Suryadi, Ifa Manzila, Alina Akhdiya, dan Etty Pratiwi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111

ABSTRACT mudah dibiakkan pada medium buatan, (4) mudah


diaplikasikan dan kompatibel ter-hadap beberapa
Production and Evaluation of Polyclonal Antibody for
Detection of Photorhabdus spp. Toxin. Yadi Suryadi, Ifa jenis pestisida, dan (5) aman bagi vertebrata dan
Manzila, Alina Akhdiya, and Etty Pratiwi. The research jasad yang bukan sasarannya (Kaya dan Gaugler
was aimed to produce and evaluate polyclonal antibody 1993).
(PAb) for specific Photorhabdus spp. bacterial toxin detec- NPS Heterorhabditis sp. mempunyai beberapa
tion. Photorhabdus spp. toxin of HJ isolates which was puri-
stadium perkembangan, yaitu stadium telur, 4
fied using Hi Prep. 16/60 Sephacryl S-200 HR column chro-
matography revealed three different peaks of polypeptides. stadium larva, dan dewasa. Setiap tahap ditandai
The results showed that the protein concentration of crude dengan per-gantian kulit, dan stadium infektifnya
antigen protein (supernatant) was 3,711 µg/µl, whilst fraction disebut Juvenil Infektif (JI), yaitu stadium larva ke-3
of protein was 1,95 x 10-2 µg/µl, respectively. The bioassay yang berhenti ber-kembang untuk sementara pada
using Tenebrio molitor larvae-3 indicated that after 48 h kondisi yang kurang menguntungkan (Woodring dan
application, the percentage of larvae mortality by crude anti- Kaya 1988). JI yang masih terbungkus kulit, dan
gen was lower (73%) than by fraction antigen (93%). Based mengandung sel-sel bak-teri yang tersimpan di dalam
upon NCM-ELISA test, PAb of fraction protein derived from
ususnya sebagai ca-dangan makanan, mampu hidup
HJ isolate reacted with Photorhabdus spp. antigen yielded
stronger or darker violet color on membrane than that of bebas di lingkungan luar tubuh inangnya untuk
crude protein. In addition, it was observed that PAb could bergerak mencari inang potensial (Poinar 1990).
differentiate specifically Photorhabdus spp. toxin with other Serangga terinfeksi NPS Heterorhabditis sp. berwarna
bacterial filtrate such as Xanthomonas oryzae pv oryzae, X. coklat kemerahan, tu-buhnya tetap keras dan bila
campestris pv glycinea, Ralstonia solanacearum, Pseudomo- dibedah jaringan tubuh-nya agak lengket, berwarna
nas syringae pv glycinea and P. fluorescens, however it coklat kekuningan (Kaya dan Gaugler 1993).
showed cross reaction with Escherichia coli. Further tests
are needed in optimizing PAb-Photorhabdus spp. sensitivity Heterorhabditis sp. hidup bersimbiosis secara
to achieve effective concentration for detection of Photor- mutualistik dengan bakteri genus Photorhabdus spp.
habdus spp. toxin as well as specificity test against other NPS sangat bergantung nutrisinya dari bakteri simbion
bacterial antigens. yang berperan memberi perlindungan dan sebagai
Key words: Photorhabdus spp., PAb, NCM-ELISA. vektor bagi bakteri dari satu inang ke inang lainnya
serta mematahkan mekanisme pertahanan tubuh
serangga melalui toksin yang dihasilkan bakteri (Klein
PENDAHULUAN 1990). Bakteri Photorhabdus spp. dapat dikembang-
Pengendalian patogen tanaman dan pengurang- kan penggunaannya untuk mengendalikan populasi
an jumlah populasi hama yang ramah lingkungan serangga hama terutama pada tanaman padi. Para pe-
dewasa ini semakin intensif dilakukan, dan saat ini di- neliti di Amerika Serikat telah berhasil
ketahui beberapa jenis bakteri, virus, jamur, dan mengintroduksi-kan gen penyandi toksin insektisida
nematoda berpotensi sebagai pengendali hayati ke dalam tanam-an Arabidopsis thaliana yang tahan
hama. Nematoda Patogen Serangga (NPS) terhadap serangga hama Manduca sexta. Gen
Steinernema carpocapsea dan Heterorhabditis spp. penyandi toksin Photor-habdus spp., saat ini telah
merupakan 2 kelompok spesies nematoda yang dapat dikembangkan melalui tek-nik rekayasa genetik untuk
dimanfaatkan sebagai pengendali hayati (Suryadi dan dapat diisolasi, diklon, dan diintroduksikan ke dalam
Chaerani 1999). Penggunaan NPS semakin tanaman (Forst dan Nelson 1996).
berkembang karena memiliki beberapa keunggulan, Salah satu kendala upaya kloning adalah tidak
antara lain (1) bersifat virulen sehingga mampu tersedianya teknik efisien untuk mendeteksi hasil klon
menyebabkan kematian se-cara cepat, (2) daya yang relatif lebih cepat, sehingga dapat dimanfaatkan
reproduksi tinggi, (3) spektrum inangnya luas dan secara rutin dan berkesinambungan untuk menguji
contoh/sampel dalam jumlah besar. Ketersediaan tek-
Hak Cipta  2006, BB-Biogen nik deteksi yang efektif diharapkan dapat membantu
2006 SURYADI ET AL.: Produksi dan Evaluasi Antibodi Poliklonal 17

menapis hasil rekombinan yang diinginkan. Teknik Penggunaan Ab Photorhabdus spp. saat ini relatif ma-
de-teksi produk rekombinan dengan bioasai cukup sih terbatas dan perlu diteliti tingkat kepekaan serta
efektif tetapi masih memerlukan waktu lama dan kespesifikannya. Penelitian ini bertujuan
kurang efisien apabila digunakan untuk menapis hasil memproduksi dan mengevaluasi poliklonal Ab (Pab)
kloning dalam jumlah besar. Berbagai teknik deteksi untuk mende-teksi toksin spesifik bakteri
patogen secara cepat yang telah dikembangkan di Photorhabdus spp., dengan teknik NCM-ELISA,
antaranya teknik immunoassay ELISA (Enzyme Linked apabila teknik ini efektif, maka pro-duksi PAb untuk
Immuno Sorbent Assay), yaitu teknik serologi yang deteksi bakteri Photorhabdus spp., penghasil toksin
mengga-bungkan kepekaan, kespesifikan deteksi, dan dapat diproduksi secara luas.
kemu-dahan (Clark 1981). Nitro Cellulose Membrane
(NCM-ELISA) adalah varian ELISA untuk mendeteksi BAHAN DAN METODE
berba-gai jenis molekul antigen dengan
menggunakan mem-bran nitroselulose sebagai Alur diagram untuk memproduksi dan meng-
pengganti cawan mikrotiter. Teknik ini hampir sama evaluasi PAb toksin Photorhabdus spp. disajikan pada
kepekaannya dengan DAS-ELISA (Double Antibody Gambar 1.
Sandwich ELISA), tetapi lebih cepat dan mudah.
Produksi PAb Toksin Photorhabdus spp.
Keuntungan lainnya ialah membran yang telah diberi
sampel dapat disimpan beberapa minggu, dan dapat Penyiapan/penyediaan antigen
dikirim ke laboratorium lain untuk pengujian (Priou
Bakteri Photorhabdus spp. isolat HJ asal NPS
1999). Upaya penyediaan perangkat deteksi yang
Heterorhabditis sp. Pelabuhan Ratu secara rutin dipe-
cukup lengkap masih perlu dikembang-kan. Hal ini
lihara, diperbanyak dan diremajakan dalam medium
mendorong kegiatan untuk menyediakan antibodi
padat Nutrient Bromthymol Blue Triphenyltetrazolium
(Ab) dan perangkatnya secara berkesinam-bungan
Chloride (NBT), disuplementasi dengan Bromthymol
sehingga dapat digunakan oleh para pengguna
Blue (BTB) 0,025% dan Triphenyltetrazolium Chloride
dengan biaya relatif lebih murah dibandingkan harus
(TZC) 0,004%, sedangkan untuk memproduksi toksin
mengimpor dari luar negeri (Suryadi dan Kadir 2004).

Kultur Photorhabdus isolat HJ

Sentrifus

Pelet Supernatan

Kromatografi Imunisasi kelinci

Antibodi
Fraksi

ELISA

Gambar 1. Diagram alir prosedur kerja produksi PAb toksin Photorhabdus spp.
18 JURNAL AGROBIOGEN VOL 2, NO. 1

digunakan media cair Luria Bertani (LB) (Woodring Kelinci betina New Zealand White berumur se-
dan Kaya 1988). kitar 4 bulan (berat badan sekitar 2,0 kg) dipelihara
da-lam kandang dengan makanan pelet. Imunisasi
Perbanyakan bakteri Photorhabdus spp., dilaku- dilaku-kan dengan cara menyuntikkan Ag berupa
kan dengan menumbuhkan isolat bakteri HJ dalam ekstrak ka-sar dan fraksi aktif toksin Photorhabdus
Erlenmeyer berisi 10 ml media cair LB sambil dikocok spp., isolate HJ. Penyuntikan dilakukan sebanyak
menggunakan rotary orbital shaker dengan kecepatan empat kali de-ngan interval waktu penyuntikan
125 rpm selama 48 jam inkubasi, kemudian sebanyak selama seminggu se-cara intramuskular pada bagian
100 µl biakan diinokulasikan dalam 250 ml paha kaki belakang. Dua minggu pertama toksin
Erlenmeyer berisi media cair LB. Kultur diinkubasi ekstrak kasar dan fraksi Photorhabdus spp. dicampur
pada suhu ruang dalam rotary orbital shaker dengan dengan 0,5 ml ajuvan Freund’s complete dan dua
kecepatan 125 rpm selama 48 jam, dan disentrifus minggu berikutnya dilaku-kan penyuntikan ulang
dengan kece-patan 15.000 rpm pada suhu 4oC selama dengan toksin yang sama tetapi dicampur dengan
30 menit ke-mudian diambil supernatannya. Toksin ajuvan Freund’s incomplete.
asal ekstrak kasar Photorhabdus spp. dimurnikan
Panen antiserum, uji titer, dan pemurnian PAb
secara parsial dengan menambahkan amonium sulfat
70% ke dalam supernatan sambil dikocok merata Panen berupa serum darah dilakukan satu ming-
dengan magnetic stirer selama semalam, dan gu setelah penyuntikan terakhir melalui intravena.
disentrifus dengan kece-patan sentrifugasi 15.000 rpm Serum darah kemudian ditempatkan dalam tabung
pada suhu 4oC selama 30 menit. Endapan yang sentrifus dan diendapkan pada suhu 4oC selama
diperoleh dilarutkan dalam Phospate buffer saline sema-lam, lalu disentrifugasi 2.000 g selama 15 menit.
(PBS) pH 7,3, kemudian di-dialisis dalam bufer yang Antise-rum yang merupakan supernatan dipisahkan
sama selama 24 jam (Bollag et al. 1996). kemu-dian ditambahkan larutan gliserol dan disimpan
Pemurnian protein toksin hasil dialisis dilakukan da-lam botol serum. Pengujian titer dilakukan dengan
dengan teknik kromatografi menggunakan kolom Hi tek-nik aglutinasi. Antiserum yang telah disiapkan
Prep 16/60 Sephacryl S-200 High Resolution (HR). dalam botol serum kemudian dimurnikan kembali
Elusi dilakukan dengan menggunakan larutan PBS pH secara parsial menggunakan dialisis dan amonium
7,3 dengan kecepatan alir 0,3 ml/menit. Proses elusi sulfat. Konsentrasi Ab diukur absorbansinya
di-lakukan menggunakan detektor dengan panjang berdasarkan ke-rapatan optik (OD)280/260nm setara
gelombang 280 nm dan fraksi yang keluar ditampung dengan 1,4 atau se-tara dengan konsentrasi protein 1
masing-masing menggunakan 1,5 ml fraction mg/ml (Van Regenmortel 1992).
collector.
Uji Spesifisitas PAb dengan Teknik NCM-ELISA
Penentuan protein asal supernatan dan fraksi
protein murni dilakukan dengan metode Bradford Evaluasi dan pengujian spesifisitas serta kepeka-
(1976) menggunakan larutan bovine serum albumine an PAb yang dihasilkan dilakukan dengan uji serologi
(BSA) sebagai standar dari hasil pengukuran absor- NCM ELISA sesuai dengan prosedur Priou et al.
bansi larutan dengan spektrofotometer menggunakan (1999). Sampel/kontrol positif berupa ekstrak kasar
panjang gelombang 595 nm. (superna-tan) dan fraksi asal isolat HJ, sedangkan
sebagai kontrol negatif digunakan Escherichia coli,
Bioasai untuk menguji toksisitas antigen (Ag)
Xanthomo-nas oryzae (Xoo), Xanthomonas
toksin dilakukan terhadap larva T. molitor instar 3-4.
campestris pv. gly-cinea (Xcg), Ralstonia
Larva serangga disuntik masing-masing dengan 2 µl
solanacearum (Rs), Pseudomo-nas syringae pv.
supernatan (Sp) ekstrak kasar toksin Photorhabdus
glycinea (Psg), dan Pseudomonas fluoresens (Pf).
spp. dan fraksi aktif protein toksin hasil kolom (Fr).
Penyiapan nitroselulose membrane (NCM) dilakukan
Sebagai kontrol negatif dilakukan penyuntikan dengan
sebagai berikut: membran dipotong-potong dengan
larutan Ringer dan bufer PBS. Setiap perlakuan (seba-
ukuran 8 x 8 cm2, selanjutnya dibasahi dengan 30 ml
nyak 15 larva) masing-masing diulang tiga kali, yang
Tris buffer saline (TBS). Sebanyak 20 µl sampel
di-tempatkan dalam cawan petri dan diberi pakan
diteteskan (dot-blotted) pada NCM yang sudah kering.
buat-an. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah larva
Selaput membran yang telah ditetesi Ag dile-takkan
yang mati (mortalitas) setelah waktu 24-48 jam.
dalam kotak plastik berisi 30 ml larutan peng-
Imunisasi kelinci hambat/blocking selama 1 jam, selanjutnya larutan Ab
ditambahkan ke dalam NCM berisi larutan pengham-
bat dan diinkubasikan semalam pada suhu ruang
2006 SURYADI ET AL.: Produksi dan Evaluasi Antibodi Poliklonal 19

sam-bil dikocok dengan kecepatan 50 rpm. NCM menghasilkan en-zim yang mampu memecah
dicuci dengan Tris buffer saline-Tween (TTBS) tiga jaringan tubuh serangga menjadi nutrisi bagi
kali masing-masing selama 3 menit, kemudian nematoda dan antibiotik yang mampu mencegah
ditambah-kan 40 ml bufer konjugat dan larutan goat pertumbuhan mikroba sekunder pesaing nematoda.
antibodi rabbit (GAR) dan diinkubasi pada suhu ruang Pemurnian protein dari supernatan
selama 1 jam. Setelah pencucian kedua dilakukan Photorhabdus spp. isolat HJ dilakukan dalam
pemberian substrat untuk pewarnaan (reaksi beberapa tahap, yaitu pemisahan protein dengan
enzimatik) dengan menambahkan larutan pewarna amonium sulfat, dialisis dan kromatografi (Bollag et
(30 ml stok larutan bufer substrat Alkaline al. 1996). Pada penelitian ini ditambahkan amonium
Phosphatase (AP) pH 9,5, 90 µl Nitroblue Tetrazolium sulfat kadar jenuh 70% ke dalam ekstrak kasar
(NBT), dan 90 µl Bromochloro Indole acetil Phosphate Photorhabdus spp. isolat HJ. Kon-sentrasi ini dianggap
(BCIP) selama 10-30 menit. Perubahan warna ungu cukup untuk memisahkan protein, sekaligus tetap
muda sampai ungu tua pada bekas tetesan diamati. mempertahankan kandungan protein yang dimiliki.
Warna ungu menunjukkan reaksi positif, dan bila Protein hasil dialisis dilewatkan pada kolom High
tidak terjadi perubahan warna pada bekas tetesan Sephacryl prepacked 200 high resolution berukuran 16
dianggap reaksinya negatif. x 60 cm suhu 20oC yang mem-punyai butiran-butiran
gel tersusun rapat dan stabil se-hingga bila sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN dan bufer dialirkan ke dalam ko-lom akan terjadi
pemisahan protein. Hasil pemurnian toksin dengan
Produksi PAb Toksin Photorhabdus spp.
kolom Hi Prep 16/60 Sephacryl S-200 HR menunjukkan
Photorhabdus spp. termasuk ke dalam famili tiga puncak protein (peak) yang berbe-da (A, B, C).
Enterobacteriaceae, berciri gram negatif, berbentuk Puncak A terdiri dari fraksi 26-27 mulai ke-luar pada
batang, dan anaerob fakultatif (Poinar 1990). Bakteri volume ke-39 sampai volume ke-40. Puncak B terdiri
ini berasosiasi dengan NPS Heterorhabditis sp dan dari fraksi 35-39, mulai keluar pada volume ke-52,5
me-ngeluarkan luminensi dalam keadaan gelap sampai volume ke-58,5. Puncak C (Gambar 3) terdiri
sehingga serangga yang terinfeksi bakteri akan dari fraksi 42-72, mulai keluar pada volume ke-63
berpendar (Gambar 2). sampai volume ke-108. Fraksi yang diambil untuk
Sel bakteri simbion bertahan dalam saluran pen- bioasai adalah fraksi yang berada di puncak utama,
cernaan NPS dan mematikan serangga melalui toksin yaitu fraksi dengan kandungan toksin tinggi dan ditun-
yang dihasilkan dalam waktu 24-28 jam. Sel-sel ini jukkan dengan tingginya nilai absorbansi (puncak A).
mu-lai aktif bekerja dan berkembangbiak setelah Pengukuran kandungan protein pada kolom dila-
keluar dari saluran pencernaan NPS dan JI NPS kukan pada tiap tabung yang dikumpulkan sesuai de-
memasuki hemocoel serangga (Buecher dan Popiel ngan puncak (peak) yang terbentuk, dan merupakan
1989). Selan-jutnya dikemukakan bahwa bakteri fraksi yang mengandung protein, ditunjukkan dengan

Gambar 2. Serangga terinfeksi NPS/Photorhabdus spp.


20 JURNAL AGROBIOGEN VOL 2, NO. 1

tingginya nilai absorbansi pada panjang gelombang kasar (supernatan sp.) dan fraksi (Fr) yang diuji
280 nm. Berdasarkan kurva protein standar pada con- terhadap larva T. molitor instar 3-4, menunjukkan
toh supernatan (ekstrak kasar) diperoleh persamaan persentase mortalitas larva oleh ekstrak kasar (super-
regresi linier y = 0,0142x + 0,0113 (R2 = 0,98) natan) pada hari pertama sebesar 33% dan pada hari
sehingga dapat diketahui konsentrasi protein sebesar kedua sebesar 73%, sedangkan fraksi murni menun-
3,711 µg/µl, sedangkan pada fraksi diperoleh jukkan mortalitas pada hari pertama sebesar 60% dan
persamaan regresi y = 0,6868x + 0,0336 (R2 = 0,97) hari kedua sebesar 93% (Gambar 4). Hal ini mengindi-
dengan kon-sentrasi protein sebesar 1,95 x 10-2 µg/µl. kasikan bahwa walaupun konsentrasi protein pada
Penurunan konsentrasi protein total pada fraksi, fraksi murni mengalami penurunan, namun kadar
mungkin terjadi selama proses presipitasi dengan pro-teinnya memiliki aktivitas toksin tinggi
amonium sulfat dan elusi pada kolom yang dibandingkan dengan ekstrak kasar (supernatan)
disebabkan oleh semakin mur-ninya protein. yang ditunjukkan dengan persentase mortalitas lebih
Berdasarkan hasil uji toksisitas toksin asal ekstrak besar.
2006 SURYADI ET AL.: Produksi dan Evaluasi Antibodi Poliklonal 21

Produksi Ab yang dilakukan pada kelinci jenis aglutinasi sampai pengenceran 320 kali. Hal ini berarti
New Zealand White, secara normal memberikan res- bahwa Ab telah bereaksi dengan Ag menjadi tidak
pon terhadap sebagian besar Ag. Pada penelitian ini larut yang ditunjukkan dengan terbentuknya
telah dihasilkan sebanyak kira-kira 20 ml Ab kasar. gumpalan pada pengenceran ke-320 kali.
Menurut Klement et al. (1990), produksi Ab antara lain Ag dalam proporsi yang tepat bila dicampur de-
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu pemilihan jenis ngan Ab akan terjadi presipitasi. Hal ini mengakibat-
hewan, dosis, dan bentuk Ag, penggunaan ajuvan, kan terbentuknya ikatan antar sel yang menyebabkan
pro-sedur, dan jumlah suntikan yang diberikan, serta penggumpalan (aglutinasi), tetapi bila Ag atau Ab jum-
se-lang waktu antara dua suntikan yang berurutan. lahnya relatif berlebihan maka reaksi tersebut akan
Ber-dasarkan hasil uji titer dari serum yang berkurang. Proporsi Ag dan Ab yang tepat merupakan
diencerkan, pada penelitian ini telah diperoleh reaksi

Puncak A
mAU
800

600
Absorbansi 280 nm

400 Puncak C

200 Puncak B

0 20 40 60 80 100 ml
Volume elusi (ml)

Gambar 3. Profil elusi Hi Prep 16/60 Sephacryl S200 HR dari fraksi protein toksin HJ.

100
hari ke-1 hari ke-2 b
90

80 a
70
b
60
Mortalitas (%)

50

40 a
30

20

10

0
Ringer PBS Supernatan Fraksi
Persentase mortalitas larva-3 T. molitor

Gambar 4. Bioasai toksin Photorhabdus spp. terhadap larva-3 T. molitor.


22 JURNAL AGROBIOGEN VOL 2, NO. 1

hal yang penting dalam uji serologi (Lelliot dan spesifik yang terdapat dalam sampel serum. Semakin
Schaad 1987). Kualitas antiserum tergantung juga tinggi intensitas warna sampel, maka semakin tinggi
pada jadwal imunisasi, umumnya makin lama dan jumlah Ab yang terkandung di dalamnya. Intensitas
sering peng-ulangan hewan distimulasi dengan Ag warna ungu bervariasi tergantung dari konsentrasi Ag
pita presipitin yang dihasilkan semakin banyak dan yang terdeteksi. Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa Ag
bervariasi, se-hingga antiserum yang dihasilkan juga toksin ekstrak kasar dan fraksi Photorhabdus spp.
mempunyai titer yang tinggi, tetapi spesifitasnya isolat HJ dapat dideteksi oleh PAb yang diproduksi.
rendah (Klement et al. 1990). 1 Evaluasi visual terhadap reaksi antara PAb dan
4
Ag bakteri yang dideteksi dengan NCM ELISA disajikan
Evaluasi PAb dan Uji Spesifisitas dengan
pada Gambar 5. Dapat dilihat bahwa Ag berupa pro-
NCM-ELISA
tein asal fraksi bakteri Photorhabdus spp. isolat HJ
Ag bakteri Photorhabdus spp., terikat kuat pada me-nunjukkan reaksi sangat kuat dengan 5 PAb yang
dinding sel yang terdiri dari suatu kompleks polisaka- ditun-jukkan dengan kepekatan warna ungu pada
2
rida, lipid, dan protein serta tidak terbilas dengan pen- membran dibandingkan dengan protein ekstrak kasar
cucian sehingga dapat dideteksi bila seluruh sel be- (superna-tan). Hal ini terjadi karena fraksi
6 lebih murni
reaksi dengan Ab. Pada uji serologi, adanya kompleks dan me-miliki kandungan protein toksin lebih tinggi
Ag-Ab digunakan sebagai dasar untuk mengetahui diban-dingkan supernatan. Ag bakteri lain seperti dari
identitas Ag atau Ab (Van Regenmortel 1992). NCM- spesies bakteri Xoo, Xcg, Rs, Psg, Pf, dan E. coli yang
ELISA merupakan teknik ELISA secara kualitatif dan berfungsi sebagai kontrol negatif tidak
3 7 menunjukkan
mempunyai kepekaan yang cukup tinggi, lebih cepat reaksi, ke-cuali pada E. coli masih bereaksi positif. Hal
serta praktis untuk mengetahui ada tidaknya molekul ini meng-indikasikan bahwa PAb yang diproduksi
patogen pada tanaman (Priou 1999). Protein terlarut, menghasilkan reaksi silang dengan Ag tersebut. Pada
asam nukleat, macam-macam organel, jamur, bakteri, umumnya, reaksi silang terjadi pada Ag lain yang
dan virus juga dapat menempel dengan baik pada memiliki kemi-ripan struktur molekul dengan Ag
nitroselulosa. Reaksi terjadi jika enzim terikat pada spesifiknya, dan di-duga karena E. coli termasuk ke
molekul yang mendeteksi adanya imunoglobulin anti- dalam satu famili de-ngan bakteri Photorhabdus spp.
bodi (Priou 1999). NCM-ELISA termasuk jenis indirect Dengan kata lain Ab yang bereaksi silang tersebut
ELISA di mana Ag direaksikan dengan Ab spesifik. Ab tidak hanya merespon satu Ag yang merangsang
spesifik akan berikatan dengan Ag, sedangkan yang pembentukannya, tetapi ju-ga dapat berikatan dengan
tidak berikatan akan terbuang pada saat pencucian. Ag lain. Reaksi Ab tidak ha-nya terhadap Ag yang
Konjugat (Ab yang ditandai enzim) yang menempel disuntikkan tetapi dapat juga ter-hadap Ag lain, hal ini
pada ikatan/kompleks Ag-Ab menjadi indikator warna terjadi karena PAb adalah pro-duk dari banyak klon
dan agar ikatan tadi dapat dilihat maka ditambahkan sel saling berhubungan yang mangakibatkan
substrat enzim. Substrat bereaksi dengan konjugat, timbulnya keragaman baik spesifisitas maupun
dan enzim akan menghidrolisis substrat dan meng- afinitasnya terhadap Ab yang dihasilkan (Van
hasilkan produk akhir berwarna (Van Regenmortel Regenmortel 1982).
1982).
Hasil reaksi berupa intensitas warna dari masing- KESIMPULAN DAN SARAN
masing sampel setara dengan jumlah kompleks Ag-Ab
• Produksi PAb pada kelinci telah diperoleh dan di-

Tabel 1. Deteksi HJ ekstrak kasar, fraksi, dan Ag bakteri lain dengan


PAb Photorhabdus spp. dan uji NCM-ELISA.

Jenis Ag Reaksi
Ekstrak kasar Photorabdus spp. (Sp) HJ ++
Fraksi Photorabdus spp. (Fr) HJ +++
Eschericia coli (E. coli) +
Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) -
Xanthomonas campestris pv. glycin (Xcg) -
Ralstonia solanacearum (Rs) -
Pseudomonas syringae pv. glycin (Psg) -
Pseudomonas fluorecens (Pf) -
Reaksi dinilai berdasarkan intensitas warna ungu pada membran,
+++ = reaksi sangat kuat, ++ = reaksi kuat, + = reaksi agak kuat,
- = tidak ada reaksi.
2006 SURYADI ET AL.: Produksi dan Evaluasi Antibodi Poliklonal 23

Gambar 5. Hasil deteksi toksin Photorhabdus spp. isolat HJ dibandingkan dengan Ag Xoo, Xcg, Rs, dan Psg E. coli sebagai kontrol (-). Baris 1 =
Xoo, 2 = Xcg, 3 = kontrol positif, 4, 8, = fraksi HJ, 5 = Rs, 6 = Psg, 7, 10 = ekstrak kasar (supernatan) HJ, 9 = E. coli.

evaluasi untuk mendeteksi senyawa toksin Photor- Kaya, H.K. and R. Gaugler. 1993. Entomopathogenic
habdus spp. nematodes. Annu. Rev. Entomol. 38:181-206.
• PAb dan teknik NCM-ELISA efektif untuk Klement, Z., K. Rudolph, and D.C. Sand. 1990. Methods in
mendetek-si toksin Photorhabdus spp. dan cukup Phytobacteriology. Akademiai Kiado Press, Budapest.
spesifik dapat membedakan Photorhabdus spp. 568 p.
dengan antigen bakteri lain. Klein, M.G. 1990. Efficacy against soil inhabiting insect
• Penelitian masih perlu dilakukan untuk mengopti- pests. In Gaugler, R. and H.K. Kaya (Eds.). Entomo-
pathogenic Nematodes in Biological Control. CRC
malkan pengujian kepekaan antibodi Photorhab-
Press, Boca Raton. p. 195-214.
dus spp. serta untuk mendapatkan konsentrasi
yang efektif untuk mendeteksi toksin Lelliot, R.A. and D.E. Schaad. 1987. Methods for diagnosis
Photorhabdus spp. of bacterial disease of plant. Published on behalf of the
British Society for Plant Pathology by Blackwell Scien-
tific Publication. Oxford, London, Edinburgh, Boston,
UCAPAN TERIMA KASIH Palo, Alto, Melbourne. 216 p.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada sdr. Poinar, G.O., Jr. 1990. Taxonomy and biology of Steinerne-
Febi Rizkiani sehingga penelitian ini dapat dilaksana- matidae and Heterorhabditidae. In Gaugler, R. and H.K.
Kaya (Eds.). Entomopathogenic Nematodes in Biologic-
kan dan penghargaan kepada sdr. Endang Windiyati,
al Control. CRC Press, Boca Raton. p. 23-61.
Yusuf Habibi, dan Sujatmo atas penyiapan bioasai,
perbanyakan NPS, Photorhabdus spp., dan larva T. Priou, S. 1999. NCM-ELISA for the detection of Ralstonia
molitor. solanacearum. User Manual. International Potato Center
(CIP), Lima, Peru. 12 p.
DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, Y. dan Chaerani. 1999. Potensi nematoda patogen
Bollag, D.M., D.R. Michael, and J.E. Stuart. 1996. Protein serangga dalam pengendalian serangga hama. Dalam
methods 2nd Ed. A John Willey and Sons, Inc. Pub., New Prasadja et al. (Eds.). Proc. Buku 2. Seminar Nasional
York. 414 p. PEI. Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama
yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. PEI Cabang
Bradford, M.M. 1976. A rapid and sensitive method for
Bogor 1999. hlm. 509-514.
quantification of micrograms quantities of protein utiliza-
tion of protein dye binding. Anal. Biochem. 72:249-254. Suryadi, Y. dan T.S. Kadir. 2004. Detection of Xanthomo-
nas oryzae pv. oryzae by NCM-ELISA in naturally
Buecher, E. and I. Popiel. 1989. Growth of Steinernema
infected rice plants. IRRN 29(2):34-35.
feltiae in liquid culture. J. Nematol. 21:500-505.
M.H.V. Van Regenmortel. 1982. Serology and immuno-
Clark, M.F. 1981. Immunosorbent assay in plant pathology.
chemistry of plant viruses. Academic Press, New York.
Annu. Rev. Phytopathol. 19:83-106.
302 p.
Forst and K. Nelson. 1996. Moleculer biology of the symbi-
Woodring, J.L. and H.K. Kaya. 1988. Steinernematid and
otic pathogenic bacteria Xenorhabdus and Photorhab-
Heterorhabditid nematodes: A handbook of techniques.
dus spp. Microbiol. Rev. 60(1):21-43.
South Coop. Ser. Bull. Arkans. Agric. Exp. Stn, Fayet-
ville 331:1-30.
24 JURNAL AGROBIOGEN VOL 2, NO. 1

Vous aimerez peut-être aussi