Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
SOL merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada ruang
intracranial khususnya yang mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat
menimbulkan lesi pada otak seperti kuntusio serebri, hematoma, infark, abses
otak dan tumor intra kranial. ( Long, C 1996 ; 130 )
Adapun definisi Sol Cerebri (tumor otak) adalah proses pertumbuhan
termasuk massa baik itu baik itu bersifat jinak (benigna) dan bersifat ganas
( maligna ) yang mengenai otak dan sumsum tulang belakang( Bullock, 1996 ).
Tumor intrakranial adalah lesi desak ruang yang bersifat jinak maupun
ganas, yang tumbuh di otak, meningen, dan tengkorak. Tumor otak menyebabkan
gangguan neurologis progresif. Gangguan neurologis pada tumor otak biasanya
dianggap disebabkan oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal karena tumor dan
kenaikan tekanan intrakranial (ICP) (Price,Sylvia A, 2006).
Tumor otak berasal dari jaringan neoronal, jaringan otak penyokong,
system retikuloendotelial, lapisan otak, dan jaringan perkembangan residual, atau
dapat bermetastasis dari karsinoma sistemik. Metastasis otak disebabkan oleh
keganasan sistemik dari kanker paru, payudara, melanoma, limfoma, dan kolon.
Tumor otak dapat terjadi pada semua usia : dapat terjadi pada anak usia kurang
dari 10 tahun, tetapi paling sering terjadi pada dewasa usia dekade kelima dan
enam. Pasien yang bertahan dari tumor otak ganas jumlahnya tidak berubah
banyak selama 20 tahun terakhir (Smeltzer, Suzanne C, 2003)
2. Etiologi
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun
telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu
ditinjau, yaitu:
a. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali
pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada
anggota-anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber
yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan
faktor familial yang jelas. Selain jenis- jenis neoplasma tersebut tidak ada
bukti-buakti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas
yang kuat pada neoplasma.
b. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan
yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi
ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh,
menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan
abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan
kordoma.
c. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat
mengalami perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat
memicu terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma
terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
d. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam
proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan
hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem
saraf pusat.
e. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan.
Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti
methylcholanthrone, nitroso-ethyl- urea. Ini berdasarkan percobaan yang
dilakukan pada hewan.
f. Trauma
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma
selaput otak). Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf
pusat belum diketahui (R.Soffieti, 2003).
3. Patofisiologi
4. Manisfestasi Klinis
Tanda dan gejala peningkatan TIK :
a. Sakit kepala
b. Muntah
c. Papiledema
Gejala terlokalisasi ( spesifik sesuai dengan dareh otak yang terkena ) :
d. Tumor korteks motorik ; gerakan seperti kejang kejang yang terletak
pada satu sisi tubuh ( kejang jacksonian )
e. Tumor lobus oksipital ; hemianopsia homonimus kontralateral ( hilang
penglihatan pada setengah lapang pandang , pada sisi yang berlawanan
dengan tumor ) dan halusinasi penglihatan
f. Tumor serebelum ; pusing, ataksia, gaya berjalan sempoyongan dengan
kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot-otot tidak terkoordinasi dan
nistagmus ( gerakan mata berirama dan tidak disengaja )
g. Tumor lobus frontal ; gangguan kepribadian, perubahan status emosional
dan tingkah laku, disintegrasi perilaku mental, pasien sering menjadi
ekstrim yang tidak teratur dan kurang merawat diri
h. Tumor sudut serebelopontin ; tinitus dan kelihatan vertigo, tuli
( gangguan saraf kedelapan ), kesemutan dan rasa gatal pada wajah dan
lidah ( saraf kelima ), kelemahan atau paralisis ( saraf kranial keketujuh ),
abnormalitas fungsi motorik.
i. Tumor intrakranial bisa menimbulkan gangguan kepribadian, konfusi,
gangguan bicara dan gangguan gaya berjalan terutam pada lansia.
( Brunner & Sudarth, 2003 ; 2170 )
5. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan ; memberi informasi spesifik mengenai
jumlah, ukuran, kepadatan, jejas tumor dan meluasnya odema cerebral serta
memberi informasi tentang sistem vaskuler
2. MRI ; membantu dalam mendeteksi tumor didalam
batang otakdan daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran
yang menggunakan CT Scan
3. Biopsi Stereotaktik ; dapat mendiagnosa kedudukan
tumor yang dalam dan untuk memberi dasar pengobatan serta informasi
prognosis.
4. Angiografi ; memberi gambaran pembuluh
darahserebral dan letak tumor
5. Elektro ensefalografi ; mendeteksi gelombang otak
abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk
mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang ( Doenges, 2000 ).
6. Penatalaksanaan Medis
Tumor otak yang tidak terobati menunjukkan ke arah kematian, salah satu akibat
peningkatan TIK atau dari kerusakan otak yang disebabkan oleh tumor. Pasien
dengan kemungkinan tumor otak harus dievaluasi dan diobati dengan segera bila
memungkinkan sebelum kerusakan neurologis tidak dapat diubah. Tujuannya
adalah mengangkat dan memusnahkan semua tumor atau banyak kemungkinan
tanpa meningkatkan penurunan neurologik (paralisis, kebutaan) atau tercanya
gejala-gejala dengan mengangkat sebagian (dekompresi). Pendekatan
pembedahan (craniotomy). Dilakukan untuk mengobati pasien meningioma,
astrositoma kistik pada serebelum, kista koloid pada ventrikel ke-3, tumor
kongenital seperti demoid dan beberapa granuloma. Untuk pasien dengan glioma
maligna, pengangkatan tumor secara menyeluruh dan pengobatan tidak mungkin,
tetapi dapat melakukan tindakan yang mencakup pengurangan TIK, mengangkat
jaringan nefrotik dan mengangkat bagian besar dari tumor yang secara teori
meninggalkan sedikit sel yang tertinggal atau menjadi resisten terhadap radiasi
atau kemoterapi. Pendekatan kemoterapy. Terapi radiasi merupakan dasar pada
pengobatan beberapa tumor otak, juga menurunkan timbulnya kembali tumor
yang tidak lengkap transplantasi sum-sum tulang autologi intravens digunakan
pada beberapa pasien yang akan menerima kemoterapi atau terapi radiasi karena
keadaan ini penting sekali untuk menolong pasien terhadap adanya keracunan
sumsum tulang sebagai akibat dosis tinggi radiasi. Kemoterapi digunakan pada
jenis tumor otak tertentu saja. Hal ini bisa digunakan pada klien :
1. Segera setelah pembedahan/tumor reduction kombinasi
dengan terapi adiasi.
2. Setelah tumor recurance.
3. Setelah lengkap tindakan radiasi.
Pendekatan stereotaktik Stereotaktik merupakan elektroda dan kanula
dimasukkan hingga titik tertentu di dalam otak dengan tujuan melakukan
pengamatan fisiologis atau untuk menghancurkan jaringan pada penyakit seperti
paralisis agitans, multiple sklerosis & epilepsy. Pemeriksaan untuk mengetahui
lokasi tumor dengan sinar X, CT, sedangkan untuk menghasilkan dosis tinggi
pada radiasi tumor sambil meminimalkan pengaruh pada jaringan otak di
sekitarnya dilakukan pemeriksaan Radiosotop (III) dengan cara ditempelkan
langsung ke dalam tumor.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral
2. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas
3. Nyeri ( akut ) / kronis
4. Perubahan persepsi sensori
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
6. Cemas
3. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
dibuktikan dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori,
perubaan respon motorik / sensori, gelisah dan perubahan tanda vital
Kriteria evaluasi : Pasien akan dipertahankan tingkat kesadaran , perbaiakan
kognisi, fungsi motorik / sensorik, TTV stabil, tidak ada tanda peningkatan
TIK
Intervensi :
a. Tentukan penyebab penurunan perfusi jaringan
b. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nila
standar ( GCS )
c. Pantau TTV
d. Kaji perubahan penglihatan dan keadan pupil
e. Kaji adanya reflek ( menelan, batuk, babinski )
f. Pantau pemasukan dan pengeluaran cairan
g. Auskultasi suara napas, perhatikan adananya hipoventilasi, dan suara
tambahan yang abnormal
Kolaborasi :
h. Pantau analisa gas darah
i. Berikan obat sesuai indikasi : deuretik, steroid, antikonvulsan
j. Berikan oksigenasi
3. Nyeri ( akut ) / kronis b.d agen pencedera fisik, kompresi saraf oleh SOL,
peningkatan TIK, ditandai dengan : menyetakan nyeri oleh karena perubahan
posisi, nyeri, pucat sekitar wajah, perilaku berhati hati, gelisah condong
keposisi sakit, penurunan terhadap toleransi aktivitas, penyempitan fokus pad
dirisendiri, wajah menahan nyeri, perubahna pla tidur, menarik diri secara
fisik
Kriteria evalusi : pasien melaporkan nyeri berkurang, menunjukan perilaku
untuk mengurangi kekambuhan atau nyeri .
Intervensi :
a. kaji keluhan nyeri
b. Observasi keadaan nyeri nonverbal ( misal ; ekspresi wajah, gelisah,
menangis, menarik diri, diaforesis, perubaan frekuensi jantung,
pernapasan dan tekanan darah.
c. Anjurkan untuk istirahat denn tenang
d. Berikan kompres panas lembab pada kepala, leher, lengan sesuai
kebutuhan
e. Lakukan pemijatan pada daerah kepala / leher / lengan jika pasien dapat
toleransi terhadap sentuhan
f. Sarankana pasien untuk menggnakan persyaratan positif “ saya sembuh “
atau “ saya suka hidup ini “
Kolaborasi :
g. Berikan analgetik / narkotik sesuai indikasi
h. Berikan antiemetiksesuai indikasi
4. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensoris, transmisi dan atau
integrasi ( trauma atau defisit neurologis ), ditandai denagg disorientasi,
perubaan respon terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan pola
komunikasi, distorsi auditorius dan visual, penghidu, konsentrasi buruk,
perubahan proses pikir, respon emosiaonal berlebihan, perubahan pola
perilaku
Kriteria evaluasi : pasien dapat dipertahanakan tingkat kesadaran dan fuingsi
persepsinya, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan
residu, mendemonstrasikan perubahan gaya hidup.
Intervensi :
a. Kaji secar teratur perubahan orientasi, kemampuan bicara, afektif,
sensoris dan proses pikir
b. Kaji kesadaran sensoris seperti respon sentuan , panas / dingin, benda
tajam atau tumpul, keadaran terhadap gerakan dan letak tubuh,
perhatkian adanya masalah penglihatan
c. Observasi repon perilaku
d. Hilangkan suara bising / stimulus ang berlebihan
e. Berikan stimulus yang berlebihan seperti verbal, penghidu, taktil,
pendengaran, hindari isolasi secara fisik dan psikologis
Kolaborasi :
f. pemberian obat supositoria gna mempermudah proses BAB
g. konsultasi dengan ahli fisioterapi / okupasi
Intervensi :
a. Pantau masukan makanan setiap hari
b. Ukur BB setiap hari sesui indikasi
c. Dorong pasien untuk makandiit tinggi kalori kaya nutrien sesui program
d. Kontrol faktor lingkungan ( bau, bising ) hindari makanan terlalu manis,
berlemak dan pedas. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan
e. Identifikasipasien yang mengalami mual / muntah
Kolaborasi :
f. Pemberian anti emetik dengan jadwal reguiler
g. Vitamin A, D, E dan B6
h. Rujuk kepada ahli diit
i. Pasang / pertahankan slang NGT untuk pemberian makanan enteral
( Doenges, 2000 dan L.J Carpenito, 1997 ).
Barbara C. Long, alih bahasa R.Karnaen dkk, 1996, Perawatan Medikal Bedah. EGC,
Jakarta
Barbara L. Bullock 1996, Patofisiology, Adaptasi and alterations infeksius function,
Fourth edition, Lipincott, Philadelpia
Brunner & Sudarth, 2003, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 , EGC,
jakarta
Lynda Juall Carpenito, Alih bahasa Yasmin Asih, 1997, Diagnosa Keperawatan , ed
6, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, et al, 1997, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, jakarta
Sylvia A. Price, Alih bahasa Adji Dharma, 1995 Patofisiologi, konsep klinik proses-
proses penyakit ed. 4, EGC, Jakarta