Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Halaman
2.1 Bibliografi............................................................................................................ 3
PENDAHULUAN
Menurut WHO frambusia termasuk penyakit tropis yang terabaikan (neglected tropical
disease). Indonesia merupakan penyumbang kasus frambusia terbesar di Asia Tenggara
selain India dan Timor Leste. Di Indonesia, sampai tahun 2009 masih ada 8.309 kasus
frambusia yang menginfeksi di 18 dari 33 provinsi, lima provinsi di antaranya termasuk
kategori prevalensi tinggi. Frambusia merupakan indikator keterbelakangan suatu negara.
Sampai saat ini, frambusia masih belum dapat dieliminasi dari seluruh wilayah Indonesia.
beberapa provinsi masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi, antara lain Nusa Tenggara
Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Papua, Aceh, Jambi, Maluku, dan Maluku Utara. Telah
diketahui bahwa perilaku, khususnya aktivitas mandi, merupakan faktor risiko frambusia.
Penyakit ini sangat terkait dengan kondisi rumah, perilaku, dan sosial ekonomi. Tingkat
sosial ekonomi rendah, hunian yang padat, dan kebiasaan bergantian pakaian juga
memengaruhi kejadian penyakit ini.
1.2 Tujuan
Tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah kesehatan lingkungan dengan topik AIR
BERSIH DAN SANITASI agar kita dapat menganalisis faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian penyakit berbasis kesehatan lingkungan, salah satunya adalah penyakit
frambusia.
BAB II
KAJIAN ANALISIS ARTIKEL
2.1 Bibliografi
Bibliografi pada kajian analisis artikel sebagai berikut:
3. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa PHBS pada kelompok kasus lebih banyak yang
kurang dibandingkan PHBS pada kelompok kontrol. Hasil uji kai kuadrat didapatkan
nilai p < 0,05, yang artinya terdapat hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dari
masyarakat dengan kejadian penyakit frambusia. Hasil perhitungan OR didapatkan nilai
7 yang artinya mereka yang mempunyai PHBS kurang mempunyai risiko terkena
frambusia 7 kali lebih besar dibandingkan mereka yang mempunyai PHBS yang baik.
Hal ini sesuai dengan pengamatan, bahwa perilaku masyarakat dalam menjaga diri masih
sangat kurang, antara lain jarang mandi dan kalaupun mandi jarang menggunakan sabun,
jarang mencuci tangan, jarang keramas, jarang memotong kuku, jarang mengganti dan
mencuci pakaian, setelah mandi tidak mengeringkan badan dengan handuk, dan masih
ada yang menggunakan pakaian secara bergantian dengan anggota keluarga lainnya.
Status higiene perorangandan lingkungan yang kurang baik serta kurangnya pengetahuan
tentang kebersihan diri dapat dijadikan sebagai faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian frambusia. Dengan PHBS yang masih kurang baik akan memudahkan
penularan Treponema palidum, kuman penyebab frambusia. Penularan frambusia pada
umumnya terjadi karena kontak langsung dengan penderita. Selain itu, frambusia juga
dapat ditularkan secara tidak langsung, yaitu kontak dengan benda-benda yang sudah
terkontaminasi oleh cairan dari luka penderita frambusia. Faktor risiko frambusia tidak
bersifat tunggal, tetapi banyak dan saling terkait. Faktor-faktor risiko yang saling
berkaitan yang telah diketahui adalah kondisi rumah, status sosial-ekonomi, dan perilaku
termasuk perilaku berganti pakaian. Mobilisasi penduduk yang tinggi merupakan salah
satu faktor yang memengaruhi kejadian frambusia di suatu daerah.Anak-anak, yang
sebagian besar terinfeksi, umumnya mempunyai mobilitas tinggi, baik karena bersekolah
maupun karena bermain di tetangganya sehingga ada kemungkinan kontak dan
menularkan frambusia kepada orang lain selain anggota keluarganya. Aksesibilitas agent
menginfeksi host serta pencemaran lingkungan yang cukup tinggi juga didukung oleh
kemampuan mikroba patogen ini untuk mengubah sifat dirinya dari waktu ke waktu,
misalnya melakukan mutasi yang menimbulkan perubahan sifat dan resistensi terhadap
obat-obatan.
4. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa pengetahuan tentang frambusia pada kelompok
kasus sebagian besar masih kurang, sedangkan pada kelompok kontrol sudah baik. Hasil
uji kai kuadrat didapatkan nilai p > 0,05 yaitu 0,283 yang berarti tidak ada hubungan
pengetahun tentang frambusia dengan kejadian penyakit frambusia. Penelitian ini
menemukan bahwa tidak ada hubungan pengetahuan masyarakat tentang frambusia
dengan kejadian penyakit frambusia. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit
frambusia pada kelompok kasus masih sangat kurang karena ada anggapan yang salah
bahwa penyakit frambusia, atau masyarakat setempat menyebutnya dengan Ndawa,
merupakan hal yang biasa karena penyakit ini tidak menimbulkan rasa sakit. Pada
kelompok kasus, sebagian besar masyarakat tidak tahu gejala, cara penularan, dan cara
pencegahan frambusia. Hal ini berbeda dengan kondisi kelompok kontrol yang sebagian
besar masih mengerti tentang penyakit frambusia atau Ndawa serta gejala, pengobatan,
dan faktor yang mempengaruhi kejadian frambusia. Meskipun dalam penelitian ini
secara statistik pengetahuan tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian frambusia, Dalam penelitian ini, rendahnya pengetahuan masyarakat tentang
frambusia mungkin disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, akses informasi
yang kurang, dan akses pelayanan kesehatan yang sulit karena lokasinya jauh dan sulit
dijangkau dari puskesmas. Pengetahuan tentang frambusia yang rendah akan
mengakibatkan pula kebersihan diri dan lingkungan sekitar menjadi buruk. Tantangan
eradikasi frambusia sekarang adalah bahwa pemberantasan frambusia bukan program
utama dalam program nasional kesehatan, akses masyarakat di daerah terpencil ke
pelayanan kesehatan, dan resistensi frambusia terhadap penisilin. Sekitar 10% kasus
frambusia dapat menyebabkan ketidakmampuan dan kecacatan organ sekitar sehingga
pengobatan penderita frambusia sampai sembuh sangat penting.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian analisis artikel ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
Bahwa kondisi SAB dan PHBS masyarakat yang kurang berhubungan secara bermakna
dengan kejadian penyakit frambusia pada anak-anak. Namun, pengetahuan masyarakat
yang kurang tentang epidemiologi frambusia terbukti tidak berhubungan secara bermakna
dengan kejadian frambusia
3.2 Saran
Dinas kesehatan/puskesmas diharapkan dapat bekerja sama dengan Dinas Pendidikan,
Pemuda, dan Olahraga (PPO) untuk memberikan penyuluhan tentang frambusia,
menyediakan sarana air bersih, meningkatkan penemuan penderita dan yang kontak
dengan penderita secara aktif, dan mengobati penderita sampai tuntas. Masyarakat
diharapkan meningkatkan PHBS, seperti mandi dua kali sehari dengan memakai sabun,
tidak tukar-menukar dalam berpakaian atau handuk, dan selalu memakai air bersih untuk
keperluan mandi dan mencuci. Bila masyarakat terinfeksi frambusia segera berobat ke
sarana pelayanan kesehatan sampai sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
Asiedu K, Amouzou B, Dhariwal A, Karam M, Lobo D, Patnaikf S, et al. Yaws eradication: past
efforts and future perspectives. Bulletin of the World Health Organization. 2008; 86(7):
499.
Rinaldi A. Yaws eradication: facing old problem, raising new hopes. Plos Neglected Tropical
Diseases. 2012; e1837.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pemberantasan penyakit frambusia.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2005.
World Health Organization. Regional strategy on eradication of yaws 2006-2010. Geneva:
World Health Organization; 2006.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2006. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
Boedisusanto RI, Waskito F, Kushadiwijaya H. Analisis kondisi rumah, sosial dan perilaku
sebagai faktor risiko kejadian frambusia di Kota Jayapura tahun 2007. Berita Kedokteran
Masyarakat. 2009; 25(2): 82-7.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemberantasan penyakit menular dan penyehatan
lingkungan penyakit frambusia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1991.
Notoatmodjo S. Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta; 2002.
BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. Nusa Tenggara Timur dalam angka 2011. Kupang: Badan
Pusat Statistik; 2012.
Amin R, Basher A, Zaman F, Faiz MA. Global eradication of yaws: neglected disease with
research priority. Journal of Medicine. 2009; 10: 109-14.
Hamzah H. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jurnal ManajemenPelayanan Kesehatan.
2008; 2: 72-6.