Vous êtes sur la page 1sur 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit adalah salah satu pusat pelayan kesehatan yang

diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Selama menjalankan fungsinya

rumah sakit diharapkan senantiasa memperhatikan mutu pelayanan yang

diberikan. Mutu pelayanan rumah sakit sangat dipengaruhi oleh sumber daya

manusia yang ada didalamnya (Depkes RI, 2012). Salah satu sumber daya yang

terdapat di rumah sakit adalah perawat. Di Indonesia dari 220.776 orang tenaga

kesehatan yang ada di rumah sakit sebanyak 110.782 orang adalah perawat

(Depkes RI, 2012)


Pekerjaan perawat sangatlah berat, dari satu sisi perawat harus

menjalankan tugas yang menyangkut kelangsungan hidup pasien yang dirawat.

Disisi lain, keadaan perawat sendiri juga harus tetap terjaga. Jika tidak, akibatnya

kinerja mereka akan menjadi buruk dan secara tidak langsung berpengaruh

terhadap mutu pelayanan kesehatan di mana mereka bekerja (Nursalam, 2014).

Menurunnya kualitas pelayanan bukan hanya karena faktor mutu tenaga, tetapi

dapat juga karena tingginya beban kerja yang berakibat perawat menjadi letih

secara fisik dan mental. Hal ini bisa tampak bila terjadinya kenaikan jumlah

kunjungan pasien dan meningkatnya Bed Occupancy Rate (BOR), sedangkan

jumlah perawat tetap dalam periode waktu yang lama (Ilyas, 2013). BOR atau

persentase penggunaan tempat tidur merupakan indikator yang memberikan

gambaran tinggi redahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur pada waktu tertentu

1
yang didefinisikan sebagai rasio jumlah hari perawatan RS terhadap jumlah

tempat tidur dikalikan dengan jumlah hari dalam satuan waktu. BOR dapat

dihitung dengan membandingkan jumlah tempat tidur pasien yang ada diruangan

dengan jumlah pasien diruangan tersebut. Nilai standar dari BOR adalah 65% -

85% (Depkes RI, 2005).


Menurut Depkes RI tahun 2005, rata – rata tingkat pemakaian tempat

tidur (BOR) di rumah sakit di Indonesi tahun 2005 dimana provinsi NTT memiliki

rata – rata BOR yang paling tinggi diantara provinsi yang lainnya yaitu dengan

nilai BOR 89,60%, dilanjutkan dengan provinsi Papua diposisi dua tertinggi yaitu

dengan nilai BOR 79,60%, provinsi Sulawesi Selatan menduduki nilai BOR

tertinggi ketiga yaitu dengan nilai 75,10%. Provinsi Bali sendiri memiliki nilai

BOR 66,50%.
Semakin tinggi BOR di suatu rumah sakit maka dapat dikatakan rumah

sakit tersebut semakin baik, karena rumah sakit tersebut dapat memanfaatkan

kapasitas pelayanannya dengan maksimal. Nilai BOR yang tinggi memberikan

feedback yang positif untuk perkembangan rumah sakit. Namun bersamaan

dangan itu pastilah harus disertai dengan peningkatan pelayanan yang diberikan

oleh rumah sakit. Meningkatnya BOR otomatis akan membuat beban kerja

perawat meningkat. Beban kerja yang meningkat berdampak pada kondisi

emosional perawat seperti merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik

sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat yang sering disebut burnout.

Perawat yang mengalami burnout dan mempunyai lingkungan yang kurang aman

dapat memberikan perawatan yang kurang efisien daripada perawat yang tidak

mengalami burnout. Perawat yang mengalami burnout juga beresiko melakukan

2
kesalahan yang berpotensi merugikan pasien. Burnout juga terbukti menjadi

penyebab terjadinya peningkatan turnover sehingga membuat cost rumah sakit

semakin meningkat (Hoskins, 2013).


Burnout merupakan kelelahan secara fisik, emosional, dan mental yang

disebabkan keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh dengan tuntutan

emosional. Bibliografi terbaru harrison DF (1998) dalam Harnida (2015) yang

memuat 2496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan 43% burnout

dialami pekerja kesehatan dan sosial (perawat), 32% guru (pendidik), 9% dialami

pekerja administrasi dan manajemen, 4% pekerja di bidang hukum dan kepolisian,

dan 2% dialami pekerja lainnya. Dari persentase tersebut terlihat bahwa profesi

perawat menempati urutan tertinggi sebagai profesi yang paling banyak

mengalami burnout. Menurut Coustsse (2015) burnout syndrome terjadi pada 49%

perawat baru dibawah 30 tahun dan 40% pada perawat diatas 30 tahun di Amerika

Serikat karena beban kerja yang tinggi yang menyebabkan penurunan performa

kerja.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Wangaya

Denpasar didapatkan nilai rerata BOR tiga bulan terakhir di tahun 2018 adalah

67,67%, dimana nilai BOR ini masih dikatakan ideal, namun dibeberapa ruangan

masih terjadi ketimpangan nilai BOR, diantaranya ada ruang Angsa dengan rerata

nilai BOR tiga bulan terakhir di tahun 2018 adalah 92,31%, ruang Belibis 62,63%,

ruang Cendrawasih 76,81% dan ruang Kaswari 53,20%.


Perbedaan BOR ini tentu membuat beban kerja di pada setiap ruangan

ini berbeda. Dengan perbedaan beban kerja yang dialami perawat di semua

ruangan ini tentu akan menimbulkan tingkat burnout yang berbeda pula, dimana

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) tentang hubungan beban

3
kerja terhadap burnout syndrome pada perawat pelaksana ruang intermediet di

RSUP Sanglah menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

beban kerja dengan burnout syndrome pada perawat. Untuk mengatasi masalah

tersebut pihak managemen RSUD Wangaya bagian bidang keperawatan sudah

melakukan beberapa trobosan seperti melakukan rotasi perawat sesuai dengan

tingkatannya masing – masing agar perawat yang di rotasi tersebut memiliki

jobdisk yang sama. RSUD Wangaya menerapkan sistem keperawatan primer

termodifikasi dimana satu perawat primer akan dibantu oleh beberapa perawat

pelaksana dalam merawat pasien (Nurssalam, 2011).


Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat primer

termodifikasi di ruang Angsa RSUD Wangaya Denpasar didapatkan hasil bahwa

dengan nilai BOR sekian perawat merasa jenuh karena beban kerja yang dirasakan

berat dimana perawat primer dapat memegang 8 sampai 10 bed walaupun dibantu

oleh perawat pelaksana tetapi perawat tetap merasa jenuh. Kejenuhan yang

dirasakan perawat juga didukung oleh lama perawat tersebut bekerja disana.
Dari uraian diatas peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian

tentang bagaimana hubungan antara BOR dengan burnout pada perawat di ruang

rawat inap RSUD Wangaya Depasar, mengingat besarnya dampak yang dapat

ditimbulkan jika terjadi burnout.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang maka penulis ingin mengetahui

“Hubungan BOR dengan burnout pada perawat di ruang rawat inap RSUD

Wangaya Denpasar.”

1.3 Tujuan Penelitian

4
1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada

hubungan BOR dengan burnout pada perawat di ruang rawat inap RSUD

Wangaya Denpasar.

1.3.2 Tujuan khusus


1.3.2.1 Mengidentifikasi nilai BOR di ruang rawat inapRSUD Wangaya Denpasar.
1.3.2.2 Mengidentifikasi tingkat burnout pada perawat di ruang rawat inap RSUD

Wangaya Denpasar.
1.3.2.3 Mengidentifikasi hubungan BOR dengan burnout di ruang rawat inap

RSUD Wangaya Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
1.4.1.1 Untuk Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data awal dalam

melaksanakan penelitian lebih lanjut yang terkait dengan BOR dan burnout

perawat.

1.4.1.2 Untuk Dunia Kesehatan

Menguji secara empiris apakah ada hubungan antara BOR dengan

burnout pada perawat di ruang rawat inap RSUD Wangaya Denpasar.

1.4.2 Manfaat Praktis


1.4.2.1 Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi,

masukan dan bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana peningkatan

kualitas pelayanan di RSUD Wangaya Denpasar dengan memberikan

5
informasi bagi perawat klinis mengenai kiat-kiat dalam mengantisipasi

burnout.
1.4.2.2 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan peningkatan kualitas

pelayanan kesehatan terhadap pasien secara langsung, sehingga pasien dapat

menerima pelayanan kesehatan sesuai dengan yang diharapkan.

1.5 Keaslian Penelitian


1. Penelitian yang sejenis telah dilakukan oleh peneliti lain seperti:

Penelitian yang dilakukan oleh Eliyana, 2015 dengan judul “Faktor - Faktor

yang Berhubungan dengan Burnout Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap

RSJ Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2015”. Penelitian bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara faktor demografik, faktor personal dan faktor

organisasi terhadap burnout perawat pelaksana di unit rawat inap RSJ

Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian deskriptif dengan metode kuantitatif

potong lintang menggunakan instrumen MBI (Maslach Burnout Inventory).

Sampel yang diambil adalah total sampling berjumlah 122 orang. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa burnout perawat pelaksana dalam

kategori rendah sebesar 82,8% dan kategori sedang sebesar 17,2% serta

variabel yang paling dominan dengan burnout adalah variabel beban kerja.

Perbedaan dari peneletian ini adalah pada variabel bebas dan lokasinya.

Persamaannya adalah sama – sama meneliti tentang burnout.


2. Penelitian yang sejenis telah dilakukan oleh peneliti lain seperti:

Penelitian yang dilakukan oleh Pande Putu Ida Oktayani, 2018 dengan judul

“Hubungan antara self efficacy dengan burnout pada perawat di Rumah

6
Sakit BIMC Kuta tahun 2017”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara self efficacy dengan burnout pada perawat di Rumah Sakit

Khusus Bedah BIMC Kuta Tahun 2017. Penelitian ini menggunakan

rancangan cross sectional, sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang

berjumlah 40 orang diambil yang masuk kriteria inklusi, instrument

penelitian terdiri dari 2 kuisioner yaitu Generilized Self Efficacy Test untuk

mengukur self efficacy sebanyak 10 item pertanyaan dan Maslach Burnout

Inventory untuk mengukur burnout sebanyak 22 item pertanyaan. Hasil

penelitian menunjukan tingkat burnout sedang (37,5%) sebanyak 15

responden. Tingkat Self efficacy tinggi (87,8%) sebanyak 36 responden.

Hasil uji korelasi Rho Spearman menyatakan terdapat hubungan yang

signifikan antara self efficacy dengan burnout pada perawat di Rumah Sakit

Khusus Bedah BIMC Kuta Tahun 2017 dengan nilai sig. (2 tailed) 0,04

dengan koefisien korelasi 0,669, dapat disimpulkan terdapat hubungan yang

signifikan antara self efficacy dengan burnout pada perawat di Rumah Sakit

Khusus Bedah BIMC Kuta Tahun 2017.Perbedaan dari peneletian ini adalah

pada variabel bebas dan lokasinya. Persamaannya adalah sama – sama

meneliti tentang burnout.

Vous aimerez peut-être aussi