Vous êtes sur la page 1sur 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan
kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh dan
elektrolit, asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorbsi selektif
air, elektrolit dan non-elektrolit, serta mengekskresi kelebihannya sebagai urine. Fungsi
primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstra sel dalam
batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi
glomerulus, reabsorbsi dan sekresi tubulus. Ginjal dilalui oleh sekitar 1.200 ml darah per
menit, suatu volume yang sama dengan 20 sampai 25 persen curah jantung (5.000 ml per
menit). Lebih 90% darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks, sedangkan sisanya
dialirkan ke medulla. Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-
communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus,
dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable
diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama.

Penyakit ginjal layaknya fenomena gunung es, jumlah yang tidak terdeteksi lebih
besar dibanding pasien yang telah divonis gagal ginjal hanya sekitar 0,1% kasus yang
terdeteksi, semantara kasus yang tidak terdeteksi diperkirakan mencapai 11-16%.
Penderita gagal ginjal berada pada kisaran usia 50 tahun yang masih termasuk usia
produksi. Gagal ginjal kronik merupakan suatu kelainan pada ginjal dimana ketika
dilakukan pemeriksaan diketahui terdapat darah dan kadar protein yang tinggi didalam
urine diperoleh hasil sekitar 2,8% diketahui ada protein dalam urine dan 22-25 %
diketahui menderita hipertensi (medicastore, 2008). Indonesia termasuk tingkat penderita
gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut data dari Penetri (Persatuan Nefrologi Indonesia)
sampai 2 Januari 2011 di perkirakan ada 70 ribu penderita gagal ginjal di Indonesia yang
membutuhkan cangkok ginjal.

Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat
membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi
yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit
pembuluh darah perifer. Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang
memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal

1
kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit
saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia.

Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan
pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal
kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah
menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi,
dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu,
upaya yang harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif
terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko
untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.

Kelainan-kelainan klinis diatas karena uremia yang berada pada organ-organ tubuh
sehingga mengalami penuruan fungsi pada organ yang diserang. Berbagai macam
masalah yang ditimbulkan akibat gagal ginjal kronik membutuhkan ketrampilan dan
pengetahuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan gagal
ginjal kronik. Pengkajian harus dilakukan secara teliti dan komprehensif meliputi aspek
biopsikososiokultural supaya dalam menegakkan diagnosa keperawatan menetapkan
tujuan, memberikan tindakan keperawatan sesuai dengan masalah klien (Doengoes,
1999). Pelayanan asuhan keperawatan di tujukan untuk mempertahankan, meningkatkan
kesehatan dan menolong individu untuk mengatasi secara tepat masalah kesehatan sehari-
hari, penyakit, kecelakaan, atau ketidak mampuan bahkan kematian (Depkes 2004).

Mengingat begitu kompleksnya akibat yang ditimbulkan pada klien dengan gagal
ginjal kronik dan banyaknya komplikasi yang terjadi. Hal inilah yang melatar belakangi
penulis mengambil karya tulis ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan pada Tn. M
dengan Cronic Kidney Disease (CKD) + Sepsis + Asidosis Metabolik + Anemia dengan
Ventilasi mekanik diruang ROI IRD lantai 3 RSUD dr. Soetomo Surabaya.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada pasien CKD dengan ventilasi mekanik
di Ruang ICU RSUD dr. Soetomo Surabaya?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Umum
Untuk dapat mengetahui Asuhan Keperawatan pada pasien CKD dengan ventilasi
mekanik di Ruang ICU RSUD dr. Soetomo.
1.3.2 Khusus
a. Melakukan Pengkajian data pada pasien CKD dengan ventilasi mekanik di
Ruang ICU RSUD dr. Soetomo Surabaya
b. Menemukan Masalah keperawatan pada pasien CKD dengan ventilasi mekanik
di Ruang ICU RSUD dr. Soetomo Surabaya
c. Memberikan Intervensi keperawatan pada pasien CKD dengan ventilasi
mekanik di Ruang ICU RSUD dr. Soetomo Surabaya
d. Mengimplementasikan Intervensi yang telah dibuat pasien CKD dengan
ventilasi mekanik di Ruang ICU RSUD dr. Soetomo Surabaya.

3
1.4 MANFAAT PENULISAN
1. Manfaat teoritis
Dengan adanya karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada
Tn.AJ Diagnosa CKD dengan ventilasi mekanik di ruang ICU RSUD Dr. Soetomo
Surabaya” diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu menambah pengetahuan dan
wawasan bagi pembaca.

2. Manfaat Praktek

a. Bagi Penyusun

Manfaat dari penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai proses
pembelajaraan dan menanbah wawasan tentang Asuhan Keperawatan Dengan
diagnosa CKD yang terpasang Ventilator yang nantinya dapat di terapkan dalam
penanganan di Rumah Sakit.

b. Bagi Perawat
Manfaat penulisan karya tulis ini bagi perawat adalah sebagai dasar teori
dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP CKD


2.1.1 DEFINISI
a. Chronic Kidney Disease (CKD)/ Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga terjadi uremia
b. Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir End Stage Renal Disease
(ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).
c. Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan
laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang
dan berat (Mansjoer, 2007).
d. Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk
mempetahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah (Smeltzer, 2001).

2.1.2 ETIOLOGI
Gagal ginjal kronik dapat timbul dari hampir semua penyakit. Apapun
sebabnya, dapat menimbulkan perburukan fungsi ginjal secara progresif. Dibawah ini
terdapat beberapa penyebab gagal ginjal kronik.

a. Tekanan Darah Tinggi


Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan –
perubahan stuktur pada arteriol diseluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis
dan hialinisasi (sklerosis) di dinding pembuluh darah. Organ sasaran
utamanya adalah jantung, otak, ginjal dan mata.

5
Pada ginjal adalah akibat aterosklerosis ginjal akibat hipertensi lama
menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini merupakan akibat langsung
dari iskemia renal. Ginjal mengecil, biasanya simetris dan permukaan
berlubang – lubang dan berglanula. Secara histology lesi yang esensial
adalah sklerosis arteri arteri kecil serta arteriol yang paling nyata pada
arteriol eferen. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan
kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak
(price, 2005:933).
b. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis terjadi karena adanya peradangan pada glomerulus
yang diakibatkan karena adanya pengendapan kompleks antigen antibody.
Reaksi peradangan diglomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen,
sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus dan filtrasi glomerulus. Protein-protein plasma dan sel
darah merah bocor melalui glomerulus. Glomerulonefritis dibagi menjadi
dua yaitu:
c. Gomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara
mendadak.
d. Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis kronik adalah pradangan yang lama dari sel-sel
glomerulus. (Price, 2005. 924)
e. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Nefritis lupus disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang
terperangkap dalam membrane basalis glomerulus dan menimbulkan
kerusakan. Perubahan yang paling dini sering kali hanya mengenai
sebagian rumbai glomerulus atau hanya mengenai beberapa glomerulus
yang tersebar. (Price, 2005:925)
f. Penyakit Ginjal Polikistik
Polycystic Kidney Disease (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple,
bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan.Semakin lama
ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal, sehingga ginjal akan
menjadi rusak (GGK) (Price, 2005:937
6
g. Pielonefritis
Pielonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal itu sendiri.
Pielonefritis itu sendiri dapat bersifat akut atau kronik. Pielonefritis akut
juga bisa terjadi melalui infeksi hematogen. Pielonefritis kronik dapat
terjadi akibat infeksi berulang-ulang dan biasanya dijumpai pada individu
yang mengidap batu, obstruksi lain, atau refluks vesikoureter. (Price, 2005:
938)
h. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyebab tunggal End Stage Renal Disease
(ESRD) yang tersering, berjumlah 30% hingga 40% dari semua kasus.
Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam bentuk.
Nefropati diabetic adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi
diginjal pada diabetes mellitus (Price, 2005:941).
Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga End Stage
Renal Disease (ESRD) dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium:
a) Stadium 1 (fase perubahan fungsional dini) ditandai dengan
hipertropi dan hiperfentilasi ginjal, pada stadium ini sering terjadi
peningkatan gromerular filtration rate (GFR) yang disebabkan
oleh banyak factor yaitu, kadar gula dalam darah yang tinggi,
glucagon yang abnormal hormone pertumbuhan, efek rennin,
angiotensin II danprostaglandin.
b) Stadium 2 (fase perubahan struktur dini) ditandai dengan
penebalan membrane basalis kapiler glomerulus dan
penumpukan sedikit demi sedikit penumpukan matriks
mesangial.
c) Stadium 3 (Nefropati insipient)
d) Stadium 4 (nefropati klinis atau menetap)
e) Stadium 5 (Insufisiensi atau gagal ginjal progresif)

7
2.1.3 PATOFISIOLOGI

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini
fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau
lebih rendah daripada itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner
& Suddarth, 2001 : 1448).

2.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:

a. Gangguan kardiovaskuler

Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi


perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama
jantung dan edema.

b. Gangguan Pulmoner

Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.

8
c. Gangguan gastrointestinal

Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme


protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.

d. Gangguan muskuloskeletal

Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan


burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ),
tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.

e. Gangguan Integumen

Kulit berwarna pucat akibat anemia, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis
dan rapuh.

f. Gangguan endokrin

Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan


menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic
lemak dan vitamin D.

g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

h. System hematologi

Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,


sehingga rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang, hemolisis
akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat
juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

9
2.1.5 Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium

 Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum


normal dan penderita asimptomatik.

 Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75 % jaringan telah rusak,


Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.

 Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

K/DOQI merekomendasikan pembagian Cronik Renal Disease (CKD)


berdasarkan stadium dari

a. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan


LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
b. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan Laju
Filtrasi Glumerolus (LFG) antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
c. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
d. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
e. Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
1) Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
2) Observasi balance cairan
3) Observasi adanya odema
4) Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
1) peritoneal dialysis

Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.

10
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat
akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
2) Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
1) AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
2) Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke
jantung )
c) Operasi
a. Pengambilan batu
b. Transplantasi ginjal

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif
dalam perawatan mencakup :
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis, metabolik, katabolisme, dan
masukan diet berlebihan
b. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiontensin – aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah
selama hemadialisis
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar
aluminium.

11
2.1.8 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien CKD
a) Pengkajian
1) Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
3) Riwayat penyakit
 Sekarang : Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi
anafilaksis, renjatan kardiogenik.
 Dahulu : Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran
kemih, payah jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik,
Benign Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.
 Keluarga : Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4) Tanda vital : Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah,
hipertensi, nafas cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
5) Body Systems :
 Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala : nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum, kental dan banyak,
Tanda ; takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif
dengan / tanpa sputum.
 Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau
angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda : Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki,
telapak tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan,
kuning.kecendrungan perdarahan.

12
 Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran : Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai
koma.
 Perkemihan-Eliminasi Uri (B.4 : Bladder)
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan
pekat, tidak dapat kencing.
Gejala : Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria
atau anuria.
 Pencernaan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva
dan Diare
 Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk
saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda : Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada
kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan
lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.

b) Diagnosa Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluan urin,
retensi cairan dan natrium.
2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload dan
preload
3) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru, asidosis
metabolic, pneumonitis, perikarditis
4) Gangguan Perfusi jaringan berhubungan dengan perubahan ikatan O2
dengan Hb, penurunan konsentrasi Hb dalam darah.
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan/kelemahan, anemia,
retensi produk sampah dan prosedur dialysis . (Carpenito, 2000).

13
c) Intervensi Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluan urin,
retensi cairan dan natrium.
NOC : Fluid Balance:
 Terbebas dari edema,efusi,anasarka
 Bunyi nafas bersih,tidak adanya dispnea
 Terbebas dari distensi vena jugularis
 Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jantung dan
vital sign yang meliputi : tensi, nadi, suhu, RR
NIC : Fluid Management :
 Kaji status cairan : timbang berat badan, keseimbangan masukan dan
kaluaran, turgor kulit dan adanya edema
R/ pengkajian merupakan data dasar berkelanjutan untuk memantau
perubahan dan mengevaluasi intervensi.
 Batasi masukan cairan
R/ pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, keluarannya
urin,dan respon terhadap terapi.
 Identifikasi sumber potensial cairan
R/ sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi.
 Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan cairan
R/pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan.
 Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi
R/ mempercepat pengurangan kelebihan cairan

2) Penurunan curah jantung bd perubahan afterload dan preload


NOC : Cardiac Pump Effectiveness
 Mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah
 Frekuensi jantung dalam batas normal
 Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler

14
NIC : Cardiac Care
 Auskultasi bunyi jantung dan paru
R/ Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
 Kaji adanya hipertensi
R/ Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
 Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi, rediasi, beratnya (skala 0-
10)
R/ HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
 Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R/ Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

3) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru, asidosis metabolic,
pneumonitis, perikarditis
NOC : Respiration
 Tidak ada dispnea
 Kedalaman nafas normal
 Tidak ada retraksi dada / penggunaan otot bantuan pernafasan
NIC : Oxygen Therapy
 Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R/ Menyatakan adanya pengumpulan sekret
 Ajarkan pasien nafas dalam
R/ Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
 Atur posisi senyaman mungkin
R/ Mencegah terjadinya sesak nafas
 Batasi untuk beraktivitas
R/ Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
 Kolaborasi pemberian oksigen
R/ mengurangi sesak

15
4) Gangguan Perfusi jaringan b/d perubahan ikatan O2 dengan Hemoglobin,
penurunan konsentrasi Hemoglobin dalam darah.
NOC: Perfusi jaringan adekuat
 Membran mukosa merah muda
 Conjunctiva tidak anemis
 Akral hangat
 TTV dalam batas normal
NIC : Perawatan sirkulasi :
 Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi periper. (cek
nadi periper,oedema, kapiler refil, temperatur ekstremitas).
 Kaji nyeri
 Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan
 Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk memperbaiki
sirkulasi.
 Monitor status cairan intake dan output
 Evaluasi nadi, oedema
 Berikan therapi antikoagulan

5). Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
NOC : status nutrisi adekuat
 Nafsu makan meningkat
 Tidak terjadi penurunan BB
 Masukan nutrisi adekuat
 Menghabiskan porsi makan
 Hasil lab normal (albumin, kalium)
NIC : Nutrision management
 Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
 Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi

16
 Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
 Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai
dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
 kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet sesuai terapi
R : Memenuhi nutrisi pasien secara adekuat

6). Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk


sampah dan prosedur dialysis.
NOC : Toleransi terhadap aktivitas
 Klien mampu beraktivitas minimal
 Kemampuan aktivitas meningkat secara bertahap
 Tidak ada keluhan sesak nafas dan lelah selama dan setelah aktivitas
minimal
NIC : Terapi aktivitas
 Kaji kemampuan pasien melakukan aktivitas
 Jelaskan pada pasien manfaat aktivitas bertahap
 Evaluasi dan motivasi keinginan pasien untuk meningktkan aktivitas
 Tetap sertakan oksigen saat aktivitas (Nanda, 2009).

7). Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan spasme bronkus


NOC : Respiratory Status : Gas exchange
 Peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
 Bebas dari tanda tanda distress pernafasan
 Suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dypsneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
 Tanda tanda vital dalam rentang normal

17
NOC : Respiratory Monitoring
 Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
 Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
retraksi otot supraclavicular dan intercostal
 Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kusmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes
 Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
 Pantau hasil AGD (Analisa Gas Darah)

d) Implementasi
Selama tahap implementasi perawat melaksanakan rencana asuhan
keperawatan. Instruksi keperawatan diimplementasikan untuk membantuklien
memenuhi kriteria hasil. Implementasi keperawatan biasa dilakukan secara
mandiri maupunberkolaborasi dengan tim medic lainnya.

e) Evaluasi
Diagnosa utama: setelah dilakukan intervensi selama 3 X 24 jam, pasien
mencapai fungsi pernapasan yang adekuat Kriteria hasil:
a. Pasien mampu menunjukkan frekuensi pernapasan dan kedalaman
pernapasan normal
b. Pasien tidak lagi menggunakan otot bantu pernapasan dalam bernapas
c. Terbebas dari distensi vena jugularis
d. Terbebas dari oedem, efusi dan anasarka

2.2 ICU
2.2.1 Definisi
ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang khusus untuk pasien krisis
yang memerlukan perawatan intensif dan observasi berkelanjutan. HCU (
High Care Unit ) adalah ruang perawatan pasien ICU yang dianggap sudah
menunjukkan perbaikan tetapi masih dalam pengawasan ketat.

18
2.2.2 Kreteria Pasien Masuk ICU
a) Pasien Prioritas 1

Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang


memerlukan terapi intensif seperti dukungan / bantuan ventilasi, infus,
obat-obatan vasoaktif kontinue, dan lain-lainnya.

Contoh :

 Pasien gagal nafas oleh sebab apapun


 Pasien gagal sirkulasi oleh sebab apapun
 Pasien syok septic
 Pasien pasca bedah kardiotorasik

b) Pasien Prioritas 2
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU,
jenis pasien ini beresiko sehingga memerlukan terapi intensif segera.

Contoh :

1) Pasien pasca pembedahan mayor


2) Pasien yang menderita penyakit dasar jantung, paru atau ginjal
akut dan berat.

c) Pasien Prioritas 3
Pasien jenis ini sakit kritis dan tidak stabil dimana status
kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya atau penyakit
akutnya baik masing-masing atau kombinasinya  sangat mengurangi
kemungkinan kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di
ICU.

Contoh :

1) Pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi


pericardial temponade atau sumbatan jalan nafas atau pasien

19
menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai
komplikasi penyakit akut berat.
2) Pasien prioritas 3 mungkin mendapat terapi intensif untuk
mengatasi penyakit akut tetapi usaha terapi mungkin tidak
sampai melakukan intubasi atau resusitasi kardiopulmoner.

2.2.3 Kreteria inklusi perawatan ICU

 Semua pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanik dan/atau


proteksi jalan nafas (guedel/mayo,emergensi trakheostomi atau
intubasi)
 Pasien-pasien pasca operasi yang memerlukan monitoring intensif
yaitu :
1. Operasi lama > 6 jam dan/atau beresiko perdarahan
2. Beresiko tinggi (ASA ≥ 3 seperti : hipoalbumin, anemia berat,
gangguan koagulasi serta aritmia intraoperatif)
3. Riwayat henti jantung (cardiac arrest), hipoksemia, atau aspirasi
pneumonia selama operasi.
 Semua pasien yang membutuhkan obat-obat inotoprik dan anti aritmia
yang memerlukan monitoring invasive
1. Pasien-pasien syok
2. Pasien-pasien pasca resusitasi
 Pasien-pasien yang memerlukan monitoring hemodinamik invasive
seperti kateter swan ganz dan kateter tekanan darah arteri.
 Pasien-pasien yang potensial mengalami gagal organ (tidak stabil)
dari Unit Gawat Darurat dan ruang rawat Inap :
1. Pasien-pasien traumatic brain injuri (TBI) dengan GCS < 8 dan
atau disertai trauma facial (masalah airway).
2. Pasien-pasien cerebrovaskuler disease (stroke) dengan GCS < 8
atau disertai dengan pneumonia.
3. Asidosis metabolic berat (dehidrasi, ketosis, intoksikasi,
pankreatitis akut)
4. Pasien-pasien multiple trauma dengan syok (anemia berat)

20
5. Pasien-pasien yang memenuhi kriteria spesis berat : HR > 90,
RR > 25 hipo/ hipertermia atau leukositosis atau lekopenia
dengan satu tanda disfungsi organ :
 Gangguan koagulasi / hemostase
 Penurunan kesadaran (somnolen, gelisah)
 Trauma paru akut (ARDS / ALI)
 Peningkatan kadar ureum / kreatinin
 Hipotensi
 Pasien yang memenuhi syarat kriteria rawat ICCU / PICU, namun
karena ICCU / PICU penuh dapat dirawat di ICU (dengan persetujuan
dokter konsultan ICU).

2.2.4 Beberapa contoh lainnya kasus-kaus pasien yang memenuhi


perawatan ICU :

 Multi system (>1) organ failure (hematology, kardiovaskuler, paru,


ginjal, otak dan hati)
 Respiratory failure / dysfunction
 Eksaserbasi akut dari gagal ginjal kronik
 Drug overdose (alkohol, parasetamol)
 Gastrointestinal hemorrhage)
 Diabetic ketoacidosis
 Krisis hipertensi
 Sepsis
 HIV / AIDS dan kelainan yang berhubungan

2.2.5 Pengecualian atau Kreteria eksklusi


Pasien berikut tidak masuk kriteria masuk ICU dan hanya dapat masuk
dengan pertimbangan seperti pada keadaan luar biasa atas persetujuan
kepala ICU. Bila perlu pasien-pasien tersebut harus dikeluarkan dari ICU
agar fasilitas yang terbatas dapat digunakan untuk pasien prioritas 1,2 dan
3.

21
Contoh :

a) Pasien yang mengalami brain death  pasien-pasien seperti ini dapat


dimasukan ke ICU bila mereka potensial donor organ, tetapi hanya
untuk tujuan menunjang fungsi-fungsi organ sementara menunggu
donasi organ.
b) Pasien-pasien yang masuk prioritas 1,2,3 tetapi menolak terapi
tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan yang
nyaman” saja, Ini tidak menyingkirkan pasien dengan dengan
perintah “DNR” (Do Not Resusitation). Sesungguhnya pasien-pasien
ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia
di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya.
c) Pasien dalam keadaan vegetataif permanen.
d) Pasien yang secara fisiologis stabil yang secara statistik resikonya
rendah untuk memerlukan terapi ICU.
Contoh :

 Pasien pasca bedah vaskuler yang stabil


 Pasien diabetik ketoacidosis tanpa komplikasi
 Keracunan obat tetapi sadar
 Concusion (cidera otak ringan)
 Gagal jantung kongestif ringan
Pasien-pasien seperti ini lebih disukai dimasukan ke suatu unit
intermediet untuk terapi definitif dan atau observasi.

22
PROSEDUR PASIEN MASUK RUANG ICU

Pasien-pasien yang dikonsulkan untuk


dapat dirawat di ICU

Seleksi berdasarkan kriteria inklusi dan


kriteria eksklusi

Dokter jaga ICU melapor kepada


konsulen ICU mengenai konsul pasien
untuk masuk ICU tersebut

Memenuhi salah satu kriteria inklusi


dan disetujui oleh konsulen ICU

Pasien dapat dirawat di ICU

Bila pasien yang memenuhi kriteria inklusi lebih dari satu


sedangkan tempat yang tersedia tidak mencukupi, dilakukan
seleksi berdasarkan skala prioritas

Kepala ICU berhak untuk mengubah skala prioritas pasien


sesuai dengan kebutuhan.

23
2.3 VENTILASI MEKANIK (VENTILATOR)

2.3.1. Pengertian
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.

2.3.2 Indikasi
1. Klien dengan respiratory failure (gagal napas).
2. Klien dengan operasi tehnik hemodilusi.
3. Post Trepanasi dengan black out.
4. Respiratory Arrest.

2.3.3. Penyebab gagal nafas


1. Penyebab sentral
a. Trauma kepala : Contusio cerebri.
b. Radang otak : Encephalitis
c. Gangguan vaskuler : Perdarahan otak, infark otak
d. Obat-obatan : Narkotika, obat anestesi
2. Penyebab perifer
a. Kelaian Neuromuskuler:
1) Guillian Bare syndrom
2) Tetanus
3) Trauma servikal
4) Obat pelemas otot
b. Kelainan jalan nafas
1) Obstruksi jalan nafas
2) Asma bronchial
c. Kelainan di paru
Edema paru, atelektasis, ARDS
d. Kelainan tulang iga / thorak
Fraktur costae, pneumothorak, haematothorak
e. Kelainan jantung.
Kegagalan jantung kiri.

24
2.3.4. Kriteria pemasangan ventilator
Menurut Pontopidan seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik
(ventilator) bila :
1. Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit.
2. Hasil analisa gas darah dengan O2 masker PaO2 kurang dari 70 mmHg.
3. PaCO2 lebih dari 60 mmHg
4. AaDO2 dengan O2 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg.
5. Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB.

2.3.5. Macam-macam ventilator


1. Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
a. Volume Cycled Ventilator.
Prinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan
volume.Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah
mencapai volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled
ventilator adalah perubahan pada compliance paru klien tetap
memberikan volume tidal yang konsisten.
b. Pressure Cycled Ventilator
Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan
tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah
mencapai tekanan yang telah ditentukan.Pada titik tekanan ini, katup
inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada
type ini bila ada perubahan compliance paru, maka volume udara yang
diberikan juga berubah.Sehingga pada klien yang status parunya tidak
stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.
c. Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan
waktu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan.Waktu
inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas
permenit).
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi ) 1 : 2
2. Mode-mode ventilator
Klien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan
ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi
25
tergantung dari mode yang kita setting. Mode mode tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Mode Control
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
klien.Ini diberikan pada klien yang pernafasannya masih sangat jelek,
lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol
klien, pernafasan diberikan ke klien pada frekwensi dan volume yang
telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya klien untuk
mengawali inspirasi. Bila klien sadar, mode ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi dan ketidak nyamanan dan bila klien berusaha nafas
sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan
ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli
pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode control ini adalah: CR
(Controlled Respiration), CMV (Controlled Mandatory Ventilation),
IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)
b. Mode IMV / SIMV : Intermitten Mandatory Ventilation / Sincronized
Intermitten Mandatory Ventilation
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling
dengan nafas klien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory
diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah klien
pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan
segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode
IMV nya disinkronisasi (SIMV).Sehingga pernafasan mandatory
diberikan sinkron dengan picuan klien.Mode IMV/SIMV diberikan pada
klien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih
memerlukan bantuan.
c. Mode ASB / PS : (Assisted Spontaneus Breathing / Pressure Suport
Mode ini diberikan pada klien yang sudah bisa nafas spontan atau klien
yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena
nafasnya dangkal.Pada mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk
bernafas. Bila klien tidak mampu untuk memicu trigger maka udara
pernafasan tidak diberikan.
d. CPAP : Continous Positive Air Pressure
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
26
pada klien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.Tujuan pemberian
mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot
pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator.

2.3.6. System alarm


Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari klien (ventilator terlepas dari klien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya klien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting dan lain-lain. Alarm
volume rendah menandakan kebocoran.Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.

2.3.7. Pelembaban suhu


Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan mekanisme
pertahanan tubuh untuk pelembaban dan penghangatan. Dua proses ini harus
digantikan dengan suatu alat yang disebut humidifier. Semua udara yang
dialirkan dari ventilator melalui air dalam humidifier dihangatkan dan
dijenuhkan. Suhu udara diatur kurang lebih sama dengan suhu tubuh. Pada
kasus hipotermi berat, pengaturan suhu udara dapat ditingkatkan.Suhu yang
terlalu itnggi dapat menyebabkan luka bakar pada trachea dan bila suhu terlalu
rendah bisa mengakibatkan kekeringan jalan nafas dan sekresi menjadi kental
sehingga sulit dilakukan penghisapan.

2.3.8 Fisiologi Pernapasan Ventilasi Mekanik.


Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot
intercostalis berkontraksi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan
negatif sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi
berjalan secara pasif.
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan
udara dengan memompakan ke paru klien, sehingga tekanan selama
inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intrathorakal
meningkat.Pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif.

27
2.3.9 Efek ventilasi mekanik
Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke
jantung terhambat, venous return menurun, maka cardiac output juga
menurun. Bila kondisi penurunan respon simpatis (misalnya karena
hipovolemia, obat dan usia lanjut), maka bisa mengakibatkan hipotensi.
Darah yang lewat paru juga berkurang karena ada kompresi microvaskuler
akibat tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang,
akibatnya cardiac output juga berkurang.Bila tekanan terlalu tinggi bisa
terjadi gangguan oksigenasi.Selain itu bila volume tidal terlalu tinggi yaitu
lebih dari 10-12 ml/kg BB dan tekanan lebih besar dari 40 cmH2O, tidak
hanya mempengaruhi cardiac output (curah jantung) tetapi juga resiko
terjadinya pneumothorax.
Efek pada organ lain
Akibat cardiac output menurun adalah perfusi ke organ-organ lainpun
menurun seperti hepar, ginjal dengan segala akibatnya.Akibat tekanan
positif di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat sehingga
tekanan intrakranial meningkat.

2.3.10. Komplikasi Ventilasi Mekanik (Ventilator)


Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan klien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa menimbulkan komplikasi seperti:
1. Pada paru
a. Baro trauma : tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli
udara vaskuler.
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan : king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
f. Aspirasi cairan lambung
g. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
h. Kerusakan jalan nafas bagian atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunnya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran
balik vena akibat meningkatnya tekanan intrathorax pada pemberian
28
ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi.
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral
Terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri (PaCO2) dibawah normal
akibat dari hiperventilasi.
b. Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal akibat
dari hipoventilasi.
c. Peningkatan tekanan intra kranial
d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan tidur.

4. Pada sistem gastrointestinal


a. Distensi lambung, illeus
b. Perdarahan lambung.
5. Gangguan psikologi

2.3.11. Prosedur pemberian ventilator


Sebelum memasang ventilator pada klien, lakukan tes paru pada ventilator
untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan
pengesetan awal adalah sebagai berikut:
1. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%
2. Volume Tidal : 4-5 ml/kg BB
3. Frekwensi pernafasan : 10-15 kali/menit
4. Aliran inspirasi : 40-60 liter/detik
5. PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir
ekspirasi : 0 - 5 Cm, ini diberikan pada klien yang mengalami oedema
paru dan untuk mencegah atelektasis. Pengesetan untuk klien ditentukan
oleh tujuan terapi dan perubahan pengesetan ditentukan oleh respon
pasien yang ditunjukkan oleh hasil analisa gas darah (Blood Gas)

29
2.3.12. Kriteria Penyapihan
Klien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan
penyapihan bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
2. Volume tidal 4-5 ml/kg BB
3. Kekuatan inspirasi 20 cmH2O atau lebih besar
4. Frekwensi pernafasan kurang dari 20 x/menit.

2.3.13. Terapi oksigen


Setelah jalan nafas bebas, maka selanjutnya tergantung dari derajat hipoksia
atau hiperkabinya serta keadaan penderita.
Pontopidan memberi batasan mekanik, oksigenasi dan ventilasi untuk
menentukan tindakan selanjutnya (lihat tabel).

Accaptable Fisioterapi
Intubasi
range (tidak dada, terapi
tracheosto
Parameter perlu terapi oksigen,
mi ventilasi
khusus) monitoring
mekanik
ketat
1. MEKANIK
- Frekwensi nafas 12 - 25 25 - 35 > 35
- Vital capacity 70 - 30 30 - 15 < 15
(ml/kg)
- Inspiratori 100 - 50 50 - 25 < 25
force, CmH2O
2. OKSIGENASI
- AaDO2 100% 50 - 200 200 - 350 > 350
O2 mmHg
- PaO2 mmHg 100 - 75 200 - 70 < 70
(Air) (O2 mask) (O2 mask)
3. VENTILASI
- VD / VT 0,3 - 0,4 0,4 - 0,6 0,6
- PaCO2 35 - 45 5 – 60 60

30
2.3.14. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BANTUAN
VENTILASI MEKANIK (VENTILATOR)

a) Pengkajian.
Hal-hal yang perlu dikaji pada psien yang mendapat nafas buatan dengan
ventilator adalah:
1. Biodata
Meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, agama, alamat,
dll.
Pengkajian ini penting dilakukan untuk mengetahui latar belakang status
sosial ekonomi, adat kebudayaan dan keyakinan spritual pasien, sehingga
mempermudah dalam berkomunikasi dan menentukan tindakan
keperawatan yang sesuai.
2. Riwayat penyakit/riwayat keperawatan
Informasi mengenai latar belakang dan riwayat penyakit yang sekarang
dapat diperoleh melalui oranglain (keluarga, tim medis lain) karena
kondisi pasien yang dapat bentuan ventilator tidak mungkin untuk
memberikan data secara detail. Pengkajian ini ditujukan untuk mengetahui
kemungkinan penyebab atau faktor pencetus terjadinya gagal
nafas/dipasangnya ventilator.
3. Keluhan
Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa dilakukan
dengan cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan keluhannya.
Keluhan pasien yang perlu dikaji adalah rasa sesak nafas, nafas terasa
berat, kelelahan dan ketidaknyamanan.

31
B.1. Sistem pernafasan
1. Setting ventilator meliputi:
a. Mode ventilator
1) CR/CMV/IPPV (Controlled Respiration/Controlled Mandatory
Ventilation/Intermitten Positive Pressure Ventilation)
2) SIMV (Syncronized Intermitten Mandatory Ventilation)
3) ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)
4) CPAP (Continous Possitive Air Presure)
b. FiO2: Prosentase oksigen yang diberikan
c. PEEP: Positive End Expiratory Pressure
d. Frekwensi nafas
2. Gerakan nafas apakah sesuai dengan irama ventilator
3. Expansi dada kanan dan kiri apakah simetris atau tidak
4. Suara nafas: adalah ronkhi, whezing, penurunan suara nafas
5. Adakah gerakan cuping hidung dan penggunaan otot bantu tambahan
6. Sekret: jumlah, konsistensi, warna dan bau
7. Humidifier: kehangatan dan batas aqua
8. Tubing/circuit ventilator: adakah kebocoran tertekuk atau terlepas
9. Hasil analisa gas darah terakhir/saturasi oksigen
10. Hasil foto thorax terakhir

B.2.Sistem kardiovaskuler
Pengkajian kardiovaskuler dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan
hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu tinggi) atau
disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan darah, nadi, irama
jantung, perfusi, adakah sianosis dan banyak mengeluarkan keringat.

32
B.3.Sistem neurologi
Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa ngantuk,
gelisah dan kekacauan mental.

B.4. Sistem urogenital


Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine menunjukkan
adanya gangguan perfusi ginjal)

B.5.Status cairan dan nutrisi


Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutrisi
dan cairan akan memperberat keadaan. Seperti cairan yang berlebihan dan
albumin yang rendah akan memperberat oedema paru.

B.6. Status psycososial


Pasien yang dirawat di ICU dan dipasang ventilator sering mengalami depresi
mental yang dimanifestasikan berupa kebingungan, gangguan orientasi,
merasa terisolasi, kecemasan dan ketakutan akan kematian.

b) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi pada pasien yang mendapat
bentuan nafas mekanik/dipasang ventilator diantaranya adalah:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses
penyakitnya
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan
ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal
4. Cemas berhubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian
5. Gangguan pemenuhan komunikasi verbal berhubungan dengan
pemasangan selang endotracheal
6. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan
pemasangan selang endotracheal
7. Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera berhubungan dengan ventilasi
mekanis, selang endotracheal, ansietas, stress
33
8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan ventilasi mekanis, letak
selang endotracheal

c) Perencanaan
1. Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan peningkatan
produksi sekret
Tujuan:Meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil:
a. Bunyi napas terdengar bersih.
b. Ronchi tidak terdengar.
c. Tracheal tube bebas sumbatan.
Tindakan keperawatan
INTERVENSI RASIONAL
1 Auskultasi bunyi napas tiap 2- 1 Mengevaluasi keefektifan
4 jam dan kalau diperlukan. jalan napas.
2 Lakukan pengisapan bila 2
terdengar ronchi dgn cara:
a. jelaskan pada pasien a. Dengan mengertinya
tentang tujuan dari tujuan tindakan yang
tindakan pengisapan. akan dilakukan pasien
bisa berpartisipasi
aktif.
b. Berikan oksigen dgn O2 b. Memberi cadangan
100 % sebelum dilakukan O2 untuk menghindari
pengisapan, minimal 4 - 5 hipoksia.
X pernapasan.
c. Perhatikan teknik aseptik, c. Mencegah infeksi
gunakan sarung tangan nosokomial.
steril, kateter pengisap
steril.
d. Masukan kateter kedalam d. Aspirasi lama dpt me-
selang ET dalam keadaan nimbulkan hipoksia,

34
INTERVENSI RASIONAL
tidak mengisap (ditekuk), karena tindakan peng-
lama pengisapan tidak isapan akan mengelu-
lebih dari 10 detik. arkan sekret dan O2.
e. Atur tekanan isap tidak e. Tindakan negatif yg
lebih dari 100 - 120 berlebihan dapat me-
mmHg. rusak mukosa jalan
napas.
f. Lakukan oksigenasi lagi f. Memberikan
dengan O2 100 % cadangan oksigen
sebelum melakukan dalam paru.
pengisapan berikutnya.
g. Lakukan pengisapan g. Menjamin keefektifan
berulang-ulang sampai jalan napas.
suara napas bersih.
3 Pertahankan suhu humidifer 3 Membantu
tetap hangat (35 - 37,8 o C mengencerkan skret.
4 Monitor statur hidrasi pasien 4 Mencegah sekresi
menjadi kental.
5 Melakukan fisioterapi napas / 5 Memudahkan pelepasan
dada sesuai indikasi dengan sekret.
cara clapping, fibrasi dan
pustural drainage.
6 Berikan obat mukolitik sesuai 6 Mengencerkan sekret.
indikasi / program.
7 Kaji suara napas sebelum dan 7 Menentukan lokasi
sesudah melakukan tindakan penumpukan sekret,
pengisapan. mengevaluasi kebersihan
tindakan
8 Observasi tanda-tanda vital 8 Deteksi dini adanya
sebelum dan sesudah kelainan.
melakukan tindakan.

35
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan sekresi tertahan, proses
penyakitnya
Tujuan:Pertukaran gas kembali normal.
Kriteria hasil:
a. Hasil analisa gas darah normal yg terdiri dari:
1) PH (7,35 - 7,45)
2) PO2 (80 - 100 mmHg)
3) PCO2 (35 - 45 mmHg)
4) BE (-2 - + 2)
5) Tidak sianosis
Tindakan keperawatan :
INTERVENSI RASIONAL
1 Cek analisa gas darah setiap 1 Evaluasi keefektifan
10 - 30 menit setelah setting ventilator yang
perubahan setting ventilator. diberikan
2 Monitor hasil analisa gas 2 Evaluasi kemampuan
darah (blood gas) atau bernapas
oksimeteri selama periode
penyapihan.
3 Pertahankan jalan napas 3 Sekresi menghambat
bebas dari skresi. kelancaran udara napas.
Monitor tanda dan gejala Diteksi dini adanya
hipoksia kelainan.

3.Diagnosa Keperawatan
Ketidak efektifan pola nafas sehubungan dengan kelelahan, pengesetan
ventilator yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal
Tujuan:Pola napas efektif.
Kriteria hasil
a. Napas sesuai dengan irama ventilator.
b. Volume napas adekuat.
c. Alarm tidak berbunyi.

36
Tindakan keperawatan:

INTERVENSI RASIONAL

Diteksi dini adanya


Lakukan pemeriksaan
1 1 kelainan atau gg. fungsi
ventilator tiap 1 - 2 jam.
ventilator.
Evaluasi semua alarm Bunyi alarm
2 dan tentukan 2 menunjukan adanya gg.
penyebabnya. Fungsi ventilator.
Pertahankan alat Memudahkan
resusitasi manual (bag melakukan pertolongan
3 & mask) pada posisi 3 bila sewaktu/waktu ada
tempat tidur sepanjang gangguan fungsi
waktu. ventilator.
Monitor selang /
Mencegah
cubbing ventilator dari
4 4 berkurangnya aliran
terlepas , terlipat, bocor
udara napas.
atau tersumbat.
Mencegah
Evaluasi tekanan atau
5 5 berkurangnya aliran
kebocoran balon cuff.
udara napas.
Masukan penahan gigi
Mencegah tergigitnya
6 (pada pemasangat ETT 6
selang ETT
lewat oral)
Amankan selang ETT
Mencegah terlepas /
7 dengan fiksasi yang 7
tercabutnya selang ETT.
baik.
Monitor suara dan
Evaluasi keefektifan
8 pergerakan dada secara 8
jalan napas.
teratur.

37
4.Diagnosa Keperawatan
Cemas sehubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian
Tujuan :Cemas berkurang atau hilang
Kriteria hasil : Mampu mengekspresikan kecemasan, tidak gelisah,
kooperatif.
Tindakan keperawatan:
INTERVENSI RASIONAL
1 Lakukan komunikasi 1 Membina hub saling
terapiutik. percaya.
2 Dorong pasien agar 2 Menggali perasaan
mampu mengekspresikan dan permasalahan
perasaannya. yang sedang dihadapi
klien.
3 Berikan sentuhan kasih 3 Mengurangi cemas.
sayang.
4 Berikan support mental. 4 Mengurangi cemas.
5 Berikan kesempatan pada 5 Kehadiran orang-
keluarga dan orang-orang orang yang dicintai
yang dekat dengan klien meningkatkan
untuk mengunjungi pada semangat dan motivasi
saat-saat tertentu. untuk sembuh.
6 Berikan informasi 6 Memahami tujuan
realistis pada tingkat pemberian atau
pemahaman klien. pemasangan
ventilator.

5.Diagnosa Keperawatan
Gangguan pemenuhan komunikasi verbal sehubungan dengan pemasangan
selang endotracheal
Tujuan :Mempertahankan komunikasi
Kriteria hasil : Klien dapat berkomunikasi dgn menggunakan metode
alternatif.
Tindakan keperawatan:

38
INTERVENSI RASIONAL
1 Berikan papan, kertas dan pensil, 1 Mempermudah klien untuk
gambar untuk komunikasi, ajukan mengemukakan perasaan /
pertanyaan dengan jawaban ya keluhan dengan
atau tidak. berkomunikasi.
2 Yakinkan klien bahwa suara akan Mengurangi cemas.
kembali bila ETT dilepas

6.Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas sehubungan dengan
pemasangan selang endotracheal
Tujuan:Tidak terjadi infeksi saluran napas s/d pemasangan selang ETT /
ventilator.
Kriteria hasil:
a. Suhu tubuh normal (36 - 37,5 C)
b. Warna sputum jernih.
c. Kultur sputum negatif.
Tindakan keperawatan:
INTERVENSI RASIONAL
Evaluasi warna, jumlah, Indikator untuk menilai
1 konsistensi dan bauh sputum 1 adanya infeksi jalan
setiap kali pengisapan. napas.
Lakukan pemeriksaan kultur Menentukan jenis kuman
2 sputum dan test sensitifitas 2 dan sensitifitasnya
sesuai indikasi. terhadap antibiotik.
Pertahanakan teknik aseptik
Mencegah infeksi
3 pada saat melakukan 3
nosokomial.
pengisapan (succion)
Lingkungan kotor
4 Jaga kebersihan bag & mask. 4 merupakan media
pertumbuhan kuman.
Lakukan pembersihan mulut, Lingkungan kotor
5 5
hidung dan rongga faring merupakan media

39
setiap shitf. pertumbuhan kuman.
Menjamin selang
Ganti selang / tubing
6 6 ventilator tetap bersih dan
ventilator 24 - 72 jam.
steril.
Monitor tanda-tanda vital
7 yang menunjukan adanya 7 Diteksi dini.
infeksi.
Berikan antibiotika sesuai Antibiotika bersifat
8 8
program dokter. baktericide.

40
7.Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera sehubungan dengan ventilasi
mekanis, selang endotracheal, ansietas, stress.
Tujuan :Bebas dari cedera selama ventilasi mekanik.
Kriteria hasil :
a. Tidak terjadi iritasi pada hidung maupun jalan napas.
b. Tidak terjadi barotrauma
Tindakan keperawatan:
INTERVENSI RASIONAL
Peningkatan secara
tajam dapat
Monitor ventilator terhadap
1 1 menimbulkan trauma
peningkatan secara tajam.
jalan napas
(barutrauma)
Napas yang
Yakinkan napas pasien
berlawanan dengan
2 sesuai dengan irama 2
mesin dapat
ventilator
menimbulkan trauma.
Mencegah terjadinya fighting Napas yang
kalau perlu kolaborasi berlawanan dengan
3 3
dengan dokter untuk mesin dapat
memberi sedasi. menimbulkan trauma.
Observasi tanda dan gejala
4 4 Diteksi dini.
barotrauma.
Lakukan pengisapan lendir
dengan hati-hati dan gunakan Mencegah iritasi
5 5
kateter succion yang lunak mukosa jalan napas.
dan ujungnya tidak tajam.
Mencegah
Lakukan restrain / fiksasi bila
6 6 terekstubasinya ETT
pasien gelisah.
(ekstubasi sendiri)
Mencegah trauma
Atur posisi selang / tubing
7 7 akibat penekanan
ventilator dengan cepat.
selang ETT.

41
8.Diagnosa Keperawatan
Gangguan rasa nyaman sehubungan dengan ventilasi mekanis, letak selang
endotracheal.
Tujuan :Merasa nyaman selama dipasang ventilator.
Kriteria hasil :
a. Klien tidak gelisah.
b. Klien dapat istirahat dan tidur dengan tenang.
Tindakan keperawatan:
INTERVENSI RASIONAL
Atur posisi selang ETT & Mencegah penarikan
1 1
Tubing ventilator. dan penekanan.
Menurunkan upaya
Atur sensitivitas
2 2 pasien melakukan
ventilator
pernapasan.
Atur posisi tidur dengan
menaikkan bagian kepala Meningkatkan rasa
3 3
tempat tidur, kecuali ada nyaman.
kontra indikasi.
Kalau perlu kolaborasi
dengan kokter untuk
4 4 Mengurangi rasa nyeri
memberi analgesik dan
sedasi.

42

Vous aimerez peut-être aussi