Vous êtes sur la page 1sur 17

Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

HUKUM HARTA BERSAMA DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG


PERKAWINAN DAN KUH PERDATA
(The Law of Joint Property Reviewed from The Perspective of Marriage Law
And Civil Code)
Evi Djuniarti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
Jalan HR. Rasuna Said Kavling 4-5 Jakarta Selatan 12920
Telepon (021) 2525015 Faksimili (021) 2526438
Email: evi_djuniarti@yahoo.com
Tulisan Diterima: 29-11-2017; Direvisi: 06-12-2017; Disetujui Diterbitkan: 07-12-2017

ABSTRACT
Marital wealth is a very big problem in married life, especially when they divorce, so the Law of Marital
Treasure has played an important role in family life even when marriage is still running smoothly. It would
be difficult to understand how the survival of a marriage if in the marriage is not supported by the existence
of wealth. Given the importance of family property in a marriage, this research would like to recognize how
the common property is viewed from the perspective of marriage law and the Civil Code. The method used in
this research is normative research method, or literature study that is a research conducted or based on the
provisions that should be. The study found that. Under the terms of the marriage law that property acquired
during marriage becomes a common property. Formally juridical can be understood the sense of common
property is the husband and wife property acquired during marriage. While in Article 124 paragraph (1) and
paragraph (2) of the Civil Code it is stipulated that, “Husbands themselves shall take care (own beheren)
of marriage property, without the interference of wives, husbands are allowed to sell, transfer and burdens
The conclusion of the research that property is not entitled to the rights of each can not be owned, can not be
combined.All the property obtained from the carriage of the parties before marriage can be used together for
the common interest in the household.
Keywords: Law, Property, Together

ABSTRAK
Harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri,
utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang
penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan mulus. Akan sulit dimengerti
bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya
harta kekayaan. Mengingat begitu pentingnya harta benda keluarga dalam sebuah perkawinan maka penelitian
ini ingin mengerahui bagaimana harta benda bersama ditinjau dari perspektif undang-pundang perkawinan
dan KUH Perdata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, atau
studi kepustakaan yakni suatu penelitian yang dilakukan atau didasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang
seharusnya. Penelitian ini menemukan bahwa. Menurut ketentuan undang-undang perkawinan bahwa harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Secara yuridis formal dapat dipahami
pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang didapatkan selama perkawinan. Sedang kan
mneueut KUHPerdata berdasarkan Asas maritale macht, maka dalam Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH
Perdata ditentukan bahwa, “Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan, tanpa
campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membeban. Kesimpulan dari
penelitian yaitu harta benda punyak hak masing-masing tidak bisa untuk dimiliki, tidak bisa digabung. Semua
harta benda yang diperoleh dari pembawaan para pihak sebelum perkawinan dapat digunakan bersama utnuk
kepentingan bersama dalam rumah tangga.
Kata kunci: Hukum, Harta, Bersama

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 445
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

PENDAHULUAN sebagai hak asasi harus diatur secara tegas tentang


luas ruang lingkupnya agar tidak terjadi kerancuan
Kesejahteraan dalam keluarga merupakan dan benturan hak milik antara keduanya.
suatu hak yang paling mendasar atau merupakan Menurut J. Satrio, “Hukum harta perkawinan
hak asasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 adalah peraturan hukum yang mengatur akibat-
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-
Hak Asasi Manusia, yang mengatakan bahwa: istri yang telah melangsungkan perkawinan,
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik hukum harta perkawinan merupakan terjemahan
sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan dari kata “huwelijksvermogensrecht”, sedangkan
orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, hukum harta benda perkawinan adalah terjemahan
bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak dari kata “huwelijksgoderenrecht” (Satrio, 1993:
melanggar hukum”. Berdasarkan pernyataan 70).
tersebut, terlihat bahwa kekayaan atau harta
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan
benda sangat dibutuhkan dalam suatu perkawinan.
harta perkawinan ialah semua harta yang dikuasai
Masalah harta perkawinan merupakan masalah
suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan
yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan
perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal
suami-istri, utamanya apabila mereka bercerai,
dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan
sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah
sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami-istri
memainkan peranan yang penting dalam
dan barang-barang hadiah. Dalam kedudukannya
kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan
sebagai modal kekayaan untuk membiayai
masih berjalan mulus. Oleh karena itu, dalam Bab
kehidupan rumah tangga suami-istri, maka harta
VII Pasal 35 UU Perkawinan diatur tentang harta
perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa
benda dalam perkawinan. Ada ketentuan Pasal 35
macam, yaitu:
UU Perkawinan menentukan bahwa:
1. Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum
Ayat (1) menentukan: “Harta benda yang
perkawinan yaitu harta bawaan;
diperoleh selama perkawinan menjadi
2. Harta yang diperoleh suami atau istri secara
harta bersama”, selanjutnya dalam ayat (2)
perorangan sebelum atau sesudah perkawinan
menyatakan bahwa, “Harta bawaan dari
yaitu harta penghasilan;
masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh masing-masing sebagai 3. Harta yang diperoleh suami dan istri
bersama-sama selama perkawinan yaitu harta
hadiah atau warisan, adalah di bawah
pencaharian.
penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan hal lain”. 4. Harta yang diperoleh suami-istri bersama
ketika upacara perkawinan sabagai hadiah
Ketentuan Pasal 35 Undang-Undang yang kita sebut hadiah perkawinan.
Perkawinan tersebut di atas memiliki kesamaan
dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Harta benda dalam perkawinan yang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi dipergunakan UU Perkawinan sesungguhnya
Manusia. Mengingat bahwa hak milik baik secara mempertegas pemikiran tentang pembedaan
pribadi maupun secara bersama-sama merupakan hukum benda dengan hukum orang yang dianut di
hak asasi, maka perlu dipertegas luas lingkup hak dalam KUH Perdata. Karena, aturan-aturan hukum
milik pribadi dan hak milik bersama dalam suatu tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan,
perkawinan. Karena, perkawinan sesungguhnya sedangkan perkawinan merupakan hukum pribadi
adalah berkaitan dengan hak milik pribadi suami atau hukum orang. Hal ini diperkuat dengan
atau istri, juga berkaitan dengan hak milik bersama cara memperoleh hak milik melalui pewarisan
antara suami dan istri selama dalam perkawinan. dimasukkan dalam ketentuan hukum benda bukan
Oleh karena itu, ayat (1) Pasal 35 UU Perkawinan dalam hukum orang atau hukum keluarga. Jadi,
mengatur tentang harta bersama selama fokus pembahasannya adalah benda sebagai objek
perkawinan dan ayat (2) Pasal 35 UU Perkawinan hukum, atau dengan kata lain berkaitan dengan
mengatur tentang harta pribadi dari masing- cara memperoleh atau peralihan hak milik atas
masing suami atau istri. Tegasnya hak milik benda yang ada dalam perkawinan.
pribadi sebagai hak asasi dan hak milik bersama

446 Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif UU Perkawinan... (Evi Djuniarti)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di perceraian, natian maupun putusan Pengadilan.
atas bahwa dalam suatu keluarga diperlukan (Darmabrata dan Surini, 2016: 96)
harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan demi Harta bersama meliputi:
kelangsungan suatu perkawinan yang dibentuk.
a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
Kebutuhan akan harta kekayaan dalam suatu
berlangsung;
perkawinan merupakan salah satu usaha untuk
menciptakan suatu keluarga yang sejahtera lahir b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah,
dan batin. Akan sulit dimengerti bagaimana pemberian atau warisan apabila tidak
kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam ditentukan demikian;
perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan
harta kekayaan. Ilmu hukum perdata mengenal berlangsung kecuali yang merupakan harta
adanya pemilikan atas suatu benda secara individu pribadi masing-masing suamiistri.
atau pribadi dan pemilikan benda secara bersama- Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1
sama antar para individu. Pemilikan benda secara Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa, harta
individu atau pribadi disebut dengan hak milik bersama suami-istri hanyalah meliputi .ta-harta
pribadi, sedangkan pemilikan atas suatu benda yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan,
secara bersama-sama disebut dengan istilah hak ingga yang termasuk harta bersama adalah hasil
milik bersama. Mengingat begitu pentingnya dan pendapatan suami, basil dan pendapatan istri.
harta bersama dalam sebuah perkawinan maka (Satrio, 1993: 66)
penulis ini ingin mengetahui bagaimana harta a. Harta Benda Bersama Berdasarkan
bersama ditinjau dari perspektif undang-pundang
Hukum Adat
perkawinan dan KUHPerdata ?
Secara umum, hukum adat tentang harta
gono-gini hampir sama di seluruh daerah. Yang
METODE PENELITIAN dapat dianggap sama adalah perihal atasnya harta
Penelitian ini mengunakan metode penelitian kekayaan yang menjadi harta bersama (harta
normatif, atau studi kepustakaan yakni suatu satuan), sedangkan mengenai hal-hal lainnya,
penelitian yang dilakukan atau didasarkan kepada terutama agenai kelanjutan dari harta kesatuan itu
ketentuan-ketentuan yang seharusnya atau terori sendiri pada yataanya memang berbeda di masing-
yang ditentukan dari bahan-bahan yang terdiri masing daerah. Misalnya Lwa, pembagian harta
dari : bahan hukum primir yaitu bahan-bahan kekayaan kepada harta bawaan dan harta o-gini
penelitian berupa ketentuan-ketetuan yang utama. setelah terjadi perceraian antara suami dan istri
Bahan hukum primir yang digunakan adalah akan nakna penting sekali.
kitab undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Hal ini berbeda sekali dengan kondisi dari
tentang Perkawinan dan Kitab Undang-undang salah satu keduanya tinggal dunia, pembagian
Perdata. Sedangkan bahan hukum sekunder yaitu tersebut tidak begitu penting. entara itu, di Aceh,
bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan pembagian harta kekayaan kepada harta bawaan
hukum primer dan bahan yang membantu untuk dan hareuta sauhareukat bermakna sangat penting
menganalisis bahan hukum primer. Bahan hukum baik ketika terjadi perceraian maupun pada saat
primer yang digunkan yaitu buku, jurnal, yang ada pembagian warisan jika salah seorang pasangan
kaitannya dengan penelitian ini. meninggal dunia.
Meskipun pembagian harta gono-gini di
PEMBAHASAN berbagai daerah boleh dikatakan hampir sama,
tetapi ada juga yang dibedakan berdasarkan
konteks budaya lokal masyarakatnya. Salah satu
A. Pengertian-Pengertian
contoh di mana hukum adat yang cenderung
1. Pengertian Harta Benda Bersama tidak memberlakukan konsep harta gono-gini,
Bersama yaitu di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Harta bersama adalah harta yang diperoleh Menurut hukum adat Lombok, perempuan yang
sepanjang perkawinan berlangsung sejak bercerai pulang kerumah orangtuanya dengan
perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan hanya membawa anak dan barang seadanya, tanpa
berakhir atau putusnya perkawinan akibat mendapat hak Bono-gini.

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 447
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

b. Harta Benda Bersama Berdasarkan suami untuk melakukan tindakan hukum atas harta
Ketentuan Peraturan Perundang- pribadinya. Tidak ada perbedaan kemampuan
undangan hukum antara suami-istri dalam menguasai
Pasal 119 KUH Perdata menentukan dan melakukan tindakan terhadap harta pribadi
bahwa, mulai saat perkawinan dilangsungkan, mereka. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal
secara hukum berlakulah kesatuan bulat antara 86 Kompilasi Hukum Islam, di mana ditegaskan
kekayaan suami-istri, sekadar mengenai itu bahwa tidak ada percampuran antara harta pribadi
dengan perjanjian kawin tidak diadakan dengan suami-istri karena perkawinan dan harta istri tetap
ketentuan lain. Persatuan harta kekayaan itu mutlak jadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya,
sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak begitu juga harta pribadi suami menjadi hak mutlak
boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu dan dikuasai penuh olehnya.
persetujuan antara suami dan istri apa pun. Jika Mengenai wujud harta pribadi itu sejalan
bermaksud mengadakan penyimpangan dari dengan apa yang telah dijelaskan dalam Pasal
ketentuan itu, suami-istri harus menempuh jalan 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal Ketentuan ini sepanjang suami-istri tidak
139 sampai Pasal 154 KUH Perdata. menentukan lain dalam perjanjian perkawinan
Pasal 128 sampai dengan Pasal 129 KUH (hewelijksevoorwaarden) sebelum akad nikah
Perdata, menentukan bahwa apabila putusnya dilaksanakan. Adapun harta yang menjadi milik
tali perkawinan antara suami-istri, maka harta pribadi suami atau istri adalah (1) harta bawaan,
bersama itu dibagi dua antara suami-istri tanpa yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan
memerhatikan dari pihak mana barang-barang mereka laksanakan, (2) harta yang diperoleh
kekayaan itu sebelumnya diperoleh. Tentang masingmasing selama perkawinan tetapi terbatas
perjanjian kawin itu dibenarkan oleh Peraturan pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah, dan
Perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi warisan. Di luar jenis ini semua harta langsung
tata susila dan ketenteraman umum yang berlaku masuk menjadi harta bersama dalam perkawinan.
dalam kehidupan masyarakat. Semua harta yang diperoleh suami-istri
Harta benda yang diperoleh selama selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta
perkawinan menjadi harta bersama. Masing- bersama, baik harta tersebut diperoleh secara
masing suami-istri terhadap harta yang diperoleh tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama.
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah Demikian juga dengan harta yang dibeli selama
di bawah pengawasan masing- masing sepanjang ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi
para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta harta bersama, tidak menjadi soal apakah istri
bersama ini, suami atau istri dapat bertindak atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah
untuk berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas apakah istri atau suami mengetahui pada saat
persetujuan kedua belch pihak. Dinyatakan pula pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah atas
bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya nama siapa harta itu didaftarkan.
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai c. Harta Benda Bersama Menurut Hukum
harta bersama tersebut apabila perkawinan putus Islam
karena perceraian, maka harta bersama tersebut Konsep harta gono-gini beserta segala
diatur menurut hukum masing-masing. ketentuannya memang tidak ditemukan dalam
Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 kajian fikih (hukum Islam). Masalah harta gono-
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 87 ayat gini atau harta bersama merupakan persoalan
(2) Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan hukum yang belum tersentuh atau belum
bahwa, “Istri mempunyai hak sepenuhnya untuk terpikirkan (ghoir al-mufakkar) oleh ulama-ulama
melakukan perbuatan hukum terhadap harta fikih terdahulu, karena masalah harta gono-gini
pribadi masingmasing”. Mereka bebas menentukan baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa
terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami modern ini. Dalam kajian fikih Islam klasik, isu-
atau istri untuk menjualnya, dihibahkan, atau isu yang sering diungkapkan adalah masalah
diagunkan. pengaturan nafkah dan hukum waris. Hal inilah
Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari yang banyak menyita perhatian kajian fikih klasik.

448 Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif UU Perkawinan... (Evi Djuniarti)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Dalam menyoroti masalah harta benda dalam pada umumnya pengarang kitab-kitab fikih adalah
perkawinan. orang Arab yang pada umumnya tidak mengenal
Hukum Islam tidak melihat adanya gono- pencaharian bersama suami-istri. Yang dikenal
gini. Hukum Islam lebih memandang adanya adalah istilah syirkah atau perkongsian.
keterpisahan antara harta suami dan istri. Dalam Hukum Islam mengatur sistem terpisahnya
kitab-kitab fikih, harta bersama diartikan sebagai harta suamiistri sepanjang yang bersangkutan
harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami-istri tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam
selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau perjanjian perkawinan). Hukum Islam memberikan
dengan kata lain disebutkan bahwa harta bersama kelonggaran kepada pasangan suami-istri untuk
adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah membuat perjanjian perkawinan yang pada
antara suami-istri sehingga terjadi percampuran akhirnya akan mengikat secara hukum.
harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat Hukum Islam memberikan pada masing-
dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya adalah masing pasangan baik suami atau istri untuk
Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat (32), bahwa bagi memiliki harta benda secara perorangan yang
semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka tidak bisa diganggu masing-masing pihak.
usahakan dan semua wanita dari apa yang mereka Suami yang menerima pemberian, warisan, dan
usahakan pula. sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta
Hukum Islam juga berpendirian bahwa yang diterimanya itu tanpa adanya campur tangan
harta yang diperoleh suami selama perkawinan istri. Hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan
menjadi hak suami, sedangkan istri hanya berhak demikian harta bawaan yang mereka miliki
terhadap nafkah yang diberikan suami kepadanya. sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik
Namun Al-Qur’an dan Hadis tidak memberikan masing-masing pasangan suami-istri.
ketentuan yang tegas bahwa harta benda yang d. Pengertian Harta Benda Bawaan
diperoleh suami selama berlangsung perkawinan
Harta Bawaan adalah harta yang dikuasai
sepenuhnya menjadi hak suami, dan istri hanya
masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri.
terbatas atas nafkah yang diberikan suaminya. Al-
Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya
Qur’an dan hadis juga tidak menegaskan secara
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
jelas bahwa harta benda yang diperoleh suami
harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang
dalam perkawinan, maka secara langsung istri juga
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
berhak terhadap harta tersebut.(Al Farabi diakses,
13 Maret 2016) Dalam hal ini baik KUH Perdata maupun
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
Sebagian pendapat para pakar hukum Islam
sama-sama berlaku bagi siapa saja. (dengan
mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur
kata lain, tunduk pada kedua hukum tersebut).
tentang harta bersama dalam Al-Qur’an. Pendapat
sedangkan harta bersama KUH Perdata dan
ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono,
harta bersama menurut UU Perkawinan hanya
dan Andoerraoef, serta diikuti oleh murid-
untuk memperbandingkan atau memperjelas
muridnya. Sebagian ahli lainnya mengatakan
pengertiannya. Harta yang selama ini dimiliki,
bahwa, suatu hal yang tidak mungkin jika agama
secara otomatis akan menjadi harta bersama
Islam tidak mengatur tentang harta bersama ini,
sejak terjadinya suatu perkawinan sejauh tidak
sedangkan hal- hal lain yang kecil-kecil saja diatur
ada perjanjian mengenai pemisahan harta (yang
secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan
dikenal dengan perjanjian perkawinan) sebelum
kadar hukumnya. Jika tidak disebutkan dalam Al-
atau pada saat perkawinan itu dilaksanakan.
Qur’an, maka ketentuan itu diatur dalam hadis
yang juga merupakan salah satu sumber hukum Bila harta yang dimiliki saat ini adalah
Islam juga. sebuah rumah, mobil serta deposito menjadi satu
yang dikenal dengan nama harta bersama, maka
Perspektif hukum Islam tentang gono-gini
sebelum atau pada saat perkawinan dilaksanakan,
atau harta bersama sejalan dengan apa yang
kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
dikatakan Muhammad Syah bahwa pencaharian
melakukan perjanjian perkawinan mengenai
bersama suami-istri mestinya masuk dalam rubu’
pemisahan harta secara tertulis yang disahkan oleh
mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan
Pegawai Pencatat Perkawinan yang mana isinya
secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 449
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

berlaku juga terhadap pihak ketiga yang tersangkut seseorang secara seketika dapat menyandang status
(Pasal 29 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang ahli waris atau mendapatkan hak kepemilikan
Perkawinan). atas suatu harta warisan, namun tidak jarang juga
Jika terjadi perceraian bila tidak terdapat persoalan terjadi bahwa harta warisan ini dapat
adanya suatu perjanjian perkawinan mengenai menjadi bumerang dan bahkan menyebabkan
pemisahan harta, dalam praktik biasanya memang tali persaudaraan terganggu. Kompilasi Hukum
mengalami kesulitan dalam pembuktiannya, Islam (KHI) Pasal 171 huruf e menjelaskan,
sehingga untuk lebih jelasnya mengenai “bagian bahwa makna `harta warisan’ adalah sebagai
masing-masing”, diadakan perjanjian perkawinan harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
mengenai pemisahan harta. setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggal dan membayar seluruh
Harta bawaan adalah harta yang dikuasai
utang-utangnya.
oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau
istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya Dari definisi ini berarti, harta warisan terdiri
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai dari 2 jenis harta, pertama harta bawaan dan kedua
harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan). harta bersama dalam sebuah keluarga, warisan
Harta warisan merupakan harta bawaan yang bukan hanya berupa harta peninggalan dalam arti
sepenuhnya dikuasai oleh suami atau istri, harta yang selama ini dikumpulkan oleh suami dan
sehingga harta warisan tidak dapat diganggu gugat istri, tetapi adakalanya juga harta bawaan.
oleh suami atau istri. Jika terjadi perceraian maka Ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-
harta warisan (dari orangtua) tetap ada di bawah Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
kekuasaan masing-masing (tidak dapat dibagi). menegaskan bahwa, “Harta bawaan adalah harta
Undang-undang yang melindungi pihak di benda yang diperoleh masing-masing suami dan
mana pihak tersebut mempunyai harta warisan istri sebelum menikah, serta hadiah, hibah atau
disebut dengan perjanjian perkawinan (Pasal 29 warisan yang diterima dari pihak ketiga selama
UU Perkawinan) sebagai klausul yaitu: perkawinan”.
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan Sebelum berbicara lebih jauh tentang harta
dilangsungkan kedua belah pihak atas bawaan, dalam buku Hukum Adat Sketsa Asas,
persetujuan bersama dapat mengajukan (karangan Iman Sudiyat, Guru Besar Fakultas
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Hukum Universitas Gadjah Mada) menjelaskan,
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana pada um umnya harta kekayaan keluarga itu dapat
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga dibedakan ke dalam 4 (empat) bagian:
tersangkut. a. Harta warisan (dibagikan semasa hidup atau
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan sesudah si pewaris meninggal) untuk salah
bilamana melanggar batas-batas hukum, seorang di antara suami-istri, dari kerabatnya
agama dan kesusilaan. masing-masing;
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak b. Harta yang diperoleh atas usaha dan untuk
perkawinan dilangsungkan. sendiri oleh suami atau istri masing-masing
sebelum atau selama perkawinan;
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian
tersebut tidak dapat diubah, kecuali dari c, Harta yang diperoleh suami-istri selama
kedua belah pihak ada persetujuan untuk perkawinan atas usaha dan sebagai milik
mengubah dan perubahan tidak merugikan bersama;
pihak ketiga. d. Harta yang dihadiahkan pada saat pernikahan
e. Harta Benda Bawaan dalam Keluarga kepada suami istri bersama.
Kewarisan merupakan salah satu mekanisme Biasanya pasangan yang menikah sudah
peralihan hak kepemilikan atas suatu harta benda. dibekali dengan Undang-Undang Perkawinan,
Pasca musibah gempa dan tsunami, persoalan namun tidak sedikit yang hanya sekadar
kewarisan menjadi salah satu masalah hukum yang menyimpan undang-undang tersebut tanpa
membutuhkan penanganan yang baik dan seakurat membacanya, tetapi hanya sebatas pelengkap buku
mungkin. Dengan jumlah korban jiwa yang nikah, sehingga banyak pasangan suami-istri tidak
sangat besar dalam musibah tersebut, menjadikan terlalu memahami aturan yang ada di dalamnya.

450 Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif UU Perkawinan... (Evi Djuniarti)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Akibat belum adanya pemahaman yang benar masyarakat kita, meskipun hal ini telah diatur
tentang harta bawaan ini, maka biasanya nasib dalam perundang-undangan.
harta bawaan sering menjadi sengketa setelah Janji perkawinan dibuat untuk menghindari
harta warisan akan dibagikan. hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perseteruan
Terlebih lagi bagi seorang istri, ketika ketika pembagian warisan dilakukan. Sebelum
suaminya lebih dahulu meninggal dunia daripada akad nikah berlangsung, kedua calon pasangan
dirinya, para istri banyak yang tidak memahami suami-istri biasanya akan menyepakati tentang
hak-hak yang seharusnya diperoleh sebagai hal-hal tertentu secara tertulis, yang kemudian
warisan dari suaminya. Pasca musibah gempa dan disebut sebagai janji perkawinan. Harta bawaan
tsunami di Aceh, banyak perempuan yang berstatus juga sering disebut sebagai harta asal, yang dimiliki
janda karena suami mereka meninggal atau hilang seseorang sebelum melangsungkan perkawinan.
pada kejadian itu, yang tidak memperoleh hak-hak Harta bawaan ini akan menjadi bagian harta
waris yang memang menjadi hak mereka, bahkan warisan dan berhak diwarisi oleh pasangan jika
dari harta bawaan yang mereka miliki karena pasangannya meninggal dunia.
sebelumnya harta itu sudah dipakai oleh suami Harta bawaan tidak berhak diwarisi jika
untuk keperluan anda dan hukum dalam keseharian suami-istri berpisah dengan bercerai. Seorang istri
selama berumah tangga. Rida Wahyuni, Staf akan bisa mendapat bagian harta bawaan suami
lapangan Pusat Studi dan Advokasi Hak Waris, sebesar 1/4 bagian, jika sang suami meninggal
Yayasan Bungong Jeumpa, mengatakan, secara dunia dan tidak memiliki anak, dan akan mendapat
garis besar pemahaman tentang kepemilikan harta 1/8 bagian jika mereka memiliki anak. Suami akan
antara suami dan istri secara umum dipahami oleh mendapat 1/2 bagian harta bawaan istri jika sang
masyarakat, namun belum ada penguatan tentang istri meninggal dunia, tidak mempunyai anak dan
pemahaman tersebut. Sehingga akan menjadikan akan mendapat 1/4 bagian jika mereka memiliki
satu kesulitan jika konflik keluarga terjadi, terkait anak.
pembagian harta warisan. ketika salah satu dari
Hak dari pembagian harta bawaan akan
suami atau istri meninggal dunia.
gugur (suami atau istri) manakala kedua pasangan
Banyak warga yang belum bisa membedakan ini berpisah dengan cara bercerai. Terdapat
mana harta bawaan dan harta bersama. Hal ini banyak kasus di mana pihak istri atau pihak
terindikasi dari adanya beberapa kasus yang masuk perempuan sering menderita kerugian, karena
ke Mahmakah Syar’iyah tentang bagaimana harus tidak mendapatkan hak apa pun dari peninggalan
membagi harta warisan yang merupakan harta suaminya, terlebih lagi jika pasangan suami-istri
bersama dan memilah dengan harta bawaan. ini tidak memiliki anak. Besarnya peran dari pihak
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor keluarga suami sering kali mengaburkan hak-hak
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan istri yang ditinggalkan.
bahwa harta benda yang diperoleh selama Meski dalam posisi hukum, kaum perempuan
perkawinan akan menjadi harta bersama. Adapun sudah disetarakan haknya, tetapi dalam
harta bawaan, tetap menjadi harta milik masing- pelaksanaan sehari-hari masih banyak kasus yang
masing suami dan istri dan di bawah penguasaan bertolak belakang dengan peraturan yang berlaku.
masing-masing selama perkawinan sesuai dengan Pemikiran akan keberadaan kaum perempuan
Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 sebagai kaum marginal, masih sering ditemui di
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 86 KHI pedesaan dalam wilayah Aceh. Oleh karena itu,
menyebutkan, harta istri tetap menjadi hak istri penyuluhan hukum terkait dengan hukum faraid
dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta ini juga harus terus diupayakan oleh berbagai
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh pihak.
olehnya.
Dalam buku Hukum Adat dan Hukum Islam
Akan tetapi kondisi ini dapat saja berubah jika di Indonesia: (refleksi terhadap beberapa bentuk
pasangan suamiistri, sebelumnya telah membuat integrasi hukum dalam bidang kewarisan di Aceh),
sebuah janji perkawinan yang menyebutkan posisi disebutkan bahwa harta bawaan atau hareuta
harta bawaan mereka. Akan tetapi, membuat janji tuha di Aceh diakui menurut hukum adat dan
perkawinan ini masih sangat jarang dilakukan didefinisikan sebagai harta benda yang diperoleh

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 451
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

laki-laki atau perempuan sebelum menikah, dalam Hareuta peunulang tidak boleh dibagi dengan
bentuk warisan, hibah atau harta benda yang ahli waris lainnya. Juga penting untuk dicatat
dibeli atau dibuat. Pengamat Adat sekaligus pakar bahwa sangat kecil kemungkinannya bahwa ahli
sejarah Aceh, Nurdin Abdurrahman, mengatakan waris yang lain akan mempersoalkan penyerahan
di sebagian besar daerah Aceh seperti Aceh Pidie hareuta peunulang karena tindakan tersebut akan
dan Aceh Besar, memberikan bekal harta kepada dianggap tidak menghormati keputusan almarhum
anak saat mereka melangsungkan perkawinan orangtuanya.
sudah menjadi kewajiban bagi orangtuanya. Harta 2. Perbedaan Harta Benda Bersama dan
bawaan ini juga dikenal dengan istilah hareuta
Harta Benda Bawaan dalam Perkawinan
peunulang.
Menurut Wahjono Darmabrata dan Surini
Hareuta Peunulang adalah penghibahan Ahlan Sjarif, harta benda perkawinan menurut UU
benda tidak bergerak (rumah atau tanah) dari Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terbagi
orangtua kepada anak perempuannya yang atas: (Darmabrata dan Surini, 2016: 89)
telah menikah. Penghibahan tersebut umumnya
1. Harta bersama adalah harta yang diperoleh
disaksikan oleh geuchik. Kebiasaan ini berkembang
sepanjang perkawinan berlangsung
untuk mengimbangi kenyataan bahwa pembagian
sejak perkawinan dilangsungkan hingga
warisan memberikan porsi lebih besar kepada ahli
perkawinan berakhir atau putusnya
waris laki-laki. Biasanya orangtua memberikan
perkawinan akibat perceraian, kematian
benda-benda yang tidak bergerak tersebut untuk
maupun putusan Pengadilan.
menunjang kehidupan baru yang akan dijalankan
oleh anak mereka yang baru melangsungkan Harta bersama meliputi:
pernikahan. a. Harta yang diperoleh sepanjang
Ada orangtua yang memberikan barang- perkawinan berlangsung;
barang tepat pada saat pernikahan berlangsung, b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah,
tetapi ada pula yang memberikan ketika cucu pemberian atau warisan apabila tidak
pertama mereka lahir. Pemberian ini juga bertujuan ditentukan demikian;
untuk menyatakan bahwa seorang anak sudah c. Utang-utang yang timbul selama
resmi memiliki penghidupan baru dan keluarga perkawinan berlangsung kecuali yang
yang baru. Kegiatan pemisahan ini juga sering merupakan harta pribadi masing-masing
disebut dengan istilah peumeukleh. Kegiatan ini suami-istri.
biasanya juga dilangsungkan di hadapan geuchik
2. Harta pribadi adalah harta bawaan masing-
(lurah).
masing suami-istri yang merupakan harta
Pada saat penyerahan, biasanya geuchik akan tetap di bawah penguasaan suami-istri
menanyakan berapa banyak harta seorang ayah yang merupakan harta yang bersangkutan
yang akan diserahkan kepada anak perempuannya. sepanjang tidak ditentukan lain dalam
Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian perjanjian kawin. Dengan kata lain, harta
pihak ahli waris anak laki-laki dimasa yang akan pribadi adalah harta yang telah dimiliki oleh
datang. Oleh sebab itu, seorang ayah biasanya suami-istri sebelum mereka melangsungkan
bersikap bijaksana mempertimbangkan seluruh perkawinan.
kekayaan dan jumlah anaknya sehingga tidak akan
Harta pribadi meliputi:
menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian
harta kepada ahli warisnya kelak. a. Harta yang dibawa masing-masing
suami-istri ke dalam perkawinan
Dari penjelasan di atas harus dicatat termasuk utang yang belum dilunasi
bahwa, meskipun hareuta peunulang dapat
sebelum perkawinan dilangsungkan;
diperhitungkan sebagai harta warisan, namun
hareuta peunulang tidak merupakan bagian dari b. Harta benda yang diperoleh sebagai
warisan orangtua, dan juga tidak dapat menafikan hadiah atau pemberian dari pihak lain
hak waris anak perempuan. Hal ini berarti bahwa kecuali ditentukan lain;
hareuta peunulang merupakan harta bawaan dan c. Harta yang diperoleh suami atau istri
oleh karena itu tetap berada di bawah penguasaan karena warisan kecuali ditentukan lain;
mutlak dan eksklusif dari anak perempuan tersebut.

452 Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif UU Perkawinan... (Evi Djuniarti)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

d. Hasil-hasil dari harta milik pribadi perjanjian perkawinan inipun diatur dalam UUP.
suami-istri sepanjang perkawinan Terhadap masalah tersebut, maka menurut Pasal
berlangsung termasuk utang yang 66 Untuk masalah perjanjian perkawinan harus
timbul akibat pengurusan harta milik menggunakan perjanjian perkawinan menurut
pribadi tersebut. UUP. Dengan demikian, saat ini tidak dapat lagi
Menurut J. Satrio, berdasarkan UU Nomor digunakan perjanjian perkawinan berdasarkan
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam satu KUH Perdata (BM).
keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta Manusia sebagai makhluk yang berbudaya
yaitu: (Satrio, 1993:66) oleh Tuhan Yang maha Esa telah diberikan cipta,
1. Harta Benda bersama rasa, dan karsa. Oleh karenanya untuk dapat
melanjutkan keturunan, manusia mewujudkan hal
Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1
tersebut melalui cara yang berbudaya pula, yaitu
Tahun 1974 tentang Perkawinan harta bersama
melalui perkawinan yang sah sesuai peraturan
suami-istri hanyalah meliputi harta-harta yang
yang berlaku, sehingga perkawinan ditempatkan
diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan
dalam posisi yang penting dan sakral.
sehingga disimpulkan bahwa termasuk harta
bersama adalah hasil dan pendapatan suami, hasil Akibat dari posisinya yang sakral itulah
dan pendapatan istri. yang akhirnya membuat perkawinan dijadikan
institusi yang sangat penting dalam kehidupan
2. Harta Benda pribadi
bermasyarakat. Adapun eksistensi dari institusi
Menurut Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1 perkawinan ini adalah melegalkan atau antara
Tahun 1974 tentang Perkawinan harta yang sudah seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dan isteri.
dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh
Tujuan lain dari adanya perkawinan itu
masing-masing sebagai hadiah atau warisan tidak
adalah membentuk keluarga. Menurut Abdul
masuk ke dalam harta bersama kecuali mereka
Manaf, “tidak akan ada keluarga tanpa adanya
memperjanjikan lain. Harta pribadi tersebut dapat
perkawinan, dan juga tidak ada perkawinan yang
dibedakan lagi meliputi harta bawaan suami atau
tidak membentuk keluarga.” (Manaf, 2006: 2)
istri yang bersangkutan, harta yang diperoleh suami
atau istri sebagai hadiah, hibah, atau warisan. Begitu pentingnya hak seseorang untuk
berkeluarga dan melanjutkan keturunan ini,
Unifikasi hukum perkawinan melalui Undang
membuat negara Indonesia merasa perlu untuk
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
mengaturnya dalam landasan konstitusi negara
(selanjutnya disebut UUP) telah menorehkan
Indonesia, karena hal ini menyangkut hak asasi
sejarah, karena telah mengakui kedudukan yang
manusia dari setiap warga negaranya, yang harus
sederajat antara pria sebagai suami dan wanita
dihormarti, dilindungi dan dijamin. Hal tersebut
sebagai isteri dalam perkawinan. Namun demikian
sebagaimana tercermin dalam Pasal 28B Ayat (1)
unifikasi hukum ini tidak mengakhiri masalah
UndangUndang Dasar 1945 Amandemen Keempat
adanya perselisihan dalam hukum perkawinan. Hal
dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39
ini sebagai akibat adanya sistem kekeluargaan yang
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang
majemuk yang ada di Indonesia ini. Perkawinan
menyebutkan bahwa :
itu sendiri merupakan cara bagi manusia untuk
mempertahankan eksistensinya di muka bumf ini “Setiap orang berhak membentuk keluarga
dengan cara melanjutkan keturunan. dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”.
Sejak diberlakukan UUP Tanggal 1 Oktober
1975, maka pada saat ini peristiwa perkawinan Perkawinan menurut ketentuan Undang-
yang dilakukan sebelum 1 Oktober 1975 Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
keberadaannya tetap diakui. Menurut Pasal 66 adalah:
UUP dinyatakan segala hal yang berkaitan dengan “Ikatan lahir batin antara seorang pria
perkawinan sepanjang diatur oleh UUP maka dengan seorang wanita sebagai suami isteri
akan berlaku aturan yang ada di dalam UUP. dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
Sebagai contoh, KUH Perdata (BW) mengatur tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
masalah perjanjian kawin dimana masalah Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 453
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

Perkawinan mengakibatkan timbulnya ikatan efektif, dimana berlaku hukum perkawinan


lahir batin antara dua orang berlainan jenis yang berdasarkan golongan penduduk dan agamanya,
telah terikat dan ingin mewujudkan suatu rumah pengaturan tersebut antara lain : (Hasan, 1988:26)
tangga yang bahagia dan kekal. Oleh karenanya a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang
timbul kewajiban bagi suami dan istri untuk beragama Islam berlaku hukum agama
mewujudkannya. Untuk itu keduanya harus (Islam) yang telah meresap ke dalam hukum
menjalankan hak dan kewajibannya masing- adat;
masing secara seimbang dalam kehidupan rumah
b. Bagi orang Indonesia asli lainnya berlaku
tangga dan pergaulan dalam masyarakat agar
hukum adat.
tujuan perkawinan yang telah dicita-citakan dapat
tercapai. c. Bagi orang Indonesia asli yang beragama
Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie
Perkawinan mengakibatkan timbulnya ikatan
Christen Indonesia (HOCI) Staatblad 1933
lahir batin antara dua orang berlainan jenis yang
Nomor 74;
telah terikat dan ingin mewujudkan suatu rumah
tangga yang bahagia dan kekal. Oleh karenanya d. Bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa dan
timbul kewajiban bagi suami dan istri untuk warga negara Indonesia keturunan Tionghoa
mewujudkannya. Untuk itu keduanya harus berlaku ketentuanketentuan dalam KUH
menjalankan hak dan kewajibannya masing- Perdata dengan sedikit perubahan;
masing secara seimbang dalam kehidupan rumah e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan
tangga dan pergaulan dalam masyarakat agar warga negara Indonesia keturunan asing
tujuan perkawinan yang telah dicita-citakan dapat lainnya berlaku hukum adatnya masing-
tercapai. masing;
Perkawinan yang sah akan membawa akibat f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara
bukan hanya ikatan lahir batin antara seorang Indonesia keturunan Eropa KUH Perdata;
pria dan seorang wanita saja yang menyatu, akan Menurut Retnowulan Sutantio, berdasarkan
tetapi akibat lain yang timbul karena adanya suatu sejarah dan yurisprudensi, hukum yang berlaku
perkawinan yang sah, yaitu terciptanya harta benda untuk menentukan peraturan harta benda
suami dan isteri dalam perkawinan. Salah satu perkawinan yang mana yang harus diterapkan,
bentuk harta benda perkawinan tersebut berupa sepenuhnya digantungkan dari hukum yang berlaku
harta bersama yang nantinya akan digunakan sewaktu perkawinan tersebut dilangsungkan.
untuk keperluan hidup bersama. (Sutantio, 1979: 77). Dalam hal ini perlu pula
Harta bersama merupakan harta benda yang dipertimbangkan hukum perkawinan yang berlaku
diperoleh suami dan isteri selama perkawinan sebelum diberlakukannya UUP, yaitu seperti
berlangsung, dengan tidak mempermasalahkan Burgerlijk Wetboek (BW), HOCI (Huwelijks
pihak mana yang menghasilkannya (baik suami Ordonantie Christen Indonesia), Hukum Adat,
atau istri saja, ataupun suami dan istri secara maupun Hukum Islam.
bersama-sama), maka harta tersebut menjadi milik Dalam mengarungi kehidupan rumah
bersama diantara suami dan isteri. Oleh karena itu, tangga, suami dan istri dihadapkan pada berbagai
mengenai harta bersama, suami dan isteri dapat macam tantangan dan rintangan dalam memenuhi
bertindak bersama-sama, atau hanya salah satu kebutuhan rumah tangga sehari-hari, baik untuk
pihak yang bertindak, tetapi atas persetujuan pihak memenuhi kebutuhan akan sandang (pakaian),
lainnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal pangan (makanan), maupun papan (rumah), serta
36 Ayat (1) UUP. kebutuhan lain seperti kebutuhan akan pendidikan,
Walaupun telah terjadi unifikasi di bidang kesehatan, kesenian dan lain sebagainya. Akibat
hukum perkawinan dengan diberlakukannya dari banyaknya kebutuhan yang terjadi setelah
UUP, akan tetapi dewasa ini (sejak 1 Oktober berumah tangga, suami dan istri mempunyai
1975) masih terdapat bermacam-macam hukum kewajiban untuk mencari nafkah agar segala
perkawinan yang diberlakukan, terutama mengenai kebutuhan hidup rumah tangga tersebut dapat
harta benda perkawinan. Kenyataan ini disebabkan terpenuhi.
karena sampai saat ini masih hidup orang-orang Umumnya pada kebanyakan keluarga di
yang menikah sebelum UUP diberlakukan secara Indonesia, kewajiban mencari nafkah ini tertumpu

454 Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif UU Perkawinan... (Evi Djuniarti)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

pada sang suami sebagai kepala keluarga, tetapi 1. Harta bersama (Pasal 35 ayat 1) UU
hal tersebut tidak menutup kemungkinan pihak Perkawinan;
istri untuk membantu suami mencari nafkah juga. 2. Harta bawaan yang dibedakan atas harta
Kewajiban mencari nafkah ini dapat dilakukan bawaan masingmasing suami dan istri dan
dengan berbagai cara, baik itu dengan cara bekerja harta bawaan yang diperoleh dari hadiah atau
pada suatu lembaga atau institusi ataupun bekerja warisan (Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan;
kepada orang lain maupun dengan jalan bekerja
3. Harta yang berasal dari hibah atau warisan
secara mandiri atau berwiraswasta.
adalah harta masing-masing suami-istri yang
B. Harta Benda Keluarga Ditinjau dari UU diperoleh bukan karena usaha bersama-sama
Perkawinan maupun sendiri-sendiri tetapi diperoleh
Perkawinan yang dilangsungkan antara karena hibah, warisan atau wasiat. Dengan
suami istri memiliki 3 (tiga) akibat hukum kata lain, pengertian jenis harta ini adalah
yaitu: Pertama, akibat dari hubungan suamiistri; harta yang diperoleh dalam perkawinan
Kedua, akibat terhadap harta perkawinan; dan tetapi tidak diperoleh sebagai hasil dari mata
Ketiga, akibat terhadap anak yang dilahirkan. pencaharian suami dan istri tersebut.
Persoalan harta benda dalam perkawinan sangat Pengertian mengenai harta bersama adalah
penting karena salah satu faktor yang cukup harta yang diperoleh setelah suami-istri tersebut
signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau berada di dalam hubungan perkawinan atas usaha
tidaknya kehidupan rumah tangga terletak kepada mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka.
harta benda. Walaupun kenyataan sosialnya Harta bersama ini juga disebut sebagai harta
menunjukkan masih adanya keretakan hidup pencarian. Harta bawaan adalah harta masing-
berumah tangga bukan disebabkan harta benda, masing suami-istri yang telah dimilikinya sebelum
melainkan faktor lain. Harta benda merupakan perkawinan baik diperolehnya karena mendapat
penopang dari kesejahteraan tersebut. warisan atau usaha-usaha lain.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Berdasarkan penggolongan jenis-jenis harta
tentang Perkawinan mengenal 3 (tiga) macam tersebut maka sebagai konsekuensinya terdapat 2
harta, yaitu: Pertama, harta bersama; kedua, harta (dua) macam penggolongan hak milik terhadap
bawaan; dan ketiga, harta perolehan. Setelah harta yaitu:
terjadinya perkawinan, maka kedudukan harta 1. Adanya hak milik secara kolektif atau
benda 2 orang yang saling mengikatkan diri bersama khusus mengenai harta yang
dalam ikatan hukum perkawinan akan berubah. digolongkan sebagai harta hasil dari mata
Berkaitan dengan kedudukan harta benda dalam pencaharian, pengaturannya adalah hak
perkawinan pengaturan harta tersebut diatur dalam kepemilikan terhadap harta tersebut dimiliki
Pasal 35 Jo. Pasal 36 Jo. Pasal 37 UU Nomor 1 secara bersama-sama oleh pasangan suami-
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 35 ayat (1) istri. Dengan adanya hak kepemilikan secara
UU Perkawinan merumuskan bahwa, harta benda kolektif ini tentunya wewenang dan tanggung
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta jawab terhadap harta bersama tersebut berada
bersama. di tangan suami dan istri. Apabila suami
Pada Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan hendak menggunakan harta bersama maka si
merumuskan bahwa, harta bawaan dari masing- suami harus mendapat persetujuan dari istri,
masing suami dan istri dan harta benda yang demikian juga sebaliknya.
diperoleh masing-masing sebagai harta benda 2. Adanya hak milik pribadi secara terpisah
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
Pada harta yang digolongkan sebagai jenis
atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-
harta yang kedua yaitu harta bawaan dan jenis
masing sepanjang para pihak tidak menentukan
harta ketiga yaitu harta yang diperoleh dalam
lain.
perkawinan tetapi tidak berasal dari mata
Berdasarkan ketentuan di atas terdapat 3 pencaharian, terhadap keduanya pengaturan
(tiga) penggolongan harta benda dalam perkawinan terhadap hak milik pada dasarnya dilakukan
yaitu: secara terpisah, yaitu masing-masing suami-
istri mempunyai hak milik secara terpisah

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 455
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

terhadap harta yang dimilikinya sebelum pelaku usaha dan istrinya seorang guru. Suami
terjadinya perkawinan. membutuhkan modal usaha dan memerlukan
Harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat rumah tersebut untuk dijadikan jaminan utang
(1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada bank. Tindakan suami menjaminkan
yang mengatakan, bahwa: “Harta benda yang rumah itu harus mendapat izin dari istri. Jika
diperoleh selama perkawinan menjadi harta tidak demikian, maka perjanjian kredit dengan
bersama.” Berdasarkan pasal ini, secara yuridis jaminan rumah tersebut menjadi cacat hukum,
formal dapat dipahami pengertian harta bersama dan dapat dibatalkan. Biasanya bank (kreditor)
adalah harta benda suami-istri yang didapatkan sangat hati-hati mengucurkan kreditnya sehingga
selama perkawinan. Yang mendapatkan bisa dalam contoh di atas, bank meminta kepada istri
suamiistri secara bersama-sama, atau suami saja untuk turut menandatangani perjanjian kredit agar
yang bekerja dan istri tidak bekerja atau istri yang di belakang hari tidak menjadi masalah hukum.
bekerja dan suami tidak bekerja. Tidak ditentukan Berbeda halnya dengan harta bawaan masing-
yang mendapatkan harta, melainkan harta itu masing suami atau istri yang tidak memerlukan izin
diperoleh selama perkawinan. Jadi sangat jelas salah satu pihak jika harta tersebut mau dijualkan
dan tegas, hukum menentukan bahwa harta yang ataupun dialihkan kepada pihak lain. Suami atau
diperoleh sebelum perkawinan bukanlah harta istri mempunyai hak penuh untuk melakukan
bersama. Dengan demikian, sifat norma hukum perbuatan hukum terhadap harta tersebut.
yang melekat pada Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Pengaturan hukum atas harta bersama jika
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah memaksa terjadi perceraian adalah menurut hukumnya
(dwingendrecht) atau disebut juga Imperative masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya
Norm. (Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, masing-masing adalah hukum agama, hukum
2016:.211) adat, dan hukum-hukum lainnya. Dalam praktik,
Harta bawaan dan harta perolehan diatur penggunaan hukum agama atau hukum adat
dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tergantung pada agama dan suku dari suamiistri.
tentang Perkawinan yang menentukan bahwa: Jika suami dan istri yang putus karena perceraian
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri menganut agama Islam, mereka selalu membagi
dan harta benda yang diperoleh masing-masing harta benda berdasarkan hukum Islam, namun tidak
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pula menutup kemungkinan dibagi berdasarkan
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak hukum adatnya. Bagi agama non Islam, pembagian
tidak menentukan lain. ( Kamello dan harta benda karena perceraian selalu tunduk pada
Syarifah Lisa Andriati, 2016: 109) hukum adat jika mereka satu suku, dan kalau tidak
ada kesepakatan diselesaikan menurut hukum adat
Mengenai harta bawaan dan harta perolehan
maka yang berlaku adalah hukum positif.
walaupun sudah ditentukan oleh hukum,
namun masih terbuka untuk dijadikan harta Dengan kata lain harta-harta yang dimiliki
bersama dengan cara membuat perjanjian kawin oleh pasangan suami-istri sebelum perkawinan
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 29 UU terjadi tidak menjadi bercampur kepemilikannya
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan atau kepemilikan terhadap harta bawaan tersebut
demikian sifat norma hukum yang melekat pada tidak menjadi kepemilikan secara kolektif. Akan
Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan adalah mengatur tetapi hak kepemilikan mengenai jenis harta ini
(aanvullendrecht). dapat ditentukan menjadi hak kepemilikan bersama
atau kolektif bagi suami dan istri. Dasar hukum
Bagaimana pengurusan dan penguasaan
dalam hal ini adalah Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1
mengenai ketiga macam harta tersebut serta
Tahun 1974 yang menyatakan: “adalah di bawah
hukum apakah yang berlaku. Mengenai harta
penguasaan masing-masing pihak sepanjang para
bersama, suami-istri tidaklah bebas dan leluasa
pihak tidak menentukan lain”.
melakukan perbuatan hukum melainkan jika salah
satu pihak akan menjaminkan atau mengalihkan Hal ini mengandung arti yaitu apabila suami
harta tersebut wajib untuk meminta persetujuan dan istri menghendaki terjadinya percampuran
dari pihak lainnya. Misalnya seorang suamiistri salah satu atau kedua jenis harta tersebut, maka
memiliki rumah sebagai harta bersama yang percampuran harta ini dapat dimungkinkan dengan
diperoleh selama perkawinan. Suaminya seorang perjanjian sebelumnya. Mengenai pembagian harta

456 Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif UU Perkawinan... (Evi Djuniarti)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

bersama pasca perceraian, UU Nomor 1 Tahun Harta pribadi meliputi:


1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara a. Harta yang dibawa masing-masing
tegas merumuskan hukum yang berlaku dalam suami-istri ke dalam perkawinan
pembagiannya karena diserahkan pembagian termasuk utang yang belum dilunasi
tersebut kepada hukum masing-masing. sebelum perkawinan dilangsungkan;
Hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal b. Harta benda yang diperoleh sebagai
37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawina hadiah atau pemberian dan pihak lain
yang menyatakan, bahwa: “Bila perkawinan kecuali ditentukan lain;
putus karena perceraian, harta bersama diatur
c. Harta yang diperoleh suami atau istri
menurut hukumnya masingmasing”. Adapun yang
karena warisan kecuali ditentukan lain;
dimaksud hukum masing-masing ini ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. d. Hasil-hasil dari harta milik pribadi
Pembagian menurut hukum masing-masing ini suami-istri sepanjang perkawinan
yang akan menjadi benturan dalam penggunaan berlangsung termasuk utang yang
hukum yang berlaku yang dikenal dengan conflict timbul akibat pengurusan harta milik
of law karena pengaturan harta benda perkawinan pribadi tersebut.
dan pembagian harta bersama pasca perceraian Menurut J. Satrio, berdasarkan UU Nomor
menurut hukum agama dan hukum adat berbeda 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam satu
yang memiliki aturan masing-masing. keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta
Menurut Wahjono Darmabrata dan Surini yaitu: (Satrio, 1992: 89)
Ahlan Sjarif, harta benda perkawinan menurut UU 1. Harta bersama
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terbagi Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor
atas: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta
1. Harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami-istri hanyalah meliputi
sepanjang perkawinan berlangsung harta-harta yang diperoleh suami-
sejak perkawinan dilangsungkan hingga istri sepanjang perkawinan sehingga
perkawinan berakhir atau putusnya disimpulkan bahwa termasuk harta
perkawinan akibat perceraian, kematian bersama adalah hasil dan pendapatan
maupun putusan Pengadilan. suami, hasil dan pendapatan istri.
Harta bersama meliputi: 2. Harta pribadi
a. Harta yang diperoleh sepanjang Menurut Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1
perkawinan berlangsung; Tahun 1974 tentang Perkawinan harta
b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, yang sudah dimiliki suami atau istri
pemberian atau warisan apabila tidak pada saat perkawinan dilangsungkan
ditentukan demikian; dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan
c. Utang-utang yang timbul selama
tidak masuk ke dalam harta bersama
perkawinan berlangsung kecuali yang
kecuali mereka memperjanjikan lain.
merupakan harta pribadi masing-masing
Harta pribadi tersebut dapat dibedakan
suami-istri. (Darmabrata dan Surini,
lagi meliputi harta bawaan suami atau
2016:21)
istri yang bersangkutan, harta yang
2. Harta pribadi adalah harta bawaan masing- diperoleh suami atau istri sebagai
masing suami-istri yang merupakan harta hadiah, hibah, atau warisan.
tetap di bawah penguasaan suami-istri
Dalam kitab Al-Hujjah Al-Balighah
yang merupakan harta yang bersangkutan
disebutkan bahwa, hadiah itu dimaksudkan untuk
sepanjang tidak ditentukan lain dalam
mewujudkan kasih sayang di antara sesama
perjanjian kawin. Dengan kata lain, harta
manusia. Maksud tersebut tidak akan terwujud
pribadi adalah harta yang telah dimiliki oleh
kecuali dengan memberikan balasan serupa. Suatu
suami-istri sebelum mereka melangsungkan
hadiah dapat menjadikan orang yang memberi
perkawinan.
dapat menimbulkan kecintaan pada diri penerima

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 457
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

hadiah kepadanya, selain itu, ketentuan tangan di menolaknya. Maka, wajib menerimanya
atas lebih baik daripada tangan di bawah. dikarenakan dalil-dalil berikut ini:
(Dahlami, tt : 285) 1) Rasulullah Saw. bersabda: “Penuhilah
Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan undangan, jangan menolak hadiah, dan
bersihnya hati padanya ada kesan penghormatan jangan menganiaya kaum muslimin”.
dan pemuliaan, dan oleh karena itu Rasulullah Di dalam Ash-Shahih (al-Bukhari dan
Saw. menerima hadiah dan menganjurkan untuk Muslim). Dari Umar rd, beliau berkata:
saling memberi hadiah serta menganjurkan Rasulullah Saw. memberi ku sebuah
untuk menerimanya. Al Imam Al Bukhari telah bingkisan, lalu aku katakan, “Berikan ia
meriwayatkan hadis di dalam shahihnya (2585) kepada orang yang lebih fakir dariku”.
dan hadis ini memiliki hadis-hadis pendukung Maka beliau menjawab, “Ambillah,
yang lain. apabila datang kepadamu sesuatu dari
Aisyah ra berkata: “Rasulullah Saw. harta ini, sedangkan engkau tidak tamak
menerima hadiah dan membalasnya”. dan tidak pula memintanya, maka
ambillah dan simpan untuk dirimu,
Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al
jikalau engkau menghendakinya,
Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadis Abu
maka makanlah, dan bila engkau tidak
Hurairah ra, berkata bahwa: “Rasulullah menginginkannya, bersedekahlah
Saw. apabila diberi makanan, beliau bertanya dengannya.”
tentang makanan tersebut, “Apakah ini
2) Salim Bin Abdillah berkata: “Oleh
hadiah atau shadaqah?.” Apabila dikatakan
karena itu, Abdullah tidak pernah
shadaqah maka beliau berkata pada Para meminta kepada orang lain sedikit
sahabatnya “Makanlah!”. Sedangkan pun dan tidak pula menolak bingkisan
beliau tidak makan, dan apabila dikatakan yang diberikan kepadanya sedikit
“Hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan pun”. (Shahih At Targhib 836). Dan di
tangannya tanda penerimaan beliau, lalu dalam sebuah riwayat, Umar ra berkata,
beliau makan bersama mereka. (HR. Al “Ketahuilah demi Dzat yang jiwaku di
Bukhari 2576) dan (Muslim 1077). tangan-nya!, saya tidak akan meminta
Hadiah menurut istilah syar’i, yaitu kepada orang lain sedikit pun dan
menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu tidaklah aku diberikan suatu pemberian
agar terwujudnya suatu benda kepada seseorang yang tidak aku minta melainkan aku
tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mengambilnya,” (shahih At Targhib
mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya 836)(kumpulan hadis-hadis Rasululluh
permintaan dan syarat. tentang Tarkub atau anjuran).
Definisi di antara 3 (tiga) perkara ini adalah 3) Rasulullah Saw. tidaklah menolak
niat, maka shadaqah diberikan kepada seseorang hadiah kecuali dikarenakan oleh sebab
yang membutuhkan dan dalam rangka mencari yang syar’i. Oleh karena adanya dalil-
wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah diberikan dalil ini maka wajib menerima hadiah
kepada orang fakir dan orang kaya yang diniatkan apabila tidak dijumpai larangan syar’i.
untuk meraih rasa cinta dan balas budi atas hadiah 4) Demikian pula di antara dalil-dalil
yang telah diberikan. yang menunjukkan wajibnya, adalah
Adapun hukum dari menerima dan menolak apa yang diriwayatkan oleh Imam
hadiah adalah sebagai berikut: Ahmad dari hadis Abu Hurairrah ra,
beliau berkata, bahwa Rasulullah Saw.
a. Hukum Menerima Hadiah
pernah bersabda: “Barangsiapa yang
Para ulama berselisih pendapat tentang orang Allah datangkan kepadanya sesuatu
yang diberikan bingkisan hadiah, apakah dari harta ini, tanpa dia memintanya,
wajib menerimanya ataukah disunatkan saja, maka hendaklah menerimanya, karena
dan pendapat yang kuat bahwasanya orang sesungguhnya itu adalah rezeki yang
yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak Allah kirimkan kepadanya.” (Shahih
ada penghalang syar’i yang mengharuskan At-Targhib 839).

458 Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif UU Perkawinan... (Evi Djuniarti)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

b. Hukum Menolak Hadiah a. Rukun dan Syarat Hibah


Setelah jelas bagi kita wajib menerima hadiah, 1) Pemberi Hibah (Wahib)
maka tidak boleh menolaknya, kecuali Syarat-syarat pemberi hibah
dikarenakan unsur syar’i. Nabi Muhammad (wahib) adalah sudah baligh
Saw. melarang kita untuk menolak hadiah, (dewasa), dilakukan atas dasar
hal ini berdasarkan sabda beliau, yang kemauan sendiri, dibenarkan
menyatakan bahwa: “jangan kalian menolak melakukan tindakan hukum dan
hadiah”. orang yang berhak memiliki
Para imam mazhab sepakat hibah menjadi barang.
sah hukumnya jika diakukan dengan 3 (tiga) 2) Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
perkara yaitu: Ijab, Kabul, dan Qabdhu
Syarat-syarat penerima hibah
(serah terima barang yang dihibahkan).
(mauhub lahu), di antaranya:
Oleh karena itu, menurut pendapat Hanafi,
“Hendaknya penerima hibah
Syafi’i dan Hambali, hibah tidak sah kecuali
itu terbukti adanya pada waktu
berkumpulnya tiga perkara itu. Maliki
dilakukan hibah. Apabila tidak ada
berpendapat bahwa, sah dan lazimnya suatu
secara nyata atau hanya ada atas
hibah itu tidak memerlukan serah terima
dasar perkiraan, seperti janin yang
barang tetapi cukup adanya ijab dan kabul
masih dalam kandungan ibunya
saja.
maka ia tidak sah dilakukan hibah
Serah terima barang merupakan syarat kepadanya”.
pelaksanaan dan syarat sempurnanya
3) Barang yang dihibahkan (Mauhub)
hibah. Apabila orang yang menghibahkan
dengan mengakhirkan penyerahan barang, Syarat-syarat barang yang
padahal yang menerima hibah terus- dihibahkan (Mauhub), di antaranya
menerus memintanya hingga orang yang adalah, jelas terlihat wujudnya,
menghibahkan mati, sedangkan yang barang yang dihibahkan memiliki
menerima terus memintanya (karena belum nilai atau harga, betul-betul
menerima hibahnya tersebut) hibahnya milik pemberi hibah dan dapat
tidak menjadi batal dan ia berhak menerima dipindahkan status kepemilikannya
kembali kepada ahli warisnya. dari tangan pemberi hibah kepada
penerima hibah.
Hibah adalah akad pemberian harta milik
seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup 4) Akad (Ijab dan Kabul), misalnya
tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih si penerima menyatakan, “saya
sayang. Memberikan sesuatu kepada orang hibahkan atau kuberikan tanah
lain, asal barang atau harta itu halal termasuk ini kepadamu”, si penerima
perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari menjawab, “ya saya terima
Allah Swt. Oleh karena itu, hibah hukumnya pemberian saudara”.
adalah mubah. Sebagaimana Firman Allah b. Jenis Hibah
Swt. dalam Surah Al-Bagarah: 177, yang Hibah dapat digolongkan menjadi 2
berbunyi: (dua) macam, yaitu:
“Dan memberikan harta yang 1) Hibah barang adalah memberikan
dicintainya kepada kerabatnya, anak- harta atau barang kepada pihak
anak yatim, orang-orang miskin, lain yang mencakup materi dan
musafir (yang memerlukan pertolongan) nilai manfaat harta atau barang
dan orang-orang yang meminta dan tersebut, yang pemberiannya tanpa
(memerdekakan) hamba sahaya”. ada tendensi (harapan) apa pun.
Selain itu, hibah juga memiliki rukun dan Misalnya, menghibahkan rumah,
syarat, jenis hibah, serta hikmah adanya sepeda motor, baju dan sebagainya.
hibah. Berikut akan diuraikan yang terkait 2) Hibah manfaat, yaitu memberikan
dengan hibah, adalah sebagai berikut: harta kepada pihak lain agar
dimanfaatkan harta atau barang

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 459
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

yang dihibahkan itu, namun materi terjadi adalah, kedua asas tersebut diterapkan
harta atau barang itu tetap menjadi secara bersama-sama dalam KUH Perdata.
milik pemberi hibah. Dengan kata Berdasarkan Asas maritale macht, maka
lain, dalam hibah manfaat itu si dalam Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata
penerima hibah hanya memiliki ditentukan bahwa, “Suami sendiri harus mengurus
hak guna atau hak pakai saja. (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan,
Hibah manfaat terdiri dari hibah tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan
berwaktu (hibah muajjalah) dan menjual, memindahtangankan dan membebani.”
hibah seumur hidup (alamri).
Menurut Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH
Hibah muajjalah dapat juga
Perdata ini, suami diberi wewenang yang sangat
dikategorikan pinjaman (ariyah)
besar dalam mengurus (beheren) harta kekayaan
karena setelah lewat jangka waktu
perkawinan. Istilah beheren di sini dipergunakan
tertentu, barang yang dihibahkan
dalam arti luas yaitu, mengelola. Yang meliputi
manfaatnya harus dikembalikan.
tindakan pengurusan (beherr) dalam arti sempit
c. Hikmah hibah dan tindakan memutus (beschikken). Beheren
Adapun hikmah hibah adalah: dalam arti sempit menurut Pasal 124 ayat (1)
1. Menumbuhkan rasa kasih sayang KUH Perdata meliputi semua perbuatan untuk
kepada sesama memelihara agar harta kekayaan itu tetap
utuh dan berbuah, atau melakukan tindakan-
2. Menumbuhkan sikap saling tolong
tindakan sesuai dengan tujuan atau fungsinya,
menolong
sehingga harta kekayaan tersebut menghasillcan,
3. Dapat mempererat tali silaturahmi misalnya mengolah tanah, menyewakan rumah,
4. Menghindarkan diri dari berbagai melakukan perbaikan atau reparasi. Beschikken
malapetaka. (tindakan memutus) berisi tindakan-tindakan
C. Harta Benda Keluarga Dalam untuk mengadakan perubahan yuridis atas harta
KUHPerdata kekayaan perkawinan, yang dalam Pasal 124 ayat
Pengaturantentangpengurusanhartakekayaan (2) KUH Perdata disebutkan sebagai perbuatan
menjual, memindahtangankan dan membebani.
perkawinan dalam KUH Perdata didasarkan pada
Maritale Macht, sebagaimana diatur dalam Pasal Menurut Pasal 124 ayat (1) KUH Perdata, suami
105 KUH Perdata, yang menentukan bahwa, sendiri harus mengelola harta kekayaan persatuan.
“Suami adalah kepala persekutuan suami-istri (De KESIMPULAN
man is het hoofd der echtvereeniging)”, sedangkan
istri harus taat dan patuh kepada suaminya (Pasal Kedudukan hukum harta benda dalam
106 KUH Perdata). Selanjutnya, dalam Pasal 108 undang-undag perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
KUH Perdata ditentukan, “Bahwa seorang wanita pasal 134 mengatakan bahwa harta benda bersama
yang terikat tali perkawinan dalam melakukan merupakan harta yang dihasilkan dari suami atau
perbuatan hukum harus mendapat izin lebih istri selama perkawinan. Dengan demikian harta
dahulu dari suaminya”. Oleh karena itu, Pasal benda punyak hak masing-masing tidak bisa untuk
108 mengandung ketidakcakapan berbuat hukum dimiliki, tidak bisa digabung.
(onbekwaamheid) bagi istri. Menurut Pitlo, Kedudukan harta benda dalam KUHPerdata
kedua asas tersebut (asas maritale macht dan asas sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
onbekwaamheid) merupakan 2 (dua) asas yang 499 – 223 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua
berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang harta benda yang diperoleh dari pembawaan
berlainan. Asas maritale macht mengalcibatkan para pihak sebelum perkawinan dapat digunakan
suami berwenang mengelola sebagian besar bersama utnuk kepentingan bersama dalam rumah
harta kekayaan, sedangkan asas onbekwaamheid tangga.
mengakibatkan dalam setiap melakukan perbuatan
hukum, istri harus mendapat persetujuan lebih SARAN
dahulu dari suami, karena kedua asas tersebut Untuk memberikan perlindungan kepada
berbeda, maka tidak dapat diterapkan secara suami istri sebaiknya perlu dibuat perjanjian
berdampingan. Suatu ketidaksengajaan telah pranikah tentang harta benda yang mereka miliki.

460 Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif UU Perkawinan... (Evi Djuniarti)
Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN 1410-5632

De Jure
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi LIPI: No:740/AU/P2MI-LIPI/04/2016

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Dahlami Rafiudin Syech, Kitab Al Hujjah Al


Balighah, Kairo, Tanpa Tahun
Darmabrata, Wahjono dan Ahlan Sjarif Surini,
Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
2016
Hasan, Djuhaendah, Hukum Keluarga setelah
Berlakunya UU No. 1/ 1974 (Menuju Ke
Hukum Keluarga Nasional), CV. ARMICO,
Bandung, 1988
Kamello, Tan dan Lisa Andriati Syarifah, Hukum
Harta Warisan Menurut Hukum Perkawinan,
Medan, USU, 2016
Manaf, Abdul, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan
kedudukan Suami Istri dalam Penjaminan
Harta Bersama pada Putusan Mahkamah
Agung, CV. Mandar Maju, Bandung, 2006
Remy, Sjandeini Sutan, Hukum Kepailitan
Memahami Failissementsverordening Juncto
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, PT
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2003
Satrio, J, Hukum Harta Perkawinan. Citra Aditya
Bakti. Bandung, 1993
Sutantio, Retnowulan, Wanita dan Hukum,
Alumni, Bandung, 1979
Subekti R dan Sudibyo Tjitro, Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1990

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461 461

Vous aimerez peut-être aussi