Vous êtes sur la page 1sur 2

MANIFESTASI KLINIS TRAUMA KEPALA

a. Anamnesis
Menurut Tintinalli et al. (2016), menggali informasi terkait riwayat pada pasien melalui
pasien sendiri, saksi mata, maupun EMS crews sangat penting untuk mengetahui mekanisme
bagaimana insiden yang terjadi serta keparahan dari trauma kepala (misal; ketinggian jatuhnya,
sabuk pengaman yang digunakan, bagaimana dikeluarkannya dari kendaraan). Selain itu, tanyakan
juga ada tidaknya premorbid riwayat medis, riwayat medikasi atau pengobatan (khususnya
antikoagulan), serta penggunaan narkoba dan atau alkohol intoksikasi juga penting untuk menilai
trauma dan penanganannya.
Pada trauma kepala perlu ditanyakan, saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke
rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung, keadaan penderita saat kecelakaan dan
perubahan kesadaran sampai saat diperiksa, bila pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan
peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk
mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd, ada atau tidak adanya muntah, pasien tidak
selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung /
disorientasi (kesadaran berubah) (Kurniawan, 2016).
b. Pemeriksaan Fisik
Mengikuti prinsip ATLS (Advanced Trauma Life Support), dengan fokus terhadap fokus
traumanya yang dilanjutkan dengan prosedur lifesaving jika diperlukan. Melindungi cervical spine
selama evaluasi, penatalaksanaan, maupun imaging. Segera klasifikasikan terlebih dahulu
berdasarkan GCS, di mana kategori cedera kepala ringan (GCS 14-15), cedera kepala sedang (9-
13), cedera kepala berat (3-8) (Tintinalli et al., 2016).
Setelah menentukan klasifikasi berdasarkan GCS, melakukan pemeriksaan respon pupil.
Apabila adanya single fixed and dilated pupil, menunjukkan atau mengindikasikan adanya
hematoma intrakranial dengan herniasi otak yang membutuhkan dekompresi bedah cepat.
Sedangkan bilateral fixed and dilated pupil, mengindikasikan adanya peningkatan tekanan
intrakranial dengan perfusi otak yang rendah, herniasi otak bilateral, drug effect (misalnya atropin)
atau hipoksia yang parah. (Tintinalli et al., 2016).
Selanjutnya perlu menilai fungsi motorik pasien. Apabila adanya perubahan fungsi motorik
dapat mengindikasikan cedera/injuri pada otak, medula spinalis, atau saraf tepi. Pada pasien koma
dapat dinilai melalui noxious stimuli (rangsang nyeri). Kondisi decorticate posturing
mengindikasikan adanya cedera intrakranial yang parah di atas mesensefalon/midbrain. Sedangkan
decerebrate posturing mengindikasikan adanya cedera yang di bawahnya. Pada orang yang
unresponsif, pola pernafasan dan pergerakan mata dapat memberikan informasi mengenai fungsi
batang otak (midbrain) (Tintinalli et al., 2016).
Menurut Kurniawan et al. (2016), perlunya juga menilai ada tidaknya trauma di tempat lain
serta pemeriksaan orientasi dan amnesia.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan, M et al. 2016. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Jakarta.
Tintinalli et al. 2016. Tintinalli’s Emergency Medicine A Comprehensive Study Guide Eight Edition.
New York: McGraw Hills Education.

Vous aimerez peut-être aussi