Vous êtes sur la page 1sur 33

Systemic Lupus Erythematosus

KELOMPOK II

1. NUR NADHILAH I.D.S BARANUDDIN 2117008


2. STEFANI KASIM 2117010
3. MASLINDA GOLENG SINA 2117001
4. ZENDRAWATI S ABDUL 2117024
5. AYUNIAR 2117003
6. YERMIAS B. BULU 2117006
7. ERNIWATI ENGGIYANI 2117014
8. DHEA ANANDA 2117004
9. MELKIANUS MALO 2117033
10. MARIA ORINTIANI MURNI 2117031

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

GEMA INSAN AKADEMIK

MAKASSAR

2019

KATA PENGANTAR

i
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah-Nya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Laporan
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Sistemik Lupus Eritematosus” dengan
sebaik-baiknya.

Dalam penyusunan makalah ini, kami telah mengalami berbagai hal


baik suka maupun duka. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini
tidak akan selesai dengan lancar dan tepat waktu tanpa adanya bantuan,
dorongan, serta bimbingan dari berbagai pihak. Sebagai rasa syukur atas
terselesainya maklah ini, maka dengan tulus kami sampaikan terimakasi
kepada pihak-pihak yang turut membantu.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak


kekurangan baik padaa teknik penulisan penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan dapat diterapkam dalam, menyelesaikan suatu
permasalahan yang berhubungan dengan judul makalah in

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Systemic Erithematosus Lupus (SLE) atau yang biasa


dikenal dengan istilah lupus merupakan suatu penyakit autoimun
yang menyebabkan inflamasi kronik. Penyakit ini terjadi dalam
tubuh akibat sistem kekebalan tubuh salah menyerang jaringan
sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi sistem dimana
banyak manifestasi klinik yang didapat penderita, sehingga setiap
penderita akan mengalami gejala yang berbeda dengan penderita
lainnya tergantung dari organ apa yang diserang oleh antibody

ii
tubuhnya sendiri. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai
adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang berat, SLE
bisa menyebabkan nefritis, masalah neurologi, anemia, dan
trobositopenia.

SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras


apapun. Hanya saja penyakit ini angka kejadiannya didominasi
oleh prempuan dimana perbandingan antara prempuan dan laki-
laki adalah 10:1. SLE menyerang prempuan pada usia produksi
,puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan
sama dengan jumlah pendirita SLE diamerika yaitu 1.500.000
orang ( yayasan lupus Indonesia )

Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi


gejala dan induksi remisi serta mempertahankan remisi selama
mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis
yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat
yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE
yaitu NSAID ( Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs),obat-obat
antimalarial, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti
terapi hormone,immunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,
monoclonal antibody, dan transplasi sumsum tulang yang masih
menjadi penelitian para ilmuwan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa definisi SLE ?

2. Bagaimana etiologi SLE?

3. Bagaimana patofisologi dari SLE?

4. Apa manifestasi klinis dari SLE ?

iii
5. Apa klasifikasi dari SLE?

6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE?

7. Bagaimana evaluasi dari SLE?

8. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE?

9. Bagiaman komplikasi dari SLE

10. Bagaimana Asuhan Keperawatan dari SLE

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit


inflamasi autoimun pada jaringan penyembuhan yang dapat
mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih
sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk
keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh
kehamilan ( Elizabeth 2009).

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler


kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia
menghasilkan antibody terhadap organ tubuhnya sendiri,yang
dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat
menyerang banyak bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru
seta jantung (Glade,1999).

SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema


jaringan yang bercirikan nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise
umum dan erythema dengan pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi
muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap IgG dan
imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang
dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah
(vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik,SLE juga
merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan
terutama timbul pada prempuan. Sebabnya tidak
diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida atau secara
alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin
100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)

v
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai
sendi,ginjal,selaput serosa permukaan dan dinding pembuluh darah
yang belum jelas penyebabnya. Peradangan kronis ini mengenai
prempuan muda dan anak-anak 90% penderita [penyakit SLE
adalah prempuan.

Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens


sitotoksik,seperti siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat
membantu menemukan terapi yang aman digunakan baik pada
kehamilan maupun menyusui.

B. Etiologi

Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom


lupus neonates dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat
bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok jatung congenital.

Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting


dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada
pasien SLE mempunyai kerabatdekat yang menderita SLE.
Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan
antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3,
komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
peningkatan komplomen yaitu : Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta
gen-gen yang mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan sitokin
(Albar 2003).

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu


sinar UV yang mengubah struktur DNA didaerah yang terpapar
sehingga menyebabkan perubahan sistem imun didaerah tersebut
serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat
diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menyadi
lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini

vi
direspon sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al,2000).
Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam
aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain intu
infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan peningkatan antibody
entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang akan memicu
terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).

Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid


sebagai penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang
lebih tinggi pada wanita usia produktif,peningkatan aktivitas SLE
selama kehamilan, dan resiko yang sedikit lebih tinggi padaa
wanita pascamenoupause yang menggunakan suplementasi
estrogen. Walapun hormone seks steroid dipercaya sebagai
penyebab SLE,namun studi yang dilakukan oleh petri dkk
menunjukan bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak
meningkatkan risiko terjadinya peningkatan aktivitas penyakit pada
wanita penfderita SLE yang penyakitnya stabil.

vii
C. Patofisiologi

Faktor Lingkungan
Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

Sistemik Kulit Oral


Xerostomin

Arthritis Lesi Ulserasi


Butterfly
Serositis rash Lesi Diskoid

Ganggua Discoid Lesi Mirip


n ginjal rash lichen
Laboratorium
plamus
Ganggua Fotosensi
n saraf tivitas kandidiasis

Gangguan
darah

Gangguan
imun

Antibody
antinuklir
(ANA)

viii
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses
diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi,
sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas
respon imun didalam tubuh yaitu : Sel T dan B menjadi autoreaktif,
Pembentukan silokin yang berlebihan, Hilangnya regulator control pada
sistem imun anatara lain : Hilangnya kemampuan membersihkan antigen
dikompleks imun maupun sitokin didalam tubuh, Menurunnya kemampuan
mengendalikan apoptosis. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali
molekul tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekul. Akibat
proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang
membentuk kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ
yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetika,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasannya terjadi
selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan
senyawa kimia atau obat-obatan.

ix
D. PATHWAY

x
E. Manifestasi

Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam


keterlibatan organ pada suatu waktu maupun keparahan
manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai
tambahan,perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan
dapat bervariasi dari ringan ke sedang sehingga parah atau bahkan
membahayakan hidup. Karena perbedaan multisystem dari
manifestasi kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis sebagai
great imitator.

Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan


samapai sedang dengan gejala kronis,diselingi oleh peningkatan
aktivitas penyakit secara terhadap atau tiba-tiba. Pada sebagian
kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas
penyakit dan remisi klinik sempurna. Pada keadaan yang sangat
jarang,pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan
remisi lambat.

Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal.


Pertama,walapun SLE dapat menyebabkan berbagai tanda dan
gejala, tidak semua tanda dan gejala pada pasien dengan SLE
disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE.
Kedua, efek samping pengobatan,khususnya penggunaan
glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan tanda dan
gejala.

1. Manifestasi Konstitusional

Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE


aktif,namun penyebab infeksius tetap harus dipikirkan,terutama
pada pasien dengan terapi imunosupresi. Penurunan berat
badan dapat timbul awal penyakit,dimana peningkatan berat

xi
badan, khusus pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid,
dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap selanjutnya.
Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang
paling umum dan seringkali merupakan gejala yang
memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini belum
jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan, gangguan
neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam
timbulnya gejala konstitusional. Pada kasus ini dijumpai gejala
demam namun gejala ini mungkin juga disebabkan oleh infeksi
pneumonia. Penurunan berat badan juga ditemukan pada
pasien. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan
malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum yang
memperberat penyakit,gejala ini turut ditemukan kasus ini.

2. Manifestasi Mukokutan

Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan


ruam, eksaserbasi ruam yang telah ada sbelumnya, reaksi
terhadap sinar matahari yang berlebihan (exaggerated
sunburn), atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah
terpajan sinar matahari atau sumber cahaya buatan.
Zfotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada
semua kelompok ras dan etnis, walapun belum ada studi
mengenai prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk
kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial,
lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly ras. Ruam ini
dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat
meningkat dan sangat meradang, bertahan selams berminggu-
minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan
parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat diwajah,leher dan kulit kepala.
Lupus kutis akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas

xii
dapat dipicu oleh pacaran sinar ultraviolet. Lesi lupus subakut
dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpapar sinar
matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V dileher )
tanpa pacaran sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit
lainnya termasuk livedo riticularis, eritema periungual, eritema
palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau
kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis.
Alopesia dapat timbul akibatlesi pada kulit kepala, namun
biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversible,
kecuali jika terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan nasal
cukup sering terjadi dan harus dibedakab dari infers virus
maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan
saliva, yang mungkin tumpang tindih dengan sindrom sjogren.
Umumnya mata dan mulut kering merupakan efek samping
pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan.
Sesuai dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas,
yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar matahari.
Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu
(malar rash atau butterfly rash) pada bagian pipi dan hidung
pasien. Alopesia juga ditemukan pada pasien ini yang mengeluh
rambutnya yang sering rontok waktu menyikat rambut.

3. Manifestasi Muskuloskeletal

Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan


dengan sinovitis dan nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming.
Manifestasi yang jarang adalah deformitas jaccoud yang
menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan tidak
terbukti secara radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan
tulang. Kelemahan otot biasanya merupakan akibat terapi
glukokortikoid atau antimalaris, namun myositis dengan
peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasannya

xiii
merupakan gejala yang tumpah tindih. Tenosinovitis dan bursitis
jarang ditemukan. Ruput tendon dapat merupakan komplikasi
terapi glukokortikoid. Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat
disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan
gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoralis, kaput
hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia
merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat
disebabakanoleh penyakit, efek samping pengobatan,
glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati dan faktor
psikogenik. Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu
nyeri pada sendi jari pada kedua tangan yang tidak disertai
dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifetasi
muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non
erosive dan non deforming arthritis.

4. Manifestasi Kardiovaskular

Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri


substernal posisional dan terkadang dapat ditemukan rub.
Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau dalam kasus
kronik penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau
hemodinamik konstriktif jarang ditemukan, namun dapat
diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun
harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada
tidak khas, perubahan ECG minimal, aritmia atau perubahan
hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati
dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri. Endokarditid trombotik
nonifeksi (Libman-sacks) jarang dan seringkali tidak
menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup
mitral atau katup aorta atau embilisasi. Arterisklerosis premature
dengan angina pektrois dan infark miokardium merupakan
sumber mortalitas dan morbilitas jangka panjang yang paling
serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid

xiv
kronik,menopause premature, serta faktor diet dan gaya hidup
dapat menyebabkan arterosklerosis. Fenomena Raynaud,
vasospasme yang diindikasi dingin pada jari.sering ditemukan
pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel ditangan dan kaki
sering tumpang tindih dengan scleroderma. Gambaran patologis
yang sama pada sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi
pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali fatal.
Sebagian besar cedera vascular trombotik pada pasien SLE
dimediasi oleh antibody antifosfolipid (aPL), ditemukan pada
sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat menyebabkan thrombosis
arteri dan vena spontan pada semua ukuran pembuluh darah.
Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan
protein S, faktor V Leiden dan antitrombin III dapat
menyebabkan terjadinya trombisis, namun defisiensi faktor-
faktor ini lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena
dibandingkan trpmbosis arteri.

5. Manifestasi Paru

Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas


pleuritik, rub, dan efusi dengan bukti radiografi dapat ditemukan
pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin hanya
berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru
pneumonitis atau alveolitis dan dibuktikan dengan batuk,
hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi namun dapat
membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul
atau tanpa pneumonitis akut dan memilik angka mortalitas yang
sangat tinggi. Pneumonitas lupus kronik dengan perubahan
fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan
perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit
paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh perubahan pleuritik
jangka panjang, miopati atau fibrosis otot pernapasan, termasuk
diafragma dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru

xv
rekuren disebabkan oleh antibody antifosfilipid harus
disingkirkan pada pasien dengan gejala paru yang tidak dapat
dijelaskan.

6. Manifestasi Ginjal

Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE.


Spektrum keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi
mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala sampai
glumerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju
gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan
minimalis, termasuk proteinuria ringan dan hematuria
mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat,
hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan
hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan hipertensi, sedimen
eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin dan
penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan
kreatinin serum dan uremia. Pada kasus ini ditemukan kelainan
ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan kelainan ginjal
yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria 25,00mg/dL
dan leucocyte pada urin 25,00 leu/πL

7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik

Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15%


pasien dan terkadang merujuk pada SLE neuropsikiartrik atau
serebritis lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi obyektif
seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,
khorea, ataksia, stroke dan myelitis tramsversa. Pada pasien
seperti ini diagnosis dapat didukung oleh temuan abnormal
pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar
protein, pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT
scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia
alba dan grisea atau bahkan pada biopsy leptomeningeal

xvi
dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis lupus SSP adalah
gangguan psikiatrik mayor yaitu psikosis. Pada kasus ini cairan
serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil normal dan
diagnosis banding dari penysakit psikogenik primer dan/atau
reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan. Masalah ini adalah
gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit kepala sering
ditemukan dengan intesitas yang beragam. Sakit kepala lupus
yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsive
terhadap glikokortikoid merupakan kasus yang jarang.
Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat
menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark
pada pasien ini disuspek lupus serbri karena
penurunankesadaran.

8. Manifestasi Gastrointestinal

Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut


difus dan mual, kas untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan
asites jarang namun merupakan komplikasi abdomen yang
serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan
terapi yaitu NSAID dan atau gastropati terkait glukokortikoid.
Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang,
vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut.
Terkadang pankreatitis dapat merupakam gejala penyakit atau
merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati
terkafdang dihubungkan dengan hepatiris noninfeksi pada SLE,
yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui
gambar histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin atau
metotreksat dan penggunaan jangka panjang glukokortikoid
yang dapst menyebablkan perlemakan hati dengan peningkatan
transaminase ringan.

xvii
9. Manifestasi Hematologi

Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan


temuan yang sering namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia
merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh hemolysis
dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin rendah dan
kadar laktat dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi.
Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis
eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis
lupus. Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik
dan ketidask cukupan asupan makanan. Leukopenia dan
limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar
kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia dengan
peningkatan risiko terjadinya infeksi pada pasien SLE.
Leukositosis dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid.
Trombisitopenia ringan (100000-150000/πL) dapat disebabkan
oleh antibody antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat
(kurang dari 50000/πL), disebabkan oleh antibody antiplatelet
dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya
mungkindidiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik.
Pada kasus ini ditemukan kelainan atau manifestasi hematologi
sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien
SLE. Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai
haemoglobin yang rendah.

10. Manifestasi Mata

Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang


dan merupakan temuan nonspesifik. Konjungtivitas dan
episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit aktif. Mata
kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom

xviii
sjogren. Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan
oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena retina.

F. Klasifikasi

Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the


America rheumatism association diagnostic and therapeutic criteria
committw tahun 1982 merevisi kreteria untuk klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat
diantra 11 kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama
sati interval observasi :

1. Ruam dibagian malar wajah

2. Ruam berbentuk discoid

3. Fotosensitivitas

4. Ulkus dimulut

5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)

6. Gangguan ginjal

7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )

8. Arthritis

9. Gangguan hematologis (anemia


hemolitik,leucopenia,trombositopenia)

10. Gangguan imunologi

11. Antibody nuclear

12. R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk


mengingat kriteria diagnosis SLE. A Rash Points MD. Arthritis
renal disease ( penyakit ginjal), ANA serositis, Hematologi
disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut)

xix
immunological disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid
rash Ann Rheum Dis 2001.

G. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan


kronik :

1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi


kemungkinan penyakit akut, meminimalkan penyakit yang
berhubungan dengan kecacatan dan mencegah komplikasi dari
terapi yang diberikan.

2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan


kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.

3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.

4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk


penggunaan dosis oral tinggil tradisional.

5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan


dengan obat-obat antimalarial.

6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE


yang serius

H. Pemeriksaan Penunjang

SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat


yang menujukan berbagai manifestasi,paling sering berupa artitis.
Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan neorologis.
Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan
remisi. SLE ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan
penanda serologis, khususnya beberapa autoantibodi yang paling
sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi

xx
antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak
menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antibouble
standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran bermanfaat untuk
menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada
kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara
multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosa.
Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia,
tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta
penurunan tingkat komplemen membantu mengarahkan pada
ruam.

Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi


menandakan resiko keguguran. Temuan pemeriksaan laboratorium

1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA),


positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE.

2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk


menentukan SLE. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik
untuk diagnose SLE

3. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.

4. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin


antibody) berhubungan dengan menentukan adanya thrombosis
pada pembuluh arteri, vena atau pada abortus spontan, bayi
meninggal dalam kandungan dan trombositopeni.

5. Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE


atau lupus meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah,
antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analyses urin,
komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang
dilakukan adalah biopsy.

I. Kompilkasi

xxi
1. Ginjal : Sebagaian besar penderita menunjukan adanya
penimbunan protein didalam sel-sel tetapi hanya 50% yang
menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap) pada
akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu
mengalami dialysis atau pencangkokan ginjal.

2. Sistem saraf : Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita


lupus. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah
dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bias
terjadi pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun
sistem saraf. Kejang, pesikosa, sindroma otak organic dan
sekitar kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang
bias terjadi.

3. Penggumplan darah : Kelainan darah ditemukan pada 85%


penderita lupus bisa terbentuk bekuan darah didalam vena
maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru.
Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody
yang melawan faktor pembekuan darah yang bisa
menyebabkan perdarahan yang berarti.

4. Kardiovaskuler : Perdangan berbagai bagian jantung seperti


pericarditis, endocarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan
aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.

5. Paru-paru : Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan


selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan cairan antara paru
dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut timbul nyeri
dada dan sesak napas.

6. Otot dan kerangka tubuh : Hampir semua penderita lupus


mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita
arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian
pada jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian

xxii
jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan
penyebab dari nyeri didaerah tersebut.

7. Kulit :Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang


pipi dan pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin
memburuk jika terkena sinar matahari.

xxiii
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Anamnesis

Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada


wanita maupun pria, namun penyakit ini sering diderita oleh
wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8:1. Biasanya
ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan
filiphinaLebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif.
Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi
penyakit ini

a. Keluhan Utama

Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah,


lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek
gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari pasien

b. Riwayat Penyakit Dahulu

Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah


pernah menderita penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang
serius, atau penyakit autoimun yang lain.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami


pasien (misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam discoid-
bintik-bintik eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis,

xxiv
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak
pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.

d. Mulai kapan keluhan dirasakan.

Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.


Keluhan-keluhan lain menyertai.

e. Riwayat Pengobatan

Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan


klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid dan
isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.

f. Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah


mengalami penyakityang sama atau penyakit autoimun yang
lain

g. Pemeriksaan Fisik

Dikaji secara sistematis :

1) B1 (Breath): Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan


pergerakan nafas, penggunaan otot nafas tambahan,
sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai
terjadi pleuritis atau efusi pleura.

2) B2 (Blood) : Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri


dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi systolic click (ejeksi
clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup
pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi
nekrosis menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung

xxv
jari tangan,siku,jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
dibawah atau sisi lateral tangan.

3) B3 (Brain) : Mengukur tingkat kesadaran (efek dari


hipoksia) Glasgow Coma Scale secara kuantitatif dan
respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif),
orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis
juga serangan kejang-kejang.

4) B4 (Bladder) : Pengukuran urine tamping (menilai fungsi


ginjal), warna urine (menilai filtrasi glomelorus)

5) B5 (Bowel) : Pola makan, nafsu makan, muntah, diare,


berat badan dan tinggi badan, turgor kulit, nyeri tekan,
apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa

B. Diagnosa

1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-


psikososial kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis).

2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi

3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan ketidak mampuan untuk memasukkan
nutrisi karena gangguan pada mukosa mulut

4. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena


suatu penyakit

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

xxvi
C. Perencanaan/Intervensi

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


. (NIC)
( NOC)

xxvii
1. Nyeri kronis berhubunganComfort level Pain management
dengan ketidak mampuan
Pain control Monitor kepuasan pasien
fisik-psikososial kronis
terhadap manajemen nyeri
(metastase kanker, injuriPain level
neurologis, arthritis). Tingkat istirahat dan tidur
Tujuan : Setelah dilakukan
yang adekuat
tindakan keperawatan
selama 24 jam nyeri kronisKelola antianalgesik
pasien berkurang dengan
Jelaskan pada pasien
kriteria hasil:
penyebab nyeri
Tidak ada gangguan tidur
Lakukan tehnik
Tidak ada gangguannonfarmakologis ( relaksasi
konsetrasi masase punggung)

Tidak ada gangguan


hubungan intrerpersonal

Tidak ada ekspresi


menahan nyeri dan
ungkapan secara verbal

Tidak ada tegangan otot

Thermoregulasi

Tujuan : Setelah dilakukan


tindakan selama 24 jam
pasien menunjukan kriteria
hasil : Monitor suhu sesering
mungkin
Suhu tubuh dalam batas
normal Monitor TD, nadi dan RR
Peningkatan suhu tubuh
Nadi dan RR dalamMonitor WBC,Hb dan Hct
berhubungan dengan inflasi
rentang normal
2 Monitor intake dan output
Tidak ada perubahan
Berikan antipiretik sesuai
xxviii
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit


inflamasi autoimun pada jaringan penyembuhan yang dapat
mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih
sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1.
Androgen mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk
keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus
menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh
kehamilan ( Elizabeth 2009).Lupus eritematosus sistemik (SLE)
adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini
berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ
tubuhnya sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan
fungsinya.

Lupus dapat menyerang banyak bagian tubuh termasuk


sendi,ginjal,paru-paru seta jantung (Glade,1999). SLE (systemic
lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan
nyeri sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema
dengan pola berbentuk kupu-kupu khas dipipi muka. Darah
mengandung antibody beredar terhadap IgG dan
imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang
dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah

xxix
(vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik,SLE juga
merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan
terutama timbul pada prempuan. Sebabnya tidak
diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida atau secara
alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin
100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)

Penyakit ini disebabkan oleh faktor genetic, faktor


imunologi ,faktor hormonal dan faktor lingkungan. Manifestasi klinik
dari penyakit ini dapat berupa konstitusional, integument,
musculoskeletal, paru-paru, kardivaskuler, ginjal, gastrointestinal,
hemopoetik dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan diagnostic dari
penyakit ini adalah pemeriksaan laboratorium pemeriksaan
laboratorium lainnya dan pemeriksaan penunjang.

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi


kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi
antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
penyakit yang biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti
kecambah alfa-alfa turut terlihat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat-obatan.

xxx
DAFTAR PUSTAKA

1. Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing


Interventions Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby
Elseiver.

2. Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A


Handbook for Nurse Practitioner. USA : Saunders

3. Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐
Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

4. Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan


Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia

5. King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus


erythematosus: modern strategies for management – a moving
target. Best Practice & Research Clinical Rheumatology Vol. 21,
No. 6, pp. 971–987, 2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available
online at http://www.sciencedirect.com

6. Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And


Management Of Systemic Lupus Erythematosus In Children.

xxxi
Paediatrics And Child Health 18:2. Published By Elsevier Ltd.
Symposium: Bone & Connective Tissue.

7. Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008).


Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis:
Mosby Elseiver.

8. Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong


(Wong’s Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

9. Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child


nursing care: optimizing outcomes for mothers, children, and
Families. United States of America : F.A. Davis Compa

xxxii
1

Vous aimerez peut-être aussi