Vous êtes sur la page 1sur 14

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi di bidang keperawatan yang
secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah yang mengancam kehidupan.
Secara keilmuan perawatan kritis fokus pada penyakit yang kritis atau pasien yang tidak
stabil. Untuk pasien yang kritis, pernyataan penting yang harus dipahami perawat ialah
“waktu adalah vital”. Sedangkan Istilah kritis memiliki arti yang luas penilaian dan evaluasi
secara cermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi krusial dalam rangka mencari
penyelesaian/jalan keluar.
Kritis adalah keadaan krisis, gawat, genting (tentang suatu keadaan), keadaan yg
paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha. Kritis jg didef sbg penilaian dan
evaluasi scr cermat dan hati2 thd suatu kondisi dlm rangka mencari penyelesaian. Secara
keilmuan, keperawatan kritis berfokus pada penyakit yg kritis atau ps yg tidak stabil. Untuk
pasien kritis, pernyataan paling penting yg harus dipahami adalah “waktu adalah vital”.
AACN mendefinisikan keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu
perawatan yang dihadapkan secara rinci dengan manusia (pasien) dan bertanggung jawab atas
masalah yang mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat profesional yg resmi dan
bertanggung jawab utk memastikan pasien dgn sakit kritis dan keluarga ps mendapat
kepedulian optimal.

Pasien kritis adlah pasien dng perburukan patofisiologi yg cepat dan dapat
menyebabkan kematian. Ruangan untuk mengatasi ps kritis di RS terdiri dari: unit gawat
darurat (UGD), dimana ps diatasi prtama kali; unit perawatan intensif (ICU), bagian yg
mengatasi keadaan kritis, sedangkan bagian yg lebih memusatkan perhatian pada
penyumbatan dan penyempitan pbuluh darah koroner disebut dgn unit perawatan intensif
koroner (ICCU). Baik UGD, ICU, dan ICCU adalah unit perawatan kritis dimana perburukan
patofisiologis dapat tjd secara cemat dan berakhir dgn kematian.
Sakit kritis adalah kejadian tiba-tiba dan tidak diharapkan serta membahayakan hidup
bagi pasien dan keluarga yang mengancam keadaan stabil dari ekuibrium internal yang
biasanya terpelihara dalam unit keluarga tersebut (Morton dkk, 2011). Pasien kritis erat
kaitannya dengan dengan perawatan intensif karena memerlukan pencatatan medis yang
berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis
yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya.
Unit perawatan intensif (Intensive Care Unit) merupakan salah satu ruang perawatan
yang tepat untuk pasien kritis tersebut karena dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus
untuk merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang
mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya
sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian (Rab, 2007). Hal ini
sesuai dengan Comprehensive Critical Care Department of Health-Inggris yang
merekomendasikan untuk memberikan perawatan kritis sesuai filosofi perawatan kritis tanpa
batas (critical care without wall), yaitu kebutuhan pasien kritis harus dipenuhi di manapun
pasien tersebut secara fisik berada di dalam rumah sakit.

1
1.2 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pencegahan Sekunder Pada Pasien Kritis Berbagai Sistem .

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan yang dilakukan pada fase awal patogenik yang
bertujuan unuk mendeteksi dan melakukan intervensi segera guna menghentikan penyakit
tahap dini, mencegah penyebaran penyakit, menurunkan intensitas penyakit atau mencegah
penyebaran penyakit, menurunkan intensitas penyakit atau mencegah komplikasi, serta
mempersingkat fase ketidakmampuan. Pencegahan sekunder dilakukan melalui upaya
diagnosis dini/penanganan segera, seperti penemuan kasus, survei penapisan, pemeriksaan
selektif. (Asmadi, 2008, konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC)

Pencegahan sekunder adalah kegiatan yang dilakukan pada saat terjadinya perubahan derajat
kesehatan masyarakat dan ditemukannya masalah kesehatan. Pencegahan sekunder ini
menekankan pada diagnosa dini dan intervensi yang tepat untuk menghambat proses penyakit
atau kelainan sehingga memperpendek waktu sakit dan tingkat keparahan. Misalnya
mengkaji dan memberi intervensi segera terhadap tumbuh kembang anak usia bayi sampai
balita.

2.2 Pencegahan Sekunder Dalam Berbagai Sistem


1. Sistem Reproduksi
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini kanker serviks,
sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Pencegahan sekunder termasuk
skrining dan deteksi dini, seperti Pap Smear, kolposkopi, servikografi, Pap net (dengan
komputerisasi), dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) (Sukardja, 2000). Pap Smear
merupakan standar emas program skrining karena pemeriksaan ini mudah dikerjakan, cepat,
dan tidak sakit serta dapat dilakukan setiap saat, kecuali pada masa haid. Selain itu, Pap
Smear juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi, sehingga Pap smear
mampu untuk mencegah kejadian kanker serviks hingga mencapai 93 % (WHO, 2005).
Pendeteksian dini dapat menggunakan pulasan Pap Smear sebagai uji penapisan untuk
mendeteksi perubahan neoplastik. Deteksi dini dapat dilakukan dengan uji Pap Smear dan
diketahui kanker serviks bila hasil Pap Smear disertai adanya displasia, atau sel-sel atipik
persisten, yang diikuti dengan hasil biopsi yang mengidentifikasi adanya neoplasia intra-
epitel (CIN) atau lesi intra epitel skuamosa tingkat tinggi (HGSIL). Istilah ini digunakan
dalam mengklasifikasi lesi servikal premalignant (Brunner & Suddarth, 2001). Pulasan yang
abnormal ditindaklanjuti dengan biopsi untuk mendapatkan jaringan yang digunakan untuk
pemeriksaan sitologis. Karena serviks mempunyai tampilan normal, kolposkopi digunakan
untuk menentukan daerah yang abnormal atau daerah untuk pengambilan contoh jaringan.
Dilakukan biopsi tusuk pada daerah yang terpisah atau biopsi kerucut (pengambilan bagian
jaringan dengan bentuk kerucut dari serviks yang hampir semuanya termasuk dalam daerah
perpindahan) seluruh persambungan skumokolumnar (Price & Wilson, 2005). Bentuk
displasia serviks prainvasif termasuk karsinoma in situ dapat diangkat seluruhnya dengan
biopsi kerucut atau eradikasi menggunakan laser, kauter, atau bedah krio. Tindak lanjut yang
sering dan teratur untuk lesi yang berulang penting dilakukan setelah pengobatan ini.
Evaluasi untuk karsinoma servikal adalah pemeriksaan dengan inspeksi atau palpasi, keadaan

3
biokimia (fungsi hati dan ginjal), foto toraks, sistoskopi, proktosigmoidoskopi, dan CT scan
(Price & Wilson, 2005).

2. Sistem Muskulokeletal
1. Pencegahan skunder
Adalah Upaya pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah berlangsung
namun belum timbul tanda/gejala sakit (patogenesis awal) dengan tujuan proses
penyakit tidak berlanjut
Tujuan: menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi
Bentuknya berupa deteksi dini dan pemberian pengobatan (yang tepat)
 melakukan pengobatan atau Kemoterapi-dengan menggunakan obat anti
kanker yang digunakan untuk mengecilkan tumor. Terapi radiasi
menggunakan energi tinggi sinar x atau sinar gamma balok untuk membunuh
sel-sel kanker. Ini dapat digunakan sebelum dan setelah operasi untuk
mengobati kanker tulang. dapat diberikan dalam siklus lima kali seminggu,
Efek samping dari terapi radiasi yaitu kulit burns, ruam, kelemahan, mual,
hilangnya rambut dll.
 Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi kanker tulang meliputi :
 Carboplatin
 Cisplatin
 Cyclophophamide
 Doxorubicin
 Methotrexate dengan kalsium
 Leucovorin
 Etoposide
 Efek samping umum meliputi :
 Mual
 Muntah
 Diare
 kehilangan nafsu makan
 hilangnya rambut
 kelemahan

4
 berkolaborasi dengan dokter dalam melakukan pembedahan
Pembedahan untuk kanker tulang adalah dengan mengangkat tumor kanker,
jaringan sekitarnya, dan mungkin kelenjar getah bening di dekatnya. Mungkin
dalam pembedahan diperlukan amputasi pada ekstremitas yang terkena
kanker. Bila mungkin, dokter akan berusaha mengangkat bagian dari kanker
tulang tanpa harus mengamputasi. Dalam hal ini, pelat logam atau cangkok
tulang akan menggantikan jaringan kanker yang telah dibuang.Terkadang,
dengan menambahkan terapi radiasi atau kemoterapi dapat menghindari
kemungkinan amputasi. Jika tumornya besar dan agresif, atau risiko
menyebarnya tinggi, kemoterapi dan terapi radiasi dapat dikombinasikan
untuk membantu mencegah kekambuhan di lokasi operasi. Hal ini juga
dilakukan untuk mencegah penyebarannya ke organ yang lebih jauh.
 konsumsi makanan yang mengadung vitamin A,D,E,K

 Sayuran yang kaya akan vitamin A adalah wortel, ubi, labu kuning,
bayam, melon. Susu, keju mentega dan telur juga mengandung vitamin A.
Fungsi Vitamin A penting untuk pemeliharaan sel kornea dan epitel dari
penglihatan. Vitamin A juga membantu pertumbuhan dan reproduksi
tulang dan gigi. Selain itu vitamin A juga berperan dalam pembentukan
dan pengaturan hormon serta membantu melindungi tubuh terhadap
kanker.
 Sumber-sumber makanan dari vitamin D adalah telur, hati dan ikan, seperti
halnya susu dan margarine yang diperkaya dengan vitamin D. Fungsi
Vitamin D bekerja pada mineralisasi tulang dengan meningkatkan
penyerapan kalsium dan fosfor di dalam sistem pencernaan,sehingga
kadarnya di dalam darah meningkat. Hal ini dilakukan dengan mengambil
kalsium dari tulang dan dengan mendorong penyimpanannya oleh ginjal.
 Vitamin E banyak tersedia dalam sayuran dan minyak biji-bijian, yang
dapat ditemukan dalam bentuk margarine, salad dressing, dan shortening.
Minyak kacang dan minyak kulit gandum mempunyai konsentrasi vitamin
E yang tertinggi. Fungsi Vitamin E juga merupakan antioksidan. Vitamin
E membantu menstabilkan membran sel, mengatur reaksi oksidasi dan
melindungi vitamin A. Dalam peranannya sebagai anti oksidan, vitamin E

5
mempunyai pengaruh besar terhadap sel, seperti sel darah merah dan sel
darah putih yang melewati paru-paru.
 Sumber-sumber makanan dari vitamin K adalah bayam, daun selada,
kembang kol, anggur, alvukat dan kiwi. Fungsi utama vitamin K adalah
membantu proses pembekuan darah saat tubuh mengalami luka, Vitamin K
juga dibutuhkan untuk pembentukan tulang.

3. Sistem Perkemihan

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap penderita


kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita
kolelitiasis agar dapat dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat. Pencegahan
sekunder dapat dilakukan dengan non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non
bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan ESWL. Penanggulangan dengan bedah disebut
kolesistektomi.

a. Penanggulangan non bedah


1. Disolusi Medis

Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya
batu kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung
empedu baik, dan duktus sistik paten.

2. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)

Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik dengan
melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun
1974 hingga sekarang sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran
empedu. Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat
atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen
duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu saluran empedu sulit
(batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di atas
saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan
sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi
laser.

6
3. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan


gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis
biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada
pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

b. Penanggulangan bedah, yaitu:

1. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.7

2. Kolesistektomi laparoskopik

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini
sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh sampai
sembilan puluh persen batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding
perut.7 Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya
keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah
yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut
dibanding dengan batu yang lebih kecil.3,7 Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi
prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan
yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm)
sehingga nyeri pasca bedah minimal.

4. Sistem Hematologi

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan penyakit atau
cedera menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau ketidakmampuan.43
Dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan yang
cepat dan tepat.

7
A. Penatalaksanaan Medis
1. Kemoterapi
Kemoterapi pada penderita LLA
Pengobatan umumnya terjadi secara bertahap, meskipun tidak semua fase yang
digunakan untuk semua orang.
a. Tahap 1 (terapi induksi)

Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk membunuh sebagian besar sel-sel
leukemia di dalam darah dan sumsum tulang.29 Terapi induksi kemoterapi biasanya
memerlukan perawatan di rumah sakit yang panjang karena obat menghancurkan banyak sel
darah normal dalam proses membunuh sel leukemia.9 Pada tahap ini dengan memberikan
kemoterapi kombinasi yaitu daunorubisin, vincristin, prednison dan asparaginase.19
b. Tahap 2 (terapi konsolidasi/ intensifikasi)

Setelah mencapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi yang bertujuan untuk
mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang
resisten terhadap obat. Terapi ini dilakukan setelah 6 bulan kemudian.21
c. Tahap 3 ( profilaksis SSP)

Profilaksis SSP diberikan untuk mencegah kekambuhan pada SSP. Perawatan yang
digunakan dalam tahap ini sering diberikan pada dosis yang lebih rendah.29 Pada tahap ini
menggunakan obat kemoterapi yang berbeda, kadang-kadang dikombinasikan dengan terapi
radiasi, untuk mencegah leukemia memasuki otak dan sistem saraf pusat.9
d. Tahap 4 (pemeliharaan jangka panjang)

Pada tahap ini dimaksudkan untuk mempertahankan masa remisi. Tahap ini biasanya
memerlukan waktu 2-3 tahun. 29 Angka harapan hidup yang membaik dengan pengobatan
sangat dramatis. Tidak hanya 95% anak dapat mencapai remisi penuh, tetapi 60% menjadi
sembuh. Sekitar 80% orang dewasa mencapai remisi lengkap dan sepertiganya mengalami
harapan hidup jangka panjang, yang dicapai dengan kemoterapi agresif yang diarahkan pada
sumsum tulang dan SSP.

2. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Sinar
berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat
menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau partikel seperti proton,
elektron, x-ray dan sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat
keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.

3. Transplantasi Sumsum Tulang


Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang rusak dengan
sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi
kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk
mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker.49 Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-
80% angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun setelah
terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai.33 Pada
penderita LMA transplantasi bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon
terhadap pengobatan

8
4. Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan penyakit leukemia
dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia dengan
keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk
mengatasi infeksi.

5. Sistem Pernafasan

Pencegahan Sekunder atau pencegahan tingkat kedua yang meliputi diagnosa dini dan
pencegahan yang cepat untuk mencegah meluasnya penyakit, untuk mencegah proses
penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi. Sasaran pencegahan ni ditujukan
pada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan
menderita tuberkulosa (masa tunas). Contohnya :
1). Pemberian obat anti tuberculosis (OAT) pada penderita tuberkulosa paru sesuai
dengan kategori pengobatan seperti isoniazid aatau rifampizin.
2). Penemuan kasus tuberkulosa paru sedini mungkin dengan melakukan diagnosa
pemeriksaan sputum (dahak) untuk mendeteksi BTA pada orang dewasa.
3). Diagnosa dengan tes tuberculin
4). Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya
5). Melakukan foto thorax
6). Libatkan keluarga terdekat sebagai pengawas minum obat anti tuberkulosa.

6. Sistem Kardiovaskuler
Pencehahan Sekunder Yang dimaksud dengan pencegahan sekunder hipertensi adalah
pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang/ masyarakat yang memiliki faktor resiko
terkena hipertensi. sasaran pencegahan primer hipertensi adalah orang yang baru terkena
penyakit hipertensi melalui diagnosis dini serta pengobatan yang tepat dengan tujuan
menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi. pencegahan bagi
mereka yang menderita/terancam menderita hipertensi adalah sebagai berikut:

1. Pemerikasaan berkala
a. Pemeriksaan atau pengukuran tekanan darah secara berkala merupakan cara untuk
mengetahui apakah kita menderita hipertensi atau tidak.
b. Mengontrol tekanan darah secara teratur sehingga tekanan darah dapat stabil dan senormal
mungkin dengan atau tanpa obat-obatan.

2. Pengobatan/perawatan
Penderita hipertensi yang tidak dirawat atau dapat membawa dampak parah karenanya,
pengobatan yang tepat waktu sangat penting dilakukan sehingga penyakit hipertensi dapat
segera dikendalikan

9
7. Sistem Saraf
Pencegahan sekunder:
 Gaya hidup: management stres, makanan rendah garam, stop smoking,
penyesuaian gaya hidup.
 Lingkungan: penggantian kerja jika di perlukan, family counseling.
 Biologi: pengobatan yang patuh dan cegah efek samping.
 Pelayanan kesehatan: pendidikan pasien dan evaluasi penyebab sekunder.
8. Sistem Endokrin
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang
cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Salah
satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular yang merupakan
penyebab utama kematian pada penyandang diabetes.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :
a. Skrinning
Skrinning dilakukan dengan menggunakan tes urin, kadar gula darah puasa, dan GIT.
Skrinning direkomendasikan untuk :

 Orang-orang yang mempunyai keluarga diabetes


 Orang-orang dengan kadar glukosa abnormal pada saat hamil
 Orang-orang yang mempunyai gangguan vaskuler
 Orang-orang yang gemuk

b. Pengobatan
Pengobatan diabetes mellitus bergantung kepada pengobatan diet dan pengobatan bila
diperlukan. Kalau masih bisa tanpa obat, cukup dengan menurunkan berat badan
sampai mencapai berat badan ideal. Untuk itu perlu dibantu dengan diet dan bergerak
badan.
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik masih
merupakan pengobatan utama, tetapi bilamana hal ini bersama latihan
jasmani/kegiatan fisik ternyata gagal maka diperlukan penambahan obat oral. Obat
hipoglikemik oral hanya digunakan untuk mengobati beberapa individu dengan DM
tipe II. Obat ini menstimulasi pelapisan insulin dari sel beta pancreas atau
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer.

10
c. DIET
Diet adalah penatalaksanaan yang penting dari kedua tipe DM. makanan yang masuk
harus dibagi merata sepanjang hari. Ini harus konsisten dari hari kehari. Adalah sangat
penting bagi pasien yang menerima insulin dikordinasikan antara makanan yang
masuk dengan aktivitas insulin lebih jauh orang dengan DM tipe II, cenderung
kegemukan dimana ini berhubungan dengan resistensi insulin dan hiperglikemia.
Toleransi glukosa sering membaik dengan penurunan berat badan. (Hendrawan,2002).
1) Modifikasi dari faktor-faktor resiko
 Menjaga berat badan
 Tekanan darah
 Kadar kolesterol
 Berhenti merokok
 Membiasakan diri untuk hidup sehat
 Biasakan diri berolahraga secara teratur. Olahraga adalah aktivitas fisik yang
terencana dan terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang
untuk mencapai kebugaran.
 Hindari menonton televisi atau menggunakan komputer terlalu lama, karena
hali ini yang menyebabkan aktivitas fisik berkurang atau minim.
 Jangan mengonsumsi permen, coklat, atau snack dengan kandungan. garam
yang tinggi. Hindari makanan siap saji dengan kandungan kadar karbohidrat
dan lemak tinggi.
 Konsumsi sayuran dan buah-buahan.

9. Sistem Pencernaan
Pencegahan Sekunder Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepa da sianak yang
telah menderita diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa
dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping
dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian
oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor
seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus
disesuaikan dengan klinis pasien.
Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas
penyebab diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala
diare dan spasmolitik yang membantu menghi langkan kejang perut yang tidak
menyenangkan. Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa
resep dokter. Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab

11
diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping
dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk dokter

10. Sistem Integumen


1. Pencegahan Sekunder
Deteksi dini dan pengobatan segera serta pembatasan kecacatan termasuk ke dalam
bagian pencegahan sekunder. Petugas surveilans kesehatan dalam hal ini petugas
kesehatan kerja mendeteksi munculnya gejala awal dermatitis kontak alergik seperti
kulit kering dan kemerahan. Kondisi awal kesehatan memudahkan prognosis yang
lebih baik. Selain itu petugas kesehatan kerja dapat melihat surveilans kesehatan kerja
untuk melakukan diagnose awal penyakit Dermatitis kontak alergik. Macam-macam
diagnosis dini:
 Pemeriksaan sebelum penempatan pekerja
Pemeriksaan sebelum penempatan meliputi riwayat medis dan pemeriksaan fisik
dengan perhatian khusus pada kulit (seluruh tubuh) dan alergi (atopi).
 Pemeriksaan berkala
Uji tempel tidak dianjurkan untuk skrining subjek yang tidak menimbulkan gejala.
Selang waktu pemeriksaan biasanya antara 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung
pada tingkat paparan di tempat kerja. (WHO, Deteksi dini penyakit akibat kerja).
Petugas kesehatan kerja wajib mencatat pekerja yang dinilai memiliki risiko terhadap
penyakit Dermatitis kontak alergik untuk mengontrol pajanan yang menyebabkan
risiko tersebut agar tidak mengenai pekerja lain. Selain itu pekerja yang mungkin
berisiko segera dirujuk kepada pihak medis untuk melihat benar atau tidaknya pekerja
menderita penyakit akibat kerja untuk dapat dilakukan upaya pertolongan segera.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan proses keperawatan, rasa tanggung jawab dan tanggung gugat bagi perawat
itu dapat dimiliki dan dapat digunakan dalam tindakan-tindakan yang merugikan atau
menghindari tindakan yang legal. Semua tatanan perawatan kesehatan secara hukum
perlu mencatat observasi keperawatan, perawatan yang diberikan, dan respons pasien.
Berfungsi sebagai alat komunikasi dan sumber untuk membantu dalam menentukan
keefektifan perawatan dan untuk membantu menyusun prioritas keperawatan
berkesinambungan.

3.2 Saran
Kita sebagai seorang perawat harus mengetahui tentang pencegahan Sekunder dalam
berbagai system tubuh manusia. Karena jika seorang perawat dapat memahami
dengan baik tentang pencegahan primer dalam berbagai system tubuh manusia, maka
akan sangat bermanfaat untuk perawat maupun masyarakat.

13
DAFTAR PUSTAKA
Nancy L, Caroline, Emergency Care in the Street , Boston, Little Brown and Company
Tabrani Rab, Dr, Prinsip Gawat Paru, Jakarta, Kedokteran:EGC

14

Vous aimerez peut-être aussi