Vous êtes sur la page 1sur 11

Sindrom Guillain Barre (SGB)

Pendahuluan
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu jenis poliradikuloneuropati
yang progresif dan akut dengan gejala kelemahan, parestesia dan hiporefleksia, yang
biasanya terjadi setelah suatu febris atau penyakit viral. 1 2 Pada kasus yang berat, kelemahan
otot dapat berlanjut menjadi suatu kegagalan pernafasan. Disfungsi otonom yang sangat labil
bisa juga terjadi. Sindrom Miller-Fisher adalah suatu varian yang umum dijumpai pada
SGB dan terjadi pada 5% kasus SGB. Sindrom terdiri dari ataksia, oftalmoplegia dan
arefleksia. Insidensi umur rata –rata muncul SGB sekitar 40 tahun, Ratio pria dibandingkan
dengan wanita 1,5:1.3,46,7 Dengan puncak pada umur 15 -35 tahun dan 50 -75 tahun serta
puncak ringan pada pria antara umur 30 -50 tahun.3

Sedangkan Miastenia Gravis (MG) merupakan suatu penyakit otoimun , dengan


gejala kelemahan otot yang berfluktuasi dan membaik bila diberikan obat-obat inhibitor
antikholinesterase, dan disebabkan karena adanya defek pada transmisi neuromuskuler,yang
disebabkan oleh adanya antibodi terhadap reseptor asetilkholin. Kira-kira terdapat 1- 3
diantara 10.000 penduduk yang menderita penyakit 1,2 ini dan wanita dua kali lebih sering
menderita penyakit ini dibandingkan pria pada umur sebelum 40 tahun dan pria dan wanita
sama jumlahnya menderita penyakit ini pada umur yang lebih tua. . Tidak ada penyembuhan,
namun pengobatan dapat mengurangi gejala. 4

Pembahasan
Sindrom Guillain Barre (SGB) terdapat di berbagai belahan di dunia , insidensinya
mencapai 0,6 -2,4 1 kasus per 100.000 penduduk pertahun di USA, namun dianggap bahwa
angka pelaporan frekuensi yang aktual agaknya sekitar 15% lebih besar dari angka yang
dilaporkan.2 Resiko terjadinya penyakit ini sama diseluruh dunia dan diantara semua ras
bangsa, kecuali adanya predileksi musim untuk GBS yang ada hubungannya dengan
kampilobakter jejuni di Cina, yang cenderung terjadi di musim panas.
Penyakit ini mempunyai gambaran klinis yang khas berupa suatu defisit neurologis
yang bersifat menjalar ke atas ( ascending) dan biasanya didahului oleh infeksi pernafasan
bagian atas atau infeksi gastrointestinal sebelumnya. Penyakit ini juga mempunyai gambaran
cairan serebrospinal yang khas dan gambaran EMG yang berkarakteristik.
Sampai sekitar 10 tahun yang lalu SGB dianggap sebagai suatu kesatuan gejala klinis
berupa poliradikuloneuropati yang progresif dan akut dengan gejala kelemahan, parastesi dan
hiporefleksia yang biasanya terjadi sesudah febris atau penyakit viral .1,2 Pada kasus berat,
kelemahan otot dapat berlanjut menjadi suatu kegagalan pernafasan. Disfungsi otonom yang
sangat labil juga bisa terjadi. Kelumpuhan maksimal biasanya terjadi setelah 2 minggu
setelah permulaan gejala, namun bisa juga terjadi lebih cepat dan mendadak.
Pada pasien SGB sering menunjukkan konduksi serabut saraf yang hilang atau
melambat. Gangguan pada konduksi saraf ini terjadi karena demielinisasi pada sel akson
saraf. Saraf perifer dan radiks saraf merupakan tempat utama terjadinya demielinisasi, namun
saraf kranialpun dapat terkena. SGB dianggap terjadi karena suatu respon otoimun, yang
dicetuskan oleh suatu penyakit sebelumnya atau beberapa kondisi medis yang lain.
Biasanya sel sistem imun hanya menyerang benda asing dan organisme yang
menyerang badan, namun pada SGB, sistem imun mulai menyerang sarung mielin yang
mengelillingi akson dari banyak saraf perifer, dan kadang-kadang malahan akson juga. Bila
sarung mielin terkena, maka saraf tidak bisa mengirim signal secara efisien. Pada SGB yang
didahului infeksi virus atau bakteri, virus mungkin telah merubah sifat sel, sehingga sistem
imun menganggapnya sebagai benda asing. Mungkin juga virus tersebut telah merubah
sistem imun sehingga kurang bisa mendiskriminasi sel yang seharusnya dikenal sebagai milik
badan sendiri, sehingga limfosit tertentu dan makrofag justru menyerang mielin. Limfosit-T
yang telah disensitasi berkerja sama dengan limfosit-B untuk membentuk antibodi terhadap
komponen sarung mielin yang membantu merusak mielin.
Pada kebanyakan pasien, gejala terjadi karena kerusakan pada sarung mielin. Pada
sebagian pasien SGB, juga terjadi kerusakan aksonal, yang disebabkan oleh serangan seluler
imun yang langsung pada aksonnya sendiri. 1
SGB digambarkan sebagai suatu kumpulan sindrom klinik dengan suatu
poliradikuloneuropati yang akut dengan kelumpuhan dan gangguan pada refleks. SGB masih
tetap merupakan suatu diagnosis, yang dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan gejala klinis.
Walaupun secara klasik dianggap sebagai suatu demyelinating neuropathy, dengan
kelumpuhan yang asenden, namun terdapat berbagai varian klinis yang telah dikenal dalam
kepustakaan. Berbagai varian ini mempunyai pattern yang sama dalam hal evolusi,
penyembuhan, overlapping gejala dan patogenesis otoimun. 5
Sindrom Miller-Fisher adalah suatu varian yang umum dijumpai pada SGB dan
terjadi pada 5% kasus SGB. Sindrom terdiri dari ataksia, oftalmoplegia dan arefleksia.
Ataksia terutama terlihat sewaktu berjalan dan pada badan, dan ekstremitas tidak begitu
terkena. Yang khas adalah, bahwa kekuatan motorik biasanya masih baik dan perjalanan
penyakitnya gradual dan penyembuhan yang sempurna terjadi setelah beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Terdapat hubungan yang erat dengan antibodi antigangliosid dan
varian ini. Antibodi anti-GQ1b yang di trigger oleh strain C. jejuni tertentu, mempunyai
suatu spesifitas dan sensitivitas yang tinggi untuk penyakit ini. Konsentrasi tinggi dari
gangliosid GQ1b ditemukan di n okulomotorius, trokhlearis dan abdusens, yang dapat
menerangkan hubungan antara antibodi anti-GQ1b dengan oftalmoplegia.
Pada pungsi lumbal tampak disosiasi sitoalbuminik pada likuor serebrospinalis dan
pada EMG tampak tanda-tanda khas dari suatu proses demielinisasi pada saraf perifer.
Prognosis biasanya baik dan imunoterapi dengan plasmaferesis maupun IVIg dapat diberikan
pada pasien dengan penyakit yang berat atau yang penyembuhannya lambat.
SGB, penyakit ini biasanya mempunyai suatu pattern yang asenden dengan
kelumpuhan yang progresif, yang dimulai dari ekstremitas bawah, disertai dengan arefleksia.
Kelemahan hampir selalu simetris dan harus dipertimbangkan diagnosis yang lain, bila
ditemukan kelumpuhan yang asimetris. Sekuele biasanya adalah dalam bidang otonomik
atau disfungsi saraf motorik, namun juga bisa dalam bentuk gangguan parestesia dan
gangguan sensibilitas. Parestesia biasanya dimulai pada ujung jari kaki dan meluas keatas dan
sentral. seringkali ada nyeri terutama di pinggang bawah dan pantat, namun bisa juga di paha
dan di pundak. Gangguan pada saraf kranial bisa ditemukan pada 45–75%1 (35–50%) 2
kasus, dan bisa terjadi kelemahan muka, disfasia atau disartri. Bisa pula ditemukan varian
Miller-Fisher dengan oftalmoplegi dan ataksia (23%) 2 Pada SGB juga bisa tampak gangguan
pada tanda-tanda vital yang menandakan adanya suatu disfungsi otonom dan bisa dalam
bentuk bradikardia atau takhikardia, hipotensi atau hipertensi, hipotermia atau hipertermia.
Disfungsi otonom bisa terjadi pada 26% pasien dan mencakup sistem simpatik dan
parasimpatik. Selain fluktuasi pada denyut jantung, tekanan darah dan suhu, juga bisa terjadi
anhidrosis, ileus paralitik, gangguan miksio dan disfungsi pupil. Gangguan saraf kranial bisa
terkena pada 45 – 75 % kasus dan urutan dari banyaknya terjadi adalah pada saraf fasial,
bulber, mengunyah dan okuler. Berlainan dengan kelemahan ekstremitas yang simetris, maka
biasanya kelumpuhan otot muka terjadi secara asimetris. Disrefleksia, refleks biasanya
menurun atau menghilang pada pasien dengan kelumpuhan. Bila ada kelumpuhan disertai
refleks yang normal, harus dipertimbangkan suatu diagnosis alternatif yang lain. Hipotonia,
gangguan sensorik, kelumpuhan yang desenden pada varian bulber seperti disfagia, disartri
dan mengeluarkan air liur. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada 25% kasus SGB.

Untuk menegakkan diagnosis biasanya dibuat berdasarkan gejala klinik dan


dikonfirmasi dengan tes lain seperti pemeriksaan laboratorium maupun elektrodiagnostik.
Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menyingkirkan diagnosis lain dan untuk mengakses
keadaan fungsional secara lebih baik dan untuk menentukan prognosis.
Pada pemeriksaan lumbal pungsi, kebanyakan pasien (90%), tetapi tidak pada semua
pasien terjadi peninggian protein likuor (>400 mg/L)1 (>550 )12 tanpa disertai peninggian sel
likuor. Pada waktu 24–48 jam 1,6 , likuor bisa masih normal dan setelah satu minggu baru
meninggi. Walaupun disebutkan , bahwa tidak ada peningkatan dalam jumlah sel (kurang dari
10 leukosit per cc), namun kadang-kadang pada beberapa pasien bisa naik sedikit. 1,2 Protein
likuor yang normal tidak menyingkirkan adanya SGB, sebab pada 10 % kasus protein tetap
normal dan peninggian protein likuor baru terlihat sampai 1 – 2 minggu setelah permulaan
kelumpuhan. Peningkatan sel dalam likuor pasien SGB yang tipikal , meningkatkan
kemungkinan adanya Lyme´s disease, neoplasma, infeksi HIV , meningitis sarkoid dan
penyakit-penyakit lain 6. Pemeriksaan antibodi juga dapat dilakukan karena bisa terdapat
antibodi terhadap saraf perifer dan sentral. Pasien dengan varian Miller–Fisher bisa
mempunyai antibodi terhadap GQ1b dan pasien-pasien yang menpunyai antibodi terhadap
subtipe GM1 mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Pada hasil pungsi lumbal dan analisa cairan otak, pada pasien ini didapatkan
peningkatan protein yang cukup bermakna, sedangkan pemeriksaan antibodi saraf tidak
dilakukan karena sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya selain itu
terbentur dengan masalah keuangan dari pasien.
Pada beberapa literatur dikatakan, bahwa dapat dilakukan pemeriksaan forced vital
capasity (FVC), karena pemeriksaan ini juga dianggap dapat menuntun penyusunan terapi.
Jika FVC kurang dari 20 mL/kg, pasien direkomendasikan untuk dirawat di ICU, dan bila
FVC < 15 mL/kg, pasien dianjurkan untuk diintubasi.
Pemeriksaan penunjang lainnya seperti EMG dapat membantu menetapkan diagnosis
pada SGB, dengan jalan mengukur aktivitas listrik dari otot terhadap respons stimulasi listrik.
Juga akan diukur kecepatan hantar saraf (KHS / NCV) sepanjang suatu saraf. EMG dilakukan
dengan elektrode jarum dan KHS / NCV diukur dengan menempatkan elektrode tempel pada
kulit dan merangsang saraf perifer. Penurunan / perlambatan pada KHS / NCV kadang-
kadang baru bisa terlihat setelah 2-3 minggu. Penurunan KHS sampai hanya 20% dari
normal, dihubungkan dengan suatu prognosis yang buruk. Menurut guideline National
Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINDS); maka
penemuan elektrodiagnostik yang cenderung kearah GBS adalah hilangnya H-refleks, CMAP
sensorik dengan amplitudo rendah atau hilang dan F-wave yang abnormal. 6
Pemeriksaan Elektrokardiogram dapat terlihat berbagai kelainan pada EKG, termasuk
blok atrioventrikuler (AV-block) derajat 2 dan 3, kelainan pada T-wave, depresi ST,
melebarnya QRS dan berbagai gangguan pada ritme jantung
Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan medis dan
perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). Dalam fase dini yang masih
progresif, harus dilakukan observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit adalah
wajib, juga pada kasus2 yang enteng.
Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka penatalaksanaan
terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari komplikasi infeksi sekunder,
namun penatalaksanaan tetap rumit dan melelahkan.
Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi (plasmaferesis
dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi jalannya penyakit, namun
terdapat tindakan2 lain yang membantu untuk mencegah terjadinya komplikasi yang sering
menyertai penyakit ini.Pengobatan medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada
imunomodulasi. Menurut petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN),
maka pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah gejala
pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. 6 Hanya plasmaferesis (plasma
exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s) yang terbukti efektif. Kedua
modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50
% , namun harganya mahal dan ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2
regimen pengobatan itu hampir sama dan komparabel.
Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek waktu adanya
gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi oleh obat-obatan ini
Plasmaferesis (PE): secara historis dan case control studies terbukti menurunkan beratnya
penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak
segera dan tidak dramatis. PE seringkali digunakan pada anak2 dan pada sindroma Miller
Fisher; suatu varian SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2
penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat mungkin pada
penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (unable to walk unassisted).
Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka waktu 7 – 10
hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu alat dengan pengaliran
yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan pengganti plasma yang dipakai
adalah albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih intensif, misalnya setiap hari tidak
dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena
perifer yang baik dan bisa juga dilakukan didaerah subklavia.
Komplikasi yang bisa timbul adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia dan
perdarahan karena faktor pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi.
Imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan
imunologis dari SGB dan mengurangi produksi otoantibodi dan meningkatkan pelarutan dan
penyingkiran kompleks imun. IVIg menetralisir antibodi mielin yang bersirkulasi melalui
antibodi anti idiotipik dan men- down-regulate sitokinin pro-inflamatoir termasuk interferon
gamma (INF-gamma). Selain itu juga memblok kaskade komplemen dan mempromosikan
terjadinya remielinisasi. Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2g selama 5
hari) atau cara lain dengan pemberian 2g/kg IVIg yang diberikan sekaligus sebagai dosis
tunggal. 1 2 dengan pemberian dengan pompa infus (infusion pump), dan bila perlu diulang
setelah 4 minggu, sehingga juga memerlukan beaya yang banyak.
Pemberian IVIG adalah aman dan lebih mudah daripada PE, namun harganya mahal.
IVIG berguna di rumah-rumah sakit, dimana tidak ada fasilitas PE.
Kontraindikasi adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA dan
antibodi anti IgE / IgG. Tidak ada interaksi dengan obat ini dan sebaiknya tidak diberikan
pada kehamilan.
Sebaiknya diperiksa serum IgA sebelum pemakaian IVIg. Harus diketahui pula,
bahwa pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya
kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko terjadinya serangan
migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis (10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa
terjadi 2-5 hari post-infus sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis
renal tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal
sebelumnya.
Perubahan hasil laboratorium yang ada hubungan dengan infus tersebut adalah
peninggian titer antibodi antiviral dan antibakterial selama 1 bulan dan bisa terjadi
peningkatan LED sampai sebesar 6 kali selama 2-3 minggu dan hiponatremia. Jarang sekali
bisa terjadi reaksi allergi dan hipotensi
Plasmaferesis dan Imunoglobulin, yang disebut juga terapi spesifik pada SGB perlu
dipertimbangkan terutama pada kasus-kasus asenden yang cepat dengan disertai gangguan
pernafasan untuk mengurangi waktu perawatan di ICU. Visser et al (1998)15 dalam uji
kliniknya mengemukakan, bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara pemberian
plasmaferesis dibandingkan dengan IVIg saja atau dengan IVIg yang dikombinasi dengan
metilprednisolon, namun the Dutch Guillain-Barre Study Group 16 mengemukakan hasil uji
kliniknya , yang menyatakan bahwa IVIg dalam kombinasi dengan metilprednisolon 0,5 g
sehari selama 5 hari lebih efektif daripada terapi tunggal IVIg.
Albumin dipakai pada plasmaferesis, karena plasma pasien harus diganti dengan
suatu substitusi plasma dengan pemberian 50 mL/kg dan agaknya juga bisa menyingkirkan
otoantibodi dan imun kompleks dari serum dan juga menyingkirkan konstituen sitotoksik dari
serum . Kontraindikasi adalah oedema pulmoner dan insufisiensi renal. Tidak ada interaksi
dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan.
Kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan untuk terapi pada SGB.8,9 Walaupun
demikian, kortikosteroid yang menurut kepustakaan tidak berguna.Bahwa ada hasil dengan
memberikan kombinasi steroid dengan IVIg atau dengan plasmaferesis , masih belum jelas
betul, namun karena potensi plasmaferesis untuk meningkatkan produksi antibodi, maka
suatu kombinasi pemberian plasmaferesis dengan kortikosteroid dianjurkan. Cara pemberian
adalah dengan dosis tinggi dan diturunkan perlahan-lahan (tapering off) dengan
menggunakan prednison atau metilprednisolon, yang efek sampingnya lebih sedikit. Terdapat
berbagai cara pemberiannya, a.l prednison dapat diberikan dengan dosis awal 1 mg/kg
(biasanya 60-100 mg/hari untuk orang dewasa). Dosis tinggi dipertahankan sampai adanya
perbaikan klinis yang bermakna, lalu selanjutnya pemberian dosis yang sama alternating
setiap 2 hari sampai 2 minggu , lalu diturunkan secara tapering off dengan dosis 10 mg
setiap 2 minggu sampai tercapai dosis 10 mg/hari (alternating), lalu diturunkan lagi dengan 5
mg/hari pada hari ke 2 (alternating day) dan akhirnya tidak makan obat pada hari ke 2 , lalu
diberikan terapi 1 mg/hari setiap 2 hari. Kadang-kadang dipilih metilprednisolon, karena efek
samping dikatakan lebih sedikit. Metilprednisolon dapat diberikan dengan dosis 500 mg
sehari selama 5 hari 18 lalu di tapering off.

Prognosis yang buruk dihubungkan dengan progresivitas gejala yang cepat, umur
lanjut, ventilasi lama (> 1bulan) dan penurunan amplitudo potensial aksi otot yang besar,
(yang menandakan adanya gangguan aksonal) pada pemeriksaan neuromuskuler. Pada uji
klinik yang dipublikasikan dinyatakan, bahwa penyembuhan sempurna bisa diharapkan pada
50 - 95 % kasus. Pada anak-anak, outcome SGB lebih baik.
Pada Miastenia Gravis (MG) sistem imun menghentikan kerja neurotransmiter dengan
jalan memblok atau merusak reseptor di paut saraf-otot ( neuromuscular junction ), sehingga
mencegah otot untuk berkontraksi. Akibatnya adalah, bahwa akan terjadi kelemahan otot ,
karena penghambatan dari pesan khemis (chemical messages) ini . Biasanya seorang
penderita MG mengalami pemburukan gejala setelah melakukan latihan fisik dan akan
merasa lebih baik setelah beristirahat. Penyakit ini bisa menyerang otot-otot mata terlebih
dahulu dan kadang-kadang penyakit berlanjut dan menelan , mengunyah dan berbicara bisa
terganggu. MG jarang menyebabkan kematian, kecuali bila otot pernafasan terkena.
Penyakit ini bervariasi dalam beratnya penyakit dan progresivitas-nya, pada
permulaan kelemahan bisa intermiten, dan seringkali gejala pertama adalah menurunnya
kelopak mata (ptosis) atau penglihatan dobel, dan pada 15% penderita MG keluhan mata
merupakan keluhan tunggal dan ini disebut ocular myasthenia. Bila kelemahan terjadi secara
umum, maka disebut generalized myasthenia. 10
Gejala-gejala bisa disimpulkan sbb:
* Kelemahan otot
dapat berupa kelopak mata yang menurun dan kelemahan otot wajah yang
menyebabkan pasien MG seperti memakai topeng , karena terlihat datar, tanpa emosi dan
tanpa ekspresi
* Kelemahan membaik setelah beristirahat dan memburuk setelah aktivitas fisik
* Gangguan visus seperti melihat tidak jelas (blurred vision) dan penglihatan dobel
(diplopia) , tak mampu menetapkan penglihatan pada suatu titik tertentu (unsteady gaze) dan
ptosis
* Slurred speech.
* Rasa capai / fatique setelah aktivitas apa saja, walaupun ringan.
* Gangguan menelan, mengunyah dan batuk yang bisa menyebabkan pasien tersedak
* Gangguan pernafasan
* Nafas yang pendek
* Jalan seperti bebek ("Waddling like a duck") karena tidak ada keseimbangan sewaktu
berjalan
* Gangguan pada paru-paru dan infeksi.
Perlu disebutkan bahwa kelelahan yang khronis (chronic fatigue) , tanpa kelemahan , bukan
merupakan gejala MG. 4,10
Pada pasien ini juga didapatkan kelemahan pada otot – otot mata, sering mrasa kelemahan
dan jika beristirahat, sering merasa kelelahan setelah aktivitas apa saja walaupun ringan,
gangguan menelan jika minum air sehingga pasien menjadi tersedak.
Oleh karenanya kami memasukkan ke dalam kriteria miastenia gravis.
Prinsip umum pemeriksaan diagnostik pada MG adalah:
Rasional:
* Karena timektomi atau imunoterapi secara jangka panjang kadang-kadang perlu
dilakukan untuk mengobati MG, maka adalah esensial untuk menegakkan diagnosis
yang kukuh dan pasti
* Suatu diagnosis yang kukuh dan pasti , menghindari pengobatan yang tidak
benar dan menghindari efek samping obat pada pasien-pasien yang tidak
11
menderita MG.
Pada waktu melakukan diagnosis, pemeriksaan bisa normal, atau otot-otot
menunjukkan kelemahan yang memburuk secara progresif, bila otot dipakai. Refleks dan
sensibilitas normal. Kelemahan bisa meliputi lengan , tungkai, otot pernafasan , menelan,
berbicara atau kelompok otot mana saja. Otot muka bisa terkena dan biasanya terkena secara
dini , termasuk terjadinya ptosis.
Secara klinis harus dilakukan pemeriksaan motorik dan refleks dan diukur waktu
lamanya bisa melakukan abduksi lengan kedepan dan bisa juga dilakukan dinamometri dari
beberapa otot.
Cara-cara pemeriksaan diagnostik MG yang secara tradisional dilakukan adalah:
• elektrodiagnosis
• serologis
• farmakologis 12
Strategi tes diagnostik MG :
Sebagai panduan umum maka suatu diagnosis yang kukuh dan pasti berdasarkan atas:
• riwayat penyakit yang khas dan pemeriksaan fisik disertai :
• 2 tes diagnostik yang positif, terutama yang serologis dan elektrodiagnosis
Pemeriksaan diagnostik MG biasanya harus melingkupi kedua tes yaitu:
• test terhadap serum antibodi AChR
• Repetitive nerve stimulation test 12
Elektrodiagnosis :
* EMG:
* RNS (repetitive nerve stimulation)
* Single Fiber EMG, dimana saraf yang mengurus otot di stimulasi secara berulang, dan ini
terutama dilakukan pada pasien-pasien tertentu, dimana tes-tes lain negatif atau tidak jelas
hasilnya
Pada pasien ini didapatkan Harvey Masland test (+) dengan SF –EMG abnormal. Hasil yang
didapatkan pada pemeriksaan elektrodiagnosis sesuai dengan kriteria miastenia.
Serta F-wave conduction block, sesuai dengan kriteria SGB.
Tes Tensilon (edrofonium) biasanya positif pada kebanyakan kasus, dan mudah
dilakukan sebagai bedside test , namun tidak begitu sensitif atau spesifik seperti pemeriksaan
serologis maupun neurofisiologis.
Tensilon (edrofonium) memblok enzim yang memecah asetilkholin sehingga pada pemberian
akan menyebabkan fungsi otot membaik, yang terlihat sebagai membaiknya kekuatan otot
sesaat setelah pemberian injeksi i.v.
MRI & CT thorax seringkali dilakukan untuk diagnosis diferensial dan juga untuk
memeriksa adanya kelenjar timus , timoma, maupun hyperplasia timus 12

Tes fungsi pulmonal : tes pernafasan


Tes diagnostik lain : untuk MG yang tidak dilakukan secara rutin pada mayoritas penderita
MG adalah:
• motor point biopsy:
* menghitung AChR pada paut saraf-otot
* mengevaluasi transmisi neuromuskuler dengan metode
elektrofisiologis secara in vitro
* pewarnaan imunositokhemikal ujung saraf otot (motor endplates) utk
imunoglobulin dan komplemennya
• tes gerakan okuler
• evaluasi genetik defek dari subunit AChR.12
MG adalah suatu penyakit yang khronis yang tidak ada pengobatannya pada saat ini.
Tujuan pengobatan adalah remisi yang dipertahankan dan yang sempurna, yang didefinisikan
sebagai tidak adanya gejala dan tanda-tanda (absent symptoms & signs) pada keadaan tanpa
pengobatan. Untuk kebanyakan pasien, remisi yang lengkap adalah sesuatu yang mustahil,
dan suatu remisi yang parsial lebih merupakan tujuan yang lebih nyata. Terapi dapat dibagi
dalam 3 kategori yaitu: obat yang memperbaiki transmisi NMJ dan gejala kelemahan, namun
tidak mempengaruhi perjalan penyakit, termasuk inhibitor AChE, prosedur yang
mempengaruhi sistem imun untuk jangka waktu yang terbatas, namun tidak merubah
perjalanan alamiah penyakitnya seperti plasmaferesis dan IVIg dan obat-obat dan prosedur
yang merubah perjalanan penyakit MG seperti imunosupresan prednison , azatioprin dan
timektomi. 13
Pada pasien-pasien tertentu, sukar untuk menetapkan apakah suatu regimen terapi
efektif, umpamanya bisa ada gejala-gejala yang memburuk, padahal kekuatan tidak berubah,
malahan kadangkala membaik. Pada keadaan demikian, perlu memperoleh data yang
kwantitatif sebagai perbandingan yang obyektif, yang sebaiknya dilakukan pada saat yang
selalu sama pada setiap hari atau pada dosis terakhir dari piridostigmin. Yang harus di
perhatikan dan dibedakan adalah kemungkinan terjadinya suatu miopati steroid pada MG,
terutama bila kelemahan bertambah, walaupun ditambah prednison. Asetilkholin dipecah
dalam badan oleh enzim yang disebut kholinesterase, dan hal ini dapat di blok oleh obat-obat
antikholinesterase seperti piridostigmin. Obat-obatan ini dapat mengontrol MG pada
beberapa pasien, namun pada pasien-pasien lain biasanya juga diperlukan penambahan obat-
obatan yang lain.
Transient symptomatic control dapat dicapai dengan pemberian mestinon secara oral.
Mestinon memblok degradasi asetilkholin pada paut saraf-otot (NMJ) dan menyebabkan
kadar asetilkholin meninggi sehingga terjadi suatu respons otot yang lebih baik terhadap
stimulasi saraf . Mestinon adalah suatu pengobatan simptomatik yang temporer dan tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit MG . 14 Kebanyakan pasien membutuhkan 120 mg
mestinon yang dapat diberikan setiap 4-5 jam Neostigmin (prostigmin) dapat juga dipakai
(150mg/hari) . Propanteline (Pro-Bantin) atau atropin dapat diberikan bila ada efek samping
muskarinik Bila terjadi efek samping nikotinik, maka dosis harus dikurangi . 15Obat-obatan
seperti prednisolon dan azatioprin, yang mensupresi sistem imun seringkali dipakai pada
pasien dengan kelemahan yang berat , terutama yang tidak ada timoma atau tidak ada
kemajuan setelah timektomi. Bila diperlukan perbaikan yang cepat, misalnya bila ada
kelemahan yang berat yang menyebabkan gangguan pada pernafasan atau menelan , maka
pasien harus dirawat di rumah sakit untuk dilakukan plasmaferesis (plasma exchange) yang
menghilangkan antibodi dari darah .
Pada kebanyakan kasus MG, langkah pertama untuk merubah perjalanan penyakit
MG adalah melakukan operasi pengangkatan kelenjar timus (timektomi) . Kelenjar timus
terletak dibelakang sternum dan dianggap sebagai suatu pusat latihan ("training center")
untuk sel-sel imun dalam badan. Semua sel yang memproduksi antibody harus melewati
timus untuk di edukasi untuk memproduksi berbagai antibodi. Pada MG , timus memperbesar
kehadiran dan kapasitas produksi antibodi dari sel imun yang memproduksi antibodi terhadap
reseptor paut saraf-otot (NMJ). Walaupun peranan kelenjar timus pada MG belum diketahui
secara pasti , namun beberapa penyelidikan mensugestikan, bahwa suatu timektomi dapat
meninggikan kemungkinan terjadinya remisi lebih dari 50%.11 sampai 80%15: Dikatakan
bahwa 25% pasien yang menjalani timektomi akan mengalami remisi post-timektomi, 25%
menunjukkan perbaikan yang sedang dan 25% menunjukkan perbaikan yang sedikit,
sedangkan sisanya tidak ada perubahan pada keadaan klinisnya post-operatif.15
Timektomi juga memfasilitasi kontrol dari gejala MG dengan jalan pengurangan
jumlah obat setelah operasi , namun suatu keuntungan dari timektomi belum bisa dilihat
sampai 6 – 18 bulan setelah timektomi, namun harus diketahui bahwa timektomi merupakan
terapi pilihan pada pasien-pasien berumur < 10 thn dan > 65 tahun 15
Kortikosteroid memainkan peranan yang penting pada pengobatan MG, karena
efektivitasnya dan reliabilitasnya dalam menimbulkan dan mempertahankan remisi yang
lama . Kortikosteroid mempengaruhi sistem imun pada beberapa level yang berlainan, namun
mekanisme kerjanya pada MG belum diketahui secara pasti. Prednison adalah obat yang
paling sering dipakai sebagai obat oral yang diberikan dengan dosis inisial 40 – 60 mg
perhari selama 3 – 6 minggu lalu diturunkan setelah suatu respons yang baik telah dicapai.
Oleh sebab yang tidak diketahui, sebagian besar persentase pasien memburuk kelemahannya,
malahan ada yang sampai mengalami krisis setelah pemberian dosis yang tinggi, sehingga
pasien-pasien yang mendapatkan dosis 100 mg atau lebih harus di monitor secara seksama ,
mula-mula dalam perawatan di rumah sakit.
Suatu cara lain adalah pemberian dosis dari rendah dan secara perlahan-lahan
meninggikannya selama beberapa minggu. Walaupun terdapat berbagai cara pemberian
prednison dengan dosis tinggi, namun tujuannya adalah sama , yaitu untuk secepatnya
merubah kedalam dosis selang-seling ( alternative day dosing) untuk mengurangi efek
samping jangka pendek , yaitu berat badan yang bertambah, hiperglikemi, osteopeni, erosi
gaster dan duodenum dan katarak. Dosis yang pasti dan cara pemberian dari prednison harus
di cocokkan (tailored) pada setiap pasien tergantung kebutuhannya . Suatu pemberian jangka
pendek dari 2g metilprednisolon secara iv yang disusul dengan infus kedua 5 hari kemudian
kadang-kadang efektif untuk menghentikan krisis miastenia, namun belum ada uji klinik yang
baik mengenai hal ini.13
Prednison adalah suatu steroid dan sering dihubungkan dengan berbagai efek
samping. Bila terjadi efek samping yang tidak dapat ditoleransi dan kegagalan pengobatan,
maka dapat diberikan imunosupresan yang lain , misalnya azatioprin / imuran. 6 dan
siklofosfamide, dan harus diketahui bahwa obat-obatan ini bisa baru bekerja setelah 6 – 12 /
8 – 12 bulan.15,16
Pemberian inhibitor AChR tidak selalu menghasilkan suatu remisi dan hasilnya
adalah dalam jangka pendek, sehingga seringkali harus dikombinasi dengan imunosupresan.
Terapi kombinasi dengan steroid dan azatioprin dianggap superior, dibandingkan
dengan steroid saja dan ada yang merekomendasikan prednisolon dengan dosis rendah, dan
dinaikkan secara perlahan-lahan sampai dosis maksimum 1 mg/kg bb selang sehari
(alternating) dan pemberian secara selang sehari ini akan mencegah terjadinya efek samping
yang berat, terutama osteoporosis. Peninggian dosis steroid yang cepat akan menyebabkan
kelemahan yang bertambah dan harus dicegah , kecuali bila dirawat di rumah sakit. 16
Azatioprin (Imuran)telah dipakai pada pasien yang tidak responsif, tidak ada toleransi
terhadap obat, atau yang mengalami relaps dengan kortikosteroid dan juga dipakai sebagai
suatu obat yang mengurangi dosis steroid (steroid-sparing agent) yang diberikan secara
bersamaan dengan prednison untuk mengurangi efek samping jangka panjang, namun harus
diketahui bahwa azatioprin kurang efektif sebagai monoterapi dibandingkan dengan
prednison. Dosisnya berbeda-beda, dengan tujuan untuk meninggikan mean corpuscular
volume atau penurunan leukosit, sedangkan ada juga yang memberikan suatu dosis tetap yang
berdasarkan berat badan, biasanya 3-5 mg/kg/hari. Beberapa hal harus diketahui tentang
pengobatan dengan azatioprin yaitu:
1. mulai kerjanya lama (long delay of onset of action ) yaitu sampai 24 bulan sebelum terlihat
adanya steroid-sparing effect.
2. Selain itu terjadi efek samping pada 10% pasien , dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu
nausea, febris, menggigil , artralgia atau keluhan GI yang biasanya langsung hilang, bila
pengobatan dihentikan.
3.Supresi sumsum tulang terjadi pada semua pasien, namun jarang menjadi penyebab
penghentian terapi bila dilakukan monitoring dengan baik
4.Terdapat suatu kekhawatiran akan adanya peninggian risiko terjadinya kanker , terutama
limfoma setelah terapi selama 10 – 20 tahun.
Karena efek azatioprin baru terlihat setelah 6 – 12 / 8 – 12 bulan 16 17 , maka peranan
steroid menjadi sangat krusial pada fase ini . Bila azatioprin mulai bekerja, kadang-kadang
malahan lebih dini, maka dapat dilakukan penurunan dosis steroid secara perlahan-lahan (
slow tapering off) sampai tercapai dosis maintenance yang paling rendah yang dapat
mengontrol gejala-gejalanya MG. Obat-obatan imunosupresan lain perlu dipertimbangkan
pula, bila azatioprin tidak dapat ditoleransi dengan baik, atau karena tidak ada efeknya.
Metotreksat, siklosporin, siklofosfamid atau mikofenolat dapat ditambahkan .
Siklosporin didapatkan efektif dalam suatu uji klinik yang kecil terutama sebagai suatu
steroid-sparing agent, namun harus diketahui efek sampingnya , yaitu insufisiensi ginjal,
hipertensi, nyeri kepala dan hirsutisme.
Plasmaferesis dan IVIg.
Kadang-kadang perlu diberi tambahan (supplementary treatment) dengan
plasmaferesis atau IVIg . Harus diketahui, bahwa plasmaferesis merupakan tindakan yang
invasif, sedangkan IVIg mempunyai efek samping antara lain renal yang bisa merupakan
suatu komplikasi. 16
Plasmaferesis dan IVIg secara cepat mempengaruhi sistem imun, namun hanya untuk suatu
jangka waktu yang pendek. Suatu perbandingan antara plasmaferesis dan IVIg menunjukkan
suatu efektivitas yang sama, dan mungkin juga harga yang kurang lebih sama, namun
perbedaannya terletak pada mekanisme kerjanya, sehingga sebetulnya bisa merupakan suatu
terapi yang saling membantu (complementary therapies) pada MG. 13
Plasmaferesis menghilangkan antibodi, yang dianggap bekerja di NMJ, namun juga
memodulasi sistem imun. Respons terhadap plasmaferesis terjadi dalam beberapa jam
sampai beberapa hari dan berguna untuk mengobati atau menghentikan krisis
miastenia(KM) , namun diperlukan peralatan yang khusus untuk memisahkan darah dalam
berbagai komponen dan diperlukan personalia yang terlatih sehingga tidak tersedia dimana-
mana. Biasanya pengobatan dengan plasmaferesis memerlukan 4 sampai 6 kali pada hari
yang selang-seling. Prosedur ini biasanya ditoleransi dengan baik, namun memerlukan akses
vena yang baik. Kebanyakan komplikasi terjadi karena kateter vena tsb. 13
IVIg terdiri dari antibodi eksogen yang dikumpulkan (pooled exogenous antibodies) yang
didapatkan dari beribu-ribu donor. Mekanismenya belum begitu diketahui, namun antibody
eksogen tersebut ber-interaksi pada beberapa tempat yang berlainan , termasuk pengikatan (
binding) pada oto-antibodi pada tempat-tempat antigenik yang idiotipik dan pada sel T untuk
memodulasi sitem imun. Dosis yang direkomendasi dalam sebulan adalah 2g/kg dibagi dalam
dosis selama 5 hari, yang diberikan secara perlahan-lahan untuk menghindari efek samping.
Dosis ulangan biasanya 1 g / kg selama 1 – 2 hari. Dosis yang paling efektif belum ditemukan
secara pasti, namun half-life dari IVIg adalah sekitar 4 minggu dan pengulangan pemberian
setiap bulan dapat diterima ( reasonable) dengan tujuan untuk mengurangi dosis secara
perlahan-lahan (slowly tapering) berdasarkan keadaan klinisnya pasien. Respons terjadi
dalam 2-4 minggu 13
Harus diketahui, bahwa MG merupakan penyakit dengan banyak variasi, sehingga
pengobatan pasien MG adalah suatu seni dan harus dilakukan secara individual. Terdapat
pasien-pasien yang sangat refrakter terhadap pengobatan, yang tetap lemah dan memerlukan
berbagai pengobatan untuk mengobati eksaserbasi yang tidak dapat diprediksi terlebih
dahulu. Pada situasi yang demikian, maka penemuan dari kombinasi pengobatan yang paling
optimum dapat menjadi suatu tantangan.
Pada kasus ini tidak diberikan baik IVIG maupun PE, karena kendala keuangan pada pasien ,
oleh karenanya kami memberikan mestinon.
Prognosis:
• MG yang tidak diobati mempunyai angka kematian 25 – 31 %, namun dengan
pengobatan saat ini (terutama menghindari eksaserbasi akut) , angka kematian telah
menurun menjadi sekitar 4%
• Pada 40% penderita MG hanya mempunyai gejala okuler , namun biasanya menjadi
ekstraokuler dalam tahun pertama. Dari pasien-pasien yang hanya menderita jenis
okuler MG, hanya 16% yang tetap secara eksklusif menderita ocular MG dalam
jangka waktu 2 tahun.
• Pada pasien dengan kelemahan umum, puncak dari kelemahan maksimal biasanya
tercapai dalam waktu 3 tahun pertama . Setengah dari jumlah kematian juga terjadi
dalam periode ini. Yang tetap hidup setelah 3 tahun pertama, biasanya telah mencapai
suatu keadaan steady state atau telah membaik. Pemburukan keadaan setelah 3 tahun
umumnya tidak terjadi
• Faktor risiko yang penting untuk suatu prognosis yang jelek adalah: umur yang lebih
dari 40 tahun, menderitanya penyakit belum lama sebelum terjadi progresivitas dan
timoma. 17

Vous aimerez peut-être aussi