Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu jenis poliradikuloneuropati
yang progresif dan akut dengan gejala kelemahan, parestesia dan hiporefleksia, yang
biasanya terjadi setelah suatu febris atau penyakit viral. 1 2 Pada kasus yang berat, kelemahan
otot dapat berlanjut menjadi suatu kegagalan pernafasan. Disfungsi otonom yang sangat labil
bisa juga terjadi. Sindrom Miller-Fisher adalah suatu varian yang umum dijumpai pada
SGB dan terjadi pada 5% kasus SGB. Sindrom terdiri dari ataksia, oftalmoplegia dan
arefleksia. Insidensi umur rata –rata muncul SGB sekitar 40 tahun, Ratio pria dibandingkan
dengan wanita 1,5:1.3,46,7 Dengan puncak pada umur 15 -35 tahun dan 50 -75 tahun serta
puncak ringan pada pria antara umur 30 -50 tahun.3
Pembahasan
Sindrom Guillain Barre (SGB) terdapat di berbagai belahan di dunia , insidensinya
mencapai 0,6 -2,4 1 kasus per 100.000 penduduk pertahun di USA, namun dianggap bahwa
angka pelaporan frekuensi yang aktual agaknya sekitar 15% lebih besar dari angka yang
dilaporkan.2 Resiko terjadinya penyakit ini sama diseluruh dunia dan diantara semua ras
bangsa, kecuali adanya predileksi musim untuk GBS yang ada hubungannya dengan
kampilobakter jejuni di Cina, yang cenderung terjadi di musim panas.
Penyakit ini mempunyai gambaran klinis yang khas berupa suatu defisit neurologis
yang bersifat menjalar ke atas ( ascending) dan biasanya didahului oleh infeksi pernafasan
bagian atas atau infeksi gastrointestinal sebelumnya. Penyakit ini juga mempunyai gambaran
cairan serebrospinal yang khas dan gambaran EMG yang berkarakteristik.
Sampai sekitar 10 tahun yang lalu SGB dianggap sebagai suatu kesatuan gejala klinis
berupa poliradikuloneuropati yang progresif dan akut dengan gejala kelemahan, parastesi dan
hiporefleksia yang biasanya terjadi sesudah febris atau penyakit viral .1,2 Pada kasus berat,
kelemahan otot dapat berlanjut menjadi suatu kegagalan pernafasan. Disfungsi otonom yang
sangat labil juga bisa terjadi. Kelumpuhan maksimal biasanya terjadi setelah 2 minggu
setelah permulaan gejala, namun bisa juga terjadi lebih cepat dan mendadak.
Pada pasien SGB sering menunjukkan konduksi serabut saraf yang hilang atau
melambat. Gangguan pada konduksi saraf ini terjadi karena demielinisasi pada sel akson
saraf. Saraf perifer dan radiks saraf merupakan tempat utama terjadinya demielinisasi, namun
saraf kranialpun dapat terkena. SGB dianggap terjadi karena suatu respon otoimun, yang
dicetuskan oleh suatu penyakit sebelumnya atau beberapa kondisi medis yang lain.
Biasanya sel sistem imun hanya menyerang benda asing dan organisme yang
menyerang badan, namun pada SGB, sistem imun mulai menyerang sarung mielin yang
mengelillingi akson dari banyak saraf perifer, dan kadang-kadang malahan akson juga. Bila
sarung mielin terkena, maka saraf tidak bisa mengirim signal secara efisien. Pada SGB yang
didahului infeksi virus atau bakteri, virus mungkin telah merubah sifat sel, sehingga sistem
imun menganggapnya sebagai benda asing. Mungkin juga virus tersebut telah merubah
sistem imun sehingga kurang bisa mendiskriminasi sel yang seharusnya dikenal sebagai milik
badan sendiri, sehingga limfosit tertentu dan makrofag justru menyerang mielin. Limfosit-T
yang telah disensitasi berkerja sama dengan limfosit-B untuk membentuk antibodi terhadap
komponen sarung mielin yang membantu merusak mielin.
Pada kebanyakan pasien, gejala terjadi karena kerusakan pada sarung mielin. Pada
sebagian pasien SGB, juga terjadi kerusakan aksonal, yang disebabkan oleh serangan seluler
imun yang langsung pada aksonnya sendiri. 1
SGB digambarkan sebagai suatu kumpulan sindrom klinik dengan suatu
poliradikuloneuropati yang akut dengan kelumpuhan dan gangguan pada refleks. SGB masih
tetap merupakan suatu diagnosis, yang dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan gejala klinis.
Walaupun secara klasik dianggap sebagai suatu demyelinating neuropathy, dengan
kelumpuhan yang asenden, namun terdapat berbagai varian klinis yang telah dikenal dalam
kepustakaan. Berbagai varian ini mempunyai pattern yang sama dalam hal evolusi,
penyembuhan, overlapping gejala dan patogenesis otoimun. 5
Sindrom Miller-Fisher adalah suatu varian yang umum dijumpai pada SGB dan
terjadi pada 5% kasus SGB. Sindrom terdiri dari ataksia, oftalmoplegia dan arefleksia.
Ataksia terutama terlihat sewaktu berjalan dan pada badan, dan ekstremitas tidak begitu
terkena. Yang khas adalah, bahwa kekuatan motorik biasanya masih baik dan perjalanan
penyakitnya gradual dan penyembuhan yang sempurna terjadi setelah beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Terdapat hubungan yang erat dengan antibodi antigangliosid dan
varian ini. Antibodi anti-GQ1b yang di trigger oleh strain C. jejuni tertentu, mempunyai
suatu spesifitas dan sensitivitas yang tinggi untuk penyakit ini. Konsentrasi tinggi dari
gangliosid GQ1b ditemukan di n okulomotorius, trokhlearis dan abdusens, yang dapat
menerangkan hubungan antara antibodi anti-GQ1b dengan oftalmoplegia.
Pada pungsi lumbal tampak disosiasi sitoalbuminik pada likuor serebrospinalis dan
pada EMG tampak tanda-tanda khas dari suatu proses demielinisasi pada saraf perifer.
Prognosis biasanya baik dan imunoterapi dengan plasmaferesis maupun IVIg dapat diberikan
pada pasien dengan penyakit yang berat atau yang penyembuhannya lambat.
SGB, penyakit ini biasanya mempunyai suatu pattern yang asenden dengan
kelumpuhan yang progresif, yang dimulai dari ekstremitas bawah, disertai dengan arefleksia.
Kelemahan hampir selalu simetris dan harus dipertimbangkan diagnosis yang lain, bila
ditemukan kelumpuhan yang asimetris. Sekuele biasanya adalah dalam bidang otonomik
atau disfungsi saraf motorik, namun juga bisa dalam bentuk gangguan parestesia dan
gangguan sensibilitas. Parestesia biasanya dimulai pada ujung jari kaki dan meluas keatas dan
sentral. seringkali ada nyeri terutama di pinggang bawah dan pantat, namun bisa juga di paha
dan di pundak. Gangguan pada saraf kranial bisa ditemukan pada 45–75%1 (35–50%) 2
kasus, dan bisa terjadi kelemahan muka, disfasia atau disartri. Bisa pula ditemukan varian
Miller-Fisher dengan oftalmoplegi dan ataksia (23%) 2 Pada SGB juga bisa tampak gangguan
pada tanda-tanda vital yang menandakan adanya suatu disfungsi otonom dan bisa dalam
bentuk bradikardia atau takhikardia, hipotensi atau hipertensi, hipotermia atau hipertermia.
Disfungsi otonom bisa terjadi pada 26% pasien dan mencakup sistem simpatik dan
parasimpatik. Selain fluktuasi pada denyut jantung, tekanan darah dan suhu, juga bisa terjadi
anhidrosis, ileus paralitik, gangguan miksio dan disfungsi pupil. Gangguan saraf kranial bisa
terkena pada 45 – 75 % kasus dan urutan dari banyaknya terjadi adalah pada saraf fasial,
bulber, mengunyah dan okuler. Berlainan dengan kelemahan ekstremitas yang simetris, maka
biasanya kelumpuhan otot muka terjadi secara asimetris. Disrefleksia, refleks biasanya
menurun atau menghilang pada pasien dengan kelumpuhan. Bila ada kelumpuhan disertai
refleks yang normal, harus dipertimbangkan suatu diagnosis alternatif yang lain. Hipotonia,
gangguan sensorik, kelumpuhan yang desenden pada varian bulber seperti disfagia, disartri
dan mengeluarkan air liur. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada 25% kasus SGB.
Prognosis yang buruk dihubungkan dengan progresivitas gejala yang cepat, umur
lanjut, ventilasi lama (> 1bulan) dan penurunan amplitudo potensial aksi otot yang besar,
(yang menandakan adanya gangguan aksonal) pada pemeriksaan neuromuskuler. Pada uji
klinik yang dipublikasikan dinyatakan, bahwa penyembuhan sempurna bisa diharapkan pada
50 - 95 % kasus. Pada anak-anak, outcome SGB lebih baik.
Pada Miastenia Gravis (MG) sistem imun menghentikan kerja neurotransmiter dengan
jalan memblok atau merusak reseptor di paut saraf-otot ( neuromuscular junction ), sehingga
mencegah otot untuk berkontraksi. Akibatnya adalah, bahwa akan terjadi kelemahan otot ,
karena penghambatan dari pesan khemis (chemical messages) ini . Biasanya seorang
penderita MG mengalami pemburukan gejala setelah melakukan latihan fisik dan akan
merasa lebih baik setelah beristirahat. Penyakit ini bisa menyerang otot-otot mata terlebih
dahulu dan kadang-kadang penyakit berlanjut dan menelan , mengunyah dan berbicara bisa
terganggu. MG jarang menyebabkan kematian, kecuali bila otot pernafasan terkena.
Penyakit ini bervariasi dalam beratnya penyakit dan progresivitas-nya, pada
permulaan kelemahan bisa intermiten, dan seringkali gejala pertama adalah menurunnya
kelopak mata (ptosis) atau penglihatan dobel, dan pada 15% penderita MG keluhan mata
merupakan keluhan tunggal dan ini disebut ocular myasthenia. Bila kelemahan terjadi secara
umum, maka disebut generalized myasthenia. 10
Gejala-gejala bisa disimpulkan sbb:
* Kelemahan otot
dapat berupa kelopak mata yang menurun dan kelemahan otot wajah yang
menyebabkan pasien MG seperti memakai topeng , karena terlihat datar, tanpa emosi dan
tanpa ekspresi
* Kelemahan membaik setelah beristirahat dan memburuk setelah aktivitas fisik
* Gangguan visus seperti melihat tidak jelas (blurred vision) dan penglihatan dobel
(diplopia) , tak mampu menetapkan penglihatan pada suatu titik tertentu (unsteady gaze) dan
ptosis
* Slurred speech.
* Rasa capai / fatique setelah aktivitas apa saja, walaupun ringan.
* Gangguan menelan, mengunyah dan batuk yang bisa menyebabkan pasien tersedak
* Gangguan pernafasan
* Nafas yang pendek
* Jalan seperti bebek ("Waddling like a duck") karena tidak ada keseimbangan sewaktu
berjalan
* Gangguan pada paru-paru dan infeksi.
Perlu disebutkan bahwa kelelahan yang khronis (chronic fatigue) , tanpa kelemahan , bukan
merupakan gejala MG. 4,10
Pada pasien ini juga didapatkan kelemahan pada otot – otot mata, sering mrasa kelemahan
dan jika beristirahat, sering merasa kelelahan setelah aktivitas apa saja walaupun ringan,
gangguan menelan jika minum air sehingga pasien menjadi tersedak.
Oleh karenanya kami memasukkan ke dalam kriteria miastenia gravis.
Prinsip umum pemeriksaan diagnostik pada MG adalah:
Rasional:
* Karena timektomi atau imunoterapi secara jangka panjang kadang-kadang perlu
dilakukan untuk mengobati MG, maka adalah esensial untuk menegakkan diagnosis
yang kukuh dan pasti
* Suatu diagnosis yang kukuh dan pasti , menghindari pengobatan yang tidak
benar dan menghindari efek samping obat pada pasien-pasien yang tidak
11
menderita MG.
Pada waktu melakukan diagnosis, pemeriksaan bisa normal, atau otot-otot
menunjukkan kelemahan yang memburuk secara progresif, bila otot dipakai. Refleks dan
sensibilitas normal. Kelemahan bisa meliputi lengan , tungkai, otot pernafasan , menelan,
berbicara atau kelompok otot mana saja. Otot muka bisa terkena dan biasanya terkena secara
dini , termasuk terjadinya ptosis.
Secara klinis harus dilakukan pemeriksaan motorik dan refleks dan diukur waktu
lamanya bisa melakukan abduksi lengan kedepan dan bisa juga dilakukan dinamometri dari
beberapa otot.
Cara-cara pemeriksaan diagnostik MG yang secara tradisional dilakukan adalah:
• elektrodiagnosis
• serologis
• farmakologis 12
Strategi tes diagnostik MG :
Sebagai panduan umum maka suatu diagnosis yang kukuh dan pasti berdasarkan atas:
• riwayat penyakit yang khas dan pemeriksaan fisik disertai :
• 2 tes diagnostik yang positif, terutama yang serologis dan elektrodiagnosis
Pemeriksaan diagnostik MG biasanya harus melingkupi kedua tes yaitu:
• test terhadap serum antibodi AChR
• Repetitive nerve stimulation test 12
Elektrodiagnosis :
* EMG:
* RNS (repetitive nerve stimulation)
* Single Fiber EMG, dimana saraf yang mengurus otot di stimulasi secara berulang, dan ini
terutama dilakukan pada pasien-pasien tertentu, dimana tes-tes lain negatif atau tidak jelas
hasilnya
Pada pasien ini didapatkan Harvey Masland test (+) dengan SF –EMG abnormal. Hasil yang
didapatkan pada pemeriksaan elektrodiagnosis sesuai dengan kriteria miastenia.
Serta F-wave conduction block, sesuai dengan kriteria SGB.
Tes Tensilon (edrofonium) biasanya positif pada kebanyakan kasus, dan mudah
dilakukan sebagai bedside test , namun tidak begitu sensitif atau spesifik seperti pemeriksaan
serologis maupun neurofisiologis.
Tensilon (edrofonium) memblok enzim yang memecah asetilkholin sehingga pada pemberian
akan menyebabkan fungsi otot membaik, yang terlihat sebagai membaiknya kekuatan otot
sesaat setelah pemberian injeksi i.v.
MRI & CT thorax seringkali dilakukan untuk diagnosis diferensial dan juga untuk
memeriksa adanya kelenjar timus , timoma, maupun hyperplasia timus 12